PENGEMBANGAN LKPD IPA MATERI ZAT ADITIF PADA MAKANAN BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN SIKAP INGIN TAHU PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

(1)

PENGEMBANGAN LKPD IPA MATERI ZAT ADITIF PADA MAKANAN BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK

MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN SIKAP INGIN TAHU PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII

Oleh:

Lady Wahyu Hapsari 12315244006

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kelayakan hasil pengembangan LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning, (2) pertumbuhan kemampuan

problem solving peserta didik SMP kelas VIII terhadap LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning, (3) pertumbuhan sikap ingin tahu peserta didik SMP kelas

VIII terhadap LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning.

Metode penelitian adalah Research and Development (R & D) dengan model 4-D. Tahap-tahap penelitian ini meliputi tahap define, design, develop, dan

disseminate. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar validasi untuk

dosen ahli dan guru IPA, lembar observasi keteraksanaan pembelajaran authentic

inquiry learning, angket respon peserta didik terhadap LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning, lembar observasi kemampuan problem solving, instrumen

soal tes problem solving berupa pretest dan posttest, lembar observasi sikap ingin tahu peserta didik, dan angket sikap ingin tahu peserta didik. Subjek penelitian adalah peserta didik SMP kelas VIII di SMP N 2 Imogiri. Teknik analisis data pada kelayakan, respon peserta didik, dan angket sikap ingin tahu dengan mengkonversi skor menjadi skala lima, untuk lembar observasi kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu dengan persentase, kemudian untuk tes kemampuan problem solving dengan menggunakan gain score.

Hasil penelitian dari pengembangan LKPD IPA menunjukkan bahwa: (1) LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning layak digunakan sebagai bahan ajar dengan kategori sangat baik (A), didukung dengan hasil respon peserta didik terhadap LKPD IPA berada pada kategori baik (B) dan keterlaksanaan pembelajaran

authentic inquiry learning dapat 100% terlaksana dengan sangat baik, (2)

Kemampuan problem solving peserta didik berdasarkan analisis gain score 0,6 berada pada kategori Sedang, (3) Sikap ingin tahu peserta didik berada pada kategori sangat baik (A).

Kata Kunci: LKPD, Authentic Inquiry Learning, Kemampuan Problem Solving, Sikap ingin Tahu


(2)

DEVELOPMENT OF STUDENT WORKSHEET USING AUTHENTIC INQUIRY LEARNING APPROACH IN FOOD ADDITIVES TO GROWTH PROBLEM SOLVING SKILLS AND STUDENTS CURIOSITIES FOR THE

SECOND GRADE OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS

By:

Lady Wahyu Hapsari 12315244006

ABSTRACT

This study aims to determine: (1) the feasibility of the development Science LKPD with authentic inquiry learning, (2) The growth ability in problem solving of junior high school student grade VIII to Science LKPD with authentic inquiry learning (3) The growth curiosity of high school student grade VIII to Science LKPD with authentic inquiry learning.

This study using Research and Development (R & D) with 4-D model. The stages of this study includes define, design, develop, and disseminate. Instrument used in this study are form of sheets validation for expert lecturers and science teachers, observation sheet authentic inquiry learning, questionnaire responses of learners to Science LKPD using authentic inquiry learning, observation sheet problem solving ability, instrument of test problem solving such as pretest and posttest, observation sheet of student’s curiosity, and the questionnaire of student’s curiosity. Subjects in this study were students grade VIII E in SMP N 2 Imogiri. Data analysis techniques on the feasibility, the response of learners, and questionnaires curiosity to convert the score to a scale of five, to the observation sheet problem solving skills and curiosity to the percentage, then to test problem solving skills by using gain score.

The result of the development Science LKPD showed that: (1) Science LKPD with authentic inquiry learning is fit for use as teaching materials with excellent category (A), supported by the results of responses of learners to Science LKPD is in good category (B) and authentic inquiry learning can be 100% done very well, (2) the student’s ability of problem solving based on gain score analysis is 0.6 in the category Medium, (3) Student’s attitude curiousity are in the very good category (A).


(3)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Hakikat IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pengetahuan atau sains yang semula berasal dari bahasa Inggris „science‟.

Kata „science‟ berasal dari Bahasa Latin „scientia‟ yang berarti saya tahu.

IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah (Trianto, 2010: 136).

Carin & Sund (1993) dalam Asih Widi (2014: 24) mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”. Merujuk pada definisi Carin & Sund tersebut maka pengertian IPA tersebut, maka IPA memiliki empat unsur utama yaitu:

a. Sikap: IPA memunculkan rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat. Persoalan IPA dapat dipecahkan dengan menggunakan prosedur yang bersifat

open ended.

b. Proses: Proses pemecahan masalah pada IPA memungkinkan adanya prosedur yang runtut dan sistematis melalui metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan


(4)

15 eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.

c. Produk: IPA menghasilkan produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.

d. Aplikasi: Penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari- hari.

Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan muncul sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh dan menggunakan rasa ingin tahunya untuk memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah yang menerapkan langkah-langkah metode ilmiah. Oleh karena itu, IPA sering kali disamakan dengan the way of thingking.

Collete dan Chiappetta (1994: 30) mengemukakan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dilihat sebagai cara berpikir (way of

thinking) untuk memahami alam, cara penyelidikan (way of investigation)

melalui fenomena alam dan bangunan ilmu (body of knowledge) yang merupakan hasil dari penyelidikan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka IPA merupakan bangunan ilmu yang diperoleh dengan cara berpikir untuk memahami alam dan melalui penyelidikan dengan metode ilmiah untuk memperoleh bangunan ilmu berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori.

Pernyataan tersebut sesuai dalam Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA (Depdiknas, 2007: 8) bahwa


(5)

16 perkembangan IPA selanjutnya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga ditandai oleh munculnya “metode ilmiah” (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian ”kerja ilmiah” (working scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes). Dari

beberapa pengertian ini maka perkembangan IPA tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

Berdasarkan beberapa pengertian IPA oleh para ahli tersebut maka IPA dapat didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan (the body of

knowledge) tentang objek dan fenomena alam yang diperoleh dari hasil

pemikiran (the way of thinking) dan penyelidikan ilmuwan (the way of

investigation) yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen dengan

menggunakan metode ilmiah dan sikap ilmiah. 2. Pembelajaran IPA

Sitiatava Rizema Putra (2013: 53) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis sains adalah proses transfer ilmu dua arah antara guru (sebagai pemberi informasi) dan peserta didik (sebagai penerima informasi) dengan metode tertentu (proses sains). Lingkungan ini memberikan keterangan bahwa pembelajaran sains/IPA melibatkan peran aktif peserta didik dalam pembelajaran. Pengertian sains secara sederhana adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan metode tertentu. Adapun metode tertentu yang dimaksud dalam definisi sains ini adalah


(6)

17 metode ilmiah, atau berbasis penelitian dan penemuan, serta berdasarkan fakta-fakta.

Pembelajaran sains idealnya berlangsung sesuai dengan hakikatnya. Sherman & Sherman (2004: 5) mengemukakan “Science is a

way of looking at the world and seeking explanations so that we can

understand how the world operates. It is also a way of solving problems

and using the solutions to those problems to explain why things happen as

they do”. Sains merupakan cara untuk melihat dunia dan menemukan penjelasan-penjelasan sehingga kita dapat memahami bagaimana dunia beroperasi. Dan juga merupakan cara untuk mengatasi masalah dan menggunakan solusi terhadap masalah tersebut untuk menjelaskan bagaimana sesuatu hal terjadi seperti yang mereka lakukan.

Dari pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa produk sains dapat kita peroleh dari proses yang kita alami. Carin & Sund (1970: 2) mengemukakan bahwa “science, then, has three major elements: attitude, process methods and products”. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka pembelajaran IPA merupakan kegiatan yang mengaktifkan peserta didik dalam berpikir dan menyelidiki objek dan fenomena alam, dengan berorientasi pada sikap, proses dan produk ilmiah (Asri Widowati, dkk, 2015: 9).

Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi memberikan pengertian bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya


(7)

18 penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Hal ini berarti dengan mempelajari IPA diharapkan peserta didik dapat memahami dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, serta mampu memanfaatkan lingkungan untuk belajar.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses belajar yang dibangun oleh guru ini diharapkan mampu membangun karakteristik mental peserta didik dan juga keaktifan peserta didik dalam memperoleh pengetahuan yang mereka butuhkan. Sedangkan pembelajaran IPA di lakukan sesuai dengan hakikatnya dan harus melibatkan peserta didik secara aktif untuk memperoleh pengetahuan yang utuh dan bermakna sehingga potensi yang ada dalam diri peserta didik dapat berkembang dengan baik dan optimal.


(8)

19 3. Bahan Ajar

Bahan ajar merupakan salah satu bagian penting dalam proses pembelajaran. Menurut Abdul Majid (2013: 271) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar dikelompokkan menjadi empat, yaitu bahan cetak (printed), bahan ajar dengar (audio), bahan ajar pandang dengar (audio visual), dan bahan ajar interaktif (interactive teachingmaterial).

Dick, Carey, & Carey (2009: 230) menambahkan bahwa

instructional material contain the either written, mediated, or facilitated

by an instructor that a student as use to achieve the objective also include

information thet the learners will use to guide the progress. Berdasarkan

ungkapan Dick, Carey dan Carey dapat diketahui bahwa bahan ajar berisi konten yang perlu dipelajari oleh peserta didik baik berbentuk cetak atau yang difasilitasi oleh pengajar untuk mencapai tujuan tertentu.

Ada 2 pengertian bahan ajar menurut National Center for

Vocational Education Research Ltd/National Center for Competency

Based Training, yaitu:

a. Bahan ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.


