Perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur pada masa kh. Abdul Latif Madjid (1989-2015).

(1)

PERKEMBANGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH DI KELURAHAN BANDAR LOR MOJOROTO KEDIRI JAWA TIMUR

PADA MASA KH. ABDUL LATIF MADJID (1989-2015)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

SA’ADAH SULISTYAWATI

(A02213086)

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: “Perkembangan Sholawat Wahidiyah di Kelurahan

Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur Pada Masa KH. Abdul Latif Madjid (1989-2015)”. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana Biografi KH. Abdul Latif Madjid? 2) Bagaimana Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid? dan 3) Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Perkembangan Sholawat Wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid?.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode sejarah. Adapun metode penulisan sejarah yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan beberapa langkah yaitu heuristik (mengumpulkan arsip-arsip terkait dengan perkembangan sholawat wahidiyah), verifikasi (kritik terhadap data), interpretasi (penafsiran), serta historiografi (penulisan sejarah). Sedangkan pendekatan dan teori yang digunakan adalah pendekatan sejarah (mendeskripsikan peristiwa pada masa lampau) dan teori yang digunakan yaitu teori kepemimpinan, teori peran dan teori tingkah laku kumpulan masa (collective behavior).

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, 1) KH. Abdul Latif Madjid lahir di lingkungan pesantren pada tanggal 15 Agustus 1952. Setelah tamat sekolah beliau membentuk organisasi-organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan moral kaum muda. 2) perkembangan sholawat wahidiyah pada saat kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid sangat berkembang pesat, baik di bidang pendidikan, ekonomi, maupun jumlah pengamal sholawat wahidiyah. Di bidang peendidikan menambahkan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Wahidiyah (STIEWA) pada tahun 1998 yang pada tahun 2015 berubah menjadi Universitas Wahidiyah (UNIWA). Di bidang ekonomi mengangkat perekonomian para pengamal dengan membentuk koperasi wahidiyah dan ekspo wahidiyah pada saat mujahadah kubro serta meluasnya jumlah pengamal dari dalam negeri hingga luar negeri. 3) pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid antara lain: dari tokoh masyarakat (Drs. R. Dani Budi Pulasto selaku Kepala Desa Kelurahan Bandar Lor, Didit Prihantoro, S. H, M.H selaku Kapolsek Mojoroto Kediri, Bapak Hanafi selaku Modin Kelurahan Bandar Lor), dari kalangan keluarga (Hj. Sholihah selaku Istri KH. Abdul Latif Madjid, Hj. Tutik Indiyah selaku Adik KH. Abdul Latif Madjid, Abdul Madjid Ali Fikri, M.Hum selaku Putra KH. Abdul Latif Madjid), dan dari kalangan santri (Amel Amilia, Binti Nafisatin, dan Nilna Muna selaku santri Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh). Mereka semua berpandangan bahwa pada umumnya perkembangan sholawat wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid sangat baik, karena bisa mengangkat perekonomian para pengamal maupun masyarakat sekitar Bandar Lor. Dalam bidang pendidikan sistem pengajarannya semakin maju serta jumlah pengamal sholawat wahidiyah hingga ke luar negeri.


(7)

ABSTRACT

This undergraduate thesis under title: “Development of Sholawat Wahidiyah in Bandar Lor Mojoroto Village Kediri Regency East java on KH. Abdul Latif Madjid era (1989-2015)”. Research questions in this undergraduate are: 1) how is biography of KH. Abdul Latif Madjid? 2) How is Sholawat Wahidiyahunder guidance of KH. Abdul Latif Madjid? and 3) How are society’s

point of view about development of Sholawat Wahidiyah on KH. Abdul Latif Madjid era?

To answers question above researcher used historical method. Historical method used some steps of heuristic (collecting files related with development of

Sholawat Wahidiyah), verification (critics of data), interpretation and historiography (historical writing). This undergraduate thesis used theory and approach; theory used is leadership theory, role theory, and action of collective theory and historical approach used to describe events in the past.

In this research we can conclude that: 1) KH. Abdul Latif Madjid was born in the boarding school area on August 15th 1952. After graduate from senior high school, he creates organizations which have purposes to increase moral value of the youth. 2) The development of sholawat wahidiyah at the time of leadership KH. Abdul Latif Madjid is very rapidly growing, both in the field of education, economics, and the number of pengamal sholawat wahidiyah. In the field of education add Wahidiyah high school of economics in 1998 (STIEWA) and in 2015 turned into higher education of Wahidiyah University (UNIWA). The economic field raised the economy of the pengamal with the existence of

wahidiyah cooperative and expo wahidiyah at the time of mujahadah kubro and the extent of the number of pengamal from domestic to abroad. 3) People's point of views on the development of sholawat wahidiyah during KH. Abdul Latif Madjid, among others: from community leaders (Drs R. Dani Budi Pulasto as village head urban Bandar Lor, Didit Prihantoro, S. H, MH as commissioner of police in Mojoroto police, Mr. Hanafi as modin urban Bandar Lor) Family (Hj Sholihah as wife KH Abdul Latif Madjid, Hj Tutik Indiyah as sister KH Abdul Latif Madjid, Abdul Madjid Ali Fikri, M.Hum as Son KH Abdul Latif Madjid), and from among students (Amel Amilia, Binti Nafisatin, and Nilna Muna as student of Islamic boarding school Kedunglo Al-Munadhoroh). All of them are said that development of sholawat wahidiyah during KH. Abdul Latif Madjid very good, because develop of economy not only for the fellow but also for the people around Bandar Lor urban. In the field of education the teaching system is more advanced and the number of wahidiyah to abroad.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... .xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 8

F. Peneliti Terdahulu ... 11

G. Metode Penelitian... 15

H. Sistematika Bahasan... 18

BAB II : BIOGRAFI KH. ABDUL LATIF MADJID A. Latar Belakang Keluarga... 21

B. Genealogi KH. Abdul Latif Madjid ... 22

C. Riwayat Pendidikan KH. Abdul Latif Madjid ... 26

D. Prestasi KH. Abdul Latif Madjid ... 28

BAB III : SHOLAWAT WAHIDIYAH DI BAWAH KEPEMIMPINAN KH. ABDUL LATIF MADJID A. Asal-usul Sholawat Wahidiyah ... 33

B. Ajaran Sholawat Wahidiyah ... 42


(9)

2. Ajaran Billah ... 49

3. Ajaran Lirrasul ... 50

4. Ajaran Birrasul ... 51

5. Ajaran Lilghauts ... 53

6. Ajaran Bilghauts... 54

7. Yu„ti Kulla Dzī Ḥaqqin Ḥaqqah ... 56

8. Taqdīimul Aham Fal Aham Tsummal Anfa’ ... 59

C. Perkembangan sholawat wahidiyah pada masa kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid ... 60

1. Periode sebelum KH. Abdul Latif Madjid ... 60

2. Periode Tahun 1989-1999 M ... 62

3. Periode Tahun 1999-2009 M ... 65

4. Periode Tahun 2009-2015 M ... 67

BAB IV : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PERKEMBANGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH PADA MASA KH. ABDUL LATIF MADJID A. Kalangan Tokoh Masyarakat ... 74

B. Kalangan Keluarga ... 77

C. Kalangan Santri ... 80

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Shalawat dalam arti bahasa berasal dari kata salla atau salat yang berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah. Salah satu sholawat yang dijadikan tuntunan oleh sebagian umat muslim yakni sholawat wahidiyah. Sholawat wahidiyah merupakan salah satu gerakan tasawuf lokal di Indonesia yang mengedepankan akhlakul karimah dengan mengamalkan pujian-pujian kepada Rasulullah Muhammad SAW. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam bertasawuf. Sholawat Wahidiyah sebagaimana sholawat yang semestinya yakni, Sholawat yang mengandung doa-doa kepada Allah swt untuk Nabi Muhammad SAW.1

Allah swt menganjurkan kepada manusia bahkan para malaikat untuk senantiasa bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, baik berdoa maupun dalam bentuk kondisi-kondisi yang lain. Anjuran tersebut memiliki landasan dalam Alquran.

                      Artinya:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi[1229]. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.2

1

Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Salawat Wahidiyah (Yogyakarta: LkiS, 2008), 118.

2


(11)

2

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa membaca sholawat kepada Nabi sangat dianjurkan. Sholawat wahidiyah disebut sebagai “gerakan tasawuf lokal, karena tidak bisa dilepaskan dari bacaan-bacaan yang menjadi khas dari sholawat wahidiyah yang lahir menurut inisiatif seorang guru “lokal”, yang memiliki jalan tersendiri dalam bertasawuf, yang kemudian menurunkan atau mengijazahkan secara umum. Berturut-turut santri pondok kedunglo banyak yang mengamalkannya. Para santri itulah yang kemudian membawa dan mengirimkan bacaan sholawat wahidiyah ke banyak ulama atau kyai agar bisa diamalkan oleh masyarakat setempat. Ijazah mengamalkan yang beliau berikan adalah „ijazah mutlak’, artinya disamping diamalkan sendiri supaya dapat ditularkan atau disampaikan kepada orang lain.3

Sholawat wahidiyah merupakan seluruh rangkaian amalan yang tertulis dan terkandung di dalam lembaran sholawat wahidiyah, termasuk cara-cara dan adab-adab pengamalannya, bacaan-bacaan dan memiliki tata cara pembacaan tersendiri, segala kandungan yang terdapat didalamnya termasuk al-fatihahnya. Meskipun beberapa sisi dari sholawat wahidiyah ini berbeda dengan macam sholawat-sholawat lainnya, tetapi kandungan ajaran yang ada didalamnya yang menjadi inti (berdoa untuk Nabi Muhammad SAW), sama sekali tidak berbeda.

Sholawat wahidiyah sebagai seperangkat bimbingan lahiriyah dan batiniyah yang berpedoman kepada Alquran dan Hadist dalam hal

3

Tim perumus, Bahan Up Grading Da’I Wahidiyah(Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, 2007), 5.


(12)

3

peningkatan iman, pelaksanaan Islam, perwujudan Ihsan, serta pembentukan moral atau akhlaq dan mencakup syariat, hakikat, makrifah serta dilengkapi dengan akhlak. Bimbingan praktis yang terdapat di sholawat wahidiyah meliputi segala bentuk kegiatan hidup dalam hubungan manusia terhadap Allah SWT, dan hubungan manusia di dalam kehidupan masyarakat sebagai insan sosial.

