KAJIAN HUKUM PENCEGAHAN TINDAKAN TERORISME DI DAERAH PARIWISATA KUTA KABUPATEN BADUNG.

(1)

LUARAN PENELITIAN DOSEN MUDA LPPM UNUD

KAJIAN HUKUM PENCEGAHAN TINDAKAN TERORISME

DI DAERAH PARIWISATA KUTA KABUPATEN BADUNG

Oleh:

I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

RINGKASAN

Bom Bali di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta, adalah teror yang layak digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) terbesar di Indonesia dengan jumlah korban yang begitu banyak yakni sekitar 202 orang dan dilakukan dengan sangat keji oleh para teroris. Bali sebagai daerah pariwisata juga sangat potensial akan terjadinya aksi teroris kembali, khususnya Kuta sebagai episentrum daerah pariwisata di Bali sangat mungkin akan terkena serangan teroris kembali, karena di Kuta banyak dikunjungi oleh wisatawan manca negara serta gemerlap kehidupan pariwisata di daerah Kuta sudah dianggap sebagai wujud dari hegemoni negara-negara barat (negara-negara kapitalis atau liberalis seperti misalnya Amerika Serikat) sehingga Kuta dianggap sebagai ikon internasional oleh para teroris. Dengan melaksanakan serangan teror di Kuta maka gaung internasionalnya akan sangat kuat. Untuk mengetahui kesiapan masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta dalam mencegah dan menanggulangi aksi teroris kembali terjadi, maka peneliti melaksanakan penelitian dengan memfokuskan pada permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta mengetahuai dan memahami tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme ?

2. Bagaimanakah upaya-upaya atau langkah-langkah yang telah dilakukan oleh masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta dalam mencegah terjadinya tindakan terorisme ?

Berdasarkan hasil penelitian ternyata semua informan di lapangan menyatakan tidak mengetahui dan belum memahami substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Demikian pula hal-hal yang telah dilaksanakan oleh masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta dalam mencegah terjadinya tindakan terorisme adalah dengan mewujudkan sistem pengamanan wilayah terpadu.


(3)

SUMMARY

Bali bombing of the Sari Club and Paddy's Club Kuta, is worthy of terror which is classified as crimes against humanity (crime against humanity) in Indonesia with the largest number of victims that so many of about 202 people and made very vicious by the terrorists. Bali as a tourism area also potentially be re-occurrence of terrorist acts, particularly as the epicenter of tourist areas of Kuta in Bali is very likely to be exposed to a terrorist attack again, as in Kuta much visited by foreign tourists as well as the glamorous life of tourism in the Kuta area has been regarded as a form of hegemony of western countries (capitalist countries or liberals such as the United States) so that Kuta is considered as an international icon by the terrorists. By carrying out terror attacks in Kuta then it will be very strong international reverberations. To determine the readiness of indigenous peoples in the Kuta tourist in preventing and combating terrorist acts happening again, then the researchers conducting research with a focus on the problem as follows:

1. Are indigenous peoples in the Kuta tourist understanding of the Law Number 15 Year 2003 About Suppression of the Criminal Acts of Terrorism?

2. How do these efforts or steps that have been made by indigenous peoples in the Kuta tourist in preventing acts of terrorism?

Based on the results of research in the field was all informants claimed not to know and do not understand the substance of Law Number 15 Year 2003 About Suppression of the Criminal Acts of Terrorism. Similarly, things that have been implemented by indigenous peoples in the Kuta tourist in preventing acts of terrorism is to create an integrated security system area.


(4)

Masalah terorisme adalah persoalan yang sangat serius yang dihadapi oleh umat manusia pada abad ke-21 ini. Gerakan terorisme yang sebagian besar didasari oleh faham fundamentalisme atau militansi agama, yang dibelakangnya terdapat kepentingan politik tertentu, ternyata dalam perkembangannya dewasa ini, benar-benar merupakan fakta yang mengancam keslamatan dan keamanan umat manusia (human security). Samuel Huntington, dalam bukunya : “The Class of Civilization” menyatakan bahwa kita sedang menghadapi sebuah perbenturan yang tidak dapat dihindari antara peradaban-peradaban dunia, khususnya Islam dan Barat (Thomas Meyer, 2004 : 11). Perbenturan peradaban antara Islam dan Barat ini, kita rasakan juga di Indonesia, yang terlihat dalam serangan-serangan teroris yang berbasis fundamentalis Islam yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan Barat dan sekutu-sekutunya. Seperti misalnya, peristiwa pengeboman Sari Klab, Paddy’s Klab di Kuta (Tahun 2002); Raja’s Kafe, Kafe Nyoman, Kafe Menega di Jimbaran, Bali, (Tahun 2005), Hotel JW Marriott, di Jakarta (Tahun 2003), Kedubes Australia di Jakarta (Tahun 2004), pengeboman gereja-gereja di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masih banyak lagi peristiwa pengeboman oleh teroris yang berhasil dan gagal di tanah air Indonesia.

