Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Yang Dirampas Untuk Negara (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Balige)

17

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua orang dapat dipastikan mengetahui bahwa barang berupa
narkotika adalah terlarang di negeri ini bahkan dunia internasional juga melarang
peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Namun walaupun narkotika
merupakan barang terlarang, tetap saja banyak orang terlibat dalam kasus-kasus
narkotika, baik menanam, mengedarkan, maupun mengkonsumsi narkotika.
Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, di dukung oleh
jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan korban terutama di
kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara.
Menyahlahgunakan narkotika berarti merusak diri sendiri dan menghancurkan
calon-calon pemikir bangsa di masa yang akan datang. Mengapa dikatakan demikian,
hal ini sehubungan dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika itu
sendiri bisa mengakibatkan putusnya sel-sel syaraf otak dan bahkan bisa
menimbulkan kematian. 1 Padahal makna hakiki dari narkotika itu sendiri adalah
“menidurkan”(narcose atau narcosis dari bahasa inggris), tidak merasakan apa-apa


1

M.Arief Hakim, Narkoba Bahaya dan Penanggulangannya, (Penerbit Sinar Grafika,
Bandung: 2007), hal. 5

Universitas Sumatera Utara

18

(narke atau narkam barasal dari bahasa yunani),dan menghilangkan rasa sakit,rasa
nyeri. 2
Namun alasan yuridis yang membuat narkotika menjadi terlarang adalah oleh
karena besarnya dampak buruk (bahaya) yang ditimbulkan dari penyalahgunaan
narkotika terhadap sel- sel syaraf manusia, sehingga narkotika tersebut menjadi
barang

terlarang

untuk


disalahgunakan.

Narkotika

dapat

membelenggu

penyahlahgunaanya untuk menjadi budak setia, tidak bisa meninggalkannya, selalu
membutuhkannya, dan mencintainya melebihi siapapun. Narkotika memiliki 3 (tiga)
sifat jahat yaitu habitual, adiktif, dan toleran.
Sifat habitual dari narkotika adalah membuat penyalahgunaanya (pemakai)
selalu teringat, terkenang dan terbayang sehingga cenderung untuk selalu mencari dan
rindu (seeking), adiktif adalah sifat narkotika yang membuat pemakainya terpaksa
memakai terus dan tidak dapat menghentikannya, sedangkan toleran adalah sifat
narkotika yang membuat pemakainya semakin lama semakin menyatu dengan
narkotika dan menyesuaikan diri dengan narkotika itu sehingga menuntut dosis
pemakaian yang semakin tinggi. 3
Dampak narkotika terhadap fisik penyalahguna antara lain: sakaw,

kriminalitas,

berdosis,

penyakit berbahaya, kerusakan pada sel-sel syaraf otak,

syaraf pembuluh darah, tulang dan bahkan terhadap seluruh jaringan pada tubuh

2

Mardani,Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan hukum Pidana
Nasional, (Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007), hal.78.
3
Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Penerbit Gelora
Aksara pratama, Jakarta 2003), hal.29-30.

Universitas Sumatera Utara

19


manusia. Sedangkan dampak narkotika terhadap mental (psikis) dan moral adalah
pemakainya menjadi penakut, egois. ekslutif, paranoid (selalu curiga dan
bermusuhan), jahat, bahkan tidak peduli terhadap orang lain (apatis). 4
Narkotika hanya dibolehkan misalnya diperuntukkan dalam keperluan medis
untuk memberikan pengobatan dalam menghilangkan rasa sakit si pasien dengan
kadar tertentu agar pasien tersebut tidak merasakan sakit ketika dilakukan operasi
bedan dan lain-lain Narkotika pada jenis-jenis tertentu ada pula yang boleh digunakan
pada saat terjadinya luka ketika perang, menghilangkan rasa sakit sementara sebelum
pertolongan medis datang member bantuan.
Akibat dari faktor lingkungan, keluarga, ekonomi, dan faktor diri sendiri,
dapat menimbulkan perilaku seseorang menjadi menyimpang dari seharusnya berbuat
benar, yaitu menyalahgunakan nakotika. 5 Penyalahgunaan narkotika tidak hanya
disepakati secara yudiris hanya sebagai pemakai atau pengguna atau mengonsumsi
merupakan perbuatan yang dilarang, tetapi juga bagi siapa saja yang menanam,
menyimpan,

memiliki,

menguasai,


menyediakan,

memproduksi,

mengimpor,

mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain merupakan perbuatan yang
melawan hukum.

