Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika tumbuhan

Tumbuhan laja gowah (Burm.f.) Roscoe)

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae

Marga

Jenis (Burm.f.) Roscoe(Anonim, 2010).

2.1.2 Sinonim tumbuhan

Sinonim: Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roxb; Galanga malaccensis Rumph; Catimbium malaccensis L. (Anonim, 2010).

2.1.3 Nama daerah

Bunglai laki-laki, bolang, kepolang, langkuwas malaka(Melayu); saya (Aceh); seruleu (Gayo); tugala (Nias); siga (Palembang); sesuk, susuk (Lampung); laja gowah, raja gowah (Sunda); kamijara (Jawa); laawase wakan, laawase (Seram); lawasa malaka (Ambon); madamonge (Halmahera); lawasa malaka, makui malaka, mandamonge, duhu (Maluku) (Anonim, 2010).


(2)

5 2.1.4 Morfologi tumbuhan

Tumbuhan laja gowah merupakan herba tahunan, berdiri tegak, tinggi 1-4 m dan tumbuh dalam rumpun yang rapat. Batangnya merupakan batang semu, terdiri kumpulan pelepah daun yang menyatu. Daun laja gowah merupakan daun tunggal berwarna hijau, berbentuk lanset, panjang 40-80 cm dan lebar 9-12 cm, tepi daun rata, pangkal tumpul, ujungnya runcing dan pertulangan menyirip. Permukaan daun bagian atas licin, tetapi permukaan bawahnya berbulu. Tangkai daun pendek, berpelepah panjang, beralur dan berwarna hijau muda. Bunga majemuk berwarna putih, tersusun dalam tandan yang muncul dari ujung batang (Anonim, 2010).

2.1.5 Kandungan kimia

Tumbuhan laja gowahmengandung minyak atsiri, saponin dan flavonoid(Anonim, 2010).

2.1.6 Manfaat tumbuhan laja gowah

Rimpang laja gowah digunakan oleh masyarakat Ambon sebagai obat bisul dan luka, untuk memelihara tenggorokan, mengobati sakit perut dan untuk obat kuat. Laja gowah juga sering dimanfaatkan sebagai sabun dan anti emetikum (mencegah muntah), kulit buahnya dapat digunakan untukmewangikan rambut dan cucian (Anonim, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi


(3)

6

senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat akan lebih mudah apabila senyawa aktif yang dikandung simplisia diketahu.Pelarut yang digunakan yaitu air, etanol dan campuran air - etanol (Depkes RI, 2000).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

a. Cara dingin

- Maserasiadalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada suhu kamar. Maserasi yang dilakukan dengan pengadukan secara terus menerus disebut dengan maserasi kinetik, sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

- Perkolasiadalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat.

b. Cara panas

- Refluksadalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(4)

7

- Digestiadalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

- Sokletasiadalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

- Infudansiadalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit.

- Dekoktasiadalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit.

2.3 Fraksinasi

Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik (Soebagio, 2005).

Teknik pemisahan ekstraksi cair-cair ini biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pisah (separatory funnel). Kedua pelarut yang saling tidak bercampur tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian digojok dan didiamkan. Solut atau senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka kunci pipa corong pisah (Odugbemi, 2008).

Ekstrak dipartisi dengan menggunakan peningkatan polaritas pelarut seperti petroleum eter, n-heksana, kloroform, dietil eter, etilasetat dan etanol.


(5)

8

Pemilihan pelarut pada ekstraksi umumnya bergantung pada sifat analitnya dimana pelarut dan analit harus memiliki sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-heksana sedangkan analit yang semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar seperti etilasetat atau diklorometana (Venn, 2008).

Aglikon umumnya terekstraksi pada fraksi nonpolar seperti terpenoid dan steroid sedangkan flavonoid, glikosida, saponin dan gula ester ditemukan pada fraksi yang lebih polar dan fraksi air. Petroleum eter dan n-heksana juga dapat digunakan untuk menghilangkan lipid, wax dan senyawa lemak (Dey, 2012).

Pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi ada banyak, namun beberapatidak dapat digunakan karena tidak memenuhi syarat. Pertama, pelarut harus tidak bercampur dengan air, mempunyai titik didih yang rendah (jika digunakan untuk evaporasi) dan sebaiknya memiliki densitas yang lebih rendah daripada air (untuk membentuk lapisan atas sehingga pemisahan lebih mudah dilakukan). Kedua, pelarut harus aman dan tidak merusak lingkungan jika digunakan. Banyak pelarut yang tidak aman digunakan karena berbagai alasan seperti dietil eter (mudah terbakar), toluen (memiliki titik didih yang tinggi), benzen (keamanan) dan pelarut klorida seperti diklorometana (berbahaya bagi lingkungan). Praktisnya, hanya ada beberapa pelarut saja yang biasa digunakan untuk ekstraksi seperti n-heksana, metil tertier butil eter (MTBE) dan etilasetat (Venn, 2008).

Etanol (CH3CH2OH) merupakan pelarut polar yang baik bila dibandingkan dengan pelarut alkohol lainnya untuk proses ekstraksi. Hal ini dikarenakan etanol memiliki gugus –OH yang sifat polarnya tinggi dan gugus hidrokarbon yang


(6)

9

bersifat nonpolar. Berbeda dengan etanol, etilasetat (CH3COOCH2CH3) tidak memiliki gugus –OH sehingga menyebabkan etilasetat bersifat kurang polar karena tidak dapat membentuk ikatan hidrogen. n-Heksana (C6H14) merupakan golongan alkana dan termasuk ke dalam pelarut nonpolar. Adanya ikatan antara C-H menyebabkan n-heksana bersifat nonpolar. Karbon dan hidrogen memiliki elektronegativitas yang sangat dekat, sehingga pasangan elektron pada ikatan kovalen antara karbon dan hidrogen saling berbagi sehingga menyebabkan polaritas antara ikatan C-H sedikit. Pasangan elektron antara ikatan C-C pada n -heksana juga saling berbagi sehingga ikatan ini juga nonpolar (Hill, 2000).

2.4 Bakteri

2.4.1 Uraian umum

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” dari bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang. Nama tersebut belakangan dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1978).

Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh: a. Zat makanan (nutrisi)

Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi metabolik dan pertumbuhannya.


(7)

10

Bakteri umumnya tumbuh optimum padapH antara 6,5-7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau basa.

c. Temperatur

Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan hal tersebut, maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 0-30oC, dengan temperatur optimum adalah 10-20oC.Contoh: Pseudomonas.

- Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 5-60oC, temperatur optimum adalah 25-40oC. Contoh: Staphylococcus.

- Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur optimum adalah 55-65oC. Contoh: Thermus aquaticus.

d. Oksigen

Berdasarkan keterbutuhan bakteri terhadap oksigen dalam pertumbuhannya, bakteri dibedakan sebagai berikut:

- Aerobik, yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. Contoh: Pseudomonas aeruginosa.

- Anaerobik, yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen. Contoh: Prevotella melaninigenica.

- Anaerobik fakultatif, yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen. Contoh: Escherichia coli.

- Mikroaerofilik, yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen. Contoh: Borrelia burgdorferi.


(8)

11

Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri.

f. Kelembapan

Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembap. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya (Pelczar,et al.,1988).

2.4.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus termasuk dalam suku Micrococcaceae. Staphylococcus aureus berasal dari kata “Staphele” yang berarti kumpulan dari anggur, dan kata “aureus” dalam bahasa Latin yang berarti emas. Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, berbentuk bulat (kokus) dengan diameter

sekitar 1 μm, tidak membentuk spora dan termasuk anaerob fakultatif.

Staphylococcus aureus adalah bakteri mesofil dengan suhu pertumbuhan yaitu antara 7-48oC dengan suhu optimum 37oC dan tumbuh secara optimum pada pH 6-7 (Adams dan Moss, 1995).

Adapun sistematika dari bakteri Staphylococcus aureus yaitu: Divisi : Schizophyta

Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Suku : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus(Holt, et al., 1988).

