Analisis SWOT Rumah Sakit dalam Menghadapi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe Kabupaten Aceh Utara

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
kompleks dan mempunyai fungsi luas menyangkut fungsi pencegahan, penyembuhan
dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit
sebagai usaha jasa pelayanan kesehatan saat ini mengalami persaingan yang ketat,
sehingga persaingan sangat mengandalkan kualitas layanan, biaya perawatan dan
tenaga medis yang profesional. Akibat persaingan yang ketat ini, rumah sakit dituntut
untuk membuat inovasi dan strategi untuk mendapatkan pelanggan/pasien serta
merupakan tantangan bagi pihak rumah sakit sebagai provider terhadap lingkungan
usaha yang mengalami perubahan.
Lingkungan usaha yang mengalami perubahan pada rumah sakit seperti
pemberlakuan Undang–Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) maka rumah sakit
sebagai organisasi dalam memahami perubahan lingkungan perlu mengembangkan
pemikiran sistematis, sehingga rumah sakit memiliki strategi dalam menghadapi
kebijakan pemerintah tersebut.
Pemerintah melaksanakan amanah Undang–Undang No. 24 Tahun 2011
mulai 1 Januari 2014. Dampak atas pemberlakuan Undang–Undang No. 24 Tahun

2011 ini beberapa asuransi kesehatan dilebur menjadi satu dan dikelola oleh badan

1
Universitas Sumatera Utara

baru yang dikenal dengan BPJS atau UHC (Universal Health Coverage). Pemerintah
menargetkan seluruh masyarakat Indonesia terlindungi dalam JKN pada tahun 2019.
Program JKN merupakan salah satu kebijakan publik dibidang kesehatan
yang diselenggarakan oleh BPJS. Program JKN ini merupakan program BPJS
kesehatan yang terintegrasi dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuan JKN adalah untuk pemeliharaan dan
perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia.
Menurut Kemenkes RI (2013) tentang riset kesehatan dasar secara nasional,
sebanyak 50,5% penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Askes atau
ASABRI dimiliki oleh sekitar 6 persen penduduk, Jamsostek 4,4 persen, asuransi
kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7
persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda
(9,6%). Provinsi Aceh adalah provinsi yang paling tinggi cakupan kepemilikan
jaminan kesehatan diantara provinsi lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau
hanya 3,4 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya DKI Jakarta menjadi

provinsi dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah dan 69,1
persen penduduknya tidak punya jaminan kesehatan.
Hasil penelitian Thabrany (2000) menunjukkan bahwa 10% rumah tangga
termiskin harus menghabiskan 230% penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali
rawat inap anggota keluarganya. Sementara 10% keluarga terkaya hanya
menghabiskan 120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat
inap anggota keluarganya. Sampai saat ini sistem kesehatan di Indonesia sangat jauh

Universitas Sumatera Utara

dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan prinsip keadilan yang merata
(setara) atau equity egalitarian yang menjamin bahwa setiap penduduk mendapat
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Realita di Indonesia, rakyat yang
membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik
mutunya.
Implementasi kebijakan JKN dilakukan secara menyeluruh terhitung tanggal
1 Januari 2014, baik dilakukan oleh rumah sakit pemerintah dan swasta, Puskesmas
maupun praktik-praktik kesehatan pribadi. Secara aktual implementasi program JKN
masih belum maksimal yang ditunjukkan oleh berbagai masalah secara teknis
maupun operasional. Hal ini seperti belum tersosialisasinya secara menyeluruh

