T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prospek Kerjasama Maritim IndonesiaChina Paska Klaim Sepihak Laut Natuna oleh Republik Rakyat China T1 BAB IV

BAB. IV
GAGASAN MARITIM DAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL
4.1 Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Maritim abad 21
Ide mengenai Poros Maritim Dunia merupakan sebuah gagasan yang
dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu program unggulannya
ketika dilantik menjadi Presiden ke 7 Republik Indonesia. Ide ini berangkat dari
fakta bahwa Negara Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang ¾
wilayahnya adalah laut. Namun sayangnya, selama ini potensi laut Indonesia
kurang dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Maka dari itu, Presiden pun
mencanangkan ide ini, sebagai jawaban akan keresahannya. Poros maritim
merupakan sebuah gagasan strategis yang berupaya diwujudkan untuk menjamin
konektifitas antar pulau,

pengembangan industri perkapalan dan perikanan,

perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim, dan juga
penegakan kedaulatan laut NKRI.1 Menurut Presiden Joko Widodo, Indonesia
mempunyai Potensi besar menjadi Negara Maritim yang tangguh karena
Indonesia terletak di daerah Ekuator yang terletak di antara dua benua dan dua
samudera. Presiden Joko Widodo menjabarkan setidaknya terdapat lima pilar
penting dalam menunjang ide ini.2 Diantaranya;

-

Pembangunan Kembali Budaya Maritim Indonesia. Pilar ini merujuk
pada fakta bahwa Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari 17
Ribu Pulau, maka dari itu menurut Presiden Joko Widodo Indonesia
sebaiknya menyadari dan melihat bahwa Indonesia adalah sebuah
bangsa yang masa depannya, kemakmurannya dan idetitasnya sangat
ditentukan oleh bagaimana Negara ini mengelola samuderanya.

-

Komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus
membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri
perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Presiden

1
2

Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dikutip dari Presiden.go.id pada tanggal 20/10/2016
ibid


berharap hasil laut Indonesia dapat dimanfaatkan seutuhnya oleh
nelayan-nelayan Indonesia

tanpa adanya illegal fishing nelayan asing,

dan kekayaan laut Indonesia dapat digunakan sebesar-besarnya demi
kemakmuran rakyat Indonesia.
-

Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas
maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan
industri

perkapalan,

serta

pariwisata


maritim.

Komitmen

ini

merupakan bentuk nyata dari ide Poros Maritim, karena tanpa adanya
infrastruktur

yang

memadai

tentunya

kebijakan

mengenai

pembangunan Poros Maritim ini hanya akan selamanya berhenti di

tataran ide.
-

Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk
bekerja sama pada bidang kelautan. Pilar keempat ini adalah pilar vital
yang menentukan langkah Indonesia terhadap isu-isu di laut Indonesia.
Dalam penjabarannya mengenai Pilar keempat ini, Presiden Joko
Widodo dengan tegas mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia
untuk bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut, seperti
pencurian

ikan,

pelanggaran

kedaulatan,

sengketa

wilayah,


perompakan, dan pencemaran laut.
-

Kewajiban untuk membangun kekuatan Pertahanan Maritim. Pilar
yang terakhir ini bertujuan semata-mata bukan hanya untuk bukan saja
untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim Indonesia, tetapi juga
sebagai bentuk tanggung jawab Negara Indonesia dalam menjaga
keselamatan pelayaran dan keamanan maritime.

Impian untuk membangun sebuah jalur maritim yang mumpuni tidak
hanya dimiliki oleh Indonesia, Pemerintah China melalui dibawah Presiden Xi
Jinping telah terlebih dahulu memiliki gagasan untuk menciptakan sebuah Jalur
laut yang menghubungkan negaranya ke seluruh dunia. Pada bulan Oktober tahun
2013, Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang secara resmi

memperkenalkan kepada 5 negara ASEAN yang dikunjunginya sebuah gagasan
mengenai jalur maritim yang dinamakan Maritime Silk Road atau Jalur Sutra
Maritim.3 Ide mengenai Jalur Sutra Maritim terbagi menjadi dua bagian yaitu
wilayah “above the wind” yang meliputi Samudera Hindia dan wilayah “below the

wind” yang meliputi Selat Malaka, Laut China Selatan dan Laut Jawa, dan terus

berlanjut kearah Timur.4

Gambar 3: Jalur Sutra Maritim abad 21
(Sumber: Li Jiao, “Unprecedented Excavati on Brings Maritime Silk Road to Life” . Diolah)