(9)

20 b. Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sitematis baik tertulis maupun tidak, sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang disusun secara sistematis baik tertulis atau tidak tertulis untuk mencapai tujuan tertentu sehingga tercipta lingkungan dan suasana yang memungkinkan peserta didik belajar secara kondusif.

Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis (1991: 41-46) bahan ajar dikatakan berkualitas baik apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Syarat-syarat didaktik

Bahan ajar harus mengikuti asas-asas pembelajaran yang efektif. Hal itu dapat dicapai diantaranya dengan memperhatikan adanya perbedaan individu, menekankan pada proses penemuan konsep, memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan belajar peserta didik, mengembangkan kemampuan komunikasi social, emosional, moral dan estetika pada diri peserta didik, serta menentukan pengalaman belajar berdasarkan tujuan pengembangan pribad peserta didik, bukan berdasar pada materi bahan pelajran.

2) Syarat-syarat konstruksi

Syarat-syarat konstruksi ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosa kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan yang pada hakikatnya harus dapat dimengerti oleh peserta didik. 3) Syarat- syarat teknis

Syarat-syarat teknis berkaitan dengan cara penulisan dan penyajian misalnya penggunaan huruf cetak, perbandingan ukuran huruf, cetak tebal, bingkai gambar, keserasian warna, dll. Beberapa kriteria kualitas dan syarat bahan ajar tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam


(10)

21 menilai kualitas suatu bahan ajar yang dikembangkan. Tentunya kriteria yang digunakan menyesuaiakan dengan bentuk bahan ajar (cetak atau elektronik).

4. LKPD sebagai Bahan Ajar

Menurut Andi Prastowo (2012: 204) Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD) merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembaran-lembaran kertas yang berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan oleh peserta didik, yang mengacu pada kompetensi dasar yang harus dicapai. Lembar Kerja Peserta Didik adalah panduan peserta didik yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah. Lembar Kerja Peserta Didik dapat berupa panduan untuk latian pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk panduan eksperimen atau demonstrasi (Trianto, 2012: 222).

Pengertian Lembar Kerja Peserta Didik yang dikemukakan oleh Badjo (1993: 8) yaitu LKPD ialah lembar kerja yang berisi informasi dan perintah/instruksi dari guru kepada peserta didik untuk mengerjakan suatu kegiatan belajar dalam bentuk kerja, praktek, atau dalam bentuk penerapan hasil belajar untuk mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembaran-lembar kertas yang berisi tugas atau panduan peserta didik


(11)

22 dalam melakukan kegiatan pembelajaran seperti kegiatan eksperimen atau demonstrasi sesuai tujuan dalam pembelajaran yang harus dicapai.

Pengembangan LKPD sangat bermanfaat untuk mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Tujuan penyusunan LKPD menurut Andi Prastowo (2012: 206) adalah sebagai berikut.

1)Menyajikan bahan ajar yang memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan materi yang diberikan.

2)Menyajikan tugas-tugas yang meningkatkan penguasaan peserta didik terhadap materi yang diberikan.

3)Melatih kemandirian belajar peserta didik.

4)Memudahkan pendidik dalam memberikan tugas kepada peserta didik.

Sedangkan empat fungsi LKPD adalah sebagai berikut.

1)Sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan peran guru, namun lebih mengaktifkan peserta didik.

2)Sebagai bahan ajar yang mempermudah peserta didi untuk memahami materi yang diberikan guru.

3)Sebagai bahan ajar yang diringkas dan kaya tugas untuk berlatih. 4)Memudahkan pelaksanaan pengajaran kepada peserta didik.

Menurut Darmojo dan Kaligis (1991: 40) mengajar dengan menggunakan LKPD dalam proses belajar mengajar memberikan manfaat, antara lain memudahkan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, misalnya dalam mengubah kondisi belajar yang semula berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered). Manfaat adanya lembar kegiatan bagi guru adalah memudahkan pelaksanaan pembelajaran, sedangkan bagi peserta didik ia akan belajar secara mandiri dan belajar memahami dan menjalankan suatu tugas tertentu (Depdiknas, 2008: 13). Menurut Endang Widjajanti (2008: 2) fungsi LKPD adalah sebagai berikut:


(12)

23 a. Sebagai alternatif bagi guru untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai kegiatan belajar mengajar.

b. Dapat digunakan untuk mempercepat proses pengajaran dan menghemat waktu penyajian suatu topik.

c. Dapat untuk mengetahui seberapa jauh materi yang telah dikuasai peserta didik.

d. Dapat mengoptimalkan alat bantu pengajaran yang terbatas. e. Membantu peserta didik dapat lebih aktif dalam proses belajar

mengajar.

f. Dapat membangkitkan minat peserta didik jika LKPD disusun secara rapi, sistematis mudah dipahami oleh peserta didik sehingga mudah menarik perhatian peserta didik.

g. Dapat menumbuhkan kepercayaan pada diri peserta didik dan meningkatkan motivasi belajar dan rasa ingin tahu.

h. Dapat mempermudah penyelesaian tugas perorangan, kelompok atau klasikal karena peserta didik dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan kecepatan belajarnya. i. Dapat digunakan untuk melatih peserta didik menggunakan

waktu seefektif mungkin.

j. Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.

Dalam penyusunan LKPD harus memperhatikan langkah-langkah tertentu. Berdasarkan Depdiknas (2008: 23-24) dalam menulis LKPD terdapat beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu analisis kurikulum, menyusun peta kebutuhan LKPD, menentukan judul-judul LKPD, dan penulisan LKPD. Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan bahan ajar LKPD. Peta kebutuhan LKPD diperlukan guna mengetahui jumlah LKPD yang harus ditulis dan sekuensi atau urutan LKPD-nya. Judul LKPD ditentukan atas dasar KD, materi pokok atau pengalaman belajar yang terdapat dalam kurikulum. Penulisan LKPD dapat dilakukan dengan langkah-langkah a) Perumusan KD yang harus dikuasai (Rumusan KD pada LKPD langsung diturunkan


(13)

24 dari standar isi), b) Menentukan alat penilaian, c) Penyusunan materi, d) Memperhatikan struktur LKPD.

Menurut Andi Prastowo (2012: 274) LKPD memuat delapan unsur, meliputi (1) judul, (2) kompetensi dasar yang akan dicapai, (3) waktu penyelesaian, (4) alat dan bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, (5) informasi singkat, (6) langkah kerja, (7) tugas yang harus dilakukan, dan (8) laporan yang harus dikerjakan.

Sedangkang format LKPD menurut Slamet, Paidi, Insih (2011) yaitu meliputi: (1) judul kegiatan, (2) tujuan, (3) alat dan bahan, (4) prosedur kerja, (5) tabel data, (6) bahan diskusi.

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai unsur-unsur tersebut, penelitian ini disintesis bahwa LKPD yang akan dikembangkan memuat unsur-unsur meliputi judul, kompetensi dasar yang akan dicapai, indikator, peta konsep, petunjuk belajar, alat dan bahan yang diperlukan, langkah kerja, tugas yang harus dilakukan dan informasi pendukung.

Andi Pratowo (2012: 208) menjabarkan lima macam bentuk LKPD yang umumnya digunakan oleh peserta didik, yaitu

a. LKPD yang membantu peserta didik menemukan suatu konsep b. LKPD yang membantu peserta didik menerapkan dan

mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan c. LKPD yang berfungsi sebagai penuntun belajar

d. LKPD yang berfungsi sebagai penguatan


(14)

25 Menurut Depdiknas (2008: 28) kriteria penilaian atau evaluasi bahan ajar yang dapat dijadikan pedoman untuk evaluasi LKPD, yang mencakup kelayakan isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafisan adalah sebagai berikut

Komponen kelayakan isi, antara lain: 1) Kesesuaian dengan KI, KD.

2) Kesesuaian dengan perkembangan anak 3) Kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar 4) Kebenaran substansi materi pembelajaran 5) Manfaat untuk penambahan wawasan

6) Kesesuaian dengan nilai moral, dan nilai-nilai sosial Komponen kebahasaan, antara lain:

1) Keterbacaan

2) Kejelasan informasi

3) Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar

4) Pemanfatan bahasa secara efektif dan efisien (jelas dan singkat)

Komponen penyajian, antara lain:

1) Kejelasan tujuan (indikator) yang ingin dicapai 2) Urutan sajian

3) Pemberian motivasi, daya tarik

4) Interaksi ( penberian stimulus dan respon) 5) Kelangkapan informasi

Komponen kegrafisan, antara lain:

1) Penggunan font, jenis, dan ukuran huruf 2) Lay out atau tata letak

3) Ilustrasi, gambar, dan foto 4) Desain tampilan

Hal-hal tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi dan mengetahui apakah bahan ajar telah baik atau masih ada hal yang perlu diperbaiki. Teknik evaluasi bisa dilakukan dengan beberapa cara, misalnya evaluasi teman sejawat atau pun uji coba kepada peserta didik secara terbatas. Responden pun bisa ditentukan apakah secara bertahap mulai dari one to


(15)

26 Berikut ini gambaran langkah-langkah penyusunan LKPD menurut Andi Prastowo (2012: 212).

Gambar 1. Diagram Alir Langkah-langkah Penyusunan LKPD Sumber: Diadaptasi dari Andi Prastowo (2012: 212)

5. Authentic Inquiry Learning

Pembelajaran otentik (authentic learning) adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menggali, mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep-konsep dan hubungan-hubungan, yang melibatkan masalah nyata dan proyek yang relevan dengan peserta didik (Donovan, Bransford & Pallegrino, 1999: 19). Istilah „otentik‟ berarti asli, sejati, dan nyata (Webster‟s Revised Unabridged Dictionary, 1998: 10). Wiggins mengemukakan bahwa pembelajaran otentik memperbolehkan peserta didik untuk mempelajari

Analisis Kurikulum

Menyusun Peta Kebutuhan LKPD

Menentukan Judul-Judul LKPD

Menulis LKPD

Merumuskan KD

Menentukan Alat Penilaian

Menyusun LKPD


(16)

27 dunia nyata menggunakan high order thingking skills (Blank & Harwell, 1997). Rule (Elliot, 2007: 35) mendefinisikan empat komponen authentic

learning yaitu: real-world problems that engage learners in the work of

professionals; inquiry activities that practice thingking skills and

metacognition; discourse among a community of learners; and student

empowerment through choice.

