Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa
Birokrasi Dalam Organisasi Pemerintahan
SEJARAH BIROKRASI
Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa
Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad
ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja
sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di
tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang
Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai
urusan pribadi.
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang
juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.
Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan
dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana
lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator
(pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi
pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,
seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah
ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.
Birokrasi Zaman Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari
sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan
penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin
menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah
kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih
disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan
dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang
mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,
sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada
Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara
jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur
jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh
keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal
dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah
pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.
Birokrasi Zaman Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang
sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaanperbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam
pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan
aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal
berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut
birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik
Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang
memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana
menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang
memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik
yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada
seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.
Seringnya
terjadi
pergantian
kabinaet
menyebabkan
birokrasi
sangat
terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar
berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik
dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.
Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai
yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki
suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi
sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem
pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang
tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam
menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari
partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan
merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi.
2. Untuk
membuat
agar
birokrasi
responsif
terhadap
kehendak
kepemimpinan pusat.
3. Untuk
memperluas
wewenang
pemerintah
baru
dalam
rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.
Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula
dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi
maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam
berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan
mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi
yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade
yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya
korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi
norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan
personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan
oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya
belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja
dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau
partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk
bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya
kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa
reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi
kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat
atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat
birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak
yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan
baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan
arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik
menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang
dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai
praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah
secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil
termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi
dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang
membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah,
IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya
tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa.
Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji
yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga
konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap
publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah
yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku
birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada
publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini
masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama
puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga
antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk
terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih
belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi,
menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.
Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,
merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus
Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat
dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam
dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan
cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro)
dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam
kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara
lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih
dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri.
Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan
pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada
pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang
dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus
berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan
masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut (sebagai pelayan masyarakat dan
aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi
birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada
akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi
ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik
dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun
paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa
birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka
dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu
menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi
dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah
dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang
kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani
masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan
yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang
ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat;
menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja
dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat;
memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai
prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja
dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau
pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya
organisasi saja.
Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya : Adanya keinginan
perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun
fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa,
sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat
ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil
kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung
jawabnya.
Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh
masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.
PENGERTIAN BIROKRASI
Sebelum mengkaji mengenai birokrasi, akan digambaran terlebih dahulu
mengenai biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu bentuk
organisasi. Sedangkan pengertian organisasi itu sendiri menurut Chaster I Benard,
dalam Down (1967) adalah suatu koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatankekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan
tertentu. Kemudian untuk Biro itu sendiri diartikan sebagai organisasi yang
berskala besar, memiliki pekerja yang bekerja secara penuh “full time”, promosi
dalam biro berdasarkan pada penilaian kinerja dan hasil utama bukan dievaluasi
secara langsung atau tidak langsung dalam pasar tempat terjadinya transaksi
secara sukarela.
Kemudian birokrat sendiri menurut Downs, bukanlah diartikan setiap orang yang
menjadi anggota biro. Akan tetapi diartikan sebagai orang yang bekerja yang
ditandai dengan karakteristik organisasi diatas, yaitu birokrat adalah orang yang
bekerja pada organisasi berskala besar, orang yang bekerja full time, kemudian
kebijakan kepegawaian organisasi (penggajian, promosi, pensiun) merupakan
bagian penting dari anggota orgaanisasi dan didasarkan pada kinerja mereka,
serta hasil kerja dalam organisasi yang mereka kerjakan yang dinilai. Beberapa
hal penting tentang birokrat :
1. Birokrat dapat bekerja pada organisasi walaupun bukan berbentuk biro.
Pengertian ini memperbolehkan kita menhyebut birokrat pada organisasi
swasta, yang secara intrinsik berbeda dengan biro
2. Tidak semua pegawai dalam suatu biro dapat menjadi birokrat
3. Secara individual birokrat lebih kurang memiliki ciri efisien, jujur, bekerja
keras, teliti dan nilai-nilai yang pada umumnya berbeda dengan
nonbirokrat.