Staphylococcus aureushidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut,


(9)

12

tenggorokan dan dapat pula dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini dapat menyebabkan berbagai macam infeksi seperti intoksikasi, jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus dapat menimbulkan berbagai gejala setelah 2-4 jam. Gejala-gejala tersebut yaitu meliputi muntah, diare, mual, kejang dan timbul perasaan letih (Adams dan Moss, 1995).

2.4.3 Escherichia coli

Bakteri Escherichia coli umumnya merupakan flora normal saluran pencernaan tubuh manusia dan hewan. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, tidak berkapsul, umumnya mempunyai fimbria dan bersifat motile. Sel Escherichia coli mempunyai ukuran panjang 2,0-6,0 μm dan lebar 1,1-1,5 μm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella peritikus (Supardi dan Sukamto, 1999).

Adapun sistematika dari bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut: Divisi : Schizophyta

Kelas : Schizomycetes Ordo :Eubacteriales Suku : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli(Holt, et al., 1988).

Bakteri Escherichia coli tumbuh pada suhu 10oC sampai 40oC dengan suhu optimum 37oC. Bakteri ini tumbuh pada pH optimum yaitu pada pH 7,0-7,5. Bakteri ini relatif sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu


(10)

13

pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Strain Escherichia coli yang memproduksi enterotoksin melepaskan toksin yang menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan ke saluran pencernaan yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan gejala diare yang bervariasi yaitu dari ringan sampai berat (Supardi dan Sukamto, 1999).

2.5Morfologi Bakteri

Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil

Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun bentuk rantai pendek atau panjang.

Bakteri bentuk basil dapat dibedakan atas:

- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul.

- Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul.

- Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung tajam.

Contoh bakteri dengan bentuk basil adalahEschericia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium dan Shigella dysentriae.

b. Bentuk kokus

Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan.


(11)

14

Bakteri bentuk kokus dapat dibedakan atas: - Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.

- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan membentuk anggur. - Streptokokus yaitu kokus yang bergandengan panjang menyerupai rantai. - Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.

Contoh bakteri dengan bentuk kokus adalahStaphylococcus aureus, Sarcina luten, Diplococcus pneumonia dan Streptococcus lactis.

c. Bentuk spiral

Bakteri bentuk spiral dapat dibedakan atas: - Spiral yaitu menyerupai spiral atau lilitan.

- Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.

- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.

Contoh bakteri dengan bentuk spiral adalahVibrio cholera dan Spirochaeta palida (Volk dan Wheeler, 1989).

2.6 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

Ada empat macam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu: a. Fase lag

Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan. Bila sel-sel


(12)

15

mikroorganisme diambil dari kultur yang sama sekali berlainan, maka yang sering terjadi adalah mikroorganisme tersebut tidak mampu tumbuh dalam kultur.

b. Fase log (fase esksponensial)

Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan. c. Fase stationer

Fase ini merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Terdapat kehilangan sel yang lambat karena kematian diimbangi oleh pembentukan sel-sel baru melalui pertumbuhan dan pembelahan dengan nutrisi yang dilepaskan oleh sel-sel yang mati karena mengalami lisis.

d. Fase kematian

Fase ini merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008).

2.7 Pengukuran Aktivitas Antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap agen antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok, yaitu:


(13)

16

Metode ini digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada media yang telah ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18–24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

b. Metode difusi agar

Metode yang paling sering digunakan yaitu metode difusi agar. Obat dengan jumlah tertentu ditempatkan pada permukaan media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya dan kemudian diinkubasi. Diameter zona hambatan sekitar pencadang digunakan untuk mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisika dan kimia, misalnya sifat medium, kemampuan difusi,ukuran molekular dan stabilitas obat (Jawetz,et al., 2001).

2.8 Tumbuhan sebagai Sumber Senyawa Antibakteri

Tumbuhan menghasilkan berbagai molekul bioaktif melalui jalur metabolit sekunder. Metabolit sekunder umumnya diproduksi oleh tanaman bukan sebagai kebutuhan hidup utamanya, melainkan sebagai bagian dari sistem pertahanan dirinya, baik terhadap lingkungan maupun serangan penyakit. Metabolit sekunder merupakan senyawa pada tanaman yang memiliki fungsi


(14)

17

sebagai antibakteri (Tisnadjaja, 2006). Aktivitas antibakteri dari tumbuhan dapat dipengaruhi oleh tempat tumbuh, waktu panen, umur tumbuhan, metode ekstraksi, struktur dan gugus fungsi komponen aktif serta konsentrasinya (Hayek, dkk., 2013).

