IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI FUNGI DAATI SERASAH DAUN DI KAWASAN HUTAN LEUWEUNG SANCANG GARUT No Panggil SBIO LIS i-2012.

(1)

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR …...………... ii

DAFTAR ISI …………...………..... v

DAFTAR TABEL ……...……….... vii

DAFTAR GAMBAR …...…………...………... viii

DAFTAR LAMPIRAN …...………...….... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …..………...……... 1

B. Rumusan Masalah ...………... 4

C. Pertanyaan Penelitian ………... 4

D. Batasan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian …...………. 5

F. Manfaat Penelitian …...……... 6

BAB II FUNGI LEUWEUNG SANCANG GARUT A. Leuweung Sancang ...…...……….. 7

B. Fungi 1. Definisi Fungi …...……...……….. 9

2. Morfologi Fungi ………. 10

3. Fisiologi Fungi ……… 11

4. Reproduksi Fungi ..………. 12

5. Klasifikasi Fungi ………. 15

6. Fungi dan Lingkungan ……… 17

7. Beberapa Jenis Kapang yang Penting ………. 21


(2)

BAB III METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian …...………...……... 27

B. Populasi dan Sampel ...………....……... 27

C.Tempat Penelitian …... 27

D.Alat dan Bahan ……...………... 28

E. Prosedur Penelitian ………...………... 28

F. Alur Penelitian ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian 1. Identifikasi Fungi …………...………... 35

2. Pengamatan Morfologi Makroskopis Dan Mikroskopis... 36

3. Pengujian Nematoda …………... 44

4. Faktor Abiotik Hutan Pantai dan Hutan Mangrove Leuweung Sancang ……….. 45

B. Pembahasan 1. Identifikasi Fungi ... ………... 46

2. Pengamatan Morfologi Makroskopis dan Mikroskopis ……... 48

3. Pengujian Nematoda ... 54

4. Faktor Abiotik Hutan Pantai dan Hutan Mangrove Leuweung Sancang ……….. 54

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ………...……….. 56

B. Saran ………...………...…. 56

DAFTAR PUSTAKA ………... 57

LAMPIRAN-LAMPIRAN………... 60


(3)

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pengelompokan Fungi Berdasarkan Faktor Lingkungan . 18 2.2 Tipe Struktur Infeksi Dari Beberapa Nematophagous

Fungi ………... 25 4.1 Hasil Identifikasi Fungi dari Serasah Daun Hutan Pantai

dan Hutan Mangrove Leuweung Sancang ... 35 4.2 Pengamatan Morofologi Makroskopis dan Mikroskopis . 37 4.3 Hasil Uji Pemberian Nematoda pada Isolat Murni


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Cincin Hifa Mikrofungi Karnivor yang Terlilit pada

Tubuh Nematoda ………... 23 2.2 Mikrofungi Karnivor (Arthrobotrys conoides), anggota

Ascomycetes dengan perangkap cincin hifa yang

menyelubungi atau membungkus nematoda ... 24 2.3 Keragaman dari Sturktur Perangkap pada

Nematophagous Fungi ………... 25

3.1 Foto Satelit Leuweung Sancang Garut ……… 28 3.2 Rona Lingkungan Tempat Pengambilan Serasah Daun .. 30 3.3 Penampakan Mikroskopis Nematoda Meloidogyne

incognita ……….. 33

3.4 Alur Penelitian ……... 34 4.1 Perbandingan jumlah Genus fungi dari sampel serasah

daun hutan pantai dan hutan mangrove ………... 36 4.2 Kultur murni Aspergillus sp.1 yang berumur 5 hari …… 38 4.3 Kultur murni Aspergillus sp.2 yang berumur 5 hari 38 4.4 Hasil pengamatan mikroskopis Aspergillus 39 4.5 Kultur murni Acremonium yang berumur 5 hari 39 4.6 Hasil pengamatan mikroskopis Acremonium 40 4.7 Kultur murni Chepalosporium yang berumur 5 hari 40 4.8 Hasil Pengamatan mikroskopis Chepalosporium 41 4.9 Kultur murni Monosporium yang berumur 5 hari 41 4.10 Hasil pengamatan mikroskopis Monosporium 42 4.11 Kultur murni Penicillium yang berumur 5 hari 42 4.12 Hasil pengamatan mikroskopis Penicillium 43 4.13 Kultur Murni Trichoderma yang berumur 5 hari 43


