MENUJU PLURALISME HUKUM AGRARIA

  Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 006/ 1998

MENUJU PLURALISME HUKUM AGRARIA

  

Analisa dan Krit ik t erhadap Marginalisasi Posisi Hukum-hukum dan Hak-hak

Adat Penduduk Asli at as T anah dan Sumber-sumber Agraria oleh Pembuat

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960)

  

Oleh:

Maria R. Ruwiastuti

01. Pendahuluan

  Tema kert as posisi ini dipil ih dalam rangka membant u menj ernihkan kesimpangsiuran pemahaman mengenai posisi j uridis f ormal dari hukum-hukum dan hak-hak Adat at as t anah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat t urun-t emurun. Salah sat u dari anasir penyumbang ut ama t erj adinya kesimpangsiuran t ersebut adalah

  1

  ket idakj elasan rumusan t eks Undang-undang Agraria mengenai pokok ini sehingga memudahkan muncul nya t af sir-t af sir yang beragam sesuai keinginan dan kebut uhan pihak-pihak yang berkepent ingan dengannya. Lainnya adalah adanya kecenderungan para pakar hukum agraria memberi t af sir yang

  2 "memperlunak" maksud Pembuat Undang-undang mengenai pokok ini.

  Beberapa ist ilah akan digunakan dalam t ulisan ini, sepert i; marginalisasi

  posisi hukum, hukum-hukum Adat, kelompok-kelompok penduduk asli, Hak- hak Adat, tanah dan sumber-sumber agraria dan Pembuat Undang-undang.

  W

  Marginalisasi posisi hukum maksudnya suat u proses sist emik yang meminggirkan kedudukan suat u hukum yang semula pent ing dan berharga bagi sekel ompok orang dan menegasikannya menj adi "hukum" yang kosong dan t ak berart i.

  

W Hukum-hukum adat maksudnya set iap sist em hukum yang bersumber dari

  kebiasaan, bet apapun sederhananya, yang dihidupkan oleh sekelompok orang pendukungnya dan diyakini oleh mereka sebagai hukum (walaupun mungkin orang-orang di luar kelompok it u t idak menganggapnya demikian). W Kelompok-kelompok penduduk asli set empat maksudnya kelompok-

  kelompok dari orang-orang yang leluhurnya dianggap orang-orang pemul a (cikal bakal) yang menemukan lalu mendiami sert a memperoleh penghidupan dari t anah dan sumber-sumber agraria di t empat it u. Disit u mereka membent uk komunit as-komunit as dan merasa diri sebagai kesat uan- kesat uan berdasarkan kesamaan-kesamaan; ket urunan, adat ist iadat , bahasa, hukum dan cara hidup. Kelompok-kelompok t ersebut t idak harus mengenal kepemimpinan yang t erst rukt ur, t idak harus diket uai oleh “ Kepala Adat ” yang berkonot asi pemimpin pol it ik dan t idak harus mengenal konsep “ Pemerint ahan Adat “ ; bisa j adi yang mereka sebut "pemimpin" it u t idak lain dari orang-orang t ert ua dalam klan-klan (pat rilinial maupun mat rilinial) yang membent uk komunit as-komunit as t ersebut .

  

W Hak-hak adat maksudnya set iap hak at as t anah dan sumber-sumber agraria

  yang dikenal oleh orang-orang anggot a komunit as set empat dan dij amin oleh sist em hukum-hukum kebiasaan di t empat it u.

  

W Tanah dan sumber-sumber agraria maksudnya suat u wilayah berpot ensi

  ekonomi yang mampu menghidupi kelompok manusia (bisa berupa hut an, sungai-sungai, gunung, sumber-sumber mineral maupun lahan-lahan pert anian) dan dihayat i sebagai perpangkalan budaya dari komunit as yang bersangkut an.

  W

  Pembuat Undang-undang maksudnya sebuah Badan Kenegaraan yang secara f ormal bert ugas mencipt akan, mengubah dan mencabut undang-undang. Dalam kont eks Indonesia badan ini menurut konst it usi adalah suat u kerj asama ant ara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerint ah.

  Kesimpangsiuran pemahaman mengenai posisi hukum-hukum dan hak-hak adat kelompok-kelompok penduduk asli at as t anah dan sumber-sumber agraria secara t idak langsung t elah menghambat penent uan sikap di kalangan penduduk asli set empat mengenai sengket a-sengket a penguasaan t anah yang melibat kan kepent ingan mereka. Salah sat u bent uk kebimbangan yang mereka nyat akan selama ini, misalnya: apa bedanya t anah-t anah hak adat dan t anah Negara? Mengapa t anah-t anah hak adat kami disebut t anah Hak Ulayat dan dianggap sebagai t anah Negara oleh pak Bupat i?