4

Ibid.,hal.31-34
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008), hal.207.
5

Universitas Sumatera Utara


20

Sehubungan dengan Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan
bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya, Pasal 281 ayat(4) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan
adanya tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hukum, dan
penegakan hukum terhadap hak asasi manusia. Norma tersebut dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap warga negaranya dari penyalahgunaan narkotika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana yang disebutkan dalam lampiran Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. 6
Bagi siapapun yang menyalahgunakan narkotika menurut Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika harus dipidana selain penjatuhan pidana
undang-undang menentukan pula upaya rehabilitasi bagi para pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika. Namun untuk penanam, pengedar, penyalur, pemasok,
penjual, pengekspor, pengimpor narkotika secara illegal tidak mungkin dilakukan
rehabilitasi terhadap pelaku, sebab pelaku bukan sebagai pecandu dan korban

penyalahgunaaan narkotika. 7

6
7

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bandingkan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

21

Terhadap penanam, pengedar, penyalur, pemasok, penjual, pengekspor,
pengimpor narkotika secara illegal harus dipidana. Pemidanaan atau penjatuhan
pidana merupakan bagian penting dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan
narkotika. Hal ini sehubung dengan elemen-elemen dalam sistem peradilan pidana,
bahwa pendekatan normatif memandang aparatur penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. 8 Salah satu perubahan dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa sabusabu bukan lagi disebut sebagai psikotropika. Sabu-sabu dimasukkan ke dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menjadi narkotika golongan I. Selain itu,
golongan I dan golongan II pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Psikotropika semuanya sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009. Perubahan ini menunjukkan bahwa semakin
diperketatnya hukum pidana terhadap bagi siapa saja yang menyalahgunakan
narkotika baik pidana penjara, denda, maupun pidana lainnya.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 digunakan sebagai pengganti dan
penyempurna dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi

yang

berkembang dalam

menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika. Selain mengatur tentang

8

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Perdana Kontemporer, (Penerbit Kencana Predana
Media grup,Jakarta, 2010). hal .6


Universitas Sumatera Utara

22

penyalahgunaan narkotika oleh konsumen yang tidak sah narkotika seperti pecandu
maupun pengedarnya, undang-undang tentang narkotika juga bertujuan untuk
menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 9
Barang sitaan adalah narkotika dan prekursor narkotika atau yang diduga
narkotika dan prekursor narkotika atau yang mengandung narkotika dan prekursor
narkotika serta bahan kimia lainnya dari tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika yang disita oleh Penyidik. 10
Pemusnahan barang bukti narkotika diatur dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Kepala Badan Narkotikan Nasional
(BNN) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Penanganan Barang Sitaan
Narkotika, Prekursor narkotika dan Bahan Kimia Lainnya Secara Aman.
Pemusnahan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk memusnahkan
barang sitaan, yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada penetapan dari Kepala
Kejaksaan Negeri setempat untuk dimusnahkan dan disaksikan oleh pejabat yang

mewakili, unsur Kejaksaan, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Dalam hal unsur pejabat tersebut tidak bisa hadir, maka pemusnahan
disaksikan oleh pihak lain, yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat. 11

9

Pasal 4 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tri Jata Ayu Pramesti, “Prosedur Pemusnahan Barang Sitaan
www.hukumonline.com, akses 7 April 2015.
11
Tri Jata Ayu Pramesti, “Prosedur Pemusnahan Barang Sitaan
www.hukumonline.com, akses 7 April 2015.
10

Narkotika”,
Narkotika”,

Universitas Sumatera Utara

23


Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa benda sitaan
yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk dipergunakan
bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Termasuk dalam kategori barang
sitaan yang di larang untuk diedarkan antara lain adalah minuman keras, narkotika,
psikotropika, senjata dan bahan peledak serta buku-buku atau gambar-gambar dan
bentuk lain dari barang-barang yang masuk dalam kelompok pornografi. 12
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang
diperbaharui di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 91 dan 92 mengatur tentang pemusnahan narkotika yang salah satu
penyebabnya berhubungan dengan tindak pidana. Sedangkan untuk pemusnahan
psikotropika yang berkaitan dengan tindak pidana diatur dalam Pasal 53 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 13
Menurut ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut, pemusnahan barang
sitaan yang berupa narkotika dan psikotropika yang dilaksanakan setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh pejabat kejaksaan dan
disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian dan Departemen Kesehatan dengan
dibuat Berita Acara Pemusnahan.

12

Pasal 45 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP
Pasal 60 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 53
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
13

Universitas Sumatera Utara

24

Pelaksanaan pemusnahan barang sitaan yang bersifat terlarang tersebut
berpotensi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya maupun
dalam pengawasannya, sehingga dikhawatirkan barang sitaan yang bersifat terlarang
masih ada kemungkinan bisa beredar lagi di masyarakat.
Di Pengadilan Negeri Balige terdapat beberapa putusan yang menetapkan
barang bukti Narkotika di rampas untuk Negera namun penulis hanya melakukan
penelitian terhadap 4 (empat) Putusan Hakim yang terdiri dari

putusan Hakim

Pengadilan Negeri Balige diantara adalah berdasarkan Putusan Nomor :
155/Pid.sus2014/PN. Balige yang amar putusannya sebagai berikut :
1.

