Patrimonialisme dalam Pemerintahan Orde baru

PAT R I M O N I A L I S M E DA L A M
P E M E R I N TA H A N O R D E B A RU,
1965-1998
Norman Joshua - 1006693823

”Sekarang kita punya stabilitas. Bahkan jika orang bilang kita tidak punya
demokrasi, itu tidak masalah karena kita punya stabilitas. Dan yang paling penting
dengan begitu terdapat perkembangan.” - Laksamana Sudomo, 1983.

Latar Belakang
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan salah satu titik penting
dalam sejarah politik di Indonesia. Insiden berdarah yang terjadi di ibukota
Republik beserta beberapa wilayah lainnya tersebut memiliki konsekuensi yang
besar terhadap konstelasi politik Indonesia pada saat itu, dimana tatanan kekuatan
politik berubah secara drastis dalam waktu yang singkat. Menurut apa yang
diterbitan oleh Pemerintah, peristiwa yang disebut sebagai coup d’etat tersebut
menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu partai terbesar di
Indonesia saat itu, sebagai dalangnya. Keruntuhan PKI berarti keruntuhan
Soekarno, sehingga hal ini berakibat dengan runtuhnya Orde Lama Soekarno serta
membuka jalan kepada munculnya Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto.

Secara garis besar, sistem birokrasi pemerintahan di masa pemerintahan
Orde Baru didominasi oleh kelompok militer. Pada dasarnya peran kelompok
militer di dalam birokrasi telah ada sejak masa Orde Lama. Hal ini tentunya tidak
lepas dari pendirian negara yang harus melalui suatu periode Revolusi Nasional
Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1949. Periode revolusi fisik ini

1

membentuk suatu etos kebersamaan yang kuat di antara para pemimpin militer. 1
Hal ini tentunya dapat terjadi karena tentara sejak awal sudah berjuang bersama
rakyat dan demi rakyat. Kemunculan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang lahir
di bawah tekanan Agresi Militer Belanda seakan memperkuat persepsi bahwa
tentara harus berjuang demi rakyat, bahkan terkadang harus mengambil alih peran
sipil dalam roda pemerintahan.
Peran militer di dalam birokrasi di Indonesia memiliki suatu dinamika
tersendiri. Dari waktu ke waktu, dominasi pihak militer menghadapi berbagai
tantangan. Tahun 1948 menandai sebuah titik tolak dalam peran militer, dimana
pada saat itu TNI mengalami Reorganisasi-Rasionalisasi yang dimotori oleh
pemerintahan kabinet Mohammad Hatta. Salah satu konsekuensi dari kebijakan
ini adalah Pemberontakan Madiun 1948 dan beberapa peristiwa lainnya.

Penandatanganan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada AgustusNovember 1949 juga membawa dampak terhadap posisi militer dalam birokrasi.
TNI harus menyerap sebagian besar personil Koninklijke Nederlands Indische
Leger (KNIL) yang akan dibubarkan. Proses ini tentunya mengalami perlawanan
dari berbagai pihak, salah satunya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 yang terkenal
itu. Insiden ini menunjukkan bahwa kelompok militer memiliki andil besar dalam
jalannya pemerintahan.
Pada periode Demokrasi Terpimpin, militer semakin memperkuat dirinya
di dalam birokrasi. Hal ini diperparah oleh kemunculan Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia. Terjadinya suatu
persaingan kekuatan antara kelompok PKI dan kelompok militer di dalam
dinamika politik Republik. Puncaknya adalah peristiwa Gerakan 30 September
1965, dimana TNI kehilangan enam perwira tertingginya dalam apa yang disebut

1 David Jenkins. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim Militer Indonesia 1975‐1983. 

(Jakarta : Komunitas Bambu, 2010), Hlm. 1. 