(5)

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Alat dan Bahan yang Digunakan Selama Penelitian

1a. Alat yang digunakan selama penelitian ... 60 1b. Bahan yang digunakan selama penelitian ... 61 2 Hasil Pengujian Nematoda

2a. Hasil Pengujian Nematoda ... 63 3 Faktor Abiotik Hutan Pantai dan Hutan Mangrove


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hutan pantai dan hutan mangrove merupakan ekosistem pantai yang memiliki fungsi dan manfaat dengan pengaruh yang luas ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Besarnya peranan dari hutan pantai dan hutan mangrove tersebut dapat terlihat dari banyaknya flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Secara fisik, hutan pantai dan hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penjaga garis pantai agar tetap stabil sehingga dapat pula mencegah terjadinya abrasi. Selain itu hutan pantai dan hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya, seperti kayu bakar dan bahan obat-obatan. Selanjutnya fungsi terakhir yaitu fungsi biologis, secara biologi hutan pantai dan hutan mangrove merupakan tempat berkembangbiak, pemijahan dan mencari makan bagi makhluk hidup yang hidup di dalamnya.

Dalam suatu ekosistem hutan baik hutan maupun hutan mangrove, terdapat mikroorganisme yang memiliki peranan penting dalam proses dekomposisi atau siklus unsur hara. Istilah mikroorganisme bukan hanya menyatakan ukuran yang kecil, namun pengaturan kehidupan yang cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan jasad tingkat tinggi. Setiap mikroorganisme tanah memiliki peranan tersendiri dalam siklus unsur hara. Di antaranya adalah sebagai produsen konsumen maupun redusen. Fungi dan bakteri merupakan contoh dari mikroorganisme yang memiliki peran sebagai redusen (Sumarsih, 2003). Menurut Madigan, et al. (2011) sebagai dekomposer, jamur mendaur ulang bahan-bahan


(7)

2

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

organik seperti daun-daun, kayu yang tumbang, jasad tumbuhan dan hewan yang mati.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ito & Nakagiri (1997) di kawasan hutan mangrove di pulau Okinawa, ditemukan 7 jenis fungi yaitu Penicillium purpurogenum, Aspergillus terreus, Trichoderma harzianum, Penicillium cristosum, Acremonium alabamense, Talaromyces flavus, dan Phialophora fastigiata. Menurut Handayani (2011), Penicillium sp. dan Aspergillus sp. memiliki potensi sebagai pelarut fosfat. Khususnya pada Penicillium sp. juga memiliki potensi sebagai endosimbion akar Zea mays dan Solanum selanica. Selain kedua jenis tersebut, menurut Pebrianto, Sukenda & Widanarni (2010) Trichoderma sp. memiliki potensi sebagai antimikroba dengan dosis 600 ppm dan memiliki potensi sebagai immunostimulan terhadap udang vaname.

Umumnya fungi hidup sebagai saprofit yang memanfaatkan bahan organik dari bahan mati atau membusuk. Misalnya kayu yang sudah lapuk dan serasah daun. Bahan organik tersebut akan dirombak oleh fungi menjadi bahan anorganik yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh organisme heterotrof yang berada di sekitarnya. Namun ada juga fungi yang hidup sebagai parasit yang menyerang inangnya, hidup dan kemudian tumbuh subur pada inangnya tersebut (Agustina, 2008). Menurut Schmidt, Dorfelt & Perrichot (2007) ditemukan fosil yang menunjukkan miselium cincin hifa dari suatu fungi yang memerangkap seekor nematoda kecil pada sebagian kayu yang terdekomposisi. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa fungi tersebut adalah Palaeoanellus dimorphus. Berdasarkan


