Optimalisasi Proses Pengadaan Dengan Metode Rekayasa Ulang Bisnis Proses (Bpr) Studi Kasus PT Inalum (Persero)

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1

Definisi Proses bisnis
Hammer dan Champy (1993) menyatakan bahwa proses bisnis merupakan

sekumpulan aktivitas yang memerlukan satu atau lebih masukan/input dan
membentuk suatu keluaran/output yang memiliki nilai yang diinginkan pelanggan.
Menurut Wikipedia Indonesia, proses bisnis adalah suatu kumpulan aktivitas atau
pekerjaan terstruktur yang saling terkait untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu
atau yang menghasilkan produk atau layanan demi meraih tujuan tertentu. Pengertian
berbeda disampaikan oleh Paul Harmon (2003) yang menyatakan bahwa proses bisnis
adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh suatu bisnis dimana mencakup
inisiasi input, transformasi dari suatu informasi, dan menghasilkan output.
Suatu proses bisnis yang baik harus memiliki tujuan-tujuan seperti
mengefektifkan, mengefisienkan serta membuat kemudahan pada proses-proses di
dalamnya. Kinerja perusahaan tergantung pada seberapa baik proses bisnis dirancang
dan dikoordinasikan. Proses bisnis perusahaan dapat menjadi sumber kekuataan
kompetitif jika dapat memungkinkan perusahaan untuk berinovasi atau untuk

menjalankannya dengan lebih baik dari pesaingnya. Proses bisnis juga dapat menjadi
kewajiban jika berdasarkan kepada cara bekerja yang telah usang yang menghalangi
kewaspadaan dan efisiensi organisasi.

7

Charles Coates (1995) mengungkapkan bahwa proses bisnis merupakan
delivery sistem ditambah dimension of time dan ketergantungan dari aktifivitas dalam

perusahaan. Kata kunci dari dari definisi di atas adalah sebagai berikut:
1.

Delivery sistem merupakan rangkaian ketergantungan aktivitas perusahaan

yang terdiri dari aktifitas internal dan eksternal (pembelian dan pemasok)
2.

Dimension of time. Waktu adalah faktor krusial dari rantai pembeli dan

pemasok. Kecepatan waktu proses berpengaruh pada peningkatan kapasitas

kerja sehingga menurunkan unit cost pada jumlah produksi yang tinggi.

Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa proses bisnis dipengaruhi oleh
rangkaian aktifitas perusahaan secara internal dan eksternal serta tambahan kecepatan
waktu proses.

2.2

Analisis Proses Bisnis
Menurut Whitten (2001) analisis proses bisnis adalah kajian dan evaluasi yang

dilakukan

terhadap

kegiatan-kegiatan

proses

bisnis


perusahaan

untuk

mengidentifikasi dampak dari kegiatan tersebut dalam menciptakan nilai atau
menambah nilai terhadap bisnis perusahaan.
Analisis proses bisnis merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan
perusahaan pada saat perusahaan akan melakukan rekayasa ulang proses bisnis.
Untuk lebih menjelaskan hubungan antara analisis proses bisnis dengan rekayasa
ulang bisnis, terlebih dahulu kita lihat tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam
rangka melakukan rekayasa ulang proses bisnis.
8

Setiap proses bisnis dianalisis dan diteliti secara cermat apakah terjadi
bottlenecking, repetisi atau pekerjaan ulang yang mengakibatkan ketidakefisienan.

Analisis dan studi ini dimaksudkan untuk menemukan proses bisnis mana yang
mempunyai dampak besar terhadap nilai tambah perusahaan. Terhadap proses bisnis
tersebut dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk menemukan adanya kesempatan

untuk melakukan perbaikan sehingga memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Analisis proses bisnis merupakan bagian dari rekayasa ulang proses bisnis.
Dalam melakukan analisis proses bisnis, kegiatan dilakukan hingga tahap kedua
sedangkan dalam melakukan rekayasa ulang proses bisnis, kegiatan diteruskan hingga
tahap tiga.

2.3

Pengertian Business Process Reengineering (BPR)
Menurut Hammer dan Champy (1993) rekayasa ulang proses bisnis adalah

proses berpikir kembali (rethinking) dan proses perancangan kembali (redesign)
secara mendasar (fundamental) untuk memperoleh perbaikan yang memuaskan atas
kinerja perusahaan yang mencakup ongkos, kualitas, jumlah dan layanan terbaik.
Salah satu pendekatan baru untuk perubahan yang cepat dan dramatis yaitu
BPR (business process reengineering). Prinsip BPR adalah bertumpu pada pemikiran
yang berbeda sama sekali dengan model continuous process improvement. Secara
ekstrim, dapat dikatakan bahwa BPR menganggap dan mengandaikan bahwa proses
yang digunakan sekarang sudah tidak relevan, tidak layak, sudah kadaluwarsa, jadi
harus dilupakan dan ditinggalkan saja.