Terorisme dikatakan sebagai gerakan atau aksi yang sangat berbahaya, yang dapat mengancam peradaban umat manusia. Untuk menjawab hal ini perlu dicari definisi atau pengertian dari terorisme tersebut. Terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini berasal dari Bahasa Latin, “terrere” yang artinya, “menimbulkan rasa gemetar dan cemas” (Mark Juergensmeyer, 2003 : 6). Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa Pemerintahan Teror Revolusi Perancis akhir abad ke-18 (Mark Juergensmeyer, 2003 : 6). Oleh karena itu, respon publik terhadap kekerasan, rasa cemas yang disebabkan terorisme, merupakan bagian dari pengertian terma tersebut. Dengan demikian tepat bahwa definisi aksi terorisme tergantung pada kita, para saksi, orang-orang yang merasa terancam atau cemas. Ini yang kita sebut, atau sering juga oleh para agen publik, seperti media berita, bahwa aksi-aksi kekerasanlah yang menciptakan pengertian-pengertian tersebut sebagai terorisme. Itulah aksi-aksi pengerusakan publik, dilakukan tanpa tujuan militeristis yang jelas, yang dapat menimbulkan rasa cemas (takut) secara luas (Mark Juergensmeyer, 2003 : 6).


(5)

Lokasi penelitian ini dibatasi hanya di Kecamatan Kuta dengan terfokus di Kelurahan Kuta dan Desa Adat Kuta. Kecamatan Kuta terdiri dari enam Desa Adat yaitu: Desa Adat Kedonganan, Desa Adat Kelan, Desa Adat Tuban, Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian dan Desa Adat Seminyak. Kecamatan Kuta juga terdiri dari dari lima Kelurahan yaitu: Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Tuban, Kelurahan Kuta, Kelurahan Legian dan Kelurahan Seminyak.

Jika dilihat dalam peta Pulau bali, Kelurahan Kuta berada di bagian selatan. Bagian selatan kerap disebut sebagai daerah kaki Bali. Orang Bali menyebutnya di teben (hilir). Bila wajah Pulau Bali diidentikan sebagai Palu Godam, maka Kuta berada tepat pada pegangan Palu itu. Kuta terletak di daerah cekungan. Masyarakat Kuta biasa menyebutnya ceking. Kalau dilihat dari bentangan wilayah Kabupaten Badung yang menyerupai Keris, maka posisi Kuta adalah tepat di Gagang Keris itu. Artinya, Kuta menjadi titik penting karena ”energi” Keris Badung terletak di Kuta.

Kuta sudah tersohor ke seantero jagat dan dikenal diberbagai belahan dunia, namun asal-usul nama Kuta hingga kini belum benderang benar. Mengapa kampung turis ini dinamai Kuta, senantiasa sulit untuk dicarikan jawaban yang tepat. Memang, nama Kuta sudah banyak disebut dalam sumber-sumber sejarah tradisional. Bahkan, catatan pertama orang asing mengenai Bali adalah cerita tentang Kuta. Namun, tetap saja tak terungkap jelas bagaimana ceritanya hingga muncul nama Kuta. Kendati begitu, masyarakat Kuta mempercayai sebuah cerita mengenai asal-usul Kuta yang berakar pada invasi Majapahit yang dipimpin Gajahmada sekitar tahun 1343. Versi ini banyak dikutip sebagai cerita asal-muasal Kuta. Wartawan senior Bali, Putu Setia yang menulis buku Menggugat Bali (1986) juga merujuk versi ini. Begitu juga wartawan I Made Sujaya dalam buku Sepotong Nurani Kuta: Catatan Mengenai Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002. Versi ini kemudian menjadi versi resmi karena digunakan dalam monografi dan profil pembangunan Kelurahan Kuta (I Gede Suparta dan I Made Sujaya, 2010 : 1-7).

Siapa pun yang datang berwisata ke Bali, tidak akan merasa lengkap jika belum mengunjungi Kuta. Kuta seolah menjadi menu wajib bagi perjalanan wisata menjelajahi Pulau Dewata. Karena Kuta adalah ikon kepariwisataan Bali. Kuta telah berkembang sebagai pusat dunia pariwisata Bali. Manakala orang hendak memahami bagaimana dinamika industri turisme di Bali sejak masa-masa awal hingga kini, mau tidak mau harus


(6)

menoleh terlebih dulu ke Kuta. Salah satu ciri khas Kuta, daerah tujuan wisata ini tidak pernah beristirahat. Orang-orang menyebut Kuta tak ada matinya. Tak mengenal siang, tak peduli malam, Kuta terus saja berdenyut. Inilah kemudian yang membedakan Kuta dengan daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Bali. Jika di Ubud, keramaian sudah berhenti memasuki pukul sepuluh malam, di Kuta justru kehidupan dimulai saat itu. Bar, kafe, restoran, pub atau diskotek mulai buka pada jam-jam tersebut. Dari sinilah kemudian muncul sebutan, Kuta tidak pernah tidur, Kuta selalu terjaga. Bagi masyarakat di Kelurahan Kuta, industri pariwisata merupakan payuk jakan atau sumber penghidupan pertama dan utama (I Gede Suparta dan I Made Sujaya, 2010 : 34).

Namun pasca tragedi Kuta 12 Oktober 2002, kunjungan wisatawan ke Bali menurun drastis. Begitu bom meledak di Kuta, kontan saja ribuan wisatawan asing buru-buru meninggalkan Bali. Terjadi antrean yang sangat panjang di Bandara Ngurah Rai Tuban. Orang berjubel-jubel ingin mendapatkan tiket segera untuk kembali ke negara asalnya. Pulau Dewata telah ditinggalkan.

Berdsarkan data dari Kantor Imigrasi Ngurah Rai Bali yang dikutip majalah Tempo edisi 27 Oktober 2002, pada tanggal 13 Oktober 2002 jumlah wisman (wisatawan manca negara) yang datang sebanyak 5.219 orang, sedangkan yang pergi 7.249 orang. Pada 14 Oktober 2002 jumlah wisman yang datang menurun menjadi 2.833, sementara yang pergi sebanyak 6.471 orang, pada 15 Oktober 2002 wisman yang datang sebanyak 1.242 orang dan yang pergi 5.240 orang. Pada 16 Oktober 2002 jumlah wisman yang datang hanya 1.240 orang sementara yang pergi sebanyak 5.556 orang.