(8)

hasil identifikasi tersebut disimpulkan bahwa Palaeoanellus dimorphus ini merupakan mikrofungi karnivor (Carnivorous microfungi). Menurut Hertz, Jansson & Tunlid (2006) ada lebih dari 200 spesies jamur yang bersifat karnivor terhadap nematoda (nematophagous fungi). Nematophagous fungi telah ditemukan di seluruh wilayah dunia, dari daerah beriklim tropis sampai ke Antartika. Berdasarkan hasil penelitian nematophagous fungi dapat ditemukan dari tanah pertanian, perkebunan dan hutan yang mana kaya akan bahan organik. Hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut Jawa Barat merupakan salah satu ekosistem dataran rendah di pulau jawa. Kawasan ini terletak sekitar 110 km di sebelah selatan kota Garut, yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Karena keunikan ekosistem dan keragaman sumber daya hayatinya, Leuweung Sancang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status Cagar Alam (CA) berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 116/Um/59/tanggal 1 Juli 1959 dengan luas 2.157 hektar (KPLH Belantara, 2000). Selain itu, kawasan Leuweung Sancang ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut Masturi (2007) meskipun CA Leuweung Sancang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tinggi, namun belum ada data yang menyeluruh yang dapat dijadikan referensi. Begitu pula dengan keanekaragaman fungi yang ada di kawasan tersebut. Maka dari itu perlu dilakukannya suatu pengkajian mendalam mengenani keanekaragaman baik flora, fauna maupun fungi di kawasan Leuweung Sancang Garut. Dengan begitu dilakukannya penelitian mengenai “Identifikasi dan


(9)

4

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

Karakterisasi Fungi dari Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut” ini dapat menambah data juga referensi dari CA Leweung Sancang Garut.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti mencoba merumuskan masalah yang perlu dijawab yaitu “Bagaimanakah karakteristik fungi yang terdapat pada serasah daun dari hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut?”.

C.Pertanyaan penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, maka dapat ditulis beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Jenis fungi apa sajakah yang ditemukan dari serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut?

b. Bagaimanakah karakteristik morfologi fungi dari serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut?


(10)

D.Batasan Masalah

Agar penelitian terarah dan memiliki ruang lingkup yang jelas serta mempermudah dalam memahami masalah maka perlu ada pembatasan masalah sebagai berikut:

a. Serasah daun yang dijadikan sampel diambil dari hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut. Selain itu, serasah daun yang diambil hanya serasah daun yang berwarna coklat tua secara keseluruhan.

b. Hutan pantai dan hutan mangrove, tempat pengambilan serasah daun bertempat diantara muara sungai Cipalawah dan Cikolomberan.

c. Karakteristik yang diamati meliputi karakteristik morfologi dan potensinya sebagai mikrofungi karnivor.

d. Penelitian hanya mengidentifikasi hingga tingkat genus dari keanekaragaman fungi yang terdapat pada serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut.

E.Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik fungi baik karaktersitik morfologi maupun potensinya sebagai mikrofungi karnivor yang terdapat pada serasah daun dari hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut.


(11)

6

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman fungi dari serasah daun di hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut, sehingga dapat dijadikan data atau referensi tambahan mengenai lahan konservasi tersebut. b. Memberikan informasi mengenai potensi fungi sebagai mikrofungi karnivor

yang dapat dimanfaatkan sebagai agen biologi kontrol dalam bidang pertanian dan bidang perrternakan.

c. Dengan ditemukannya jenis-jenis fungi yang memiliki manfaat penting terutama dalam kehidupan sehari-hari, maka dari itu lahan konservasi Cagar Alam Leuwueng Sancang Garut harus tetap terlestarikan


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dasar dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, karena hanya memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena tertentu, tidak adanya perlakuan terhadap variabel (Nazir, 2003).

B.Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungi yang terdapat pada serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungi yang terisolasi dari serasah daun dan tumbuh pada medium PDAS.

C.Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini bertempat di laboratorium Mikrobiologi Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. Pengambilan serasah daun bertempat di hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut (Gambar 3.1).


(13)

28

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

Gambar 3.1 Foto Satelit Leuweung Sancang Garut (Google Earth, 2012). Hutan pantai (A). Hutan mangrove (B).

D.Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian terlampir pada Lampiran 1.

E.Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap Persiapan

a. Persiapan dan sterilisasi alat

Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian beberapa alat disterilkan dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama ± 15 menit. Sebelum disterilkan, alat-alat tersebut dibungkus terlebih dahulu dengan kertas.


(14)

b. Pembuatan medium pertumbuhan

Dalam penelitian ini digunakan dua medium pertumbuhan, yaitu medium PDA (Potato Dextrose Agar Streptomycin) dan CMA (Corn Meal Agar).

