PENGEMBANGAN E-MODULE IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LERNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII SMP.

(1)

PENGEMBANGAN E-MODULE IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LERNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN

KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII SMP Oleh:

Wahyu Meidiana Armiyanti 12315244011

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kelayakan hasil pengembangan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning menurut para ahli, (2) kepraktisan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang mengintegrasikan kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik berdasarkan respon peserta didik, (3) efektivitas modul untuk mengembangkan kemampuan problem solving, dan (4) kemandirian belajar peserta didik kelas VII SMP

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (R&D) dengan model 4-D. Tahap-tahap penelitian ini meliputi tahap define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebarluasan). Subjek penelitian adalah peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Muntilan. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar validasi untuk dosen dan guru IPA yang berfungsi untuk mengetahui kelayakan module IPA, angket respon peserta didik untuk mengetahui kepraktisan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning berdasarkan respon peserta didik, lembar observasi problem solving dan soal pretest dan posttest untuk mengetahui keefektifan e-module untuk mengembangkan kemapuan problem solving. Lembar observasi kemandirian belajar dan angket kemandirian belajar untuk mengamati keefektifan e-module untuk mengembangkan kemandirian belajar peserta didik.

Hasil penelitian ini adalah (1) e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang dikembangkan layak digunakan menurut para ahli dengan mendapatkan nilai A dengan kategori sangat baik (2) Kepraktisan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang mengintegrasikan kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik berdasarkan respon peserta didik mendapatkan nilai B dengan kategori baik. (3) Keefektifan e-module IPA untuk mengembangkan kamampuan problem solving berdasarkan lembar observasi mengalami pengembangan sebesar 18,9%, sedangkan melalui soal pretest-posttest dengan perhitungan gain score menunjukkan angka 0,31 dengan kategori sedang. (4) Keefektifan e-module IPA untuk mengembangkan kemandirian belajar melalui lembar observasi yaitu mengalami pengembangan sebesar 5,3%, sedangkan melalui angket kemandirian memperoleh jumlah rerata skor 70,5 dari skor maksimal 96 dengan kategori sangat baik.


(2)

DEVELOPMENT OF THE SCINCE E-MODULE BY USING AUTHENTIC IQUIRY LEARNING APPROACH IN ORDER TO DEVELOP THE STUDENTS’ PROBLEM SOLVING SKILL

AND THE LEARNING INDEPENDENCE FOR THE FIRST GRADE OF JUNIOR HIGH SCHOOL

By:

Wahyu Meidiana Armiyanti 12315244011

ABSTRACT

This aims of this research are: (1) to identifythe suitability of thedevelopmentof the sience e-module’s result by authenticinquiry learning approach accoeding to some experts, (2) to find practicability of the science e-module by using authentic inquiry learning approach which is integrates problem solving skill and the student’s learning independence through the students’ response,(3) the modul’s effectiveness in order to develop theproblem solving skill and (4) the learning independence for the first grade of junior high school.

This research is R&D research which is using 4-D model. The steps of this research are defining, designing, developing and disseminating. The research subject is the first grade of SMP N 1 Muntilan. This instruments use in this research are validation sheet for the lecturer and science teacher which is use for identifying the skill of the science e-module,the questionnaire which is use forinvestigating the students’s response, the observation sheet for assessing the problem solving skill, the pre-test and post-test intruments for identifying the effectiveness of e-module in order to develop thestudents’ problem solving skill. The observation sheet and the questionnaire related to thestudents’ independence to observethe effectiveness of e-module to develop the student’s learning independence

The results of thi research are (1) The science e-module by using authentic inquiry learning approach which I develop by some expertsis best and it get an A score, (2) The pratibilityof the use the science e-module by using authentic inquiry learning approach which is integrate with the prolem solving skill and the students’learning independence towards thestudents’ response is goodani it get an B score, (3) According to the student’ response, the efeectiveness of the the science e-module in order to develop the students’problemsolving skill is increase for aout 18,9%whereas base on the gain score towardsthe pre-test show 0,31(medium category), (4) According to thobservation results,theeffectiveness ofthescience e-modulein order todevelopthe learningindependence is inscreasfor about5,3% whereas base on the independence questionnaire.the tudents’ learning independence is best category with average score 70,5from the maximal\ score 96

Key words: E-module, Authentic Inquiry Learning, Problem Solving, Learning Independence


(3)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kemampuan problem solving pada dasarnya merupakan hakikat tujuan pembelajaran yang menjadi kebutuhan peserta didik dalam menghadapi kehidupan nyata. Di dalam kehidupan sehari-hari peserta didik telah banyak dihadapkan dengan sebuah masalah baik dilingkungan rumah, sekolah ataupun di masyarakat. Kurangnya kepercayaan yang diberikan kepada peserta didik di lingkungan keluarga untuk menghadapi masalah-masalah yang ada merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik tidak terlatih untuk melakukan problem solving. Selain itu kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari juga faktor yang membuat susah terlaksananya problem solving. Faktor lain yang menyebabkan terlaksananya kemampuan problem solving adalah kurangnya kesiapan sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan kegiatan problem solving dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena belum adanya pendekatan yang cocok untuk menunjang kegiatan problem

solving dalam pembelajaran.

Masalah tersebut juga terlihat pada kegiatan pembelajaran di SMP N 1 Muntilan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan ketika melakukan PPL di SMP N 1 Muntilan masih banyak kegiatan pembelajaran IPA yang berpotensi dilakukan secara penyelidikan tetapi masih dilakukan dengan


(4)

2 ceramah saja. Selain itu banyak pembelajaran yang di dalamnya terkait

problem solving dan erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari namun

belum dibelajarkan kepada peserta didik di SMP Negeri 1 Muntilan. Penyelidikan erat kaitannya dengan problem solving. Penyelidikan akan membantu peserta didik secara aktif menemukan sendiri berbagai konsep holistik, bermakna, otentik, serta aplikatif untuk kepentingan pemecahan masalah. Oleh karena itu perlunya diterapkannya pendekatan inkuiri. Menurut pendapat W.Gulo (2008: 111) pemecahan masalah merupakan bagian dari inkuiri yang penekanan lebih pada keyakinan atas diri sendiri terhadap apa yang ditemukan, sedangkan penyelesaian masalah pada terselesaikannya masalah itu sendiri. Selain pendekatan inkuiri juga perlu diterapkan pendekatan authentic learning dalam melakukan problem solving yang terdapat di dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan authentic learning merupakan pendekatan yang dapat mendorong peserta didik aktif berinkuiri, berpikir kritis dan melakukan refleksi tentang masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Paidi (2010) yang mengatakan bahwa masalah yang dipecahkan dalam pemecahan masalah adalah permasalahan atau persoalan yang otentik dan familiar dengan kehidupan peserta didik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendekatan yang mengintegrasikan problem solving dalam kehidupan sehari-hari belum banyak diterapkan. Salah satu pendekatan yang cocok untuk


(5)

3 melakukan problem solving dalam kehidupan sehari-hari adalah pendekatan

authentic inquiry learning.

Kemampuan problem solving perlu dimiliki oleh peserta didik karena pada abad ke 21 peserta peserta didik dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan khususnya adalah keterampilan berpikir. ATCS21 membagi 21st century skills menjadi 4 grup yang terdiri dari (a) ways of thingking; (b) ways

of working; (c) tools for working; (d) living in the world . Ways of thingking

merupakan kelompok keterampilan berpikir. Way of thinking terdiri dari 3 keterampilan yaitu (1) kreatif dan inovatif; (2)berpikir kritis, memecahkan masalah dan menentukan keputusan; (3)belajar dengan kemampuan metakognitif. Keterampilan ini akan membangun konsep berpikir dari berpikir sederhana sampai berpikir tingkat tinggi. Keterampilan ini menekankan cara kepada berpikir tingkat tinggi untuk lebih mudah mengingat sebuah konsep dan menarik kesimpulan. Selain kemampuan

problem solving di era berkembangnya ICT peserta didik dituntut untuk

belajar mandiri dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan ICT oleh peserta didik di Indonesia masih tergolong rendah khususnya penggunaan yang dimanfaatkan untuk mencari informasi dalam penunjang pembelajaran secara mandiri. Hal ini juga terlihat ketika observasi pada peserta didik di SMP N 1 Muntilan bahwa mereka telah memiliki banyak fasilitas ICT seperti laptop dan

handphone tetapi mereka masih menggunakannya hanya sebatas untuk


(6)

4 Selain peserta didik, guru juga masih sangat jarang memanfaatkan ICT yang digunakan sebagai bahan ajar ataupun media pembelajaran. Padahal pembelajaran dengan memanfaatkan ICT akan sangat membantu guru mentransfer ilmu yang abstrak dengan menggunakan media visual supaya lebih efisien. Di SMP Negeri 1 Muntilan terlihat bahwa peran guru dalam pembelajaran masih menonjol sehingga peserta didik tidak terbiasa belajar mandiri. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 2 guru IPA di SMP Negeri 1 Muntilan mayoritas di sekolah tersebut hanya menggunakan bahan ajar berupa buku paket yang berasal dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini berlaku baik untuk kelas VII maupun kelas VIII SMP yang menggunakan kurikulum 2013. Penggunaan buku paket sebagai sumber belajar yang sama untuk setiap peserta didik akan menghambat kemampuan peserta didik yang memiliki pengetahuan akademik tinggi. Sedangkan kemampuan akademik seperti kemampuan, kesiapan, dan kecepatan belajar setiap peserta didik berbeda-beda. Oleh karena itu perlunya bahan ajar yang membuat peserta didik dapat mencapai kompetensi sesuai dengan kemampuan, kesiapan, dan kecepatan belajarnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu pembelajaran yang dilakukan dapat menggunakan bahan ajar berupa e-module.

Penggunaan e-module sebagai bahan ajar IPA cocok dengan berkembang pasatnya ICT yang digunakan sebagai bahan ajar belajar mandiri


(7)

5 yang lebih efisien. Dengan adanya e-module peserta didik mampu belajar mandiri, tidak mengalami ketergantungan dengan informasi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Serta peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecepatan belajar yang tinggi dapat mempercepat intensitas belajarnya dengan adanya e-module. Pemanfaatan e-module dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan abad ke 21 yaitu adanya integrasi teknologi ke dalam dunia pendidikan yang akan memberikan pengaruh besar terhadap peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan.