Metabolit sekunder berkhasiat sebagai antibakteri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu fenol, terpen dan alkaloid. Senyawa fenol dan polifenol merupakan kelompok metabolit sekunder terbesar, mempunyai gugus hidroksil yang melekat pada gugus fenol aromatik. Fenol, kuinon, flavon, flavonoid, flavonol, tanin dan kumarin termasuk dalam kelompok ini. Letak dan jumlah gugus hidroksil pada gugus fenol diperkirakan berhubungan dengan toksisitas terhadap mikroorganisme (Stefanovic, dkk., 2012). Mekanisme kerja senyawa fenol belum jelas tetapi kemampuan senyawa ini merubah permeabilitas sel bakteri, sehingga menyebabkan kehilangan makromolekul dari dalam sel, dapat membantu menjelaskan aktivitas antibakterinya. Penjelasan lain bahwa senyawa ini mengganggu fungsi membran dan mempengaruhi protein membran, menyebabkan perubahan struktur dan fungsi. Kombinasi senyawa fenol dapat memberikan efek sinergis dan dapat menambah reaksi antibakteri lebih baik dibandingkan dengan senyawa tunggal. Senyawa fenol pada konsentrasi rendah mempengaruhi aktivitas enzim, sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan denaturasi protein (Hayek, dkk., 2013).

Terpen merupakan senyawa organik yang tersebar luas dan sangat bervariasi. Mekanisme kerja antibakteri senyawa terpen belum dipahami sepenuhnya tetapi diduga mengganggu pembentukan membran oleh senyawa lipofilik (Stefanovic, dkk., 2012).

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik berasal dari asam amino dan keberadaan nitrogen memberikan sifat basa. Mekanisme kerja


(15)

18

antibakteri senyawa alkaloid dihubungkan dengan kemampuan untuk menyisip pada DNA, penghambatan enzim (esterase, DNA-polimerase, RNA-polimerase) dan penghambatan respirasi sel (Stefanovic, dkk., 2012).


(1)

13

pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Strain Escherichia coli yang memproduksi enterotoksin melepaskan toksin yang menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan ke saluran pencernaan yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan gejala diare yang bervariasi yaitu dari ringan sampai berat (Supardi dan Sukamto, 1999).

2.5Morfologi Bakteri

Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil

Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun bentuk rantai pendek atau panjang.

Bakteri bentuk basil dapat dibedakan atas:

- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul.

- Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul.

- Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung tajam.

Contoh bakteri dengan bentuk basil adalahEschericia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium dan Shigella dysentriae.

b. Bentuk kokus

Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan.


(2)

14

Bakteri bentuk kokus dapat dibedakan atas: - Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.

- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan membentuk anggur. - Streptokokus yaitu kokus yang bergandengan panjang menyerupai rantai. - Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.

Contoh bakteri dengan bentuk kokus adalahStaphylococcus aureus, Sarcina luten, Diplococcus pneumonia dan Streptococcus lactis.

c. Bentuk spiral

Bakteri bentuk spiral dapat dibedakan atas: - Spiral yaitu menyerupai spiral atau lilitan.

- Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.

- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.

Contoh bakteri dengan bentuk spiral adalahVibrio cholera dan Spirochaeta palida (Volk dan Wheeler, 1989).

2.6 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

Ada empat macam fase pertumbuhan mikroorganisme, yaitu: a. Fase lag

Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan. Bila sel-sel


(3)

15

mikroorganisme diambil dari kultur yang sama sekali berlainan, maka yang sering terjadi adalah mikroorganisme tersebut tidak mampu tumbuh dalam kultur.

b. Fase log (fase esksponensial)

Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan. c. Fase stationer

Fase ini merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Terdapat kehilangan sel yang lambat karena kematian diimbangi oleh pembentukan sel-sel baru melalui pertumbuhan dan pembelahan dengan nutrisi yang dilepaskan oleh sel-sel yang mati karena mengalami lisis.

d. Fase kematian

Fase ini merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008).