3 Sej auh yang kami cat at , sengket a-sengket a penguasaan t anah yang

  melibat kan kelompok-kelompok penduduk asli set empat di seluruh Indonesia it u mengenai sumber-sumber ekonomi dan perpangkalan budaya yang sehari- hari diyakini dan dij amin sebagai hak-hak Adat mereka, sepert i: hut an-hut an perburuan (pada orang-orang Amungme, Kamoro, Kerom, Asmat dan Tobelo), dusun-dusun sagu (pada orang-orang Asmat , Kerom dan Ayawasi), hut an-hut an belukar bekas ladang (pada orang-orang Dayak, Bunggu, Tobelo dan Tangkul ), padang-padang penggembalaan t ernak (pada orang-orang Amanuban, Biboki

  Nias, Dayak dan Galel a) dan ladang-ladang t anaman semusim (pada orang-orang Tobelo, Lauj e dan Galela). Pihak-pihak l uar yang t erlibat sengket a penguasaan t anah dan sumber-sumber agraria t ersebut t ercat at : perusahaan-perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU), sepert i di Arso, Palent uma dan Galela; perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hut an Tanaman Indust ri (HPHTI), sepert i di Gamlaha, Kupang Barat , Anakalang, Umaa Telivaq, Biloe dan Lel obat an; perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hut an (HPH), sepert i di Sawa Erma, Demt a, Timika, Bint uni dan Halmahera Ut ara; perusahaan-perusahaan pemegang Hak Kuasa Pert ambangan (HKP) dan Hak Guna Bangunan (HGB), sepert i di Tembagapura dan Kuala Kencana; Dinas Perlindungan Hut an dan Pelest arian Alam, sepert i di Manggarai Tengah; Dinas Pekerj aan Umum (PU), sepert i di Kirit ana; Badan Pert anahan Nasional (BPN), sepert i di Tinombo dan Galel.

  Tipe sengket anya adalah sengket a st rukt ural dimana kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat berhadapan dengan kekuasaan Negara baik sebagai pelaku maupun penj amin (pemberi hak). Umumnya sengket a-sengket a semacam ini "diselesaikan" dengan pendekat an-pendekat an khas oleh Pemerint ah Daerah dalam bent uk-bent uk: himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah hat i, penyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpart isipasi dalam pembangunan, j anj i-j anj i akan diikut sert akannya mereka ke dalam perusahaan dan lain-lain, yang int inya mengalihkan perhat ian masyarakat set empat dari pokok persoal annya. Prakt is t idak pernah t erj adi penyelesaian sengket a dalam art i kat a sebenarnya.

02. Analisa Perundang-undangan

  Unt uk mahami bagaimana pembuat undang-undang menempat kan hukum- hukum dan hak-hak Adat Penduduk Asli at as t anah dan sumber-sumber agraria, sebagai gambaran awal akan dikemukakan prakt ik aparat us Pemerint ah (c. q. Depart emen Kehut anan) dalam melindungi dan menj amin pelaksanaan HPH di areal hut an konsesi pemegang hak. Demi kepent ingan pekerj aan-pekerj aan penebangan kayu, unt uk sement ara hak-hak penduduk set empat unt uk

  4

  mengambil manf aat dari hut an dibekukan. Bagaimana memahami lat ar belakang pembat asan resmi t ersebut ? Perat uran Pemerint ah No. 21 t ahun 1970 mengenai Pengusahaan Hut an adalah sebuah at uran pelaksana dari Undang- undang No. 5 t ahun 1967 t ent ang Kehut anan. Sebagai at uran pelaksana ia hanya boleh melaksanakan apa-apa yang sudah digariskan oleh Undang-undang yang menj adi acuannya. Ket ent uan-ket ent uan acuan yang dimaksud adalah pasal 13 j unct i es pasal-pasal 2 dan 3 Undang-undang Kehut anan yang mengat akan bahwa t er-hadap hut an-hut an Negara berf ungsi produksi dapat diberikan suat u HPH. Termasuk dalam kat egori hut an-hut an Negara adalah semua hut an yang dikuasai Masyarakat Hukum Adat dengan Hak Ulayat .