Karakteristik utama dalam authentic learning antara lain sebagai berikut.

a. Pembelajaran dipusatkan pada authentic task yang menarik bagi pembelajar

b. Peserta didik didorong untuk bereksplorasi dan berinkuiri c. Pembelajaran seringkali interdisipliner

d. Pembelajaran lebih erat dikaitkan dengan kehidupan nyata

e. Peserta didik terdorong dalam tugas yang lebih kompleks dan berpikir tingkat tinggi (higher-order thingking) seperti menganalisis, merancang, memanipulasi, dan mengevaluasi informasi.

f. Peserta didik menghasilkan suatu produk atau karya yang dibagikan kepada teman lain di kelas

g. Pembelajaran diambil peserta didik dari guru, orang tua, ahli, ataupun pelatih yang membantu dalam penyelenggaraan pembelajaraan.

h. Pembelajar melakukan kerangka pokok teknik (scaffolding

techniques).


(17)

28 j. Banyak sumber belajar yang tersedia (Donovan et al, 1999) dalam Asri

Widowati, 2015.

Sedangkan menurut pendapat Lombardi (2007: 3-4) Authentic

learning memiliki elemen pembelajaran yaitu:

1) Kontekstual (pembelajaran berhubungan dengan dunia nyata). 2) Investigasi

Investigasi dilakukan dalam upaya menyelesaiakan masalah yang dihadapi.

3) Variasi sumber belajar

Aktifitas otentik memberikan kesempatan peserta didik menyelesaiakan tugas dengan menggunakan berbagai sumber belajar.

4) Kolaborasi

Kesuksesan peserta didik dalam belajar tidak dapat dicapai secara individual tetapi mengkolaborasikan dengan tugas-tugas yang ada di dunia nyata.

5) Refleksi

6) Produk yang kreatif

Authentic inquiry learning mengkolaborasi inquiry dan authentic

learning. Menurut W.Gulo (2008: 84-85) mengemukakan bahwa inquiry

adalah rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan kemampuan peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, dan analitis, sehingga dapat merumuskan sendiri


(18)

29 penemuannya dengan penuh percaya diri. Sedangkan Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2001: 142) menyatakan bahwa inkuiri yang disebut juga “penemuan” merupakan cara penyajian pelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru.

Pendekatan inkuiri merupakan salah satu bentuk pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered). Ciri utama yang dimiliki oleh pendekatan inkuiri yaitu menekankan kepada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menemukan (menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar), seluruh aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief) serta mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental (Wina Sanjaya, 2009: 196-197).

Pada hakikatnya inquiry merupakan suatu proses. Proses inquiry adalah sebagai berikut


(19)

30 Hasil penelitian sudah mengindikasi penerapan inkuiri pada pembelajaran IPA mempunyai efek positif pada hasil kognitif, kemampuan proses, dan sikap terhadap IPA. Inkuiri adalah salah satu pendekatan pembelajaran dengan cara guru menyuguhkan suatu peristiwa kepada peserta didik yang menimbulkan teka-teki, dan memotivasi peserta didik untuk mencari pemecahan masalah. Untuk authentic inquiry

learning maka peristiwa ataupun masalah yang disajikan berkaitan erat

dengan kehidupan nyata peserta didik (Asri Widowati, dkk, 2015: 11).

Berdasarkan penjelasan tentang authentic learning dan inquiry dapat disimpulkan bahwa pendekatan authentic inquiry learning adalah pendekatan yang melibatkan peserta didik untuk mencari dan menyelidiki permasalahan yang diangkat dari kehidupan nyata sehari-hari.

6. Kemampuan Problem Solving

Menurut Hunsaker pemecahan masalah (problem solving) didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. W.Gulo (2008: 113) mendefinisikan problem solving adalah proses memikirkan dan mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapi. Sementara menurut Mu‟Qodin mengatakan bahwa problem solving adalah merupakan suatu keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang dicapai dan pada


(20)

31 akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

Menurut Antony & Susan (2011: 231) problem solving adalah kemampuan untuk menyelesaiakan masalah sesuai dengan tujuan yang diinginkan dengan proses berpikir yang lebih tinggi. Langkah –langkah

problem-solving yang dilakukan adalah sebagai berikut:

(1) Mengidentifikasi atau mengenali masalah

Pada tahap ini disajikan permasalahan, dan peserta didik mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan.

(2) Merumuskan masalah

Setelah penyajian masalah, peserta didik diharapkan mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang baik sesuai dengan konteks permasalahan yang muncul pada penyajian masalah

(3) Menemukan solusi alternative

Peserta didik setelah merumuskan masalah, mereka diharapkan mampu memberikan 2 atau lebih penyelesaian masalah.

(4) Memilih solusi slternatif terbaik

Peserta didik diharapkan memilih solusi terbaik dengan pertimbangan yang mereka miliki dari solusi alternative yang telah mereka temukan.

Pemecahan masalah berdasarkan Wina Sanjaya (2009: 216-218) dapat ditinjau dari aspek sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Aspek dan Indikator Kemampuan Problem Solving

No Aspek Indikator

1. Merumuskan masalah Mengetahui adanya kesenjangan

Memfokuskan pada masalah yang akan dikaji Menemukan prioritas masalah

Menggunakan pengetahuan untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis masalah

2. Merumuskan hipotesis Menentukan penyebab masalah

Menentukan alternative jawaban sementara terhadap masalah


(21)

32

No Aspek Indikator

3. Mengumpulkan data Mengumpulkan data

Memilih data, memetakan data, dan menyajikan data dalam berbagai tampilan

4. Pengujian hipotesis/ menarik kesimpulan

Menelaah data

Membahas data dan melihat hubungan dengan masalah yang dikaji

Membuat simpulan

5. Alternatif/ rekomendasi pemecahan masalah

Menentukan solusi penyelesaian masalah yang mungkin dapat dilakukan

Memprediksi kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan solusi yang diambil

Berdasarkan dari beberapa definisi problem solving yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa problem solving

merupakan suatu keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif sehingga dapat mengambil suatu tindakan keputusan untuk mencapai sasaran.

Terkait dengan pengertian problem solving tadi bila dikaitkan dengan pembelajaran maka mempunyai pengertian sebagai proses pendekatan pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk menyelesaikan masalah, dimana masalah yang harus diselesaikan tersebut bisa dibuat-buat sendiri oleh pendidik dan ada kalanya fakta nyata yang ada dilingkungan kemudian dipecahkan dalam pembelajaran dikelas. Langkah-langkah problem solving yang digunakan pada penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, menemukan solusi alternative, dan memilih solusi alternative terbaik.


(22)

33 7. Sikap Ingin Tahu

Pada sebuah kegiatan pembelajaran, sikap positif peserta didik sangat diperlukan untuk mendorong kemampuan peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Adanya sikap positif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran tentang sesuatu yang belum diketahui dapat mendorong peserta didik untuk belajar mencari tahu. Peserta didik mengambil sikap seiring dengan minatnya terhadap suatu objek. Peserta didik mempunyai keyakinan dan pendirian tentang apa yang seharusnya dilakukannya. Slameto (2010: 188) berpendapat bahwa sikap dapat diartikan sebagai kemampuan internal yang berperan dalam mengambil tindakan.

Sikap itulah yang mendasari dan mendorong ke arah perbuatan belajar, sehingga sikap peserta didik dapat dipengaruhi oleh motivasi dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Sikap yang dikembanggkan dalam IPA merupakan sikap ilmiah yang biasa disebut

scientific attitude. Harlen (2002: 73) menyatakan bahwa sikap ilmiah

merupakan komponen dalam kegiatan inkuiri. Pengelompokan sikap ilmiah menurut Gega (1977: 77) dalam Patta Bundu mengemukakan empat sikap pokok yang harus dikembangkan dalam Sains yaitu, (a)

curiosity (sikap ingin tahu), (b) inventiveness (sikap penemuan), (c)

critical thinking (sikap berpikir kritis), (d) persistence (sikap ketekunan).

Sedangkan menurut Herlen (1996) dalam Patta Bundu (2006: 140) pengelompokkan sikap ilmiah yaitu sikap ingin tahu, sikap respek


(23)

34 terhadap fakta, sikap berpikir kritis, sikap penemuan dan kreativitas, sikap berpikiran terbuka dan kerjasama, sikap ketekunan, dan sikap peka terhadap lingkungan sekitar.

Salah satu sikap ilmiah yaitu sikap ingin tahu. Sikap ingin tahu (curiosity) mungkin termasuk ‟kategori umum‟ yang bisa mencakup sikap yang lainnya. Keiingin tahunan akan mendorong peserta didik untuk mendapatkan pengalam baru dan belajar terhadap apa yang ada di sekitarnya (Patta Bundu, 2006: 40). Menurut Arifin (2006: 4), sikap ingin tahu diwujudkan dengan bertanya-tanya tentang berbagai hal. Sikap ingin tahu (curiosity) mendorong akan penemuan sesuatu yang baru. Ciri-ciri yang dapat di amati dalam sikap ingin tahu yaitu menggunakan beberapa alat indera untuk menyelidiki materi dan organisme, mengajukan pertanyaan tentang obyek dan peristiwa, dan memperlihatkan minat pada hasil percobaan.

Pengukuran sikap ingin tahu peserta didik dapat didasarkan pada pengelompokkan sikap sebagai dimensi sikap yang selanjutnya dikembangkan indikator-indikator. Dimensi dan indikator sikap ingin tahu yang dikembangkan Herlen dalam Patta Bundu (2006: 141) yaitu antusias mencari jawaban, perhatian pada obyek yang diamati, antusias pada proses Sains dan menanyakan setiap langkah kegiatan.