Gagasan yang sama tentang Konektifitas di Jalur Laut inilah yang kemudian
menjadi pendorong bagi kedua Negara untuk mensinergikan gagasannya. Peran
China dalam mewujudkan ide Poros Maritim Dunia yang dicanangkan oleh
Presiden Joko Widodo juga cukup signifikan, itulah alasan mengapa Indonesia
lantas bergabung dengan The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) pada

3

Dikutip dari Jurnal Building a Sino-centric Order in Southeast Asia: The Energy Dimension of
China's Maritime Silk Road oleh Gaye Christoffersen (Resident Professor of International Politics
Johns Hopkins University, Nanjing Center)
4
Dikutip dari Jurnal New Maritime Silk Road: Converging Interests and Regional Responses oleh

Rajeev Ranjan Chaturvedy (ISAS NUS)

25 November 2014 ditandai dengan Penandatangan MoU di Jakarta tidak lain
adalah agar Indonesia bisa mendapatkan kucuran bantuan finansial dari China
atau bahkan dari AIIB yang dibutuhkan untuk pembangunan Poros Maritim Dunia
yang diperkirakan akan menghabiskan 70 Triliun. 5

Lebih lanjut pada saat itu

Menlu Indonesia Retno Marsudi dan Menlu China Wang Yi berharap kerjasama
maritim antar Negara dapat ditingkatkan.
Berdasarkan pemaparan mengenai Poros Maritim Dunia yang dicanangkan
oleh

Presiden

Jokowi,

sebenarnya


Pemerintah

Indonesia

setidaknya

telah

menempatkan diri dalam posisi yang tegas mengenai kedaulatan di wilayah
lautnya melalui dua pilar penunjang gagasan Poros Maritim ini. Poin yang
pertama terdapat pada pilar ke empat yang berbicara mengenai Diplomasi
Maritim. Menurut perspektif Neo-Realist , pada dasarnya dunia ini bergerak dalam
sebuah sistem yang anarki meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya
kerjasama antar Negara selama hal itu menguntungkan sebesar-besarnya bagi
negaranya. Hal ini nampak jelas dalam pilar ke empat ini, meskipun Presiden Joko
Widodo selama ini getol membangun kerjasama dengan Negara-negara lainnya,
termasuk kerjasama maritim dengan Pemerintah China, namun tetap hal itu tidak
berarti Pemerintah Indonesia harus abai terhadap keamanan dan kedaulatan
wilayah negaranya. Maka dari itu Presiden Joko Widodo mengajak seluruh
lapisan masyarakat untuk bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut,

seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan,
dan pencemaran laut. Begitu pula dengan pilar ke lima yang berbicara mengenai
kewajiban untuk membangun kekuatan Pertahanan Maritim yang mana sudah
cukup jelas menggambarkan komitmen Pemerintah Indonesia atas kedaulatan
wilayah lautnya.
Jika menilai dari dua poin dalam pilar gagasan Poros Maritim Dunia
tersebut, maka sebenarnya sudah cukup jelas bahwa klaim tumpang tindih wilayah
Indonesia dan China di utara Natuna dapat berakibat buruk terhadap kelangsungan
5

“uperi positio Chi a’s “ilk Road a d I do esia’s Mariti e Fulcru . Dikutip dari
thejakartapost.com pada tanggal 22/10/2016

kerjasama Maritim yang sudah dicanangkan kedua Negara. Pemerintah Indonesia
jelas tidak akan berkompromi mengenai kedaulatannya di Laut Natuna, karena itu
sama saja menciderai gagasan besar Presiden mengenai Poros Maritim. Namun
nampaknya, hingga kini Pemerintah China pun belum pernah berniat memberikan
penjelasan yang komprehensif mengenai peririsan wilayah yang mengenai ZEE
Indonesia ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan justru bersikap seolah-olah
menantang


aparat

Indonesia

yang

bertugas

disana

dengan

memberikan

pengawalan melalui Coast Guard nya kepada nelayan-nelayan China yang masuk
ke wilayah Natuna dan bahkan beberapa kali mengintimidasi aparat Indonesia
yang hendak menindak para pelaku pencurian ikan dari China tersebut. Bahkan
dalam beberapa kasus terakhir, intensitas gesekan antara aparat Indonesia dan
Coast-Guard China yang melindungi nelayannya semakin memanas. Hingga yang