Demikian pula tingkat hunian hotel praktis anjlok. Pada bulan Oktober 2002 occupancy-rate di kamar hotel berbintang rata-rata 70,27 persen, pada bulan November 2002 melorot menjadi hanya 14,50 persen. Inilah tingkat hunian hotel terburuk dalam sejarah kepariwisataan Bali. Pada waktu meletusnya Perang Teluk atau pun Tragedi 11 September di World Trade Centre, New York, Amerika Serikat, tingkat hunian hotel tidak sampai separah ini. Tampaknya hal ini lebih karena musibah ini terjadi di Bali, sehingga dampaknya langsung. Ledakan bom di Jalan Legian pada akhirnya menjadi pukulan telak bagi masyarakat Bali dengan masyarakat Kuta sebagai pihak yang secara langsung menerima dampaknya. Daya beli masyarakat Kuta kontan anjlok. Hal ini bisa dilihat dari kondisi yang tejadi pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kuta, sebuah


(7)

lembaga keuangan yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kuta dalam melaksanakan aktivitas perekonomiannya. Sebelum terjadi ledakan bom, LPD Desa Adat Kuta memungut tabungan masyarakat Kuta rata-rata Rp 50 juta setiap hari. Setelah ledakan bom terjadi, tabungan masyarakat menurun sangat drastis. Paling-paling per hari pihaknya hanya mampu meraup antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta (I Gede Suparta dan I Made Sujaya, 2010 : 52-53). Setelah terjadi tragedi pengeboman di Jalan Legian, Kuta, pada tanggal 12 Oktober 2002 maka ada lima gerbong ekonomi pariwisata yang mengalami goncangan dan mendekati kebrangkutan. Kelima gerbong itu adalah hotel (hotel berbintang dan non-bintang), restoran, rent car, hiburan malam (diskotek, karaoke, serta atraksi pentas lainnya), dan para penjual souvenir. Dampak bom Bali itu memang luar biasa dalam kehidupan pariwisata Bali (Nyoman Sutiawan, 2003 : vi).

Berdasarkan uraian di atas, begitu luas dan luar biasa dampak dari peristiwa pengeboman di Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 terhadap kehidupan dan stabilitas masyarakat Kuta khususnya yang terkena langsusng akibat dari tragedi tersebut, ataupun masyarakat Bali secara umum, serta tindakan pengeboman oleh teroris di Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 sudah mengganggu dan mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, setelah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang seyogyanyalah setiap warga negara RI mengetahui dan memahami substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal inilah yang mengilhami peneliti untuk merumuskan permasalahan pertama yaitu: apakah masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta mengetahuai dan memahami Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme ? Sebab masyarakat adat Kuta telah secara langsung merasakan dampak dari tindakan keji pengeboman oleh teroris pada tanggal 12 Oktober 2002 di Jalan Legian, Kuta, yang menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan korban meninggal 200 orang, dan korban luka-luka yang begitu banyak, kerusakan bangunan yang tak terhitung jumlahnya, serta menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat serius bagi kehidupan masyarakat Kuta khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya, fakta ini sangat sesuai dengan rumusan pengertian tindak pidana


(8)

terorisme yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada Pasal 7, yakni: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang pertama yaitu: apakah masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta mengetahuai dan memahami Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme ?, berdasarkan hasil wawancara ternyata semua informan di lapangan menyatakan tidak mengetahui dan belum memahami substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini disebabkan karena para informan dilapangan memiliki profesi yang beragam, seperti misalnya: Pinandita atau Pemangku (Pendeta Hindhu), wiraswasta seperti: pengusaha hotel, pemilik toko, pemilik bengkel. Profesi yang dimiliki oleh para informan ini juga berpengaruh terhadap pengetahuan mereka terhadap aturan-aturan hukum yang ada dan berlaku saat ini.

Menjawab rumusan masalah yang kedua, yaitu: Bagaimanakah upaya-upaya atau langkah-langkah yang telah dilakukan oleh masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta dalam mencegah terjadinya tindakan terorisme ? Bahwasannya masyarakat adat yang tergabung dalam desa adat atau desa pakraman di Kelurahan Kuta memiliki posisi sentral dalam mencegah terjadinya tindakan terorisme di daerah pariwisata Kuta. Pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat (desa adat) telah tercermin di dalam konstitusi negara, yaitu diatur dalam rumusan Pasal Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 (setelah amandemen) menyatakan sebagai berikut: (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan oleh konstitusi sangat penting karena konstitusi merupakan aturan hukum tertinggi (basic law) dalam suatu negara. Peraturan hukum yang lebih rendah dalam hal mengatur masyarakat hukum adat


(9)

tidak boleh menyimpang dari prinsip ”pengakuan” tersebut (Kelsen, 1962; Humbolt 1993 dalam I Made Pasek Diantha, 2004 : 67-68).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, bahwasannya masyarakat adat yang merupakan anggota dari suatu desa adat atau desa pakraman di Kuta memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam mencegah terjadinya tindakan terorisme di Kuta. Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian Desa Pakraman sebagai berikut:

Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindhu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Sebelum berlakunya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, istilah yang digunakan adalah istilah ”desa adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Dari pengertian yang diberikan oleh Perda Nomor 06 Tahun 1986 dan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tersebut, maka jelaslah bahwa istilah desa adat dan istilah desa pakraman mempunyai pengertian yang sama (Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006 : 42-43). Dengan demikian sudah jelas dasar hukum adanya desa adat atau desa pakraman di Bali.

