SASTRA SUFI DAN NEGARA ORDE BARU

SASTRA SUFI DAN NEGARA ORDE BARU
Oleh Aprinus Salam
Fakultas Ilmu Budaya UGM
1. Pengantar
Pada tahun 1980-an hingga 1990-an awal di Indonesia, atau lebih khusus lagi
Yogya, pernah terjadi apa yang disebut sebagai bangkitnya sastra sufi. Kebangkitan
dan kegairahan tersebut tentu tidak hadir sebagai satu kenyataan tunggal, terlepas
dari berbagai faktor internal maupun eksternal yang meliputinya. Tulisan berikut
ingin melihat bahwa kebangkitan dan kegairahan tersebut terkait dengan situasi
sosial politik yang sedang terjadi. Apalagi, perlu diingat, bahwa bangkitnya sastra
sufi tersebut justru ketika negara ada dalam "cengkraman" rezim Orde Baru yang
demikian dominan dan hegemonik.
Seperti diketahui, sastra sufi, pada tataran nilai bukan saja sebagai gerakan
kesastraan, tetapi lebih luas dari itu adalah pula gerakan sosial, politik, dan
kebudayaan.1 Hal ini terkait dengan satu teori umum yang mengatakan bahwa pada
dasarnya sufisme adalah kandungan terdalam dari ajaran Islam. Pernyataan ini dapat
ditemukan pada hampir sebagian besar buku-buku yang membahas tentang
sufisme.2 Beberapa pakar lebih senang menyebut sufisme sebagai spritualitas Islam. 3
Berbicara tentang sastra sufi, pada tingkat tertentu tidak dapat dilepaskan dari
wacana keislaman secara umum. Berbicara tentang keislaman adalah pula
berbicara tentang pemeluknya (masyarakat). Soedjatmoko menambahkan jika ingin

mempelajari Indonesia abad ke-20, pelajarilah dua tradisi besar yaitu Jawa dan Islam. 4
Dengan demikian, sadar atau tidak, penyair-penyair yang berdasarkan pilihan
tertentu menulis sastra sufi secara tersirat dan tersurat sedang melakukan sesuatu
yang bersifat gerakan kesastraan, kultural, sosial, dan politik berdasarkan keyakinan
keislamannya. Konteks ini akan sangat terkait dengan wacana yang sedang
berkembang untuk setiap situasi sosial, politik, dan kebudayaan tempat di mana
sastra sufi tersebut menemukan kegairahannya.
1

Bandingkan dengan A.J. Arberry dalam bukunya Sufism: An Account of the Mystic of Islam.
London: George Allen & Unwin Ltd. 1979, khususnya pada bagian pengantar.
2
Sebagai misal Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah, 1987; Martin Lings, Membedah Tasawuf,
1987; Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 1986; Trimingham, The Sufi Orders in Islam, 1971;
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, 1989, Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, 1984;
K.S.K. Khan, Cakrawala Tasawuf, 1987.
3
John Bousfield, "Islamic Philosophy in South-East Asia". dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in SouthEast Asia, 1983. h. 98-100. Taufik Abdullah, "Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam
Kontemporer", dalam Mark R. Woodard, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, 1999. h. 85.

4
Soedjatmoko, "Indonesia: Problems and Opportunities", dalam Australian Outlook. Vol.21 Number
3, December 1967. h. 263-286. Bandingkan dengan Mulder dalam Kebatinan dan Hidup Sehari-hari
Orang Jawa, 1983, h.1, yang mengatakan bahwa Jawa adalah pusat politik Kepulauan Indonesia dan
kampung halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara penduduk Indonesia
yang sangat beraneka.

2. Islam (Sufistik) Indonesia
Barangkali, tidak lagi perlu diuraikan secara panjang lebar tentang "jenis" Islam
yang masuk dan menjadikan Indonesia beragama mayoritas Islam.5 Paling tidak
yang perlu disimpulkan adalah bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam
sufistik, dan ini pula yang menyebabkan Islam sufistik secara cepat dapat diterima
oleh masyarakat Indonesia karena dianggap memiliki "kesamaan nafas" dengan
kepercayaan sebelumnya terutama kepercayaan Hindu dan Budha.
Berangkat dari kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika dalam banyak hal
"prilaku politik" orang Indonesia, khususnya Jawa, juga dipengaruhi oleh doktrindoktrin sufistik. Kerajaan-kerajaan di Aceh dan Mataram Yogya adalah contohcontoh yang menonjol tentang aplikasi ajaran-ajaran sufistik diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kenyataan itu juga tidak terlepas dari satu asumsi umum yang banyak diyakini bahwa
pada dasarnya Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik, Islam
secara inheren adalah agama politik.Kesimpulan ini cukup populer di kalangan