terbaru angkatan laut Indonesia harus memberikan tembakan peringatan yang
akhirnya diprotes oleh Pemerintah China karena menganggap nelayan tersebut
masih berada dalam wilayah negaranya dan akhirnya mendorong Presiden Jokowi
untuk hadir di Laut Natuna untuk meninjau dan sekaligus memberi pesan yang
cukup keras mengenai kedaulatan Indonesia di Laut Natuna.
Ide mengenai Jalur Sutra Maritim merupakan sebuah proyek yang berkaca
pada apa yang pernah dilakukan Republik Rakyat China pada masa lalu yang juga
pernah membangun sebuah jalur laut yang dinamakan Jalur Sutra Maritim, untuk
membedakan maka Jalur Sutra Maritim yang digadang-gadang oleh Xi Jinping ini
kemudian sering disebut sebagai Jalur Sutra Maritim era 21. Ide ini kemudian
menjadi ide yang sangat aggressif berkaitan erat dengan sejarah masa lalu China
itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa China pernah menjadi sebuah bangsa yang
besar pada masa dinasti hingga abad ke-18. Namun semua kejayaan tersebut
hancur pada saat imperialisme Barat mulai masuk melalui Perang Candu pada
tahun

1840

yang mana berhasil memaksa China untuk

membuka pintu

perdagangannya, kekuasaan China pun perlahan mulai berkurang. Setelah Perang
Candu, China pun masuk ke dalam abad yang disebut dengan “abad penghinaan”.
Wilayah yang semula berada di bawah kedaulatan Tiongkok menjadi terpecah-

pecah dan terjajah.

Xi Jinping berhasil membangun ingatan kolektif mengenai

abad penghinaan tersebut untuk membangkitkan nasionalisme masyarakat China.
Sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada saat ini
yang berkaitan dengan laut china selatan didukung oleh segenap masyarakat
China

yang

percaya

bahwa

sesungguhnya

memang

milik

sesungguhnya
Republik

wilayah

Rakyat

China

Laut
yang

China

Selatan

direbut

oleh

Imperialisme barat. Maka dari itu tidak aneh jika kemudian Pemerintah China
melakukan berbagai upaya mulai dari perundingan hingga militeristik demi
mengembalikan supremasi China di Laut China Selatan. Maka dari itu, Laut
Natuna yang secara geografis terletak di kawasan Laut China Selatan harus
mendapatkan atensi yang besar dari pemerintah pusat terutama berkaitan dengan
kerjasama maritim kedua negara.
Wilayah Laut China Selatan dan Laut Natuna pada khususnya menjadi
wilayah yang sangat konfliktual merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan,
karena wilayah Laut China Selatan merupakan jantung dari Asia Tenggara dengan
aktifitas maritimnya yang luar biasa.6 Selain itu, pendulum geopolitik dan
geoekonomi dunia semakin hari pun semakin bergeser ke wilayah Asia, sehingga
tentunya setiap Negara terutama Negara besar akan berusaha berebut pengaruh ke
kawasan Asia. Asia tumbuh menjadi centre of gravity (ekonomi China, India,
Jepang akan lebih besar dari AS dan Eropa, dan pada 2050 akan sebesar 2 kali AS
dan 4 kali Eropa)7 dan adanya fakta bahwa 70% perikanan dunia di Asia Pasifik,
dimana Indonesia turut serta memasok 30% produk perikanan dunia, dan juga
10% dari tangkapan ikan dunia berada di kawasan Laut Cina Selatan8 turut
mendorong peningkatan eskalasi konflik di Laut China Selatan ini, tentunya
Pemerintah Indonesia harus mempersiapkan diri dengan sangat baik jika tidak
ingin terjebak dan terbawa dalam permainan negara-negara besar yang akan
berebut pengaruh diwilayah ini. Maka dari itu akan berbahaya jika pemerintah

6

Dr. Surya Wiranto, SH., MH, Resolusi Konflik Menghadapi Sengketa Laut Tiongkok Selatan dari :
Perspektif Hukum Internasional (Yogyakarta: Leutikaprio, 2016)
7
Presentasi Dr. Abdul Rivai Ras dalam Pertemuan AIHII ke-7
8
ibid

Indonesia tidak mengambil sikap yang tegas dan nyata terhadap peririsan wilayah
Laut Indonesia di utara Natuna meskipun peririsan ini dapat dikatakan cacat
hukum dan bertentangan dengan norma internasional, karena bukan tidak
mungkin Pemerintah China akan bersikap lebih berani lagi dalam melakukan
provokasi terhadap kedaulatan laut Indonesia.
Ide mengenai mensinergikan dua gagasan besar mengenai maritim ini
sebenarnya bukan sebuah gagasan baru bagi kedua negara. Di masa Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Maret di tahun 2012, Indonesia
pernah

menandatangani

kerjasama

maritim.