Di tengah kehidupan masyarakat yang telah kehilangan pegangan hidupnya, muncul seorang tokoh yang sangat perhatian akan kelangsungan keselamatan kehidupan masyarakat di dunia dan akhirat. Beliau adalah KH. Abdoel Madjid Ma’roef, seorang ulama’ sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, Bandar Lor, Kediri. Keprihatinan KH. Abdoel Madjid Ma’roef terhadap kondisi kehidupan manusia yang semakin jauh dari Allah SWT dibuktikan dengan riyaḍah yang begitu luar biasa beliau lakukan. Segala jenis dan macam doa beliau amalkan untuk memperbaiki atau membangun mental (akhlak) manusia yang hampir berada di jurang kehancuran lewat Jalan Batiniyah. Dengan kesungguhan KH. Abdoel Madjid Ma’roef dalam bermunajat kepada Allah SWT, sekitar awal bulan Juli 1959 beliau menerima suatu “alamat gaib” dengan istilah beliau disebut Yaquḍatan (sadar dan terjaga), bukan dalam keadaan mimpi.4

Setiap manusia dari bangsa apa saja dan dari lingkungan manapun juga pasti ingin kepada kejernian hati, kesejahteraan batin, dan ketentraman jiwa untuk membangun kehidupan yang selamat dan bahagia

4


(13)

4

lahir batin di dunia sampai di akhirat. Maka ajaran KH Abdoel Madjid Ma’roef merupakan ajaran yang berdasarkan Alquran, al-Hadis serta ijma’ para ulama’ terdahulu.5

Sejauh yang dapat diamati fakta menarik, pada diri KH Abdul Latif Madjid penerus ayahnya menunjukkan sosok pribadi yang kharismatik dan amanah tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Dalam kehidupan sehari-hari, KH Abdul Latif Madjid seorang yang fleksibel. Pada saat hadir ditengah-tengah jamaah sholawat wahidiyah, penampilannya layaknya para kyai dan ulama pada umumnya. Mengenakan juba putih, kopyah, dan sorban. KH Abdul Latif Madjid dapat dengan mudah menyesuaikan diri kepada masyarakat. Pada saat menemui santri, jamaah, atau tamu lainnya, KH Abdul Latif Madjid memanfaatkan rumah pribadinya sebagai media pertemuan.

Sholawat wahidiyah di Pondok Pesantren Al-Munadhoroh (masyarakat sekitar Kediri mengenalnya dengan sebutan kedunglo) di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri mengalami perkembangan pada masa pengasuh ke-3 yakni KH. Abdul Latif Madjid. Pada masa beliau, Pesantren Kedunglo mengembangkan sistem managerial secara modern. Dengan komando tunggal dari pengasuhnya, perkembangan Pesantren Kedunglo dan penyiaran sholawat wahidiyah menjadi sangat fenomenal. Baik dari luasnya bidang perjuangan, luas jangkauan wilayah maupun perkembangan jumlah santri dan jamaah.

5

Tim Upgrading, Dai Wahidiyah Bag. A(Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Podok


(14)

5

Hal ini terbukti di bidang pendidikan terbentuk pendidikan formal play group sampai dengan perguruan tinggi, di bidang ekonomi terbentuk koperasi-koperasi wahidiyah, dan luasnya bidang perjuangan mulai dalam negeri sampai luar negeri. Dengan demikian sholawat wahidiyah, tidak hanya memperhatikan masalah kerohaniahan saja, meski masalah rohani menjadi prioritas utama. Akan tetapi bidang-bidang dhahiriyah seperti pendidikan, ekonomi, manajemen tetap menjadi perhatian mengingat bidang ini dapat mendukung terhadap masalah kerohaniahan.

Sedangkan tujuan dari sholawat wahidiyah tersendiri adalah agar pengamal sholawat wahidiyah dapat tenggelam kedalam lautan tauhid dan merasakan segala gerak geriknya selalu dalam pengawasan Allah SWT sehingga terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Sikap dan perilaku yang terjadi pada waktu mengamalkan dengan cara menangis, meratap, lebih disebabkan teringatnya akan dosa-dosa yang mereka lakukan dan selanjutnya menuntun mereka kepada taubat dan melakukan „amar ma’ruf nahi mungkar’.

Dari penelitian ini penulis fokuskan dengan biografi KH. Abdul Latif Madjid. Bukan hanya biografi saja melainkan dengan perkembangan pada masa kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid mulai tahun 1989 sampai dengan 2015. Perkembangan yang relatif panjang yang sampai saat ini sholawat wahidiyah sudah ada di hampir semua daerah dan di luar negeri. Dari waktu ke waktu, sholawat wahidiyah berjalan dengan lancar dan tampak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan


(15)

6

beberapa masyarakat kota, desa, dan pesantren-pesantren. Kenyataan sholawat wahidiyah terbilang istimewa. Karena menurut penulis tidak semua kelompok sholawat dapat berkembang secara luas dan bertahan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahasnya dalam skripsi ini.

Sedangkan bagi yang ingin mengamalkan sholawat ini harus mengikuti aturan yaitu dengan cara membaca sholawat setiap hari selama 40 hari atau 7 hari tetapi dibaca sepuluh kali lipat, setelah itu boleh dibaca salah satu aurad yang terdapat didalam sholawat wahidiyah. Dalam mengamalkannya harus dengan niat semata-mata beribadah kepadah Allah SWT dengan ikhlas tanpa pamrih suatu apapun. Baik pamrih duniawi maupun pamrih ukrowi, harus sungguh-sungguh mulus.6

B. Rumusan Masalah

Agar permasalahan tidak melebar dan lebih terarah, maka dalam penelitian ini perlu diberikan batasan penulisannya, maka penulis memfokuskan tentang perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur pada masa KH. Abdul Latif Madjid (1963-2015).

Adapun perumusan masalah adalah :

1. Bagaimana Biografi KH. Abdul Latif Madjid ?

2. Bagaimana Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid ?

6

Tim perumus, Kuliah Wahidiyah Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa Birosulihi


(16)

7

3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Perkembangan Sholawat Wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Biografi KH. Abdul Latif Madjid.

2. Untuk menjelaskan Sholawat Wahidiyah di bawah kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid.

3. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, di antaranya sebagai berikut :

1. Secara Akademik (Praktis)

a. Memberikan tambahan kazanah keilmuan sejarah Indonesia pada umumnya dan sebagai bahan referensi dalam bidang sejarah dan kebuayaan Islam pada khususnya, serta dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian.

b. Sebagai pelengkap khazanah ilmu pengetahuan agama dan memberikan wacana bagi perkembangan perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam, terutama dalam bidang sejarah.

2. Secara Ilmiah (Teoritis)

a. Peneliti diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman bagi pembaca mengenai biografi dan perkembangan pada masa


(17)

8

kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid dalam sholawat wahidiyah.

b. Untuk memperkaya kajian sejarah yang ada di Indonesia yang berupa perkembangan sholawat wahidiyah.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Sartono Kartodirjo beranggapan bahwa penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat bergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita dapat memandangnya, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan dimensi mana yang diperhatikan.7 Dengan pendekatan tersebut mempermudah penulis dalam menggabungkan antara ilmu sosial dan ilmu bantu dalam penelitian sejarah. Dalam hal ini penulis menggunakan sosiologi.

Pendekatan historis yang digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan suatu peristiwa masa lampau, maka semua peristiwa yang terdapat di dalam Sholawat Wahidiyah akan kita ketahui sejarahnya melalui pendekatan historis. Sedangkan pendekatan sosiologi dipakai untuk mengetahui sebuah perubahan sosial di antara para jamaah sholawat wahidiyah.

Dalam pendekatan sosiologis diharapkan dapat mempermudah untuk melihat golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, pelapisan sosial, peranan, dan status sosial.8 Dengan menggunakan pendekatan sosiologi dapat melihat suatu perubahan sosial yang ada dalam

7

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejara (Jakarta: Gramedia, 1993),

4.

8


(18)

9

penelitian dengan peran pendiri sholawat wahidiyah dalam perjalanan mendirikan sholawat wahidiyah dan mendakwahkan ajaran sholawat wahidiyah kepada masyarakat Kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kediri.

Teori merupakan pedoman yang berguna untuk mempermudah jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan suatu masalah-masalah penelitian.9

Dalam sholawat wahidiyah yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kehendak rohani yang ingin mencari ketenangan jiwa, menghilangkan depresi, meredakan emosi, kecemasan rasa yang tidak aman yang dialami manusia atau kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan optimis.10

Penelitian ini menggunakan teori kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau pengikutnya untuk mencapai tujuan.11 Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Max Weber mengklasifikasikan kepemimpinan menjadi 3 jenis:

1. Otoritas Kharismatik yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima

9

Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi(Jakarta: Liberty,

1990), 11.

10

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 66.

11


(19)

10

perintahnyaa sebagai sesuatu yang mesti diikuti. Ia diyakini memperoleh bimbingan “wahyu”, memiliki kualitas yang dipandang sacral dan menghimpun massa dari masyarakat.

2. Teori tradisional yaitu dimiliki berdasarkan pewaris. Bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesakralan tradisi kuno. Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam melaksanakan berbagai tradisi.

3. Otoritas legal-rasional yakni yang dimiliki berdasarkan jabatan serta kemampuan.12

Dalam hal ini Max Weber membatasi bahwa kharismatik sebagai kelebihan tertentu dalam kepribadian seseorang yang membedakan dengan orang biasa dan diperlukan sebagai seseorang yang memperoleh anugerah kekuasan atau kelebihan yang luar biasa, tetapi dianggap individu tersebut diperlukan sebagai seorang pemimpin.

Konsep kharismatik menurut Max Weber ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mengesankan dihadapan masyarakat. Meskipun dmikian seseorang yang berkharisma tidaklah mengharuskan semua karakteristik melekat utuh padanya.