Menyatakan terdakwa Victor Maruli Tua Simanjuntak, terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana” tanpa hak
menyimpan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”

2.

Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Victor Maruli Tua Simanjuntak
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda
sebesar Rp.800.000.000.- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan
jika denda tersebut tidak di bayar dig anti dengan pidana penjara selama 2
(dua) bulan;

3.

Menetapkan lamanya masa penangkapan, penahanan terdakwa di
kurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang di jatuhkan;

4.

Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.

Menetapkan barang bukti berupa :

Universitas Sumatera Utara

25

- 1 (satu) bungkus kecil Narkotika jenis ganja yang di bungkus dengan
kertas warna hijau;
- 5 (lima) lembar kertas tiktak;
Masing-masing di rampas untuk Negara;
6.

Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000.- (lima ribu rupiah).

Putusan Nomor : 156/Pid.sus.2014/PN. Balige yang amar putusannya sebagai
berikut :
1.

Menyatakan terdakwa Rozali, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan Tindak Pidana” tanpa hak menyimpan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman”

2.

Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Rozali, oleh karena itu dengan
pidana

penjara

selama

4

(empat)

tahun

dan

denda

sebesar

Rp.800.000.000.- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda
tersebut tidak di bayar diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua)
bulan;
3.

Menetapkan lamanya masa penangkapan, penahanan terdakwa di
kurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang di jatuhkan;

4.

Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.

Menetapkan barang bukti berupa :
-

3 (tiga) bungkus kecil Narkotika jenis ganja yang di bungkus dengan
kertas koran;

Universitas Sumatera Utara

26

Masing-masing di rampas untuk Negara;
6.

Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000.- (lima ribu rupiah)

Putusan Nomor : 232/Pid.sus.2014/PN. Balige yang amar putusannya sebagai
berikut :
1.

Menyatakan para terdakwa I. Johan Arifin Simbolon dan terdakwa II.
Togi Purba telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Tindak Pidana” Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri
secara bersama-sama”

2.

Menjatuhkan Pidana terhadap para terdakwa I. Johan Arifin Simbolon
dan terdakwa II. Togi Purba, oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan;

3.

Menetapkan lamanya masa penangkapan, penahanan terdakwa di
kurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang di jatuhkan;

4.

Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.

Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) bungkusan berukuran kecil berisi di duga Narkotika jenis
Ganja di bungkus dengan kertas warna kuning;
- 1 (tiga) bungkusan kertas tiktak/paper merk toreador;
Masing-masing di rampas untuk Negara;

6.

Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara
masing-masing sebesar Rp.2.000.- (dua ribu rupiah).

Universitas Sumatera Utara

27

Putusan Nomor : 23/Pid.sus.2014/PN. Balige yang amar putusannya sebagai
berikut :
1.

Menyatakan terdakwa Baringin Pardede telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana” Penyalahgunaan
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri secara bersama-sama”

2.

Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Baringin Pardede, oleh karena itu
dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 5 (lima)
bulan;

3.

Menetapkan lamanya masa penangkapan, penahanan terdakwa di
kurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang di jatuhkan;

4.

Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.

Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) bungkus / paket berukuran sedang yang berisi Narkotika jenis
ganja yang di bungkus dengan kertas warna putih dengan berat 2,36
(dua koma tiga enam) gram;
- 1 (tiga) punting rokok samporna;
- 1 (satu0 buah kotak rokok samporna;
Masing-masing di rampas untuk Negara;

6.

Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara
masing-masing sebesar Rp.2.000.- (dua ribu rupiah)..

Berdasarkan keempat putusan Hakim pengadilan Negeri Balige tersebut di
atas yang amar Putusanya menyatakan di rampas untuk Negera, membuat suatu

Universitas Sumatera Utara

28

persepsi atau pemikiran bahwa narkotika di kelola oleh Negara yang akhirnya
Narkotika tersebut bisa kembali beredar kepada masyarakat atau di salahgunakan
oleh aparat penegak hukum, seharusnya putusan hakim tersebut menyebutkan
Narkotika yang dijadikan barang bukti tersebut di rampas untuk Negara untuk di
musnahkan, namun pada putusan hakim tersebut berbeda dengan putusan hakim yang
biasanya di sebutkan sebagaimana pada kasus tindak pidana Narkotika pada
umumnya;
Muncul pemikiran apakah tujuan hukum itu sudah tercapai, Sebagaimana
disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan hukum acara pidana dalam UndangUndang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran material (substantial truth) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur dan tepat.14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menentukan bahwa apabila putusan hakim merupakan pemidanaan maka putusan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disertai pertimbangan keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 15 Putusan pemidanaan berdasarkan
Pasal 183 KUHAP baru dapat dijatuhkan hakim apabila terdapat: (i) dua alat bukti