Hal

ini

ditandai

dengan

di

tandatanganinya MoU Komite Kerjasama Maritim (KKM) Indonesia-China dan
kemudian ditindaklanjuti dengan diadakannya sidang pertama KKM di Beijing,
China pada bulan Desember 2012 yang kemudian ditandatangani oleh Menlu
kedua Negara pada saat itu.9 Jadi sebenarnya kita dapat melihat hubungan
kerjasama bilateral khususnya dalam bidang maritim antar kedua Negara sudah
terus diupayakan untuk disinergikan sejak lama, maka dari itu akan sangat
disayangkan jika kondusifitas kawasan dan hubungan bilateral yang sudah terjalin
harmonis harus rusak akibat arogansi Pemerintah China yang terus memaksakan
klaim 9 Dash Line. Pemerintah Indonesia tentunya akan berada dalam posisi yang
sulit dalam menyikapi masalah ini, karena bagaimanapun Indonesia sejak jaman
kemerdekaannya selalu menempatkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif
dimana Indonesia bebas untuk menentukan kerjasama dengan Negara manapun
tanpa terikat oleh blok-blok tertentu dan juga aktif untuk turut serta dalam
menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Itulah mengapa Indonesia seringkali
turut mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Negara-negara yang sedang
dilanda konflik. Masalah di Laut China Selatan yang merembet ke perairan
Indonesia di utara Natuna ini kemudian menempatkan Indonesia dalam posisi
yang

dilematis.

Di satu

sisi Pemerintah

Indonesia

tentunya ingin bebas

menentukan akan bekerjasama dengan Negara manapun sesuai dengan prinsip
politik luar negeri bebas yang dianutnya, namun di sisi lain secara normative hal
9

Kepentingan Indonesia dalam Kerjasama Maritim Indonesia -China Dikutip dari FKPMaritim.org
pada tanggal 10/1/2017

tersebut merupakan hal yang tidak etis bagi Indonesia yang selalu mencanangkan
mengenai Integrasi ASEAN dan berbagai kerjasama ASEAN lainnya, untuk
bekerjasama dibidang maritim dengan Republik Rakyat China yang notabene
telah mencaplok wilayah laut beberapa Negara di ASEAN dan bahkan sampai
beririsan dengan ZEE Indonesia itu sendiri. Begitu pula jika eskalasi konflik di
Laut China Selatan antara China dan negara-negara ASEAN lainnya termasuk
Indonesia yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi konfrontasi terbuka
tentunya akan bertentangan dengan prinsip aktif Indonesia untuk turut serta aktif
menjaga perdamaian dunia. Maka dari itu Indonesia harus berhati-hati menyikapi
masalah di Laut Natuna ini, walaupun Indonesia tetap harus mengambil sikap
yang jelas, tegas dalam menolak klaim terhadap 9 Dash Line yang tidak
berdasarkan hukum internasional ini. Bagaimanapun Indonesia harus bersiap
untuk menghadapi segala ancaman yang terjadi. Namun perlu digaris bawahi
untuk jangan sampai salah dalam mengambil langkah dalam menyikapi peririsan
wilayah di Laut Natuna ini yang bisa saja malah akan mengakibatkan kerugian
bagi Indonesia yang sedang memacu pertumbuhan perekonomiannya.
Konfrontasi memang bukan menjadi jalan keluar yang baik dalam kasus
ini karena terlepas dari permasalahan yang terjadi di Natuna, Indonesia dan China
sendiri merupakan mitra kerjasama di berbagai sektor perekonomian dan
perindustrian. Maka dari itu, memburuknya hubungan kedua Negara tentunya
akan berpengaruh terhadap banyak sektor yang akan merugikan perekonomian
kedua Negara. Namun, poin-poin kerjasama maritim antara Indonesia dan China
sudah selayaknya ditinjau kembali mengingat ketegangan hubungan yang terjadi.
Peririsan yang terjadi terhadap ZEE Indonesia sebenarnya sudah menunjukkan
bahwa Pemerintah China kurang menghargai kedualatan Negara Indonesia,
ditambah lagi dengan adanya pengawalan Coast-Guard bersenjata yang masuk ke
wilayah Laut Indonesia merupakan ancaman tidak hanya bagi kedaulatan Negara
semata, tetapi juga nelayan-nelayan Indonesia yang sedang mencari ikan di
wilayah tersebut. Meskipun yang ditugaskan oleh Pemerintah China adalah CoastGuard bukan unit satuan militer angkatan lautnya, bukan berarti Pemerintah

