Saat Rakyat Berguru Politik Pada Negara
Saat Rakyat Berguru Politik Pada Negara
Dalam ilmu politik, dikatakan bahwa negara adalah suatu organisasi yang berbeda dengan
organisasi lainnya. Hal yang paling kentara dan menjadi pembeda adalah tampak dalam sifatnya,
bahwa negara berhak untuk bersifat memaksa.
Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara syah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya. Bila kita tela’ah, karena kita adalah negara hukum maka negara berhak memaksa
rakyatnya termasuk para pejabat dan aparatur negara untuk patuh dan taat kepada hukum. Oleh
karena itu negara memiliki alat-alat pemaksa, seperti Polisi dan TNI. Dengan demikian posisi
negara adalah kuat.lebih kuat dari organisasi apapun yang ada di tengah masyarakat.
Pemaksaan negara kepada warga negara merupakan salah satu bentuk yang legal untuk
melanggengkan keberadaan negara itu sendiri. Bahkan sringkali keberhasilan negara dalam hal
ini pemerintahan, tampak dalam keberhasilannya untuk memaksa rakyat untuk mematuhi dan
menerima ketentuan yang ditetapkan negara. Bahkan ketaatan yang diharuskan seringkali tanpa
harus mengukur sisi batiniah dan kenyamanan warga negara itu sendiri. Meski terlihat arogan
namun arogansi tersebut tetap syah selama tidak melanggar konstitusi dan sebagai pelaksanaan
dari apa yang ditetapkan konstitusi itu sendiri.
Kita ambil contoh, Indonesia baru saja menetapkan kenaikan harga BBM disaat harga
minyak dunia turun menukik. Pemerintah baru dibawah kepemimpinan Presiden ke-7 Joko
Widodo ,berhasil memaksakan masyarakat agar mau menerima ketetapan tersebut baik suka
maupun tidak. Bagi masyarakat yang kontra dan berdemo, negara bersama alat-alat pemaksa
terbukti telah berhasil membuat rakyat menyerah dan taat pada pemerintah meski itu terpaksa.
Negara wajib menjaga kehormatan dengan memegang teguh konstitusi dan Undang-undang.
Tidak baik bagi negara, membiarkan terjadi pelecehan-pelecehan atas kekuasaannya. Namun
pada awal-awal pemerintah baru ini, nampak gejala pelecehan terhadap negara dan konstitusi
terjadi
dalam selang beberapa bulan setelah pemerintahan Joko Widodo disyahkan..?
Masyarakat
bergejolak degan rupa-rupa aksi yang tiba-tiba membooming dengan istilah
“tadingan..”. Selesai dengan masalah DPR tandingan , timbul aksi gubernur tandingan sebagai
penolakan terhadap terpilihnya Ahok sebagai Gubernur DKI. Beberapa menteri pun melakukan
beberapa tindakan yang inkonstitusional menurut para ahli tata negara kita.
Siapa yang salah?
Persepsi masyarakat yang begitu mudahnya mengadakan tandingan ini dan itu, menurut
Penulis, dipicu oleh penanganan pemerintah yang salah pada awal terjadinya kekisruhan di DPR.
Beberapa anggota DPR yang berasal dari partai koalisi pemenangan Presiden yang tergabung
dalam KIH (Koalisi Indonesia Hebat) merasa tidak puas dengan pembagian kursi jabatan dalam
beberapa komisi di DPR. Mereka membentuk DPR tandingan sebagai lawan dari DPR yang
syah , yang dikuasai oleh KMP (koalisi Merah Putih ). KMP dianggap sebagai kelompok partai
yang berseberangan dengan pemerintah dianggap akan menghambat kinerja pemerintah bahkan
ditakutkan dapat mengimpeachment Presiden Joko Widodo.
Bila kita dudukan perkara ini, seharusnya tidak perlu terjadi ketakutan yang berlebihan dari
pihak KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Beberapa kali prediksi negatip mereka terbukti meleset.
Ketakutan saat pelantikan Presiden akan terjadi demo besar-besaran untuk menggagalkan
pelantikan yang di isukan KIH , itu tidak terbukti. Massa Prabowo sepakat dengan himbauan
Sang Jendral untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Pelantikan pun berjalan lancar tanpa huru
hara bahkan Sang Jenderal diluar dugaan simpatisannya turut hadir menyaksikan pelantikan
tersebut.
Kembali pada DPR tandingan yang dibentuk oleh koalisi pro pemerintah (KIH), meski jelas
menyalahi konstitusi, pemerintah tampaknya tidak mau bertindak tegas dan menunjukan kepada
masyarakat bahwa pembentukan DPR tandinga sebagai sesuatu yang menyalahi konstitusi. Alihalih berkehendak untuk membubarkan dan menyatakan DPR tandingan tersebut Inkonstitusional,
keberadaan DPR tandingan seolah
ditoleri begitu saja dan
tidak dianggap sebagai suatu
pelanggaran melainkan sebagai suatu kewajaran.