14
15

Lih. Penjelasan Umum KUHAP.
Pasal 197 ayat (1) huruf “ f” KUHAP

Universitas Sumatera Utara

29

yang sah dan (ii) hakim memperoleh keyakinan. 16 Menurut Luhut M.P.
Pangaribuan 17 bukti yang ditemukan hakim dari sudut konsep KUHAP dapat disebut
sebagai “bukti yang sempurna” karena sebagai dasar untuk menyatakan kesalahan
dan menjatuhkan hukuman.
Berdasarkan ketentuan di atas menunjukkan bahwa KUHAP menganut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem ini merupakan perpaduan
antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) dengan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke). Dalam
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini, tidak cukup
keterbuktian itu hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undangundang saja, akan tetapi juga bersamaan dengan itu harus ada keyakinan hakim. 18
Dengan demikian untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa menurut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, harus dipenuhi dua komponen:
(1) pembuktian harus dilakukan atas ketentuan, cara-cara dan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang; (2) keyakinan hakim juga harus didasarkan atas ketentuan,
cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Alat-alat bukti yang sah

16

Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
17
Luhut M.P. Pangaribuan. Lay Judges dan Hakim Ad Hoc. Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana Indonesia,( Universitas Indonesia. Jakarta, 2009) hal. 109.
18
Elfi Marjuni, 2012, Peran Pengadilan dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia,
Makalah, Yogyakarta: Fakultas Hukum UMY, hal. 9. Lih. Juga. Andi Hamzah, 2011. Hukum Acara
Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta hal. 253-259.

Universitas Sumatera Utara

30

menurut undang-undang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. 19 Pada persidangan tahap
pembuktian penuntut umum dibebani untuk mengajukan alat-alat bukti sebagaimana
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Pengajuan alat bukti oleh penuntut umum
dimaksudkan untuk meneguhkan dan membuktikan dakwaannya. Sebaliknya
terdakwa/penasehat hukum diberi kesempatan pula untuk mengajukan alat-alat bukti
yang sama untuk melemahkan dakwaan penuntut umum terhadap dirinya.
Di samping alat bukti, penuntut umum juga mengajukan barang bukti di
persidangan. Menurut Andi Hamzah 20 “barang bukti dalam perkara pidana ialah
barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik
misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah
hasil dari delik, misalnya rumah yang dibeli dari uang negara hasil korupsi”. Barang
bukti tidak hanya diperoleh penyidik dari tindakan penggeledahan, tetapi dapat juga
diperoleh dari pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), diserahkan sendiri
secara langsung oleh saksi pelapor atau tersangka pelaku tindak pidana, di ambil dari
pihak ketiga dan dapat pula berupa temuan dan selanjutnya terhadap benda sita itu
dapat menahannya untuk sementara waktu guna kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan. Tindakan tersebut dalam
KUHAP di sebut dengan penyitaan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
“inbesilagneming”. 21

19

Pasal 184 ayat (1) KUHAP: Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan
ahli; c. surat; d. petunjuk e. keterangan terdakwa.
20
Andi Hamzah, 1986. Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 100.
21
Ratna Nurul Afiah, 1988. Barang Bukti dalam Proses Pidana,Sinar Grafika jakarta, hal. 69.

Universitas Sumatera Utara

31

Menurut ketentuan Pasal 91 dan 92 mengatur tentang pemusnahan narkotika
yang salah satu penyebabnya berhubungan dengan tindak pidana sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999, pemusnahan barang

sitaan yang berupa narkotika dan psikotropika yang dilaksanakan setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh pejabat kejaksaan dan
disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian dan Departemen Kesehatan dengan
di buat Berita Acara Pemusnahan.
Pelaksanaan pemusnahan barang sitaan yang bersifat terlarang tersebut
berpotensi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya maupun
dalam pengawasannya, sehingga dikhawatirkan barang sitaan yang bersifat terlarang
masih ada kemungkinan bisa beredar lagi di masyarakat. Berdasarkan uraian yang
telah dikemukan di atas maka menjadi penting untuk dilakukan penelitian tesis yang
berjudul “Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Yang Dirampas
Untuk Negara (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Balige)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1.

Penegakan Hukum oleh Hakim Terhadap Barang Bukti Tindak Pidana
Narkotika pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri Balige?

2.

Bagaimana Pelaksanaan Eksekusi Barang Bukti Narkotika yang di
Rampas untuk Negara?

Universitas Sumatera Utara

32

3.