Dari teori tersebut KH Abdul Latif Madjid masuk kedalam teori kepemimpinan otoritas kharismatik, karena dalam memimpin sholawat

12

Sorjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar cet 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990),


(20)

11

wahidiyah sekaligus Pondok Pesantren Kedunglo beliau memiliki kharisma tersendiri yang membuat santri-santri dan para pengamal menjadi segan dan patuh kepada beliau. Bukan hanya itu, masyarakat sekitar Bandar Lor Mojoroto juga menghormati beliau selaku salah satu tokoh agama yang ada di Bandar Lor Mojoroto tersebut. Sementara itu juga menggunakan teori peran yang dalam kehidupan sosial nyata membawakan peran yang menduduki suatu posisi sosial dalam masyarakat. 13

Yang selanjutnya menggunakan teori tingkah laku kumpulan massa (collective behavior) yang dikemukakan oleh Neil Smelser. Dalam teori ini dapat dinyatakan bahwa suatu kumpulan massa adalah satu kelompok yang saling bertindak secara fisik dan hampir berhubungan dengan minat atau perhatian yang sama. Perlu adanya keikutsertaan bersama dan perasaan penyertaan kelompok secara keseluruhan. Dalam kumpulan masa diperlukan pula kebersamaan secara keseluruhan, serta melalui interaksi dalam kelompok yang biasanya mengikuti tingkah laku dan cara yang sama.14

F. Penelitian Terdahulu

Judul tentang “perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur (1989-2015)” difokuskan kepada asal usul, ajaran dan perkembangan sholawat wahidiyah serta pandangan

13

Edy Suhardono, Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya (Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama, 1994), 07.

14


(21)

12

masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid. Peneliti telah melacak ada beberapa judul skripsi atau karya tulis yang membahas tentang Shalawat Wahidiyah yang berada di berbagai daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Nurul Hasanah, E01303029, Akidah Filsafat pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2007. Pelaksanaan Ajaran Shalawat dan Manfaatnya dalam Pembinaan Akhlak di Jemur Wonosari Surabaya,

Perbedaan dari judul di atas dengan penelitian ini membicarakan tentang tata cara ajaran shalawat wahidiyah dan manfaat bagi pengamalnya dalam pembinaan akhlak di Desa Jemur Wonosari Surabaya. Yang membedakannya adalah dari segi perkembangan pada masa kepemimpian KH. Abdul Latif Madjid.

2. Hanif Widyawati, A02301099, Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) pada Fakulatas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2006. Masuk dan Berkembangnya Shalawat Wahidiyah di Kelurahan Wiyung Kecamtan Wiyung Kota Surabaya 1984-2005.

Perbedaan dari penelitian ini membicarakan kronologi muncul dan berkembangnya shalawat wahidiyah di Wiyung Surabaya. Sedangkan dalam penelitian ini yang membedakan dari beberapa judul mengenai tempat yang dijadikan objek penelitian.

3. Anis Sukriyah, A02302050, Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun


(22)

13

2004. Shalawat Wahidiyah di Jombang: Ihwal Tangis dalam Mujahadah yang Dilakukan Oleh Pengamal Wahidiyah.

Sedangkan perbedaan dari penelitian diatas lebih terfokus mengenai reaksi-reaksi yang ditunjukkan para pengamal shalawat wahidiyah saat pelaksanaan berdasarkan kasus di Jombang. Dalam penelitian ini mengfokuskan biografi KH. Abdul Latif Madjid selaku penerus ke-3 dalam sholawat wahidiyah di daerah Kediri Jawa Timur.

4. Rajib Qandi, A02210007, Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI) pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2016. Sejarah perkembangan Shalawat Wahidiyah dipondok pesantren Miftahul Ulum desa Kambingan Timur kecamatan Saronggi kabupaten Sumenep (1972-2014).

Perbedaan yang terdapat dalam penelitian di atas lebih fokus pada perkembangan sholawat wahidiyah pada Pondok Pesantren di Sumenep. Berbeda dengan penelitian ini yang lebih mengfokuskan dengan perkembangan yang terjadi di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur, tempat berdirinya sholawat wahidiyah.

5. M Amin Khoirul Anam, E51212050, Filsafat Agama pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2016.

Implikasi Sosiologis Ajaran Ibadah dalam Amaliah Sholawat Wahidiyah Syekh KH. Abdoel Madjid Ma’roef.

Perbedaan dari judul diatas dengan penelitian ini lebih fokus pada ajaran-ajaran ibadah yang di bimbingkan oleh Syekh KH. Abdoel


(23)

14

Madjid Ma’roef yang dirangkai dalam sholawat wahidiyah. Sedangkan untuk penelitian ini lebih fokus dengan pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid selama memimpin di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri.

6. Galuh Giri Jati, A72212125, Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI) pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2016. Sejarah Perkembangan Organisasi Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) Tahun 1964-2015.

Perbedaan dari judul diatas dengan penlitian ini adalah lebih fokus pada konflik muallif atas perpindahan kantor kesekretariatan di Kedunglo Kediri ke Rejoagung Jombang.

Dari keenam macam judul yang pernah diteliti tidak ada yang membahas lebih khusus mengenai perkembangan kepemimpinan pada masa KH. Abdul Latif Madjid dalam memimpin sholawat wahidiyah dan pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid.

Demikian beberapa karya penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai kelompok sholawat wahidiyah. Meskipun ada beberapa karya yang fokus pada hal yang sama dengan penelitian ini, mengenai sejarah, namun masalah tempat dan waktu. Bagaimanapun samanya sebuah kajian sejarah, sangat sulit untuk sama dalam hal proses dan hasilnya.


(24)

15

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian lapangan (field research). Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sumber data yang ada di lapangan berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang diamati dan kemudian didiskripsikan dan dianalisa sehingga dapat menjawab dari perumusan masalah. Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian sejarah, yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau. Kaitannya dengan hal tersebut, untuk memperoleh sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian.15

Adapun langkah-langkah praktis yang harus dilalui oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini antara lain sebagai berikut:

1. Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber maka tidak bisa bicara.16 Maka sumber dalam penelitian ini merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualisasi masa lalu manusia bisa dipahami orang lain. peneliti mengumpulkan sumber berasal dari dokumen-dokumen, foto-foto, buku-buku, dan wawancara.

a. Sumber primer, adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis oleh pihak-pihak yang secara langsung terlibat atau menjadi saksi mata

15

Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 14.

16


(25)

16

dalam peristiwa yang akan diteliti ini. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam sholawat wahidiyah, seperti pengurus Yayasan Perjuangan Wahidiyah, santri, dan masyarakat sekitar, khususnya para pengamal. Foto-foto aktifitas rutin yang dilakukan para jamaah sholawat wahidiyah. Narasumber tersebut yaitu:

1. KH. Zainuddin (Staf Yayasan Perjuangan Wahidiyah)

2. N

ing HJ. Tutik Indiyah (Adik KH. Abdul Latif Madjid) 3. Nyai Hj. Shofiyah (Istri KH. Abdul Latif Madjid)

4. KH. Abdul Latif Madjid (Pengasuh Yayasan Perjuangan Wahidiyah)

5. Rahmat Sukir (Staf Penyiar dan Pembinaan Wahidiyah)

b. Sumber sekunder, yakni data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan berbagai macam buku yang berkaitan dan sebagai pendukung dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Buku “Bahan Up Grading Da’I Wahidiyah” karya Tim Perumus Yayasan Perjuangan Wahidiyah.

2. Buku “Kuliah Wahidiyah” Karya Tim Perumus Yayasan Perjuangan Wahidiyah.

3. Buku “Kumpulan Teks Kuliah Wahidiyah” Diterbitkan oleh Departemen Pembina Wanita Wahidiyah Pusat Kedunglo.


(26)

17

4. Buku “Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah” karya Sokhi Huda.

5. Majalah “Aham” yang diterbitkan Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kediri.

2. Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik apa tidak. Upaya penulis untuk mendapatkan sumber-sumber yang kredibel dan autentik ialah dengan cara observasi langsung ke kantor yayasan perjuangan wahidiyah dan melakukan wawancara kemudian penulis juga meminjam arsip-arsip dari yayasan perjuangan wahidiyah untuk di foto copy untuk dijadikan bukti yang valid bagi penelitian skripsi ini. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan peneliti untuk melihat apakah sumber yang dipaparkan autentik atau tidak, dalam artian asli, turunan, palsu, serta relevan tidaknya suatu sumber. Tujuan kritik sumber ini untuk menyeleksi data menjadi fakta, sehingga setelah mendapatkan data-data penulis berusaha melakukan kritik sumber dengan cara memilah-milah data yang ada kemudian dianalisa.


(27)

18

3. Interpretasi atau penafsiran adalah suatu upaya peneliti untuk melihat kembali tentang sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentisitasnya terdapat saling berhubungan. Pada tahap interpretasi penulis mencari hubungan antar berbagai fakta yang telah ditemukan kemudian menafsirkannya. Penulis juga akan mencoba untuk bersikap se-objektif mungkin terhadap penyusunan penelitian ini.

4. Historiografi adalah menyusun atau merekontruksi fakta-fakta yang telah tersusun dan didapatkan dari penafsiran peneliti terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk tertulis. Pada tahap ini rangkaian fakta yang telah ditafsirkan disajikan secara tertulis sebagai kisah atau cerita sejarah. Untuk menggambarkan perkembangan Sholawat Wahidiyah dalam penelitian ini menggunakan model diakronis. Model diakronis lebih mengutamakan memanjangnya lukisan yang berdimensi waktu.

H. Sistematika Bahasan

Penulisan proposal ini kami bagi dalam beberapa bab dengan maksud untuk mempermudah penuisan dan penjabaran penulis, hal ini dilakukan agar pembahasan tidak menyimpang dari tema pokok pembahasan. Adapun pembagian tersebut meliputi :

Bab pertama dari penelitian ini berupa pendahuluan yang menguraikan tentang hal-hal yang menjadi latar belakang dari permasalahan yang penulis akan bahas, membuat batasan dan rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, pendekatan dan kerangka teori, dan


(28)

19

metode penelitan serta sistematika penulisan. Dalam bab ini lebih mengarahkan pembaca sebagai bahan acuan dari penelitian ini.

Bab kedua membahas tentang biografi KH. Abdul Latif Madjid, tidak hanya itu dalam bab ini juga mencakup penjelasan tentang riwayat pendidikan dan prestasi yang dicapai.