Sesuai permasalahan yang muncul dengan memanfaatkan ICT peneliti mengembangkan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning berorietasi pada kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik.

B. Identifikasi masalah

1. Peserta didik diharapkan memiliki kemampuan problem solving untuk menghadapi kehidupan nyata namun kemampuan problem solving peserta didik masih kurang dalam kegiatan pembelajaran.

2. Diperlukan pendekatan yang cocok untuk mengembangkan kemampuan

problem solving peserta didik namun di sekolah belum banyak diterapkan

pendekatan yang cocok untuk mengembangkan kemampuan problem


(8)

6 3. Pada era berkembang pesatnya ICT diharapkan peserta didik memanfaatkan ICT dalam pembelajaran namun pemanfaatan ICT belum maksimal oleh peserta didik

4. Guru sebaiknya menggunakan bahan ajar yang tepat untuk memperhatikan kecepatan dan intensitas belajar peserta didik namun masih banyak guru yang belum menggunakan e-module IPA untuk bahan ajar mandiri.

5. Dunia pendidikan sebaiknya mengitegrasikan ICT dalam pembelajaran namun masih banyak sekolah yang belum menerapkannya.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan, penelitian ini difokuskan pada (1) Kurangnya kemampuan problem solving peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. (2) Belum banyak diterapkan pendekatan yang berorientasi pada kemampuan problem solving. (3) Masih banyak guru yang belum menggunakan e-module IPA untuk bahan ajar mandiri.

D. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kelayakan produk hasil pengembangan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning menurut para ahli ?

2. Bagaimanakah kepraktisan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry

learning yang mengintegrasikan kemampuan problem solving dan


(9)

7 3. Apakah hasil pengembangan e-module IPA berpendekatan authentic

inquiry learning dapat mengefektifkan pengembangan kemampuan problem solving peserta didik kelas VII SMP?

4. Apakah hasil pengembangan e-module IPA berpendekatan authentic

inquiry learning dapat mengefektifkan pengembangan kemandirian belajar

peserta didik kelas VII SMP? E. Tujuan Penelitian

Penelitian dan pengembangan ini dilakuakan dengan tujuan untuk :

1. Mengetahui kelayakan pengembangan e-module IPA berpendekatan

authentic inquiry learning menurut para ahli.

2. Mengetahui kepraktisan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang mengintegrasikan kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik berdasarkan respon peserta didik,

3. Mengetahui efektivitas e-module untuk mengembangkan kemampuan problem solving peserta didik kelas VII SMP

4. Mengetahui efektivitas e-module untuk mengembangkan kemandirian belajar peserta didik Kelas VII SMP.


(10)

8 F. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai pengembangan e-module IPA sebagai bahan ajar pembelajaran IPA kelas VII SMP pada materi perubahan benda-benda di sekitar kita memiliki beberapa manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut yaitu:

1. Bagi peserta didik, yaitu:

a. Memperoleh bahan ajar IPA yang tersaji dalam bentuk e-modul yang memberi nilai kepraktisan dan kemudahan.

b. Memperoleh bahan ajar IPA yang berorientasi pada kemampuan

problem solving dan kemandirian belajar peserta didik.

c. Memotivasi dalam belajar IPA terutama pada materi peruahan benda-benda di sekitar kita.

2. Bagi guru, yaitu

a. Memperoleh bahan ajar yang dapat digunakan untuk membimbing peserta didik memepelajari IPA, khususnya pada materi perubahan benda-benda di sekitar kita.

b. Memperoleh referensi mengenai variasi bahan ajar IPA yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA

c. Membuka wawasan tentang e-module IPA sebagai bahan ajar yang berorientasi pada problem solving dan kemandiriaan peserta didik. 3. Bagi sekolah


(11)

9 Memperbaiki kualitas pembelajaran IPA dengan adanya bahan ajar berupa

e-module IPA kelas VII SMP/MTs.

4. Bagi peneliti, yaitu

a. Melatih untuk melakukan penelitian pengembangan dan mengaktualisasi ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

b. Mendapatkan pengetahuan tentang pengembangan bahan ajar terutama

e-module IPA.

G. Spesifikasi dan Karakteristik Produk 1. Pendekatan dan tujuan

Dalam mengembangan produk ini menggunakan prinsip pengembangan

Research and Development (RnD), dengan menggunakan pendekatan Authentic Inquiry Learning yang berorientasi pada Problem Solving dan

kemandirian belajar peserta didik. 2. Materi dan Kurikulum

Materi yang disajikan pada produk ini adalah perubahan benda-benda di sekitar untuk kelas VII semester 1 (ganjil). Materi ini mencakup 2 sub-bab yaitu perubahan materi dan pemisahan campuran. Untuk sub-bab perubahan materi terdiri dari perubahan fisika dan perubahan kimia, sedangkan untuk sub-bab pemisahan campuran terdiri dari pemisahan campuran secara fisika dan pemisahan campuran secara kimia. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum 2013.


(12)

10 3. Produk

a. E-module ini di desain dengan menggunakan lectora.

b. E-module ini dilengkapi dengan gambar, aminasi dan video yang

menunjang untuk lebih memudahkan peserta didik memahami materi. H. Definisi istilah

1. E-module

E-module adalah modul yang disajikan dalam bentuk elektronik dengan

tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

2. Pendekatan inquiry authentic learning

Authentic inquiry learning merupakan pendekatan yang menuntun peserta

didik untuk melakukan sendiri penyelidikan dari permasalahan yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Aspek pendekatan authentic inquiry learning adalah kontekstual, investigasi (orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis atau dugaan sementara, mengumpulkan data, menguji hipotesis atau dugaan sementara, dan membuat kesimpulan), kolaborasi, produk peserta didik, variasi sumber belajar, dan refleksi.


(13)

11 3. Problem solving atau pemecahan masalah

Problem solving adalah proses mencari jalan keluar terhadap masalah

melalui proses berpikir yang lebih tinggi dengan tujuan tertentu (tujuan yang diinginkan). Aspek kemampuan pemecahan masalah adalah identifikasi masalah, rumusan masalah, memilih solusi alternatif, dan memilih solusi alternatif terbaik.

4. Kemandirian Belajar Peserta didik

Kemandirian belajar adalah kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik secara aktif, untuk menguasai suatu kompetensi dalam penyelesaian suatu masalah dengan tidak menonjolkan peran pengajar dalam pembelajaran di kelas dengan penuh tanggung jawab. Aspek kemandirian belajar adalah motivasi belajar, penggunaan sumber/ bahan ajar, cara belajar, tempo dan irama belajar, evaluasi hasil belajar dan refleksi.


(14)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori dan Penelitian yang Relevan

1. Deskripsi Teori

a) Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam

Hendro (1992: 7) menjelaskan pada hakikatnya IPA dapat dipandang dari segi proses, produk dan pengembangan sikap.

1) IPA sebagai pengembangan sikap

Setidaknya ada 9 aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan yaitu sikap ingin tahu, sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru, sikap kerja sama, sikap tidak putus asa, sikap tidak berperasangka, sikap mawasa diri, sikap bertanggung jawab, sikap berpikir bebas, dan sikap kedisiplinan diri.

2) IPA sebagai proses

Proses IPA dikembangkan dengan metode ilmiah. adapun tahapan pengembangannya disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses penelitian eksperimen yang meliputi observasi, klasifikasi, interpretasi, prediksi, hipotesis, mengendalikan variable, merencanakan dan melaksanakan penelitian, inferensi, aplikasi, dan komunikasi.


(15)

13 3) IPA sebagai Produk

IPA sebagai produk merupakan sekumpulan pengetahuan dan konsep serta bagan konsep.IPA

Carin, A. & R. B. Sund (1964: 4) menyatakan, bahwa “ science is the system of knowing about the universe through data collected by

observation and controlled experimentation”. Sains adalah sistem untuk mengetahui tentang semesta melalui pengumpulan data melalui observasi dan eksperimen.

Koballa dan Chiappetta (2010: 105) mejelaskan 4 dimensi dari sains, yaitu Science as a Way of Thingking, Science as a Way of Investigating,

Science as a Body of Knowledge, dan Science and Its Interaction with Technology and Society.

1) Science as a Way of Thingking, consist of beliefs, curiosity, magination, reasoning, cause-and-Efect Relationship, Self-Examination and Skepticism, Objectivity and Open-Mindedness.

2) Science as a Way of Investigating,

Merupakan gambaran mengenai pendekatan atau metode yang digunakan untuk menyusun pegetahuan.

3) Science as a Body of Knowledge,

Merupakan hasil dari berbagai bidang ilmiah yang diperoleh dari suatu fakta, konsep, hukum dan prinsip, teori, dan model.


(16)

14

4) Science and Its Interaction with Technology and Society,

Merupakan interaksi IPA dengan teknologi dengan masyarakat yang memiliki pengaruh satu sama lain.

Jadi hakikat IPA terdiri dari science as a way of thingking, science

as a way of investigating, science as a body of knowledge, and science interaction with technology and society.

b) Pembelajaran IPA

Koballa dan Chiappetta (2010: 30) menyatakan bahwa “suggest that science should be viewed as a way of thinking in the pursult of understanding nature, as a way of investigating claims about phenomena,

and as a body of knowledge that has resulted from inquiry”. Jadi IPA merupakan ilmu pengetahuan yang dipandang sebagai cara berpikir memahami alam, dan erat kaitannya dengan penyelidikan fenomena alam dan sebagai batang tubuh pengetahuan alam.

Secara umum IPA dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep (Trianto, 2010: 141). Merujuk dari hakikat Ilmu Pengetahuan Alam, maka nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA adalah sebagai berikut


(17)

15 1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan

sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah

2) Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah.