Bagaimana Hambatan dan Solusi dalam melakukan Eksekusi Barang
Bukti Narkotika yang di Rampas untuk Negara?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini
dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui Penegakan Hukum oleh Hakim Terhadap Barang
Bukti Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Balige?

2.

Untuk mengetahui Pelaksanaan Eksekusi Barang Bukti Narkotika yang di
Rampas untuk Negara.

3.

Untuk mengetahui

Hambatan dan Solusi dalam melakukan Eksekusi

Barang Bukti Narkotika yang di Rampas untuk Negara.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis dan praktis. Adapun kedua
kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan
kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal mengetahui dan mempelajari
tentang Analisis Yuridis Normatif Terhadap Eksekusi Barang Bukti Narkotika Yang

Di rampas Untuk Negara (Studi Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Balige)”.
2. Manfaat Praktis

Universitas Sumatera Utara

33

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Para Penegak Hukum dan
masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang Eksekusi Barang Bukti
Narkotika Yang Di rampas Untuk Negara (Studi Putusan Hakim di Pengadilan
Negeri Balige)”
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di
Perpustakaan Fakultas Hukum maupun Program Studi Magister Hukum Universitas
Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Eksekusi Barang Bukti Tindak
Pidana Narkotika Yang Dirampas Untuk Negara (Studi Putusan Hakim di
Pengadilan Negeri Balige)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian
sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah benar keaslianya baik dari materi,
permasalahan, tujuan penelitian dan kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan
dengan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Setelah dilakukan penelusuran, berikut ini ditemukan beberapa penelitian
yang mirip dengan tesis ini, diantaranya sebagai berikut :
1. Cardiana Harahap/ 07700514, tesis tahun 2009 dengan judul penelitian “
Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Pekara Tindak Pidana
Narkotika”, dengan rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan
tindak pidana narkotika.

Universitas Sumatera Utara

34

2) Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan
penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk
menghadapi kendala tersebut.
2. Lidya Carolina Sitepu/097005011, tahun 2011 dengan judul Penelitian
“Kebijakan Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Narkotika
(studi di Polda Sumut)”, dengan rumusan masalah sebagai berikut,
1) Apakah yang menjadi faktor–faktor terjadinya tindak pidana
narkotika di sumatera utara.
2) Bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana narkotika.
3. Puli siregar/1070055060, tahun 2012 dengan judul penelitian “Peran serta
masyarakat dalam pencegahan penanggulangan tindak pidana narkotika
menurut undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika (studi pada
pusat informasi masyarakat anti narkoba sumatera utara)”, dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana peran serta PIMANSU dalam penanggulangan
tindak pidana narkotika.
2) Apakah yang menjadi faktor pendorong dan penghambat peran
serta PIMANSU dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.
Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini
memiliki perbedaan dengan tesis –tesis tersebut diatas. Hal ini sangat logis mengingat
objek penelitian tesis ini adalah spesifik karena menganalisis putusan Hakim di

Universitas Sumatera Utara

35

Pengadilan Negeri Balige, oleh karena itu, judul dan substansi pembahasan
permasalahan penelitian ini, otentiknya tergaransi dan jauh dari unsur plagiat.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori
mengenai kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi pertimbangan, pegangan
teoritis.

22

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk

mencari pemecahan masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak untuk
memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu di susun kerangka teori
yang memuat pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut
diamati
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil. 23 Hukum
dapat terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis 24. Proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan di sebut sebagai penegakkan
hukum. 25 Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan
norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan
sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup

22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju,Bandung, 1994, hal. 80
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2001), hal.16
24
Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup
dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law).
Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Balai Pustaka,Jakarta, 1986),
hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (CV. Cahaya
Ilmu, Medan, 2006), hal. 127.
25
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Genta Publishing,
2009,Yogyakarta), hal. 24.
23

Universitas Sumatera Utara

36

bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat
penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undangundang. 26 Penelitian ini berkaitan dengan eksekusi barang bukti narkotika yang
dirampas untuk negara. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting
dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang di
dakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus di anggap
ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih
dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap
kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori
pertanggungjawaban pidana beserta teori kesalahan memiliki relevansi yang urgen
dengan penelitian ini, maka akan digunakan teori-teori sebagai berikut:
a. Teori pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah satu
pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal
pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara umum di atur dalam
Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih di kenal
dengan sebutan Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah
menemukan kebenaran materil. 27 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran

26

Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi,
dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No.10, Edisi November-Desember, 2011,hal.17.
27
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Penerbit Ghalia Indonesia,
1985, Jakarta), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228