2.7 Pengukuran Aktivitas Antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap agen antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok, yaitu:


(4)

16

Metode ini digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada media yang telah ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18–24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

b. Metode difusi agar

Metode yang paling sering digunakan yaitu metode difusi agar. Obat dengan jumlah tertentu ditempatkan pada permukaan media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya dan kemudian diinkubasi. Diameter zona hambatan sekitar pencadang digunakan untuk mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisika dan kimia, misalnya sifat medium, kemampuan difusi,ukuran molekular dan stabilitas obat (Jawetz,et al., 2001).

2.8 Tumbuhan sebagai Sumber Senyawa Antibakteri

Tumbuhan menghasilkan berbagai molekul bioaktif melalui jalur metabolit sekunder. Metabolit sekunder umumnya diproduksi oleh tanaman bukan sebagai kebutuhan hidup utamanya, melainkan sebagai bagian dari sistem pertahanan dirinya, baik terhadap lingkungan maupun serangan penyakit. Metabolit sekunder merupakan senyawa pada tanaman yang memiliki fungsi


(5)

17

sebagai antibakteri (Tisnadjaja, 2006). Aktivitas antibakteri dari tumbuhan dapat dipengaruhi oleh tempat tumbuh, waktu panen, umur tumbuhan, metode ekstraksi, struktur dan gugus fungsi komponen aktif serta konsentrasinya (Hayek, dkk., 2013).

Metabolit sekunder berkhasiat sebagai antibakteri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu fenol, terpen dan alkaloid. Senyawa fenol dan polifenol merupakan kelompok metabolit sekunder terbesar, mempunyai gugus hidroksil yang melekat pada gugus fenol aromatik. Fenol, kuinon, flavon, flavonoid, flavonol, tanin dan kumarin termasuk dalam kelompok ini. Letak dan jumlah gugus hidroksil pada gugus fenol diperkirakan berhubungan dengan toksisitas terhadap mikroorganisme (Stefanovic, dkk., 2012). Mekanisme kerja senyawa fenol belum jelas tetapi kemampuan senyawa ini merubah permeabilitas sel bakteri, sehingga menyebabkan kehilangan makromolekul dari dalam sel, dapat membantu menjelaskan aktivitas antibakterinya. Penjelasan lain bahwa senyawa ini mengganggu fungsi membran dan mempengaruhi protein membran, menyebabkan perubahan struktur dan fungsi. Kombinasi senyawa fenol dapat memberikan efek sinergis dan dapat menambah reaksi antibakteri lebih baik dibandingkan dengan senyawa tunggal. Senyawa fenol pada konsentrasi rendah mempengaruhi aktivitas enzim, sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan denaturasi protein (Hayek, dkk., 2013).

Terpen merupakan senyawa organik yang tersebar luas dan sangat bervariasi. Mekanisme kerja antibakteri senyawa terpen belum dipahami sepenuhnya tetapi diduga mengganggu pembentukan membran oleh senyawa lipofilik (Stefanovic, dkk., 2012).

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik berasal dari asam amino dan keberadaan nitrogen memberikan sifat basa. Mekanisme kerja


(6)

18

antibakteri senyawa alkaloid dihubungkan dengan kemampuan untuk menyisip pada DNA, penghambatan enzim (esterase, DNA-polimerase, RNA-polimerase) dan penghambatan respirasi sel (Stefanovic, dkk., 2012).


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksana, Etilasetat Dan Etanol Rumput Laut Coklat (Sargassum Polycystum C.Agardh) Terhadap Bakteri Escherichia Coli Dan Staphylococcus Aureus

5 45 83

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

2 74 83

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak N-Heksana, Etil Asetat Dan Etanol Teripang(Holothuria Scabra Jaeger) Terhadap Staphylococcus Aureus Dan Pseudomonas Aeruginosa

1 25 94

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

5 35 83

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana Serta Etilasetat Buah Babal (Artocarpusheterophyllus Lamk.)terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

1 11 79

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 13

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 2

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 1 3

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 4

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etil Asetat Rimpang Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 23