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Nyoman Bagiana Karang, SSN. yang pernah menjabat sebagai Ketua LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) Kuta periode tahun 1998-2004, yang berdomisili di Br. Tegal, Desa Adat Kuta, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, menyatakan bahwa saat ini di Kuta (Kelurahan Kuta) sedang dicanangkan konsep zero criminal, yaitu merupakan sistem pengamanan wilayah terpadu yang melibatkan unsur TNI, Kepolisian, Hansip, Desa Adat/Pakraman, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat atau LPM (berdasarkan SK Bupati Badung No. 785 tahun 2002 tentang Penataan LKMD, sebutan LKMD berubah dengan sebutan LPM), Kelurahan, Sekeha Truna Truni dan relawan. Zero criminal ini bertujuan untuk menciptakan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Merupakan pilot project dari zero criminal ini adalah daerah kawasan ramai di Kuta yaitu kawasan Jalan Poppys I dan Jalan


(10)

Poppys II. Konsep zero criminal ini sudah dimulai dari awal bulan September 2011 hingga sekarang.

Pada tanggal 17 Agustus 2006, I Nyoman Bagiana Karang menulis tentang Pokok-Pokok Pikiran Pidabdab Desa Adat Kuta Untuk Masa Depan Kuta - Masa Depan Kita, yang mengemukakan beberapa hal penting (konsep pemikiran) untuk penciptaan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di Desa Adat Kuta, antara lain:

1. Efektivitas satuan keamanan resmi yang ada.

2. Pemahaman terhadap bidang tugas (job description) menyangkut antara lain: - Fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab.

- Penampilan (performance), disiplin dan sumber daya manusia. - Koordinasi, komunikasi dan hubungan kerja.

- Strategi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan tindak lanjut. - Sistem komando dan pelimpahan tugas.

- Kebijakan dan sanksi-sanksi (intern dan ekstern).

3. Pelimpahan kewenangan tugas dan tanggung jawab dari Desa Adat, LPM, Kelurahan maupun dari instansi terkait secara resmi yang ditelorkan dalam suatu Paruman Desa Adat Kuta.

4. Desa Adat mem-backup tugas-tugas operasional melalui:

Peran serta masing-masing Banjar sebanyak 10 orang atau lebih yang terdiri dari unsur Banjar, Pemuda/STT dan Sukarelawan/Pecalang, dan lain-lain.

5. LPM dan Kelurahan Kuta mempersiapkan dukungan sarana, prasarana, konsumsi maupun dukungan personil (Pengurus LPM dan Pemuda Desa dan lain-lain).

6. Dibuatkan acuan, struktur, surat pernyataan (intern dan ekstern) untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang maupun arogansi yang berlebihan.

7. Keberadaan tempat, posko, sekretariat, waktu tugas, kostum (selain petugas resmi) perlu dipersiapkan.

8. Buatkan target, batas waktu dan evaluasi.

9. Sosialisasi pada masing-masing Banjar, termasuk terhadap obyek sasaran bilamana ada pengelola/penanggung jawabnya.


(11)

- Masalah kriminal kepada pihak Kepolisian.

- Masalah pelanggaran Perda kepada Polisi Pamong Praja atau Dinas Sosial.

Demikian pula wawancara dengan I Nyoman Graha Wicaksana, B.com, MM, Ketua LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kelurahan Kuta saat ini (tahun 2011), yang beralamat di Banjar Tegal Kuta, Desa Adat Kuta, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, menyebutkan bahwa di Kelurah an Kuta saat ini sudah terbentuk Bankamdes (Bantuan Keamanan Desa) dalam bentuk pengamanan swakarsa (yang beranggotakan masyarakat setempat) dengan nama Satria Jagabaya Samudra. Bankamdes dibentuk oleh Musyawarah Kelurahan Kuta yang terdiri dari unsur-unsur: Bendesa Adat, Kepala Kelurahan, Kelihan

Adat, Kelihan Dinas, Tokoh Masyarakat Kuta, Sekeha Truna Truni. Bankamdes (Bantuan

Keamanan Desa) Satria Jagabaya Samudra memiliki fungsi menciptakan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di Kelurahan Kuta. Satria Jagabaya Samudra memiliki wewenang untuk melakukan penggledahan terhadap tempat-tempat atau orang-orang yang dicurigai bisa mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat di Kelurahan Kuta. Dalam melaksanakan tugasnya Satria Jagabaya Samudra juga berkoordinasi dengan pihak Kepolisian (Polsek Kuta). Tugas dari Satria Jagabaya Samudra salah satunya adalah merazia keberadaan penduduk pendatang yang tidak memiliki identitas yang resmi.

Demikian pula berdasarkan hasil wawancara dengan I Nyoman Widya Arta yang saat ini menjabat sebagai Kepala Lingkungan (Kelihan Dinas) pada Banjar Buni, Desa Adat Kuta, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta. Disebutkan beberapa hal penting dalam rangka menciptakan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di Kelurahan Kuta, yaitu:

- Adanya sidak terhadap keberadaan penduduk pendatang yang dilakukan oleh petugas dari Lingkungan (Banjar Buni) berkoordinasi dengan aparat Kelurahan Kuta, sidak dilakukan secara rutin.