Presiden Joko Widodo bahkan berani melarang para menterinya untuk memenuhi panggilan
DPR yang syah untuk memaparkan alasan kenaikan BBM. Alasannya, DPR yang syah tersebut
tidak perlu ditanggapi karena tidak/belum menampung keinginan para anggota DPR tandingan
mengenai pembagian kursi. Dengan demikian sikap pemerintah terhadap keberadaan DPR
tandingan adalah seolah menerima
sebagai suatu kewajaran dan bukan hal yang
inkonstitusional.
UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia tidak menyatakan adanya pengakuan
terhadap DPR dalam posisi tandingan. Saya kira disinilah muasalnya munculnya istilah
Gubernur tandingan dan mungkin kedepan akan ada lagi tangan-tandingan yang lainnya yang
menurut Penulis ini sebagai pelecehan terhadap pemerintahan negara.
Andai saja dari awal pemerintah mampu dengan tegas menolak dan menyatakan dengan
tegas bahwa DPR tandingan atau apapun itu namanya yang mencoba-coba berbuat tandingan
terhadap lembaga atau jabatan negara yang jelas sudah diatur konstitusi sebagai hal yang
inkonstitusional dan dianggap sebagai pelecehan bagi negara serta wajib mendapatkan sanksi,
maka itu akan menjadi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Sayangnya hal itu tidak terjadi . penulis menganggap situasi ini berbahaya bila dibiarkan ,
pemerintah harus mendidik masyarakat dengan pendidikan politik yang baik, dengan
menunjukan secara jelas , tegas dan nyata, tentang bagaimana cara mengelola negara,
bagaiamana pembagian kekuasaan dalam negara terbagi, bagaimana lembaga-lembaga negara ini
bekerja, bagaiman cara para aparatur negara /pejabat negara sebaiknya berperilaku yang sesuai
dengan konstitusi. Untuk selanjutnya pemerintah harus bisa menegaskan keberadaan sanksi
bilamana terjadi pelanggaran terhadap konstitusi .
Pembiaran secara sengaja terhadap pelanggaran konstitusi oleh pemimpin negara dapat
mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk menganggap wajar sesuatu yang salah. Dosa terbesar
adalah
memaksa masyarakat untuk menerima pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh pemerintah , aparat dan pejabat negara dan menganggap kesalahan masyarakat
sebagai sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Semoga kedepan pemerintah lebih tegas dalam
memegang amanah konstitusi dan menjalankan konstitusi sesuai dengan konstitusi itu sendiri.
Dalam ilmu politik, dikatakan bahwa negara adalah suatu organisasi yang berbeda dengan
organisasi lainnya. Hal yang paling kentara dan menjadi pembeda adalah tampak dalam sifatnya,
bahwa negara berhak untuk bersifat memaksa.
Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara syah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya. Bila kita tela’ah, karena kita adalah negara hukum maka negara berhak memaksa
rakyatnya termasuk para pejabat dan aparatur negara untuk patuh dan taat kepada hukum. Oleh
karena itu negara memiliki alat-alat pemaksa, seperti Polisi dan TNI. Dengan demikian posisi
negara adalah kuat.lebih kuat dari organisasi apapun yang ada di tengah masyarakat.
Pemaksaan negara kepada warga negara merupakan salah satu bentuk yang legal untuk
melanggengkan keberadaan negara itu sendiri. Bahkan sringkali keberhasilan negara dalam hal
ini pemerintahan, tampak dalam keberhasilannya untuk memaksa rakyat untuk mematuhi dan
menerima ketentuan yang ditetapkan negara. Bahkan ketaatan yang diharuskan seringkali tanpa
harus mengukur sisi batiniah dan kenyamanan warga negara itu sendiri. Meski terlihat arogan
namun arogansi tersebut tetap syah selama tidak melanggar konstitusi dan sebagai pelaksanaan
dari apa yang ditetapkan konstitusi itu sendiri.
Kita ambil contoh, Indonesia baru saja menetapkan kenaikan harga BBM disaat harga
minyak dunia turun menukik. Pemerintah baru dibawah kepemimpinan Presiden ke-7 Joko
Widodo ,berhasil memaksakan masyarakat agar mau menerima ketetapan tersebut baik suka
maupun tidak. Bagi masyarakat yang kontra dan berdemo, negara bersama alat-alat pemaksa
terbukti telah berhasil membuat rakyat menyerah dan taat pada pemerintah meski itu terpaksa.
Negara wajib menjaga kehormatan dengan memegang teguh konstitusi dan Undang-undang.
Tidak baik bagi negara, membiarkan terjadi pelecehan-pelecehan atas kekuasaannya. Namun
pada awal-awal pemerintah baru ini, nampak gejala pelecehan terhadap negara dan konstitusi
terjadi
dalam selang beberapa bulan setelah pemerintahan Joko Widodo disyahkan..?