1) PDA (Potato Dextrose Agar Streptomycin)

Medium PDAS ini dibuat dengan melarutkan 39 gram PDA dan 1 gram Streptomycin dalam 1000 mL akuades (setara dengan 200 gram kentang, 10 gram dekstrosa, 15 gram agar, 1000 ml akuades, dan 1 gram streptomycin). Medium kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama ± 15 menit. Setelah itu 9 ml PDA dituangkan pada masing-masing cawan Petri yang sudah disterilkan dan kemudian didiamkan selama 5-10 menit sampai media menjadi padat.

2) CMA (Corn Meal Agar)

Medium CMA ini terdiri dari tepung jagung dan agar. Medium ini dibuat dengan cara melarutkan 15 gram tepung jagung ke dalam gelas Becker yang berisi 1000 mL akudes, kemudian dipanaskan dengan menggunaka magnetic steerer selama 30 menit. Setelah itu disaring dengan menggunakan kertas saring. Hasil saringan tersebut kemudian ditambahkan agar 20 gram dan dipanaskan kembali. Kemudian medium tersebut disterilkan dengan menggunakan autoclave dengan suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama ± 15 menit.


(15)

30

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

2. Tahap Penelitian a. Pengambilan serasah

Serasah daun di ambil secara acak dan sembarang dari hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut (Gambar 3.2). Pengambilan serasah hanya dilakukan satu kali pada setiap ekosistemnya baik hutan pantai maupun hutan mangrove. Karakteristik serasah yang diambil yakni berwarna cokelat tua secara kesuluruhan. Berbeda dengan serasah daun yang diambil dari hutan pantai, serasah daun yang diambil hutan mangrove sedikit tercampur dengan lumpur. Serasah yang diambil kemudian dimasukkan ke dalam plastik steril dan kemudian di bawa ke laboratorium. Pada saat pengambilan serasah dilakukan pula pengukuran faktor abiotik. Faktor abiotik yang diukur diantaranya suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, pH tanah dan kelembaban tanah.

Gambar 3.2 Rona Lingkungan Tempat Pengambilan Serasah Daun. Hutan Pantai Leweung Sancang Garut (A). Hutan Mangrove Leweung Sancang Garut (B).


(16)

b. Isolasi Fungi.

Isolasi dilakukan untuk memperoleh isolat murni fungi (monoisolat). Sampel fungi diambil dari serasah daun. Serasah daun dimasukkan ke dalam cawan Petri yang telah terisi medium PDAS. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang dan dibiarkan selama 3-7 hari sampai terdapat fungi yang tumbuh (terlihat hifa-hifa). Fungi yang tumbuh pada media agar tersebut masih dalam keaadaan kultur campuran (terdapat beberapa jenis fungi pada media agar tersebut), maka dari itu harus dilakukan subkultur. Fungi yang tumbuh disubkultur pada media PDAS yang baru, agar hanya tumbuh satu jenis fungi saja. Subkultur dilakukan dengan menggunakan jarum ose steril (dengan cara membakar jarum ose tersebut dengan menggunakan bunsen) kemudian fungi dikerik dan digoreskan pada media agar steril. Media yang telah berisi fungi kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3-7 hari sampai terdapat fungi yang tumbuh. Pada saat melakukan kultur fungi, tempat dan alat yang digunakan harus dalam kondisi steril agar tidak terjadi kontaminasi.

c. Pembuatan slide kultur

Pembuatan slide kultur dilakukan untuk mempermudah dalam pengamatan mikroskopis fungi. Cawan yang digunakan diberi alas kertas saring yang diletakkan di bagian bawah. Batang kayu diletakkan diatas kertas saring dan dibentuk segitiga, kemudian diletakkan gelas objek dan gelas penutup diatas batang kayu tersebut. Cawan Petri tersebut disterilisasi di autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama ± 15 menit. Setelah selesai, cawan Petri


(17)

32

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

dibiarkan beberapa saat hingga dingin. Medium PDAS cair diteteskan pada gelas objek, kemudian isolat murni fungi diambil dengan menggunakan jarum ose dan digoreskan pada bagian pinggir dari medium PDAS yang tadi diteteskan. Gelas objek tersebut ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya, diteteskan beberapa tetes akuades pada bagian permukaan kertas saring agar kondisi cawan Petri menjadi lembab. Cawan Petri tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 2 hari. Selanjutnya proses identifikasi dan karakterisasi morfologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop.