(24)

35 B. Kajian Keilmuan

a. Materi IPA “Zat Aditif pada Makanan” 1) Pengertian Zat Aditif Makanan

Zat aditif makanan juga didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu (Permenkes RI No. 329/Menkes/PER/XII/76). Sedangkan menurut Permenkes RI No. 033 Tahun 2012 zat aditif makanan (bahan tambahan pangan) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Menurut Regina Tutik Padmaningrum (2009: 2) zat aditif makanan dapat digolongkan menjadi dua yaitu: a) aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya, dan b) aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan. Bila dilihat dari sumbernya, zat aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain-lain, dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia, maupun sifat metabolismenya seperti karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikan ada kelemahannya yaitu


(25)

36 sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogen yang dapat merangsang terjadinya kanker pada manusia.

2) Tujuan Penggunaan Zat Aditif

Menurut Regina Tutik Padmaningrum (2009: 2) tujuan penambahan zat aditif secara umum adalah untuk: a) meningkatkan nilai gizi makanan, b) memperbaiki nilai sensori makanan, c) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan, d) selain tujuan-tujuan tersebut, zat aditif sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru habis operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.

3) Penggolongan Zat Aditif Berdasarkan Fungsinya

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 33 Tahun 2012 menggolongkan zat aditif yang digunakan dalam pangan menjadi beberapa golongan, yaitu Antibuih (Antifoaming agent), Antikempal (Anticakng agent), Antioksidan (Antioxidant), Bahan pengkarbonasi (Carbonaating agent), Garam pengelmusi (Emulsifying

salt), Gas untuk kemasan (Packaging gas), Humektan (Humectant),

Pelapis (Glazing agent), Pemanis (Sweetener), Pembawa (Carrier), Pembentuk gel (Gelling agent), Pembuih (Foaming agent), Pengatur keasaman (Acidity regulator), Pengawet ( Preservative), Pengembang (Raising Agent ), Pengemulsi (Emulsifier), Pengental (Thickener),


(26)

37 Pengeras (Firming agent), Penguat Rasa (Flavour agent), Peningkat volume (Bulking agent), Penstabil (Stabilizar), Peretensi warna (Colour retention agent), Perisa (Flavouring), Perlakuan tepung (Flour

treatment agent), Pewarna (Colour), Propelan (Propellant), Sekuestran

(Sequestrant)

Penelitian ini akan dibatasi pada zat aditif pewarna, pemanis, pengawet, dan penyedap.

a) Pewarna

Zat pewarna merupakan zat aditif makanan yang digunakan untuk mempertajam atau menyeragamkan warna memudar akibat pengolahan, sehingga dapat meningkatkan daya tarik dari produk tersebut (Supli Effendi, 2012: 131). Menurut Kemdikbud (2014: 171) zat pewarna dibedakan menjadi 2 yaitu zat pewarna alami dan zat pewarna buatan. Pewarna alami adalah pewarna yang dapat diperoleh dari alam, misalnya dari tumbuhan dan hewan.

Pewarna alami memiliki keunggulan, yaitu umumnya lebih sehat untuk dikonsumsi daripada pewarna buatan. Namun pewarna makanan alami memiliki beberapa kelemahan, yaitu cenderung memberikan rasa dan aroma khas yang tidak diinginkan, warnanya mudah rusak karena pemanasan, warnanya kurang kuat (pucat) dan macam warnanya terbatas. Sedangkan pewarna buatan memiliki beberapa keunggulan yaitu harganya murah, praktis dalam penggunaan, warnanya lebih kuat, macam warnanya lebih banyak,


(27)

38 dan warnanya tidak rusak karena pemanasan. Penggunaan bahan pewarna buatan untuk makanna harus melalui pengujian yang ketat untuk kesehatan konsumen.

Contoh-contoh dari zat pewarna makanan alami dan pewarna buatan yang digunakan pada makanan adalah sebagai berikut. Tabel 2. Contoh-Contoh Zat Pewarna

Contoh Pewarna Alami Contoh Pewarna Buatan Anato (oranye) Biru berlian (biru)

Karamel (coklat hitam) Coklat HT (coklat) Beta karoten (kuning) Eritrosit (merah) Klorofil (hijau) Hijau FCF (hijau) Sumber: Suppli Effendi (2012: 133)

b) Pemanis

Gambar 3. Pewarna Alami

Sumber: Dokumen Kemdikbud Gambar 4. Pewarna Sintetis Sumber: Dokumen Kemdikbud

Gambar 5. Pemanis Alami Gambar 6. Pemanis Buatan pada Permen


(28)

39 Pemanis merupakan komponen bahan pangan, baik pemanis alami maupun sintetis merupakan senyawa yang memberikan persepsi rasa manis, tetapi tidak mempunyai nilai gizi atau disebut

non-nutritive sweeteners (Supli Effendi, 2012: 129). Zat pemanis

dibedakan (1) Pemanis nutritif (menghasilkan kalori), berasal dari tanaman (sukrosa/gula tebu, gula bit, xylitol, dan fruktoda), dari hewan (laktosa dan madu), dan hasil penguraian karbohidrat (sirup glukosa, dekstrosa, sorbitol) serta (2) pemanis nonnutritif (tidak menghasilkan kalori), berasal dari tanaman (steviosida), dari kelompok protein (miralin, monellin, thaumatin). Pemanis buatan tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi, contohnya sakarin (kemanisannya 500x gula), dulsin (kemanisannya 250x gula), dan natrium siklamat (kemanisannya 50x gula), dan sorbitol (Regina Tutik Padmaningrum, 2009: 5). Penggunaan sakarin yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan tubuh manusia, misalnya menimbulkan kanker.


(29)

40 c) Pengawet

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan in dapat menghambar atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba (Supli Effendi, 2012: 126). Daya tahan bahan makanan dapat diperpanjang melalui pengawetan bahan pangan. Pengawetan bahan makanan dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi. Pengawetan bahan makanan secara fisik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pemanasan, pendinginan, pembekuan, pengasapan, pengalengan, pengeringan, dan penyinaran.Pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi atau peragian, dan penambahan enzim, misalnya enzim papain dan bromelin. Pengawetan secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet yang diijinkan, contohnya asam benzoate, asam propinat, asam sorbet dan lain sebagainya. (Kemdikbud, 2014: 177).

Gambar 7. Bolu kukus berjamur dan roti tawar Sumber: Dokumen Kemdikbud


(30)

41 Jenis zat pengawet ada dua, yaitu GRAS (Generally

Recognized as Safe) dan ADI (Acceptable Daily Intake). GRAS

aman dan tidak berefek toksik, misalnya garam, gula, lada, dan asam cuka. ADI merupakan jenis pengawet yang diijinkan dalam buah-buahan olahan demi menjaga kesehatan konsumen. Cara kerja bahan pengawet terbagi menjadi dua, yaitu sebagai antimikroba dan sebagai antioksidan. Sebagai antimikroba artinya menghambat pertumbuhan kuman dan sebagai antioksidan maksudnya mencegah terjadinya oksidasi terhadap makanan sehingga tidak berubah sifatnya, contohnya mencegah makanan berbau tengik(Regina Tutik Padmaningrum, 2009: 6).

d) Penyedap

Gambar 8. Bawang Putih (A), Gula (B), dan Garam Dapur (C) Sebagai Penyedap Rasa Alami

Sumber: Dokumen Kemdikbud

Penyedap adalah suatu zat sebagai bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam makanan yang dapat memperkuat rasa dan aroma. Fungsi bahan penyedap dalam makanan bersifat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau lebih diterima dan menarik oleh konsumen. Zat penyedap ini dapat berasal dari senyawa alami seperti bawang putih, ekstrak tanaman atau sari buah, minyak esensial dan oleoresin. Sedangkan senyawa sintetis


(31)

42 berasal dari sintetis zat-zat kimia seperti MSG. Penyedap rasa dan aroma yang banyak digunakan berasal dari bahan alami adalah jeruk, berbagai macam rempah, minyak atsiri, oleoresin dari tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah. Golongan tiruan atau identik alami yang dibuat secara sintetis dan bahannya merupakan campuran bahan kimia adalah amil asetat merupakan aroma pisang, amil kaproat merupakan aroma rasa apel, etil butirat merupakan aroma rasa nenas, serta vanilin aroma rasa vanili (Supli Effendi, 2012: 129).

4) Zat Aditif Berbahaya bagi Kesehatan

Pada era modern ini tentu tidak bisa terlepas dari yang namanya zat aditif makanan. Produsen makanan menambahkan zat aditif ke dalam makanannya untuk meningkatkan daya tarik konsumen. Masalah keamanan makanan ini telah menjadi perhatian besar pemerintah dan masyarakat karena kenyataan menunjukkan banyaknya kasus keracunan telah terjadi pada masyarakat akibat mengkonsumsi makanan yang tidak aman atau tidak sehat.