2

sebagai sebuah riak di tengah samudera revolusi oleh Presiden Soekarno.2 Setelah

peristiwa tragis tersebut, peran militer dalam pemerintahan mengalami
transformasi besar yang berujung kepada tatanan birokrasi Orde Baru.
Orde Baru : Peran Soeharto sebagai Tokoh Sentral Pemerintahan
Periode masa Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1965 hingga 1998
ditandai dengan dominasi Soeharto sebagai presiden di dalam pemerintahan.
Posisi menonjol Presiden Soeharto menjadi salah satu fenomena paling mencolok
untuk menggambarkan pemerintah pada masa Orde Baru. Pemerintahannya
didukung oleh kelompok militer, dimana kelompok ini menjadi ekstensi daripada
peran Soeharto dalam menjalankan pemerintahan. Soeharto mendominasi hampir
seluruh elemen pemerintahan, baik dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Peran
Soeharto digambarkan oleh David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal
Orba.
Soeharto bahkan melebihi seorang primus inter pares dalam
kepemimpinan kolegial militer AD... ....Ia mendominasi ABRI serta
menguasai sepenuhnya Menteri Pertahanan dan Keamanan serta
Panglima Kopkamtib.... ....Ia menentukan anggota MPR yang dipastikan
memilih dirinya sebagai presiden untuk lima tahun berikutnya....
Soeharto merupakan tokoh sentral di Golkar. Geliat kekuasaannya
menembus setiap departemen dan masuk ke dalam seluruh
perusahaan negara. Ia merangsek sampai ke bawah, apabila ia

menghendaki, sampai ke setiap desa. Dengan singkat ia menjadikan
dirinya sebagai tokoh raksasa dalam masyarakat Indonesia yang
sangat menghormati otoritas secara mendalam.3

Posisi Soeharto yang mendominasi pemerintahan ini tentunya tidak bisa
bekerja dengan sendirinya, karena administrasi sebuah negara tidak dapat berjalan
tanpa adanya suatu birokrasi. Bentuk birokrasi yang diusung oleh Soeharto
2 John Roosa, Pretext to Mass Murder : The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’etat 

in Indonesia. (Madison : The University of Wisconsin Press, 2006), Hlm. 37.
3 David Jenkins. Op.cit. Hlm. 18.

3

memiliki wujud yang sangat rigid dan sentralistik, dimana proses pemerintahan
didominasi oleh kelompok militer yang ditempatkan di berbagai posisi di dalam
birokrasi melalui doktrin Dwifungsi ABRI yang dicanangkan oleh Jenderal A.H.
Nasution.
Pemerintahan Orde Baru Soeharto memiliki dua ciri utama, yaitu
depolitisasi massa dan politik yang dijalankan oleh sebagian kecil golongan elit

masyarakat. Tekanan dari kelompok militer menjadi faktor utama yang membuat
masyarakat teralienasi dari perpolitikan. Selain itu kontrol golongan elit, dalam
hal ini sekelompok perwira militer yang dekat dengan Soeharto, memiliki peran
tersendiri dalam birokrasi. Meskipun penyebaran kekuasaan di dalam Orde Baru
difasilitasi oleh tekanan terhadap kelompok oposisi, tetapi metode kontrol sosial
inti dalam pemerintahan adalah sikap patron-client yang kental.
Kontrol Soeharto terhadap pemerintahan dijalankan oleh sekelompok
orang yang disebut sebagai “Kelompok Inti” di sekitar Soeharto, seperti yang
dielaborasikan oleh Jenkins :
Pada pertengahan tahun 1970-an, kelompok ini terdiri dari Jenderal
Maraden Panggabean, Menteri Pertahanan dan Keamanan serta
Panglima ABRI; Letnan Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam
Negeri; Letnan Jenderal Yoga Sugama, Kepala BAKIN; Letnan Jenderal
Ali Murtopo, Wakil Kepala BAKIN; Laksamana Sudomo, Kepala Staf
Kopkamtib; Mayor Jenderal L.B. Moerdani, Asintel Menteri
Pertahanan; Letnan Jenderal Sudharmono, Menteri Sekretaris
Negara; Letnan Jenderal Darjatmo, Kepala Staf urusan nonmiliter
Menteri Pertahanan; Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, Presiden Direktur
Pertamina dan dua orang lainnya.4
Sebagian besar dari tokoh-tokoh ini adalah rekan Soeharto, kamerad yang

