EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN KONSELING REALITAS UNTUK PENGEMBANGAN KENDALI DIRI PESERTA DIDIK: Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Peserta Didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/ 2014.

(1)

ABSTRAK

Sri Rahayu (2014). Efektivitas Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik. (Studi Kuasi Eksperimen pada Peserta Didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

Penelitian dilatarbelakangi oleh adanya fenomena yang menunjukkan berbagai gejala perilaku yang mengindikasikan rendahnya pengendalian diri peserta didik. Tujuan penelitian adalah memperoleh konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas yang efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, metode kuasi eksperimen dan desain equivalent pretest-posttest control group. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner berbentuk skala likert yang diadaptasi dari Self-Control Scale (SCS) dari Tangney, Baumeister & Boone (2004). Partisipan dalam penelitian adalah 30 siswa kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung dengan kendali diri kategori rendah yang dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (8 L : 7 P) dan kelompok eksperimen (8 L:7 P). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan Uji Wilcoxon Rank Sum (Man Whitney) Test. Hasil analisis data menunjukkan peningkatan skor kendali diri peserta didik setelah diberikan perlakuan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas signifikan, karena P value 0,000 <0.05 (α), maka disimpulkan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik.


(2)

ABSTRACT

Sri Rahayu (2014). Effectivity of Group Counseling with Reality Approach Model to Develop Student’s Self-Control. (QuasiExperimental Study on High School Students XIth Class Plus Mutahhari Bandung School Academic

2013/2014).

This research is based on phenomenon that shows a variety of behavioral symptoms that indicate low self-control amongst eleventh grade students of High School Plus Muthahhari Bandung. The purpose of the study was to obtain the effectiveness of group counseling with reality approach WDEP model in developing of student’s Self-control. This study used a quantitative approach and quasi-experimental method with equivalent pretest-posttest control group design. During the Likert Scale Questionnaire form adapted from Self-Control Scale (SCS) by Tangney, Baumeister & Boone (2004) was used the technique to collect data questionnaires. The participants of the study were 30 students of class XIth High School Class Plus Muthahhari Bandung who had lower Self-control categories, and divided into control group (8 M : 7 F), and experimental group (8 M : 7 F). The taken sample was done using purposive sampling, and the Technique analysis used Wilcoxon Rank Sum (Man Whitney) test. The result show that group counseling with reality model can increase student’s Self-control, because P value 0,000 < 0,05 (α), that it can be concluded that group counseling with reality model effective to develop students Self-Control.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACK iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GRAFIK xii

DAFTAR GAMBAR xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitian 12

E. Manfaat Penelitian 13

F. Struktur Organisasi Penelitian 13

BAB II KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN REALITAS UNTUK PENGEMBANGAN KENDALI DIRI

A. Konsep Dasar Kendali Diri 14

1. Pengertian Kendali Diri 15

2. Aspek-Aspek Kendali Diri 19

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kendali Diri 22

4. Tingkatan Kendali Diri 23

5. Perkembangan Kendali Diri 25

6. Pengembangan Kendali Diri melalui Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Realitas

27


(4)

C. Asumsi Penelitian dan Hipotesis Penelitian 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Desain Penelitian 48

B. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian 49

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 50

1. Variabel Penelitian 50

2. Definisi Operasional Variabel 50

D. Instrumen Penelitian 54

1. Instrumen Kendali Diri 54

2. Validasi Instrumen 56

E. Rancangan Intervensi Konseling Kelompok dengan Menggunakan Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik

59

F. Teknik Pengumpulan Data 89

G. Teknik Analisis Data 89

H. Prosedur Penelitian 93

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 95

B. Refleksi Pelaksanaan Kegiatan Konseling Kelompok Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik

128

C. Keterbatasan Penelitian 134

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 136

B. Rekomendasi 136


(5)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. SK Pengangkatan Pembimbing dan Surat Izin Penelitian

2. Panduan Pelaksanaan Program Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri Peserta Didik

3. Satuan Kegiatan Layanan Konseling Kelompok 4. Instrumen Penelitian

5. Hasil Pengolahan Data Penelitian 6. Dokumentasi Penelitian


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel hal

3.1 Kisi-Kisi Instrumen Kendali Diri 55

3.2 Pedoman Skoring Kuesioner Kendali Diri 55

3.3 Matriks Pelaksanaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Konseling Realitas untuk Pengembangan Kendali Diri

67

3.4 Kriteria Profil Variabel Kendali Diri 90

3.5 Kategori Skor Kendali Diri Peserta Didik 91

3.6 Interpretasi Skor Kategori Kendali Diri 91

4.1 Uji Wilcoxon Rank Sum (Mann Whitney) Test Data Kendali Diri 96 4.2 Uji Wilcoxon Sign Rank Test Data Kendali Diri Kelompok

Eksperimen


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar hal

2.1 Bagan Kerangka Pemikiran 45


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Dalam masa peralihan tersebut, banyak perubahan yang harus dihadapi oleh para remaja. Menurut Santrock (2003), remaja akan mengalami banyak perubahan, baik biologis, kognitif, sosial, dan emosional. Berbagai perubahan yang terjadi akan berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku remaja. Perubahan minat sosial telah mempengaruhi perilaku sosial remaja, menurut Erikson krisis identitas yang terjadi pada remaja, menyebabkan mereka akan terus mencari jati dirinya. Dalam proses pencarian identitas tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku remaja yang tercermin melalui pemberian simbol diri, munculnya figur atau idola, serta bergabungnya remaja dalam kelompok-kelompok tertentu (Saripah, 2012:33). Kelompok remaja menjadi simbol identitas remaja. Mereka menjadi patuh terhadap standar kelompoknya dan ingin mendapatkan pengakuan dari kelompok sebayanya. Menurut Gunarsa (2006), kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku, dan berhubungan sosial, namun juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat, sehingga mereka

menjadi “overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat

merusak.

Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual dapat mempengaruhi perkembangan emosi yang akhirnya mempengaruhi perilaku remaja. Pada usia remaja, perkembangan emosi menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial (Yusuf, 2011), sehingga masa ini disebut sebagai masa bergejolak (Storm and Stress Period) dibandingkan dengan periode sebelumnya (Hurlock, 1998). Kebutuhan dari dalam diri turut mempengaruhi perilaku remaja. Glasser (Komalasari dkk., 2011) menyatakan bahwa dalam diri manusia memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya universal. Kebutuhan tersebut meliputi: (1) Kebutuhan cinta dan rasa memiliki; (2)


(9)

2

Kebutuhan akan kekuasaan dan prestasi; (3) Kebutuhan akan kekuasaan, seperti berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan; (4) Kebutuhan akan kesenangan; (5) Kebutuhan akan kebebasan; (6) Kebutuhan untuk hidup. Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) bagi seorang remaja untuk melakukan suatu tindakan.

Tidak hanya perubahan dan kebutuhan secara internal saja yang mempengaruhi perilaku remaja, mereka juga harus menghadapi berbagai perubahan dari lingkungannya. Perubahan lingkungan sosial besar pengaruhnya bagi perkembangan kehidupan sosial dan emosional remaja (Berliner & Calfee, 1996, dalam Kusumandari, 2008). Kemajuan teknologi informasi pada era globalisasi meliputi hampir seluruh bidang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku, gaya hidup, dan nilai-nilai hidup remaja. Perubahan pola hidup masyarakat bertransformasi menjadi global society yang ditandai oleh perkembangan informasi yang semakin canggih menjadi tantangan tersendiri bagi remaja masa kini, dimana mereka harus menghadapi lingkungan yang segala sesuatu dapat berubah dengan sangat cepat dan tingkat persaingan hidup yang semakin kompetitif. (Retnowati, 2011).

Dalam menghadapi berbagai perubahan, kebutuhan, keinginan, tantangan atau hambatan, baik berasal dari dalam diri maupun lingkungan, seorang remaja dituntut untuk dapat menghadapinya dengan baik. Sebagai makhluk sosial, remaja tidak mungkin menghindar dari pengaruh lingkungan dalam proses interaksi dengan lingkungannya, namun disisi lain juga remaja dituntut untuk dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Pada kenyataannya, tidak semua remaja mampu menghadapi berbagai stimulus, godaan, tantangan dengan mulus atau linier sesuai dengan potensi yang dimiliki dan nilai-nilai yang berlaku, sehingga muncul berbagai perilaku menyimpang atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja.

Saat ini masyarakat seringkali disajikan berbagai pemberitaan mengenai kasus pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh remaja. Seperti kasus perkelahian yang terjadi di kalangan remaja. Berdasarkan pemberitaan dari www.kompasiana.com tanggal 27 September 2012, Komisi Perlindungan Anak


(10)

3

mencatat kasus tawuran yang dilakukan kalangan pelajar di wilayah Jabodetabek mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2012 sebanyak 102 kasus yang menyebabkan 17 pelajar meninggal dunia. Pada tahun 2013 jumlah kasus meningkat menjadi 103 kasus dengan korban meninggal sebanyak 17 orang. Gambaran ini menjadi sangat mengkhawatirkan karena kasus tawuran telah menyebabkan jumlah kematian yang terus meningkat setiap tahunnya.

Kasus merokok di kalangan remaja mengalami peningkatan cukup signifikan setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 1995 jumlah perokok anak dan remaja berusia 10-14 tahun di Indonesia mencapai 71.216 orang dan pada tahun 2007, angka tersebut menjadi meningkat 6 kali lipat menjadi 426.214 orang. Sejumlah 77% remaja berpendapat bahwa yang mempengaruhi mereka untuk mencoba rokok adalah iklan rokok yang ditampilkan di berbagai media massa (Kinanti, 2013 dalam Ariningsun & Pratiwi, 2014). Masalah kenakalan remaja juga mengalami peningkatan yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Kasubseksi bimbingan kerja anak badan pemasyarakatan kelas I, pengadilan Negeri Bandung rata-rata tiap bulan menghadapi 30 kasus kriminal yang dilakukan anak usia 14-18 tahun. Kasus ini mencakup pencurian, pemerasan, dan narkotika (Rahmadani, 2013).

Berbagai kasus yang terjadi pada remaja menjadi problematika tersendiri yang membutuhkan penanganan segera. Kondisi ini tentunya selain merugikan remaja, juga memberikan dampak negatif bagi generasi yang akan datang. Seperti yang dikutip pada Harian Pikiran Rakyat Minggu 21 september 2014 dalam topik Building Golden Generation pada symposium dies natalis 57 Fakultas kedokteran UNPAD, WHO (World Health Organization) memperkirakan 70 % kematian dini pada usia dewasa sangat dipengaruhi oleh perilaku saat masa remaja. Banyaknya stressor yang dihadapi remaja menimbulkan permasalahan kompleks yang akhirnya menimbulkan gangguan fisik yang tidak jelas penyebabnya, termasuk juga permasalahan sosial seperti malas sekolah, membolos, tawuran, dan menyalahgunakan zat terlarang.