  Ist ilah "Masyarakat Hukum Adat " dan "Hak Ulayat " sepert i t iba-t iba saj a apapun mengenai maksudnya. Jelas, dalam hal ini Undang-undang Kehut anan hanya mengadopsi sebuah ist il ah baku yang t elah lebih dulu digunakan dal am khasanah hak-hak at as t anah. Ist ilah "Masyarakat Hukum Adat " dan "Hak Ulayat " unt uk pert ama kali digunakan oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUPA, t epat nya pada pasal 3. Int i dari pasal 3 adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat at au hak-hak serupa it u dari Masyarakat Hukum Adat harus sesuai dengan kepent ingan bangsa dan Negara. Tidak ada penj elasan mengenai apa yang dimaksud dengan "Masyarakat Hukum Adat " baik dalam pasal 3 maupun Penj elasan Umum/ Khusus yang merupakan t af sir resmi dari Pembuat Undang- undang. Mengenai Hak Ulayat dikat akan bahwa yang dimaksud adalah apa yang selama ini dikenal sebagai " beschi kki ngsr echt " dalam kepust akaan hukum

5 Adat . Art inya dalam hal inipun Pembuat Undang-undang t idak mencipt akan

  beschi kki ngsr echt " ke

  ist ilah baru melainkan hanya menerj emahkan kat a " dalam sebuah kat a Indonesia: Hak Ulayat . Di kemudian hari pengambil alihan konsep " beschi kki ngsr echt " ke dalam UUPA it u menimbulkan masalah sebab, walaupun oleh Van Vollenhoven dikat akan bahwa konsep " beschi kki ngsr echt " dikenal luas hampir di semua t empat di seluruh Nusant ara, belum t ent u pernyat aan it u cocok dengan kenyat aan di lapangan. Suat u beschi kki ngsr echt meliput i berbagai kewenangan sepert i: mengambil hasil-hasil alami dari hut an, berburu binat ang-binat ang liar, mengambil unt uk memiliki pohon-pohon t ert ent u dalam hut an, dan membuka t anah dalam hut an dengan izin kepal a persekut uan hukum Adat . Dalam rangka “ beschi kki ngsr echt ” dapat t erj adi hak- hak perorangan at as t anah-t anah yang sudah dibuka dan diusahakan t erus- menerus; t api ket ika t anah it u dit elant arkan maka hak-hak perorangan it u akan

  6 lenyap dan t anahnya kembali menj adi “ beschi kki ngsr echt ” persekut uan.

  Mengenai penggunaan ist ilah "Masyarakat Hukum Adat " dan"Hak Ulayat " dalam UUPA it u masih t imbul pert anyaan-pert anyaan sepert i: Apakah kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat selalu bisa diart ikan sama dengan "Masyarakat Hukum Adat ", apakah hak-hak Penduduk Asli at as t anah dan sumber-sumber agraria selalu bisa diart ikan sama dengan "Hak Ulayat "? Pembuat UUPA sendiri t idak menyediakan j awaban dalam t af sir resminya yang t ermuat dalam Penj elasan Umum/ Khusus, t api prakt ik sehari-hari Pemerint ah selaku Pelaksana Undang-undang t elah memukul rat a penamaan "Hak Ulayat " it u t erhadap semua hak-hak Adat yang t erdapat pada kel ompok-kel ompok Penduduk Asli set empat . Dalam prakt ik, semua t anah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai secara bersama-sama dalam kelompok (ent ah klan ent ah gabungan dari beberapa klan) dianggap sebagai t anah-t anah Hak Ulayat .

  Penganggapan adanya Hak Ulayat oleh Pemerint ah mengandung konsekuensi t ert ent u yang sulit dipahami oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat karena t anah-t anah yang dianggap sebagai t anah Hak Ulayat it u secara ot omat is masuk kat egori t anah-t anah Negara. Bagaimana hal ini dij elaskan? Mengenai hal ini Aparat us Pemerint ah sering berlindung di balik ket ent uan pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 (UUD’ 45) dan adalah t anah Negara, t ermasuk disit u t anah-t anah Hak Ulayat . Iman Soet iknj o, salah seorang t okoh pemrakarsa UUPA, mengat akan bahwa Hak Ulayat

  

(beschi kki ngsr echt ) sendiri merupakan hak-hak yang bersif at publik yang

  dimiliki ol eh Persekut uan-persekut uan Hukum Adat sebagai sat uan-sat uan polit ik t erkecil yang t erdapat di wilayah Negara. Dengan kat a l ain Hak Ulayat merupakan Hak Negara sehingga t anah-t anah yang dikuasai berdasarkan hak ini

  7

  st at usnya sama dengan t anah-t anah Negara. Dalam t af sir resminya Pembuat Undang-undang mengat akan bahwa di at as t anah-t anah Hak Ulayat it u

  8 Pemerint ah berwenang menerbit -kan hak-hak baru sepert i HGU. Padahal suat u

  HGU hanya bisa diberikan di at as t anah-t anah yang langsung dikuasai oleh

9 Negara (at au disebut t anah Negara). Berart i bahwa t anah-t anah Hak Ulayat dianggap sama nilainya dengan t anah-t anah Negara.