Keberadaan zat aditif makanan juga membuka peluang adanya praktik kecurangan dalam dunia pangan. Seringnya penggunaan zat aditif yang dapat memperbaiki penampilan suatu produk, ternyata digunakan untuk memanipulasi berbagai produk pangan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Beragam kasus praktik penggunaan zat aditif yang seharusnya tidak terjadi, tetapi pada kenyataannya masih


(32)

43 sering terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kaitan motif ekonomi dibalik kondisi tersebut. Ketidakpahaman akan sifat dan karakteristik zat aditif makanan juga bisa menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya. Permasalahan utama dari penggunaan zat aditif pada makanan lebih terletak pada masalah etika dan dosis. Selama zat aditif pada makanan yang digunakan masih sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik kegunaannya serta sesuai takaran yang benar, maka tidak akan menimbulkan permasalahan (Hanny Wijaya dan Noryawati Mulyono, 2010: 10). Banyak produsen “nakal” yang sengaja manambahkan zat aditif berbahaya ke dalam produk makanannya. Diantara zat aditif berbahaya yang sering ditemukan pada olahan bahan makanan adalah boraks, formalin, dan pewarna tekstil.

a) Boraks

Gambar 9. Bahan Pengawet Boraks Sumber: Kaskus.id

Boraks sebenaranya sudah lama digunakan sebagai pengawet makanan, tetapi sejak tahun 1925 penggunaan boraks untuk makanan tidak lagi dibolehkan. Pada saat Perang Dunia ke-2 berlangsung, larangan tersebut dilonggarkan dan boraks kembali diizinkan penggunaannnya untuk mengawetkan minyak


(33)

44 babi dan margarin. Namun pada tahun 1959, Food Standard

Committee kembali melarang penggunaan boraks karena

pengawet boron dikategorikan sebagai bahan yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kumulatif atau dapat menimbulkan efek dengan penambahan berturut-turut dari boraks yang tentu saja dapat membahayakan tubuh manusia (Alsuhendra dan Ridawati, 2013: 184).

Boraks merupakan senyawa kimia berbentuk serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, memiliki pH sekitar 9.5, memiliki berat molekul 381.37, titik lebur dari bentuk kristal 7430C, dan densitas 1,73 g/cm3. Boraks adalah senyawa hidrat dari garam natrium tetraborat dekahidrat (Na2B4O7.10H2O). Boraks mengandung unsur logam berat boron (B), sehingga boraks disebut sebagai senyawa kimia turunan boron. Struktur kimia boraks yaitu:

Secara alami, boraks berasal dari tambang alam di daerah batuan mineral yang mengandung boraks, seperti batuan kemite, batuan colemanite, atau batuan ulexit. Boraks ini dapat

Gambar 10. Rumus Struktur Kimia Boraks Sumber: urip.wordpress.com


(34)

45 membunuh berbagai mikroorganisme pengganggu atau pembusuk, sehingga boraks banyak digunakan dalam industri tekstil untuk mencegah timbulnya jamur. Boraks digunakan pula sebagai insektisida untuk membunuh semut, kecoa, dan lalat.

Di pasaran boraks diperdagangkan dalam bentuk balok padat, kristal, tepung berwarna putih kekuningan, atau dalam bentuk cairan tidak berwarna. Bagi masyarakat, boraks dibeli untuk dijadikan sebagai zat aditif dalam pembuatan bakso, mi basah, siomay, lontong, ketupat, gendar nasi, maupun kerupuk. Pada beberapa keadaan, makanan yang mengandung boraks dapat dengan mudah dibedakan dengan makanan yang tidak mengandung boraks. Beberapa ciri fisik makanan yang mengandung boraks adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Ciri Bahan Makanan yang Mengandung Boraks No. Jenis Makanan Ciri-Ciri Fisik 1 Mi Basah Tekstur kenyal

Lebih mengkilap Tidak lengket Tidak cepat putus 2 Bakso Tekstur sangat kenyal

Warna tiak kecokelatan seperti pengguaan daging, tetapi lebih cenderung keputihan Bila digigit akan kembali seperti semula Mamantul jika dilempar ke lantai Bau tidak alami, tercium bau lain Lebih awet

3 lontong Teksturnya sangat kenyal

Rasa tajam, seperti sangat gurih dan menimbulkan rasa getir.


(35)

46 Gambar 11. Bakso dengan

Boraks terlihat berwarna keputihan

Sumber :

http://ekafitriani275.blogspot.c om

Gambar 12. Bakso Tanpa Boraks Berwarna Kecokelatan

Sumber:

http://alfiansyahr.blogspot.com

Efek negatif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi boraks dalam jumlah sedikit tidak terlihat secara langsung, tetapi bersifat jangka panjang setelah boraks menumpuk di dalam tubuh. Boraks memiliki efek karsinogenik, menyebabkan gangguan pada otak hati, dan ginjal, serta berbahaya bagi susunan saraf pusat. Oleh karena itu, boraks dilarang pengunaannya oleh pemerintah dan dimasukkan dalam golongan senyawa yang disebut bahan berbahaya dan beracun (B3) (Alsuhendra dan Ridawati, 2013: 197).

Dalam pengidentifikasian boraks pada makanan jika boraks direaksikan dengan kurkumin akan menghasilkan senyawa berwarna merah yang disebut rososiania membentuk reaksi:

Boraks + Kurkumin → Rosocyanine Na2B4O7 + C21H20O6 → B[C21H19O6]2Cl


(36)

47 b) Formalin

Gambar 13. Bahan Pengawet Formalin Sumber: Kaskus.id

Formalin merupakan larutan yang dibuat dari 37% formaldehida dalam air. Larutan formalin biasanya ditambahkan alkohol (metanol) sebanyak 10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formaldehida tidak mengalami polimerisasi. Formaldehida sebagai bahan utama dari formalin merupakan bentuk senyawa aldehida yang paling sederhana. Formaldehida memiliki rumus molekul CH2O dan berat molekul sebesar 30.03 (Alsuhendra dan Ridawati, 2013: 200).

Formalin merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas antimikroba karena dapat membunuh bakteri, bahkan virus. Formaldehida yang ada dalam formalin bereaksi dengan protein sehingga akan mengurangi aktivitas mikroba. Kegunaan dari formalin antara lain adalah sebagai berikut.

i) Pembasmi atau pembunuh kuman sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian.


(37)

48 ii) Dalam bentuk gas, formalin sering digunakan penjual tekstil

untuk mencegah tumbuhnya jamur atau rengat. iii) Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. iv) Pengeras lapisan gelatin dan kertas.

v) Sebagai antiseptik untuk mensterilkan peralatan kedokteran. vi) Mengawetkan spesimen Biologi, termasuk mayat.

Berbagai hasil survei dan penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa banyak produsen makanan, terutama makanan jajanan, yang menggunakan formalin untuk mengawetkan bahan makanan. Padahal, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, formalin merupakan salah satu jenis bahan tambahan yang tidak boleh digunakan untuk makanan.

Bahan makanan yang mengandung formalin memiliki ciri yang dapat dibedakan secara jelas dengan bahan makanan yang tidak mengandung formalin. Beberapa ciri bahan makanan yang mengandung formalin adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Ciri Bahan Makanan yang Mengandung Formalin No. Jenis

Makanan

Ciri-Ciri Fisik 1 Ayam potong Warna putih bersih

Tidak mudah busuk sampai 2 hari pada suhu kamar

Tidak disukai lalat

2 Bakso Tidak rusak sampai 5 hari pada suhu kamar

Tekstur sangat kenyal

3 Ikan basah Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar


(38)

49 No. Jenis

Makanan

Ciri-Ciri Fisik

Insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang

Warna daging putih bersih Tekstur daging kaku Tidak mudah dipotong

Bau menyengat khas formalin 4 Ikan asin Warna ikan bersih dan cerah

Tidak berbau khas ikan asin

Tidak dihinggapi lalat pada tempat banyak lalat

5 Tahu Kenyal tetapi tidak padat Tidak mudah hancur Tidak tercium bau kedalai Bau menyengat khas formalin 6 Mi basah Bau menyengat

Kenyal

Tidak mudah putus Tidak lengket Agak mengkilap

(Sumber : Alsuhendra dan Ridawati, 2013: 207).

Akibat yang ditimbulkan oleh formalin bergantung pada kadar formalin yang terakumlasi di dalam tubuh. Semakin tinggi kadar formalin yang terakumulasi di dalam tubuh, semakin parah pula akibat yang ditimbulkan. Dampak yang terjadi adalah mulai dari terganggunya fungsi sel hingga kematian sel yang selanjutnya menyebabkan kerusakan pada jaringan dan organ tubuh. Pada tahap selanjutnya dapat pula terjadi penyimpangan dari pertumbuhan sel atau sel-sel tumbuh menjadai tidak wajar. Sel-sel tersebut akhirnya berkembang menjadi sel kanker.

c) Pewarna Tekstil

Kenyataan menunjukkan masih banyak produsen menggunakan bahan pewarna terlarang untuk mengolah makanan,


(39)

50 meskipun pemerintah telah menetapkan jenis bahan pewarna yang tidak diizinkan penggunaannya untuk makanan. Pewarna yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah diantaranya adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Daftar Pewarna yang Dilarang Penggunaannya pada Makanan

No. Bahan Pewarna Nomor Indeks

Warna (CI No.) 1 Auramine (C.I BasicYellow2) 41000

2 Alkanet 75520

3 ButterYellow (C.I SolventYellow2) 11020 4 Black 7984 (FoodBlack2) 27755 5 Burn Unber (Pigmen Brown7) 77491 6 Chrysoidine (C.I.BasicOrange2) 11270 7 ChrysoineS (C.IfoodYellow8) 14270 8 Magenta (C.IbasicViolet14) 32510

9 Metanil Yellow 13065

10 Rhodamin B 45170

(Alsuhendra dan Ridawati, 2013: 237).

Larangan terhadap penggunaan sejumlah bahan pewarna disebabkan oleh bahan pewarna tersebut bukanlah bahan pewarna yang digunakan untuk makanan, tetapi merupakan bahan pewarna tekstil. Karena itu, apabila masuk ke dalam tubuh, bahan pewarna tersebut akan manimbulkan risiko bahaya bagi kesehatan. Efek negatif yang ditimbulkan mungkin tidak dapat dilihat dalam jangka waktu dekat.