Baumeister, Heatherton, & Tice (1994: 3) dalam buku yang berjudul


(11)

4

kesimpulan utama berdasarkan hasil penelitian dan observasi yang telah dilakukan tentang fenomena permasalahan sosial pada masyarakat Amerika yang terjadi pada akhir abad 21 ini, yaitu kegagalan seseorang dalam mengendalikan atau meregulasi diri merupakan faktor utama penyebab munculnya perilaku yang bersifat patologi sosial. Permasalahan sosial yang terjadi pada kalangan remaja pada dasarnya merefleksikan tentang kesulitan individu dalam mengatur atau mengendalikan kehidupannya, sehingga muncul berbagai gejala perilaku negatif yang ditampilkan remaja, seperti bertindak secara impulsif, cenderung reaktif, memiliki masalah emosi berlebihan, terlibat perkelahian dengan temannya, mengalami masalah kecanduan, merokok, masalah sekolah seperti kurangnya ketekunan dalam mengerjakan tugas. Perilaku-perilaku tersebut mengindikasikan rendahnya kendali diri ( Low Self-control) (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007).

Kendali diri berperan penting bagi kehidupan remaja. Kay (Yusuf, 2001:72) menyatakan bahwa seorang remaja harus dapat memperkuat self-control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. Kendali diri itu sendiri diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengubah respon dengan mengatur alur pikir, emosi, impuls, mengendalikan performa dan mampu menampilkan secara optimal, serta mampu mengendalikan kebiasaan-kebiasaan (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Kemampuan mengubah respon tersebut bertujuan untuk membawa mereka ke dalam perilaku yang sesuai dengan standar seperti cita-cita, aturan dan nilai masyarakat, moral, harapan sosial, dan mendukung dalam mengejar tujuan jangka panjang (Baumeister, Heatherton, & Tice, 1994).

Pada dasarnya kemampuan mengontrol tingkah laku menurut Glasser (1989,dalam Komalasari dkk., 2011, h. 237-238) telah dimiliki oleh setiap individu sebagai potensi dasar. Glasser memandang optimis bahwa setiap individu dapat menampilkan tingkah laku yang bertanggung jawab, yaitu mengontrol diri dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan, akan tetapi dalam perkembangannya potensi ini akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Hurlock terdapat dua faktor yang mempengaruhi kendali diri, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi usia dan kematangan. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan dan pendidikan. Dengan demikian tingkat kendali diri antara remaja


(12)

5

satu dengan yang lainnya akan berbeda tergantung pada faktor yang mempengaruhinya. Remaja dengan kendali diri tinggi mampu mengubah respon ke arah yang lebih positif, sehingga ia dapat menampilkan perilaku yang bertanggung jawab sesuai dengan nilai atau aturan yang berlaku. Sedangkan individu dengan kendali diri rendah menurut Woolfolk (2011, dalam Ariningsun & Pratiwi, 2014) tidak mampu memandu, mengarahkan, dan mengatur perilakunya dalam menghadapi berbagai dorongan, rangsangan, tantangan, baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungannya, sehingga muncul berbagai permasalahan perilaku yang dilakukan oleh remaja.

Permasalahan rendahnya kendali diri pada remaja, tidak hanya sekedar meningkatkan pemahaman, akan tetapi juga harus disertai penanganan secara konstruktif oleh berbagai pihak. Apabila tidak maka akan berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya yaitu masa dewasa. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Brooks (1981, dalam Kusumandari, 2008) terhadap responden usia remaja awal sampai usia 30-40 an menemukan bahwa kontrol diri pada usia remaja awal dapat memprediksikan tingkat kontrol diri pada usia dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas kontrol diri pada masa remaja, maka ia akan memiliki kualitas kontrol diri yang baik pada usia dewasa.

Upaya pengembangan kemampuan pengendalian diri (Self-Control) dapat menjadi salah satu bentuk langkah penanganan yang dilakukan, khususnya oleh pendidik dalam memberikan pendidikan keterampilan hidup dengan tujuan untuk mengatasi persoalan rendahnya pengendalian diri yang terjadi pada para remaja. Sekolah merupakan institusi pendidikan yang memiliki tujuan salah satunya meningkatkan potensi peserta didik. Keselarasan tujuan pendidikan dengan pelaksanaan pendidikan secara real dapat diukur salah satunya melalui penyelenggaran bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan dan Konseling memiliki peranan penting untuk memfasilitasi siswa agar mencapai perkembangan yang optimal dan mengembangkan potensi yang dimiliki, salah satunya kemampuan pengendalian diri (Self-Control).

SMA Plus Muthahhari Bandung merupakan salah satu sekolah yang sangat concern terhadap peningkatan kualitas karakter dan kepribadian peserta didik.