ilmuwan sosial.6 Memang, karena pengaruh Barat kecenderungan tersebut semakin
cair. Indonesia, misalnya, yang tidak mengaku sebagai negara agama (teokrasi),
tetapi juga tidak negara sekuler, dalam praktiknya memisahkan urusan agama dan
negara (politik). Paling tidak agama dan negara memiliki hubungan yang sangat erat,
bahkan di dalam masyarakat modern sekalipun negara dapat berfungsi sebagai
agama. Dengan begitu, sadar atau tidak, sebetulnya sebagian orang yang beragama
Islam secara relatif mengaktualitaskan keyakinan beragamanya, khususnya dalam
kehidupan berpolitik dan kekuasaan, dan untuk keperluan tulisan ini, berkesastraan.
Dalam sejarahnya, salah satu sebab munculnya sufisme adalah adanya perselisihan
politik yang tajam dan masyarakat tidak tahu harus "berpihak" kemana, atau kalau
ikut berpihak diperkirakan akan menambah permasalahan. Dengan begitu, kondisi
politik yang kacau tersebut menyebabkan sekelompok masyarakat "mengundurkan
diri" dalam partisipasi politiknya dan secara serius mencoba melakukan
pendalaman terhadap penghayatan riligiusitas dan masalah ketuhanan. Sikap tidak
berpolitik tersebut, berdasarkan asumsi klasik, sesungguhnya juga dianggap keputusan
politik.
5

Untuk itu antara lain lihat tulisan A.H. Jonhs, "Islam di Asia Tenggara: Masalah Perspektif" maupun
G.W.J. Drewes, "Pemahaman Baru tentang Kedatangan islam di Indonesia" dalam Ahmad Ibrahim,

Sharon Siddique, Yasmin Hussain (eds.), Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah. 1989; A.H.
Jonhs, "Tentang Kaum Mistik Islam dan Penulisan Sejarah" dalam Taufik Abdullah (ed.)1987).
Bandingkan dengan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Yarekat, Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, 1995. h. 336-337.
6
Pada tataran konseptual lihat B. Lewis, Bahasa Politik Islam, (terjemahan dari The Political Language
of Islam). 1995. Lihat juga C. Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. 1981.
Robert Jay, Religion and Politics in Rural Central Java, 1963. B.J. Boland, Pergumulan Islam di
Indonesia, 1985.

Sebetulnya paling tidak ada empat kemungkinan kondisi sosial politik yang secara
langsung atau tidak ikut mengondisikan kehadiran gerakan sufistik. Pertama,
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang secara sosial politis dalam keadaan
kacau. Hal ini seperti telah di singgung di depan. Kedua, ketika negara dalam
keadaan kuat dan memanfaatkan kekuataannya untuk mempertahankan
kekuasaannya dengan cara menekan masyarakat. Dalam kondisi ini akan muncul
sikap-sikap perlawanan dalam tubuh masyarakat. 7
Ketiga, ketika masyarakat hidup dalam kemakmuran atau kemiskinan yang
berlebihan. Masyarakat yang hidup dalam kemakmuran tersebut kemudian
memperlihatkan hidup secara berlebihan dan mulai memperlihatkan sifat-sifat

kesombongan, ketakaburan, atau bahkan sekuler. Secara paralel adalah terjadinya
kemiskinan yang berlebihan yakni munculnya kekufuran, atau bahkan masyarakat
terpaksa melakukan berbagai cara (yang bisa jadi tidak benar) dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ini juga berangkat dari doktrin umum sufisme yang secara
prinsip selalu ingin mengembalikan kehidupan berdasarkan prinsip tauhid.
Keempat, masih "dalam rangka" politis yaitu upaya memperebutkan dominasi
ideologis dalam suatu kenegaraan. Hal ini terjadi ketika satu pihak merasa lebih
benar sehingga merasa lebih berhak mengusai ideologi masyarakat. Sikap merasa
lebih benar ini mendorong sikap-sikap politik untuk "menyelamatkan" masyarakat
yang sedang dikuasai oleh satu ajaran ideologis (mistisisme atau sufisme) tertentu
yang dianggap sesat. Kasus Siti Jenar berhadapan dengan Wali Songo di Jawa pada
abad ke-16 dan kasus ajaran Hamzah Fansuri dan Nurrudin Araniri di Aceh pada
abad ke-17 memperlihatkan kejadian tersebut. 8 Persoalan ini merupakan persoalan
ortodoksi, dan di lain pihak heterodoksi, yang mana sesuatu menjadi ortodoksi
karena mendapat dukungan langsung dari penguasa. Karena mendapat dukungan
langsung dari penguasa, ia menjadi mayoritas, mainstream. Di luar mainstream,
maka ajaran tersebut secara "sosial-politis" dianggap tidak benar. 9
Alwi Shihab10 dalam disertasinya mengatakan bahwa secara umum kecenderungan
sufisme masyarakat Indonesia, dan secara khusus Jawa, pada akhirnya berafiliasi dan
didominasi oleh sufisme suni. Kesimpulan Alwi berdasarkan pada asumi bahwa peran

penting dari proses Islamisasi Jawa adalah peran Wali Songo. Padahal, menurut Alwi
berdasarkan kajiannya terhadap ajaran-ajaran Wali Songo, sufisme Wali Songo
adalah sufisme suni. Hal ini didukung oleh Simuh 11 yang mengatakan bahwa paham
sufisme filosofis dengan konsep manunggaling kawula gusti-nya tidak berkembang
7