Indonesia dapat meremehkan potensi ancaman bagi keselamatan warga negara
Indonesia disana.
Posisi Laut China Selatan yang sangat strategis ditambah potensi alam di
Laut Natuna yang cukup besar perlu menjadi pertimbagan serius bagi Pemerintah
Indonesia dalam menentukan sikap. Indonesia sebagai negara kepulauan yang
sebagian wilayahnya terletak di wilayah Laut China Selatan sudah sewajarnya
mewaspadai spill over konflik yang terjadi di wilayah tersebut. Jika tetap ingin
menggunakan

jalur

Hukum

Internasional,

Indonesia

dapat

mengajukan

permasalahan di Laut Natuna ini ke Interntional Tribunal for the Law of the Sea
(ITLOS) di Hamburg, Jerman ataupun ke Permanent Court of Arbitration (PCA)
di Den Haag, Belanda seperti yang dilakukan oleh Filipina. Namun hal tersebut
akan sia-sia selama Pemerintah China belum mengakui Yurisdiksi Mahkamah
Internasional seperti sikapnya terhadap putusan PCA baru-baru ini. Maka dari itu,
meskipun konfrontasi merupakan suatu yang sudah selayaknya dihindari dan
kemungkinan untuk terjadi konfrontasi antara Indonesia dan China pun dapat
dikatakan tidak terlalu besar, tetap saja Indonesia harus membangun kekuatan
angkatan lautnya karena sampai sejauh ini, tidak ada badan ataupun negara di
dunia yang mampu menjadi payung keamanan Indonesia di dunia internasional
selain kemampuan Indonesia itu sendiri dalam mempertahankan dan menjaga
kedaulatan wilayahnya.
Potensi ancaman dalam kerjasama maritim Indonesia-China ini dapat
dikatakan cukup nyata, selain karena hingga saat ini Pemerintah China belum juga
mematuhi Yurisdiksi Mahkamah Internasional, namun hal lain yang juga perlu
diingat adalah adanya fakta bahwa China sukses dalam waktu singkat untuk
mengobrak-abrik

persatuan

organisasi

regional

ASEAN.

Melalui

strategi

diplomasinya, China telah berhasil membuat anggota ASEAN yaitu Malaysia,
Kamboja, Laos, dan bahkan yang terbaru adalah Filipina yang sebelumnya
berseteru cukup keras dengan Pemerintah China, sekarang dibawah Presiden

Duterte memutar haluan ke Beijing.10 Dengan sikap yang terbelah diantara
negara-negara ASEAN tentunya akan sulit bagi Indonesia untuk mengambil peran
lebih dalam organisasi regional ini, karena dalam ASEAN terdapat prinsip nonintervensi diantara para anggotanya. Jika sudah terbelah begini, maka ASEAN
tidak akan pernah satu suara menyikapi persoalan di Laut China Selatan ini dan
tentunya akan semakin meningkatkan posisi tawar China di antara negara-negara
Asia Tenggara dan peran ASEAN pun semakin tidak diperhitungkan.
4.2. Landasan Hukum Internasional terhadap Laut China Selatan dan Laut
Natuna
Situasi dunia yang anarki telah memaksa setiap negara untuk bersikap rasional
dan bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam rangka mencapai kepentingan
nasionalnya. Hal tersebut lantas menjadikan beberapa wilayah di berbagai belahan
dunia kemudian tumbuh menjadi wilayah yang diperebutkan oleh berbagai
negara. Meskipun, telah ada upaya untuk dari komunitas internasional yang
sejatinya sudah lelah berperang ini untuk mengatur agar tidak terjadi tumpang
tindih klaim wilayah melalui berbagai kesepakatan, namun nampaknya hal itu
belum berhasil menekan kepentingan nasional masing-masing negara. Sebagai
contoh adalah sengketa yang terjadi di Laut China Selatan ini. Laut China Selatan
sebenarnya merupakan wilayah yang sudah menjadi perebutan banyak Negara
sejak tahun 1974. Terdapat kurang lebih 5 negara sengketa (Claimant State) yang
secara berkelanjutan memperebutkan 2 pulau utama yaitu Spartly dan Paracel dan
juga wilayah Laut China Selatan di sekitar pulau tersebut. Negara-negara tersebut
diantaranya adalah Republik Rakyat China, Malaysia, Brunei, Taiwan dan
Vietnam. Dengan dikeluarkannya Hukum Laut Internasional pada tahun 1982
yaitu UNCLOS 1982, tadinya diharapkan konflik Laut China Selatan akan
mereda. Apalagi seluruh Negara sengketa maupun sebagian Negara Non-Sengketa
yang terlibat secara tidak langsung seperti Indonesia juga meratifikasi UNCLOS
1982. Yang mana hal ini berarti semestinya negara-negara tersebut telah
bersepakat untuk menerapkan ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam UNCLOS
10

Pemaparan Rene L. Pattriradjawane dalam artikel Persai ga “trategis Negara Besar

1982

dalam

kebijakan

batas

kelautan

nasionalnya.