Universitas Sumatera Utara

37

yang hendak di cari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth. 28
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan
dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia: M.01.PW.07.03 Tahun
1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4
Pebruari 1982, pada bidang umum BAB I Pendahuluan yang berbunyi:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahakan.”
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian 29 adalah sebagai
berikut:
a. Pembuktian berdasarkan Keyakinan hakim belaka (Conviction in
Time) Hakim hanya cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan
berdasarkan atas keyakinannya semata dengan tanpa terikat pada suatu
peraturan Hukum
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alas an logi
(Conviction Raisonnee) Hakim tidak terikat pada alat bukti
sebagaimana yang termaksud dalam undang-undang melainkan hakim
28

M. Yahya Harahap I, Op. Cit, hal. 275
Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istilah teori pembuktian atau sistem
pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia
memperguanakan kata-kata sistem atau teori pembuktian
29

Universitas Sumatera Utara

38

secara bebas memaki alat bukti lain asal kan semua beradasarkan
alasan yang logis
c. Pembuktian

menurut

Undang-Undang

secara

positif

(Positief

Wettelijke Bewijs Theori) Hakim terikat oleh alat bukti yang telah di
tentukan dalam Undang-Undang, hakim tidak dapat mengikuti
keyakinannya, meskipun hakim belum yakin tetapi seseorang telah
terbukti sesuai yang tertera dalam Undang-Undang, maka ia wajib
menjatuhkan pidana begitu sebaliknya.
d. Pembuktian

menurut

Undang-undang

Secara

Negatif (Negatif

Wettelijke Bewijs Theori)Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila
sedikitnya telah terdapat alatbukti yang telah ditentukan UndangUndang dan di tambah keyakinan hakim yang di peroleh dari adanya
alat-alat bukti tersebut, Wettelijk berarti sisitem ini berdasarkan
undang-Undang Negatief berarti meskipun dalam suatu perkara telah
terdapat cukup bukti sesuai Undang-Undang, hakim belum boleh
menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa
Dalam penelitian ini teori yang digunakan untuk mengalisis permasalahan
adalah teori Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke
Bewijs Theori). Sebagaiamana yang di pakai dalam Sistem pembuktian Kitab
Undang-undang Hukum acara pidana (KUHAP) Sistem pembuktian undang-undang
secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

39

pembuktian harus didasarkan atas alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undangundang diikuti oleh keyakinan Hakim. Jadi alat buktilah yang harus terlebih dahulu
ada (didepan) baru memunculkan keyakinan hakim bukan sebaliknya (dibelakang).
Keyakinan Hakim yang di maksud di sini adalah kayakinan yang timbul berdasarkan
alat-alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat-alat
bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian merupakan gabungan antara sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian
keyakinan Hakim (conviction in time).
Sistem pembuktian yang di gunakan dalam hukum acara pidana Indonesia
berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undangundang negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Senada dengan itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan: ”Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
b. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum berawal dari Teori Normatif-Dogmatik yang
dikemukakan oleh Jhon Austin dan J. Van Kan di mana tujuan hukum semata-mata

Universitas Sumatera Utara

40

untuk menciptakan kepastian hukum, sehingga teori kepastian hukum berperan untuk
melegalkan hak dan kewajiban. 30 Hak dan kewajiban yang dimiliki masyarakat suatu
kebiasaan yang tidak dilegalkan oleh hukum, ketika hukum melegalkan hak dan
kewajiban masyarakat maka akan terlihat dalam bentuk peraturan tertulis dan
diundangkan agar pihak lain mengetahuinya. Hak dan kewajiban tersebut diikuti oleh
kewajiban hukum untuk memberikan kekuatan agar pihak lain menghormati hak dan
kewajiban masyarakat tersebut. Apabila di langgar maka hukum memberikan
konsekuensi yang tegas sebagai akibat bahwa hukum sudah melegalkannya secara
konkret.
Teori kepastian hukum mempunyai 2 (dua) pengertian dari uraian yang dapat
diperoleh dari pendapat Gustav Radddbruch dimana kepastian hukum sebagai nilai
dasar yang hendak di capai hukum selain daripada nilai keadilan dan nilai
kemanfaatan. Berbicara keadilan, Teori etis (etische theorie) Teori ini mengajarkan
bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi
hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil
dan apa yang tidak adil. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf
Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum
mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak
menerimanya”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :

30

http://Borneo9.blogspot.com/2013/11/tujuan-hukum menurut teori.html,,Diakses pada
pukul 08.00 tanggal 8 April 2015.