(40)

51 C. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan Putri Anjarsari dengan judul Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Terpadu untuk Meningkatkan Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah Peserta Didik dengan Pendekatan Inkuiri. Berdasarkan hasil validasi, uji coba terbatas dan uji coba lapangan menghasilkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan inkuiri dan dapat meningkatkan keterampilan proses serta sikap ilmiah peserta didik.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Wafiyyah imaningrum dengan judul Pengembangan LKS Terpadu “Perubahan Energi dalam tubuhku” dengan Menggunakan Penekatan Guided Inquiry untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir kritis dan Sikap Ilmiah Peserta Didik. Berdasarkan hasil uji coba, LKS yang dikembangkan dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik. Kelayakan LKS yang disusun berdasarkan penilaian validator ditinjau dari aspek kesesuaian isi, kesesuaian syarat konstruksi, dan kesesuaian syarat teknis yang menunjukkan hasil Sangat Baik.

3. Penelitian yang dilakukan Asri Widowati dengan judul Pengembangan Bahan Ajar IPA Berpendekatan Authentic Inquiry Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving dan Sikap Ilmiah Peserta Didik SMP. Kelayakan Bahan ajar berupa LKPD yang disusun


(41)

52 berdasarkan penilaian validator diperoleh skor rat-rata 3,65 dan berada pada kategori Sangat Baik. LKPD IPA yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran ditinjau dari aspek materi, bahasa, penyajian, kegrafisan serta dapat mengembangka kemampuan problem solving dan sikap ilmiah peserta didik.

D. Kerangka Berpikir

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkitan dengan cara mencari tahu tentang lama secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip melainkan suatu proses penemuan dan pengembangan. IPA sebagai ilmu yang didalamnya dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, sikap ilmiah, dan aplikasinya dalam teknologi dan masyarakat sebagai hakikatnya. Atas dasar- dasar tersebut seharusnya perkembangan pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik sebagai subyek pendidikan dan pusat proses pembelajaran menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Mempelajari IPA menjadi bermakna manakala pengetahuan dicari dan ditemukan sendiri oleh peserta didik. Dengan demikian pembelajaran dapat mengaktifkan peserta didik (student centered).

Berdasarkan hasil observasi di SMP N 2 Imogiri, banyak permasalahan muncul dalam membelajarkan IPA. Permasalahan tersebut diantaranya pembelajaran IPA di SMP N 2 Imogiri masih berpusat pada guru (teacher centered) yang kurang melibatkan peran aktif siswa. Kemudian


(42)

53 kemampuan problem solving sebagai salah satu kompetensi yang harus dikembangkan pada abad 21 ini belum berkembang sehingga mengakibatkan peserta didik pintar secara teoritis saja, tetapi mereka miskin aplikasi. Selain itu, peserta didik sering gagal memecahkan masalah jika konteks masalah sedikit diubah. Sikap ingin tahu juga belum ditekankan dalam pembelajaran IPA. Hal ini dikarenakan pembelajaran masih bersifat konvensional belum mengarah ke proses penyelidikan atau inkuiri. Dengan demikian, untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan strategi pembelajaran atau pendekatan pembelajaran yang inovatif yaitu pendekatan authentic learning dan pendekatan inquiry. Authentic learning terjadi ketika guru menyediakan kesempatan belajar bermakna dan sesuai untuk mendorong peserta didik aktif berinkuiri, problem solving, berpikir kritis, dan melakukan refleksi tentang masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan inquiry untuk membelajarkan peserta didik sebagai seorang ilmuwan yang mampu memotivasi peserta didik menjadi pemikir, ingin tahu, bekerja sama dan

problem solver.

Permasalahan lain yang muncul adalah ketersediaan bahan ajar IPA yang berupa LKPD berpendekatan authentic inquiry learning belum ada. Hal ini yang menjadi kendala karena LKPD diperlukan untuk mendukung pencapaian kompetensi pembelajaran dan pengimplementasian strategi ataupun pendekatan pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti ingin mengembangkan LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning untuk


(43)

54 menumbuhkan kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik SMP.

Dengan adanya pengembangan LKPD IPA berpendekatan authentic

inquiry learning diharapkan mampu menyelesaikan persoalan pembelajaran

yang muncul. LKPD ini dirancang semenarik mungkin sehingga diharapkan peserta didik SMP tertarik untuk mempelajarinya. Pengembangan LKPD ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana pendukung proses pembelajaran IPA, sehingga dapat menumbuhkan kemampuan problem

solving dan sikap ingin tahu peserta didik. Kerangka berpikir peneliti dapat


(44)

55

Permasalahan yang ditemukan

Gambar 14. Kerangka Pikir Penelitian

1. Proses pembelajaran IPA yang digunakan di kelas masih berpusat pada

guru (teacher centered).

2. Kurangnya bahan ajar untuk peserta didik. LKPD yang digunakan masih terbatas LKPD yang terdapat pada buku paket.

3. LKPD yang digunakan belum menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu, sehingga perlu adanya inovasi LKPD salah satunya LKPD berpendekatan authentic inquiry learning.

4. Dibutuhkan pengembangan LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry

learning sebagai sarana pendukung proses pembelajaran untuk

menumbuhkan kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik.

Akibatnya

Kemampuan Problem solving peserta didik dalam pembelajaran IPA belum dikembangkan secara maksimal

Sikap ingin tahu peserta didik dalam pembelajaran IPA belum dikembangkan secara maksimal

Upaya yang dilakukan

Perlu dikembangkan bahan ajar berupa LKPD IPA berpendekatan authentic

inquiry learning untuk menumbuhkan kemampuan problem solving dan

sikap ingin tahu peserta didik.

Pengembangan LKPD IPA Berpendekatan Authentic Inquiry Learning

untuk Menumbuhkan Kemampuan Problem Solving dan Sikap Ingin

Tahu Peserta Didik SMP Kelas VIII.


(45)

56 BAB III

METODE PENELITIAN A. Model Pengembangan

Model pengembangan Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD) berpendekatan aunthentic inquiry learning ini merupakan desain Research

and Development (R & D). Penelitian pengembangan ini melalui

pembuatan LKPD pada materi Zat Aditif pada Makanan untuk kelas VIII SMP. Pengembangan dilaksanakan secara bertahap sesuai model penelitian. Penggunaan model penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan produk berupa LKPD yang baik dan layak digunakan. B. Prosedur Pengembangan

Pengembangan LKPD perlu dilakukan secara sistematik berdasarkan langkah-langkah yang saling terkait sehingga dapat dihasilkan LKPD yang baik dan bermanfaat. Menurut Thiagarajan dan Semmel dalam Trianto (2012) ada empat langkah utama dalam prosedur pengembangan yang disebut model 4-D, yaitu define, design, develop, dan

disseminate.

Prosedur pengembangan LKPD berpendekatan authentic

inquiry learning ini mengacu pada prosedur pengembangan 4-D yang


(46)

57 Gambar 15. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D

(Sumber: Modifikasi dari Thiagarajan dalam Trianto, 2012) Define

Develop Design

Analisis Awal

Analisis Konsep Analisis Tugas

Analisis Tujuan Pembelajaran Analisis Peserta Didik

Penyusunan Instrumen

Pemilihan Media

Pemilihan Format

Rancangan LKPD IPA

Uji Coba Pengembangan Validasi Dosen Ahli dan Guru IPA

Produk LKPD Akhir

Revisi I (Draft II) Dosen Pembimbing

Revisi II (Draft III)

Draft I


(47)

58 Model pengembangan di atas, terdiri dari empat tahapan yaitu:

1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tahap pendefinisian ini bertujuan untuk menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan yang dihadapi dalam pembelajaran IPA. Tahap pendefinisian mencakup lima langkah pokok yaitu analisis awal, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis konsep dan analisis tujuan pembelajaran.

a. Analisis Awal

Pada tahap analisis awal ini, peneliti mengumpulkan informasi-informasi tentang kegiatan pembelajaran di lapangan. Informasi tersebut sebagai dasar penyusunan LKPD. Pengumpulan informasi dilakukan peneliti dengan cara melakukan observasi lapangan di SMP N 2 Imogiri kemudian menyusun rancangan pembelajaran yang akan dikembangkan berdasarkan masalah yang ada di lapangan.

b. Analisis Peserta Didik

Analisis peserta didik dilakukan untuk mengetahui tingkah laku awal dan karakteristik peserta didik yang akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan model/ pendekatan/ metode/ media pembelajaran yang sesuai yang meliputi, kemampuan akademik, perkembangan kognitif, keterampilan-keterampilan peserta didik dan pengalaman, baik individu maupun kelompok. Dari analisis ini ditentukan sasaran pengguna LKPD hasil pengembangan adalah peserta didik SMP. Tingkah laku awal perlu diidentifikasi untuk


(48)

59 mengetahui keterampilan-keterampilan khusus yang dimiliki peserta didik sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Hasil analisis ini akan digunakan sebagai gambaran untuk menyiapkan perangkat pembelajaran.

c. Analisis Tugas

Tahap analisis tugas dilakukan peneliti untuk mentukan isi materi dan kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran IPA menggunakan LKPD IPA berpendekatan authentic inquiry learning. Penyusunan LKPD berpedoman pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP.

d. Analisis Konsep

Tahap analisis konsep dilakukan dengan mengidentifikasi konsep-konsep utama yang harus dikuasai peserta didik melalui pembelajaran yang dituangkan dalam peta konsep. Kemudian peta konsep yang telah disusun digunakan sebagai dasar penyususnan tujuan pembelajaran.

e. Analisis Tujuan Pembelajaran

Tahap analisis tujuan pembelajaran dilakukan untuk menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan dipelajari. Dalam menyusun LKPD IPA ini, sebelumnya sudah ditentukan tujuan pembelajaran.