3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun dalam kehidupan (Trianto,2010:141-142)

Dalam taksonomi Bloom dijelaskan bahwa pembelajaran IPA secara khusus diharapkan dapat memberikan pengetahuan kognitif, yang merupakan tujuan utama dari pembelajaran. Selain itu, pembelajaran IPA diharapkan pula memberikan keterampilan (psikomotorik), kemampuan sikap ilmiah (afektif), pemahaman, kebiasaan, dan apresepsi (Trianto, 2010:142).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajarn IPA seharusnya melakukan penyelidikan terhadap fenomena- fenomena alam sehingga dapat memberikan kemampuan sikap ilmiah (afektif) dan keterampilan terhadap peserta didik.

c) Authentic Inquiry Learning

Authentic inquiry learning mengkolaborasikan authentic learning dan inquiry. Lombardi (2007: 2) mengatakan bahwa ciri authentic learning

adalah“.. focuses on real-world, complex problems and their solutions, using role-playing exercises, problem-based activities, case studies, and participation in virtual communities of practice”.


(18)

16 Sedangkan menurut Donovan, Bransford & Pellegrino (Kaufelt, 2008) menyatakan bahwa di dalam authentic learning memungkinkan peserta didik mengeksplorasi, menemukan, mendiskusikan, menyusun konsep- konsep dan hubungan-hubungan yang melibatkan masalah dan proyek nyata dunia yang relevan dan menarik bagi peserta didik.

Jadi menurut pendapat beberapa ahli authentic learning adalah pembelajaran yang melibatkan permasalahan dalam dunia nyata yang relevan bagi peserta didik.

Lombardi (2007: 3-4) Authentic learning memiliki 6 elemen pembelajaran yaitu:

1) Konstektual.

Kegiatan dan masalah dalam authentic learning dilakukan sedekat mungkin dengan dunia nyata.

2) Investigasi.

Kegiatan otentik terdiri dari tugas-ugas kompleks untuk diselidiki oleh peserta didik selama periode waktu yang berkelanjutan. 3) Variasi sumber belajar

Kegiatan otentik memberi kesempatan bagi peserta didik untuk memeriksa tugas dari berbagai sumber daya untuk membedakan informasi yang relevan dan tidak relevan.

4) Kolaborasi


(19)

17 5) Refleksi

Kegiatan otentik memungkinkan peserta didik untuk membuat dan merefleksikan pembelajaran yang mereka lakukan.

6) Produk yang kreatif.

Kegiatan otentik berujung pada penciptaan produk keseluruhan yang beharga dalam diri peserta didik.

Rule (2006: 2-6) mendefinisikan empat komponen authentic learning yaitu:

1) Real-world problems that engage learners in the work of professionals

2) Inquiry activities that practice thinking skill and metacognition

3) Discourse among a community of learners

4) Student empowerment through choice

Auhtentic Inquiry Learning merupakan gabungan dari authentic learning dan inkuiri. W.Gulo (2008: 85) mengemukakan bahwa inquiry

adalah rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan kemampuan peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis, sehingga dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Piaget dalam sitiatava (2013: 87) mendefinisikan inquiry adalah pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi peserta didik untuk melakukan eksperimen sendiri, dalam arti luas ingin melihat sesuatu yang


(20)

18 terjadi dan membandingkan sesuatu yang ditemukan oleh diri sendiri dengan yang ditemukan orang lain. Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2009: 196) pembelajaran inkuiri adalah kegiatan yang menekankan proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Proses inquiry dapat dilihat sesuai alur berikut

Gambar 2.1 Proses inquiry (W.Gulo, 2008: 94)

Sedangkan langkah-langkah inkuiri menurut Wina Sanjaya (2009: 196) adalah sebagai berikut: 1) Orientasi, 2) Merumuskan masalah, 3) Merumuskan Hipotesis, 4) Mengumpulkan data, 5) Meguji Hipotesisi, 6) dan Merumuskan masalah.

Jadi berdasarkan penjelasan tentang authentic learning dan inquiry dapat disimpulkan bahwa pendekatan authentic inquiry learning adalah pendekatan yang melibatkan peserta didik untuk mencari dan menyelidiki permasalahannya sendiri yang diangkat dari kehidupan nyata.


(21)

19 Langkah- langkah auntentic inquiry learning yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

1) Kontekstual (masalah) 2) Kegiatan investigasi.

Kegiatan investigasi menggunkan langkah inkuiri secara runtut yaitu orientasi, merumuskan masalah, mengajukan hipotesis atau dugaan sementara, mengumpulkan data, menguji hipotesis atau dugaan sementara, dan membuat kesimpulan.

3) Kolaborasi

4) Produk peserta didik

5) Penggunaan variasi sumber belajar 6) Refleksi

d) Bahan Ajar dan e-module

Andi Prastowo (2011: 43) mendefinisikan bahwa bahan ajar jika ditinjau dari pengertian secara garis besar adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Sedangkan Depdiknas (2008: 6) mendefinisikan bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan pembelajaran.


(22)

20 Komponen-komponen penyusunan bahan ajar yang harus diperhatikan menurut Chomsin (2008: 42) adalah

1) Bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik

2) Bahan ajar mampu mengubah tigkah laku peserta didik

3) Bahan ajar mencakup tujuan kegiatan pembelajaran yang spesifik 4) Bahan ajar memuat materi pembelajaran secara spesifik

5) Terdapat evaluasi sebagai umpan balik dan alat untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik.

Depdiknas (2008: 8) mengatakan bahwa dalam mengembangkan bahan ajar perlu memperhatikan (1) kesesuaian dengan tuntutan kurikulum,yaitu disesuaiakan dengan kurikulum yang sedang berlaku; (2) karakteristik sasaran,yaitu bahan ajar harus disesuaikan dengan karakteristik sasaran (peserta didik) seperti tahap perkembangan peserta didik, kemampuan awal yang telah dikuasai, minat, latar belakang, lingkungan budaya, lingkungan geografis sekolah; (3) dan disesuaikan dengan dan tututan pemecahan masalah.

Dalam penyusunan bahan ajar perlu dilakukan evaluasi terhadap bahan ajar. Kategori evaluasi bahan ajar menurut depdiknas (2008: 28) memuat kategori yaitu kelayakan isi, kebahasaan, penyajian, dan kegrafisan. Keempat kategori tersebut dijelaskan sebagai berikut:


(23)

21 1) Komponen kelayakan isi mencakup, antara lain:

a) Kesesuaian dengan SK, KD

b) Kesesuaian dengan perkembangan anak c) Kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar d) Kebenaran substansi materi pembelajaran e) Manfaat untuk penambahan wawasan

f) Kesesuaian dengan nilai moral, dan nilai-nilai sosial 2) Komponen Kebahasaan antara lain mencakup:

a) Keterbacaan

b) Kejelasan informasi

c) Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar d) Pemanfaatan bahasa secara efektif dan efisien (jelas dan singkat) 3) Komponen Penyajian antara lain mencakup:

a) Kejelasan tujuan (indikator) yang ingin dicapai b) Urutan sajian

c) Pemberian motivasi, daya tarik

d) Interaksi (pemberian stimulus dan respond) e) Kelengkapan informasi

4) Komponen Kegrafikan antara lain mencakup: a) Penggunaan font; jenis dan ukuran

b) Layout atau tata letak c) Ilustrasi, gambar, foto d) Desain tampilan

Bahan ajar dapat berupa cetak ataupun tidak cetak (non printed). Bahan ajar cetak adalah sejumlah informasi sistematis yang dibelajarkan kepada peserta didik yang dituangkan dalam kertas. Untuk bahan ajar non printed merupakan sejumlah informasi sistematis yang dibelajarkan kepada peserta didik yang dituangkan dalam bentuk digital/versi tronik/tidak dicetak dalam kertas seperti e-module.


(24)

22 TIM P2M LPPM UNS (2010) mendefinisikan e-module merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya secara elektronik. E-module digunakan secara mandiri, belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing individu secara efektif dan efisien. Depdiknas (2008: 20) mendefinisikan bahwa e-module merupakan seperangkat bahan ajar yang disajikan secara sistematis sehingga pengguna e-module dapat belajar dengan atau tanpa seorang fasilitator, serta dapat dijadikan sebagai pengganti fungsi guru. Jadi dapat disimpulkan bahwa e-module IPA adalah modul yang disajikan secara elektronik dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

Menurut Chomsin (2008: 50-53) Pengembangan e-module harus memperhatikan karakteristik sebagai berikut:

1) Self-Instructional

Karakteristik ini memiliki maksud peserta didik mampu membelajarkan diri sendiri dengan modul yang dikembangkan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan e-module yang mampu membuat peserta didik untuk belajar mandiri dan memperoleh ketuntasan belajar yaitu a) memberikan contoh-contoh dan ilustrasi yang menarik dalam rangka mendukung pemaparan materi pembelajaran, b) materi yang disajikan kontekstual atau materi yang disajikan terkait dengan lingkungan


(25)

23 pesera didik, c) memberikan soal-soal latihan untuk memberikan peserta didik umpan balik, d) bahasa yang digunakan komunikatif, e) memberikan rangkuman materi, f) mendorong peserta didik melakukan self-assesment. 2) Self-Contained

Self-contained yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu kompetensi

atau subkompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh, sehingga peserta didik dapat belajar secara tuntas.

3) Stand-alone

Stand-alone yaitu e-module yang dikembangkan tidak tergantung pada

bahan ajar lain atau tidah harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain.

4) Adaptif

E-module hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap

perkembangan ilmu dan teknologi. E-module harus dapat menyesuaiakan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, fleksibel digunakan diberbagai tempat, serta isi materi pembelajaran dapat digunakan dalam kurun waktu tetentu.

5) User friendly

E-module dikatakan user friendly jika bersahabt atau akrab dengan

pemakainya. Elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam penyusunan


(26)

24 (a) Konsistensi

Disarankan tidak menggunakan terlalu banyak variasi dalam bentuk dan ukuran huruf. Pemilihan bentuk huruf dan ukuran huruf hendaknya mempertimbangkan kemudahan bagi peserta didik untuk membacanya. Selain itu konsistensi dalam pemakaian spasi akan membuat pembaca lebih terarah.