Bandingkan dengan tulisan Moeslim Abdurrahman dalam "Sufisme di Kediri", dalam Dialog Edisi
Khusus, "Sufisme di Indonesia", Maret 1978. h. 23-40.
8
Untuk peristiwa sosial politis Siti Jenar lihat karya Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar
Pergumulan Islam-Jawa. 2000, sedang kasus Hamzah Fansuri yang ajarannya diharamkan oleh
Nurruddin lihat karya S.M.N. Al-Alattas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. 1970.
9
Lihat tulisan Martin van Bruinessen, "Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar
Belakang Sosial Budaya" dalam Ulumul Qur'an. Vol. III No. 1, 1992. h.16-27.
10
Alwi Shihab, Islam Sufistik: "Islam Pertama" dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, 2001.
11
Simuh, Sufisme Jawa Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, 1995. h. 52.


dalam tasawuf pesantren di Jawa. Paham ini hanya berkembang dalam kesastraan
atau kepustakaan Jawa.
Doktrin sufisme suni adalah khalik dan makhluk tersebut bukan sesuatu yang dapat
menjadi satu. Sufisme suni lebih menekankan pada aspek transendensi Tuhan, Tuhan
mengatasi (bukan di luar atau di dalam) segala sesuatunya. Posisi manusia sederajat
dan sama saja, karena segala sesuatunya ada dalam kendali Tuhan. Hanya Tuhanlah
yang mengatasi segala sesuatunya. Memang, ajaran ini meyakini bahwa pada
dasarnya pemimpin dan rakyat itu adalah dua fungsi entitas yang berbeda yang tidak
dapat disamakan. Doktrin ini dianggap yang paling syah bagi Islam Indonesia dan,
terutama, diajarkan di pesantren-persantren di seluruh Indonesia.12
Konsep terebut berbeda dengan doktrin wahdatul wujud (filosofis). Wahdatul wujud
meyakini bahwa Tuhan dan manusia yang fana pada dasarnya mengalami
persatuan. Dalam kondisi inilah konsep Ana al Haq-nya Al-Hallaj, dan kemudian
ditransfer oleh Siti Jenar dengan konsep "Aku adalah Tuhan"-nya harus dipahami.
Doktrin wahdatul wujud menekankan aspek imanensi Tuhan, Tuhan dapat hadir dan
"menjadi" dalam manusia. Doktrin ini sebagian besar mengalami osmosis dengan
mistisisme Jawa, dan secara dominan dapat disebut sebagai Islam Jawa abangan.
Implikasi derivatif dan simbolik dari doktrin ini adalah bahwa kekuasaan tertinggi itu
ada di tangan Tuhan, dan secara simbolik kekuasaan tertinggi itu ada di tangan
manusia (rakyat). Padahal, negara dan masyarakat (rakyat) Indonesia mengakui bahwa

kekuasaan (kedaulatan) tertinggi ada di tangan rakyat.Kalimat lengkapnya adalah
Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (UUD '45, pasal I ayat 2). Rumus kedaulatan tertinggi ada di
tangan rakyat ini sangat mungkin merupakan eksplorasi bawah sadar dari para
founding fathers Indonesia, yang dapat dipastikan sebagian besar orang Jawa,
sebagai orang Islam-sufistik, atau dalam sisi lain Islam Jawa. 13
Sesuai dengan konteks teoretik tulisan ini bisa jadi kalimat tersebut merupakan
kompromi antara Islam sufi filosofis dan suni. Dalam praktiknya, wacana yang
cukup dominan adalah rakyat menghendaki kedaulatan memang ada di tangannya,
sementara para pemimpin lebih menekankan pada pernyataan kedua dari UUD '45
tersebut. Dalam kehidupan yang lebih nyata pada masa Orde Baru, yang berdaulat
bukan rakyat, bukan pula wakilnya di MPR, tetapi presiden, kekuasaan pusat. Institusi
presiden demikian kuatnya mengatasi segala hal.

12

Lihat Zamakhsyari Dhafier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, 1984. h. 143.
Untuk kajian-kajian tentang kebudayaan dan Islam Jawa lihat Mulder (1983), Geertz (1981), de
Jong (1976), Harun Hadiwijono (1967), dan Woodward (1999). Kemenangan Islam Abangan yang
berafiliasi pada partai-partai nasionalis secara umum memperlihatkan bahwa Islam Jawa abangan

merupakan sesuatu yang masih kuat dan dominan bagi dunia perpolitikan Indonesia. Tolong diingat
catatan perolehan suara pemilu tahun 1955 yang dimenangkan oleh PNI (Islam Nasionalis Abangan),
dan pemilu-pemilu berikutnya yang dimenangkan oleh Golkar, hingga pemilu 1999 yang dimenangkan
oleh PDI-P pimpinan Megawati.
13