Setelah itu dapatlah disimpulkan pengertian birokrasi. Pertama, birokrasi
biasanya menunjuk pada suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam
pengertian ini, birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan
biro. Kedua, birokrasi juga dapat berarti sebagai suatu metode tertentu untuk
mengalokasian
sumber
besar. Ketiga, birokrasi
daya
dalam
diartikan
suatu
organisasi
yang
sebagai “bureauness” or”quality
berskala
that
distinguishes bureaus from other types of organization”. Dalam hal ini birokrasi
merujuk pada kualitas yang dihasilkan oleh suatu organisasi. Pengertian tersebut
diatas dapat digunakan sesuai dengan konteks yang digunakan dalam mengartikan
birokrasi.
Teori Birokrasi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman, dalam bukunya “The Protestant
Ethic and Spirit of Capitalism” dan “The Theory of Social and Economic
Organization”, menggambarkan bentuk birokrasi sebagai cara ideal mengatur
organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk organisasi. Menurut
observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah
berkembang cukup lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep birokrasi secara
awam
lekat
dengan
istilah
“tak
efektif”,
“lambat”,
“kaku”,
bahkan
“menyebalkan.” Istilah-istilah seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah
kebenarannya pada fakta lapangan, namun sebagian lain merupakan stereotipe
yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya. Menurut Max
Weber birokrasi diartikan sebagai “ideal type organization”yang mempunyai ciriciri sebagai berikut:
1. Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab
yang didefinisikan dengan jelas.
2. Kantor diorganisasikan secara hierarkis atau adanya rangkaian komando.
3. Pejabat menejerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan
dengan pendidikan dan ujian.
4. Peraturan dan pengaturan mengarah pada pelaksanaan pekerjaan.
5. Hubungan antar menejer dengan karyawan berbentuk imperasional.
6. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat
(Efisiensi).
Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical theory)
atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional. Hingga hari
ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah
kata kunci utama yang dapat menghantarkan pada pemaknaan praktik classical
theory, khususnya Indonesia yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang
telah membudaya. Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar
Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh paradigm interpretatif yang menjadi
sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik Organisasi
Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’,
karena memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturanaturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat
dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya. Menutur Weber
karakteristik birokrasi dapat diperjelasseperti apa yang dikemukakan oleh
Kristiadi (1999) dalam ( Joko Widodo,2005:12-13) sebagai berikut:
1. Lingkup kewenangan berdasarkan pembagian kerja yang sistematis
2. Pejabat terikat pada disiplin dan pengawasan yang ketat dan sistematis
dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya.
3. Semua kegiatan diatur oleh sistem aturan yang sistematis
4. Jabatan-jabatan mengikuti asas hierarki
5. Pejabat hanya terikat pada satu tugas formal dan tidak personal
6. Jabatan diisi berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat teknis yang
dinyatakan melalui ujian atau ijazah. Pejabat bersangkutan diangkat dan
bukan dipilih
7. Jabatan itu merupakan karier berdasarkan waktu atau kecakapan
Dalam prinsip-prinsip bentuk birokrasi harus terdapat adanya antara lain:
1. Struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan
dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan
pusat dan pengambilan keputusan.
2. Manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan
yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan
dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya.
3. Organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun
dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan
berdasarkan keahlian.
4.
Mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedang
dilaksanakandalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani
kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani
organisasi itu sendiri.
Teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang
disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk
antar jabatan, bukan antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi
posisional karena masih berada satu payung kajian mahzab klasik, selain teori
empat sistem dari Likert. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan
3 tipe idealnya yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal
rasional. Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana
legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita
kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang
luar biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas
legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi. Kelemahan dari teori Weber terletak
pada keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun
secara hierarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi
yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang. Dalam teorinya, Weber
mengemukakan 10 ciri organisasi, yaitu:
1. Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara
jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatanjabatan.
2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas
tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job
description).
3. Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi
menduduki sebuah jabatan).
4. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara
formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6. Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi
kontinuitas, keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7. Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan
organisasi.
9. Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Sebenarnya, Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori
birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah
dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak
efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun
pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan
para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan
beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang
mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa
guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.
Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman
Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur
secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi
yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga
mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas
dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga
mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian
tujuan-tujuan
organisasi. Perbedaan
dengan
Weber
adalah,
jika
Weber
memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan
birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria
rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerial. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain
itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi
dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya),
kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya
formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme.
Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya
dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi
cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang
profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam
pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan
sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan
sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi
merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan
jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Stafstaf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut
birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern.
Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang
sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana
masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi.
Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun
birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua
tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan
modern.