(b) Format

Untuk mendukung konsistensi diharapkan menggunakan format kolom dan paragraph yang sesuai.

(c) Organisasi

Materi pembelajaran harus teroganisasi dengan baik sehingga akan memudahkan dan menigkatkan semangat peserta didik untuk mambaca atau belajar.

(d) Perwajahan

Daya tarik peserta didik terhadap bahan ajar terkadang lebih banyak dari bagian sampul, sehingga diharapkan bagian sampul diberikan gambar, kombinasi warna, dan ukuran huruf yang serasi. Untuk mempertahankan ketertarikan peserta didik untuk membaca bahan ajar perlu diberikan gambar atau ilustrasi, bahkan dilengkapi dengan bahan multimedia (Chomsin, 2008: 50-53)


(27)

25 e) Kemampuan Problem Solving

W.Gulo (2008: 113) mendefinisikan problem solving adalah proses memikirkan dan mencari jalan keluar bagi masalah yang dihdapi. Pramana dalam Paidi (2010: 2) menjelaskan bahwa problem solving adalah suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidaksesuain yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Kamampuan untuk melakukan pemecahan masalah terkait dengan kemampuan mengenali masalah, menemukan alternatif- alternatif solusi, memilih salah satu alternatif sebagai solusi, serta mengevaluasi jawaban yang telah diperoleh. Sedangkan menurut Anthony J. Nitko & Susan M.B (2011: 231) problem solving if the procedure

for attaining a goal is so well known to students that they can complete the task withouth having to reason, they do not have use problem-solving skills.

Jadi dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa kemampuan problem solving adalah proses untuk mencari jalan keluar terhadap masalah melalui proses berpikir yang lebih tinggi dengan tujuan tertentu (tujuan yang diinginkan).

Langkah-langkah problem solving menurut Abdul Majid (2013: 212) adalah 1) menyiapkan Isu; 2) menulis tujuan/ kompetensi yang hendak dicapai 3) mencari dua data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah; 4) menetapkan jawaban sementara; 5) menguji


(28)

26 jawaban sementara dari masalah tersebut Tugas, diskusi, dll; 6)menarik kesimpulan

Menurut David Johnson & Johnson dalam W.Gulo (2008: 116) masalah yang dipilih adalah adalah masalah yang mempnyai sifat conflict

issue atau kontroversial, masalahnya dianggap penting, urgent dan dapat

diselesaikan. Prosedur problem solving yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Mendefiniskan masalah

Penyelesaian masalah dengan merumuskan masalah terlebih dahulu secara eksplisit

2) Mendiagnosis masalah

Dalam langkah ini peserta didik mendiskusikan sebab-sebab timbulnya masalah. faktor timbulnya masalah adalah faktor-faktor yang mendukung atau mendorong kea rah tercapainya tujuan yang diinginkan dan faktor-faktor yang menghambat tercapainya tujuan. 3) Merumuskan alternatif strategi/ solusi

Peserta didik harus kreatif, berpikir secara divergen, memahami pertentangan diantara berbagai ide, dan memiliki daya temu yang tinggi.

4) Menentukan dan menerapkan strategi

Setelah didapatkan berbagai solusi alternatif solusi, maka dipilih alternatif solusi yang tepat untuk melakukan problem solving .


(29)

27 5) Mengevaluasi keberhasilan strategi

Dalam langkah terakhir peserta didik mempelajari, apakah strategi yang diterapkan telah berhasil dan apakah akibat stelah menerapkan strategi tersebut.

Menurut Anthony J. Nitko & Susan M.B (2011: 232) Langkah – langkah problem-solving secara umum dikategorikan ke dalam 5 proses tahapan yaitu 1) identify the problem, 2) define and represent the problem, 3)

explore possible strategies, 4) act on strategies, 5) look back and evaluate the effects of your activities

Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2006: 216-218) dapat ditinjau dari indikator sebagai berikut:

Tabel 2.1 Aspek dan Indikator Problem Solving No Aspek Indikator

1. Merumuskan masalah Mengetahui adanya kesenjangan

Memfokuskan pada masalah yang akan dikaji Menemukan prioritas masalah

Menggunakan pengetahuan untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis masalah

2 Merumuskan Hipotesis Menentukan penyebab masalah

Menentukan alternatif jawaban sementara terhadap masalah

3 Mengumpulkan Data Mengumpulkan data, memetakan data, dan menyajikan data dalam berbagai tampilan.

4 Pegujian hipotesis/ menarik kesimpulan

Menelaah data

Membahas data dan melihat hubungan dengan masalah yang dikaji

Membuat simpulan 5 Alternatif/ rekomendasi

pemecahan masalah

Menentukan solusi penyelesaian masalah yang mungkin dapat dilakukan

Memprediksi kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan solusi yang diambil.


(30)

28 Jadi dari pendapat beberapa ahli dalam penelitian ini langkah-langkah

problem solving adalah 1) mengidentifikasi masalah, 2) meruumusan masalah,

3) memberikan solusi alternative, 4) memberikan solusi alternatif (terbaik). f) Kemandirian belajar

Herman holestein (1984:9) menjelaskan situasi belajar mandiri dimana sikap pengajar dalam pelajaran yang membuka kesempatan bagi para pelajar untuk mendapat gerak atau ruang kerja seluas-luasnya dalam cara serta waktu kerjanya, dengan ditandai dengan tidak menonjolnya peranan pegajar dalam kelas. Surya dharma (2008: 7) mendefinisikan belajar mandiri adalah cara belajar yang memberikan kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan lebih kepada peserta didik. Sedangkan Haris Mudjiman (2007: 7) menjelaskan belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang di dorong oleh niat untuk menguasai sesuatu kompetensi yang bertujuan untuk mengatasi masalah dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki.

Menurut pendapat dari beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah Kemandirian belajar adalah kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik secara aktif, untuk menguasai suatu kompetensi dalam penyelesaian suatu masalah dengan tidak menonjolkan peran pengajar dalam pembelajaran di kelas dengan penuh tanggung jawab. Dari pembahasan di atas diperoleh gambaran bahwa peserta didik yang sedang melakukan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai dengan motif belajar yang


(31)

29 mendorongnya belajar yaitu motif untuk menguasai sesuatau kompetensi yang diinginkan bukan keampakan fisik kegiatan belajarnya.

Anatomi belajar mandiri menurut Haris Mudjiman (2007: 10) terdiri dari kepemilikan kompetensi tertentu sebagai tujuan belajar, belajar aktif sebagai strategi belajar untuk mencapai tujuan, keberadaan motivasi belajar sebagai syarat berlangsungnya kegiatan belajar dan paradigm konstruktivisme sebagai landasan konsep.

Gambar 2.2 Anatomi Konsep Belajar Mandiri

Ciri-ciri tentang belajar mandiri antara laian adalah sebagai berikut:

1) Motivasi belajar

Semakin kuat motivasi belajar maka akan semakin tinggi kemampuan belajar, semakin besar kompetensi yang akan diperoleh

KOMPETENSI BELAJARAKTIF

MOTIVASI BELAJAR


(32)

30 dan semakin besar tujuan pembelajaran yang akan dicapai. (Haris Mudjiman, 2007: 16)

H.Martinis (2007: 223) mendefinisikan motivasi adalah hubungan erat antara bagaimana perilaku itu dimulai, dikuatkan, disokong, diarahkan, dihentikan dan reaksi subjektif manaca apa yang timbul. Motivasi belajar memiliki fungsi tidak hanya memberikan kekuatan pada daya-daya belajar, tetapi juga memberi arah yang jelas. Motivasi akan memberi hasil yang lebih baik terhadap perbuatan yang dilakukan seseorang.

2) Sumber Belajar/ Bahan ajar

Belajar mandiri dapat menggunakan berbagai sumber dan media belajar. Paket-paket belajar yang berisi self-instructional materials, buku teks hingga teknologi informasi lanjut, dapat digunakan sebagai media belajar dalam belajar mandiri. Apabila sumber atau bahan ajar tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik( ketersediaan dan kejelasan materi yang cukup) akan membantu tercapainya kompetensi yang dituju, sehingga peserta didik tidak bergantung dengan pihak lain dan kegiatan belajar mandiri menjadi terdukung (Haris Mudjiman, 2007: 17).

3) Cara belajar

Pembelajaran mandiri perlu menemukan tipe balajarnya sendiri, serta dapat memilih cara belajar yang cocok dengan keadaan


(33)

31 dan kemampuaanya sendiri, seperti tipe belajar auditif, visual, kinestetik ataupun campuran. Kegiatan belajar mandiri ditandai dengan adanya belajar aktif yang dilakukan oleh peserta didik. Kegaitan belajar aktif pada dasarnya merupakan kegiatan belajar yang bercirikan keaktifan pembelajar, untuk mendapatkan sesuatu atau serangkaian kompetensi. Belajar aktif dapat disatukan dengan belajar tuntas dengan tujuan agar peserta didik dapat menguasai bahan ajar atau kompetensi secara tuntas dengan kecepatan yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik (Haris Mudjiman, 2007: 18)

4) Tempo dan Irama Belajar

Belajar mandiri dapat berfungsi untuk mengetahui kecepatan belajar dan intensitas kegiatan belajar yang ditentukan sendiri oleh peserta didik, sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kesempatan yang tersedia (Haris Mudjiman, 2007: 18)

5) Evaluasi hasil belajar

Evaluasi hasil belajar mandiri dapat dilakukan sendiri oleh peserta didik dengan melakukan self-assesment atau self-evaluation. Peserta didik dikatagorikan mampu mengetahui sejauh mana keberhasilannya dalam belajar mandiri apabila mampu membandingkan antara tujuan belajar dan hasil yang dicapainya (Haris Mudjiman, 2007: 18)


(34)

32 6) Refleksi

Refleksi merupakan penialaian terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani. Kemampuan refleksi merupakan salah satu kemampuan yang sangat diperlukan dalam belajar mandiri. Sebab dari hasil refleksi peserta didik dapat menentukan langkah kedepan guna mencapai keberhasilan dan mneghindari kegagalan. Dalam refleksi peserta didik menilai bagaimana ia telah belajar, apa yang berhasil , apa yang gagal, mengapa gagal, dan untuk ke depan bagaimana sebaiknya (Haris Mudjiman, 2007: 18)