Dengan demikian, terjadi perkembangan yang dikotomis antara wacana kesastraan
(kepustakaan) pesantren dan kepustakaan kraton Jawa. Dikotomi inilah yang
menjadi wacana perkelahian, yang mana para pemimpin Orde Baru, seperti diperlihatkan Soeharto, dalam mengembangkan konsep kekuasaannya mengacu pada tradisi
dan kepustakaan Jawa. Bukan kesamaan yang kebetulan dengan para pendiri Indonesia juga Soeharto juga memberikan komentarnya tentang Pancasila. Soeharto
mengatakan bahwa Pancasila digali dari alam pikiran nenek moyang. Nenek moyang
yang dibayangkan Soeharto tentulah nenek moyang Jawa. Untuk membangun
kekuasaan politiknya yang berbasis militer Soeharto banyak belajar dari konsepkonsep Mangkunegara.14Sementara itu, penyair-penyair sufi tahun 1980-an dan 1990an awal, sekali lagi khususnya di Yogya,15 justru mengacu pada apa yang disebut
sebagai sastra pesantren.
3. Mataram Islam sebagai Model
Salah satu model perpolitikan Islam yang paling luas dibicarakan adalah konsep
kerajaan Mataram Islam Kraton Yogyakarta. Orang Jawa, seperti yang dikaji B.
Anderson, percaya bahwa kekuasaan politik itu bersifat kongkret, homogen, tentap
jumlah keseluruhannya, dan tidak mempunyai implikasi-implikasi moral yang
inheren.16Penguasa (raja) pada dasarnya adalah pusat mikrokosmos. Padahal

mikrokosmos dan makrokosmos adalah sesuatu saling mengadakan antara satu dan
yang lain, keduanya saling bergantung keberadaannya. Itu artinya makrokosmos dan
mikrokosmos
adalah
sesuatu
yang
sejajar,
suatu
identifikasi
(penyamasesuaian).Banyak ahli yang mengatakan hal ini merupakan bentuk lanjut
dari pengaruh Hindu. Memang, pada tataran universalitas, ada kesamaan tertentu
antara doktrin Islam sufistik dan Hindu (sebagai sisa Majapahit). Itu pula yang
menyebabkan Islam sufistik secara "mudah" dapat diterima dan terserap dalam
budaya masyarakat Jawa.17
Dengan demikian, ketika kosep jumbuhing kawula gusti, menjadi keyakinan terdalam
masyarakat (Jawa), maka sebetulnya keberadaan rakyat dan gusti merupakan entitas
yang tak dapat dipisahkan, saling mengadakan dan memerlukan. Hal tersebut
tampak pada kepustakaan Jawa Mistik Islam yaitu Serat Centhini dan Serat
Cebolek.18Namun, berdasarkan kekuatan yang dimiliki gusti, kawula tidak lebih
sebagai perpanjangan tangan gusti.

14

Lihat Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern, 1986. h. 150-212. Hal
ini akan didiskusikan lebih lanjut pada bagian lain tulisan ini.
15
Pernyataan ini tentu tetap dengan memperhitungkan bahwa tidak semua penyair pada waktu itu
berlatar belakang sastra pesantren. Istilah penyair dengan berlatar pesantren adalah mereka yang
melakukan urbanisasi dari pedesaan Jawa, misalnya dari pedesaan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan
kemudian bermukim dan menjadi penyair Yogya.
16
B.R.O.G. Anderson, "Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa" dalam Miriam
Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. 1984. h. 51-52.
17
Lihat kajian Mulder, de Jong, Geertz, Hadiwijono, Woodward, R. Jay. Anderson, Soemarsaid, Facry
Ali.
18
Untuk Serat Centhini penulis merujuk karya suntingan yang diedit oleh Kamajaya dan Hadijaya,
1978, dan Serat Cebolek adalah transliterasi Sudibyo Z. Hadisutjipto dan terjemahan T.W.K.
Hadisuprapta, 1981.

Pandangan dunia tersebut secara umum watak kultural masyarakat Indonesia yang
pada dasarnya memiliki karakter mitis. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara
dapat berjalan dengan baik, harmonis, sejauh negara dapat menjaga keseimbangan
tersebut dengan mengondisikan negara yang tata tentrem kerta raharja, negeri subur
makmur gemah ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Akan
tetapi, jika kondisi ini tidak terjadi maka negara dianggap tidak mampu
memenuhi batin rakyat, dan akan terjadi desakan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Di Indonesia, sufisme yang secara inheren diajarkan pada kelompok-kelompok tarekat,
terbukti adalah kelompok masyarakat yang paling artikulatif dalam melakukan
perlawanan terhadap kekuasaan yang tidak mampu menjaga keseimbangan tersebut,
tidak mampu menjaga harmoni. Artikulasi tersebut biasa disebut perang suci atau
jihad.19
Paling tidak dapat diambil kesimpulan bahwa sufisme mengajarkan pengikutnya
untuk berani melakukan tindakan-tindakan progresif sesuai dengan prinsip-prinsip
tauhid, sebagai kunci utama ajaran sufisme, agar masyarakat dan negara "kembali"
dalam kehidupan yang benar, yang harmonis, yang berada dalam lindungan tauhid
Allah. Dalam beberapa hal, prinsip-prinsip inilah yang dimainkan oleh para penyair
sufi berhadapan dengan negara.
Sesungguhnya, sadar atau tidak, rezim Orde Baru yang mulai berkuasa pada 1967
(saat Soeharto dilantik jadi presiden) dan mengalami puncak kekuasaannya pada
tahun 1980-an, pada tingkat nilai dan filosofis juga dijalankan dengan model politik
budaya Mataraman tersebut. Bukan karena kebetulan Soeharto adalah orang Jawa
Yogya, tetapi terlebih-lebih kondisi-kondisi umum wacana Islam, dalam proses
pertarungan yang panjang, juga mendukung ke arah tersebut. 20Sebagaimana
diketahui, Soeharto adalah manusia yang dibesarkan dalam budaya Jawa
Mataram. Dalam pandangannya, yang namanya penguasa itu adalah raja. Sebagai
seorang penguasa dengan konotasi raja itu maka segala sesuatu yang berada dalam
wilayah kekuasaannya adalah hambanya.
Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa sebagai orang Jawa (Mataram) secara
kebetulan Soeharto menjadi presiden dengan barisan militernya. Secara historis dan
politis Soeharto mendapatkan legitimasi jika peran militer sangat kuat bagi konsolidasi
Indonesia. Dalam kepemimpinnannya lebih lanjut, Soeharto mengembangkan
konsep kesatria (terutama bagi militer) dalam pengertian tradisional. Kesatria yang
dimaksud adalah orang yang yakin jika tindakannya adalah ungkapan dari kehendak
Tuhan. Seorang menjadi kesatria jika dapat memenuhi Asta Bhrata (Delapan
Kebajikan). Konsep ini secara tersirat muncul dalam doktrin militer khususnya sumpah
ke-3.21
19