Masyarakat
bergejolak degan rupa-rupa aksi yang tiba-tiba membooming dengan istilah
“tadingan..”. Selesai dengan masalah DPR tandingan , timbul aksi gubernur tandingan sebagai
penolakan terhadap terpilihnya Ahok sebagai Gubernur DKI. Beberapa menteri pun melakukan
beberapa tindakan yang inkonstitusional menurut para ahli tata negara kita.
Siapa yang salah?
Persepsi masyarakat yang begitu mudahnya mengadakan tandingan ini dan itu, menurut
Penulis, dipicu oleh penanganan pemerintah yang salah pada awal terjadinya kekisruhan di DPR.
Beberapa anggota DPR yang berasal dari partai koalisi pemenangan Presiden yang tergabung
dalam KIH (Koalisi Indonesia Hebat) merasa tidak puas dengan pembagian kursi jabatan dalam
beberapa komisi di DPR. Mereka membentuk DPR tandingan sebagai lawan dari DPR yang
syah , yang dikuasai oleh KMP (koalisi Merah Putih ). KMP dianggap sebagai kelompok partai
yang berseberangan dengan pemerintah dianggap akan menghambat kinerja pemerintah bahkan
ditakutkan dapat mengimpeachment Presiden Joko Widodo.
Bila kita dudukan perkara ini, seharusnya tidak perlu terjadi ketakutan yang berlebihan dari
pihak KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Beberapa kali prediksi negatip mereka terbukti meleset.
Ketakutan saat pelantikan Presiden akan terjadi demo besar-besaran untuk menggagalkan
pelantikan yang di isukan KIH , itu tidak terbukti. Massa Prabowo sepakat dengan himbauan
Sang Jendral untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Pelantikan pun berjalan lancar tanpa huru
hara bahkan Sang Jenderal diluar dugaan simpatisannya turut hadir menyaksikan pelantikan
tersebut.
Kembali pada DPR tandingan yang dibentuk oleh koalisi pro pemerintah (KIH), meski jelas
menyalahi konstitusi, pemerintah tampaknya tidak mau bertindak tegas dan menunjukan kepada
masyarakat bahwa pembentukan DPR tandinga sebagai sesuatu yang menyalahi konstitusi. Alihalih berkehendak untuk membubarkan dan menyatakan DPR tandingan tersebut Inkonstitusional,
keberadaan DPR tandingan seolah
ditoleri begitu saja dan
tidak dianggap sebagai suatu
pelanggaran melainkan sebagai suatu kewajaran.
Presiden Joko Widodo bahkan berani melarang para menterinya untuk memenuhi panggilan
DPR yang syah untuk memaparkan alasan kenaikan BBM. Alasannya, DPR yang syah tersebut
tidak perlu ditanggapi karena tidak/belum menampung keinginan para anggota DPR tandingan
mengenai pembagian kursi. Dengan demikian sikap pemerintah terhadap keberadaan DPR
tandingan adalah seolah menerima
sebagai suatu kewajaran dan bukan hal yang
inkonstitusional.
UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia tidak menyatakan adanya pengakuan
terhadap DPR dalam posisi tandingan. Saya kira disinilah muasalnya munculnya istilah
Gubernur tandingan dan mungkin kedepan akan ada lagi tangan-tandingan yang lainnya yang
menurut Penulis ini sebagai pelecehan terhadap pemerintahan negara.
Andai saja dari awal pemerintah mampu dengan tegas menolak dan menyatakan dengan
tegas bahwa DPR tandingan atau apapun itu namanya yang mencoba-coba berbuat tandingan
terhadap lembaga atau jabatan negara yang jelas sudah diatur konstitusi sebagai hal yang
inkonstitusional dan dianggap sebagai pelecehan bagi negara serta wajib mendapatkan sanksi,
maka itu akan menjadi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Sayangnya hal itu tidak terjadi . penulis menganggap situasi ini berbahaya bila dibiarkan ,
pemerintah harus mendidik masyarakat dengan pendidikan politik yang baik, dengan
menunjukan secara jelas , tegas dan nyata, tentang bagaimana cara mengelola negara,
bagaiamana pembagian kekuasaan dalam negara terbagi, bagaimana lembaga-lembaga negara ini
bekerja, bagaiman cara para aparatur negara /pejabat negara sebaiknya berperilaku yang sesuai
dengan konstitusi. Untuk selanjutnya pemerintah harus bisa menegaskan keberadaan sanksi
bilamana terjadi pelanggaran terhadap konstitusi .
Pembiaran secara sengaja terhadap pelanggaran konstitusi oleh pemimpin negara dapat
mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk menganggap wajar sesuatu yang salah. Dosa terbesar
adalah
memaksa masyarakat untuk menerima pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh pemerintah , aparat dan pejabat negara dan menganggap kesalahan masyarakat
sebagai sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Semoga kedepan pemerintah lebih tegas dalam
memegang amanah konstitusi dan menjalankan konstitusi sesuai dengan konstitusi itu sendiri.