(49)

60 2. Tahap Perancangan (Design)

Tujuan dari tahap perancangan ini adalah menemukan cara yang lebih efektif dan efisien untuk mengambangkan rancangan produk awal (Draft I) berdasarkan data-data yang diperoleh pada tahap pendefinisian. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan pada tahap Design yaitu:

a. Pemilihan Bahan Ajar

Bahan ajar yang dikembangkan berdasarkan analisis kebutuhan yang terdapat pada tahap define yaitu bahan ajar yang berpendekatan

authentic inquiry learning dengan mempertimbangkan karakteristik

peserta didik yang belum terlatih berinkuiri dengan LKPD IPA materi Zat Aditif pada Makanan.

b. Pemilihan Format

Pemilihan format dalam LKPD IPA disesuaikan dengan isi materi dan dasar yang digunakan dalam pengembangan LKPD, yaitu disesuaikan dengan pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan Authentic Inquiry Learning yang menekankan pada ranah kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik. Tujuan dari pemilihan format yaitu agar LKPD yang dikembangkan layak untuk digunakan dalam pembelajaran IPA.

c. Penyusunan Instrumen

Instrumen yang disusun pada penelitian ini meliputi instrumen validasi produk LKPD IPA. Instrumen validasi produk bertujuan untuk menilai kelayakan produk LKPD IPA. Selain peyusunan


(50)

61 instrumen validasi produk juga terdapat instrument penilaian hasil uji coba produk untuk mengukur kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik selama menggunakan LKPD IPA dalam pembelajaran.

d. Rancangan Awal

Pada tahap rancangan awal ini digunakan untuk menyusun LKPD IPA Draft I beserta perangkat pembelajaran yang harus disiapkan sebelum uji coba produk dilaksanakan. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar LKPD IPA yang dikembangkan sesuai dengan langkah-langkah dan komponen-komponen yang terdapat dalam rancangan pembelajaran. Rancangan awal perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan pada tahap ini disebut Draft I.

3. Tahap Pengembangan (Develop)

Tahap pengembangan merupakan tahap implementasi dari perencanaan produk yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan produk akhir LKPD IPA yang layak dikembangkan. Tahap ini adalah menghasilkan LKPD yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari para pakar. Para pakar yang dimaksud adalah dosen pembimbing, dosen ahli (media dan materi), dan guru IPA. Penjelasan dari setiap tahap adalah sebagai berikut:

a. Dosen Pembimbing

Setelah diperoleh LKPD IPA Draft I yang dirancang dan dibuat oleh peneliti, kemudian dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen


(51)

62 pembimbing I dan dosen pembimbing II sebelum masuk ke validasi dosen ahli dan guru IPA sehingga akan memperoleh masukan saran dan kritikan dari dosen pembimbing, yang menjadi bekal bagi peneliti untuk merevisi produk yang dikembangkan agar lebih baik. Revisi hasil dari tahap ini akan menghasilkan Draft II kemudian dilakukan penilaian oleh dosen ahli dan guru IPA.

b. Validasi Dosen Ahli dan Guru IPA

LKPD hasil pengembangan sebelum digunakan harus melalui tahap validasi yang bertujuan untuk perbaikan sesuai saran dan masukan dosen ahli (materi dan media), dan guru IPA. Hasil validasi dosen ahli dan guru IPA digunakan sebagai dasar melakukan revisi. Setelah direvisi berdasarkan masukan dan saran maka diperoleh Draft

III yang siap diuji cobakan ke lapangan (uji coba pengembangan).

c. Uji Coba Pengembangan

Uji coba pengembangan dilakukan di SMP N 2 Imogiri dengan peserta didik kelas VIII E. Tujuan dari uji coba yaitu untuk menentukan apakah LKPD IPA yang dikembangkan sudah layak untuk diterapkan dalam menumbuhkan kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik.

4. Tahap Penyebaran (Disseminate)

Tahap Disseminate merupakan tahap akhir dari penelitian pengembangan yang dilakukan oleh peneliti. Tahap ini merupakan tahap untuk menyebarluaskan produk LKPD yang telah dikembangkan,


(52)

63 misalnya di kelas lain, di sekolah lain atau guru lain. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian pengembangan hanya sampai pada tahap diseminasi terbatas kepada guru IPA di SMP N 2 Imogiri.

C. Uji Coba Produk 1. Desain Uji Coba

Desain tinjauan dan penilaian produk LKPD IPA dalam penelitian pengembangan meliputi tiga tahap. Tahap 1 dilakukan oleh dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang menilai rancangan awal peneliti sebagai Draft I, kemudian setelah mendapat masukan untuk perbaikan revisi I akan diperoleh LKPD sebagai Draft II.

Tahap 2 validasi yang dilakukan oleh tiga dosen ahli dan tiga guru IPA untuk menilai Draft II. Setelah produk melewati tahap validasi kemudian dilakukan revisi dari hasil masukan dan saran dosen ahli dan guru IPA. Setelah direvisi II diperoleh Draft III yang akan di uji coba lapangan.

Tahap 3 dilakukan pada saat uji coba lapangan atau uji coba pengembangan Draft III pada pembelajaran IPA. Pada tahap ketiga ini akan diketahui perkembangan kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik dari tiap pertemuan.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pengembangan ini dilaksanakan pada bulan November 2015 tahun pelajaran 2015/ 2016 yaitu pada semester ganjil. Lokasi


(53)

64 penelitian ini di SMP N 2 Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Subjek dan Objek Penelitian a. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah dosen ahli, guru IPA dan peserta didik. Dosen ahli terdiri dari tiga orang dan tiga orang guru IPA. Sedangkan peserta didik terdiri dari 29 anak kelas VIII E SMP N 2 Imogiri untuk melakukan proses pembelajaran dengan LKPD IPA yang dikembangkan dan menguji kelayakan LKPD IPA untuk menumbuhkan kemampuan problem solving dan sikap ingin tahu peserta didik.

b. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah LKPD IPA pada materi Zat Aditif pada Makanan berpendekatan authentic inquiry learning untuk menumbuhkan kemampuan problem solving dan sikap ilmiah peserta didik SMP Kelas VIII.

4. Jenis Data

Dalam penelitian pengembangan ini, data yang diperoleh terdiri dari:

a. Data tingkat kelayakan kualitas LKPD IPA hasil pengembangan berdasarkan saran dan masukan dari tiga dosen ahli dan tiga guru IPA, serta data respon peserta didik terhadap produk LKPD IPA yang dikembangkan.


(54)

65 b. Data tes kemampuan problem solving peserta didik dan hasil observasi kemampuan problem solving selama proses pembelajaran.

c. Data angket dan hasil observasi tentang sikap ingin tahu peserta didik selama proses pembelajaran.

5. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Angket Validasi Produk

Instrumen angket validasi pada penelitian pengembangan ini digunakan untuk memperoleh data dari dosen ahli dan guru IPA SMP sebagai bahan mengevaluasi LKPD IPA yang dikembangkan. Data yang diperoleh ini digunakan untuk mengetahui kelayakan dari produk LKPD IPA yang dikembangkan. Angket validasi ini antara lain digunakan untuk memperoleh data berupa kelayakan produk ditinjau dari komponen kelayakan isi, komponen kebahasaan, komponen penyajian dan komponen kegrafisan. Instrumen angket validasi LKPD IPA disajikan dalam lampiran. Angket ini disusun berdasarkan kisi-kisi instrumen yang terdapat dalam Tabel 5.


(55)

66 Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen Validasi LKPD IPA

Aspek Penilaian

Sub Aspek Penilaian

Indikator Jumlah

butir Kelayakan

Isi

Cakupan materi

1. Kesesuaian dengan kurikulum

8 2. Kesesuaian dengan

tujuan pembelajaran 3. Materi sesuai dengan

potensi lokal sekolah atau daerah 4. Pengungkapan persoalan ilmiah dalam kehidupan sehari-hari 5. Pengungkapan persoalan dapat melatih kemampuan problem solving peserta didik 6. Pengungkapan persoalan dapat mengembangkan sikap ingin tahu peserta didik 7. Kesesuaian dengan

karakter peserta didik 8. Penggunaan variasi

sumber belajar Keakuratan

materi

9. Tidak miskonsepsi (sesuai dengan fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori)

3

10.Keruntutan prosedur sesuai dengan pendekatan inquiry 11.Keruntutan dan

kesesuaian dengan rantai kognitif Ketercakupa n Authentic Inquiry Learning 12.Kontekstual (masalah) 6 13.Investigasi (sesuai

dengan langkah inkuiri)


(56)

67 Aspek

Penilaian

Sub Aspek Penilaian

Indikator Jumlah

butir 15.Produk peserta didik

16.Penggunaan variasi sumber belajar 17.Refleksi Potensi Kemampua n Problem Solving

18.Identifikasi masalah 4 19.Rumusan masalah

20.Alternatif solusi 21.Alternatif solusi

terbaik Potensi Sikap Ingin Tahu Peserta Didik

22.Perhatian terhadap hal baru

5 23.Antusias mencari

jawaban

24.Antusias pada proses sains

25.Bertanya jika belum mengerti

26.Mencari informasi dari sumber

Kebahasaan Lugas 27.Kesesuaian dengan tata kalimat

3 28.Kesesuain istilah

dengan kaedah ilmiah 29.Bahasa mudah

dipahami Kesesuaian dengan Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar

30.Ketepatan tata bahasa 3 31.Ketepatan ejaan

32.Kebakuan istilah , symbol atau lambang

Penyajian

Teknik penyajian

33.Kesesuaian dengan alur berpikir

3 34.Urutan penyajian

kegiatan secara sistematis

35.Pencerminan satu kesatuan kegiatan Pendukung

penyajian materi

36.Kejelasan tabel 2 37.Tabel komunikatif


(57)

68 Aspek

Penilaian

Sub Aspek Penilaian

Indikator Jumlah

butir

memiliki pusat

pandangan

39.Keserasian desain halaman

40.Kejelasan gambar 41.Kejelasan

penggunaan jenis huruf

42.Keproposionalan spasi dan susunan teks

Jumlah 42

Instrumen angket validasi ini disusun menggunakan skala Likert dengan menggunakan lima skala (1-5). Dari skala tersebut akan diperoleh kategori/ tingkat kelayakan LKPD yang dikembangkan pada setiap aspek LKPD IPA yang divalidasi. b. Lembar Observasi Keterlaksanaan Authentic Inquiry Learning

Lembar observasi ini digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran authentic inquiry learning. Instrumen lembar keterlaksanaan pembelajaran dapat dilihat dalam lampiran. Kisi-kisi instrumen keterlaksanaan authentic inquiry learning dapat dilihat dalam Tabel 6.