Bab ketiga membahas sholawat wahidiyah pada masa

kepemimpinan KH. Abdul Latif Madjid di Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri.

Bab keempat membahas pandangan masyarakat terhadap perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid yang diperoleh dari pengamal sholawat wahidiyah dan keluarga serta warga sekitar Kelurahan Bandar Lor. kesan itu diperoleh dari masyarakat dilihat dari masa ke masa.

Bab kelima merupakan penutup yang terbagi atas kesimpulan dan saran penulis mengenai permasalahan yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya dari awal hingga akhir, guna untuk membangun demi kesempurnaan kepada pembaca maupun penulis sendiri.


(29)

BAB II

BIOGRAFI KH. ABDUL LATIF MADJID A. Latar Belakang Keluarga

KH. Abdul Madjid Ma’roef ia adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh sekaligus mualif (pengarang) sholawat wahidiyah tahun 1955-1989. Ia lahir di Kediri pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1377 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra ketujuh dari sembilan bersaudara. Mereka adalah sosok orang tua yang sederhana dan sangat mementingkan nilai-nilai Islam, karena ia hidup di lingkungan keluarga yang taat beragama pasangan KH. Abdoel Madjid Ma’roef dan Nyai HJ. Shofiyah sangat memperhatikan perkembangan keagamaan dan pendidikan anak-anaknya. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin, 63 tahun) sebagai staf khusus yayasan perjuangan wahidiyah kepada peneliti sebagai berikut:

“Mbah yai Madjid dan mbah Nyai sangat memperhatikan perkembangan agama dan pendidikan untuk putra putrinya. waktu kecil mbah yai sama sama mbah nyai sering memberikan pengajaran baca tulis al-Quran dan berakhlakul karimah serta rasa tanggung jawab kepada masing-masing putra putrinya”17

Tahun berganti tahun KH. Abdul Madjid Ma’roef semakin bertambah dewasa dan kemudian menikah dengan seorang putri KH. Hamzah di Tulungagung bernama Hj. Shofiyah yang saat itu keduanya berumur 27 tahun. Dari pernikahannya dengan Hj. Shofiyah ia dikaruniai 14 orang anak putra dan putri yakni 4 laki-laki dan 14 perempuan yang

17


(30)

21

salah satunya melanjutkan mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah karena dianggap sebagai anak laki-laki yang tertua. Masing-masing anak tersebut yakni:

1. Ning Usniyati

2. Dra. Hj. Nurul Isma Faiq 3. Ning Khuriyah (Almarhum) 4. Ning Tatik Farikhah

5. KH. Abdul Latif Madjid

6. Agus Abdul Hamid

7. Ning Fauziah (Almarhum) 8. Ning Djauharotul Maknunah 9. Ning Istiqomah

10.Agus Muhammad Hasyim Asy’ari (Almarhum) 11.Ning Hj. Tutik Indiyah

12.Agus Ahmad Syafi Wahidi Sunaryo 13.Ning Khuswatun Nihayah

14.Ning Zaidatun Inayah (Almarhum).18

Yang diberikan amanat untuk melanjutkan adalah KH. Abdul Latif Madjid untuk mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah pada tahun 1989 sampai sekarang ini. Sedangkan kakak dan adik-adik KH. Abdul Latif Madjid ikut serta dalam membantu mengelola Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Hal

18


(31)

22

tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai berikut:

“yang paling dekat dengan mbah Yai itu ya KH. Abdul Latif Madjid, dalam hal apa saja setiap ada permasalahan yang dipanggil didalam kamar ya KH. Abdul Latif Madjid itu harapan untuk meneruskan dan

dilimpahkan ke KH. Abdul Latif Madjid yang sangat

dibanggakan.”19

B. Genealogi KH. Abdul Latif Madjid

KH. Abdul Latif Madjid nama lengkapnya adalah Abdul Latif Madjid merupakan sebuah nama salah satu “asmaul husna” yaitu “Latif” yang bermakna lembut. Beliau lahir di lingkungan pesantren, tepatnya pada Jum’at Pahing tanggal 15 Agustus 1952, di Kedunglo Kecamatan Mojoroto Kediri Jawa Timur.20

KH. Abdul Latif Madjid merupakan putra dari KH. Abdul Madjid Ma’roef dan Hj. Shofiyah. Garis keturunan ibunya KH. Abdul Latif Madjid, ia berasal dari keturunan KH. Hamzah dari Tulungagung yang kakeknya bernama KH. Mansur yang pernah mendapat tanah dari kerajaan Mojopahit karena pada saat itu selalu banjir saat musim hujan, kemudian kerajaan membuat sayembara barang siapa yang dengan kesaktiannya membuat daerah Tulungagung tidak banjir lagi akan diberi hadiah tanah beberapa hektar tepatnya di Desa Tawangmangu Kecamatan Boyolali Kabupaten Tulungagung.21

Selama sembilan bulan berada dalam kandungan Ibu Nyai Hj. Shofiyah ia melakukan puasa sampai melahirkan putra kinasih KH. Abdul

19

Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.

20

Abdul Latif Madjid, Wawancara, Kediri, 28 Febriari 2017.

21


(32)

23

Latif Madjid. Ia tumbuh dewasa di lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. KH. Abdul Latif Madjid memiliki wajah yang sangat tampan kulitnya putih bersih dan bercahaya memancarkan aura ketaatan kepada Allah SWT, memiliki sifat santun dan sangat bijaksana dalam menghadapi siapapun, terkenal cerdas dan ber-IQ tinggi, memiliki wibawa yang luar biasa.

Sejak kecil KH. Abdul Latif Madjid telah dipersiapkan oleh ayahnya (KH. Abdul Madjid) sebagai kader penerus beliau. Masyarakat sekitar Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh mengenal KH. Abdul Latif Madjid degan sebutan “Gus Latif”. Ketika beranjak remaja pun beliau sudah dikenal sebagai cendekiawan yang teguh menegakkan kebenaran dan beliau adalah pemuda yang senang bergaul dengan siapapun di berbagai kalangan, baik dengan rakyat pada umumnya, ulama maupun dengan dunia anak muda.22

Pada usia 35 tahun KH. Abdul Latif Madjid menikah dengan ibu Muanifah dari Blitar, kemudian karena ada beberapa masalah dalam pernikahannya ia berpisah dengan ibu Muanifah yang saat itu usia perkawinannya hanya beberapa hari saja. Setelah berpisah tidak lama KH. Abdul Latif Madjid menikah kembali dengan santri Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh yang terkenal anggun dan cantik yaitu Ibu Hj. Sholihah, Ia berasal dari kota Lumajang. Hj. Sholihah dinikahi oleh Kh. Abdul Latif Madjid dalam usia 14 tahun yang saat itu masih duduk di

22

Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo “Tawassul Sunnah Rasul yang Terabaikan”, dalam Majalah Aham (Kediri: Pondok Pesantren Kedunglo, 2000), 51.


(33)

24

bangku sekolah kelas 3 SMP Wahidiyah. Hal tersebut sebagaimana peuturan informan (Zainuddin, 62 tahun) sebagai berikut:

“KH. Abdul Latif Madjid menikah dengan ibu Hj. Sholihah dan beliau punya 3 orang putra dan seorang putri.”23

Adapun putra-putri KH. Abdul Latif Madjid dengan ibu nyai Hj. Sholihah diantaranya :

1. Agus Abdul Madjid Ali Fikri, M. Hum 2. Dr. Firdausul Makrifah

3. Tajul Mundir Wahidiyin

4. Ahmad Muhammad Mustofa Wahiduz Zaman24

Hasil dari wawancara melalui Hj. Sholihah, beliau mengatakan bahwa sudah memberikan kepercayaan dan melimpahkan tugas kepada yai Zainuddin dalam mencari informasi yang penulis butuhkan. Yai Zainuddin merupakan teman dekat sekaligus sebagai staf khusus dalam kepengurusan Yayasan Perjuangan Wahidiyah.

KH. Abdul Latif Madjid mempunyai kepribadian yang menarik. Menurut masyarakat sekitar Kedunglo KH Abdul Latif Madjid berbadan sedang dengan warna kulit putih bersih, berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus agak lebar. Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak gua menunjukkan bahwa beliau seorang yang mempunyai pikiran yang tajam dan dalam. Tangannya yang halus dan lembut selembut hatinya yang pemaaf. Beliau berjalan melangkah dengan

23

Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.

24


(34)

25

pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah terkadang beliau menoleh ke kiri atau kanan untuk melihat situasi dan kondisi jamaah.

Cara bicaranya tenang dan santun disertai senyum. Beliau berbicara dengan bahasa “Jawami Kalam” artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena beliau mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan yang dituturkannya, jelas dan mudah dipahami, tidak lebih dan tidak kurang banyak yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara kepadanya.25

Dari segi penampilan beliau terlihat sederhana, pakaian yang dikenakan layaknya pegawai kantor pada umumnya, seperti kemeja dan batik yang menunjukkan kesan rapi. Beliau juga sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya, baju yang dipakainya sekali tidak dipakainya lagi. Dari cara berpenampilan inilah dapat menempatkan dirinya bergaul dan dekat dengan kalangan mana pun, mulai dari masyarakat sekitar, para santri, kyai, hingga pejabat pemerintah. Ketika marah, beliau diam hanya roman mukanya sedikit berubah dan beberapa saat beliau bicara pertanda marahnya mulai mereda seolah tidak terjadi apa-apa.

Kharisma yang dimiliki sosok KH. Abdul Latif Madjid mempunyai pengaruh luar biasa yang bukan didasarkan atas kewenangan,

25


(35)

26

melainkan atas persepsi para pengikut, bahwa pemimpin tersebut dikaruniai dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa.