Namun

sayangnya,

kenyataannya ternyata tidak demikian. Anarki dalam sistem Internasional telah
memberi jalan
Konvensi

bagi Pemerintah China yang sebenarnya turut meratifikasi

Hukum

Laut

Internasional ini mengingkari kesepakatan

dengan

membuat klaim sepihak dengan dasar klaim historisnya terhadap 80% wilayah
Laut China Selatan yang merubat Zona Ekonomi Ekslusif negara lainnya. Sebagai
sebuah negara yang sedang tumbuh menjadi hegemon, Republik Rakyat China
menolak

tunduk

pada aturan yang menghalangi ambisinya untuk

kembali

menguasai laut yang dulu pernah dimilikinya sebelum perang candu.
Sebenarnya Indonesia bukanlah termasuk kedalam Negara sengketa, karena
China melalui Pemerintahnya tidak pernah menyatakan secara langsung klaimnya
terhadap wilayah Natuna dan Indonesia pun tetap teguh dengan pendiriannya
yaitu

menolak

mengakui adanya

9

Dash

Line.

Namun,

klaim tersebut

mengakibatkan terdapat peririsan atau tumpang tindih di wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia diutara Natuna dengan klaim 9 Dash Line yang dikeluarkan
oleh Pemerintah China. Hal inilah yang menjadi dasar masuknya nelayan-nelayan
China dengan Pengawalan Coast Guard ke wilayah-wilayah Laut Indonesia di
Perairan Natuna. Posisi Indonesia berdasarkan klaim yang beririsan di utara
Natuna ini sebenarnya diatas angin karena posisi laut Indonesia didasarkan
UNCLOS 1982 sedangkan klaim Pemerintah China berdasarkan 9 Dash Line
yang mana tidak dapat dijadikan acuan internasional dan juga sudah di tolak oleh
Permanent Court of Arbitration (PCA). Namun sayangnya hingga saat ini, belum

ada tanda-tanda Pemerintah China akan mematuhi putusan PCA tersebut.
Berdasarkan Pasal 55 UNCLOS 1982 yang mengatur dengan jelas rezim
hukum khusus Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dijelaskan bahwa ZEE adalah suatu
daerah di luar dan berdampingan dengan laut territorial, yang tunduk pada rezim
hukum khusus yang ditetapkan dalam pasal ini berdasarkan hak-hak dan
yurisdiksi Negara pantai dan serta hak-hak serta kebebasan Negara lain, diatur
oleh ketentuan yang relevan terhadap konvensi ini. Sedangkan wilayah ZEE
Indonesia sendiri di utara Natuna adalah suatu area yang berada diluar dan

berdampingan dengan laut territorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar
yaitu 200 mil laut (nM) dari garis pangkal laut territorial tersebut diukur. 11
Sehingga posisi Laut Indonesia di utara Indonesia sudah sesuai dengan yang di
tetapkan oleh UNCLOS 1982.
Selanjutnya,

Pasal 76 UNCLOS 1982 juga mengatur tentang Landas

Kontinen. Landas kontinen suatu Negara meliputi dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran
luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut
territorial diukur.12 Landas kontinen Indonesia sudah sesuai dengan ketetapan
UNCLOS 1982 tersebut, sehingga setiap klaim-klaim dan keadaan tumpang tindih
yang terjadi di Utara Natuna semestinya tidak akan terjadi jika setiap Negara mau
secara sadar menaati UNCLOS 1982 yang telah Negara mereka ratifikasi.