  Apa ruginya bagi kel ompok-kel ompok Penduduk Asli set empat kalau t anah-t anah mereka dikat egorikan sebagai tanah-tanah Negara? Menurut Boedi Harsono, pakar hukum agraria, kelompok-kelompok Penduduk Asli yang t anahnya diserahkan kepada pemegang HGU t idak selalu harus menyerahkan Hak Ulayat nya kepada Negara. Art inya, Hak Ulayat mereka bisa t et ap hidup di

  10

  at as t anah-t anah yang t elah dibebani HGU it u. Jelas, ket erangan semacam ini hanya ingin menghindar secara halus dari persoalan yang sesungguhnya; bagaimanapun, di at as areal t anah yang sama t idak mungkin hidup dua hak sekaligus yait u Hak Ulayat dan HGU, kecuali kalau Hak Ulayat it u dianggap sama nilainya dengan Hak Negara. Kalau Hak Ulayat sama harganya dengan Hak Negara maka kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat yang dianggap mempunyai Hak Ulayat t ersebut akan dirugikan sebab dengan demikian mereka akan kehilangan semua hak-hak Adat nya unt uk mengurus dan mengat ur pemanf aat an t anah-t anah dan sumber-sumber agraria t ersebut . Dengan menganggap bahwa t anah-t anah Penduduk Asli set empat it u adalah t anah- t anah Hak Ulayat yang masuk kat egori t anah Negara, maka Negara mengambil alih semua wewenang unt uk mengat ur, mengurus dan mengadakan hubungan- hubungan hukum (ant ara lain membuat perj anj ian-perj anj ian penggunaan t anah) dengan pihak ket iga. Dapat dipast ikan bahwa sengket a-sengket a st rukt ural penguasaan t anah yang t elah t erj adi di kalangan Penduduk Asli set empat selama ini merupakan akibat logis dari penganggapan bahwa t anah- t anah kel ompok Penduduk Asli set empat it u adalah t anah-t anah Hak Ulayat . Kemarahan orang-orang Asmat di Sawa Erma t erhadap prakt ik PT. Art ika Opt ima Int i yang mengambil kayu-kayu di dusun-dusun sagu mereka t anpa izin para pemil ik dusun membukt ikan t iadanya ot onomi unt uk berunding dengan

  11

  pihak perusahaan. Begit u pula dengan t unt ut an-t unt ut an orang-orang Amungme di Kwamki Lama unt uk diikut sert akan dalam perundingan dan

  12

  pembuat an perj anj ian penyewaan t anah dengan PT. Freeport Indonesia, dengan j elas menunj ukkan bukt i bagaimana ot onomi mereka unt uk membuat hubungan-hubungan hukum dengan pihak ket iga mengenai penggunaan t anah- t anah dan sumber-sumber agraria sesungguhnya t el ah beralih (t anpa mereka sadari) kepada Negara. Semua pengalihan wewenang it u t erj adi sebagai akibat penerapan polit ik hukum yang t elah digariskan sej ak dini hari melalui ket ent uan pasal 3 UUPA t ersebut .

  Perkat aan "diakui" yang disisipkan dalam t af sir resmi UUPA mengenai Hak Ulayat , sengaj a at au t idak, t elah berhasil menent eramkan kelompok- kelompok Penduduk Asli set empat yang t anah-t anah Hak Ulayat nya dialihkuasakan kepada para pemegang HGU at au hak-hak lain. Tidak kurang dari para guru besar dan pakar-pakar hukum agraria mendukung gerakan menent eramkan hat i it u dengan meyakinkan bahwa Hak Ulayat kelompok- kelompok it u diakui dan dihormat i oleh Undang-undang. Padahal dalam t eks UUPA maupun dr af t Rancangan Undang-undang it u perkat aan "diakui" it u t idak dikenal. Maksud Pembuat Undang-undang t erhadap Hak Ulayat it u sej ak semula memang sudah j elas membat asinya: ". . . Hak Ulayat dari kesat uan-kesat uan masyarakat hukum yang kenyat aannya masih ada, unt uk kepent ingan umum

  13

  dapat dibat asi at au dikurangi dengan Perat uran Pemerint ah". St rat egi membat asi dan mengurangi t idak pernah berubah sungguhpun kemudian dit ambahkan kat a pemanis "diakui" dalam Penj elasan Umum Undang-undang it u; sebab pengakuan semacam it u t idak punya implikasi j uridis apapun manakala Pembuat Undang-undang sendiri dalam t af sir resminya secara t ersirat menempat kan Hak Ulayat senilai dengan Hak Negara.