berjuang bersama Soeharto sejak masa Revolusi. Dominasi kelompok perwira ini
pada akhirnya mulai surut setelah terjadi regenerasi pada tahun 1970-an, dimana

4 David Jenkins. Op.cit. Hlm 26.

4

Jenderal L.B. “Benny” Moerdani menjadi tokoh sentral dalam urusan keamanan
dan intelijen di Indonesia.
Melalui sederetan tokoh-tokoh dekat ini, Soeharto dapat memproyeksikan
otoritasnya terhadap seluruh jajaran birokrasi. Meskipun di dalam kelompok ini
terdapat suatu rivalitas antar tokoh sendiri, contohnya seperti kelompok Ali
Murtopo dan kelompok Sudharmono, Soeharto mengendalikan mereka dengan
cara memecah-belah kesatuan mereka. Melalui cara itu, siapapun yang pada saat
itu berpotensi atau ingin menjadi oposisi Soeharto dapat dikendalikan secara
efektif.
Kontrol politik Soeharto terhadap ekonomi dapat dikatakan bergantung
kepada kelompok pengusaha kelas menengah yang sebagian besar adalah etnis
Cina. Kita dapat melihat peran besar dua pengusaha yang telah lama menjadi
rekan Soeharto, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan yang menjadi konglomerat di

periode Orde Baru. Kedua taipan ini dapat membangun perusahaannya melalui
dukungan yang diberikan oleh rezim Orde Baru yang berwujud pinjaman dana
hingga kebijakan monopoli. Pola pengembangan ekonomi di masyarakat pada saat
itu didominasi oleh kemunculan para “konglomerat lokal” yang memiliki koneksi
dengan perwira militer serta tokoh-tokoh tertentu.5
Wujud formal daripada dominasi militer dalam dinamika perpolitikan
Indonesia adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Golkar. Pada awalnya
Golkar bukanlah sebuah partai politik, tetapi pada pemilihan umum tahun 1971,
Golkar dapat mendapat 63 persen suara.6 Golkar dapat memperoleh jumlah yang
signifikan ini melalui dukungan militer dan aparat pemerintahan. Sebelum
pemilihan umum, banyak calon pemilih yang mendapat tekanan dari kalangan
5 John T. Sidel. Macet Total : Logics of CirculaMon and AccumulaMon in the Demise of Indonesia’s 

New Order. Indonesia No.66. October 1998. Hlm. 166.
6 Harold Crouch. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. World PoliTcs Vol 31 No.4. July 

1974. Hlm. 576.

5


militer agar tidak memilih lawan politik Golkar. Dengan cara ini, pemerintah
Soeharto dapat mengendalikan sebagian besar lawan politiknya dengan cara
meredam pendukungnya. Bahkan setelah Pemilu 1971, pemerintah sempat
mengeluarkan perintah untuk melarang kegiatan partai di tingkat desa.7
Konsep pemerintahan Orde Baru sangatlah sentralistik, dimana hampir
seluruh kekuasaan berpusat pada Soeharto dan orang-orang terdekatnya. Peran
Soeharto sebagai pemimpin diproyeksikan kepada masyarakat melalui para
perwiranya yang melaksanakan kontrol sosial yang cukup ketat. Integrasi
kepemimpinan antara politik dan militer dapat dilaksanakan melalui penempatan
jenderal-jenderal dan perwira militer ke dalam birokrasi sipil. Kolaborasi antara
militer di ABRI dan Departemen Dalam Negeri juga kian memperketat kontrol
tersebut melalui suatu hierarki yang sudah tersedia di struktur pemerintahan.
Selain itu, perkembangan ekonomi Indonesia juga dapat diawasi secara ketat
melalui sebuah simbiosis mutualisme antara para konglomerat dengan para
pejabat sipil dan perwira militer. Periode Orde Baru di Indonesia merupakan
sebuah masa pemerintahan yang otoriter, dimana sebuah pemerintahan otoriter
biasanya memiliki suatu ciri khas tersendiri. Pemerintah yang otoriter biasanya
memiliki ciri yang diwariskan dari periode pra-kolonial, yaitu faktor
patrimonialisme yang kuat.8
Patrimonialisme dalam Struktur Birokrasi Orde Baru : Sebuah