Itulah sisi lain dari „Gus Latif’ kepribadian dan sikap beliau menjadi contoh kalangan santri. KH. Abdul Latif Madjid sepintas menunjukkan sosok kyai yang unik. Secara fisik, KH. Abdul Latif Madjid tidak terlihat seperti seorang kyai. Diluar rutinitasnya, penampilan KH. Abdul Latif Madjid berbeda lagi. Selain gemar mengenakan celana jeans dan kaos, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk riyadlah (tidak tidur pada malam hari), waktu privasi hanyalah saat istirahat. Selama bertahun-tahun selalu berputar keliling ke berbagai daerah kabupaten di Jawa Timur dan juga di luar Jawa bahkan sampai ke luar negeri untuk berdakwah dan menyiarkan sholawat wahidiyah. Para santri, pengamal sholawat wahidiyah atau pejabat pemerintah dapat menemui KH. Abdul Latif Madjid setiap hari sabtu sampai dengan kamis pada jam efektif kerja dari pukul 08.00 hingga 02.00 di kantor kesekretariatan wahidiyah.

C. Riwayat Pendidikan KH. Abdul Latif Madjid

KH. Abdul Latif Madjid adalah seorang anak yang mempunyai semangat yang tinggi dalam hal ilmu pendidikan terutama pendidikan agama Islam. Semasa kecilnya ia di masukkan oleh ayahnya untuk belajar dan menempuh pendidikan formal di SD Negeri Kelurahan Bandar Lor kota Kediri pada tahun 1960, ia menempuh pendidikan SD selama enam tahun dan selesai pada tahun 1965. Setelah menempuh pendidikan di SD ia melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Pada tahun 1965 ia masuk SMP


(36)

27

selama 3 tahun, tepatnya di SMP Negeri 4 Bandar Lor Kota Kediri dan lulus dengan predikat baik pada tahun 1968, kemudian melanjutkan pendidikan SMA pada tahun 1968 di SMA Negeri 2 kota Kediri selama 3 tahun dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1971.26 Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai berikut:

“KH. Abdul Latif Madjid itu sekolah di SMA negeri 2 kota Kediri, trus d SMP negeri 4 kota Kediri dan di SD negeri kelurahan Bandar Lor, beliau itu lulus SMA pada tahun 1971.”27

Tidak hanya menempuh pendidikan formal ia juga menempuh pendidikan informal yang diberikan ayahnya secara langsung ia mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan muallif sholawat wahidiyah. Ia belajar dengan ayahnya ketika sore hari ba’da ashar, tidak hanya agama, ayahnya juga memberikan ilmu tentang ide pemikiran mengenai jiwa kepemimpinan untuk kelak bisa menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Selama di SD ia juga meluangkan waktu belajar mengaji ketika sore hari di Madrasah Bandar Kidul. Ia juga belajar di Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah mbah Maimoen tetapi hanya bertahan satu minggu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai berikut:

“kalau dari mbah Yai ya itu ide, pemikiran dan kepemimpinan, karena dicetak sejak dini untuk menjadi pemimpin. Semasa kecil KH. Abdul Latif Madjid juga pernah belajar di Madarasah Bandar Kidul. Beliau juga pernah mondok di pondok Sarang Jawa Tengah di mbah maimoen di usia SMA, tetapi hanya satu minggu saja.”28

26

Zainuddin, Wawancara, Kediri, 27 Februari 2017.

27

Ibid.

28


(37)

28

Selain pendidikan formal dan informal ia juga melanjutkan pendidikan non formal di salah satu tempat khursus Bahasa Inggris yang terkenal di kota Kediri pada saat itu.29

Beliau terkenal seorang ahli riyadlah tidak tidur pada malam hari digunakan untuk senantiasa taqorub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT mohon pertolongan dan mohon bimbingan serta mohon diberi ilmu Laduni ilmu yang tidak perlu belajar tapi mengetahui seluruh ilmu-ilmu yang ada dalam kitab-kitab kuning.30 Kondisi ini yang memastikan KH. Abdul Latif Madjid mengalami awal pendidikan dari kultur keluarga pesantren dengan nilai-nilai ke-Islaman yang sangat kuat.

D. Prestasi KH. Abdul Latif Madjid

Gus Latif adalah pemuda yang senang bergaul dengan siapapun dari berbagai kalangan. Gus Latif termasuk orang yang supel dengan siapapun bahkan dari kalangan pemuda se-Kota Kediri mengenal baik sosok Gus Latif. Semasa remaja beliau sangat aktif membangun mental para remaja wahidiyah terutama para remaja di Kelurahan Bandar Lor sekitar Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Pada tahun 1971 beliau membentuk “jama’ah usbuiyah remaja”. Jamaah ini dibentuk untuk menjalin silatuhrahmi dan remaja yang dibina pada saat itu menjadi orang-orang yang sukses.

Beliau pernah mendirikan perkumpulan Young Moral Concelling disingkat YMC (perbaikan moral kaum muda). YMC dibentuk pada tahun

29

Tutik Indiyah, Wawancara, Kediri, 25 April 2017.

30


(38)

29

1971 dengan tujuan mengajak generasi muda supaya memiliki moral yang baik dan meningkatkan moral kaum muda yang ada di kota Kediri. Tidak hanya jamaah usbuiyah dan YMC beliau juga mendirikan perguruan bela diri “Jiwa Suci” di Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh pada tahun 1979.31

Jiwa Suci ini merupakan kumpulan dari pendekar-pendekar dari berbagai perguruan, materi yang didapat dari berbagai aliran-aliran yang ada dan terdapat jurus-jurus baru yang diciptakan oleh guru-guru pencak silat melalui teknis pengajaran yang baru pula. Jiwa suci ini dibentuk karena cara berkomunikasi beliau dengan berbagai masyarakat yang sangat bagus, baik itu dari generasi muda yang suka hura-hura sampai teman-teman yang ahli pencak silat. Kemudian dari perkumpulan itu ia mengajak orang-orang untuk mendirikan pencak silat “jiwa suci” disisi lain karena ia sebagai putra mbah yai Madjid pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh secara tidak langsung orang-orang tersebut ikut serta dalam mendirikan pencak silat “jiwa suci”.

Bahkan prestasi yang sangat diperhitungkan hingga pengikutnya sangat banyak adalah Gus Latif pernah sukses mengadakan takbir akbar yang diselenggarakan dalam merayakan Idul Fitri yang diikuti oleh masyarakat se-kota Kediri dan sekitarnya serta pemuda-pemuda se-kota Kediri. Bisa dikatakan sukses sebab sebelumnya acara seperti itu pernah digerakkan oleh pemuda, ataupun pondok-pondok lain namun tak mampu

31


(39)

30

mengumpulkan massa sebanyak itu, sehingga takbir akbar yang di gelar dan dipimpin oleh Gus Latif merupakan prestasi tersendiri. Semua itu sebagai pertanda bahwa Gus Latif merupakan calon pemimpin yang sanggup menyatukan berbagai kalangan.32

Dari takbir akbar yang diadakan terdapat tokoh-tokoh yang

berperan didalamnya. Oleh tokoh-tokoh tersebut kemudian

disosialisasikan kepada masyarakat kota Kediri dengan cara mengirimkan surat ke obyek-obyek yang dituju sekaligus untuk wawancara dan memberi motivasi. Dalam takbir akbar tersebut rombongan menggunakan kendaraan mobil dan sebagian lainnya menggunakan sepeda motor. Rute yang ditempuh adalah dari kedunglo menuju ke selatan, sampai perempatan Bandar kemudian mengarah ke alun-alun, lalu ke arah utara. Dari alun-alun menuju ke utara sampai ke perempatan sumur bur melewati pasar Setono Betek, pasar Pahing sampai ke kawasan Klotok-Selomangleng, langsung mengarah pulang kembali ke Kedunglo. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai berikut:

“tokoh-tokoh pemuda kota Kediri, tokoh agama, pendekar punya inisiatif diajak bicara bagaimana kalau di kota Kediri ini diadakan takbir keliling umat Islam kota Kediri. Setelah itu disosialisasikan kepada masyarakat termasuk saya dulu jadi sekretaris di takbir akbar itu. Saya disini tidak hanya kirim surat ke obyek-obyek yang kita tuju tetapi sekaligus kita wawancara dan memberikan motivasi disitu. Jadi kita datangi ke kecamatan dimasjid-masjid kemudian disekolah-sekolah. Untuk disekolah kita temui guru agama dan kita ajak bicara agar bisa mengirimkan rombongan untuk takbir keliling.

32


(40)

31

Kegiatan ini dapat berjalan selama 4 tahun, setelah itu diambil alih oleh pemerintah daerah.”33

Pengangkatannya sebagai Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan

Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhodhoroh secara resmi

dilaksanakan pada tanggal 08 Maret 1989 sesaat sebelum beliau mualif sholawat wahidiyah, KH. Abdul Madjid Ma’roef dimakamkan. Upacara pengangkatan tersebut dilaksanakan dengan khidmat. Keputusan tersebut merupakan hasil musyawarah keluarga Almarhum KH. Abdul Madjid Ma’roef yang mana dalam musyawarah keluarga dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dan semua telah menyetujuinya.

Hasil keputusan pengangkatan dibacakan oleh bapak AF. Badri selaku PSW (Pemimpin Sholawat Wahidiyah) Pusat Kedunglo Kediri saat itu. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Zainuddin 62 tahun) sebagai staff khusus yayasan perjuangan wahidiyah kepada peneliti sebagai berikut:

“perkenankanlah pada kesempatan yang haru ini, kami akan membacakan hasil keputusan musyawarah keluarga Almarhum tanggal 08 bulan Maret 1989, kurang lebih jam 02.00 WIB, setelah wafatnya beliau Almarhum KH. Abdoel Madjid Ma’roef, kepemimpinan secara umum baik untuk Pondok Pesantren Kedunglo maupun Penyiar Sholawat Wahidiyah adalah beliau Al-Mukarrom bapak KH. Abdul Latif Madjid. Sedangkan pengelolaan untuk Pondok Pesantren Kedunglo putri dibantu oleh Almukarromah ibu Dra. Nurul Isma Faiq. Untuk Pondok Pesantren putra Al-Mukarrom Agus Imam Yahya Malik dan beliau Al-Mukarrom Agus Abdul Hamid Madjid. Khusus beliau Al-Mukarrom Agus Abdul Hamid Madjid ada suatu pernyataan bahwa beliau di dalam mengelola Pondok Pesantren putra cukup sebagai pembantu.”