Jadi dalam penelitian ini aspek kemandirian belajar yang digunakan adalah motivasi belajar, penggunaan sumber/ bahan ajar, cara belajar, tempo dan irama belajar, evaluasi hasil belajar dan refleksi

g) Materi Perubahan Benda-Benda di Sekitar Kita Tabel 2.2 Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran

Kompetensi Dasar Indikator

1.1 Mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya.

1.1.1 Meningkatkan rasa syukur setelah belajar perubahan fisika, perubahan kimia, pemisahan campuran dan sifat larutan.

2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas

2.1.3 Bersikap tanggung jawab dalam melakukan percobaan .


(35)

33

Kompetensi Dasar Indikator

sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukanpengamatan, percobaan, dan berdiskusi

3.5 Memahami karakteristik zat, serta perubahan fisika dan kimia pad zat yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari (misalnya pemisahan campuran)

3.5.1Mengidentifikasi perubahan materi berdasarkan sifat materi 3.5.2 Membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia

4.6 Melakukan pemisahan campuran berdasarkan sifat fisika dan kimia.

4.6.1 Melakukan pemisahan campuran dengan teknik filtrasi. 4.6.2 Melakukan pemisahan campuran dengan teknik koagulasi 4.6.3 Menghubungkan sifat materi dengan pemisahan campuran

(1) Materi dan Sifat Materi

Raymond Chang (2004: 6) mendefinisikan materi adalah segala sesuatau yang menempati ruang dan mempunyai massa. Menurut Petrucci (2011: 4) materi adalah apapun yang menempati ruang dan memperlihatkan sifat massa dan kelembaman (inersia).

Sifat materi adalah atribut suatu materi yang dapat membedakan satu sampel materi dari sampel lainnya. Sifat materi umumnya dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu sifat fisika dan sifat kimia.

(a) Sifat fisika dan Perubahan fisika

Sifat fisika adalah sifat yang diperlihatkan sampel materi tanpa mengubah komposisinya. Beberapa sifat fisika yang umumnya dikenal adalah rapatan, wujud pada suhu kamar, warna, kekerasan,


(36)

34 titik leleh, dan titik didih. Suatu proses perubahan peampilan fisis dari suatu objek dengan identitas dasar tak berubah disebut dengan perubahan fisika (Petrucci, 2011: 4).

(b) Sifat kimia dan perubahan kimia

Sifat kimia adalah kemampuan sampel suatu materi mengalami perubahan komposisi dan kondisi yang ditentukan. Contohnya adalah perkaratan besi dan pembusukan kayu adalah perubahan- perubahan yang tidak hanya mencakup keadaan fisik, tetapi juga identitas dasarnya. Perubahan kimia merupakan perubahan menghasilkan zat baru.Jenis perubahan-perubahan kimia yang dialami suatu bahan ditentukan oleh sifat-sifat kiminya (Petrucci, 2011: 5).

Berlangsungnya perubahan kimia dapat diketahui dengan ciri- ciri sebagai berikut:

1. Terbentuknya gas

Beberapa reaksi kimia tertentu dapat membentuk gas. Contoh reaksi kimia,yang membentuk gas ialah reaksi logam magnesium (Mg) dengan asam klorida (HCl). Reaksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

Magnesium + Asam klorida Magnesium klorida + gas hidrogen Mg(s) + 2HCl(aq) MgCl2 (aq) + H2(g)


(37)

35 2. Terbentuknya endapan

Reaksi pengendapan adalah reaksi yang menghasilkan suatu senyawa yang berbentuk padatan. Padatan tersebut tidak larut (tidak bercampur secara homogen) dengan cairan di sekitarnya, sehingga disebut endapan. Salah satu contoh reaksi yang dapat membentuk endapan ialah antara barium klorida (BaCl2) dengan natrium sulfat (Na2SO4). Reaksi tersebut berlangsung sebagai berikut:

Barium klorida + Natrium sulfat Barium sulfat + Natrium klorida Endapan putih

BaCl2(aq) + Na2SO4(aq) BaSO4(s) + 2NaCl(aq) 3. Terjadinya perubahan warna

Contoh reaksi kimia yang memberikan warna yang khas adalah reaksi antara tembaga sulfat (CuSO4) dengan air (H2O). Warna tembaga sufat adalah putih apabila ditambahkan air, warnanya berubah menjadi biru. Warna biru tersebut adalah warna senyawa baru yang terbentuk, yaitu CuSO4.5H2O.

4. Terjadinya perubahan suhu

Reaksi kimia disertai perubahan energi. Salah satu bentuk energi yang sering menyertai reaksi kimia adalah energi panas. Dengan demikian, terjadinya perubahan kimia akan ditandai dengan perubahan energi panas, atau aliran kalor dari atau ke lingkungan. Akibatnya suhu hasil reaksi dapat menjadi lebih tinggi atau dapat menjadi lebih rendah daripada suhu pereaksinya (Budi Prasodjo, 2002: 226).


(38)

36 Jadi dapat disimpulkan bahwa materi adalah apapun yang memiliki massa dan menempati ruang. Suatu materi dapat mengalami perubahan yaitu perubahanfisika dan perubahan kimia. Perubahan fisika adalah perubahan yang tidak menghasilkan zat baru, sedangkan perubahan kimia adalah perubahan yang menghasilkan zat baru. Perubahan materi melibatkan sifat materi misalnya perubahan fisika melibatkan sifat fisika suatu materi sedangkan perubahan kimia melibatkan sifat kimia suatu materi.

(2) Klasifikasi materi

Untuk mempelajari beragam materi yang ada di alam semesta, maka materi digolongkan dengan beberapa cara untuk memudahkan untuk mempelajarinya. Menurut David E.G (2007: 3) klasifikasi materi berdasarkan wujudnya dapat dibedakan menjadi zat padat, cair, dan gas. Sedangkan klasifikasi materi berdasarkan komponennya dapat dibedakan menjadi zat tunggal dan campuran. Zat tunggal dapat dibedakan menjadi senyawa dan unsur. Menurut Hendro (1992: 317) senyawa adalah zat murni yang dapat dipecah menjadi zat yang lebih sederhana dengan proses kimia. Contohnya adalah senyawa air (dapat dipecah menjadi oksigen dan hidrogen), senyawa glukosa (dapat dipecah menjadi karbon, hidrogen dan oksigen). Sedangkan menurut David E.G (2007: 4) senyawa adalah zat yang teridiri dari dua atau lebih unsur secara kimia yang bergabung


(39)

37 dengan proporsisi tertentu. Berdasarkan pendapat Hendro (2007: 317) unsur adalah zat murni yang paling sederhana. Sedangkan menurut pendapat David E.G (2007: 3) unsur adalah zat yang tidak dapat dipecah menjadi zat yang lebih sederhana dengan cara kimia. Contoh unsur adalah emas, perak, oksigen, hidrogen.

Campuran adalah suatu materi yang terdiri dari dua zat lebih dan masih mempunyai sifat azalnya. Campuran dibedakan menjadi dua yaitu campuran homogen dan heterogen. Campuran homogen adalah campuran dengan komposisi dan sifat yang seragam diseluruh sampel, sedangkan campuran degan komposisi dan sifat fisisnya beragam sari satu bagian campuran dengan bagian lainnya disebut campuran heterogen (Petrucci, 2011: 6). Sedangkan menurut pendapat Hendro (1992: 316) campuran terdiri dari 2 macam yaitu campuran homogeny dan campuran heterogen. Campuran homogen adalah campuran yang memiliki susunan yang sama dari tiap bagian, sedagkan campuran heterogen adalah campuran yang tiap bagiannya tidak terdiri dari bagian yang sama.

Jadi untuk lebih memudahkan untuk memelajari suatu materi di alam ini maka perlu kita klasifikasikan. Pengklasifikasian materi berdasarkan wujud dapat dibedakan mejadi zat padat, cair, dan gas. Sedangkan pengklasifikasian materi berdasarkan komponennya dapat dibedakan menjadi zat tunggal dan campuran.


(40)

38 Suatu campuran dapat dapat dipisahkan ke dalam komponen-komponennya berdasarkan sifat fisika ataupun sifat kimianya yaitu sebagai berikut:

a. Pemisahan campuran secara fisika

Pemisahan campuran secara fisika didasari dengan sifat fisika yang dimiliki suatu campuran. Contoh dari pemisahan campuran secara fisika adalah sebagai berikut:

1) Filtrasi, merupakan suatu proses pemisahan padatan dari cairan yang mensuspensinya berdasarkan perbedaan ukuran partikel. (Petrucci ,2011: 6)

Gambar 2.3 Pemisahan campuran dengan cara filtrasi Sumber: Dok. Kemdikbud

2) Destilasi, memiliki prinsip kerja yang didasarkan pada perbedaan titik didih dan zat cair dari campurannya. Contoh dari destilasi adalah penyulingan minyak tanah dan pembuatan air putih (Petrucci ,2011: 6)


(41)

39 Gambar 2.4 Pemisahan campuran dengan cara destilasi

Sumber: Dok. Kemdikbud

3) Sentrifugasi adalah metode pemisaha campuran yang digunakan untuk memisahkan padatan yang sangat halus dengan jumlah campuran sedikit. Contoh dari sentrifugasi adalah memisahkan sel-sel darah dari plasma darah (Petrucci ,2011: 7)

4) Kromatografi, didasarkan pada perbedaan distribusi molekul- molekul komponen di antara dua fasa (fasa gerak dan fasa diam) yang kepolarannya berbeda (Sumar , 2010: 2)

Gambar 2.5 Pemisahan campuran dengan cara kromatografi Sumber: Dok. Kemdikbud


(42)

40 b. Pemisahan campuran secara kimia

Pemisahan campuran secara kimia didasari dengan sifat kimia yang dimiliki suatu campuran. Contoh dari pemisahan campuran secara kimia adalah sebagai berikut:

1) Koagulasi

Koagulasi merupakan proses pesmisahan campuran yang menyebabkan partikel kecil bergabung menghaslkan partikel yang mengendap setelah penambahan zat penggumpal (sumar, 2010:3) 2) Elektrolisis

Elektrolisis didasarkan pada interaksi partikel-partikel bermuatan oleh medan listrik. Partikel bermuatan listrik negative akan bergerak ke kutub postif (anoda) dan sebaliknya partikel bermuatan listrik positif akan bergerak ke kutub negatif atau katoda (sumar, 2010:2)

Jadi pemisahan campuran didasari dari sifat suatu materi. Pemisahan campuran berdasarkan sifat materi dapat dibedakan menjadi pemisahan campuran secara fisika dan pemisahan campuran secara kimia.


