Gaya Hidup Dan Pemilihan Bimbingan Belajar Bagi Siswa SMA

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1. Gaya hidup

Menurut Max Weber, gaya hidup merupakan persamaan status kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika seorang individu berada dalam suatu kelompok maka hal tersebut dapat menunjukkan status sosial yang ia miliki sama dengan individu lainnya yang ada dalam kelompok tersebut. Teman dekat atau teman bergaul seseorang pada umumnya tidak dapat terlepas dari beberapa kesamaan yang mereka miliki termasuk status sosial yang mereka miliki. Adanya perbedaan status dan gaya hidup mengakibatkan masyarakat berada dalam batasan-batasan yang begitu berbeda. Perbedaan tersebut maka setiap orang juga memiliki gaya konsumsi yang berbeda. Mereka dengan perbedaan status akan mengonsumsi simbol gaya hidup sesuai dengan kemampuan dan posisi yang mereka miliki.

Definisi lainnya menurut Plummer (Olivia M. Kaparang,2013) menyebutkan gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya (pendapat). Engel, Blackwell & Miniard (Brian Bayu Setiawan, 2014) memaparkan gambaran tentang komponen-komponen AIO sebagai berikut : Activities (aktivitas) adalah tindakan yang nyata seperti menonton suatu medium, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada tetangga


(2)

alasan untuk tindakan tersebut jarang dapat diukur secara langsung. Interests (minat) akan semacam objek peristiwa, atau topik dalam tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus kepadanya. Opinion (opini) adalah "jawaban" lisan atau tertulis yang orang berikan sebagai respons terhadap situasi sehubungan dengan peristiwa masa datang, dan penimbangan konsekuesi yang memberi ganjaran atau menghukum dari jalannya tindakan alternatif.

Teori Milieu berpendapat bahwa bukan turunan yang menetapkan sifat-sifat manusia, melainkan alam lingkungannya dimana manusia itu hidup. Teori ini juga dipengaruhi dengan paham kapitalisme bahwa kebutuhan manusia harus senantiasa terpenuhi, namun berdasarkan kenyataan bahwa kebutuhan manusia tidak akan pernah terpenuhi secara keseluruhan karena kebutuhan manusia tidak terbatas. Teori ini menjelaskan bagaimana lingkungan dengan paham kapitalisme mulai memberikan dampak bagi kehidupan individu. Ketika individu mulai masuk ke lingkungan masyarakat maka kapitalisme itu akan memasuki kehidupan mereka yaitu salah satunya melalui gaya hidup. Berbagai tawaran menarik yang diberikan oleh kapitalisme menimbulkan konsumerisme yang tinggi dalam masyarakat. Adanya hasrat manusia untuk mengonsumsi semakin menimbulkan perbedaan- perbedaan diantara mereka dimana hal ini menimbulkan tingkat konsumsi yang berbeda dari setiap masyarakat sesuai dengan status seseorang. Hal inilah yang menciptakan gaya hidup yang berbeda dalam kehidupan masyarakat tersebut tergantung seberapa besar kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya yang jauh berbeda dengan kemampuan dari masyarakat lainnya yang dapat dikatakan sangat berlebihan (over).


(3)

Chaney dalam bukunya Lifestlye (1996:92) berasumsi bahwa gaya hidup merupakan ciri dari sebuah masyarakat modern, atau biasa juga disebut modernitas. Dalam arti disini, adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.Terutama bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya.Gaya hidup pada akhirnya menjadi pembentuk identitas sosial. Dalam hal ini, secara garis besar dapat dibedakan melalui dua tahap. Tahap pertama, disampaikan dengan menggunakan pilihan-pilihan (choice). Dalam hal ini sikap dan cita rasayang merupakan karakteristik anggota kelompok sosial baru. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai sesuatu yang penting. Dalam wacana publik kontemporer seperti artikel surat kabar, khotbah, syair, dan panduan moral cendikiawan yang terefleksi lewat sikap moral yang mengutamakan nilai. Dengan kata lain, seseorang yang akan dianggap baik jika menjalankan prinsip moral pada masyarakatnya. Tahap kedua merupakan tahap kultural. Pada tahap ini, gaya hidup yang terfokus pada kehidupan yang merupakan bagian dari aktifitas waktu luang atau komsumsi. Seseorang dalam sebuah kelompok masyarakat akan dinilai denagn cita rasa tinggi ketika mampu memanfaatkan waktu luang dengan nyaman. Nyaman disini bisa diidentifikasikan sebagai suatu ruang konsumsi yang bernilai material. Orang yang dianggap keren ketika mampu memanfaatkan waktu


(4)

ataupun keluar negeri. Ketika gaya hidup diekspresikan dengan cita rasa dan nilai material pada akhirnya akan berhubungan dengan karakteristik sosio struktural lainnya.