d. Identifikasi

Fungi yang terlihat pada mikroskop, didokumentasikan dengan menggunakan kamera untuk mempermudah pengamatan dan identifikasi. Identifikasi dilakukan dengan melihat karakteristik morfologi dan diidentifikasi sampai tingkat genus dengan menggunakan buku panduan identifikasi Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett, 1960), Practical Mycology (Funder, 1961) dan Pengenalan Kapang Tropik Umum Gandjar, et al. (1999).

e. Tahap pengujian

Pada tahap pengujian ini digunakan medium CMA (Elshafie, et.al, 2006) dan dilakukan pemberian nematoda. Sebanyak 10 Nematoda Meloidogyne incognita (Gambar 3.2) dimasukkan ke dalam media CMA kultur murni fungi yang berumur 5 hari. Setelah inkubasi selama lebih dari 4 hari, dilakukan pengamatan mikroskopis dengan menggunakan binocular microscope. Proses ini dilakukan


(18)

untuk mengetahui manakah fungi dari serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut yang merupakan mikrofungi karnivor (carnivorous microfungi). Fungi yang dapat membunuh nematoda dengan berbagai bentuk perangkap (Gambar 2.3), maka fungi tersebut merupakan mikrofungi karnivor (carnivorous microfungi).

Gambar 3.3 Penampakan Mikroskopis Nematoda Meloidogyne incognita.

3. Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif. Secara deskriptif yaitu dengan cara menyajikan data dalam bentuk tabel dan foto.


(19)

34

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

E. Alur penelitian

Urutan penjelasan mengenai prosedur penelitian yang telah dilakukan seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 3.4 Alur Penelitian yang Telah Dilakukan. Persiapan Alat dan

Bahan

Pengambilan serasah

Pengukuran Faktor Abiotik Pembuatan Medium

Pertumbuhan Sterilisasi Alat

Tahap Persiapan Pembuatan Proposal

Penelitian Studi Literatur

Analisis data Tahap Identifikasi dan karakterisasi potensinya

sebagai mikrofungi karnivor Isolasi Mikrofungi

Tahap Identifikasi dan Karakterisasi Morfologi


(20)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Hasil identifikasi menunjukkan adanya enam Genus fungi dari sampel serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang, yaitu Aspergillus, Chepalosporium, Acremonium, Trichoderma, Monosporium, dan Penicillium. Berdasarkan hasil pengamatan morfologi secara makroskopis dan mikroskopis, keseluruhan genus memiliki karakteristik hifa dengan sekat (septate), pigmentasi hifa berwarna hialin, dan sebagian besar memiliki permukaan koloni seperti kapas juga tidak mengalami perubahan warna pada substrat. Selain itu, tidak teramati karakteristik khas mikrofungi karnivor pada keseluruhan Genus yang teridentifikasi. Hal ini menunjukkan tidak adanya fungi yang memiliki potensi sebagai mikrofungi karnivor.

B.Saran

Beberapa hal yang disarankan oleh penyusun untuk penelitian-penilitian terkait selanjutnya:

1. Pengambilan serasah daun sebaiknya dilakukan dengan menentukan plot-plot pengambilan sampel.

2. Untuk penelitian lanjutan mengenai mikrofungi karnivor, sampel yang akan digunakan dapat diambil dari habitat suatu tanaman yang terkena hama nematoda. Baik berupa sampel serasah daun maupun tanah. Agar kemungkinan ditemukannya mikrofungi karnivor (carnivorous microfungi) akan lebih besar.


(21)

57

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Erna. (2008). Identifikasi dan Karakterisasi Morfologi Mikrofungi Akuatik dan Potensi Pemanfaatannya untuk Bioremediasi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Alexopoulus, C. J. (1960). Introductory Micology. John Wiley & Sons, Inc: hal. 30. NewYork.

Anonim, (2000). Laporan investigasi kerusakan Cagar Alam Leuweng Sancang Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut Jawa Barat. Komunitas Peduli Lingkungan Hidup, Bela Alam Nusantara, KPLH Belantara.