9

Reengineering bisa juga diartikan sebagai inovasi proses atau perencanaan visi

strategis dan strategi kompetitif baru serta pengembangan proses bisnis baru yang
mendukung visi tersebut. Herbkersman (1994) berpendapat reengineering adalah
perubahan secara drastis bagaimana cara anggota organisasi menyelesaikan cara kerja
mereka.
Korporasi melakukan rekayasa ulang proses bisnisnya ketika menginginkan
perubahan yang dramatis dalam cara menjalankan bisnisnya atau ketika cara yang
dijalankan saat ini tidak sesuai dengan harapan. Rekayasa ulang proses bisnis, atau
Business Process Re-engineering merupakan strategi yang umum diperkenalkan

sebagai bagian manajemen bisnis untuk menganalisis, mendisain alur kerja serta
proses bisnis di dalam organisasi. Sasaran utamanya adalah membantu organisasi
untuk „berpikir ulang‟ secara mendasar mengenai bagaimana cara mereka bekerja,
bagaimana meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, bagaimana memotong dan
mengurangi biaya operasional dan bisa menjadi perusahaan berkelas dunia.
Rekayasa ulang proses bisnis merupakan sebuah strategi manajemen bisnis

dalam persaingan kompetisi bisnis serta pengembangan proses bisnis baru yang
mendukung visi sebuah perusahaan. Dalam sebuah artikel Harvard business review
menyatakan bahwa Rekayasa ulang menjadi sebuah paradigma manajemen baru
marak di tahun 1990-an, walaupun sebenarnya prinsip reengineering telah lama
diterapkan sebelum 1990-an. Pada awal tahun 1990-an dunia bisnis semakin tertarik
pada reengineering, sehingga beberapa perusahaan berbagi pengalaman mengenai
siklus awal penerapan reengineering. Perusahaan yang berhasil menerapkan rekayasa

10

ulang seperti General Motors (GM), American Airlines, Ford, Hewlett Packard,
Procter & Gamble (P&G) dan masih banyak lagi (Sumber : Aditya rachman
www.scribd.com/doc). Salah satu BUMN Perkebunan yakni PTPN-3 telah
melakukan transformasi bisnis sejak tahun 2003 dan salah satu hasil transformasi
tersebut adalah adanya instruksi kerja dan pedoman baru di proses bisnis yang
dirancang melalui proses BPR (Muluk, 2012). Berawal dari pencerahan dari MMUSU, Prof. Dr. Ir. Darwin Sitompul, M.Eng dan Dr. Ir. Chairul Muluk, M.Sc
kemudian disusun suatu Enterprise proses pada tahun 2004. Proses bisnis telah
dirumuskan dan dibukukan ke dalam 6 jilid buku (Anonim, 2004)

2.4


Alasan Melakukan Rekayasa Ulang Proses Bisnis
Menurut

Grant

Thornton

(1994),

faktor-faktor

yang

mendukung

dilaksanakannya proses rekayasa ulang di bisnis adalah:
 Reduced cost

 Improve Quality


 Increase speed (throughput)

 Overcome a competitive threat

 Change the organization structure
 Others

84%
79%
62%
50%
35%
9%

Sedangkan menurut Hammer dan Champy (1995) perusahaan melakukan rekayasa
ulang proses bisnisnya dengan beberapa alasan yaitu :

11


 Perusahaan menghadapi masalah besar, dengan karakteristik mempunyai
struktur biaya yang tinggi dan pelayanan kepada pelanggan yang buruk.
Kondisi tersebut menghadapkan perusahaan perlu meningkatkan kinerja
sesegera mungkin.
 Perusahaan sehat dan memiliki visi ke depan untuk mengantisipasi
perubahan yang akan mengancam perusahaan di masa depan.
 Perusahaan berada dalam kondisi puncak dan mempunyai ambisi untuk
meninggalkan pesaing dengan menggunakan usaha rekayasa ulang proses
bisnis.