- Adanya sidak gabungan yang terdiri dari unsur-unsur: aparat Kepolisian (Polsek Kuta), Bendesa Adat Kuta (pelibatan Pecalang), Kepala Kelurahan Kuta (Petugas Kelurahan), Kelihan Adat, dan Kelihan Dinas (Kepala Lingkungan). Sidak dilakukan terhadap tempat-tempat yang diduga dapat membahayakan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban) di Kelurahan Kuta, serta terhadap penduduk pendatang (termasuk penduduk pendatang dari luar Pulau Bali) yang tidak memiliki identitas yang resmi.


(12)

- Hampir semua Banjar di Kelurahan Kuta melakukan sidak secara rutin terhadap keberadaan penduduk pendatang, sidak biasanya dilakukan seminggu sekali. - Berdasarkan data yang ada di Kantor Kelurahan Kuta bahwa jumlah penduduk

pendatang yang ada di Kelurahan Kuta melebihi jumlah penduduk asli (warga adat) yang ada di Kelurahan Kuta.

- Penduduk pendatang harus memiliki KIPPS (Kartu Identitas Penduduk Pendatang Sementara) yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan atas rekomendasi dari Kepala Lingkungan (Kelihan Dinas).

- Adanya sosialisasi kepada warga yang memiliki rumah kontrakan atau rumah kos di Kelurahan Kuta agar selalu waspada dalam menerima orang yang akan mengontrak atau kos, harus benar-benar diketahui asal-usul atau identitas orang yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan, hampir semuanya menyebutkan bahwa peran Pecalang di Desa Adat Kuta (anggota pecalang adalah warga adat dari Banjar-Banjar yang ada di Desa Adat Kuta) sebagai pengamanan swakarsa sangat penting artinya dalam menciptakan dan menjaga Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di Kuta. Keberadaan Pecalang juga diatur dalam Awig-Awig Desa Adat Kuta. Undang-undang yang secara langsung mengakui keberadaan Pecalang (dengan sebutan ”bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”) adalah Undang-Undang No. 2 Th. 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa: Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:

a. kepolisian khusus;

b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Demikian pula peraturan lokal yang secara tegas mengatur keberadaan Pecalang adalah Perda Propinsi Bali No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Pasal 17 Perda tersebut menyatakan:

1. Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oleh Pecalang.

2. Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa dalam


(13)

3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa. Seperti dinyatakan oleh para pengamat bahwa terorisme tumbuh subur di Indonesia, serta aksi-aksi terorisme akan selalu mengancam Bali. Gerakan terorisme akan tumbuh subur apabila mereka mendapat dukungan dari masyarakat terutama dari mereka yang telah terpengaruh oleh propaganda idiologi radikal. Tentang bagaimana peran dan dukungan masyarakat itu, Eric Morris & Alan Hoe pernah menyatakan sebagai berikut: ...”terrorist can not survive without the support of the population and that support is given for many reason, but at least in part, it is a response to a set of political and social circumstances”… (Eric Morris & Alan Hoe, 1987 : 43).

Untuk mencegah berkembangnya ideologi radikal, upaya yang harus dilakukan adalah memastikan dengan pendekatan multikultural bahwa tempat-tempat ibadah atau pesantren yang ada di Bali tidak digunakan untuk melakukan propaganda ideologi Islam radikal. Himbauan terutama ditujukan kepada tokoh-tokoh Islam moderat agar mereka menolak dengan tegas ideologi Islam radikal dan selalu berkomitmen dengan upaya mewujudkan toleransi beragama demi tercapainya Bali yang tentram, tertib dan harmoni (I Made Pasek Diantha, 2010 : 133).

Harus disadari bahwa penciptaan rasa aman dan penegakan hukum di Bali bukan pekerjaan mudah. Tidak juga seperti cerita-cerita dongeng yang dapat membalik fakta hanya dalam hitungan detik. Perlu kerja keras dan kerja sama dari semua unsur dalam masyarakat. Perlu dilakukan inventarisasi terhadap permasalahan hukum dan Kamtibmas yang menjadi problem di masyarakat (I Putu Gede Ary Suta, 2004 : 47). Terkait dengan penciptaan rasa aman dan penegakan hukum di Bali, maka tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Bali merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara moderen pada Abad ke 21 ini. Negara moderen memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, ia memiliki suatu wilayah tertentu lengkap dengan garis perbatasannya. Kedua, ia memiliki kendali eksklusif atas wilayah tersebut: ”kedaulatan” berarti bahwa tidak ada entitas lain yang dapat mengajukan klaim untuk memerintah ruang itu. Ketiga, hierarki, yakni, negara adalah badan politik tertinggi yang menetapkan peranan dan kekuasaan semua bagian pemerintah (Paul Hirst, 2004 : 58). Berdasarkan tiga karakteristik ini, seharusnya Indonesia sebagai negara bangsa moderen dapat dan mampu mencegah serta membrantas aksi-aksi terorisme yang sangat keji dan


(14)

biadab yang sangat membahayakan jiwa dan raga umat manusia yang ada dalam batas-batas wilayah Negara Republik Indonesia dengan segala daya upaya, upaya tersebut salah satunya adalah melalui penegakan hukum yang sungguh-sungguh untuk membrantas aksi-aksi terorisme tersebut. Jangan lagi sampai terulang aksi-aksi-aksi-aksi pengeboman oleh teroris yang marak terjadi di tanah air, termasuk agar tidak terulangnya pengeboman oleh teroris di Bali, seperti yang pernah terjadi di Jalan Legian, Kuta, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang sangat memilukan dan tragis, karena menimbulkan banyak korban jiwa, serta pengeboman yang kedua di Kuta dan Jimbaran pada tanggal 1 Oktober 2005 yang juga menimbulkan korban jiwa.