33


(41)

32

Itulah isi pidato singkat yang disampaikan bapak AF Badri selaku PSW Pusat dalam membacakan keputusan hasil musyawarah keluarga tentang pengangkatan KH. Abdul Latif Madjid sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh.34

34


(42)

33

BAB III

SHOLAWAT WAHIDIYAH DI BAWAH KEPEMIMPINAN KH. ABDUL LATIF MADJID

A. Asal-usul Sholawat Wahidiyah

Kelahiran sholawat wahidiyah diawali oleh keprihatinan dari muallif KH. Abdul Madjid Ma’roef atas kondisi sosial masyarakat yang banyak menyimpang dari ajaran syariat Islam terutama masyarakat Kelurahan Bandar Lor Kediri, sehingga beliau melakukan riyadlah dan mohon petunjuk Allah SWT untuk mengatasi kondisi sosial masyarakat. Dalam riyadlah tersebut beliau memperbanyak amalan berupa Sholawat Al-Ma’rifat.35

Pada tahun 1959 KH. Abdul Madjid Ma’roef menerima suatu “alamat ghoib” (istilah beliau) dari Allah SWT dalam keadaan terjaga dan sadar, bukan dalam keadaan mimpi. Maksud dan isi “alamat ghoib”

tersebut ialah supaya bisa mengangkat masyarakat dan ikut serta

memperbaiki serta membangun mental masyarakat, melalui “Jalan Batiniyah”. “Alamat ghoib” ini terjadi hingga tiga kali pada Tahun 1963,

untuk memenuhi hal tersebut beliau meningkatkan riyadlah dengan beberapa macam sholawat, antara lain: Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Masyisyiyah, dan masih banyak lagi. Dari riyadlah tersebut maka lahirlah rangkaian sholawat yang

35

Tim perumus, Bahan Up Grading Da‟i Wahidiyah (Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan


(43)

34

selanjutnya disebut Sholawat Wahidiyah. Sholawat ini merupakan gabungan atau penyatuan dari berbagai macam sholawat.36

Pada awal tahun 1963 KH. Abdul Madjid Ma’roef menerima “alamat ghoib” lagi sama seperti kejadian yang beliau terima pada tahun 1959. “Alamat ghoib” yang kedua ini bersifat peringatan terhadap “alamat ghoib” yang pertama supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki

mental masyarakat. Tidak lama sesudah menerima “alamat ghoib” yang kedua tahun 1963 itu, beliau menerima “alamat ghoib” dari Allah SWT

untuk yang ketiga kalinya ini lebih keras sifatnya daripada yang kedua. Hal tersebut sebagaimana penuturan KH. Abdul Madjid Ma’roef dalam

buku Bahan Up Grading Da’i Wahidiyah sebagai berikut:

malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal berbuat

dengan tegas” malah kulo dipun ancam menawi mboten

enggal-enggal nglaksanaaken” (Malah saya diancam kalau tidak cepat-cepat berbuat dengan tegas). “saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdonipun meniko” (karena kerasnya peringatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu).37

Pada tahun 1963, dalam situasi batiniyah yang senantiasa mengarah kepada Allah SWT itu kemudian beliau mengarang suatu doa sholawat.

Kulo damel oret-oretan” Saya membuat coret-coretan). “Sak

derenge kulo inggih mboten angen-angen badhe nyusun sholawat

(sebelumnya saya tidak berangan-angan menyusun Sholawat). Beliau menjelaskan: “Malah anggen kulo ndamel namung kalian nggloso” (bahkan dalam menyusun saya hanya dengan tiduran).

36

Ibid., 2. 37


(44)

35

Setelah situasi tersebut kemudian beliau menyusun sholawat dan ditulis dalam satu lembar dengan disebut Sholawat Wahidiyah. Yang berbunyi :

َو اَِعْيِفَشَو اَنَاْوَمَو اَنِدّيَس ىَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ّلَص ،ُُلَْا َتْنَا اَمَك مُهللَا

َكُلَ ئْسَن ،ُُلَْا َوُ اَمَك َملَسَو ِْيَلَع ُ ها ىلَص ٍدمَُُ اَُِيْعَا ِةرُ قَو اَِبْيِبَح

ِف اََ قِرْغُ ت ْنَا ِّقَِِ مُهللا

َدَِ َاَو َََمْسَن َاَو َرَ ن َا ََح ،ِةَدْحَوْلا ِرَِْ ُُِِ

،ُهَا آَي َكِتَرِفْغَم َماَََ اََ قُزْرَ تَو ،اَِِ اِا َنُكْسَن َاَو َكرَحَتَ ن َاَو سُِ َاَو

َو ،ُهَا آَي َكِتَفِرْعَم َماََََو ،ُهَا آَي َكِتَمْعِن َماََََو

َماََََو ،ُهَا آَي َكِتبََُ َماَََ

اَحَا اَم َدَدَع ،ِِبْحَصَو ِِلآ ىَلَعَو ِْيَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ّلَصَو ،ُهَا آَي َكِناَوْضِر

ّبَر ِلِل ُدْمَْْاَو ،َنِِْارلا َمَحْرَا اَي َكِتََْْرِب َكُباَتِك ُاَصْحَاَو َكُمْلِع ِِب َط

َعْلا

َنِمَلا

Artinya:

“Ya Allah, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat, salam, barokah atas junjungan kami, pemimpin kami, pemberi syafaát kami, kecintaan kami, dan buah jantung hatu kami Baginda Nabi Muhammad SAW yang sepadan dengan keahlian beliau, kami memohon kepada-MU Ya Allah, dengan Hak Kemuliaan Beliau, tenggelamkan kami di dalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU, sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, tiada kami bergerak ataupun berdiam, melainkan senantiasa merasa di dalam samudra tauhid-MU, dan kami memohon kepada-MU Ya Allah, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Ya Allah, nikmat karunia-MU yang sempurna Ya Allah, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Ya Allah, cinta kepada-MU dan kecintaan-MU yang sempurna Ya Allah, ridlo kepada-MU serta memperoleh ridlo-MU yang sempurna pula Ya Allah, dan sekali lagi Ya Allah, limpahkanlah sholawat salam dan barokah atas Baginda Nabi dan atas keluarga serta sahabat beliau, sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh ilmu-MU dan termuat di dalam kitab-MU, dengan rahmat-MU, Ya Allah Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam”.38

38


(45)

36

Setelah menyusun sholawat tersebut Kemudian KH. Abdul Madjid

Ma’roef menyuruh tiga orang untuk mengamalkan sholawat tersebut. Tiga

orang yang beliau sebut sebagai pengamal percobaan itu ialah Bapak Abdul Jalil, seorang tokoh tua dari Desa Jamsaren, Kediri, Bapak Mukhtar seorang pedagang dari Desa Bandar Kidul, Kediri, dan seorang santri Pondok At-Tahdzib di Kedunglo, Kediri yang bernama Dahlan, dari Blora, Jawa Tengah. Dalam uji coba amalan oleh tiga orang tersebut, mereka melaporkan Alhamdulillah setelah mengamalkan sholawat tersebut, mereka menyampaikan kepada beliau bahwa mereka dikarunia rasa tenteram dalam hati, tidak merasa gelisah dan merasa lebih banyak ingat

kepada Allah SWT. Setelah itu KH. Abdoel Madjid Ma’roef menyuruh

beberapa santri pondok untuk mengamalkan sholawat tersebut. Hasilnya juga sama seperti yang dirasakan oleh tiga orang yang pertama kali mengamalkan sholawat tersebut, kemudian sholawat tersebut diberi nama

sebagai “Sholawat Ma’rifat”39

Beberapa waktu kemudian, namun masih dalam bulan Muharram 1383 H muallif kembali menyusun sholawat, sholawat tersebut berbunyi40:

اَوَجاَي ُدِجاَوَاي ْدَحَااَي ُدِحاَو اَي مُهللَا

ُد

ٍدمَُُ اَنِدّيَس ىَلَع ْكِراَبَو ْمّلَسَو ِلَص

ُك ِِْ ٍدمَُُ اَنِدّي َس ِلآ ىَلَعو ٍدمَُُ اَنِدّي َس ِلَا ىَلَعَو

ِدَدَعِب ٍسَفَ ن و ٍَِحْمَل ّل

ِداَدْمَاَو ِِتاَضْوُ يُ فَو ِها ِتاَمْوُلْعَم

ِ

.

39

Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah , 94.

40


(46)

37

Artinya:

“Ya Allah, Ya Tuhan Maha Esa, Ya Tuhan Maha Satu, Ya Tuhan

Maha Menemukan, Ya Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat, salam dan barokah atas junjungan kami Baginda Nabi Muhammad dan atas keluarga Baginda Nabi Muhammad pada setiap berkedipnya mata dan naik turunnya nafas, sebanyak bilangan yang Allah Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian serta kelestarian pemeliharaan-NYA”.

Sholawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam susunan sholawat wahidiyah, karena sholawat tersebut lahir pada bulan Muharram, maka muallif menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran sholawat wahidiyah. Ulang tahun sholawat wahidiyah diperingati dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro Wahidiyah pada setiap bulan Muharram.

Untuk mencoba khasiat sholawat yang kedua ini, beliau menyuruh beberapa orang untuk mengamalkannya, dan hasilnya lebih positif lagi, yaitu mereka dikaruniai oleh Allah SWT ketenangan batin dan kesadaran hati kepada Allah SWT dalam keadaan hati yang lebih mantap. Semenjak itu beliau memberi ijazah sholawat tersebut secara umum, termasuk para tamu yang sowan (bertamu) kepada beliau. selain itu beliau menyuruh beberapa santri untuk menuliskan sholawat tersebut dan mengirimkan kepada para ulama/kyai yang diketahui alamatnya dengan disertai surat pengantar yang beliau tulis sendiri. Isi dari surat itu antara lain, agar sholawat yang dikirim itu bisa diamalkan oleh masyarakat setempat.


(47)

38

Sejauh itu tidak ada jawaban negatif dari para ulama/kyai yang dikirimi sholawat tersebut.41

Semakin hari semakin banyak yang datang untuk memohon ijazah amalan sholawat wahidiyah. Oleh karena itu, muallif memberikan ijazah secara mutlak. Artinya disamping diamalkan sendiri juga dapat disiarkan atau disampaikan kepada orang lain tanpa pandang bulu. Kemudian beliau mengajarkan sholawat wahidiyah dengan cara menuliskan sholawat yang pertama itu di papan tulis pada pengajian kitab Al-Hikam secara rutin di Masjid Kedunglo setiap malam jum’at yang dibimbing oleh beliau sendiri. Pengajian itu diikuti oleh para santri dan masyarakat sekitar dan beberapa kyai dari sekitar Kota Kediri. Kemudian menerangkan hal-hal yang terkandung didalam sholawat tersebut.