(13)

6

Sekolah yang memiliki simbol sebagai Sekolah Para Juara dan Misi untuk mengembangkan Inteligensi, Kreativitas, dan Akhlak ini pada tahun 1998 telah ditunjuk sebagai sekolah model oleh World Bank, Depdiknas dan Depag. Pada tahun 2002 telah ditunjuk sebagai satu satunya sekolah uji coba pelaksanaan Pendidikan Berwawasan Khusus, Kepribadian, dan Budi Pekerti (PBK) dan tahun 2010 juga ditunjuk oleh Direktorat PSMAK sebagai sekolah pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Selarasnya komitmen sekolah untuk mengembangkan akhlak dan kepribadian peserta didik terbukti dalam bentuk program unggulan yang dimiliki dan dijadikan sebagai “kekhasan” sekolah ini, yaitu program Spirit Camp dan Spirit Work Camp (SWC) yang diadakan setiap tahun. Program ini sebagai realisasi komitmen sekolah untuk meningkatkan kualitas karakter, akhlak, dan kepribadian peserta didik, namun pada kenyataannya sekolah masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang dihadapi justru menunjukkan kualitas kepribadian peserta didik yang masih kurang baik, yaitu rendahnya kemampuan pengendalian diri.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui hasil observasi selama melakukan Program Pengalaman Lapangan banyak ditemui pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa peserta didik seperti tidak mengerjakan tugas yang diperintahkan oleh guru, malas, bolos sekolah untuk menghindari tugas, berani melawan atau mengabaikan perintah dari guru, merokok. Hasil wawancara terhadap guru BK, kasus pelanggaran yang terjadi paling banyak dilakukan oleh kelas XI, seperti merokok, bolos sekolah, tidak memperhatikan guru saat pelajaran, terlibat perkelahian dengan temannya, menghabiskan banyak waktu bermain games di warnet. Sedangkan berdasarkan wawancara terhadap beberapa peserta didik kelas XI, menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan tersebut lebih banyak terpengaruh oleh ajakan teman, banyaknya tugas dan kegiatan yang diadakan oleh pihak sekolah pun dirasakan sebagai beban dan akhirnya timbul keinginan untuk melanggar perintah dari guru, khususnya dalam penyelesaian tugas.

Fenomena tersebut diperkuat melalui hasil studi pendahuluan melalui penyebaran angket yang mengungkap tentang kemampuan pengendalian diri


(14)

7

peserta didik Kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 dan diperoleh hasil yaitu dari 56 orang peserta didik Kelas XI terdapat 35 orang memiliki kemampuan pengendalian diri pada kategori tinggi dengan persentase sebesar 62,50 % dan 21 orang memiliki kemampuan pengendalian diri pada kategori rendah dengan persentase sebesar 37,50%. Peserta didik yang teridentifikasi memiliki tingkat kendali diri kategori tinggi apabila ditelaah lebih mendalam terdapat beberapa peserta didik yang mendekati skor kategori rendah. Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sebagian peserta didik kelas XI pada umumnya dapat mengendalikan diri, namun belum optimal.

Secara lebih spesifik, kendali diri secara umum akan tercermin dalam lima aspek kemampuan (Tangney et. al. 2004). Hasil studi pendahuluan terhadap aspek-aspek kendali diri menunjukkan yaitu pada aspek Kedisiplinan Diri (Self-Discipline) memiliki persentase sebesar 30,36% berada pada kategori tinggi dan 64% berada pada kategori rendah. Aspek Pengendalian Tindakan Impulsif (Non Impulsive action) 64,29% berada pada kategori tinggi dan 35,71% berada pada kategori rendah. Aspek Kebiasaan hidup sehat (Healthy Habits) 51,79% berada pada kategori tinggi 48,21% berada pada kategori rendah. Aspek etos kerja (Work Ethic) 50% berada pada kategori tinggi dan 50% berada pada kategori rendah. Aspek Keandalan Diri (Reliability)) 76,79% berada pada kategori tinggi dan 23,21% berada pada kategori rendah.

Fakta empirik diatas menunjukkan bahwa kendali diri sangat penting untuk dikembangkan. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal melalui layanan bimbingan dan konseling selayaknya memfasilitasi berbagai pengalaman belajar yang dapat mengoptimalkan kendali diri peserta didik, akan tetapi yang terjadi di SMA Plus Muthahhari Bandung, penanganan yang dilakukan oleh guru BK selama ini menjadi perhatian, karena layanan yang diberikan selama ini masih sebatas memberikan bimbingan kelompok secara klasikal dengan tema yang dibahas hanya memberikan pengarahan mengenai pengelolaan emosi saja. Layanan tersebut juga hanya diberikan 3 kali dalam satu tahun ajaran. Penanganan terhadap kasus yang terjadi bersifat incidental. Belum ada suatu upaya khusus


(15)

8

yang terfokus dan terstruktur secara sistematis untuk mengatasi masalah pengendalian diri.

Intervensi secara khusus untuk mengatasi persoalan rendahnya kendali diri peserta didik pada kelas XI salah satunya dengan memberikan layanan konseling kelompok. Hal ini berdasarkan keterangan bahwa masalah yang terjadi tidak hanya pada satu atau dua individu saja, sehingga memungkinkan untuk dilakukan layanan konseling secara kelompok. Menurut Nurihsan (2006:24) konseling kelompok merupakan bantuan kepada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Konseling kelompok bersifat memberi kemudahan bagi pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti memberikan kesempatan, dorongan, juga pengarahan kepada individu-individu yang bersangkutan untuk mengubah sikap dan perilakunya selaras dengan lingkungannya.

Pendekatan konseling kelompok untuk pengembangan kendali diri harus menekankan pada pembenahan berfikir dan perilaku (Yusuf, LN & Nurihsan, A.J., 2007:137). Salah satu pendekatan dalam konseling kelompok yang berorientasi pada pengubahan cara berfikir dan perilaku ialah konseling realitas. Konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas terbukti berkontribusi positif terhadap pengendalian diri siswa telah diperkuat melalui hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bernardus Widodo (2010) tentang Keefektifan Konseling Kelompok Realitas untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin Siswa di SMK PGRI Wonosari Caruban Madiun dengan sampel penelitian 8 orang siswa kelas 1 yang memiliki perilaku tidak disiplin. Rancangan penelitian tipe pra eksperimen dan desain penelitian ialah One group pretest posttest design. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan pada aspek pengendalian diri dan penurunan jumlah atau pengurangan durasi pada perilaku indisipliner siswa. Pada pengukuran statistik kedua dari ke-3 aspek pengendalian diri diperoleh signifikan pada taraf 0,011. Hasil olah data tersebut menunjukkan bahwa perlakuan konseling kelompok realitas efektif untuk meningkatkan perilaku disiplin siswa.