2.5

Tahapan Rekayasa Ulang
Rekayasa ulang memiliki fokus pada inovasi, kecepatan, pelayanan dan

kualitas. Rekayasa ulang menyediakan proses yang super efisien yang membawa
pada peningkatan yang radikal. Whitten (2001) berpendapat bahwa dalam melakukan
rekayasa ulang proses bisnis ada 3 (tiga) tahap besar yaitu :
1. Identifikasi Value Chain
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kegiatan-kegiatan pada setiap fungsi

Perusahaan yang harus dilakukan oleh Perusahaan dalam menjalankan proses
bisnisnya. Kegiatan-kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang secara
bersama akan membentuk suatu kombinasi proses yang dapat memberikan
nilai tambah bagi proses bisnis perusahaan. Besar kecilnya nilai tambah yang
diberikan oleh suatu kegiatan pada proses bisnis perusahaan sangatlah bersifat
spesifik untuk perusahaan tertentu dan untuk industri tertentu yang sangat
12

tergantung faktor internal perusahaan antara lain strategi bisnis, sumber daya
dan fasilitas produksi yang dimiliki dan visi dari pimpinannya, serta faktor
eksternal antara lain kondisi kompetisi, kondisi industri, peraturan pemerintah
dan kondisi sosial ekonominya.
2. Tahap analisa setiap kegiatan dalam proses bisnis
Analisa terhadap setiap kegiatan dalam proses bisnis perusahaan dari segi
waktu, bottleneck, biaya untuk mengidentifikasi dampak setiap kegiatan
dalam menciptakan atau menambah nilai bisnis perusahaan. Dalam tahap
analisa proses bisnis ini juga dilakukan identifikasi peluang-peluang untuk
melakukan perbaikan dan perancangan ulang proses bisnis agar proses bisnis
lebih efisien.
3. Tahap perancangan proses bisnis yang baru

Perancangan proses bisnis yang baru dengan memanfaatkan teknologi
informasi dalam menambah nilai proses bisnis perusahaan. Hasil rancangan
baru proses bisnis kemudian diimplementasikan dan dilakukan review.

Analisa proses bisnis merupakan bagian dari rekayasa ulang proses bisnis.
Dalam melakukan analisa proses bisnis, kegiatan dilakukan hingga tahap kedua
sedangkan dalam melakukan rekayasa ulang proses bisnis, kegiatan diteruskan hingga
tahap tiga. Setiap proses bisnis dianalisa dan teliti secara cermat apakah terjadi
bottlenecking, repetisi atau pekerjaan ulang yang mengakibatkan ketidakefisienan.

Analisa dan studi ini dimaksudkan untuk menemukan proses bisnis mana yang
mempunyai dampak besar terhadap nilai tambah perusahaan. Terhadap proses bisnis
13

tersebut dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk menemukan adanya kesempatan
untuk melakukan perbaikan sehingga memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

2.6

Supply Positioning Model (SPM)

Supply Positioning Model

adalah suatu model yang dikembangkan dengan

memetakan produk atau jasa yang dibutuhkan ke dalam sebuah matriks yang
merupakan fungsi dari besaran nilai expenditure terhadap impact on profit, supply
opportunity dan resiko. Tujuan dari pembuatan model ini adalah untuk membantu

memprioritaskan usaha yang dilakukan dalam mendapatkan dan memilih pemasok,
sebagai masukan dalam menentukan strategi pengadaan, dan menentukan bentuk
kerja sama yang akan dibangun dengan pemasok (Kenneth Lyson, 1996).
Kraljic (1983) menyatakan bahwa biaya pembelian memberikan kontribusi
yang cukup besar sekitar 40-80% terhadap total biaya perusahaan. Salah satu model
purchasing portfolio yang terkenal adalah Model Kraljic matrix dimana modelnya

memberikan pengaruh yang sangat besar bagi para ahli purchasing (Gelderman dan
Weele, 2003). Gambaran supply positioning model yang dibuat oleh kraljic
digunakan oleh IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) dalam menjelaskan posisi
pemasok dalam pengadaan seperti digambarkan pada gambar 2.1. Pada supply
positioning model digunakan teori pareto dimana 80% item barang yang dibeli hanya

menguasai 20% dari total nilai pembelian, sedangkan sisanya 20% item barang
merupakan 80% dari total nilai pembelian. Selain membuat analisa dari nilai

14

pengadaan pertahun, supply positioning model juga memperhitungkan risiko dari
kegiatan pengadaan barang.