CONTOH
Banyak sekali contoh-contoh birokrasi, karena birokrasi itu sendiri ada di setiap
organisasi informal maupun formal. Kelompok kami akan menyebutkan beberapa
contok bentuk birokrasi dan setelah itu akan kami jelaskan tentang peran
birokrasi. Misalnya saja birokrasi berdasarkan tugasnya, ada departemen tenaga
kerja, departemen pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari
departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah
digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Di Indonesia contoh yang
paling mendekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara
(eksekutif) terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam
pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum sebagai sebuah lembaga bisnis ia
memiliki otoritas untuk menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah
perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan.
Tidak hanya itu masih ada beberapa bentuk birokrasi dalam pemerintahan
Indonesia misalnya: Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa
lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh,
kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, ‘kredit-kredit macet’
mereka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), dan sejenisnya.
Dari contoh birokrasi-birokrasi yang disebutkan diatas setiap birokrasi dalam
pemerintahan memiliki peran dalam pemerintahan. Peran birokrasi dalam
pemerintahan modern adalah sebagai berikut:
1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,
pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan
undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU
tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan
kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah
dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
1.
Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompokkelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia
merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan
demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau
mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu,
beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi
juga menjalankan fungsi public service ini.
1. Pengaturan (regulation)
Fungsi
pengaturan
dari
suatu
pemerintahan
biasanya
dirancang
demi
mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan
birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus
kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan
pada dua pilihan ini.
1. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan
mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan
baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan
birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara
tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya,
pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat
SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan
pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak.
Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru
untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan
melakukan pungli.
DAFTAR PUSTAKA
Blau,Peter M.1987. Birokrasi dalam Masyrakat Modern. Jakarta: Universitas
Indonesia( UI-Press)
Guy, Benvesniste. 1991. Birokrasi. Jakarta: CV. Rajawali
Widodo MS, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta:
Bayumedia Publishing.
Sumber Lain :
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
http://enikkirei.multiply.com/journal/item/115/TEORI-BIROKRASI-MAXWEBER
http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/12/perjalanan-birokrasi-indonesiadari.html
Posted by ipahipeh ilmu politik Subscribe to RSS feed
SEJARAH BIROKRASI
Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa
Birokrasi Zaman Kerajaan
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad
ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja
sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di
tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang
Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi
kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai
urusan pribadi.
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang
juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.
Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan
dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana
lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator
(pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi
pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,
seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk
menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah
ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.
Birokrasi Zaman Kolonial
Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari
sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan
penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin
menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah
kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih
disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan
dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang
mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,
sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada
Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara
jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur
jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh
keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal
dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah
pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari.
Birokrasi Zaman Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang
sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaanperbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam
pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan
aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal
berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut
birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik
Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang
memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana
menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang
memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik
yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada
seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.
Seringnya
terjadi
pergantian
kabinaet
menyebabkan
birokrasi
sangat
terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar
berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik
dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.
Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai
yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki
suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi
sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem
pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang
tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam
menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari
partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan
merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi.
2. Untuk
membuat
agar
birokrasi
responsif
terhadap
kehendak
kepemimpinan pusat.
3. Untuk
memperluas
wewenang
pemerintah
baru
dalam
rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.
Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula
dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi
maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam
berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan
mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana
birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi
yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade
yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya
korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi
norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan
personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan
oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan
merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya
belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja
dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau
partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk
bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya
kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa
reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi
kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat
atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat
birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak
yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan
baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan
arogan terhadap masyarakat
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik
menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang
dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai
praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah
secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil
termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi
dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang
membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah,
IMB, HO dan sebagainya.
Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya
tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa.
Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji
yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga
konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap
publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah
yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku
birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada
publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini
masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama
puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga
antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk
terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih
belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi,
menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.
Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,
merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus
Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat
dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam
dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan
cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro)
dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam
kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara
lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih
dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri.
Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan
pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada
pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang
dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus
berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan
masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.
Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut (sebagai pelayan masyarakat dan
aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi
birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada
akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi
ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik
dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun
paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa
birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka
dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu
menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi
dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah
dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang
kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani
masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan
yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang
ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat;
menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja
dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat;
memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai
prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja
dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau
pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya
organisasi saja.
Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya : Adanya keinginan
perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun
fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa,
sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat
ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil
kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung
jawabnya.
Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh
masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.
PENGERTIAN BIROKRASI
Sebelum mengkaji mengenai birokrasi, akan digambaran terlebih dahulu
mengenai biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu bentuk
organisasi. Sedangkan pengertian organisasi itu sendiri menurut Chaster I Benard,
dalam Down (1967) adalah suatu koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatankekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan
tertentu. Kemudian untuk Biro itu sendiri diartikan sebagai organisasi yang
berskala besar, memiliki pekerja yang bekerja secara penuh “full time”, promosi
dalam biro berdasarkan pada penilaian kinerja dan hasil utama bukan dievaluasi
secara langsung atau tidak langsung dalam pasar tempat terjadinya transaksi
secara sukarela.
Kemudian birokrat sendiri menurut Downs, bukanlah diartikan setiap orang yang
menjadi anggota biro. Akan tetapi diartikan sebagai orang yang bekerja yang
ditandai dengan karakteristik organisasi diatas, yaitu birokrat adalah orang yang
bekerja pada organisasi berskala besar, orang yang bekerja full time, kemudian
kebijakan kepegawaian organisasi (penggajian, promosi, pensiun) merupakan
bagian penting dari anggota orgaanisasi dan didasarkan pada kinerja mereka,
serta hasil kerja dalam organisasi yang mereka kerjakan yang dinilai. Beberapa
hal penting tentang birokrat :
1. Birokrat dapat bekerja pada organisasi walaupun bukan berbentuk biro.
Pengertian ini memperbolehkan kita menhyebut birokrat pada organisasi
swasta, yang secara intrinsik berbeda dengan biro
2. Tidak semua pegawai dalam suatu biro dapat menjadi birokrat
3. Secara individual birokrat lebih kurang memiliki ciri efisien, jujur, bekerja
keras, teliti dan nilai-nilai yang pada umumnya berbeda dengan
nonbirokrat.
Setelah itu dapatlah disimpulkan pengertian birokrasi. Pertama, birokrasi
biasanya menunjuk pada suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam
pengertian ini, birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan
biro. Kedua, birokrasi juga dapat berarti sebagai suatu metode tertentu untuk
mengalokasian
sumber
besar. Ketiga, birokrasi
daya
dalam
diartikan
suatu
organisasi
yang
sebagai “bureauness” or”quality
berskala
that
distinguishes bureaus from other types of organization”. Dalam hal ini birokrasi
merujuk pada kualitas yang dihasilkan oleh suatu organisasi. Pengertian tersebut
diatas dapat digunakan sesuai dengan konteks yang digunakan dalam mengartikan
birokrasi.
Teori Birokrasi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman, dalam bukunya “The Protestant
Ethic and Spirit of Capitalism” dan “The Theory of Social and Economic
Organization”, menggambarkan bentuk birokrasi sebagai cara ideal mengatur
organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk organisasi. Menurut
observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah
berkembang cukup lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep birokrasi secara
awam
lekat
dengan
istilah
“tak
efektif”,
“lambat”,
“kaku”,
bahkan
“menyebalkan.” Istilah-istilah seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah
kebenarannya pada fakta lapangan, namun sebagian lain merupakan stereotipe
yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya. Menurut Max
Weber birokrasi diartikan sebagai “ideal type organization”yang mempunyai ciriciri sebagai berikut:
1. Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab
yang didefinisikan dengan jelas.
2. Kantor diorganisasikan secara hierarkis atau adanya rangkaian komando.
3. Pejabat menejerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan
dengan pendidikan dan ujian.
4. Peraturan dan pengaturan mengarah pada pelaksanaan pekerjaan.
5. Hubungan antar menejer dengan karyawan berbentuk imperasional.
6. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat
(Efisiensi).
Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical theory)
atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional. Hingga hari
ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah
kata kunci utama yang dapat menghantarkan pada pemaknaan praktik classical
theory, khususnya Indonesia yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang
telah membudaya. Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar
Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh paradigm interpretatif yang menjadi
sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik Organisasi
Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’,
karena memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem
birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan
birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturanaturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat
dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya. Menutur Weber
karakteristik birokrasi dapat diperjelasseperti apa yang dikemukakan oleh
Kristiadi (1999) dalam ( Joko Widodo,2005:12-13) sebagai berikut:
1. Lingkup kewenangan berdasarkan pembagian kerja yang sistematis
2. Pejabat terikat pada disiplin dan pengawasan yang ketat dan sistematis
dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya.