  Selain mengakui Hak Ulayat agar dapat memasukkannya ke dalam kat egori Hak Negara, Pembuat UUPA mengakui j uga adanya suat u Hak Milik Adat sebagai hak-hak perdat a biasa yang dapat dipunyai oleh Penduduk Asli set empat . Ist ilah "Hak Milik Adat " secara t ersurat t idak digunakan dalam t eks undang-undang it u, t api secara t ak langsung rumusan pasal II Ket ent uan- ket ent uan Konversi it u mengisyarat kan adanya pengakuan t ersebut : "Hak-hak at as t anah yang memberi wewenang sebagaimana at au mirip dengan Hak Milik yang dimaksud oleh undang-undang ini, sepert i: Hak Agr ar i sch Ei gendom, Mi l i k,

  

Yasan, Andar beni , Dr uwe, Dr uwe Desa, Pesi ni dan lain-lain hak dengan nama

  apapun yang akan dit egaskan l ebih lanj ut oleh Ment eri Agraria, sej ak saat

  14 diberlakukannya undang-undang ini akan dikonversi menj adi Hak Milik. . . " .

  Ist ilah "Hak Milik Adat " digunakan unt uk menyebut bermacam-macam hak milik at as t anah baik yang t imbul dari t indakan membuka hut an yang diakui dan dij amin dalam hukum-hukum Adat set empat , yang diberikan oleh Penguasa- penguasa Pribumi set empat maupun yang dicipt akan oleh Penguasa Hindia

  15 Belanda bagi Penduduk Asli dan orang-orang Timur Asing. Perkat aan "Hak

  Milik Adat " sendiri merupakan t erj emahan dari ist ilah " Inl ands Bezi t sr echt " yang semula diperj uangkan oleh Van Vollenhoven dalam rangka menghargai adanya konsep hak milik yang dikenal di kalangan kelompok-kelompok Penduduk Asli di t anah Hindia. Pada zaman Hindia Bel anda pun Hak Milik Adat it u diakui

  16 sebagai hak yang paling kuat yang dij amin oleh hukum-hukum Adat set empat .

  Pengakuan t ak langsung akan adanya Hak Milik yang t imbul dari pembukaan hut an primer yang dij amin oleh hukum-hukum Adat set empat dapat diket ahui dari rumusan pasal 22 UUPA. Nama Hak Yasan hanyalah salah sat u cont oh yang

  Jawa Tengah, kalau pet ani-pet ani Jawa membuka hut an primer unt uk berladang disit u maka mereka akan memperoleh Hak Mi l i k at as t anah-t anah yang dibukanya; inilah yang mereka sebut Hak Yasan. Hak ini dij amin oleh

  17

  hukum Adat set empat . Konsep hak milik semacam ini j uga dikenal di kalangan

  18 masyarakat pet ani Lauj e di pegunungan Tinombo, Sul awesi Tengah.

  Pembuat UUPA memberi kesempat an bagi set iap orang yang memegang Hak Milik Adat di seluruh Indonesia unt uk mendaf t arkan haknya dan akan

  19

  memperoleh sert if ikat Hak Milik melalui prosedur Konversi Hak Adat . Di pulau Jawa, prosedur Konversi Hak Adat dilaksanakan sebagaimana mest inya hingga saat ini. Tapi hal ini t idak lagi diindahkan sesudah t ahun 1990 di daerah-

  20

  daerah luar Jawa sepert i di Tinombo, Tomini dan Galela. Sebagai penggant i prosedur Konversi Hak Adat , BPN Donggala dan Mal uku Ut ara menggunakan prosedur l ain yang berlaku bagi Pemberian Hak Milik di at as t anah-t anah

21 Negara. It u berart i bahwa kenyat aan sej arah perol ehan Hak Milik Adat dari

  t indakan-t indakan membuka hut an primer di t empat -t empat it u t elah dikesampingkan oleh Pemerint ah selaku Pelaksana Undang-undang (c. q. BPN). Apa sebab BPN set empat t idak mengindahkan prosedur Konversi Hak Adat dalam pendaf t aran hak-hak pet ani? Kemungkinan per t ama, BPN set empat t iba- t iba berubah pikiran dan menet apkan semua t anah di wilayah kerj anya adalah t anah-t anah Negara bekas Swapraj a. Kal au demikian, berart i BPN set empat t idak memahami isi pasal II Ket ent uan Konversi UUPA yang menyat akan bahwa dalam lingkup kekuasaan Swapraj a pun di akui adanya Hak-hak Milik Adat yang bersif at perdat a yang dapat dipunyai oleh penduduk set empat , sepert i Hak

  

Andar beni dan Wenang Nganggo Run-t umur un di Kesunanan Surakart a at au Hak

Gr ant Sul t an di Kesult anan Deli. Kemungkinan kedua, BPN set empat menduga

  bahwa t anah-t anah it u baru dibuka sesudah 24 Sept ember 1960 sehingga t idak lagi dapat dikat egorikan sebagai Hak Milik Adat . Kemungkinan ini akan gugur j ika Penduduk Asli set empat dapat membukt ikan bahwa leluhur mereka t elah membuka t anah-t anah it u j auh sebelum t ahun 1960. Menurut hasil penelit ian para ahli pembangunan pedesaan dan kawasan, kelompok-kel ompok Penduduk Asli di Kalimant an Timur bahkan t elah membuka hut an primer unt uk berladang