Untuk mengantisipasi agar tidak lagi terjadi serangan pengeboman oleh teroris di Kuta, maka setiap orang Kuta hendaknya ikut berperan aktif dan berpartisipasi saling mendukung untuk menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan di Desa/Kelurahan, sesuai dengan swadharma, kemampuan dan potensinya masing-masing (I Nyoman Bagiana Karang, 2006).


(15)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan di lokasi penelitian, ternyata semua informan di lapangan menyatakan tidak mengetahui dan belum memahami substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini disebabkan karena para informan dilapangan memiliki profesi yang beragam, seperti misalnya: Pinandita atau Pemangku (Pendeta Hindhu), wiraswasta seperti: pengusaha hotel, pemilik toko, pemilik bengkel dan pemilik rumah kos. Profesi yang dimiliki oleh para informan ini juga berpengaruh terhadap pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap aturan-aturan hukum yang ada dan berlaku saat ini.

2. Informasi yang didapatkan dari para informan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa, sangat penting peran masyarakat adat (Desa Adat/ Pakraman) dalam mencegah aksi-aksi terorisme di daerah pariwisata Kuta, hal ini terwujud dalam bentuk sistem pengamanan wilayah terpadu dimana masyarakat adat yang tergabung dalam Desa Adat/Pakraman Kuta yang terdiri dari Banjar-Banjar bersinergi dengan unsur-unsur TNI, Kepolisian (Polsek Kuta), Pemerintah Kecamatan Kuta, Pemerintah Kelurahan Kuta, LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kuta, tokoh-tokoh masyarakat Kuta dan para relawan atau pemerhati Kuta, dalam mewujudkan dan mempertahankan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di daerah pariwisata Kuta.

Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta tentang materi atau substansi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan adanya sosialisasi


(16)

ini maka masyarakat akan lebih memahami kewajiban negara (pemerintah) dalam mencegah, membrantas, dan melindungi warga negaranya (masyarakat) dari ancaman aksi-aksi terorisme yang sangat brutal, kejam dan tidak berprikemanusiaan.

2. Sistem pengamanan wilayah terpadu yang telah dilakukan oleh komponen masyarakat adat yang ada di daerah pariwisata Kuta harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan, artinya tidak boleh dilaksanakan sesaat atau bersifat sementara. Sebab masyarakat di daerah pariwisata Kuta harus selalu waspada dan tidak boleh lengah terhadap serangan teroris karena ancaman teroris bersifat laten. Teroris hanya memerlukan satu kesempatan yang tepat untuk melaksanakan serangan (pengeboman), namun masyarakat harus setiap saat waspada terhadap ancaman teroris.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ary Suta, I Putu Gede; Sunrise For Bali, Cet. 2, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2004.

Atmasasmita, Romli; Masalah Pengaturan Terorisme Dalam Perspektif Indonesia”, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002.

Bagiana Karang, I Nyoman; Masa Depan Kuta Masa Depan Kita, Kuta, Bali, 2006.

Bagiana Karang, I Nyoman; Pokok-Pokok Pikiran Pidabdab Desa Adat Kuta Untuk Masa Depan Kuta - Masa Depan Kita, Kuta, Bali, 2006.

Bassiouni, Cherif, International Criminal Law; Vol. I: Crimes; Transnational Publishers, New York, 1986, dalam: Romli Atmasasmita; Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cet. 1, Eresco, Bandung, 1995.

Hirst, Paul; War And Power In The 21ST Century, diterjemahkan oleh: Dr. Setia Bangun, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Humbolt, Hj; The Limits Of State Action, Liberty Fund, Indiana Polis, USA, 1993, dalam: I Made Pasek Diantha; Pecalang Dalam Perspketif Sistem Keamanan Regional, dalam: Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman Di Bali, Editor: Wayan P. Windia, Cet. 1, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, 2004.

Juergensmeyer, Mark; Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terjemahan Amien Rozany Pane, Cet. 1, Tarawang Press, Yogyakarta, 2003.

Kelsen, Hans; General Theory Of Law And State, Russel & Russel New York, 1962, dalam: I Made Pasek Diantha; Pecalang Dalam Perspketif Sistem Keamanan Regional, dalam: Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman Di Bali, Editor: Wayan P. Windia, Cet. 1, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, 2004.

Mantra, Ida Bagus; Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Morris, Eric & Hoe, Alan; Terrorism, Threat And Response, The Mac Millan Press Ltd, London, 1987.

Muhamad, Simela Victor; Upaya Perserikatatan Bangsa-Bangsa Mengatasi Masalah Terorisme, dalam: Poltak Partogi Nainggolan (ed) ; Terorisme dan Tata Dunia


(18)

Baru, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2002.

Musna, I Nyoman; Kuta, Benteng Pertahanan Mulai Rapuh ?, Suwung, Bali, 2010.

Nainggolan, Poltak Portagi; Terorisme Dan Tata Dunia Baru, Sekjen DPR RI, Jakarta, 2002.

Palguna, I Dewa Gede; Bali Kini Adalah Kebimbangan, dalam: Saya Sungguh Mencemaskan Bali, Cet. 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Parthiana, I Wayan; Hukum Pidana Internasional, Cet. 1, Yrama Widya, Bandung, 2006.

Parthiana, I Wayan dkk; Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Cet. 1, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2010.

Pasek Diantha, I Made; Strategi Penanggulangan Terorisme Internasional Di Kota Denpasar, dalam: Denpasar Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan: Perspektif Multikultural, Editor: I Gede Pasek Suka Eling, Cet. 1, BAPPEDA Kota Denpasar, Denpasar, 2010.