Lihat kajian Sartono Kartodirjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Lihat catatan kaki No. 14.
21
Untuk lebih jelasnya lihat Seomarsaid Moertono, 1985; Fachry Ali, 1986.
20

Konsep kesatria analog dengan konsep Insal Kamil (Manusia Ideal, Manusia
Semupurna) dalam sufisme walaupun tidak berlaku sepenuhnya karena Islam-sufistik
Jawa, yang dalam banyak hal juga berwajah kebatinan, mengalami lokalisasi Jawa
sehingga Islam sufistik Jawa tidak lagi dapat diandaikan seperti Islam sufistik dalam
pengertian awalnya. Apalagi perlu diingat bahwa dalam sejarah militer di
Indonesia,22militer selalu curiga kepada Islam yang dianggap memiliki potensi paling
besar dalam menggerogoti kekuasaannya. Secara umum Islam mengalami kondisi
yang tidak menyenangkan dan dipojokkan. Menilik kesejarahannya, militer
tampaknya memiliki trauma tersendiri terhadap Islam, khususnya mengingat pernah
adanya gerakan-gerakan/pemberontakan yang ingin mendirikan negara Islam.
Itulah sebabnya, untuk memperkuat kekuasaannya, Soeharto sungguh-sungguh
memegang militer (dan birokrasi) sebagai penyangga utama kekuasaannya. Donald K.
Emmerson23membandingkan model kekuasaan yang dilakukan Soeharto dengan
Amangkurat I (memerintah 1646-1677). Walaupun dalam kondisi sosial politik yang
berbeda, Amangkurat I secara sukses mampu membangun jaringan kekuasaannya
pada masa pra-kolonial setara dengan apa yang dilakukan Soeharto yang memerintah
dari 1966-1998.
Hal yang perlu digarisbawahi dari budaya politik Jawa yang menjadi orde tersebut
adalah terjadinya penghisapan kekuatan-kekuatan luar ke dalam tubuh
pemerintahan (sentralisasi kekuasaan). Terlepas dari munculnya beberapa implikasi,
yang jelas birokrasi negara atau pemerintahan tumbuh dengan demikian hebatnya.
Hampir tidak ada kekuatan yang aktif di luar pemerintahan Soeharto. Konsentrasi,
raja sebagai pusat makro-kosmos, yang menjadi ciri penting dari budaya politik
Jawa, memang tidak memperkenankan tumbuhnya kekuatan-kekuatan efektif di luar
genggaman penguasa. Sebab, itu berarti terjadinya distribusi kekuasaan, yang dalam
perspektif kekuasaan Jawa dianggap bisa menggerogoti kekuasaan pusat. Karena
itulah, justru di masa Orde Baru, partisipasi masyarakat, khususnya partisipasi politik,
mengalami krisis, atau pembekuan.24
Implikasi dari tidak adanya partisipasi politik adalah kehidupan demokrasi tidak
berjalan dengan baik. Dalam kondisi itulah, tepatnya pada tahun-tahun 1980-an dan
hingga 1990-an awal Indonesia, sekali lagi khususnya Yogya, mengalami kegairahan
22

Peter Britton dalam "Military Profesionalism in Indonesia: Javanese and Western Military Traditions
in the Army Ideology to the 1970's", (diambil dari Fachry Ali (1986) militer Indonesia, yang hampir
dapat dipastikan didominasi orang Jawa, secara umum berideologikan tradisi dan kebatinan Jawa
dengan konsep kesatriaannya. Dalam sejarahnya, kebatinan Jawa seperti memiliki ketidaksukaan
dan kecurigaan laten terhadap Islam. Bandingkan dengan Allan A. Samson, "Army and Islam in
Indonesia" dalam Pacific Affairs. Vol. XLIV. No. 4. 1971-1972. h. 555, mengatakan bahwa para
perwira militer pada masa awal Orde Baru memiliki ikatan yang kuat pada tradisi budaya Jawa
terutama mereka yang dari Diponogoro dan Brawijaya. Islam dianggap sebagai tandingan yang
dapat menggerogoti integritas budaya Jawa.
23
Donald K. Emmerson, "The Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strenght," dalam Karl
D. Jackson dan Lucian W. Pye, Political Power and Communications in Indonesia, 1978. h. 82-83.
24
Fachry Ali, 1986. h. 202-203.