Barnett, H,L. (1960). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. burgess Publishing Company. West Virginia. 225 halaman.

Barron , G. L. (1977). The nematode-destroying fungi. Canadian Biological Publications. Canada.

Chandrawathani. P, Jamnah. O, Waller. P J, Hoglund. J, Larsen. M, Zahari. W M. (2002). Nematophagous fungi as a biological control agent for nematode parasites of small ruminants in Malaysia: a special amphasis on Duddingtonia flagrans. INRA, EDP Sciences: 685-696. Malaysia.

Elshafie, A. Al-Mueini, R. Al-Bahry, S. Akindi, A. Mahmoud, I. Al-Rawahi, S. (2006). Diversity and Trapping Efficiency of Nematophogous Fungi from Oman. Phytopathol. Mediter. Hal. 266-270.

Funder, Sigurd. (1961). Practical Mycology. A.W Broggers. Boktrykerri A/S. Norway.

Gandjar, I, Samson. R. A, Vermeulen. K. T, Oetari. A, Santoso. I. et.al. (1999). Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 135 Halaman.

Gandjar, I. (2006). Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 238 halaman.

Gilman, J. C. (1945). A Manual of Soil Fungi. The Lowa State College Press. Florida. 392 Halaman.

Gomez, L. Baro, G. Sanchez, L. Rodriguez, M. (2003). Identification and Characterization of Cuban Isolates of Nematode-Trapping Fungi. Rev. Protección Veg. Vol. 18 No. 1. Hal. 53-57.


(22)

Handayani, Dezi. (2011). Potensi Aspergillus dan Penicillium asal Serasah Dipterocarp sebagai Endosimbion Akar Pelarut Fosfat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hauser, T. J. (1985). Nematode-Trapping Fungi. Carnivorous Plant Newsletter. Hal. 8-11.

Hertz. B N, Jansson. H B, Tunlid. A. (2006). Nematophagous Fungi. Encyclopedia of life sciences. Tersedia: www.els.net.

Ito,T, Nakagiri,A. (1997). A mycofloral study on mangrove mud in Okinawa, Japan. IFO Research Communications 18: 32–39.

Jansson H-B (1993). Adhesion to nematodes of conidia from the nematophagous fungus Drechmeria ciniospora. J Gen Microbial 139:1899-1906.

Jansson HB, Lopez-llorca L. (2004). Control of Nematodes by fungi. Universidad de Alicante, Alicante, Spain.

Jansson, HB. (1982). Predacity of nematophagous fungi and its relation to the attraction of nematodes. Microbial Ecology 8:233-240.

Madigan, M. T, Martinko, J. M, Dunlap, P. V, Clark, D. P. (2011). Biology of microorganisms. Pearson Baenjamin Cummings: hal. 535.

Mahfuz, F.D Tuheteru. (2012). Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi Hutan Pantai Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. 192 halaman. Makfoeld, D. (1990). Mikotoksin Pangan. Kanisius. Yogyakarta. 211 Halaman. Moore, E & Landecker. (1996). Fundamentals Of The Fungi. Prentice Hall

International, Inc. Fourth Edition. 574 halaman.

Mustari, A. H. (2007). Keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa Cagar Alam Leuweng Sancang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nordbring-Hertz B and Mattiason B. (1979). Action of a nematode-trapping fungus shows lectin-mediated host microorganis, interaction. Nature 281:477-479.

Pebrianto, Sukenda & Widanarni. (2010). Potensi Trichoderma sp. sebagai Bahan Antibakterial dan Immunostimulan pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Akualkultur Indonesia. 9 (1).

Pelczar, M. J, E. C. S. Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Terjemahan: Rama Siri Hadioetomo dkk. UI-Press. Jakarta. 443 Halaman.


(23)

59

Lisda Lisdiawati, 2012

Identifikasi dan Karakterisasi Fungi daati Serasah Daun di Kawasan Hutan Leuweung Sancang Garut

Rizal. (2010). Mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dilestarikan?. Artikel Ekologi. Kompasiana.

Schmidt, A. R, Dorfelt. H, Perrichot. V. (2007). Carnivorous Fungi Certaceous Amber. Science 318. Hal. 1743.