(16)

9

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kendali diri dapat dikembangkan melalui konseling kelompok dengan pendekatan realitas. Konseling realitas yang dikembangkan oleh Glasser (Gladding, 2012) merupakan model konseling yang berorientasi pada tindakan. Glasser (1998) memandang optimis bahwa manusia memiliki potensi dan dorongan untuk belajar dan tumbuh (growth force). manusia dipandang mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri yang biasa disebut Self-determining. Oleh karena itu pada konseling realitas ini, peserta didik diarahkan untuk dapat memilih dan menentukan tindakan yang bertanggung jawab bagi dirinya dan orang yang bertanggung jawab ialah seseorang yang dapat memenuhi kebutuhannya tidak terlepas dari prinsip 3R, yaitu Responsibility, Right, & Reality.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas diperoleh kejelasan masalah dan menemukan pentingnya pengembangan kendali diri sebagai potensi yang berperan penting dalam perkembangan peserta didik yang tengah berada pada masa remaja. Daya kontrol diri memiliki kapasitas besar dalam memberikan perubahan positif pada kehidupan seseorang. Cavanagh (2002) menyatakan bahwa pengendalian diri sebagai bagian penting dalam diri, karena dengan adanya kendali diri, seseorang dapat menggunakan energi dengan tepat, sehingga memungkinkan seseorang tersebut membimbing kehidupan ke arah yang lebih baik.

Seseorang dengan kendali diri tinggi dihubungkan dengan hampir semua perilaku yang mendukung sebuah kehidupan yang sukses dan sehat (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Sedangkan kendali diri rendah akan berkembang menjadi berbagai masalah. menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), Kendali diri rendah merupakan faktor signifikan yang menyebabkan individu mengalami berbagai masalah pribadi dan masalah interpersonal. Erikson (Santrock, 2003:523) menyatakan penyebab tergelincirnya remaja dalam perilaku kenakalan atau perilaku negatif yang tidak sesuai dengan aturan, nilai atau norma yang berlaku disebabkan oleh gagalnya remaja dalam mengembangkan kontrol


(17)

10

diri yang cukup pada tingkah laku mereka. Mereka gagal membedakan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya, namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam mengggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.

Pada dasarnya k endali diri individu ditentukan oleh besarnya upaya individu tersebut untuk mempertinggi kontrol dirinya pada saat menghadapi berbagai stimulus baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan yang memberikan dampak negatif bagi dirinya. Baumeister et. al. (1994) mengemukakan bahwa terdapat empat domain utama yang membentuk kendali diri melalui pengaturan pikiran, emosi, impuls/ dorongan, dan performa. Semakin mampu seseorang untuk mengatur pikiran, emosi, impuls/dorongan, dan performa, maka akan semakin mampu mengendalikan dirinya. Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya secara umum akan tercermin atau akan ditunjukkan melalui lima kemampuan, yaitu kedisiplinan diri (Self-discipline), pengendalian tindakan impulsif (Non impulsive action), kebiasaan hidup sehat (Healthy Habits), etos kerja (Self-Regulation in service at Work Ethic),dan keandalan diri (Reliability) (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).

Uraian di atas dapat menjadi gambaran jelas mengenai permasalahan yang mendasar yang terjadi pada peserta didik kelas XI ialah bukan banyaknya masalah, hambatan atau tantangan yang dihadapi, akan tetapi disebabkan oleh lemahnya kendali diri peserta didik, sehingga mereka kurang mampu membimbing tingkah laku mereka sendiri ke arah yang positif, kurang mampu mengatur pemikiran, emosi, impuls/dorongan, performa dan mengarahkannya ke arah yang positif, akhirnya saat menghadapi berbagai stimulus dalam lingkungannya seringkali mengambil cara negatif bahkan destruktif, sehingga timbulah berbagai perilaku negatif, seperti perilaku indisipliner, membolos, malas, penentangan terhadap aturan, mengabaikan perintah atau tidak memperhatikan tugas yang diberikan guru, sampai pada tindakan perkelahian. Perilaku ini juga dapat disebabkan oleh kurang terpenuhinya berbagai kebutuhan yang ingin dicapainya. Keterhambatan atau seseorang mengalami masalah pada dasarnya karena penyangkalan terhadap


(18)

11

realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Thompson, et.al.,2004, dalam Komalasari h. 236). Dalam kaitan layanan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kendali diri sebagai salah satu potensi penting yang harus dimiliki remaja masih terlihat kurang optimal yang dapat dilihat dari penanganan kasus yang bersifat incidental saja, belum ada upaya secara khusus dan sistematis untuk mengatasi masalah rendahnya kendali diri.

Dengan demikian untuk mengatasi agar mereka memiliki kendali diri yang baik ialah mengembangkan kendali diri secara internal, sehingga mereka akan selalu mengendalikan dan mengarahkan dirinya ke arah yang lebih positif tanpa harus diawasi, dipantau, atau ditekan oleh orang lain, karena perilaku kepatuhan sesuai standar nilai atau aturan tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan didasarkan pada keinginannya sendiri untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban di dalam kehidupan (Edwards, 1993, Durkheim 1990, dalam Widodo, 2010).