Pitana, I Gde; Desa Adat Dalam Arus Modernisasi, dalam: Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan Bali, Editor: I Gde Pitana, Epilog: I Gusti Ngurah Bagus, Cet. 1, BP, 1994.

Purwanto, Wawan H; Terorisme Dan Ancaman Tiada Akhir, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2004.

Suharto, Rudhy Cs, Editor; Terorisme, Perang Global Dan Masa Depan Demokrasi, Matapena, Jakarta, 2004.

Sujaya, I Made; Sepotong Nurani Kuta, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta, Badung, Bali, 2004.

Suparta, I Gede, dan Sujaya, I Made; Kuta Kita, Catatan Kuta Membangun, Pemerintah Kelurahan Kuta, Badung, Bali, 2010.

Sutiawan, Nyoman dkk; Di Balik Tragedi Bom Bali, Kesaksian Tokoh Kunci, Denpasar, Bali, 2003.

Sutjipta, Nyoman; Pariwisata Revolusi Di Pulau Dewata, Cet. 1, Universitas Udayana, Denpasar, 2005.


(19)

Wahid, Abdul, Cs; Kejahatan Terorisme, Perpektif Agama, HAM dan Hukum, PT Refika Aditama, Jakarta, 2004.

Winarta, Frans H.; Terorisme Itu Kejahatan Luar Biasa, dalam: Rudhy Suharto, Wihaji PWH, Chamad Hojin (ed); Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi, Cet. 1, Matapena, Jakarta, 2004.

Windia, Wayan P. dan Sudantra, I Ketut; Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. 1, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006.

B. Perjanjian Internasional Dan Perundang-Undangan Nasional

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Resolusi Majelis Umum PBB 64/297 (A/RES/64/297) tentang: The United Nations Global Counter-Terrorism Strategy.

PerPres No. 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

C. Artikel

http://mimbar- opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2149, diakses Rabo 26 Januari 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme, diakses Jumat 2-September-2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses Jumat 2-September-2011.

http:// www.bpkp.go.id, diakses Jumat 2-September-2011.

http://id.wikisource.org/wiki/, diakses Jumat 2-September-2011.

http://www.un.org.terrorism.instruments.shtml, diakses Minggu 4-September-2011.

Tri Poetrantro, S.Sos; Konsepsi Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Di

Indonesia Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI,

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=19&mnorutisi=7,diakses Jumat 2-September-2011.


(1)

biadab yang sangat membahayakan jiwa dan raga umat manusia yang ada dalam batas-batas wilayah Negara Republik Indonesia dengan segala daya upaya, upaya tersebut salah satunya adalah melalui penegakan hukum yang sungguh-sungguh untuk membrantas aksi-aksi terorisme tersebut. Jangan lagi sampai terulang aksi-aksi-aksi-aksi pengeboman oleh teroris yang marak terjadi di tanah air, termasuk agar tidak terulangnya pengeboman oleh teroris di Bali, seperti yang pernah terjadi di Jalan Legian, Kuta, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang sangat memilukan dan tragis, karena menimbulkan banyak korban jiwa, serta pengeboman yang kedua di Kuta dan Jimbaran pada tanggal 1 Oktober 2005 yang juga menimbulkan korban jiwa.

Untuk mengantisipasi agar tidak lagi terjadi serangan pengeboman oleh teroris di Kuta, maka setiap orang Kuta hendaknya ikut berperan aktif dan berpartisipasi saling mendukung untuk menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan di Desa/Kelurahan, sesuai dengan swadharma, kemampuan dan potensinya masing-masing (I Nyoman Bagiana Karang, 2006).


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan di lokasi penelitian, ternyata semua informan di lapangan menyatakan tidak mengetahui dan belum memahami substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini disebabkan karena para informan dilapangan memiliki profesi yang beragam, seperti misalnya: Pinandita atau Pemangku (Pendeta Hindhu), wiraswasta seperti: pengusaha hotel, pemilik toko, pemilik bengkel dan pemilik rumah kos. Profesi yang dimiliki oleh para informan ini juga berpengaruh terhadap pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap aturan-aturan hukum yang ada dan berlaku saat ini.

2. Informasi yang didapatkan dari para informan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa, sangat penting peran masyarakat adat (Desa Adat/ Pakraman) dalam mencegah aksi-aksi terorisme di daerah pariwisata Kuta, hal ini terwujud dalam bentuk sistem pengamanan wilayah terpadu dimana masyarakat adat yang tergabung dalam Desa Adat/Pakraman Kuta yang terdiri dari Banjar-Banjar bersinergi dengan unsur-unsur TNI, Kepolisian (Polsek Kuta), Pemerintah Kecamatan Kuta, Pemerintah Kelurahan Kuta, LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kuta, tokoh-tokoh masyarakat Kuta dan para relawan atau pemerhati Kuta, dalam mewujudkan dan mempertahankan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di daerah pariwisata Kuta.

Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat adat di daerah pariwisata Kuta tentang materi atau substansi dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan adanya sosialisasi


(3)

ini maka masyarakat akan lebih memahami kewajiban negara (pemerintah) dalam mencegah, membrantas, dan melindungi warga negaranya (masyarakat) dari ancaman aksi-aksi terorisme yang sangat brutal, kejam dan tidak berprikemanusiaan.

2. Sistem pengamanan wilayah terpadu yang telah dilakukan oleh komponen masyarakat adat yang ada di daerah pariwisata Kuta harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan, artinya tidak boleh dilaksanakan sesaat atau bersifat sementara. Sebab masyarakat di daerah pariwisata Kuta harus selalu waspada dan tidak boleh lengah terhadap serangan teroris karena ancaman teroris bersifat laten. Teroris hanya memerlukan satu kesempatan yang tepat untuk melaksanakan serangan (pengeboman), namun masyarakat harus setiap saat waspada terhadap ancaman teroris.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ary Suta, I Putu Gede; Sunrise For Bali, Cet. 2, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2004.