  22

  sej ak seabad lalu. Kemungkinan ket i ga, BPN set empat malas sebab prosedur Konversi Hak Adat akan lebih sulit dij alankan j ika Hak Milik Adat it u t idak dilengkapi ket erangan-ket erangan t ert ul is yang dapat dij adikan pet unj uk (sepert i: bukt i pembayaran paj ak bumi, surat ket erangan Kepala Desa at au surat -surat lainnya). Dalam keadaan t anpa ket erangan-ket erangan t ert ulis

  23

  maka perlu dilakukan suat u t ahapan yang disebut "Pengakuan Hak Adat " yang

  part isipat if mendahul ui prosedur Konversi Hak Adat t ersebut . Prakt is, t ahapan "Pengakuan Hak Adat " it u selain makan wakt u j uga memerlukan kesungguhan, rasa hormat , ket elit ian, keahlian dan part isipasi masyarakat ; enam f akt or yang biasanya t idak disukai oleh pegawai-pegawai BPN.

  Walaupun adanya Hak Milik Adat secara t ersirat diakui, j angan menduga bahwa proses perol ehan Hak Milik Adat melalui pembukaan hut an-hut an Penduduk Asli hingga saat ini, dihormat i oleh Pembuat UUPA. Dari rumusan

  pasal 22 UUPA 1960 dapat diket ahui bahwa pada int inya Pembuat Undang- undang t idak lagi membolehkan proses semacam it u berlangsung sebagaimana adanya menurut t radisi hukum set empat . Sej ak saat diberlakukannya undang- undang it u maka semua pembukaan hut an-hut an primer unt uk ladang-ladang baru harus lebih dul u diket ahui dan diizinkan oleh Negara. Semua it u akan

  24

  diat ur khusus dalam suat u Perat uran Pemerint ah. It u berart i, sesudah diizinkan oleh Negara maka kepada pet ani-pet ani yang membuka hut an primer t ersebut akan diberikan suat u Hak Milik di at as t anah-t anah Negara. Dari segi kualit as dan nilai hak yang dit erima sepint as lalu memang t idak ada perbedaan ant ara "Hak Milik Adat " dan "Hak Milik yang berasal dari t anah Negara". Tapi sebaliknya, dari segi ot onomi kelompok yang semula dij amin oleh hukum- hukum Adat set empat sesungguhnya t elah t erj adi pencabut an yang sangat mendasar. Karena bukan saj a kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat t idak lagi berkuasa mengurus penggunaan sumber-sumber agraria yang selama berabad-abad mereka akui sebagai miliknya, t api lebih dari it u Negara l alu mendapat kan kewenangan yang luas unt uk mengat ur penggunaan sumber- sumber agraria di sit u, t ermasuk wewenang unt uk memberikan izin bagi orang- orang l uar sepert i perusahaan-perusahaan bermodal besar unt uk membuka hut an dengan luasan yang berl ipat ganda dari yang mampu dilakukan oleh penduduk Asli set empat sendiri. Melihat implikasinya yang mengancam masa depan kehidupan sosial ekonomi penduduk Asli set empat , pat ut diduga bahwa ket ent uan pasal 22 it u secara sist emik berkait dengan pasal 3 undang-undang yang sama, yang int inya melalui undang-undang it u dibuka pel uang t erj adinya proses yang sah bagi beralihnya kekuasaan at as t anah dan sumber-sumber agraria dari Rakyat kepada Negara.

  Walaupun diakui dan diberi kesempat an unt uk didaf t arkan secara resmi sebagai Hak Milik menurut undang-undang, ancaman hukum yang diarahkan kepada t anah-t anah Hak Milik Adat relat if besar dan membahayakan karena melalui UUPA suat u Hak Milik dianggap berakhir bilamana t anahnya dit elant arkan. Walaupun Pembuat Undang-undang hanya menent ukan bahwa sebidang t anah disebut t elant ar bilamana dengan sengaj a t idak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sif at dan t uj uan haknya namun prakt ik Pemerint ah (c. q. BPN) menganggap perlu adanya suat u pegangan yang l ebih riil unt uk dapat menent ukan kapan at au set elah berapa lama hak at as t anah-t anah demikian dapat dianggap hapus. Unt uk it u Pemerint ah memegang keput usan

  25 Pengadilan, pendapat Penguasa dan Ahli sebagai pedoman. Keput usan

  Pengadilan Negeri Padang Lawas di Sumat era Barat menet apkan bahwa sesuai t radisi set empat sawah-sawah yang dit inggalkan selama sat u t ahun akan kembali menj adi Hak Ulayat . Direkt orat Jenderal Agraria mengat akan bahwa dalam t empo sat u t ahun t anah-t anah di sepanj ang j al an Thamrin dan Sudirman Jakart a yang t idak dimanf aat kan akan diambil oleh Negara. Menurut hukum Adat Sulawesi Selat an, t anah-t anah sawah yang dit inggalkan selama sepuluh t ahun at au lebih, at au bilamana semua pemat ang maupun t anda-t andanya demikian kepada orang yang membukanya pert ama diberikan priorit as unt uk mengerj akannya kembali dalam wakt u sat u t ahun.