Amstrong (Kaparang, 2013),lebih jauh menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi sedangkan faktor eksternal terdiri dari kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.Faktor internal merupakan faktor yang didasarkan pada diri seseorang seberapa terbuka dirinya terhadap pengaruh yang muncul dalam dirinya yang menuntut perubahan pada kehidupannya. Faktor eksternal merupakan faktor yang muncul dari orang-orang yang ada disekeliling kita yang secara tidak kita sadari memberikan pengaruh pada individu.

2.2. Konsumsi

Dunia modern saat ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang diinginkan oleh masyarakat adalah apabila mereka memiliiki dan menunjukkan tanda-tanda atau barang-barang yang dipandang oleh masyarakat umum sebagai barang yang mewah.Mereka yang telah mampu untuk memiliki barang-barang mewah tersebut dianggap menjadi masyarakat yang telah menemukan kebahagiaannya.Dalam hal ini mereka yang telah mampu mencapai hal tersebut merupakan masyarakat yang berada dalam kelas sosial atas.Perbedaan dalam akses terhadap barang-barang mewah inilah yang semakin menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat


(5)

konsumsi yang terjadi antara masyarakat yang tergolong dalam kelas sosial atas dan masyarakat kelas sosial bawah.

Rasionalitas konsumen dalam sistem masyarakat telah mengalami perkembangan dan perubahan, karena mereka membeli barang bukan lagi karena kebutuhan (needs), namun lebih kepada pemenuhan hasrat (desire). Ketika hendak mengonsumsi sesuatu, individu juga harus mempertimbangkan kepuasan hasratnya yang harus terpenuhi.Konsumsi menurut Baudrillard bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Manusia tidak hanya ditawari apa yang mereka butuhkan (what they needed), melainkan pula apa yang mereka harapkan (what they desired). Dengan demikian, “wants” berubah secara aktif menjadi “needs”, apa yang semula sekedar menjadi keinginan berubah menjadi yang dibutuhkan.

Konsumsi berada dalam suatu pemaknaan yaitu satu manipulasi tanda dan manipulasi objek sebagai tanda. Nilai simbol dijadikan sebagai sebuah komoditas utama masyarakat untuk mengonsumsi sesuatu.Jadi, yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat banyak adalah apabila objek tersebut telah memiliki tanda (sign) yang terbaik. Simbol atau citra yang dimiliki suatu objek tersebut layak menjadi salah satu faktor bagi mereka untuk mempertimbangkan apakah objek tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Meskipun suatu objek memiliki tujuan yang sama namun dengan semakin eksis dan dan baiknya citranya sehingga objek tersebut dapat terlihat berbeda dimata konsumen.


(6)

menentukan status sosial yang dimiliki seseorang. Mengonsumsi objek berdasarkan merek maka dapat terlihat bahwa mereka juga memperhatikan gengsi sosial.Mengonsumsi objek yang tidak memiliki citra atau merek yang tidak baik atau terkenal maka hal ini dapat dipengaruhi oleh gengsi sosial yang selalu dipertimbangkan. Mengonsumsi objek maka berarti mengonsumsi tanda dan dalam prosesnya mendefinisikan diri kita.

Thorstein Veblen mengajukan sebuah istilah conspicuous consumption (konsumsi yang mencolok) untuk menunjukkan barang- barang yang kita beli dan kita pertontonkan kepada oranglain untuk menegaskan gengsi dan status kita serta menunjang gaya hidup di waktu luang. Veblen juga mengemukakan istilah pecuniary emultion (penyamaan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan uang) dimana golongan yang tidak masuk pada leissure class berusaha menyamai perolehan dan pemakaian benda-benda tertentu dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan dengan golongan-golongan yang berada diatas mereka. Menurut Bourdieu konsumsi dianalisis sebagai bentuk pemuasan kebutuhan yang berakar secara biologis, lebih jauh Bourdieu lebih menekankan konsumsi meliputi tanda, simbol, ide dan nilai yang digunakan sebagai cara memisahkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang).Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital).


(7)

a. Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah.

b. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya.

c. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.

Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda.Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga.Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi.Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas


(8)

memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer.Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan.

2.3. Pilihan Rasional

Menurut Coleman yang merupakan salah seorang yang berkiprah dalam teori pilihan rasional ini, tidak saja membahas teori ini dalam kajian mikro tetapi juga mencakup pada hal makro. Menurutnya, seseorang akan bertindak mengarah pada suatu tujuan yang ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Untuk mencapai tujuan tersebut individu akan mempertimbangkan berbagai hal yang akan menentukan tindakannya untuk mencapai keinginannya tersebut. Dalam hal ini individu harus memilih beberapa pilihan tindakan yang harus diambil agar lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan (goal) dan memuaskan kebutuhannya.