Dengan semakin banyaknya orang yang memohon ijazah dua sholawat tersebut, dan untuk memenuhi kebutuhan, maka muallif menugaskan Bapak KH. Mukhtar, seorang pengamal sholawat wahidiyah berasal dari Tulungagung yang juga ahli Khat (seni tulis arab) untuk membuat lembaran sholawat wahidiyah. Pembuatannya menggunakan kertas stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri serta dibantu oleh beberapa orang pengamal dari Tulungagung.42

Masih dalam tahun 1963 saat pengajian kitab Al-Hikam

berlangsung KH. Abdoel Madjid Ma’roef menjelaskan tentang haqiqah al-wujud dan penerapan bi al-haqiqah al-Muhammadiyyah yang kemudian

41

Ibid., 96. 42


(48)

39

hari disempurnakan dengan penerapan lirrasul birrasul. Pada saat itu tersusunlah sholawat yang ketiga yaitu:

ُم

اَن

َلْا َيِدا َ

ِقْلَْْاَرْوُ ن

َك ْيَلَع

ُمَا سلاَو ُةَاصلا ِقْلَْْا ََ

ِفاَشآَي

َأَو

ِن ْكِرْدَأ ُ َحُرَو َُل ْص

ِن ّبَرو اًد َبَأ ُت ْمَلَظ ْد َقَ ف

دُرَ ت

ُت ُْك

اًصْخَش

اَكِلاَ

ْنِإَف

اَكاَوِس ِدّي َساَي ِِ َس ْيَلَو

Artinya:

“Duhai kanjeng Nabi pemberi syafa’at makhluk, kepangkuan-Mu sholawat dan salam kusanjungkan, duhai nur cahaya makhluk pembimbing manusia, Duhai unsur dan jiwa makhluk, bimbing dan didiklah diriku, sungguh aku manusia yang dholim selalu.”

Pada awal tahun 1964, lembaran sholawat wahidiyah mulai dicetak dengan klise yang pertama kalinya di kertas HVS putih sebanyak kurang lebih 2.500 lembar. Setelah lembaran sholawat wahidiyah tersebar luas di masyarakat, ada banyak pihak masyarakat yang menerimannya, namun juga ada yang menolaknya. Kebanyakan orang yang menolak pada amalan sholawat wahidiyah adalah karena adanya garansi. Hal tersebut

sebagaimana penuturan KH. Abdul Madjid Ma’roef dalam buku Tasawuf

Kultural Fenomena Sholawat Wahidiyah sebagai berikut:43

menawi sampun jangkep sekawan doso dinten mboten wonten

perubahan manah, kenging dipun tuntut dunyan wa ukhron” (jika setelah mengamalkan 40 hari tidak mengalami perubahan dalam hati, boleh dituntut di dunia dan akhirat).

Masyarakat yang menolaknnya beranggapan tentang garansi tersebut dengan pemahan yang jauh bertentangan dengan makna yang

dimaksud oleh pembuat garansi. Pemahaman mereka terhadap “garansi”

43


(49)

40

adalah “siapa saja yang mengamalkan sholawat wahidiyah dijamin masuk surga”. Sedangkan makna asli dari si pembuat garansi adalah untuk pertanggungjawaban atau merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar kita meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita lakukan.

Pada tahun 1964, setelah peringatan ulang tahun sholawat

wahidiyah yang pertama, diadakan “Asrama Wahidiyah” di Kedunglo,

Kediri yang diikuti oleh para kyai dan tokoh agama dari berbagai daerah seperti Kediri, Madiun, Tulungagung, Blitar, Malang, Jombang, Mojokerto, dan Surabaya44. Kuiah-kuliah wahidiyah diberikan langsung oleh muallif sendiri. Dari “Asrama Wahidiyah” menghasilkan kalimat nida‟ (seruan):

ِها َل ْوُسَر اَي ي ِدّيَس اَي

Kemudian kalimat nida‟ tersebut dimasukkan ke dalam lembaran sholawat wahidiyah. Pada tahun 1965 diadakan Asrama Wahidiyah lagi tepatnya yaitu pada tanggal 5-11 Oktober 1965 di Kedunglo, Kediri. Kemudian lahirlah kalimat sholawat yakni45:

َا آَي

ها ُم َاَس ُثْوَغْلا اَه ي

¤

ِها ِنْذِاِب ِنّب َر َكْيَلَع

ْرُظْناَو

ِةَرْظَِب ي ِدّيَس ََِا

¤

ِِيِلَعْلا ِةَرْضَحْلّل ٍَِلِصْوُم

44

Tim perumus, Bahan Up Grading Da‟I Wahidiyah, 8.

45


(50)

41

Artinya:

“Duhai Ghoutsu zaman, ke pangkuanmu salam Allah ku haturkan,

bimbing, bimbing dan didiklah diriku dengan izin Allah, dan arahkan pancaran sinar nadharohmu kapadaku Ya Sayyidi, radiasi batin yang me-wushul-kan aku, sadar ke Hadirot Maha Luhur Tuhanku”.

Kalimat sholawat tersebut yang merupakan jembatan emas yang menghubungkan tepi jurang pertahanan nafsu disatu sisi dan tepi adalah kebahagiaan yang berupa kesadaran kepada Allah SWT. Dalam kandungan kalimat tersebut disebut dengan istilah “istighotsah”. Kalimat ini tidak langsung dimasukkan kedalam lembaran sholawat wahidiyah, namun para pengamal yang sudah agak lama mengamalkannya, dan dianjurkan untuk mengamalkannya pada mujahadah-mujahadah khusus. Pada tahun 1965, muallif kembali memberikan ijazah berupa kalimat nida‟ lagi yang beliau ambil dari salah satu ayat Al-Qurán yaitu:

ها َِِا اْورِفَف

dan

اًقْوَُز َناَك َلِطاَبْلا نِا ُلِطاَبّلا َقََزَو قَْْا َءاَج ْلُقَو

Artinya:

“Larilah kembali kepada Allah” dan “Dan katakanlah (Wahai

Muhammad) perkara yang haq telah datang dan musnahlah perkara yang bathil, sesungguhnya perkara yang bathil itu pasti musnah”.

Pada tahun 1968 muallif kembali menyusun rangkaian sholawat:

بَر اَي

ِمّلَسَو ّلَص َمُهللا اَ

¤

ِمَمُاْا َِْيِفَش ٍدمَُُ ىَلَع

.

ِلآْاَو

َنِعِرْسُم َمَانَلْا ِلَعْجاَو

¤

ّبَرِل َِِيِدِحاَوْلِاب

َنِمَلاَعْلا

.

ْغااَ ب َراَي

اَنِدْاَو ْحَتْ فاّرِسَيْرِف

¤

اَ ب َر اَي اََ ْ يَ ب ْفّل َاَو ْبّرَ ق


(51)

42

Artinya:

“Ya Tuhan kami Ya Allah, limpahkanlah sholawat salam atas

Baginda Nabi Muhammad pemberi syafaát umat, dan atas keluarga beliau, dan jadikanlah umat manusia cepat-cepat lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan semesta alam. Ya Tuhan kami, ampunilah segala dosa-dosa kami, permudahlah segala urusan kami, bukakanlah hati dan jalan kami, dan tunjukanlah kami, pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami, Ya

Tuhan kami”.

Pada tahun 1971 muallif kembali membuat rangkaian kalimat sholawat dengan redaksi sebagai berikut:

َش اَي

ِها َبْيِبَح ِقْلَْْا ََِفا

¤

ِِم َاَس ََْم َكْيَلَع ُُت َاَص

َضَو ْتلِض

ىِتَدْلَ ب ِف َِِلْ يَح ْتل

¤

ِِمُاْاَو ي ِدّيَس اَي ي ِدَيِبْذُخ

Artinya:

“Duhai Baginda Nabi pemberi syafaát makhluk, Duhai Baginda Nabi

kekasih Allah, ke pangkuan-MU sholawat dan salam Allah

kusanjungkan”.

Kemudian sholawat tersebut ditulis dalam lembaran sholawat wahidiyah untuk diamalkan oleh para pengamal.

Pada tahun 1981 lembaran sholawat wahidiyah yang ditulis dengan huruf arab diperbarui dan kemudian diberi petunjuk pengamalan sholawat wahidiyah. Susunan dalam lembaran sholawat wahidiyah tidak ada perubahan sama sekali sampai sekarang.

B. Ajaran Sholawat Wahidiyah

Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah SWT, bersyukur atas nikmat yang diberikan dan


(52)

43

melaksanakan hak sesama manusia. Oleh karena itu tidak selalu ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akal.46

Dalam Ajaran Islam, Islam tidak hanya mengajarkan ibadah seperti sholat, puasa, haji, tetapi Islam juga mengajarkan ibadah lainnya seperti bermuamalah, karena Islam adalah landasan moral dalam seluruh aspek kehidupan manusia sehingga memiliki daya ubah serta daya dorong yang terus-menerus dalam kehidupan duniawi, dalam mencapai tujuan hidup umat manusia yang benar,47sebab dalam Islam Ibadah dibagi menjadi 2 yaitu ibadah khaṣṣah dan ibadah „ammah.

Ibadah khaṣṣah adalah ibadah yang sudah disyari’atkan dan ditetapkan oleh Islam seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah „ammah adalah semua perbuatan yang dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata karena Allah SWT, seperti makan, minum, bekerja dan lain sebagainya.48 Oleh sebab itulah, KH. Abdul

Madjid Ma’roef memberikan metode atau cara untuk menerapkan nilai-nilai ibadah di dalam kehidupan sekaligus untuk membersihkan hati dan kesadaran kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, supaya apapun yang dilakukan oleh manusia selama hidup di dunia adalah semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.

46

A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 7-8.