tentang ketentuan dalam program JKN baik kepesertaannya, proses pengklaiman,
kejelasan jasa pelayanan bagi pelaku pelayanan seperti dokter maupun masalah dari
aspek regulasi ditingkat pemerintah daerah (Mulyadi, 2014).
Menurut Trisnantoro (2013) kebijakan publik BPJS mengenai pelayanan
kesehatan untuk masyarakat menengah kebawah ada dua faktor penting yang belum
pasti, yaitu jumlah dokter spesialis dan sikap dokter spesialis untuk menerima
pembayaran dari BPJS. Saat ini masih terjadi kekurangan tenaga spesialis dan subspesialis dibeberapa rumah sakit Indonesia. Negosiasi untuk pembayaran jasa medik
masih sulit dan ada keterbatasan anggaran pemerintah dan pada masa yang akan
datang masih ada ketidakpastian mengenai tenaga spesialis dan sub spesialis serta
besarnya pembayaran.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2014, terhitung tanggal 1 Januari 2014 semua peserta JKN yang ingin berobat ke
sarana pelayanan kesehatan maka lebih dahulu berkunjung ke Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar, kecuali bila
kasusnya adalah kegawatdaruratan. Jadi peserta JKN tidak bisa langsung berobat ke
Rumah Sakit. Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar dalam era BPJS
diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 144 macam diagnosis

penyakit dengan alur klinis (clinical pathway) yang sudah disusun organisasi profesi
terkait. Hal ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup
144 jenis diagnosis penyakit dan tidak boleh dirujuk ke PPK 2 atau PPK 3 kecuali
memenuhi kondisi TACCC (time, age, complication, comorbidity, condition). Bila
rumah sakit sebagai PPK 2 dan PPK 3 menangani kasus dengan diagnosis tersebut
dan tidak memenuhi kondisi TACCC berarti tidak akan dibayar oleh BPJS. Hal ini
memberikan makna bahwa selama ini 144 jenis diagnosis penyakit yang dapat
ditangani rumah sakit tanpa rujukan yang jelas dari Puskesmas tidak bisa ditangani
lagi dan berdampak terhadap pengurangan kunjungan pasien dan pendapatan rumah
sakit.
Mempertahankan usaha rumah sakit sebagai jasa pelayanan kesehatan dalam
era JKN, maka suatu organisasi harus mempunyai pemikiran untuk melakukan upaya
perbaikan dan pembenahan secara terus menerus. Perbaikan dan pembenahan harus
dimulai dari hal-hal yang kecil, karena hal tersebut akan membawa dampak yang

Universitas Sumatera Utara

sangat besar dan berpengaruh terhadap kelangsungan usaha. Salah satu upaya untuk
menghadapi persaingan tersebut adalah dengan adanya suatu formulasi stratregi

pemasaran yang tepat. Formulasi strategi antar suatu organisasi tidak akan pernah
sama tergantung kepada visi, misi dan tujuan dari organisasi itu sendiri.
Pemasaran rumah sakit di Indonesia telah memasuki era persaingan global
oleh karena itu para pemilik rumah sakit dituntut untuk mengubah orientasinya yang
dahulu menganggap bahwa pelayanan kesehatan hanya berfungsi sosial. kini harus
juga dikelola secara bisnis, walaupun fungsi sosial tidak dapat ditinggalkan sama
sekali. Kondisi seperti ini diperlukan produk yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan konsumen karena ini adalah inti dari strategi pemasaran (Urban dan Star,
2006)
Menurut Urban dan Star (2006) analisis strategi harus dilakukan sebelum
keputusan pemasaran diambil dan program pemasaran dijalankan karena kalau tidak
maka penggunaan sumber daya perusahaan menjadi tidak efisien, oleh karena itu
dalam memformulasikan strategi pemasaran terdapat proses yang harus dilalui, yaitu:
melakukan analisis strategi, melakukan pengambilan keputusan strategi dan
melakukan implementasi strategi.
Analisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunity-Threats) pada umumnya
timbul secara langsung atau tidak langsung dikarenakan persaingan yang datang dari
perusahaan lain yang memproduksi barang dan jasa yang sejenis dengan produk
perusahaan. Hal ini membuat perusahaan harus menetapkan strategi untuk
memenangkan persaingan atau dapat bertahan hidup. Persaingan yang semakin ketat