Atmasasmita, Romli; Masalah Pengaturan Terorisme Dalam Perspektif Indonesia”, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002.

Bagiana Karang, I Nyoman; Masa Depan Kuta Masa Depan Kita, Kuta, Bali, 2006.

Bagiana Karang, I Nyoman; Pokok-Pokok Pikiran Pidabdab Desa Adat Kuta Untuk Masa Depan Kuta - Masa Depan Kita, Kuta, Bali, 2006.

Bassiouni, Cherif, International Criminal Law; Vol. I: Crimes; Transnational Publishers, New York, 1986, dalam: Romli Atmasasmita; Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cet. 1, Eresco, Bandung, 1995.

Hirst, Paul; War And Power In The 21ST Century, diterjemahkan oleh: Dr. Setia Bangun, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Humbolt, Hj; The Limits Of State Action, Liberty Fund, Indiana Polis, USA, 1993, dalam: I Made Pasek Diantha; Pecalang Dalam Perspketif Sistem Keamanan Regional, dalam: Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman Di Bali, Editor: Wayan P. Windia, Cet. 1, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, 2004.

Juergensmeyer, Mark; Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terjemahan Amien Rozany Pane, Cet. 1, Tarawang Press, Yogyakarta, 2003.

Kelsen, Hans; General Theory Of Law And State, Russel & Russel New York, 1962, dalam: I Made Pasek Diantha; Pecalang Dalam Perspketif Sistem Keamanan Regional, dalam: Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman Di Bali, Editor: Wayan P. Windia, Cet. 1, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, 2004.

Mantra, Ida Bagus; Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Morris, Eric & Hoe, Alan; Terrorism, Threat And Response, The Mac Millan Press Ltd, London, 1987.

Muhamad, Simela Victor; Upaya Perserikatatan Bangsa-Bangsa Mengatasi Masalah Terorisme, dalam: Poltak Partogi Nainggolan (ed) ; Terorisme dan Tata Dunia


(5)

Baru, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2002.

Musna, I Nyoman; Kuta, Benteng Pertahanan Mulai Rapuh ?, Suwung, Bali, 2010.

Nainggolan, Poltak Portagi; Terorisme Dan Tata Dunia Baru, Sekjen DPR RI, Jakarta, 2002.

Palguna, I Dewa Gede; Bali Kini Adalah Kebimbangan, dalam: Saya Sungguh Mencemaskan Bali, Cet. 1, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Parthiana, I Wayan; Hukum Pidana Internasional, Cet. 1, Yrama Widya, Bandung, 2006.

Parthiana, I Wayan dkk; Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention Against Transnational Organized Crime Dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Cet. 1, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2010.

Pasek Diantha, I Made; Strategi Penanggulangan Terorisme Internasional Di Kota Denpasar, dalam: Denpasar Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan: Perspektif Multikultural, Editor: I Gede Pasek Suka Eling, Cet. 1, BAPPEDA Kota Denpasar, Denpasar, 2010.

Pitana, I Gde; Desa Adat Dalam Arus Modernisasi, dalam: Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan Bali, Editor: I Gde Pitana, Epilog: I Gusti Ngurah Bagus, Cet. 1, BP, 1994.

Purwanto, Wawan H; Terorisme Dan Ancaman Tiada Akhir, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2004.

Suharto, Rudhy Cs, Editor; Terorisme, Perang Global Dan Masa Depan Demokrasi, Matapena, Jakarta, 2004.

Sujaya, I Made; Sepotong Nurani Kuta, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta, Badung, Bali, 2004.

Suparta, I Gede, dan Sujaya, I Made; Kuta Kita, Catatan Kuta Membangun, Pemerintah Kelurahan Kuta, Badung, Bali, 2010.

Sutiawan, Nyoman dkk; Di Balik Tragedi Bom Bali, Kesaksian Tokoh Kunci, Denpasar, Bali, 2003.

Sutjipta, Nyoman; Pariwisata Revolusi Di Pulau Dewata, Cet. 1, Universitas Udayana, Denpasar, 2005.


(6)

Wahid, Abdul, Cs; Kejahatan Terorisme, Perpektif Agama, HAM dan Hukum, PT Refika Aditama, Jakarta, 2004.

Winarta, Frans H.; Terorisme Itu Kejahatan Luar Biasa, dalam: Rudhy Suharto, Wihaji PWH, Chamad Hojin (ed); Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi, Cet. 1, Matapena, Jakarta, 2004.

Windia, Wayan P. dan Sudantra, I Ketut; Pengantar Hukum Adat Bali, Cet. 1, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006.

B. Perjanjian Internasional Dan Perundang-Undangan Nasional

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Resolusi Majelis Umum PBB 64/297 (A/RES/64/297) tentang: The United Nations Global Counter-Terrorism Strategy.

PerPres No. 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

C. Artikel

http://mimbar- opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2149, diakses Rabo 26 Januari 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme, diakses Jumat 2-September-2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses Jumat 2-September-2011.

http:// www.bpkp.go.id, diakses Jumat 2-September-2011.

http://id.wikisource.org/wiki/, diakses Jumat 2-September-2011.

http://www.un.org.terrorism.instruments.shtml, diakses Minggu 4-September-2011.

Tri Poetrantro, S.Sos; Konsepsi Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Di

Indonesia Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI,

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=19&mnorutisi=7,diakses Jumat 2-September-2011.