(58)

69 Tabel 6. Kisi-kisi Keterlaksanaan Authentic Inquiry Learning

Aspek Penilaian Kegiatan Guru

Kegiatan Peserta Didik

Butir Ke- Authentic Inquiry

Kontekstu al (Masalah) Menyajikan permasalahan untuk dipecahkan peserta didik Memperhatika n dan memahami permasalahan yang diberikan 1 Kegiatan Investigasi

Orientasi Menjelaskan pokok bahasan dan kegiatan pembelajaran Memperhatika n pokok bahasan dan kegiatan pembelajaran yang disampaikan 2 Merumus kan Masalah Membimbing peserta didik untuk mengidentifika si dan merumuskan masalah Mengikuti arahan guru untuk mengidentifik asi dan merumuskan masalah 3 Mengaju kan Hipotesis (Dugaan Sementar a) Membimbing peserta didik untuk mengajukan dugaan sementara mengapa permasalahan yang disajikan dapat terjadi Mengajukan dugaan sementara berdasarkan rumusan masalah yang mereka buat 4 Mengum pulkan Data Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan percobaan dan menjawab pertanyan Melakukan percobaan dan berdiskusi membahas permassalaha n yang disajikan 5


(1)

85 Keterangan:

= persentase skor

= jumlah skor yang diperoleh = skor maksimal

(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2008: 235)

5). Lalu data kuantitatif yang berbentuk presentase skor diubah menjadi data kualitatif dengan menggunakan patokan pada Tabel 16.

g. Analisis Angket Sikap Ingin Tahu Peserta Didik

Angket sikap ingin tahu peserta didik setalah menggunakan LKPD IPA yang dikembangkan harus melakukan pengubahan nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif. Pengubahan nilai kualitatif pada angket sikap ingin tahu peserta didik menjadi nilai kuantitatif sesuai dengan ketentuan pada Tabel 17.

Tabel 17. Ketentuan Pengubahan Nilai Kualitatif menjadi Kuantitatif

Pilihan Jawaban Skor Pernyataan

Positif Negatif

Sangat setuju Selalu 4 1

Setuju Sering 3 2

Tidak setuju Jarang sekali 2 3

Sangat tidak setuju Tidak pernah 1 4 (Sumber: Eko Putro Widoyoko, 2009: 236)

Adapun langkah-langkah untuk menganalisis hasil penilaian peserta didik terhadap LKPD IPA yang telah dikembangkan dengan menggunakan angket adalah sebagai berikut:


(2)

86 peserta didik terhadap LKPD.

2) Menghitung jumlah skor pada setiap nomor indikator. 3) Menghitung rata-rata skor pada setiap nomor indikator. 4) Menghitung jumlah skor pada setiap aspek

5) Menghitung jumlah rata-rata tiap aspek.

6) Skor jumlah rata-rata tiap aspek yang bersifat kuantitatif ini diubah menjadi nilai kualitatif dengan berpedoman pada konversi skor menjadi skala lima untuk mengetahui kelayakan kualitas LKPD IPA yang dikembangkan. Adapun acuan pengubahan skor menjadi skala lima tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.


(3)

145 DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Majid. (2013). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Alsuhendra dan Ridawati. (2013). Bahan Toksik dalam Makanan. Bandung : PT Ramaja Rosdakarya.

Andi, Prastowo. (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press.

Anthony J & Sausan M. (2011). Educational Assessment Of Studet Sixth Edition. USA: Pearson.

Arifin, Z., (2006). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Asih, Widi. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara.

Asri Widowati, Sabar Nurrohman & Putri Anjarsari. (2015). Pengembangan Bahan Ajar IPA Berpendekatan Authentic Inquiry Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Problem Solving dan Sikap Ilmiah Peserta Didik SMP. Yogyakarta: UNY.

Bulu, Badjo. (1993). Menulis dan Menerapkan LKS. Ujung Pandang: Depdikbud Sulsel.

Blank, W.E. & Harwell, S. (Eds). (1997). Promising Practices for Connecting High School to the Real World. (Report No. CE 074 042). Tampa, FL: University of South Florida.

BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.

Carin, A.A. & R.B. Sund. (1970). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

Carin, A.A. & Sund, R.B. (1993). Teaching Modern Science. Ohio: Charles E. Merill Publishing Co.

Collete & Chiappetta. (1994). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools. USA: Macmillan Publising Company.


(4)

Depdiknas. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar SMA. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

Dick, W. and Carey, L. (2009). The Systematic Design of Instryction (2nd Ed). Glecview, Illionis: Scot, Foresman and Company.

Djohar. (2006). Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.

Donovan, M. S, Bransford, J. D, dan Pellegrino, J. W. (Eds.). (1999). How people learn: Bridging Research and Practice. Washington, DC: National Academy. Eko Putro Widoyoko. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Eli Rohaeti, Endang Widjajanti LFX,dan Regina Tutik Padmaningrum. (2009). PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) MATA PELAJARAN SAINS KIMIA UNTUK SMP KELAS VII, VIII, dan IX 1. Artikel Penelitian. Yogyakarta:FMIPA UNY.

Ergul, R., et.al. (2011). The Effect of Inquiry Based Science Teaching on Elementary School Students Science Process Skills and Science Attitudes (versi elektronik). Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP), Volume 5, Number 1. Diunduh dari

http://bjsep.org/getfile.php?id=88, pada tanggal 11 November 2015.

P..48.

Hanny Wijaya C., dan Noryawati, Mulyono. (2010). Bahan Tambahan Pangan; Pewarna Spesifikas, Regulasi, dan Aplikasi Praktis. Bogor: IPB Press. Hake, Richard R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. Diunduh dari

www.physics.indiana.edu.

Hendro Darmojo dan Jenny R.E. Kaligis. (1991). Pendidikan IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyak Pembinaan Tenaga Kependidikan.

Harlen, Wynne. (2002). Teaching, Learning and Assessing Science 5-1. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

Kemendikbud. (2014). Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.


(5)

147 Lombardi, M. (2007). Authentic Learning for 21 st Century: An Overview.

Diakses dari http://net.educause.edu.

Muulyani Sumantri & Johar Permana. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya

Munif, Chatib. (2011). Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa.

National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington: National Academy Press.

Ngalim Purwanto. (2002). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

Paidi. (2010). Model Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Biologi di SMA. Prosiding seminar nasional penelitian, pendidikan, dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Patta Bundu. (2006). Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam

Pembelajaran Sains – SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Regina, Tutuk, Padmaningrum. (2009). Makalah Program Pengabdian pada Masyarakat Materi Bahan Aditif dalam Makanan. Makalah Disampaikan pada Kegiatan“Pendidikan dan Pelatihan Kesalahan Konsep dalam Materi IPA Terpadu bagi Guru IPA SMP di Kabupaten Bantul” pada tanggal 24 dan 31 Oktober 2009 di SMP Negeri 4 Pandak Bantul. Diakses tanggal 23 Oktober 2015 pukul 20:10 WIB dari http://staff.uny.ac.id.

Rusman. (2010). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press.

Sherman, Sharon J. & Robert s. Sherman. (2004). Science and science teaching. Boston: Houghton Mifflin Company.

Slamet, Paidi, dan Insih. (2011). Lembar Kerja Siswa. Yogyakarta: UNY.

Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sitiatava Rizema Putra. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: Diva Press.

Sudiarta, P. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran Berorientasi

Pemecahan Masalah Open-Ended berbantuan LKM. Singaraja:


(6)

Suharsimi Arikunto. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Supli Effendi. (2012). Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Bandung : Alfabeta.

Trianto. (2010). Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Trianto. (2012). Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Trowbridge & Bybee. (1986). Becoming a Secondary School Science Teacher. Third Edition. Ohio: A Bell & Howel Company.

W. Gulo. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo

W. Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Webster, Roger. (1998). Studying Literary, An Introduction. London: Edward Arold.

Wina Sanjaya. (2009). Stategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.


Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) PADA PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MEMFASILITASI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA

0 8 100

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS LEARNING CYCLE 5E PADA MATERI ZAT ADITIF DALAM MAKANAN.

0 2 22

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) MATERI ELASTISITAS ZAT PADAT BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK SMA KELAS X.

74 561 292

PENGEMBANGAN POCKET BOOK IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQURY LEARNING YANG BERORIENTASI PADA KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

0 0 73

PENGEMBANGAN E-MODULE IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LERNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII SMP.

0 0 68

PENGEMBANGAN E-MODULE IPA BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LERNING UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN KEMANDIRIAN BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VII SMP.

1 3 68

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD) PADA TEMA “PENCEMARAN AIR” BERPENDEKATAN AUTENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEINGINTAHUAN DAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH PESERTA DIDIK SMP KELAS VII.

0 0 69

PENGEMBANGAN LEMBAR KEGIATAN PESERTA DIDIK (LKPD) IPA DENGAN TEMA “SISTEM TRANSPORTASI MAKHLUK HIDUP” DALAM MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII.

0 1 85

PENGEMBANGAN LKPD IPA MATERI “TEKANANKU, PERHATIANMU” BERPENDEKATAN AUTHENTIC INQUIRY LEARNING UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PROBLEM SOLVING DAN SIKAP INGIN TAHU PESERTA DIDIK SMP.

1 6 80

Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Model Problem-Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Keterampilan Proses IPA dan Sikap Peduli Lingkungan Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama.

1 2 2