Schmidt, A. R, Dorfelt. H, Perrichot. V. (2008). Palaeoanellus dimorphus gen. Et sp. Nov. (Deuteromycotina): a cretaceous predatory fungus. American Journal of Botany. Hal. 1328-1334.

Sumarsih. (2003). Mikrobiologi Dasar. Fakultas Pertanian UPN Veteran. Yogyakarta.

Tanpa nama. (2007). Informasi Mengenai CA. Leuweung Sancang. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Jawa Barat.

Waluyo, L. (2011). Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang. 343 halaman.

Zhang, J. Mo, Minghae. Deng, J. Liu, X. Br, Tingju. Zhang, K. (2005). Dcatylella zhongdianensisi sp. Nov, a New Predacious antagonist of nematodes. Mycotaxon. Volume 92, hal. 289-294.


(1)

untuk mengetahui manakah fungi dari serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang Garut yang merupakan mikrofungi karnivor (carnivorous microfungi). Fungi yang dapat membunuh nematoda dengan berbagai bentuk perangkap (Gambar 2.3), maka fungi tersebut merupakan mikrofungi karnivor (carnivorous microfungi).

Gambar 3.3 Penampakan Mikroskopis Nematoda Meloidogyne incognita.

3. Analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif. Secara deskriptif yaitu dengan cara menyajikan data dalam bentuk tabel dan foto.


(2)

34

E. Alur penelitian

Urutan penjelasan mengenai prosedur penelitian yang telah dilakukan seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 3.4 Alur Penelitian yang Telah Dilakukan.

Persiapan Alat dan Bahan

Pengambilan serasah

Pengukuran Faktor Abiotik Pembuatan Medium

Pertumbuhan Sterilisasi Alat

Tahap Persiapan Pembuatan Proposal

Penelitian Studi Literatur

Analisis data Tahap Identifikasi dan karakterisasi potensinya

sebagai mikrofungi karnivor Isolasi Mikrofungi

Tahap Identifikasi dan Karakterisasi Morfologi


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Hasil identifikasi menunjukkan adanya enam Genus fungi dari sampel serasah daun hutan pantai dan hutan mangrove Leuweung Sancang, yaitu Aspergillus,

Chepalosporium, Acremonium, Trichoderma, Monosporium, dan Penicillium.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi secara makroskopis dan mikroskopis, keseluruhan genus memiliki karakteristik hifa dengan sekat (septate), pigmentasi hifa berwarna hialin, dan sebagian besar memiliki permukaan koloni seperti kapas juga tidak mengalami perubahan warna pada substrat. Selain itu, tidak teramati karakteristik khas mikrofungi karnivor pada keseluruhan Genus yang teridentifikasi. Hal ini menunjukkan tidak adanya fungi yang memiliki potensi sebagai mikrofungi karnivor.

B.Saran

Beberapa hal yang disarankan oleh penyusun untuk penelitian-penilitian terkait selanjutnya:

1. Pengambilan serasah daun sebaiknya dilakukan dengan menentukan plot-plot pengambilan sampel.

2. Untuk penelitian lanjutan mengenai mikrofungi karnivor, sampel yang akan

digunakan dapat diambil dari habitat suatu tanaman yang terkena hama nematoda. Baik berupa sampel serasah daun maupun tanah. Agar kemungkinan


(4)

57

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Erna. (2008). Identifikasi dan Karakterisasi Morfologi Mikrofungi

Akuatik dan Potensi Pemanfaatannya untuk Bioremediasi. [Skripsi]. Institut

Pertanian Bogor.

Alexopoulus, C. J. (1960). Introductory Micology. John Wiley & Sons, Inc: hal. 30. NewYork.

Anonim, (2000). Laporan investigasi kerusakan Cagar Alam Leuweng Sancang Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut Jawa Barat. Komunitas Peduli

Lingkungan Hidup, Bela Alam Nusantara, KPLH Belantara.

Barnett, H,L. (1960). Illustrated Genera of Imperfect Fungi. burgess Publishing Company. West Virginia. 225 halaman.

Barron , G. L. (1977). The nematode-destroying fungi. Canadian Biological

Publications. Canada.

Chandrawathani. P, Jamnah. O, Waller. P J, Hoglund. J, Larsen. M, Zahari. W M. (2002). Nematophagous fungi as a biological control agent for nematode parasites of small ruminants in Malaysia: a special amphasis on

Duddingtonia flagrans. INRA, EDP Sciences: 685-696. Malaysia.