(43)

41 2. Penelitian yang Relevan

Agar memperoleh data dan hasil yang valid, maka penelitian ini mengacu pada penelitian yang relevan, yaitu penelitian berupa skripsi yang telah disusun oleh Amila Rizqi Wulan Utami (2014) dengan judul “Pengembangan E-module Pengayaan Dengan Tema ‘Energi Dalam Sistem Kehidupan’ Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Peserta Didik Kelas

VII SMP/MTs”. Hasil penelitian tersebut menghasilkan e-modul penganyaan

yang telah valid untuk mengukur peningkatan kemandirian belajar berdasarkan gain score ternormalisasi 0,44 dengan kategori sedang.

Selain itu juga mengacu pada penelitian Chandra Desta Wahyuna (2008) dengan judul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA (Fisika) Berbasis Pendekatan Inkuiri Terbimbing Untuk meningkatkan Sikap Ilmiah

dan Kemampuan Pemecahan Masalah.” Pada penelitian ini dilakukan

pengembangan terhadap RPP dan baha ajar berupa LKS berbasis inkuiri terbimbing dapat meningkatkan sikap ilmiah pserta didik yaitu pertemuan 1: 78,94% dan pertemuan 2: 84,95%. Selain dapat menigkatkan sikap ilimah juga dapat meninkatkan kemampuan pemecahan masalah yaitu dapat dilihat dari hasil pertemuan 1: 79,27% dan pertemuan 2 sebesar 84,92%.


(44)

42 B. Kerangka berpikir

Permasalahan yang ditemukan

1. Kurangnya kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik dalam kegiatan pembelajaran

2. Masih banyak guru yang belum menggunakan e-module IPA untuk bahan ajar mandiri

Akibatnya

Kemampuan Problem solving

peserta didik dalam pembelajaran IPA belum dikembangkan secara maksimal

Kemandirian belajar peserta didik dalam pembelajaran IPA belum dikembangkan secara maksimal

solusi

Perlu dikembangkan bahan ajar e-module IPA berpendekatan authentic inquiry

learning yang berorientasi pada kemampuan problem solving dan kemandirian

belajar peserta didik

Pengembangan e-Module IPA Berpendekatan Authentic Inquiry Learning yang Berorientasi Pada Kemampuan Problem Solving dan Kemandirian Belajar Peserta Didik SMP.


(45)

43 BAB III

METODE PENELITIAN A. Model Pengembangan

Model Pengembangan produk yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Research and Development . Model Research and Development yang digunakan

pada penelitian ini sesuai dengan alur dari Thiagarajan yakni 4-D (Four-D

Models). Alur pegembangan Thiagarajan menurut Trianto (2010: 189) model

pengembangan ini terdiri atas empat tahapan, yaitu tahap define (pendefinisian),

design (perancangan), develop (pengembangan) dan disseminate (penyebaran).

Pada tahap define (pendefinisian) dilakukan dengan analisis awal, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis konsep dan merumuskan tujuan pembelajaran. Pada tahap design (perancangan) dilakukan penyusunan instrumen, pemilihan bahan ajar, pemilihan format dan rancangan produk awal. Tahap develop (pengembangan) meliputi tahap penilaian ahli dan uji coba pengembangan. Tahap terkahir adalah tahap disseminate (penyebaran). Tahap disseminate merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, dan oleh guru lain.

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan model bahan ajar berupa

e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning yang mengintegrasikan


(46)

44 B. Prosedur Pengembangan

Gambar 3.1 Model Pengembangan 4-D (Modifikasi dari Thiagarajan dalam Trianto (2010))

Analisis Permasalahan

Analisis Peserta Didik

Analisis Konsep Analisis Tugas

Analisis Tujuan Pembelajaran

Penyusunan Instrumen

Pemilihan Bahan Ajar Pemilihan Format

Rancangan Awal Draft I

Dosen Pembimbing Revisi I (Draft II)

Validasi Dosen dan Guru IPA

Produk e-module IPA

Uji Coba Pengembangan Revisi II (Draft III)

Disebarluaskan

Define

Design

Develop

Disseminate


(47)

45 Prosedur/ langkah pengembangan e-module IPA adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tujuan dari tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan yang dihadapi dalam pembelajaran IPA. Tahap pendefisian merupakan tahap untuk menetapkan kebutuhan pembelajaran, hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi perkembangan peserta didik, kurikulum, kondisi sekolah yang ada, serta permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran terkait bahan ajar yang dikembangkan. Dalam tahap ini, terdapat 5 kegiatan yang meliputi:

a. Analisis permasalahan

Pada tahap analisis permasalahan peneliti mencari informasi di lapangan tentang permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran IPA. Pencarian informasi dilakukan peneliti dengan cara melakukan observasi lapangan dan wawancara terhadap guru IPA di SMP Negeri 1 Muntilan. Observasi lapangan dilakukan ketika melakukan PPL di SMP Negeri 1 Muntilan, sedangkan wawancara dilakukan kepada 2 orang guru IPA SMP N 1 Muntilan. Tujuan dari pengumpulan informasi adalah sebagai dasar penyusunan e-module IPA yang akan dikembangkan.

b. Analisis Peserta Didik

Tahap analisis peserta didik merupakan tahap mempelajari karakteristik peserta didik, kemampuan, dan pengalaman peserta didik di


(48)

46 sekolah. yang akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan model/ pendekatan/ metode yang sesuai.

c. Analisis Tugas

Analisis tugas merupakan kumpulan prosedur untuk menentukan isi materi ajar secara garis besar Analisis tugas dilakukan peneliti untuk menentukan isi dan kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran IPA menggunakan e-module IPA berpendekatan authentic inquiry

learning. Penyusunan e-module IPA ini mengacu Kurikulum 2013 pada

materi perubahan benda-benda di sekitar kita d. Analisis Konsep

Tahap ini bertujuan untuk menganalisis konsep-konsep penting yang harus dikuasai oleh peserta didik. Konsep-konsep pada salah satu KD saling dikaitkan dengan konsep-konsep pada KD lainnya kemudian disusun ke dalam sebuah peta konsep. Peta konsep yang telah disusun digunakan sebagai dasar dalam menyusun tujuan pembelajaran.

e. Analisis Tujuan Pembelajaran

Analisis tujuan pembelajaran bertujuan agar peserta didik setelah melakukan pembelajaran menggunakan e-module IPA dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan.


(49)

47 2. Tahap perancangan (design)

Tujuan dari tahap ini adalah menemukan cara yang lebih efektif dan efisien untuk mengambangkan rancangan produk awal (Draft I) berdasarkan data-data yang diperoleh pada tahap pendefinisian. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan pada tahap perancangan ini adalah:

a. Penyusunan Instrumen

Instrumen yang disusun pada penelitian ini meliputi instrumen validasi produk e-module IPA. Instrumen validasi produk bertujuan untuk menilai kelayakan produk e-module IPA. Selain peyusunan instrumen validasi produk juga terdapat instrument penilaian hasil uji coba produk untuk mengukur kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik .

b. Pemilihan Bahan Ajar

Pemilihan Bahan Ajar disesuaiakan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik di SMP Negeri 1 Muntilan.

c. Pemilihan Format

Pemilihan format module IPA disesuaikan dengan karakteristik

e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning, yang menekankan

pada ranah kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik.


(50)

48 d. Rancangan Awal

Pada tahap rancangan awal dihasilkan draft I e-module IPA yang kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Rancangan awal

e-module IPA mencakup:

1) Sampul dan Judul e-module IPA

Judul yang ada pada bagian halaman depan slide e-module IPA menggambarkan materi “Perubahan Benda-Benda Di Sekitar Kita”. 2) Petunjuk Belajar

Petunjuk belajar berisi deskripsi cara menggunakan e-module IPA. 3) Kompetensi Dasar dan Indikator

Pemilihan Kompetensi Dasar akan menentukan indikator pembeljaran pada e-module IPA yang dikembangkan.

4) Peta Konsep

Pembuatan peta konsep bertujuan agar peserta didik lebih mudah mempelajari materi pada kegiatan pembelajaran pada e-module IPA. 5) Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran berisi semua kegiatan yang berhubungan dengan materi “Perubahan Benda-Benda Di Sekitar Kita” yang ada pada

e-module IPA.

6) Gambar, animasi dan video

Gambar, animasi, dan video bertujuan untuk mempermudah peserta didik dalam memahami materi yang ada pada e-module IPA.


(51)

49 3. Tahap Pengembangan (Develop)

Tahap pengembangan merupakan tahap implementasi dari perencanaan produk yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan produk akhir e-module IPA yang layak digunakan. Adapun langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Dosen Pembimbing

Hasil pegembangan e-module IPA draft 1 yang dirancang dan dibuat oleh peneliti dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II sebelum masuk ke validasi dosen ahli dan guru IPA. E-module IPA yang dikonsultasikan kepada dosen pembimbing akan memperoleh masukan saran dan kritikan, yang menjadi bekal bagi peneliti untuk merevisi produk yang dikembangkan. b. Validasi Dosen Ahli dan Guru IPA

Pada tahap pegembangan e-module IPA produk yang dikembangkan divalidasi oleh dosen ahli dan guru IPA untuk mengetahui kelayakan e-module IPA yang dikembangkan oleh peneliti sebelum digunakan untuk uji coba lapangan. Hasil validasi dari dosen ahli dan guru IPA merupakan draft III dan sebagai bahan revisi supaya e-module IPA yang dikembangkan akan lebih baik lagi dengan kritik dan saran dari dosen ahli dan guru IPA.