  Pegangan yang dibut uhkan oleh Pelaksana Undang-undang umumnya mengacu pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat set empat yang biasanya t elah diat ur pul a dalam hukum-hukum Adat di t empat -t empat it u. Selain it u, kebut uhan set empat yang sif at nya sangat khas j uga bisa dij adikan pedoman. Namun prakt ik Pemerint ah (c. q. BPN) di l apangan, t erut ama di daerah-daerah luar Jawa, membukt ikan lain. Secara pukul rat a BPN Sulawesi Tengah menent ukan bahwa t anah-t anah pert anian yang dit inggalkan selama dua t ahun bert urut -t urut akan diambil alih menj adi t anah-t anah Negara. Penent uan bat as wakt u dua t ahun, yang di daerah-daerah dimana masyarakat nya hidup dalam t radisi persawahan beririgasi dan padat penduduknya dianggap waj ar, akan menj adi bumerang bagi masyarakat yang hidup dal am t radisi perladangan berput ar. Dalam t radisi masyarakat perl adangan berput ar dikenal suat u sist em penyuburan alamiah dimana t anah-t anah ladang "dibiarkan/ dit inggalkan unt uk beberapa t ahun lamanya". Juml ah t anah-t anah yang semula ladang it u past i j auh lebih besar dibandingkan ladang-ladang yang t engah dikerj akan. Di daerah-daerah pegunungan sepert i Enarot ali, perbandingannya adalah 6: 22, di

26 Tinombo 2: 7; perbandingan mana akan berubah mengikut i kepadat an

  penduduk di suat u daerah. Sel ain it u masa penyuburan t anah dengan sist em t ersebut cenderung dipersingkat kepadat an penduduk semakin meninggi. Banyak kelompok-kel ompok Penduduk Asli set empat t erpaksa kehilangan hak- hak Adat mereka at as t anah-t anah belukar yang semula ladang sert a padang- padang penggembalaan t ernak yang sedang disuburkan kembali. Pada umumnya perusahaan-perusahaan pemegang HPHTI memperoleh haknya di at as t anah- t anah semacam it u, yang menurut Keput usan Ment eri Kehut anan No. 417 t ahun 1989, masuk dalam kualif ikasi t anah-t anah kosong, t elant ar at au rusak akibat perladangan berpindah-pindah (baca: perl adangan berput ar). Dengan t uduhan menelant arkan t anah dan a-sosial, berj ut a-j ut a hekt ar t anah-t anah bekas ladang milik kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat yang t engah disuburkan it u t elah beralih secara sah menj adi t anah-t anah Negara, nyaris t anpa perl awanan. Perlawanan, kalaupun ada, mungkin baru dimulai manakala diat as t anah-t anah "t erlant ar" it u diberikan hak-hak baru sepert i HPHTI kepada perusahaan-perusahaan. Sengket a-sengket a st rukt ural penguasaan t anah yang melibat kan kelompok-kelompok Penduduk Asli di Lelobat an, Biloe, Gamlaha dan Umaa Telivaq adalah beberapa cont oh dari j enis ini.

  Set elah menyimak bagaimana Pembuat UUPA t elah meminggirkan posisi hak-hak Adat Penduduk Asli set empat melalui pasal-pasal 3, 22 dan 27 undang- undang it u, perlu dipert anyakan lebih lanj ut : Mungkinkah semua ini t erj adi seandainya Pembuat Undang-undang masih memperhit ungkan dan menghormat i hukum-hukum Adat kelompok-kelompok Penduduk Asli? Hanya dengan membaca sepint as lalu rumusan pasal 5 undang-undang it u, banyak orang mempercayai bahwa hukum-hukum Adat t et ap diakui bahkan dij adikan dasar t et ap ada, j uga sekiranya t idak t erdapat rumusan apapun dalam undang- undang, sebab pada dasarnya masyarakat awam mempercayai it ikad baik dari Pembuat Undang-undang. Pada masyarakat yang religius sekaligus naif sepert i masyarakat Indonesia, hukum masih diyakini sebagai sakral dan perpanj angan perint ah Tuhan, sehingga yang bernama hukum dengan sendirinya adil dan baik.