Universitas Sumatera Utara

41

1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang
jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap
orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya,
melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.
2. Teori utilitas (utiliteis theorie) Menurut teori ini, tujuan hukum ialah
menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya
pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah Jeremy Betham.
Dalam bukunya yang berjudul “introduction to the morals and legislation”
berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa
yang berfaedah/mamfaat bagi orang. Apa yang dirumuskan oleh Betham
tersebut di atas hanyalah memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan tidak
mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk
menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan
atau dengan kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia
akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena
hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser
nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan. 31
Kepastian hukum mengandung pengertian pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat masyarakat mengetahui perbuatan yang boleh dan tidak

31

http://borneo79.blogspot.com/2013/11/tujuan-hukum-menurut-teori-dan-pendapat_4.html
diakses pada hari sabtu, tanggal 30 Mei 2015, jam 13. 15 WIB.

Universitas Sumatera Utara

42

boleh dilakukan, kedua berupa keamanan hukum bagi masyarakat dan kesewenangan
dari pemerintah. 32
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang- undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu
dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang akan diputuskan.
Tuntunan kehidupan yang semakin kompleks dan modern tersebut memaksa setiap
masyarakat mau tidak mau, suka atau tidak suka menginginkan adanya kepastian
hukum, sehingga masyarakat dapat menentukan hak dan kewajibannnya secara jelas
dan terstruktur. 33 Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam perundang-undangan yang di buat oleh pihak yang berwewenang, sehingga
aturan itu memiliki aspek yuridis yang menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Menurut J. Van Kan, berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak dapat diganggu. Disinilah
jelas bahwa hukum bertugas untuk mejamin kepastian hukum di dalam masyarakat
dan juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak main hakim sendiri, tetapi
tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan berdasarkan hukum yang
berlaku.

32

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Pengetahuan, (Penerbit Kencana Pradana Media
Group,Jakarta, 2008),hal 158.
33
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, ( LP3S, Jakarta, 2006)
hal.24

Universitas Sumatera Utara

43

Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo
mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni : Melindungi hak dan
kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam
masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup lembaga-lembaga social di bidang
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai
keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune).
Lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan),
atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan
umum (bonum commune). 34Selanjutnya dikemukakan : Hukum yang berwibawa itu
ditaati, baik oleh pejabat-pejabat hukum maupun oleh justitiabelen yaitu orang-orang
yang harus menaati hukum itu. Hukum akan bertambah kewibawaannya, jika :
1. Memperoleh dukungan dari value sistem yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum salah satu jenis norma dalam value sistem yang berlaku akan lebih
mudah di topang oleh norma sosial lain yang berlaku.
2. Hukum dalam pembentukannya ordeningssubject atau pejabat-pejabat hukum,
tidak diisolasikan dari norma-norma sosial lain, bahkan disambungkan dengan
norma-norma yang berlaku.
3. Kesadaran hukum dari para justitiabelen. Wibawa hukum akan bertambah
kuat apabila kesadaran hukum yang baru.
4. Kesadaran hukum pejabat dari pejabat hukum yang di panggil untuk
memelihara hukum dan untuk menjadi penggembala hukum, pejabat hukum
34

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (PT. sinar Grafindo.jakarta 1970), hal. 80-82

Universitas Sumatera Utara

44

harus insaf dan mengerti bahwa wibawa hukum itu bertambah apabila
tindakannya itu tertib menurut wewenanganya dan apabila ia menghormati
dan melindungi tata ikatannya (verbandsorde). 35
Menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau
menyatakan sebagai berikut: Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat,
diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat
teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui
batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti
perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban
masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakatbakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optima dalam
masyarakat tempat ia hidup. 36
Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa :”sesuatu
yang di buat pasti memiliki cita atau tujuan” 37. Jadi, hukum di buat pun ada
tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia,
tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: Keadilan Untuk Keseimbangan, Kepastian
Untuk ketetapan, Kemanfaatan untuk kebahagian. Pemikiran para pakar hukum,
bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang di buat
oleh suatu badan yang mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan
35

Ibid, hal. 83-84
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan
Nasional, Majalah Pajajaran, (Bandung, 1970) No 1 jilid III, hal. 6
37
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, ( PT. Raja Garfindo
Persada, bandung. 2011) hal. 123
36

Universitas Sumatera Utara

45

salah satu asas dalam tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu kepastian
Hukum maka dengan sendirinya warga masyarakat akan mendapatkan perlindungan
Hukum.
Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau
kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum
umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya suasana yang aman dan
tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta dilaksanakan dengan tegas.
2. Kerangka Konsep
Kerangka Konsep yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi sebagai
definisi operasional, hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan perbedaan pengertian
atau penafsiran mendua dari suatu istilah yang di pakai dalam penelitian ini oleh
karena itu kerangka konsep yang dapat dijadikan definisi operasional anatara lain :
a. Penegakkan Hukum adalah proses berlakunya hukum positif dalam praktek
sebagaimana seharusnya di patuhi, oleh karena itu memberikan keadilan
dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum itu konkrit dalam
mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara prosedural yang di tetapkan oleh hukum formil 38
b. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan dan
atau penggeledahan dan atau pemeriksaan akurat untuk mengambil alih dan
38