Analisis
Patrimonialisme adalah sebuah wujud pemerintahan autokrasi yang
bersifat otoriter. Seorang sosiolog dari Yale University menyimpulkan bahwa
patrimonialisme hanyalah sebuah nama lain dari pemerintahan yang berpusat
kepada sebuah kelompok sosial dan sekutu-sekutunya. Patrimonialisme

7 Harold Crouch. Ibid. 
8 Harold Crouch. Op.cit. Hlm 571.

6

merupakan pemerintahan yang patriarkis, dimana puncak kekuasaan dikendalikan
secara turun temurun.9 Sedangkan apabila kita merujuk kepada buku Origins of
Political Order karya Francis Fukuyama, patrimonialisme disebut sebagai sebuah
pemerintahan yang mendasarkan rekrutmen kader atau birokratnya kepada faktor
hubungan darah (kin selection) dan sebuah siklus altruisme.10 Patrimonialisme
kerap terlihat di negara-negara yang memiliki sejarah tradisi aristokratik yang
kuat.
Patrimonialisme dapat dikatakan merupakan salah satu ciri khas daripada
pemerintahan otoriter di dunia. Sebagian besar pemerintahan otoriter atau diktator

di Asia Tenggara memiliki sifat patrimonialisme yang kental. Pada masa Orde
Baru, kita dapat melihat bahwa Soeharto membawa suatu elemen patrimonialisme
yang diturunkan dari tradisi-tradisi Jawa. Peran aristokrasi dalam pemerintahan
dapat terlihat dari peran sentral Soeharto dan “Kelompok Inti” yang mendominasi
sistem birokrasi Indonesia. Meskipun hal ini terdengar sangat sentralistik, tetapi
Soeharto berhasil memproyeksikan kekuasaannya hingga ke wilayah pedesaan,
dimana tentunya hal ini tidak bisa lepas dari peran militer dan aparatur negara
yang didominasi olehnya. Sedangkan di bidang ekonomi, sikap patron-client
tercipta antara para konglomerat yang dapat dikatakan menguasai jalannya
ekonomi Indonesia, serta para perwira militer dan birokrat yang berkolaborasi
dengan mereka.
Sesuai dengan semangat zamannya, pada saat itu pemerintahan otoriter
Orde Baru yang kental dengan patrimonialismenya dilihat sebagai sebuah solusi
yang cemerlang bagi sebagian masyarakat Indonesia yang “gelisah secara politik”.
Pemerintah militer yang otoriter menjadi sebuah jalan keluar dari krisis politik
9 The American Academy of PoliTcal and Social Science. Julia Adams and Liping Wang : Bridging 

the Gap between China and Europe. hWp://aapss.org/the‐annals/recent‐volumes/2011/08/11/
julia‐adams‐and‐liping‐wang‐bridging‐the‐gap‐between‐china‐and‐europe. Diakses pada 2 Juni 
2013.