Gambar 2.1 Supply Positioning Model (Sumber : IAPI, 2014)

Pengadaan barang manufacture dibagi menjadi 4 (empat) kuadran yakni:
routine, leverage, bottleneck dan critical. Penjelasan karakteristik yang menjadi ciri-

ciri barang pada ke 4 (empat) kuadran dijelaskan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Barang Disetiap Kuadran

(Sumber: IAPI, 2014)
15

Menurut Rizal (2014) kompetisi pasar ideal bagi pemasok terjadi pada saat
kondisi leverage, karena pembelian tinggi dan risiko pengadaan rendah sehingga
penyedia barang banyak tersedia. Salah satu cara agar menjadi suatu kondisi leverage
yaitu meningkatkan nilai pengadaan seperti ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Strategi Menuju Leverage (Sumber : IAPI, 2014)

2.7

Just In Time (JIT)

Menurut Zulian (1996) just in time adalah usaha-usaha untuk meniadakan
pemborosan dalam segala bidang produksi seperti uang, bahan baku, suku cadang,
atau komponen, waktu produksi dan sebagainya sehingga dapat menghasilkan dan
mengirimkan produk dengan tepat waktu untuk dijual.

16

Konsep “just in time” merupakan konsep dimana bahan baku yang digunakan
untuk aktifitas produksi di datangkan dari pemasok atau supplier tepat pada waktu
bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat menghemat dan
meniadakan biaya persediaan barang/peneyediaan barang/stocking cost.
Sistem produksi tepat waktu pada awalnya dikembangkan dan dipromosikan
oleh Toyota Motor Corporation di Jepang. Strategi ini kemudian diadopsi oleh
banyak perusahaan Jepang, terutama setelah krisis minyak dunia pada tahun 1973.
Tujuan utama dari sistem produksi tepat waktu ini adalah mengurangi ongkos
produksi dan meningkatkan produktifitas total industry secara keseluruhan dengan
cara menhilangkan pemborosan (waste) secara terus menerus (Gaspersz,1998).
Startegi just in time (JIT) diterapkan pada seluruh sistem industri modern sejak
proses rekayasa (engineering). Sistem industri modern berorientasi pada kepuasan
pelanggan dengan jalan mengintergrasikan 3 (tiga) komponen utama yaitu pemasok
(input), proses fabrikasi (factory process), dan pelanggan (customers) sebagai sistem

yang utuh.

2.8

Peran IT Dalam Rekayasa Ulang
Hammer (1990) menganggap informasi teknologi (IT) sebagai kunci utama

untuk penerapan bisnis rekayasa ulang yang menurut Hammer sebagai perubahan
yang radikal. Hammer menulis bahwa penggunaan IT untuk menantang asumsi yang
masih melekat dalam proses kerja yang telah ada sejak lama sebelum adanya
komputer modern dan teknologi komunikasi.

17

Davenport dan Short (1990) beragumentasi bahwa BPR membutuhkan
pandangan yang luas antara IT dengan aktivitas bisnis, dan hubungan antara
keduanya. IT harus dilihat lebih dari sekedar otomatisasi atau kekuatan mesin: untuk
secara fundamental mempertajam cara bisnis dilakukan. Kapasitas IT harus
mendukung proses bisnis, dan proses bisnis harus berada dalam kapasitas yang dapat
diberikan oleh IT.

Kemajuan teknologi informasi yang pesat telah menjadikan teknologi informasi
sebagai salah satu komponen utama dalam format perusahaan baru sebagai hasil
BPR. Perkembangan teknologi informasi seperti local area network, wide area
network, multimedia, data warehouse, intranet, dan internet telah membuat

perusahaan mendefinisikan kembali visi dan misi bisnisnya, terutama yang berkaitan
dengan strategi pelaksanaan bisnis. Teknologi informasi memberikan infrastruktur
komunikasi yang luas dan memungkinkan perusahaan untuk mencapai biaya yang
efektif, konektivitas yang luas bagi pengguna. Peningkatan kepercayaan berbagai
pihak terhadap teknologi informasi seperti internet, dan meningkatnya penggunaan
ekstranet dan intranet dalam perusahaan, tidak hanya mengubah cara perusahaan
melakukan bisnis tetapi juga telah mengubah pendekatan yang digunakan untuk
menjamin keamanan jaringan kerja (Indrajit, 2000).

Ada 4 (empat) cara improvisasi yang dapat dilakukan terhadap proses-proses di
dalam perusahaan yang dapat ditawarkan oleh pemanfaatan teknologi informasi
(Peppard, 1995) improvisasi tersebut antara lain:

18

1. Eliminate
Menghilangkan proses-proses yang dianggap tidak perlu lagi dilakukan jika
sistem komputer diimplementasikan, misalnya karena alasan efisiensi. Prosesproses seperti pengecekan secara manual terhadap kalkulasi-kalkulasi rumit yang
tidak perlu lagi dilakukan setelah program berbasis spreadsheet dikembangkan
merupakan salah satu contoh dari kemudahan yang ditawarkan teknologi
informasi. Demikian pula dalam hal proses pembuatan laporan-laporan beragam,
yang biasanya memakan waktu berjam-jam jika harus dikerjakan secara manual,
akan hilang dengan sendirinya karena diinstalasinya suatu laporan generator
berbasis komputer.
2.