dan kebangkitan sastra sufi. Kegairahan tersebut tidak harus dianggap sebagai
bentuk resistensi dari sekelompok masyarakat, utamanya para penyair, terhadap
kekuasaan Orde Baru. Akan tetapi, paling tidak kegairahan sastra sufi memberi
perimbangan wacana terhadap dinamika kultural dan politik terhadap kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Terlepas dari konteks yang mana dalam ikut
mengondisikan kehadiran sastra sufi tersebut, kompleksitas permasalahan yang
meliputi hal-hal tersebut tentulah cukup beragam dan sangat mungkin mengalami
beberapa reduksi.
4. Sastra Sufi (Yogya) dan Kekuasaan Politik Orde Baru
Yogya dikenal sebagai gudang sastrawan dan penyair Indonesia, walaupun akhirakhir ini mitos tersebut mulai berguguran. Yang jelas pada periode 1980-an hingga
1990-an awal, Yogya melahirkan banyak sastrawan terutama penyair. Beberapa di
antaranya yang menampakkan kecenderungan sufistik adalah Emha Ainun Nadjib,
Ahmadun Y. Herfanda, Abidah El Khaliqie, Matori A. Elwa, Abdul Wachid B.S.,
Hamdi Salad, Ulfatin Ch., Ahmad Syuhbanudin Alwi, Otto Soekatno C.R., dan Kuswaidi
Syafii, Amin Wangsitalaja untuk generasi yang lebih kemudian. Dalam banyak hal
mereka biasa disebut sebagai penyair santri.25
Nama-nama tersebut, dalam konteks kesastraan Indonesia bertaraf nasional, dan
dengan demikian, kehadiran mereka sangat signifikan dalam peta kesastraan
Indonesia dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Saya, karena keterbatasan ruang, berikut ini saya hanya mengambil tiga buah puisi
saja sebagai contoh. Dalam sebuah puisinya, Emha pernah menulis demikian; seperti
langit dan warna biru/ seperti sepi nenyeru/ Kekasih/ Kau kandung aku/ kukandung
Engkau/...../ hanya sunyi/ mengajari kita/ untuk/ tak mendua.26
Salah satu puisinya yang lain yaitu;Menderas di darah/ Aku yang lain, yang Allah//
Menderas, mengalir kepadaku/ Seperti aliran sungaiku ke lautnya/ Menderas,
menggelombang/ Seperti ombaknya pada airku// Kami ganti mengganti/ Saling
mengkau, mengia, mengaku// Kami berdenyut bagai satu/ Kami bergiliran bagai
dua// Kami menghilang, menjelma aku/ Sesukanya, sesuka kami, sesukaku//...27Dari
puisi tersebut terlihat bahwa Emha seolah berdiri di antara dua tradisi yaitu tradisi
suni dan filosifis.
Puisi lainnya adalah sebagai berikut. Aku berperan di bumi/ Berendam di kolamkolam dunia/ Sambil menatap cakrawala// Siapakah aku?/ Jangan cari di kolam/
Lacaklah ke cakrawala// Aku ruh tunggal/ Namaku beragam/ Petakku tiga
25

Istilah penyair santri, mengikuti Geertz (1981) ada dua pengertian. Pertama mereka yang berlatar
belakang pendidikan pesantren, dan kedua, menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam.
Dalam beberapa hal istilah santri yang saya maksudkan lebih dalam pengertian yang kedua. Namun,
bukan kebetulan jika para penyair yang disebutkan sebagian besar berlatar belakang pesantren, yang
nota bene berafiliasi pada tradisionalisme. Dalam beberapa hal tradisi pesantren sangat akrab dengan
sufisme.
26
Emha Ainun Nadjib puisi 5 dalam 99 Untuk Tuhanku, 1984. h. 7.
27
Puisi "Menderas" dalam Minuman Keras Nasibku, 1985-1987. h. 5