Soerjano soekanto, faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum, ( PT. Raja Grafindo
cetakan kelima, jakarta. 2004) hal. 42

Universitas Sumatera Utara

46

atau menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan 39
c. Tindak Pidana Narkotika adalah rumusan tindak pidana yang terdapat di
dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang di
terapkan dalam keempat putusan Narkotika tersebut diatas 40
d. Putusan pengadilan adalah Melaksanakan secara paksa putusan Pengadilan
dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang
telah memberikan kekuatan hukum tetap41 sebagaimana Putusan Pengadilan
Negeri Balige dalam Thesis ini terdiri dari 4 (empat) Putusan Hakim yaitu
Putusan

Nomor

:

155/Pid.sus2014/PN.

Balige,

Putusan

Nomor

:

232/Pid.sus2014/PN. Balige, Putusan Nomor : 156/Pid.sus2014/PN. Balige,
Putusan Nomor : 93/Pid.sus2014/PN. Balige
e. Eksekusi adalah Hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang di pakai
oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk
menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia
memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang di tentukan 42
f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
41

Andi Hamzah Op.cit.hal 35-37.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
41
Pasal 1 angka 11 KUHAP, sinar Grafika KUHP dan KUHAP, Jakarta 2012 hal 4
42
Wildan Suyuthi, sita dan eksekusi praktek kejurusitaan pengadilan (PT.Tatanusa, Jakarta,
2010 hal.59
40

Universitas Sumatera Utara

47

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. 43

g. Pemusnahan adalah Serangkaian tindakan penyidik untuk memusnahkan
barang sitaan, yang pelaksanaannya dilakukan setelah ada penetapan dari
Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk dimusnahkan dan di saksikan oleh
pejabat yang mewakili, Unsur kejaksaan, Kementerian kesehatan dan badan
Pengawas Obat dan makanan, dalam hal ini unsur pejabat tersebut tidak bias
hadir, maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota
masyarakat setempat; 44
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian merupakan
suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten. 45 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian hukum normatif yang di dukung secara empiris. Metode
penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, Soerdjono
43

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Peraturan kepala BNN.R.I No.7 Tahun 2010 Tentang Pedoman teknis Penanganan dan
Pemusnahan barang sitaan Narkotika, tertanggal 30 juni 2010. hal 4
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Rajagrafindo Persada,Jakarta. 2001), hal. 1.
44

Universitas Sumatera Utara

48

Soekanto, membagi penelitian hukum Normatif meliputi : inventarisasi, penemuan
asas hukum, penemuan hukum, in concreto, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum. Sedangkan empiris meliputi indentifikasi hukum dan efektifitas hukum. 46
Adapun sifat penelitian ini adalah Deskriftif analitis 47 dengan pendekatan
perundang–undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical kasus
tertentu dari berbagai aspek hukum 48 dengan demikian sifat penelitian dalam
penulisan ini adalah case study dan melakukan wawancara.
2. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yang bersumber pada :
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
secara umum 49 dan sumber bahan hukum primer tersebut yang terkait dengan
pokok masalah yang akan diteliti antara lain:
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
e. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Nomor : 155/Pid.sus.2014/PN.Balige;
f. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Nomor : 232/Pid.sus.2014/PN.Balige.
46

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, op.cit.hal. 190.
Deskriftif bertujuan mempelajari masalah yang timbul dalam masyarakat atau
mendeskripsikan kemudian mengolah data dengan memberikan kesimpulan dan saran hasil penelitian.
Lihat Ibid, hal. 184
48
Piter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum ( Edisi Revisi), (Kencana Prenada Media
Group,Jakarta, 2013),hal. 134
49
Jhoni Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian hukum Normatif, (Jawa Timur.
Surabaya.2005)
47

Universitas Sumatera Utara

49

g. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Nomor : 156/Pid.sus.2014/PN.Balige;
h. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Nomor : 93/Pid.sus.2014/PN.Balige
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang memberikan penjelasan seperti buku-buku teks yang di
tulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh pada jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, yurisprudensi dan hasil-hasil simposium mutakhir atau majalah
hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan Inggris. 50
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian yuridis normatif dan yuridis
empiris yang digunakan adalah selain menggunakan data Primer yang di peroleh
melalui studi Lapangan.
1. Studi kepustakaan
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library
research), yaitu mencari data atau informasi yang menyangkut masalah
yang di teliti dengan mempelajari dan menelaah buku, jurnal, majalah,
surat kabar, dan berbagai tulisan atau media informasi yang menyangkut
masalah yang di teliti.
2. Studi lapangan
50

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal. 195