Lebih jauh lagi, Coleman membahas mengenai pilihan rasional ini dalam hubungan antara aktor dan sumber daya. Suatu sumber daya dibentuk dan dikontrol oleh seorang aktor. Aktor lainnya mulai tertarik dan memberikan perhatiannya pada sumber daya tersebut. Menurutnya individu-individu akan bertindak secara rasional ketika mereka dirangsang oleh stimulus tertentu, dan


(9)

pilihan-pilihan mereka juga terbatas. Stimulus dan pilihan ini bervariasi untuk setiap individu, bergantung pada sistem dimana individu-individu itu berada. Adanya ketertarikan tersebut maka mulai terjalin interaksi antar kedua aktor tersebut. Hubungan kedua aktor tersebut akan menimbulkan hubungan saling membutuhkan, dimana kedua aktor memiliki tujuan yang sama dan saling melengkapi meskipun mereka memiliki beberapa kepentingan lainnya yang berbeda. Namun hubungan ini selanjutnya akan membentuk hubungan saling ketergantungan diantara kedua aktor tersebut. Ada beberapa premis-premis dasar mengenai pilihan rasional yaitu:

a. Manusia memiliki seperangkat preferensi-preferensi yang bisa mereka pahami, mereka tata menurut sekala prioritas, dan dibandingkan antara satu dengan yang lain.

b. Tatanan preferensi ini bersifat transitif, atau konsisten dalam logika. Misalnya, jika seseorang lebih memilih sekolah A dibanding sekolah B, dan sekolah B dibanding sekolah C, maka orang tersebut pasti lebih memilih sekolah Adibanding sekolah C.

c. Tatanan preferensi itu didasarkan pada prinsip ‘memaksimalkan manfaat’ dan ‘meminimalkan resiko’.

d. Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang egois.

Namun, terkadang pilihan yang dilakukan oleh seorang aktor merupakan tindakan yang tak rasionalitas dan tak jarang menyimpang dari cara-cara yang ada.Tindakan ini juga cenderung menyebabkan subordinasi antara satu actor dengan aktor lainnya. Seorang aktor dalam hal ini akan merealisasikan


(10)

Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain yang diarahkan pada tujuan tertentu. Tindakan sosial menurut Weber terdiri dari:

a. Tindakan rasional yaitu tindakan yang berdasarkan pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang dipergunakan.

b. Tindakan rasional nilai yaitu suatu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi individu. c. Tindakan afektif yaitu suatu tindakan yang didominasi perasaan atau

emosi tanpa refleksi intelektual atau perencaan yang sadar seperti cinta, marah, suka dan duka.

d. Tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau tradisi.


(1)

konsumsi yang terjadi antara masyarakat yang tergolong dalam kelas sosial atas dan masyarakat kelas sosial bawah.

Rasionalitas konsumen dalam sistem masyarakat telah mengalami perkembangan dan perubahan, karena mereka membeli barang bukan lagi karena kebutuhan (needs), namun lebih kepada pemenuhan hasrat (desire). Ketika hendak mengonsumsi sesuatu, individu juga harus mempertimbangkan kepuasan hasratnya yang harus terpenuhi.Konsumsi menurut Baudrillard bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek. Manusia tidak hanya ditawari apa yang mereka butuhkan (what they needed), melainkan pula apa yang mereka harapkan (what they desired). Dengan demikian, “wants” berubah secara aktif menjadi “needs”, apa yang semula sekedar menjadi keinginan berubah menjadi yang dibutuhkan.

Konsumsi berada dalam suatu pemaknaan yaitu satu manipulasi tanda dan manipulasi objek sebagai tanda. Nilai simbol dijadikan sebagai sebuah komoditas utama masyarakat untuk mengonsumsi sesuatu.Jadi, yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat banyak adalah apabila objek tersebut telah memiliki tanda (sign) yang terbaik. Simbol atau citra yang dimiliki suatu objek tersebut layak menjadi salah satu faktor bagi mereka untuk mempertimbangkan apakah objek tersebut layak untuk dikonsumsi atau tidak. Meskipun suatu objek memiliki tujuan yang sama namun dengan semakin eksis dan dan baiknya citranya sehingga objek tersebut dapat terlihat berbeda dimata konsumen.