3. Semua kegiatan diatur oleh sistem aturan yang sistematis
4. Jabatan-jabatan mengikuti asas hierarki
5. Pejabat hanya terikat pada satu tugas formal dan tidak personal
6. Jabatan diisi berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat teknis yang
dinyatakan melalui ujian atau ijazah. Pejabat bersangkutan diangkat dan
bukan dipilih
7. Jabatan itu merupakan karier berdasarkan waktu atau kecakapan
Dalam prinsip-prinsip bentuk birokrasi harus terdapat adanya antara lain:
1. Struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan
dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan
pusat dan pengambilan keputusan.
2. Manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan
yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan
dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya.
3. Organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun
dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan
berdasarkan keahlian.
4.
Mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedang
dilaksanakandalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani
kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani
organisasi itu sendiri.
Teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang
disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk
antar jabatan, bukan antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi
posisional karena masih berada satu payung kajian mahzab klasik, selain teori
empat sistem dari Likert. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan
3 tipe idealnya yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal
rasional. Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana
legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita
kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang
luar biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas
legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi. Kelemahan dari teori Weber terletak
pada keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun
secara hierarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi
yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang. Dalam teorinya, Weber
mengemukakan 10 ciri organisasi, yaitu:
1. Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara
jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatanjabatan.
2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas
tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job
description).
3. Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi
menduduki sebuah jabatan).
4. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara
formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
6. Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi
kontinuitas, keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7. Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan
organisasi.
9. Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Sebenarnya, Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori
birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah
dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak
efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun
pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
Konsep Birokrasi Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan
para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan
beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang
mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa
guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.
Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman
Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur
secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi
yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga
mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas
dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga
mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian
tujuan-tujuan
organisasi. Perbedaan
dengan
Weber
adalah,
jika
Weber
memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan
birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria
rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerial. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain
itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi
dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya),
kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya
formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme.
Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya
dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi
cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang
profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam
pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan
sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan
sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi
merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan
jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan.
5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Stafstaf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut
birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern.
Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang
sudah disebut.
7. Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana
masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi.
Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun
birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua
tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan
modern.
CONTOH
Banyak sekali contoh-contoh birokrasi, karena birokrasi itu sendiri ada di setiap
organisasi informal maupun formal. Kelompok kami akan menyebutkan beberapa
contok bentuk birokrasi dan setelah itu akan kami jelaskan tentang peran
birokrasi. Misalnya saja birokrasi berdasarkan tugasnya, ada departemen tenaga
kerja, departemen pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari
departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah
digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Di Indonesia contoh yang
paling mendekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara
(eksekutif) terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam
pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum sebagai sebuah lembaga bisnis ia
memiliki otoritas untuk menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah
perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan.
Tidak hanya itu masih ada beberapa bentuk birokrasi dalam pemerintahan
Indonesia misalnya: Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa
lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh,
kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, ‘kredit-kredit macet’
mereka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), dan sejenisnya.
Dari contoh birokrasi-birokrasi yang disebutkan diatas setiap birokrasi dalam
pemerintahan memiliki peran dalam pemerintahan. Peran birokrasi dalam
pemerintahan modern adalah sebagai berikut:
1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,
pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan
undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU
tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan
kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah
dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.
1.
Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompokkelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia
merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan
demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau
mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu,
beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi
juga menjalankan fungsi public service ini.
1. Pengaturan (regulation)
Fungsi
pengaturan
dari
suatu
pemerintahan
biasanya
dirancang
demi
mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan
birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus
kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan
pada dua pilihan ini.
1. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan
mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan
baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan
birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara
tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya,
pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat
SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan
pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak.
Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru
untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan
melakukan pungli.
DAFTAR PUSTAKA
Blau,Peter M.1987. Birokrasi dalam Masyrakat Modern. Jakarta: Universitas
Indonesia( UI-Press)
Guy, Benvesniste. 1991. Birokrasi. Jakarta: CV. Rajawali
Widodo MS, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta:
Bayumedia Publishing.
Sumber Lain :
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
http://enikkirei.multiply.com/journal/item/115/TEORI-BIROKRASI-MAXWEBER
http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/12/perjalanan-birokrasi-indonesiadari.html
Posted by ipahipeh ilmu politik Subscribe to RSS feed