Gambar 4: Batas Maritim Negara Menurut UNCLOS 1982
(Sumber: Australian Geological Survey Organisation. Diolah)

11

Dr. Surya Wiranto, SH., MH, Resolusi Konflik Menghadapi Sengketa Laut Tiongkok Selatan dari :
Perspektif Hukum Internasional (Yogyakarta: Leutikapro, 2016)
12
ibid

Klaim yang dilakukan Pemerintah China terhadap Laut China
Selatan yang tidak berdasarkan hukum laut internasional telah menunjukkan
bahwa sesungguhnya, Rezim Hukum Internasional tidak dapat dijadikan satusatunya pedoman dan pegangan bagi setiap Negara dalam berhubungan secara
Internasional dengan Negara lain. Karena bagaimanapun hingga saat ini tidak
terdapat organisasi maupun hukum internasional yang kedudukannya berada
diatas Negara. Dengan begitu maka, tidak ada yang dapat memaksakan setiap
Negara untuk mematuhi Hukum Internasional, karena pada dasarnya setiap
Negara merupakan aktor rasional yang bergerak berdasarkan kepentingan
nasionalnya masing-masing dan hal tersebut merupakan kelemahan dari Hukum
Internasional itu sendiri. Jika saja UNCLOS 1982 memiliki aturan yang tegas dan
mengikat,

tentunya Pemerintah China tidak

akan berani melanggar karna

kesadaran akan konsekuensi yang mungkin diterimanya atau dalam hal ini dapat
dikatakan sebagai Detterent Effect . Namun, dalam dunia Internasional yang anarki
ini sayangnya kekuatan dan pengaruh sebuah Negaralah yang pada akhirnya akan
menjadi tolok ukur penting dibandingkan dengan Hukum Internasional. Sebagai
contoh adalah apa saat ini yang dilakukan oleh Pemerintah China ini dengan
melihat pada apa yang dilakukannya sebagai sebuah negara yang sedang tumbuh
pesat

sebagai negara

besar,

dan ironisnya pelanggaran terhadap

Hukum

Internasional pun bukan hanya terjadi kali ini saja, sebelumnya juga terdapat
beberapa kasus dimana negara adidaya menolak untuk patuh pada Hukum
Internasional. Bahkan negara yang ini getol mengkritik kebijakan Pemerintah
China yang menolak patuh pada UNCLOS 1982 dan putusan PCA yaitu Amerika
Serikat, pada kenyataannya tidak meratifikasi UNCLOS 1982 menjadi hukum
negaranya. Protes-protes dan kecaman yang dilakukan oleh Amerika Serikat
semata-mata

untuk

melindungi kepentingan

nasionalnya

atas

Freedom

of

Navigation di wilayah Asia Pasifik. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia sudah

selayaknya mengambil sikap lebih tegas dalam rangka melakukan tindakan
preventive terhadap masalah kedaulatan wilayahnya di Utara Natuna yang sampai

saat ini masih beririsan dengan 9 Dash Line yang dikemukakan oleh China.

Tindakan Pemerintah China yang menolak putusan mematuhi UNCLOS
1982

juga merupakan preseden buruk

bagi kekuatan dan citra Hukum

Internasional itu sendiri di mata negara-negara yang meratifikasi. Negara-negara
kecil

dan

berkembang

sudah

selayaknya

waspada

dengan

situasi yang

berkembang di dunia internasional ini, karena dengan penolakan terhadap putusan
badan arbitrase internasional tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan
bahwa

sesungguhnya

hukum

internasional

tidak

sanggup

untuk

menjamin

keamanan dan stabilitas kawasan khususnya terhadap ancaman dari tindakan
semena-mena negara adidaya. Dengan begitu, maka sudah saatnya setiap Negara
tidak lagi bergantung terhadap hukum internasional dan lebih fokus membangun
pertahanan

negaranya

masing-masing

dalam

rangka

menghadapi

berbagai

dinamika dan ancaman di perpolitikan global, baik ancaman militer maupun nonmiliter. Karena sesuai dengan perspektif Neo-Realist , pada akhirnya kepentingan
nasional sebuah negaralah yang pada akhirnya akan dijadikan tolok ukur utama
dalam menentukan kebijakan luar negeri sebuah Negara. Hukum Internasional
pada akhirnya hanya dijadikan sebagai komponen pendukung yang akan
dilaksanakan selama hal tersebut memang sesuai dengan kepentingan nasional
suatu negara dan akan diabaikan jika dianggap merugikan posisi dan kepentingan
negara tersebut.
Meskipun begitu, landasan hukum internasional atas laut Indonesia di
Utara Natuna yang merujuk pada UNCLOS 1982 tetaplah penting untuk terus
dikawal karena landasan hukum tersebut merupakan legal standing Indonesia di
mahkamah

arbitrase

internasional jika dikemudian hari Indonesia berminat

menuntut Pemerintah China. Dengan legal standing yang jelas atas posisi dan
kedaulatan Indonesia di Laut Natuna, maka Indonesia juga telah mewujudkan
salah satu tujuan Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
menjalankan

ketertiban

dunia

dan

memungkinkan

Indonesia

mendapatkan

keuntungan administrative dalam persengketaan di Laut Natuna ini. Namun sekali
lagi perlu juga dipertimbangkan efektivitas dalam mengambil tindakan arbitrase
internasional terhadap kasus ini, karena dari yang sudah-sudah pun Pemerintah