Pengembangan kendali diri dapat dilakukan melalui layanan yang dapat membangun kesadaran yang pada akhirnya akan mampu mengubah perilakunya menjadi lebih positif. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ron Wilson & Rhena Branch (2001:11, dalam Tajiri, 2012) bahwa salah satu model konseling yang dipandang efektif untuk mengembangkan kontrol diri ialah konseling dengan pendekatan kognitif-perilaku. Salah satu teknik konseling yang menggunakan pendekatan kognitif-perilaku ialah konseling realitas yang konsep dasarnya ialah kunci untuk mengubah total behavior (perilaku total), yakni doing (tindakan), thinking (pikiran), perasaan (feeling), dan fisik atau respon-respon fisiologis (physiology) terletak pada pemilihan untuk mengubah yang dipikirkan dan dilakukan. Sementara itu reaksi emosi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut. (Corey 1991: 524, dalam Komalasari dkk.,2011 h.240). Keandalan konseling ini ialah dapat meningkatkan tanggung jawab atas tindakan yang dipilih oleh konseli dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan dan sumber daya untuk mengontrol kehidupannya saat ini. Keuntungan lain yang diperoleh melalui intervensi ini ialah terapi realitas tampak sangat cocok bagi


(19)

12

intervensi singkat dalam setting sekolah untuk penanganan masalah remaja (Corey, 2005: 281)

Intervensi konseling kelompok melalui pendekatan konseling realitas yang diberikan tidak hanya memberikan upaya penyadaran melalui penilaian secara realistis terhadap perilakunya. Intervensi ini juga mengarahkan individu secara bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan sendiri perencanaan perubahan perilaku untuk memperbaiki kondisi yang dihadapinya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan. Sesuai yang dikemukakan oleh Baumeister, et.al. (1994) seseorang yang kehilangan kontrol diri ialah orang yang tidak bisa menentukan tujuan atau sebenarnya dapat menentukan tujuan, tetapi tidak mungkin dicapai, sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kendali dengan tidak memperhatikan perilakunya, maka dari itu seseorang perlu melihat tujuan jangka panjang agar tidak kehilangan kontrol diri. Selain itu juga kegagalan kontrol diri diakibatkan oleh gagalnya seseorang dalam memonitor perilakunya. Konseling kelompok realitas ini mengakomodasi peserta didik untuk dapat mengevaluasi, menetapkan tujuan, dan memonitor perilaku. Konsekuensi yang didapat merupakan hasil dari bagaimana mereka mengevaluasi dan memilih tindakannya.

Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, maka batasan dalam penelitian ini difokuskan pada pengembangan Self-control rendah pada peserta didik kelas XI melalui konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas, Secara lebih spesifik lagi batas penelitian ini ialah untuk melihat keefektifan konseling realitas dalam pengembangan kendali diri peserta didik yang masih belum teruji dan harus dibuktikan dalam penelitian.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas yang efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik kelas XI di SMA Plus Muthahhari Bandung.


(20)

13

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi guru bimbingan konseling dan peneliti selanjutnya

1. Sebagai rujukan bagi guru Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan layanan konseling, terutama dalam konseling sosial-pribadi dalam setting kelompok di sekolah dan secara khusus dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi model layanan konseling kelompok dalam menangani kasus rendahnya pengendalian diri peserta didik.

2. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan rujukan serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kendali diri dan konseling kelompok realitas.

E. Struktur Organisasi Penelitian

Penelitian dituliskan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: 1. Bab I pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi penelitian.

2. Bab II berisi konsep teoretik yang berisi mengenai konsep tentang kendali diri, pengembangan kendali diri melalui konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas, kerangka pemikiran, asumsi penelitian, dan hipotesis penelitian.

3. Bab III, berisi tentang metodologi penelitian, meliputi pendekatan dan metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, prosedur dan teknik pengolahan data.

4. Bab IV, dikemukakan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yang meliputi hasil penelitian dan pembahasan penelitian.


(21)

136

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk pengembangan kendali diri peserta didik secara keseluruhan yang meliputi aspek kedisiplinan diri, aspek pengendalian tindakan impulsif, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek etos kerja, dan aspek keandalan diri.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian tentang konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas untuk pengembangan kendali diri peserta didik kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung dihasilkan rekomendasi sebagai berikut: 1. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling/ Konselor

a. Hasil penelitian menunjukkan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk pengembangan kendali diri peserta didik. Dengan demikian guru bimbingan dan konseling dapat menerapkan upaya preventif yaitu mengagendakan program bimbingan untuk meningkatkan pengendalian diri. Langkah yang dapat dilakukan yaitu menganalisis berbagai kebutuhan (need asessment) permasalahan dan hambatan yang dialami peserta didik untuk mendukung upaya pengembangan kendali diri, melakukan asessment menggunakan kuesioner kendali diri dan memberikan pemahaman akan pentingnya kendali diri. Guru bimbingan dan konseling juga seyogyanya memanfaatkan hasil penelitian dan mengimplementasikan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas sebagai alternatif layanan untuk mengatasi permasalahan rendahnya kendali diri peserta didik.

b. Dalam penerapan konseling kelompok realitas membutuhkan pemahaman teori dan keterampilan. Untuk itu direkomendasikan kepada guru bimbingan dan konseling untuk mengikuti pelatihan pada lembaga terkait tentang penerapan konseling kelompok realitas.