(52)

50 c. Uji Coba Pengembangan

Uji coba lapangan dilakukan di kelas VII B, SMP N 1 Muntilan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menentukan apakah e-module IPA yang dikembangkan sudah layak untuk diterapkan pada kemampuan

problem solving dan kemandirian belajar peserta didik. Prosedur

pelaksanaan uji coba lapangan ini adalah sebagai berikut:

1) Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan uji coba kepada peserta didik.

2) Melakukan pretest sebelum kegiatan pembelajaran dimulai.

3) Meminta peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran dan melakukan kegiatan pembelajaran yang telah tertera di dalam

e-module IPA.

4) Meminta peserta didik untuk mengisi angket respon untuk mengetahui respon peserta didik terhadap e-module IPA yang diguakan dalam pembelajaran.


(53)

51 4. Tahap Penyebaran (Disseminate)

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari penelitian ini. Tahap ini merupakan tahap peggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, dan oleh guru lain. Penyebaran hanya dilakukan secara terbatas yaitu memberikan produk e-module IPA berpendekatan authentic inquiry learning kepada guru IPA SMP N 1 Mutilan. C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pengembangan ini dilaksanakan pada bulan November 2015 tahun pelajaran 2015/ 2016 yaitu pada semester ganjil. Lokasi penelitian ini di SMP N 1 Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

D. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIIB SMP N 1 Muntilan dengan jumlah 24 anak. Peserta didik melakukan proses pembelajaran dengan e-module IPA yang dikembangkan oleh peneliti untuk menguji kelayakan e-module IPA yang diintegrasikan dengan kemampuan


(54)

52 2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah e-module IPA pada materi “Perubahan Benda-Benda di Sekitar Kita” dengan pendekatan authentic inquiry learning

yang berorientasi pada kemampuan problem solving dan kemandirian belajar peserta didik.

E. Jenis Data

Dalam penelitian pengembangan ini, data yang diperoleh terdiri dari:

1. Data tingkat kelayakan kualitas e-module IPA hasil pengembangan berdasarkan saran dan masukan dari tiga dosen ahli dan tiga guru IPA. 2. Data respon peserta didik terhadap produk e-module IPA yang

dikembangkan.

3. Data tes dan observasi kemampuan problem solving peserta didik.

4. Data angket dan hasil observasi tentang kemandirian belajar peserta didik selama proses pembelajaran.

F. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Lembar validasi E-module

Instrumen lembar validasi e-module IPA pada penelitian pengembangan ini digunakan untuk memperoleh data dari dosen ahli materi, dosen ahli media, dan guru sebagai bahan mengevaluasi e-module IPA yang dikembangkan. Data yang diperoleh ini digunakan untuk mengetahui kelayakan dari produk


(55)

53 digunakan untuk memperoleh data berupa kelayakan produk ditinjau dari komponen kelayakan isi, komponen kebahasaan, komponen penyajian dan komponen kegrafisan. Instrumen lembar validasi e-module IPA disajikan dalam Lampiran 1.3 (halaman 137) lembar validasi ini disusun berdasarkan kisi-kisi yang terdapat dalam Lampiran 1.2 (lampiran 134). Instrumen validasi ini disusun menggunakan empat skala (1-4). Dari skala tersebut akan diperoleh kategori/ tingkat kelayakan module yang dikembangkan pada setiap aspek

e-module IPA yang divalidasi.

2. Angket Respon Peserta Didik terhadap e-module IPA

Angket respon peserta didik disusun ini digunakan untuk mengetahui respon peserta didik terhadap e-module yang dikembangkan. Instrumen penilaian menggunakan skala Likert dengan menggunakan 4 alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Dari alternatif jawaban tersebut kemudian dikonversi menjadi

rating-scale. Alternatif jawaban SS = 4, S = 3, TS = 2, dan STS = 1. Angket respon ini

menggunakan bentuk pernyataan positif dan negatif untuk mengukur tingkat kelayakan e-module IPA menurut penilaian peserta didik. Instrumen angket respon peserta didik terhadap e-module IPA disajikan dalam Lampiran 1.5 (halaman 170). Angket respon ini disusun berdasarkan kisi-kisi yang terdapat dalam Lampiran 1.4 (halaman 169).


(56)

54 3. Instrumen Untuk Mengukur Kemampuan Problem Solving

a. Tes Kemampuan Problem Solving

Tes Kemampuan problem solving disusun untuk mengetahui kemampuan problem solving peserta didik dengan melakukan pretest dan

posttest. Soal pretest dan posttest terdapat dalam lampiran 1.7 (halaman

178) dan 1.9 (halaman 186). Instrumen tes pretes dan posttest ini megacu kisi-kisi yang disajikan dalam lampiran 1.6 (halaman 173) dan 1.8 (halaman 180).

b. Lembar Observasi Kemampuan Problem solving

Selain menggunakan tes problem solving kemampuan problem solving juga digunakan lembar obeservasi kemampuan problem solving disusun untuk mengetahui kemampuan problem solving peserta didik selama proses pembelajaran dengan menggunakan e-module IPA yang dikembangkan. Lembar observasi problem solving terdapat dalam Lampiran 1.11 (halaman 189). Intrumen penilaian problem solving ini mengacu kisi-kisi yang disajikan dalam Lampiran 1.10 (halaman 188).

4. Instrumen Untuk Mengukur Kemandirian Belajar a. Lembar Observasi Kemandirian Belajar

Lembar observasi kemandirian belajar disusun untuk mengetahui penumbuhan kemandirian belajar peserta didik selama proses pembelajaran dengan menggunakan e-module IPA yang dikembangkan. Lembar observasi


(57)

55 kemandirian belajar terdapat dalam Lampiran 1.13 (halaman 197). Intrumen penilaian kemandirian ini mengacu kisi-kisi yang disajikan dalam Lampiran 1.12 (halaman 196).

b. Angket Kemandirian Belajar

Angket kemandirian belajar peserta didik disusun ini digunakan untuk mengetahui kemandirian peserta didik setelah melakukan e-module yang dikembangkan. Instrumen penilaian menggunakan skala Likert dengan menggunakan 4 alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Dari alternatif jawaban tersebut kemudian dikonversi menjadi rating-scale. Alternatif jawaban untuk angket yang berbentuk postif, SS = 4, S = 3, TS = 2, dan STS = 1, sedangkan untuk angket yang berbentuk negatif SS=1, S= 2, TS=3, dan STS= 4. Angket kemandirian belajar ini menggunakan bentuk pernyataan positif dan negatif untuk mengukur kemandirian belajar peserta didik. Instrumen angket kemandirian belajar peserta didik disajikan dalam Lampiran 1.15 (halaman 201). Angket kemandirian belajar ini disusun berdasarkan kisi-kisi yang terdapat dalam Lampiran 1.14 (halaman 200).

5. Lembar Observasi Keterlaksanaan Authentic inquiry Learning

Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran authentic inquiry learning. Instrumen lembar keterlaksanaan


(58)

56 pembelajaran dapat dilihat pada lampiran 1.17 (halaman 205). Kisi-kisi instrument keterlaksanaan authentic inquiry learning dapat dilihat pada lampiran 1.16 (halaman 203).

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari beberapa instrumen akan dianalisis sebagai berikut: a. Analisis Hasil Validasi Kelayakan e-module IPA

Angket validasi E-MODULE dianalisis dengan mencari rata-rata penilaian antara penilai. Perolehan rata-rata skor dari setiap komponen aspek penilaian dengan menggunakan rumus:

……….(1) Keterangan:

= rerata skor

= jumlah total skor tiap komponen

n = jumlah validator/ penilai (Sugiyono, 2005: 43)

Selanjutnya, semua data yang sudah diperoleh pada tiap butir penilaian kemudian dijumlah disebut sebagai skor aktual (X). Skor aktual yang bersifat kuantitatif ini diubah menjadi nilai kualitatif dengan berpedoman pada konversi skor untuk mengetahui kelayakan kualitas

E-MODULE IPA yang dikembangkan. Adapun acuan pengubahan skor


(59)

57 Tabel 3.1 Konversi Skor Aktual Menjadi Nilai Skala Empat

No. Rentang Skor Nilai Kategori

1. X ≥ ̅ + 1. SBx A Sangat baik

2. ̅ + 1.SBx >X ≥ ̅ B Baik

3. ̅ >X≥ ̅ - 1.SBx C Cukup

4. X < ̅ - 1SBx D Kurang

(Sumber: Djemari Mardapi, 2007: 123) Keterangan:

X = skor aktual skor yang dicapai peserta didik

̅ = rerata skor ideal (1/2 (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)) SBx = simpangan baku skor ideal = (1/2) (1/3) (skor tertinggi ideal –skor

terendah ideal)

Skor tertinggi ideal = ∑butir kriteria x skor tertinggi Skor terendah ideal = ∑butir kriteria x skor terendah

Tabel 3.1 dijadikan pedoman konversi skor ke nilai pada penelitian ini. Nilai kelayakan produk dalam penelitian ini akan ditentukan dengan nilai minimum “C” dengan kategori cukup baik. Jadi jika hasil penilaian oleh para ahli dan guru IPA reratanya memberikan hasil akhir minimal “C” maka produk pengembangan e-module IPA ini layak digunakan.