(2)

menentukan status sosial yang dimiliki seseorang. Mengonsumsi objek berdasarkan merek maka dapat terlihat bahwa mereka juga memperhatikan gengsi sosial.Mengonsumsi objek yang tidak memiliki citra atau merek yang tidak baik atau terkenal maka hal ini dapat dipengaruhi oleh gengsi sosial yang selalu dipertimbangkan. Mengonsumsi objek maka berarti mengonsumsi tanda dan dalam prosesnya mendefinisikan diri kita.

Thorstein Veblen mengajukan sebuah istilah conspicuous consumption (konsumsi yang mencolok) untuk menunjukkan barang- barang yang kita beli dan kita pertontonkan kepada oranglain untuk menegaskan gengsi dan status kita serta menunjang gaya hidup di waktu luang. Veblen juga mengemukakan istilah pecuniary emultion (penyamaan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan uang) dimana golongan yang tidak masuk pada leissure class berusaha menyamai perolehan dan pemakaian benda-benda tertentu dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan dengan golongan-golongan yang berada diatas mereka. Menurut Bourdieu konsumsi dianalisis sebagai bentuk pemuasan kebutuhan yang berakar secara biologis, lebih jauh Bourdieu lebih menekankan konsumsi meliputi tanda, simbol, ide dan nilai yang digunakan sebagai cara memisahkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang).Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital).


(3)

a. Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah.

b. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya.

c. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.

Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda.Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga.Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi.Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas


(4)

memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer.Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan.

2.3. Pilihan Rasional

Menurut Coleman yang merupakan salah seorang yang berkiprah dalam teori pilihan rasional ini, tidak saja membahas teori ini dalam kajian mikro tetapi juga mencakup pada hal makro. Menurutnya, seseorang akan bertindak mengarah pada suatu tujuan yang ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Untuk mencapai tujuan tersebut individu akan mempertimbangkan berbagai hal yang akan menentukan tindakannya untuk mencapai keinginannya tersebut. Dalam hal ini individu harus memilih beberapa pilihan tindakan yang harus diambil agar lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan (goal) dan memuaskan kebutuhannya.

Lebih jauh lagi, Coleman membahas mengenai pilihan rasional ini dalam hubungan antara aktor dan sumber daya. Suatu sumber daya dibentuk dan dikontrol oleh seorang aktor. Aktor lainnya mulai tertarik dan memberikan perhatiannya pada sumber daya tersebut. Menurutnya individu-individu akan bertindak secara rasional ketika mereka dirangsang oleh stimulus tertentu, dan


(5)

pilihan-pilihan mereka juga terbatas. Stimulus dan pilihan ini bervariasi untuk setiap individu, bergantung pada sistem dimana individu-individu itu berada. Adanya ketertarikan tersebut maka mulai terjalin interaksi antar kedua aktor tersebut. Hubungan kedua aktor tersebut akan menimbulkan hubungan saling membutuhkan, dimana kedua aktor memiliki tujuan yang sama dan saling melengkapi meskipun mereka memiliki beberapa kepentingan lainnya yang berbeda. Namun hubungan ini selanjutnya akan membentuk hubungan saling ketergantungan diantara kedua aktor tersebut. Ada beberapa premis-premis dasar mengenai pilihan rasional yaitu:

a. Manusia memiliki seperangkat preferensi-preferensi yang bisa mereka pahami, mereka tata menurut sekala prioritas, dan dibandingkan antara satu dengan yang lain.

b. Tatanan preferensi ini bersifat transitif, atau konsisten dalam logika. Misalnya, jika seseorang lebih memilih sekolah A dibanding sekolah B, dan sekolah B dibanding sekolah C, maka orang tersebut pasti lebih memilih sekolah Adibanding sekolah C.

c. Tatanan preferensi itu didasarkan pada prinsip ‘memaksimalkan manfaat’ dan ‘meminimalkan resiko’.

d. Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang egois.

Namun, terkadang pilihan yang dilakukan oleh seorang aktor merupakan tindakan yang tak rasionalitas dan tak jarang menyimpang dari cara-cara yang ada.Tindakan ini juga cenderung menyebabkan subordinasi antara satu actor dengan aktor lainnya. Seorang aktor dalam hal ini akan merealisasikan


(6)

Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain yang diarahkan pada tujuan tertentu. Tindakan sosial menurut Weber terdiri dari:

a. Tindakan rasional yaitu tindakan yang berdasarkan pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang dipergunakan.

b. Tindakan rasional nilai yaitu suatu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi individu. c. Tindakan afektif yaitu suatu tindakan yang didominasi perasaan atau

emosi tanpa refleksi intelektual atau perencaan yang sadar seperti cinta, marah, suka dan duka.

d. Tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau tradisi.