(22)

137

2. Bagi peneliti selanjutnya

Berangkat dari keterbatasan-keterbatasan penelitian yang telah dikemukakan maka disarankan hal-hal berikut untuk peneliti selanjutnya:

a. Observasi pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan realitas tidak hanya pada dokumentasi pelaksanaannya saja, tetapi juga disarankan untuk dilengkapi dengan format observasi khusus seperti format observasi check list untuk mendokumentasikan perubahan perilaku dari sebelum kegiatan dan sesudah kegiatan agar lebih akurat.

b. Tahapan dalam konseling kelompok realitas disarankan tidak hanya sampai pada tahap komitmen, akan tetapi juga dapat sampai pada tahap tindak lanjut (follow up). Tahap tindak lanjut ini merupakan tahap dimana konselor memonitor dan mengevaluasi perubahan perilaku secara real di luar sesi konseling. Perubahan perilaku yang paling penting ialah terlihat dari luar sesi konseling

c. Menggunakan setting penelitian yang lebih sempit, seperti desain Single Subject dengan jumlah sampel yang relatif terbatas untuk menambah kedalaman data mengenai keefektifan program layanan konseling kelompok realitas.


(1)

diri yang cukup pada tingkah laku mereka. Mereka gagal membedakan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya, namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam mengggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.

Pada dasarnya k endali diri individu ditentukan oleh besarnya upaya individu tersebut untuk mempertinggi kontrol dirinya pada saat menghadapi berbagai stimulus baik yang berasal dari dalam diri maupun lingkungan yang memberikan dampak negatif bagi dirinya. Baumeister et. al. (1994) mengemukakan bahwa terdapat empat domain utama yang membentuk kendali diri melalui pengaturan pikiran, emosi, impuls/ dorongan, dan performa. Semakin mampu seseorang untuk mengatur pikiran, emosi, impuls/dorongan, dan performa, maka akan semakin mampu mengendalikan dirinya. Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya secara umum akan tercermin atau akan ditunjukkan melalui lima kemampuan, yaitu kedisiplinan diri (Self-discipline), pengendalian tindakan impulsif (Non impulsive action), kebiasaan hidup sehat (Healthy Habits), etos kerja (Self-Regulation in service at Work Ethic),dan keandalan diri (Reliability) (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).

Uraian di atas dapat menjadi gambaran jelas mengenai permasalahan yang mendasar yang terjadi pada peserta didik kelas XI ialah bukan banyaknya masalah, hambatan atau tantangan yang dihadapi, akan tetapi disebabkan oleh lemahnya kendali diri peserta didik, sehingga mereka kurang mampu membimbing tingkah laku mereka sendiri ke arah yang positif, kurang mampu mengatur pemikiran, emosi, impuls/dorongan, performa dan mengarahkannya ke arah yang positif, akhirnya saat menghadapi berbagai stimulus dalam lingkungannya seringkali mengambil cara negatif bahkan destruktif, sehingga timbulah berbagai perilaku negatif, seperti perilaku indisipliner, membolos, malas, penentangan terhadap aturan, mengabaikan perintah atau tidak memperhatikan tugas yang diberikan guru, sampai pada tindakan perkelahian. Perilaku ini juga dapat disebabkan oleh kurang terpenuhinya berbagai kebutuhan yang ingin dicapainya. Keterhambatan atau seseorang mengalami masalah pada dasarnya karena penyangkalan terhadap


(2)

realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Thompson, et.al.,2004, dalam Komalasari h. 236). Dalam kaitan layanan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kendali diri sebagai salah satu potensi penting yang harus dimiliki remaja masih terlihat kurang optimal yang dapat dilihat dari penanganan kasus yang bersifat incidental saja, belum ada upaya secara khusus dan sistematis untuk mengatasi masalah rendahnya kendali diri.

Dengan demikian untuk mengatasi agar mereka memiliki kendali diri yang baik ialah mengembangkan kendali diri secara internal, sehingga mereka akan selalu mengendalikan dan mengarahkan dirinya ke arah yang lebih positif tanpa harus diawasi, dipantau, atau ditekan oleh orang lain, karena perilaku kepatuhan sesuai standar nilai atau aturan tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan didasarkan pada keinginannya sendiri untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban di dalam kehidupan (Edwards, 1993, Durkheim 1990, dalam Widodo, 2010).

Pengembangan kendali diri dapat dilakukan melalui layanan yang dapat membangun kesadaran yang pada akhirnya akan mampu mengubah perilakunya menjadi lebih positif. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ron Wilson & Rhena Branch (2001:11, dalam Tajiri, 2012) bahwa salah satu model konseling yang dipandang efektif untuk mengembangkan kontrol diri ialah konseling dengan pendekatan kognitif-perilaku. Salah satu teknik konseling yang menggunakan pendekatan kognitif-perilaku ialah konseling realitas yang konsep dasarnya ialah kunci untuk mengubah total behavior (perilaku total), yakni doing (tindakan), thinking (pikiran), perasaan (feeling), dan fisik atau respon-respon fisiologis (physiology) terletak pada pemilihan untuk mengubah yang dipikirkan dan dilakukan. Sementara itu reaksi emosi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut. (Corey 1991: 524, dalam Komalasari dkk.,2011 h.240). Keandalan konseling ini ialah dapat meningkatkan tanggung jawab atas tindakan yang dipilih oleh konseli dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan dan sumber daya untuk mengontrol kehidupannya saat ini. Keuntungan lain yang diperoleh melalui intervensi ini ialah terapi realitas tampak sangat cocok bagi