10 Francis Fukuyama, The Origins of PoliMcal Order. (New York : FSG Books, 2012), Hlm. 439.

7

dan ideologi yang melanda Indonesia selama berpuluh-puluh tahun pada masa
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Isu stabilitas yang diusung oleh
Orde Baru sangat populer di sebagian masyarakat, terutama kalangan militer dan
elit politik oposisi yang nasibnya dapat dikatakan tidak menentu pada masa
Soekarno. Tetapi bagi oposisi Soeharto -- sebagian besar didominasi oleh
pendukung Soekarno dan kelompok kiri -- kemunculan Orde Baru menjadi sebuah
mimpi buruk politik.
Apabila ditinjau dari sisi positifnya, tentunya pemerintahan Soeharto
yang patrimonial ini membawa efek positif dan negatif kepada situasi politik
Indonesia. Efek positif yang paling dominan daripada kemunculan Orde Baru
adalah adanya suatu stabilitas politik di Tanah Air. Stabilitas politik ini tercermin
dari munculnya pembangunan dan berkurangnya mobilitas politik massa.
Pergerakan massa dari segi politik berkurang drastis karena mereka teralienasi
dari perpolitikan oleh tekanan yang diberikan tentara terhadap kelompokkelompok oposisi. Dalam menjalankan hal ini, tentunya peran intelijen dan tentara
di masyarakat sangatlah berpengaruh bagi terwujudnya stabilitas politik.
Birokrasi di dalam pemerintahan Republik dapat dikatakan membaik
pada tahun-tahun pertama Orde Baru. Dominasi militer di dalam birokrasi
menciptakan suatu keadaan yang rigid, sehingga sebagian besar konflik-konflik
kepentingan hanya terdapat di golongan elite.11 Peran militer membawa
keteraturan kepada birokrasi, mulai dari hal-hal sederhana seperti peraturan wajib
apel setiap hari senin, dan wajib menggunakan batik Korpri, hingga peraturan
yang politis seperti peran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pemilihan Umum,
dimana mereka diwajibkan untuk memilih Partai Golkar yang notabene
merupakan partai pemerintah pada saat itu. Dukungan masyarakat dijamin melalui
diseminasi informasi dalam bentuk indoktrinasi, contohnya seperti program P4

11 Harold Crouch, Op.cit. Hlm 578. 

8

bagi calon birokrat dan program-program rakyat seperti Kelompencapir di
wilayah pedesaan.
Sisi negatif dari birokrasi Orde Baru adalah faktor patrimonialisme yang
meresap ke dalam birokrasi. Sejak masa pra-kolonial, masyarakat Indonesia
memiliki tempat tersendiri bagi patrimonialisme. Sikap masyarakat yang masih
terbuka kepada pola hubungan patron-client membuat implementasi kekuasaan
yang tadinya dikendalikan oleh sekelompok elit politik, dalam hal ini kaum
militer, dapat diadaptasi oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, dinamika dan
perubahan yang bergulir di segi ekonomi serta politik juga menjadi elemen
tersendiri yang mengganggu stabilitas patrimonialisme Orde Baru. Hal ini dapat
terjadi karena pada dasarnya patrimonialisme hanya dapat berjalan dengan baik
saat suatu kondisi politik dan ekonomi suatu negara dapat dikatakan stabil.12
Kesimpulan
Max Weber menyebutkan bahwa patrimonialisme hanya membuat negara
menjadi ladang perburuan bagi penguasa yang sedang mencari keuntungan.13 Hal
ini tentunya tidak sesuai dengan visi sebuah birokrasi yang ideal. Bentuk birokrasi
yang ideal membutuhkan setidaknya sembilan faktor, yaitu adanya partisipasi
dalam pembuatan keputusan, persamaan di mata hukum, distribusi pendapatan
secara adil, persamaan dalam memperoleh pendidikan, adanya tipologi kebebasan,
adanya keterbukaan informasi, mengindahkan fatsoen atau tata-krama dan etika
politik, menghargai kebebasan individu, dan adanya hak protes.
Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa pelaksanaan birokrasi di
masa Orde Baru tidak dapat memenuhi bentuk birokrasi yang ideal secara umum.
Hal ini terjadi karena adanya aspek patrimonialisme dalam sistem pemerintahan.
Apabila dikomparasi dengan masa Demokrasi Terpimpin, memang Orde Baru
12 Harold Crouch, Op.cit. Hlm. 579.
13 Harold Crouch, Op.cit. Hlm. 580.