puluh enam// Jumlah sejuta/ Hanya bisa dihitung oleh satu angka/ Karena satu
berjuta jumlahnya// Lihatlah lendir peradaban/ Tulang belulang sejarah/ Mulai
kukuburkan// Aku belajar memenuhi ruang/ Belajar mengatasinya/ Merdeka
darinya// Merdeka dari waktu/ Aku tak menapak/ Di titian hukum// Kekal abadi/
Sebelum dan sesudah/ Tanpa sekarang dan nanti// Aku belajar tegak di sini/ Tak kau
awali tak kau akhiri/ Usia ruh di atas langit dan bumi.28
Berperan di Bumi adalah pengejawantahan konsepsi kekhalifahan manusia di dunia.
Sebagaimana diketahui, pengertian manusia sebagai khalifah di bumi adalah suatu
pengertian ideal manusia sebagai wakil Tuhan di dunia ini. Berperan di Bumi mengacu
pada hakikat pengejawantahan kekhalifahan tersebut, yaitu manusia sebagai wakil
Tuhan di bumi dengan potensi-potensi ilahiah yang diberikan padanya. Untuk itu ia
diberi Tuhan berbagai kelengkapan, "Diajarkan-Nya kepada manusia nama-nama
(benda-benda) seluruhnya" (QS. 2.31), dianugrahkan-Nya manusia dengan
kebebasan (memilih) dan ditambahkan-Nya pada diri manusia sifat-sifat uluhiyyah
(teomorfis), maka tak pelak manusia, tetap dengan kehendak bebasnya, memiliki
kemampuan sebagai 'perpanjangan tangan' Tuhan di dunia. Dari puisi ini tampak jika
Emha memiliki kecenderungan yang agak berat ke sunis.
Pada tingkat lebih lanjut konsepsi Khalifah Allah itu mengacu pada suatu kehadiran
Tuhan di tengah-tengah manusia dan ciptaan lainnya, yang biasa disebut Insan Kamil.
Dalam tradisi sufisme predikat tersebut hanya dikenakan untuk para nabi, dan waliwali pilihan-Nya. Namun, tidak tertutup kemungkinan jika manusia pada umumnya
berpeluang menjadi Insan Kamil. Dalam arti jika manusia tersebut mampu
mengaktualisasikan diri dengan cara mengejawantahkan kesadaran ketuhanan yang
menjadi dasar sifat manusia. Sesuai dengan arah pembahasan, tidak lain ketika
seorang manusia mampu menfanakan dirinya dan menjadi ada dalam kebakaan
Tuhan. Konsep menfanakan diri ini menjadi kunci menuju Insan Kamil, sejauh
memenuhi syarat-syarat syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat yang bersumber pada
ajaran Muhammad berdasarkan Quran dan Hadis.
Dengan demikian, tentulah berbeda dengan konsep kesatriaan (Manusia
Sempurna) yang dikembangkan mistisisme Jawa. Soeharto, dalam mengembangkan
konsep manusia sempurnanya, tidak mengacu pada tradisi sufisme yang diajarkan
oleh Islam sufistik suni, tetapi pada syarat-syarat yang ditunjukaan oleh ajaran Jawa,
khususnya piwulang dalam kisah-kisah pewayangan, maupun nasihat nenek moyang
Jawa Kraton yang cenderung sinkretis.
Ada kesan bahwa konsep kesatria (Manusia Sempurna) pada masa Orde Baru
mengalami manipulasi sehingga penekanan yang berlebihan pada kehendak Tuhan
menjadi salah satu ciri mistik Jawa, yang lebih menekankan aspek imanensi Tuhan
dalam diri para elit. Aspek pada ciri imanensi yang heterodoks, atau dalam bahasa
lain disebut abangan, dalam prilaku politiknya cenderung permisif. Dalam keterangan
Fazlur Rahman, kecenderungan ini tidak terbuka untuk pengecekan dan kontrol,
28

Puisi "Berperan di Bumi" dalam Syair Lautan Jilbab. 1989. h. 20-21.

karena definisinya yang demikian telah membuat ia tak mungkin bisa dikoreksi.29
Karena berposisi sebagai penguasa yang kuat, maka prilaku kekuasaan hampir tidak
mendapat kontrol sama sekali. Dampak dari tekanan yang berlebihan pada aspekaspek imanensi adalah terjadinya personalisasi kekuasaan. Kekuasaan yang personal
tersebut menjadi dirinya sendiri, dalam hal ini menjadi Soeharto itu sendiri.
Bisa jadi, dalam konteks inilah para penyair sufi, dengan ortodoksi yang lebih
menekankan pada aspek transendensi Tuhan, dalam banyak hal memberikan
perlawanannya, atau minimal perimbangan. Di sini kita tidak perlu
membayangkan bahwa sastra sufi akan merubah paradigma kekuasaan Orde Baru.
Karena kehadiran sastra sufi sendiri sebenarnya tidak terlepas dari apa yang disebut
bangkitnya politik dan dinamika Islam di Indonesia secara keseluruhan. Kalau
toh terjadi perubahan gaya kekuasaan Orde Baru, hal tersebut lebih sebagai pengaruh
dari desakan-desakan politik Islam yang semakin substantif dalam mengikuti
langgam kekuasaan yang dimainkan oleh Soeharto.
Pernyataan itu perlu dikemukakan karena memang ada kesan pada paruh pertama
1990-an negara lebih mengakomodasi Islam, khususnya dalam bidang politik,
misalnya dengan didirikannya ICMI pada akhir 1990 dan banyaknya pejabat tinggi
(mentri) dari golongan Islam (santri). Namun, banyak yang menyangka bahwa didirikannya ICMI tersebut justru untuk merangkul kekuatan Islam dalam tetap mempertahankan kekuasaan Soeharto. Pada dekade 1990-an tersebut, dinilai banyak pengamat, konspirasi Soeharto dengan militer mengalami keretakan. Hal ini terjadi karena
dalam tubuh militer semakin banyak pejabat tinggi militer yang tidak berorientasi
pada Islam abangan (kebatinan), sehingga secara spritual tidak lagi dapat dikendalikan
oleh Soeharto. Soeharto melihat hanya umat Islamlah yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung kekuasaannya.
Sebagaimana sedikit dirilis, kutipan puisi di atas memperlihatkan bahwa dimensi
sufistik puisi Emha Ainun Nadjib bukan sesuatu yang berkonotasi Tuhan sama
dengan zat dan sifat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya (alam semesta). Dalam
puisinya hanya memperlihatkan kesamaan dalam pengertian nilai atau kualitasnya
saja. Tuhan secara kualitatif memang imanen, tetapi yang pasti ia adalah sesuatu
yang transenden. Konsep ini tidak hanya memperlihatkan bahwa puisi seperti Emha
adalah sufisme suni, tetapi ada sisi-sisi lain dia sebagai orang Jawa juga
memperlihatkan kecenderungan filosofis.
Tulisan ini justru tidak mengutip puisi-puisi dengan muatan protes yang berang dan
meledak-ledak mengingat puisi-puisi pada tahun 1980-an hingga 1990-an cukup
banyak memperlihatkan kemarahannya kepada negara Orde Baru yang telah berlaku
sewenag-wenang. Akan tetapi, kita tahu, bahwa sebagian besar puisi-puisi protes
hanya menyenangkan di kuping dan hati karena secara tidak langsung seperti
mewakili perasaan hati kita yang juga gerah dan marah, tetapi ternyata tidak mampu
berbuat apa-apa.
29