(3)

intervensi singkat dalam setting sekolah untuk penanganan masalah remaja (Corey, 2005: 281)

Intervensi konseling kelompok melalui pendekatan konseling realitas yang diberikan tidak hanya memberikan upaya penyadaran melalui penilaian secara realistis terhadap perilakunya. Intervensi ini juga mengarahkan individu secara bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan sendiri perencanaan perubahan perilaku untuk memperbaiki kondisi yang dihadapinya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan. Sesuai yang dikemukakan oleh Baumeister, et.al. (1994) seseorang yang kehilangan kontrol diri ialah orang yang tidak bisa menentukan tujuan atau sebenarnya dapat menentukan tujuan, tetapi tidak mungkin dicapai, sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kendali dengan tidak memperhatikan perilakunya, maka dari itu seseorang perlu melihat tujuan jangka panjang agar tidak kehilangan kontrol diri. Selain itu juga kegagalan kontrol diri diakibatkan oleh gagalnya seseorang dalam memonitor perilakunya. Konseling kelompok realitas ini mengakomodasi peserta didik untuk dapat mengevaluasi, menetapkan tujuan, dan memonitor perilaku. Konsekuensi yang didapat merupakan hasil dari bagaimana mereka mengevaluasi dan memilih tindakannya.

Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, maka batasan dalam penelitian ini difokuskan pada pengembangan Self-control rendah pada peserta didik kelas XI melalui konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas, Secara lebih spesifik lagi batas penelitian ini ialah untuk melihat keefektifan konseling realitas dalam pengembangan kendali diri peserta didik yang masih belum teruji dan harus dibuktikan dalam penelitian.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas yang efektif untuk mengembangkan kendali diri peserta didik kelas XI di SMA Plus Muthahhari Bandung.


(4)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi guru bimbingan konseling dan peneliti selanjutnya

1. Sebagai rujukan bagi guru Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan layanan konseling, terutama dalam konseling sosial-pribadi dalam setting kelompok di sekolah dan secara khusus dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi model layanan konseling kelompok dalam menangani kasus rendahnya pengendalian diri peserta didik.

2. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan rujukan serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kendali diri dan konseling kelompok realitas.

E. Struktur Organisasi Penelitian

Penelitian dituliskan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: 1. Bab I pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi penelitian.

2. Bab II berisi konsep teoretik yang berisi mengenai konsep tentang kendali diri, pengembangan kendali diri melalui konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas, kerangka pemikiran, asumsi penelitian, dan hipotesis penelitian.

3. Bab III, berisi tentang metodologi penelitian, meliputi pendekatan dan metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, prosedur dan teknik pengolahan data.

4. Bab IV, dikemukakan tentang hasil penelitian dan pembahasan, yang meliputi hasil penelitian dan pembahasan penelitian.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk pengembangan kendali diri peserta didik secara keseluruhan yang meliputi aspek kedisiplinan diri, aspek pengendalian tindakan impulsif, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek etos kerja, dan aspek keandalan diri.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian tentang konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas untuk pengembangan kendali diri peserta didik kelas XI SMA Plus Muthahhari Bandung dihasilkan rekomendasi sebagai berikut: 1. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling/ Konselor

a. Hasil penelitian menunjukkan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas efektif untuk pengembangan kendali diri peserta didik. Dengan demikian guru bimbingan dan konseling dapat menerapkan upaya preventif yaitu mengagendakan program bimbingan untuk meningkatkan pengendalian diri. Langkah yang dapat dilakukan yaitu menganalisis berbagai kebutuhan (need asessment) permasalahan dan hambatan yang dialami peserta didik untuk mendukung upaya pengembangan kendali diri, melakukan asessment menggunakan kuesioner kendali diri dan memberikan pemahaman akan pentingnya kendali diri. Guru bimbingan dan konseling juga seyogyanya memanfaatkan hasil penelitian dan mengimplementasikan konseling kelompok dengan pendekatan konseling realitas sebagai alternatif layanan untuk mengatasi permasalahan rendahnya kendali diri peserta didik.

b. Dalam penerapan konseling kelompok realitas membutuhkan pemahaman teori dan keterampilan. Untuk itu direkomendasikan kepada guru bimbingan dan konseling untuk mengikuti pelatihan pada lembaga terkait tentang penerapan konseling kelompok realitas.


(6)

2. Bagi peneliti selanjutnya

Berangkat dari keterbatasan-keterbatasan penelitian yang telah dikemukakan maka disarankan hal-hal berikut untuk peneliti selanjutnya:

a. Observasi pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan realitas tidak hanya pada dokumentasi pelaksanaannya saja, tetapi juga disarankan untuk dilengkapi dengan format observasi khusus seperti format observasi check list untuk mendokumentasikan perubahan perilaku dari sebelum kegiatan dan sesudah kegiatan agar lebih akurat.

b. Tahapan dalam konseling kelompok realitas disarankan tidak hanya sampai pada tahap komitmen, akan tetapi juga dapat sampai pada tahap tindak lanjut (follow up). Tahap tindak lanjut ini merupakan tahap dimana konselor memonitor dan mengevaluasi perubahan perilaku secara real di luar sesi konseling. Perubahan perilaku yang paling penting ialah terlihat dari luar sesi konseling

c. Menggunakan setting penelitian yang lebih sempit, seperti desain Single Subject dengan jumlah sampel yang relatif terbatas untuk menambah kedalaman data mengenai keefektifan program layanan konseling kelompok realitas.