9

memberikan solusi terhadap masalah yang telah lama melanda pemerintahan
Indonesia, yaitu stabilitas politik. Tetapi, stabilitas politik pada masa Orde Baru
ini hanya dapat terjadi karena adanya perkembangan ekonomi dan depolitisasi
massa. Kedua hal tersebut menjadi tulang punggung bagi sebuah pemerintahan
yang patrimonial.
Posisi faktor perkembangan ekonomi dan depolitisasi sebagai tulang
punggung pemerintahan Orde Baru terbukti menjadi sebuah dilema tersendiri.
Weber menyatakan bahwa pemerintah yang patrimonial pada dasarnya bersifat
menghalang-halangi (obstructive) bagi perkembangan kapitalisme yang berbasis
kepada produksi, dimana hal ini menjadi faktor penting bagi industrialisasi yang
notabene sangatlah penting untuk menjaga agar ekonomi Indonesia tetap
berkembang dan kompetitif.14 Birokrasi patrimonialistik tentunya tidak dapat
mengakomodasi hal ini karena sifatnya yang eksklusif dan otoriter.
Pada akhirnya, Soeharto harus meregenerasi kaum elit politiknya dengan
kelompok yang lebih muda. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam hal ini
adalah Jenderal L.B. “Benny” Moerdani. Benny Moerdani menjadi salah satu
tokoh terkuat di Indonesia pada periode 1970-an melalui pengaruhnya di pucuk
pimpinan ABRI dan komunitas masyarakat intelijen di Indonesia. Pada akhirnya
berbagai perubahan lainnya juga harus dilaksanakan oleh Soeharto, dimana
perubahan ini memiliki tendensi terhadap regularisasi di dalam birokrasi
Indonesia. Di sisi lain, tuntutan masyarakat terhadap keterbukaan informasi serta
politik menjadi elemen penting lain yang menandai periode akhir masa
kepemimpinan Soeharto. Pada akhirnya, kombinasi dari kedua hal ini dapat
membuka jalan bagi kejatuhan Soeharto dan Orde Baru-nya pada peristiwa
Reformasi tahun 1998.

14 Max Weber, dikuTp dalam Harold Crouch, Op.cit. Hlm. 587.

10

Daftar Pustaka

Fukuyama, Francis. The Origins of PoliMcal Order. New York: FSG Books, 2012.
Crouch, Harold. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. World PoliTcs, Vol 
31 No.4. (Jul., 1974).
Jenkins,  David.  Soeharto  dan  Barisan  Jenderal  Orba  :  Rezim  Militer  Indonesia 
1975‐1983. Jakarta : Komunitas Bambu, 2010.
Roosa,  John.  Pretext  to  Mass  Murder  :  The  September  30th  Movement  and 
Suharto’s Coup  d’etat in  Indonesia. Madison : The University  of Wisconsin Press, 
2006.
Sidel, John T. Macet Total : Logics of CirculaMon and AccumulaMon in the Demise 
of Indonesia’s New Order. Indonesia, No.66. (Oct. 1998).
The American Academy  of  PoliTcal  and  Social  Science.  Julia  Adams  and  Liping 
Wang  :  Bridging  the  Gap  between  China  and  Europe.  hWp://aapss.org/the‐
annals/recent‐volumes/2011/08/11/julia‐adams‐and‐liping‐wang‐bridging‐the‐
gap‐between‐china‐and‐europe. Diakses pada 2 Juni 2013.

11