Berdasarkan Borich reliabilitas dari validasi dosen ahli dan guru IPA dapat ditetapkan dengan menggunakan formula Borich, dengan persamaan sebagai berikut:


(60)

58 PA = 100%

{

1-

}

…………..(2)

Keterangan:

A = Skor tertinggi B = Skor terendah

Hasil validasi e-module IPA reliabel jika memiliki reliabilitas di atas 75% (Trianto, 2010: 240).

b. Analisis Hasil Respon Peserta Didik terhadap E-module IPA

Respon peserta didik setalah menggunakan E-module IPA yang dikembangkan harus melakukan pengubahan nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif. Pengubahan nilai kualitatif pada angket respon peserta didik menjadi nilai kuantitatif sesuai dengan ketentuan pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 Ketentuan Pengubahan Nilai Kualitatif menjadi Kuantitatif

Pilihan Jawaban Skor Pernyataan

Positif Negatif

Sangat setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak setuju 2 3

Sangat tidak setuju 1 4

(Sumber: Eko Putro Widoyoko, 2009: 236)

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis hasil penilaian peserta didik terhadap e-module IPA yang telah dikembangkan dengan menggunakan angket adalah sebagai berikut:

1) Merekapitulasi setiap item pernyataan angket respon peserta didik terhadap e-module.


(61)

59 3) Menghitung jumlah skor pada setiap nomor indikator.

4) Menghitung rata-rata skor pada setiap nomor indikator. 5) Menghitung jumlah skor pada setiap aspek

6) Menghitung jumlah rata-rata tiap aspek

7) Skor jumlah rata-rata tiap aspek yang bersifat kuantitatif ini diubah menjadi nilai kualitatif dengan berpedoman pada konversi skor menjadi skala empat untuk mengetahui respon peserta didik terhadap

e-module IPA yang dikembangkan. Adapun acuan pengubahan skor

menjadi skala empat tersebut tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. c. Analisis Tes Kemampuan Problem Solving

Analisis pretest dan posttest dapat diketahui dengan gain score. Gain

score diperoleh dengan rumus sebagai berikut

̅ ̅ ̅ ………..(3) Tabel 3.3 Tabel konversi Kategori Gain score

Batasan Kategori

g> 0,70 Tinggi

0,3 ≤ g ≤ 0,70 Sedang

g < 0,30 Rendah


(62)

60 d. Analisis Observasi Kemampuan problem solving

Untuk mengetahui kemampuan problem solving peserta didik setelah adanya pengembangan e-module ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Merekapitulasi setiap item pernyataan lembar observasi kemampuan

problem solving untuk setiap pertemuan.

2) Menghitung jumlah skor masing-masing indikator setiap pertemuan 3) Menghitung rata-rata skor masing-masing indikator setiap

pertemuan.

4) Menghitung persentase hasil penskoran dari setiap peserta didik dengan menggunakan persamaan

̅ ∑ ………(4)

Keterangan:

̅ = persentase skor

∑ = jumlah skor yang diperoleh tiap indkator = skor maksimal tiap indikator

(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2008: 235)

5) Mengubah data kuantitatif yang berbentuk presentase skor menjadi data kualitatif dengan menggunakan patokan pada Tabel 3.4


(1)

61 Tabel 3.4 Persentase Penguasaan Kemampuan

No

Tingkat Penguasaan

(%)

Nilai Huruf Kategori/ Predikat

1. 86-100 A Sangat Baik

2. 76-85 B Baik

3. 60-75 C Cukup

4. 55-59 D Kurang

5. 54 E Sangat Kurang

(Sumber: Ngalim Purwanto, 1994: 102)

e. Analisis Observasi Kemandirian Belajar Peserta Didik

Untuk mengetahui penumbuhan kemandirian belajar peserta didik setelah adanya pengembangan e-module ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Merekapitulasi setiap item pernyataan lembar observasi kemandirian belajar peserta didik untuk setiap pertemuan.

2) Menghitung jumlah skor masing-masing indikator setiap pertemuan 3) Menghitung rata-rata skor masing-masing indikator setiap

pertemuan.

4) Menghitung persentase hasil penskoran dari setiap peserta didik dengan menggunakan persamaan 4.

5) Mengubah data kuantitatif yang berbentuk presentase skor menjadi data kualitatif dengan menggunakan patokan pada tabel 3.4


(2)

62 f. Analisis Angket Kemandirian Belajar Peserta Didik

Angket kemandirian belajar peserta didik setalah menggunakan e-module IPA yang dikembangkan harus melakukan pengubahan nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif. Pengubahan nilai kualitatif pada angket kemandirian belajar peserta didik menjadi nilai kuantitatif sesuai dengan ketentuan pada Tabel 3.2

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis kemandirian belajar peserta didik terhadap e-module IPA yang telah dikembangkan dengan menggunakan angket adalah sebagai berikut:

1) Merekapitulasi setiap item pernyataan angket kemandirian belajar peserta didik terhadap e-module.

2) Mengubah nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif 3) Menghitung jumlah skor pada setiap nomor indikator. 4) Menghitung rata-rata skor pada setiap nomor indikator. 5) Menghitung jumlah skor pada setiap aspek

6) Menghitung jumlah rata-rata tiap aspek

7) Skor jumlah rata-rata tiap aspek yang bersifat kuantitatif ini diubah menjadi nilai kualitatif dengan berpedoman pada konversi skor menjadi skala empat untuk mengetahui kemandirian belajar peserta didik. Adapun acuan pengubahan skor menjadi skala empat tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.


(3)

63 g. Analisis Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Authentic

Inquiry Learning

Analisis keterlaksanaan pembelajaran dilakukan oleh 1 observer. Pengamatan keterlaksanaan dilakukan selama tiga kali pertemuan. Analisis keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan authentic inquiry learning menggunakan persamaan berikut:

∑ …………..(5) Persentase keterlaksanaan selanjutnya diubah menjadi data kualitatif dengan menggunakan kriteria seperti pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran

No Persentase (%) Kategori

1. 80 ≤ X ≤ 100 Sangat Baik

2. 60 ≤ X ≤ 80 Baik

3. 40 ≤ X ≤ 60 Cukup

4. 20 ≤ X ≤ 40 Kurang

5. 0 ≤ X ≤ 20 Sangat Kurang


(4)

130 DAFTAR PUSTAKA

Abdul majid .(2013).Strategi Pembelajaran .Remaja Rosdakarya:Bandung.

Andi Prastowo. (2011). Panduan Kreatif membuat bahan ajar inovatif. Yogyakarta : Diva press

Anthony J & Sausan M. (2011). Educational Assessment Of Studet Sixth Edition. USA: Pearson

Budi Prasojo, dkk. (2002). IPA 1a. Jakarta: Yudhistira

Carin, Arthur A. & Robert B. Sund (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

Choomsin.S. Widodo & Jasmadi. (2008). Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT. Gramedia

David E. Goldberg. (2007). Kimia Untuk Pemula Edisi Ketiga. Erlangga: Jakarta Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar.

Jakarta: Depdiknas.

Djemari Mardapi. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Yogyakarta: Mitra Cendekia Press.

Dwi Siswoyo,dkk. 2011. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Eko Putro Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hake, Richard R. (1999). Analyzing Change/ Gain Scores. Diakses dari http:// www.physics.indiana.edu/sdi/AnalyzingChange, pada tanggal 15 Januari 2016.


(5)

131 Haris Mudjiman. (2007). Belajar MAndiri (Self- motivated learning) . Surakarta:

UNS Press.

Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis. (1992). Pendidikan IPA II. Jakarta :

Herman Holstein.(1984). Murid Belajar Mandiri.Bandung : Remadja karya CV Bandung

Kaufelt, artha. (2008) Wahai Para Guru, Ubahlah Cara Mengejarmu!. Jakarta: Indeksi

Koballa & Chiapetta. (2010). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools. Pearson: USA.

Lombardi, M Mrilyn. (2007). Authentic Learning for The 21st Century: An Overview, diakses dari http//net.educause.edu/ir/library/pdf/eli/3009pdf . tanggal 18 Desember 2015

Martinis Yamin. (2007). Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press Ngalim Purwanto. (2002). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran.

Bandung: Rosdakarya.

Paidi. (2010). Model Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Biologi di SMA. Prosiding, Seminar Nasional. Yogyakarta: FMIPA UNY

Petrucci, Haeworrd, Herring, Mdura. 2011. Kimia Dasar Prinsip-Prinsip & Aplikasi Modern Edisi Kesembilan Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Raymond Chang. (2004). Kimia Dasar Konsep Inti edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga.


(6)

132 Rule, Audery C. (2006). Editorial The Components of Authentic learning. Jurnal of

authentic learning, volume 3, number1, Hal 1-10

Sitiatava Rizema. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis SAINS.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Bandung: Alfabeta

Suharsimi Arikunto. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumar Hedayana.( 2010). Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan Elektroforesis Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Surya Dharma. (2008). Penulisan Modul. Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas.

TIM P2M LPPM UNS. (2010). Pengembangan E-Module. Surakarta: http://nurma.staff.uns.ac.id. Diakses pada tanggal 14 Juni 2015.

Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, progresif, Dan Kontekstual. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara

W. Gulo. (2008). Startegi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Wina Sanjaya. (2009). Abdul majid .2013.Strategi Pembelajaran .Remaja


Dokumen yang terkait

KEEFEKTIFAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII

0 23 409

PENGEMBANGAN MODUL IPA BERBASIS KONTEKSTUAL MATERI KALOR DAN PERPINDAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK SMP KELAS VII.

0 0 23

PENGEMBANGAN POCKET BOOK IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQURY LEARNING YANG BERORIENTASI PADA KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

0 0 73

PENGEMBANGAN E-MODULE IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LERNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII SMP.

1 3 68

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) PADA TEMA “PENCEMARAN AIR” BERPENDEKATAN AUTENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEINGINTAHUAN DAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH PESERTA DIDIK SMP KELAS VII.

0 0 69

PENGEMBANGAN LKPD IPA MATERI ZAT ADITIF PADA MAKANAN BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN SIKAP INGIN TAHU PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

1 3 79

PENGEMBANGAN LKPD IPA MATERI “TEKANANKU, PERHATIANMU” BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN SIKAP INGIN TAHU PESERTA DIDIK SMP.

1 6 80

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN IPA INTERAKTIF PADA MATERI RANGKA DAN OTOT MANUSIA UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

0 0 208

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) BERBASIS GUIDED INQUIRY DENGAN TEMA “AIRKU TERCEMAR” UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VII SMP.

0 0 2

Pengembangan Media Pembelajaran IPA Berbentuk Komik Model Guided Inquiry untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Sikap Ilmiah Peserta Didik SMP.

0 0 2