Elshafie, A. Al-Mueini, R. Al-Bahry, S. Akindi, A. Mahmoud, I. Al-Rawahi, S. (2006). Diversity and Trapping Efficiency of Nematophogous Fungi from Oman. Phytopathol. Mediter. Hal. 266-270.

Funder, Sigurd. (1961). Practical Mycology. A.W Broggers. Boktrykerri A/S. Norway.

Gandjar, I, Samson. R. A, Vermeulen. K. T, Oetari. A, Santoso. I. et.al. (1999).

Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 135

Halaman.

Gandjar, I. (2006). Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 238 halaman.

Gilman, J. C. (1945). A Manual of Soil Fungi. The Lowa State College Press. Florida. 392 Halaman.

Gomez, L. Baro, G. Sanchez, L. Rodriguez, M. (2003). Identification and Characterization of Cuban Isolates of Nematode-Trapping Fungi. Rev.


(5)

Handayani, Dezi. (2011). Potensi Aspergillus dan Penicillium asal Serasah Dipterocarp sebagai Endosimbion Akar Pelarut Fosfat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hauser, T. J. (1985). Nematode-Trapping Fungi. Carnivorous Plant Newsletter. Hal. 8-11.

Hertz. B N, Jansson. H B, Tunlid. A. (2006). Nematophagous Fungi.

Encyclopedia of life sciences. Tersedia: www.els.net.

Ito,T, Nakagiri,A. (1997). A mycofloral study on mangrove mud in Okinawa, Japan. IFO Research Communications 18: 32–39.

Jansson H-B (1993). Adhesion to nematodes of conidia from the nematophagous fungus Drechmeria ciniospora. J Gen Microbial 139:1899-1906.

Jansson HB, Lopez-llorca L. (2004). Control of Nematodes by fungi. Universidad de Alicante, Alicante, Spain.

Jansson, HB. (1982). Predacity of nematophagous fungi and its relation to the attraction of nematodes. Microbial Ecology 8:233-240.

Madigan, M. T, Martinko, J. M, Dunlap, P. V, Clark, D. P. (2011). Biology of

microorganisms. Pearson Baenjamin Cummings: hal. 535.

Mahfuz, F.D Tuheteru. (2012). Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi Hutan Pantai

Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. 192 halaman.

Makfoeld, D. (1990). Mikotoksin Pangan. Kanisius. Yogyakarta. 211 Halaman. Moore, E & Landecker. (1996). Fundamentals Of The Fungi. Prentice Hall

International, Inc. Fourth Edition. 574 halaman.

Mustari, A. H. (2007). Keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa Cagar Alam Leuweng Sancang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nordbring-Hertz B and Mattiason B. (1979). Action of a nematode-trapping fungus shows lectin-mediated host microorganis, interaction. Nature 281:477-479.

Pebrianto, Sukenda & Widanarni. (2010). Potensi Trichoderma sp. sebagai Bahan Antibakterial dan Immunostimulan pada Udang Vaname (Litopenaeus

vannamei). Jurnal Akualkultur Indonesia. 9 (1).


(6)

59

Rizal. (2010). Mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dilestarikan?.

Artikel Ekologi. Kompasiana.

Schmidt, A. R, Dorfelt. H, Perrichot. V. (2007). Carnivorous Fungi Certaceous Amber. Science 318. Hal. 1743.

Schmidt, A. R, Dorfelt. H, Perrichot. V. (2008). Palaeoanellus dimorphus gen. Et sp. Nov. (Deuteromycotina): a cretaceous predatory fungus. American

Journal of Botany. Hal. 1328-1334.

Sumarsih. (2003). Mikrobiologi Dasar. Fakultas Pertanian UPN Veteran. Yogyakarta.

Tanpa nama. (2007). Informasi Mengenai CA. Leuweung Sancang. Balai Besar

Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Jawa Barat.

Waluyo, L. (2011). Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang. 343 halaman.

Zhang, J. Mo, Minghae. Deng, J. Liu, X. Br, Tingju. Zhang, K. (2005). Dcatylella

zhongdianensisi sp. Nov, a New Predacious antagonist of nematodes. Mycotaxon. Volume 92, hal. 289-294.