Simplified

Penyederhanaan proses-proses tertentu atau pengurangan rantai proses untuk
tujuan pelaksanaan aktifitas yang lebih cepat dan murah. Kasus klasik yang paling
sering dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melakukan simplifikasi terhadap
formulir-formulir yang biasa dipergunakan untuk tujuan kontrol internal
perusahaan (karena berdasarkan filosofi lama yang mengatakan bahwa semakin
banyak SDM yang terlibat dalam melakukan kontrol terhadap suatu proses, akan
semakin baik karena memperkecil kemungkinan terjadinya kolusi). Fasilitas
komunikasi e-mail dan workflow yang ditawarkan pada konsep intranet merupakan
salah satu alternatif yang paling efisien dan efektif untuk mempersingkat prosedur
pengadaan barang. Apalagi jika teknologi tersebut dilengkapi oleh sistem
keamanan komputer yang canggih.

19

3.

Integrate

Adalah berupa kemungkinan diintegrasikannya beberapa proses yang
biasanya ditangani oleh beberapa karyawan dari berbagai divisi yang terpisah
menjadi sebuah proses yang lebih sederhana. Dengan diimplementasikannya
jaringan komputer berskala LAN, proses pengadaan barang dan proses kontrol
anggaran dapat dilakukan secara integrasi sehingga dapat menghemat waktu
proses pengadaan barang.
4.

Automate

Adalah mengubah hal-hal yang biasanya dilakukan secara manual menjadi
aktivitas mengunakan komputer.

2.9

Balance Scorecard (BSC)

Kaplan dan Norton (1996) menawarkan konsep balanced scorecard (BSC)
yang menyebutkan bahwa BSC merupakan sistim manajemen strategis dan
pengukuran yang menghubungkan sasaran strategis kepada 4 (empat) indikator yaitu
keuangan, pelanggan, bisnis internal dan pembelajaran serta pertumbuhan. Pada
awalnya BSC digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur kinerja perusahaan,
namun selanjutnya peran BSC lebih diperdalam lagi yaitu untuk menerjemahkan visi
dan strategi organisasi ke dalam tindakan nyata (translating strategy into action).
BSC kini digunakan sebagai alat untuk merumuskan strategi, mengimplementasikan
strategi dan mengevaluasi hasil dari implementasi strategi.
BSC telah mengubah kinerja banyak perusahaan diseluruh penjuru dunia. Sejak
1992, sistem kinerja ini telah membantu banyak manajemen puncak menentukan
20

tujuan dan strategi perusahaan dan menerjemahkannya secara konkret ke dalam suatu
set cara pengukuran. Apa yang telah membuatnya begitu sukses adalah bahwa BSC
mampu menerjemahkan strategi ke dalam sebuah proses yang bukan hanya milik
manajemen puncak, namun juga setiap individu pada setiap level di dalam
perusahaan.

Gambar 2.3 Pengukuran Balance Scorecard (Sumber: Kaplan & Norton (1996))

Dalam perkembangannya banyak perusahaan menggunakan BSC sebagai salah
satu alat manajemen dalam mengimplementasikan strategi bisnisnya. BSC menjadi
demikian popular karena lebih dari sekedar pengukur kinerja, melainkan sebagai
strategi korporasi. Bisnis dipahami sebagai satu sistem, oleh sebab itu pengukuran
aspek finansial tidak cukup untuk meyakinkan perusahaan dalam menyusun strategi.
21

Oleh sebab itu para praktisi dan akademisi menggunakan alat ukur balance scorecard
untuk mengukur hasil dan penuntasan masalah strategi tersebut.
BSC menjadi popular dikalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran
hasil dan penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan
mengapa BSC digunakan dalam organisasi.
1. BSC

adalah

alat

komprehensif

untuk

memahami

pelanggan

dan

kebutuhannya, dan kesenjangan kinerja.
2. BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan intelektual
dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3. BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis
yang fokus kepada upaya-upaya non finansial.
4. BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam
operasi perusahaan hari ke hari.
5. BSC memfasilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu

Dari penjelasan beberapa teori di atas maka untuk meningkatkan on time
delivery yang optimal diperlukan terobosan baru dengan cara berpikir kembali

(rethinking) dan melakukan rekayasa ulang proses bisnis yang bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, mengurangi biaya operasional dan
memotong waktu proses. Hasil rancangan proses bisnis yang baru diusulkan akan
dianalisis dan diukur manfaatnya dengan analisi 4 (empat) perspektif balance
scorecard.

22