  Ket ent uan t ent ang posisi hukum-hukum Adat dalam UUPA dirumuskan dengan lat ar belakang pikiran maupun gaya bahasa yang sama dengan rumusan pasal 3 t ent ang posisi Hak Ulayat . Kalau dikat akan oleh Pembuat Undang- undang bahwa hukum agraria yang berlaku at as bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum Adat sepanj ang t idak bert ent angan dengan kepent ingan nasional dan Negara, j angan cepat -cepat mengamini seakan-akan apa yang dimaksud oleh Pembuat Undang-undang dengan pernyat aan t ersebut adalah sama dengan kehendak kit a. Kekeliruan yang selama ini kit a lakukan adalah menaf sirkan kat a-kat a dalam undang-undang sesuai keinginan dan keyakinan sendiri. Menurut t af sir resmi Pembuat Undang-undang yang t ercant um dalam Penj elasan Umum III (1), hukum agraria yang baru it u akan didasarkan pada hukum Adat sebagai hukum yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepent ingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia int ernasional, sert a disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi, hukum Adat dalam pert umbuhannya t idak t erlepas pula dari pengaruh polit ik dan masyarakat kolonial yang kapit alist ik dan masyarakat Swapraj a yang f eodal.

  Apa yang dimaksud dengan ist il ah "hukum Adat " oleh Pembuat Undang- undang Pokok Agraria t ernyat a sama t idak j elasnya dengan penggunaan ist ilah "Masyarakat Hukum Adat ". Ket idakj el asan ini sekali lagi mengundang pert anyaan krit is sepert i: apakah hukum-hukum Adat yang pl uralist ik yang dihidupkan oleh kesadaran hukum kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat t ermasuk pula dalam pengert ian "hukum Adat " yang dimaksud oleh Pembuat Undang-undang it u? Dari pernyat aan Pembuat Undang-undang bahwa pert umbuhan hukum Adat t idak t erlepas dari pengaruh polit ik dan masyarakat kolonial yang kapit alist ik dan masyarakat Swapraj a yang f eodal , pat ut diduga bahwa yang dimaksud t idak lain dari hukum Adat yang dikenal dan berdekat an dengan pusat -pusat kekuasaan di masa Hindia Bel anda dulu. Kalau demikian maka hukum-hukum Adat yang dihidupkan oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat , sepert i misalnya hukum Adat Asmat , yang t idak memenuhi persyarat an t erpengaruh polit ik kolonial , kapit alist ik dan f eodalist ik, t idak masuk dalam kat egori ini.

  Ket idakj el asan maksud Pembuat Undang-undang mengenai penggunaan ist ilah "hukum Adat " dalam prakt ik pelaksanaan undang-undang it u t idak pernah dipermasal ahkan, bahkan t idak j uga oleh kaum t erpel aj ar hukum yang berada di luar badan Pemerint ah. Dalam ket idakj elasan yang dibiarkan t et ap

03. Akhiran

  Penganggapan secara pukul rat a bahwa semua hak-hak Adat kelompok- kelompok Penduduk Asli set empat adalah Hak Ulayat t erbukt i t elah merugikan masa depan ekonomi dan kebudayaan mereka. Padahal belum t ent u konsep Hak Ulayat sebagaimana dit emukan oleh Van Vollenhoven dulu t erdapat pula pada kelompok-kelompok t ersebut . Masyarakat Hukum Adat yang dilukiskan mempunyai Hak Ulayat adalah sebuah komunit as yang dilengkapi pemimpin yang t elah t erst rukt ur dalam sebuah pemerint ahan Adat . Padahal persyarat an semacam it u t idak selalu t erpenuhi oleh kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat yang st rukt ur sosialnya masih sangat sederhana dimana konsep pemerint ahan Adat t idak pernah dikenal.

  Melalui ket ent uan-ket ent uan dalam pasal-pasal 3, 22 dan 27 t elah t erj adi dominasi kekuasaan Negara t erhadap penggunaan sumber-sumber agraria, bahkan koopt asi semua kekuasaan asli yang t erdapat dalam kelompok- kelompok yang semula ot onom it u. Koopt asi ot onomi inilah yang sesungguhnya menj adi akar dari semua sengket a st rukt ural penguasaan t anah dan sumber- sumber agraria di t empat it u, yang t ak mungkin t erselesaikan secara adil selama acuan yang digunakan adalah undang-undang t ersebut .

  Pelecehan budaya j uga dilakukan oleh Pembuat Undang-undang Pokok Agraria dengan menet apkan suat u corak polit ik hukum yang t ermuat dalam ket ent uan-ket ent uan pasal 3, 5, 22 dan 27 dimana kelompok-kelompok Penduduk Asli set empat dihancurkan perpangkalan budaya, harmoni dan kebebasannya unt uk memilih cara hidup yang dianggapnya baik dan sesuai kebut uhan set empat .