China menolak keputusan PCA yang dikeluarkan paska laporan yang dibuat
Filipina. Pemerintah China memiliki sikap “Three No” terhadap hasil Mahkamah
Arbitrase di Den Haag yang memenangkan tuntutan pemerintah Filipina. 13 Ketiga
Three No tersebut diantaranya:

1. No Acceptance: Pemerintah China menolak untuk menerima hasil
keputusan mahkamah Arbitrase
2. No Partisipation: Maka dari itu sejalan dengan kebijakan penolakan
tersebut, Pemerintah China juga menolak untuk berpartisipasi untuk
mematuhi keputusan tersebut, dengan kata lain Pemerintah China tidak
akan menjalankan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional.
3. No Compliance: Pemerintah China menolak untuk menyesuaikan
kebijakannya luar negerinya terhadap laut china selatan sesuai dengan
putusan Mahkamah Arbitrase Internasional.
Meskipun begitu, tetap saja Republik Indonesia (RI) memiliki hak
berdaulat atas Natuna dan perairannya yang termasuk di dalam Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia yang harus diperjuangkan. Hak berdaulat Indonesia meliputi
eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan, dan konservasi sumber kekayaan alam, dan
perlindungan WNI yang beraktivitas di sekitar perbatasan RI dari pelanggaran
hukum dan ancaman kekerasan. Maka dari itu, penguatan angkatan bersenjata di
Laut Natuna mutlak diperlukan. Karena hal ini tidak lagi semata-mata hanya
berdasarkan kepentingan kedaulatan negara saja, namun juga dalam rangka
melindungi warga negara Indonesia yang secara sah melakukan aktivitas di laut
Natuna dari berbagai intimidasi dan ancaman. Dalam beberapa kasus, nelayannelayan China yang memasuki Indonesia dikawal oleh Coast Guard bersenjata

13

Pemaparan Professor Julian Ku dalam seminar The Hague’s “outh Chi a “ea Ruli g: Legal a d
Political I plicatio di Habibie Center, Jakarta

dan terkadang memiliki persenjataan yang lebih canggih dibandingkan angkatan
laut Indonesia.14
Berkaitan dengan kerjasama maritim Indonesia dan China sebenarnya
tidak akan ada masalah berarti jika Pemerintah China tidak melakukan provokasi
di utara Natuna terhadap kedaulatan ZEE Indonesia yang selama ini selalu
berusaha bersikap netral terhadap sengketa yang terjadi di Laut China Selatan.
Selama peririsan 9 Dash Line dan ZEE Indonesia di Laut Natuna tidak segera
diselesaikan, tentunya rancangan kerjasama maritim yang berusaha mensinergikan
antara Poros Maritim Indonesia dan Jalur Sutra Maritim yang dirintis oleh China
akan menjadi masalah kedepannya. Karena tentunya akan sulit bekerja sama di
bidang maritim sementara terdapat isu persinggungan wilayah laut yang masih
belum terselesaikan seperti ini. Hukum Internasional seharusnya dapat menjadi
payung hukum bagi kedua negara dalam melakukan kerjasama maritim. Dengan
adanya persamaan persepsi dalam memandang hukum internasional, maka tidak
akan

tumbuh

kecurigaan

yang

tidak

perlu

diantara

negara-negara

yang

bekerjasama karena diantara negara tersebut yakin bahwa aturan-aturan yang
terdapat Hukum Internasional (dalam hal ini UNCLOS 1982) dapat memastikan
bahwa setiap negara akan bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku
universal.

14

Pemaparan Kolonel Kav. Oktaheroe Ramsi, S.IP., M.Sc dala se i ar Membaca ASEAN Lewat
Konflik Laut China Selatan, sebuah perspektif Indonesia di U iversitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga tahun 2016

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Rekapitulasi Absensi dan Penggajian pada Lembaga Keuangan Rakyat BMT Kariman Al Falah

13 105 54

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

DESKRIPSI PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT USAHA RAKYAT KEPADA USAHA MIKRO KECIL dan MENENGAH (Studi Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Way Halim)

10 98 46

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62