47

Chumaidi Syarif Romas, Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2000),

105. 48


(53)

44

Beliau memberikan bimbingan praktis lahiriah dan batiniah di dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah SAW, yang meliputi bidang

syari’at dan bidang hakikat, mencakup peningkatan iman, pelaksanaan Islam dan perwujudan ihsan serta pembentukan moral atau akhlak.

Peningkatan iman menuju kesadaran atau ma’rifat kepada Allah SWT dan

Nabi Muhammad SAW. Pelaksanaan Islam sebagai realisasi dari pada ketakwaan kepada Allah SWT, perwujudan ihsan sebagai manifestasi dari pada Iman dan Islam yang kamil (sempurna). Pembentukan moral atau akhlak untuk mewujudkan akhlak yang mulia (al-Akhlaq al-Karimah). Bimbingan praktis lahiriah dan batiniah dalam memanfaatkan potensi bidang lahiriah yang telah ditunjang oleh pendayagunaan potensi-potensi batiniah (spiritual) yang seimbang dan serasi, sehingga dapat bermanfaat untuk semua masyarakat.49

Secara penjelasan ringkas, ajaran-ajaran Ibadah dalam amaliah

sholawat wahidiyah KH. Abdul Madjid Ma’roef yang terkenal dengan

sebutan istilah “ajaran wahidiyah” itu terdiri dari ajaran Lillah, Billah,

Lirrasul, Birrasul, Lilghauts, Bilghauts, Yuktī Kulla Dzī aqqin aqqah

dan Taqdiimul aham fal aham tsummal anfa‟ fal anfa‟. Semua ajaran tersebut diterapkan secara bersamaan.

1. Ajaran Lillah

Lillah adalah segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Allah SWT dan rasul-Nya, maupun

49


(54)

45

yang berhubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluk pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah maupun yang mubah, asal bukan perbuatan yang merugikan/bukan perbuatan yang tidak diridloi Allah, melaksanakan-nya supaya didasari niat dan tujuan hanya mengabdikan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan ikhlas tanpa pamrih. “Lillah” istilah umumnya ulama’ juga disebut Ikhlas tanpa pamrih.50 Sebagaimana telah dijelaskan di dalam kitab at-Tibyan an-Nawawi bab 4, Syekh Sahal at-Tasturi berkata:

َُدْحَو َِاَعَ ت ِه ِِتيِنَاَعَو ِّرِس ِِ ُُنْوُكُسَو ُُتَكَرَح َنْوُكَت ْنَأ ُصَاْخِإا

ٌءْيَش ُُحِزاَُُ َا

ًْنُد َاَو ًوَ َاَو ٌسْفَ ن ا

Artinya:

“Penerapan ikhlas adalah hendaknya gerak diamnya seseorang

baik pada saat sendirian maupun ada orang lain semata-mata hanya karena Allah swt, tidak dicampuri sesuatu baik dorongan nafsu, menuruti kehendak nafsu maupun pamrih dunia”.

Perlu ditegaskan pula bahwa perbuatan yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah Lillah terbatas hanya pada perbuatan yang

tidak terlarang (tidak melanggar syari’at). Adapun perbuatan yang melanggar syari’at atau undang-undang yang tidak di ridhai oleh Allah, atau yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, hal itu sama sekali tidak boleh di sertai dengan niat ibadah Lillah (karena Allah).51 Berikut ini adalah dasar-dasar Lillah.

50

Tim perumus, Kuliah Wahidiyah Untuk Menjernihkan Hati dan Ma‟rifat Billah Wa Birosulihi

SAW, 93.

51


(1)

82

Nafisatin, 18 tahun) sebagai santri Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh kepada peneliti sebagai berikut:

Pendidikan yang kita ajari disini mulai dari pendidikan Islam dan umum, jadi antara pendidikan Islam dan umum kita belajari semuanya. Terlebih lagi sekarang lagi ngetrenya universitas wahidiyah yang sudah membuka beberapa fakultas baru. Jumlah santri juga bertambah banyak, karena sekarang ini bertambahnya asrama pondok untuk putri.102

3. Nilna Muna

Nilna Muna selaku santri dari Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh. Menurut Nilna perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid sangat berkembang pesat dalam bidang ekonomi. Ekonomi para pengamal juga terangkat dengan adanya koperasi wahidiyah. Hal tersebut terbukti saat mujahadah kubro, saat mujahadah kubro berlangsung diadakannya koperasi wahidiyah yang melibatkan koperasi-koperasi daerah. Hal tersebut sebagaimana penuturan informan (Nilna Muna, 22 tahun) sebagai santri Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh kepada peneliti sebagai berikut:

Perkembangan yang lebih menonjol lebih ke bidang ekonomi, karena pengamal lebih terangkat dengan adanya koperasi wahidiyah. Terbukti dengan pelaksanaan mujahadah kubro berlangsung diadakan koperasi wahidiyah yang di ikuti oleh koperasi-koperasi daerah.103

102


(2)

83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah disampaikan pada beberapa bab

sebelumnya, penelitian tentang “Perkembangan Sholawat Wahidiyah di

Kelurahan Bandar Lor Mojoroto Kediri Jawa Timur Pada Masa KH. Abdul Latif Madjid (1989-2015)”, penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran yang dipergunakan sebagai bahan pemikiran atau pertimbangan sebagai berikut:

1. KH. Abdul Latif Madjid adalah pengasuh Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh yang lahir di lingkungan pesantren, tepatnya pada Jum’at Pahing tanggal 15 Agustus 1952. Setelah tamat sekolah beliau membentuk jamaah usbuiyah remaja di Kelurahan Bandar Lor, tidak lama setelah itu beliau mendirikan YMC (perbaikan moral kaum muda) pada tahun 1971 dan selanjutnya disusul dengan mendirikan perguruan bela diri “Jiwa Suci” yang bertujuan mengajak generasi muda supaya memiliki moral yang baik dan meningkatkan moral kaum muda.

2. Sejarah perkembangan sholawat wahidiyah di Kelurahan Bandar Lor pada tahun 1989 hingga tahun 2015 mengalami beberapa periode penting: Periode sebelum KH. Abdul Latif Madjid, yang ditandai dengan munculnya sholawat wahidiyah yang ditulis langsung oleh KH.


(3)

84

1989-1999 M, yang ditandai dengan pergantian pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh dan Yayasan Perjuangan Wahidiyah kepada KH. Abdul Latif Madjid. Periode tahun 1999-2009 M, yang ditandai dengan perkembangan dalam bidang pendidikan. Usaha untuk mengembangkan bidang pendidikan yang berbasis pada keilmuan, dan ke-Islaman terus dilakukan. Periode tahun 2009-2015 M, ditandai dengan perkembangan dalam bidang ekonomi yang mengangkat ekonomi para pengamal, serta diadakan ekspo koperasi yang melibatkan koperasi-koperasi wahidiyah daerah pada saat mujahadah kubro.

3. Dalam perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid ada beberapa pandangan masyarakat seperti, a) kalangan tokoh masyarakat; yang mana berpendapat tidak semua aliran dan gerakan tasawuf ini mampu berkembang dan tersebar luas. b) kalangan keluarga; berpendapat bahwa dari tahun ke tahun jumlah santri makin bertambah dan perkembangan ekspansi ke luar negeri, serta adanya

pembinaan dan pengiriman da’i ke luar negeri. c) kalangan santri; bahwa perkembangan yang lebih menonjol pada bidang pendidikan dan bidang ekonomi. Dalam bidang pendidikan ditandai dengan adanya universitas wahidiyah, sedangkan bidang ekonomi ditandai dengan adanya koperasi wahidiyah, karena ekonomi para pengamal terangkat dengan adanya koperasi wahidiyah tersebut.


(4)

85

B. Saran

Setelah menguraikan tentang penelitian ini, kaitannya dengan penelitian dalam skripsi penulis dengan sangat rendah hati ingin memberikan saran yang mungkin dapat bermanfaat dan untuk kepentingan penelitian lebih lanjut mengenai sholawat wahidiyah, adalah sebagai berikut:

1. Kepada pihak Fakultas Adab dan Humaniora khususnya Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Penulis berharap skripsi dengan judul

“Perkembangan Sholawat Wahidiyah di Kelurahan Bandar Lor

Mojoroto Kediri Jawa Timur Pada Masa KH. Abdul Latif Madjid (1989-2015)” dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lanjut terhadap skripsi ini.

2. Semoga penulisan skripsi ini bisa diterima dengan baik oleh pihak Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, sehingga bisa sebagai literature bagi penelitian selanjutnya.

3. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat luas. penulis berharap skripsi ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan tentang perkembangan sholawat wahidiyah pada masa KH. Abdul Latif Madjid yang berkembang pada bidang pendidikan, dan bidang ekonomi. penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alquran, 33 (al-Ahzab): 56.

Abdur, Abi Rahman bin Syuaib bin Ali. Sunan an-Nasa’i. Beirut: Dar al-Kutb, 1417 H.

Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Djarwanto. Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi. Jakarta: Liberty, 1990.

Huda, Sokhi. Tasawuf Kultural: Fenomena Salawat Wahidiyah. Yogyakarta: LkiS, 2008.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejara. Jakarta: Gramedia, 1993.

Perumus, Tim. Bahan Up Grading Da’i Wahidiyah. Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, 2007.

Perumus, Tim. Kuliah Wahidiyah Untuk Menjernihkan Hati dan Ma’rifat Billah Wa

Birosulihi SAW. Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo, 2015.

Rahman, A Rintoga. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Roucek, Joseph. Pengantar Sosiologi, terj. Sahat Sinamora. Surabaya: PT Bina Aksara, 1984.

Soekanto, Sorjono. Sosiologi Suatu Pengantar cet 4. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990.

Sunindhia, et al. Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Suhardono, Edy. Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya. Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama, 1994.

Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Syarif, Chumaidi Romas. Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2000.

Upgrading, Tim. Dai Wahidiyah Bag. A. Kediri: Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Podok Pesantren Kedunglo, 2007.


(6)

Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo. “Sarana

Meraih Kejernihan Hati dan Makrifat Billah” dalam Majalah Aham.

Kediri: Pondok Pesantren Kedunglo, 1999.

Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo. “Tawassul Sunnah Rasul yang Terabaikan” dalam Majalah Aham. Kediri: Pondok Pesantren Kedunglo, 2000.

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.