Fazlur Rahman, Islam, 1997. h. 204.

Puisi-puisi sufi tidak memperlihatkan wajah yang garang dan melakukan protesprotes terbuka, karena hal demikian tidak menjadi bagian dari identitas sastra sufi.
Puisi sufistik, yang dalam hal ini diwakili oleh puisi Emha justru melakukan,
apa yang saya sebut sebagai perlawanan epistemologis, suatu perlawanan yang jauh
lebih dalam dan berakar. Hal ini seperti memperlihatkan kejadian pada masa-masa
sebelumnya, terjadinya pertarungan ulang antara tradisi kepustakaan Jawa
berhadapan dengan tradisi pesantren.
Tradisi kepustakaan pesantren Jawa, khususnya setelah abad 18 dengan jaringan
ulamanya, mengalami apa yang disebut sebagai intervensi sufisme suni bahkan
suniisasi, walaupun proses tersebut pastilah tidak pernah berjalan
sempurna.30Akan
tetapi,
dalam
beberapa
hal Shihab memperlihatkan
keberpihakannya tanpa memperhitungkan kekuatan tradisi budaya Jawa. Dengan
beberapa catatan yang lebih netral dalam melihat kekuatan tradisi budaya Jawa, dan
kekuatan doktrin wahdatul wujud, Azra justru secara umum setuju bahwa sufisme
suni memang sesuatu yang dominan di Indonesia. Akan tetapi, itu tidak mengurangi
bahwa sufisme filosofis tetap signifikan dalam Islam sufistik Indonesia, mengingat
ajaran tersebut pernah dominan pada abad ke-17 hingga ke-18.31 Artinya,
kekuasaan yang berbau filosofis tersebut mengalami perlawanan dari penyair-penyair
santri dengan paradigma suni. Penyair-penyair santri, dengan tradisi sastra
pesantrennya, mencoba melawan simbol-simbol manipulasi simbol-simbol
imanensi kekuasaan Tuhan yang hadir dalam kekuasaan rezim Orde Baru. Artinya,
tidak ada yang betul-betul mutlak berkuasa di muka bumi ini selain Tuhan. Tidak ada
yang perlu ditakuti di negara Indonesia ini selain kekuasaan Tuhan.
Cuma perlawanan itu tidak dapat berjalan sepenuhnya, karena kuatnya dominasi
sufisme filosofis (Islam Jawa) bukan saja tampak dalam kekuasaan Soeharto dengan
militer Orde Baru-nya, tetapi secara umum mendapat dukungan dari orang Jawa
(abangan) pada umumnya yang terbukti selalu memenangkan dominasi politik yang
tidak memberikan perhatian yang cukup serius terhadap cita-cita politik Islam.
Dan lagi, karena bawaan sufisme suni memang cenderung kompromis, khususnya
dalam konteks politik, maka sastra sufi Yogya, sejauh yang dapat dicatat hanya
memperlihatkan kegairahan dalam pengertian tekstual dan kultural belaka. Di masamasa kemudian, apakah perlawanan epistemolgis tersebut berdampak bagi 30
tuntutan-tuntutan reformasi politik, tentu membutuhkan kajian tersendiri yang lebih
serius.
Kajian ini dengan terpaksa tidak menganalisis persoalan bekunya kehidupan
demokrasi pada masa rezim Orde Baru, seperti sempat disinggung, dan bagaimana
30

Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik "Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia". 2001.
Lihat bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVII,1994. Fazlur Rahman, 1994, khususnya bab "Doktrin dan Praktik Sufi", h. 183-216,
menyebutnya sebagai satu masa yang disebut neo-sufisme (pembaharuan sufisme) yakni praktik sufisme
yang mensintesiskan syariat dan makrifat dengan tekanan pada etik dan moral.
31

sastra sufi memberi aspirasi terhadap persoalan tersebut. Hal itu menuntut
perbicaraan yang sedikit berbeda. Yang pasti berbagai perubahan dan karakter sosial
politis akan ikut menentukan "jenis" sastra sufi yang muncul mengimbangi jenis
kekuasaan politik yang sedang berlangsung. * * *