Universitas Sumatera Utara

dan tajam mengakibatkan perusahaan membutuhkan antisipasi yang tepat dan akurat,
sehingga perusahaan dapat memasarkan produknya dipasar dan bahkan bila
memungkinkan menjadi pemimpin pasar. Untuk itu perusahaan harus menetapkan
dan merealisasikan strategi agar perusahaan dapat bertahan dalam lingkungan yang
dinamis (Kotler, 2012).
Salah satu kabupaten di Provinsi Aceh adalah Kabupaten Aceh Utara. Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe merupakan rumah sakit pemerintah yang
wajib melayani pasien JKN di Kabupaten Aceh Utara. Saat ini Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Lhokseumawe memang belum mempunyai strategi pemasaran yang
terformulasi secara jelas dalam menghadapai implementasi JKN, sehingga penilaian
dan keputusan para pengelolanya menghadapi berbagai permasalahan dalam
implementasi JKN. Merumuskan suatu strategi pemasaran yang tepat dan membuat
program dalam pelayanan kesehatan, Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhoksemawe
berorientasi kepada kepuasan pelanggan/pasien dengan memberikan pelayanan yang
berkualitas didukung oleh tenaga profesional.
Rumah sakit umum saat ini terdapat 7 (tujuh) unit di Kabupaten Aceh Utara
yang tersebar dibeberapa tempat, 6 (enam) unit diantaranya sudah bekerja sama

dengan BPJS dalam implementasi program JKN. Semua rumah sakit tersebut
berupaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat di
Kabupaten Aceh Utara.
Hasil penelitian Mukti (2008) tentang Strategi pengembangan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Mandiri Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi

Universitas Sumatera Utara

Kalimantan Selatan menyimpulkan bahwa berdasarkan strategi yang terpilih, yaitu
(a) pengembangan produk (Product Development) dengan melakukan perbaikan
produk dilakukan terhadap nilai produk biaya pelayanan kesehatan (santunan) rawat
inap rumah sakit. Berdasarkan diversifikasi (Diversification) melakukan peningkatan
cakupan kepesertaan dengan membidik pangsa pasar yang lebih tinggi. Berdasarkan
penetrasi/ konsentrasi pasar (Market Penetration), yaitu menarik minat masyarakat
melalui kebijaksanaan harga, yaitu besaran premi yang relatif terjangkau dengan
keadaan ekonomi masyarakat dan kebijaksanaan pembayaran adanya subsidi dari
pemerintah serta pembayaran secara cicilan.
Hasil penelitan Hasjmy (2004) menyimpulkan bahwa kekuatan, peluang,
kelemahan, dan ancaman memiliki peluang besar untuk digunakan sebagai
manajemen strategis untuk pengembangan RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh tetapi

dihambat oleh kelemahan dalam negeri. Formulasi strategis yang tepat untuk RSUD
Zainoel Abidin adalah turn around strategy.
Hasil penelitan Prabowo (2013) menyimpulkan bahwa RSU Pelita Anugerah
Mranggen memiliki kelemahan yang lebih besar dari kekuatan, peluang yang dimiliki
lebih besar dari ancaman (kuadran II), yang menuntut manajer meminimalkan
kelemahan dan memaksimalkan peluang dan strategi yang diambil adalah turn
around strategy.
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas penulis merasa tertarik untuk
meneliti Kesiapan Rumah Sakit dalam Menghadapi Implementasi Jaminan Kesehatan

Universitas Sumatera Utara

Nasional (JKN) dengan Menggunakan Analisis SWOT di RSUD Cut Meutia
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana kesiapan RSUD Cut Meutia Lhokseumawe,
Kabupaten Aceh Utara dalam menghadapi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dengan menggunakan analisis SWOT.


1.3. Tujuan Penelitian
Meneliti kesiapan

rumah sakit baik dari faktor internal maupun faktor

eksternal berupa kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity)
maupun ancaman (threat) dengan menggunakan analisis SWOT dalam menghadapi
implementasi JKN di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan bermanfaat bagi:
1. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dapat memberikan masukan dalam
penyusunan regulasi pendukung untuk menghadapi implementasi JKN di RSUD
Cut Meutia Lhokseumawe
2. Pengambil kebijakan di RSUD Cut Meutia Lhokseumawe dalam menghadapi
implementasi JKN dan menghadapi persaingan.
3. Akademik, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi rumah sakit
khususnya yang berkaitan dengan strategi pemasaran

Universitas Sumatera Utara