Pembuatan Sediaan Gastroretentif Ranitidin Hidroklorida Sebagai Antiulkus Menggunakan Polimer Alginat-Kitosan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi meluas sampai dibawah epitel
pada mukosa bagian saluran pencernaan misalnya, lambung atau usus (duodenum
atau jejunum). Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai kebawah epitel
disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap juga sebagai “ulkus”. Sekitar 2
hingga 3% dari semua ulkus lambung mengalami perforasi dan menyebabkan
sekitar 65% kematian akibat penyakit ulkus peptikum (Price dan Wilson, 2006).
Lambung dilindungi terhadap faktor iritan oleh lapisan mukus, epitel,
tetapi beberapa faktor iritan seperti makanan, minuman dan obat antiinflamasi non
steroid (OAINS), alkohol dan empedu yang dapat menimbulkan defek lapisan
mukus dan terjadi difusi balik ion H+, sehingga timbul tukak lambung (ulkus
lambung). Asam lambung (HCl) adalah salah satu faktor terutama yang
menginduksi penyakit ulkus lambung. Telah dilaporkan bahwa kira-kira 50%
pasien yang menderita ulkus lambung merupakan hipersekresi asam dan pepsin.
Disamping itu faktor lain seperti kuman Helicobacter pylori dan Sindroma
Zollinger-Ellison juga merupakan penyebab terjadinya ulkus lambung. Sindroma
Zollinger-Ellison adalah suatu sindroma yang disebabkan oleh tumor pankreas
mengeluarkan gastrin dalam jumlah yang banyak. Gastrin yang berlebihan ini

merangsang lambung untuk menyekresi sejumlah besar HCl dan pepsin, yang
memicu terjadinya ulkus (Tarigan, 2006 ; Amandeep, et al., 2012).
Terapi tukak lambung berujuan untuk menghilangkan keluhan/simtom,
menyembuhkan atau memperbaiki kesembuhan tukak, mencegah kekambuhan

12

atau rekurensi tukak, dan mencegah komplikasi. Obat-obat yang digunakan untuk
terapi ulkus lambung yaitu obat golongan antasida yang mengandung aluminium
dan magnesium, obat penangkal kerusakan mukus misalnya sukralfat, obat
golongan antagonis reseptor H2 seperti ranitidin, dan obat golongan proton pump
inhibitor (PPI) seperti omeprazol (Tarigan, 2006).
2.2 Lambung
Lambung secara anatomi dibagi atas 4 bagian, yakni: kardia, fundus, korpus dan
pilorus. Fundus dan korpus memiliki struktur histologis yang identik (Gambar 2.1).
Berdasarkan histologi, dinding saluran pencernaan terdiri dari empat lapisan yaitu sebelah
dalam sekali lapisan mukosa, lalu berturut – turut ke arah luar lapisan submukosa, lapisan
muskularis (otot) dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan serosa atau
adventisia. Setiap lapisan terdiri atas beberapa komponen yang mempunyai struktur yang
berbeda–beda (Junqueira dan Carneiro, 2005)


Gambar 2.1 Gambaran potongan lambung dan struktur histologi (Junqueira
dan Carneiro, 2005).

13

2.2.1 Mukosa
Mukosa lambung terdiri dari epitel permukaan yang mengalami invaginasi
dengan berbagai kedalaman di dalam lamina propria, membentuk gastric pits.
Lamina propria dari lambung terdiri dari jaringan penghubung yang jarang yang
diselilingi dengan sel-sel otot polos dan limfoid. Lapisan otot yang memisahkan
mukosa dari submukosa adalah mukosa muskularis. Stres dan faktor-faktor
psikosomatik lain; konsumsi substansi seperti aspirin, etanol, makanan yang
hiperosmolar, dan beberapa mikroorganisme misalkan Helicobacter pylori dapat
mengganggu permukaan epitel ini dan menyebabkan ulkus (Junqueira dan
Carneiro, 2005).
Membran mukosa terdiri dari suatu lapisan epitel yang ditutupi oleh
mukus. Mukus terutama berfungsi sebagai suatu pelicin untuk mengurangi gaya
gesekan dan sebagai suatu lapisan pelindung terhadap bahan-bahan yang
berbahaya. Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yaitu sel goblet, parietal dan sel

chief. Sel-sel goblet yang terletak dalam epithelium merupakan kelenjar yang
mengeluarkan mukus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel agar tidak
rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal untuk memproduksi
asam lambung yang berguna dalam pengaktifan enzim pepsin. Sel chief
memproduksi enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak
mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan
kematian pada sel tersebut. Mukus terutama terdiri dari air (95%), garam-garam
anorganik (terutama Na+. K+. Ca2+ dan Cl-) 1%, karbohidrat dan lipid yaitu asam
lemak bebas, fosfolipid dan kolestrol (kurang dari 1%) dan glikoprotein (tidak
lebih dari 5%).

14

Mucin adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari rantai oligosakarida yang
terikat pada suatu inti protein. Seperempat dari inti protein adalah glikosilat yang
memberikan karakteristik seperti gel. Sisanya yang nonglikosilat berpautan silang
(cross linking) melalui ikatan disulfida diantara molekul mucin. Mukus adalah
bermuatan negatif karena adanya sialic acid (pka=2,6) dan ester sulfat pada ujung
dari rantai samping oligosakarida. Densitas muatan yang tinggi disebabkan
muatan negatif yang menghasilkan bioadhesi.


Rantai samping oligosakarida

terdiri dari residu 8-10 monosakarida dari lima jenis yang berbeda yaitu L-fukosa,
D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-galaktosamin, dan sialic acid.
Asam amino yang terutama dalam blok protein yang bercabang adalah proline,
serine dan threonine (Deghan dan Khan, 2009; Swetha, et al., 2012).
2.2.2 Kardia
Kardia merupakan pita sirkuler sempit pada peralihan antara esophagus
dan lambung. Lamina proprianya mengandung kelenjar-kelenjar kardia tubular
simpleks bercabang. Bagian terminal kelenjar-kelenjar ini seringkali bergelung
dan sering mempunyai lumen yang besar. Sel-sel sekresi mereka menghasilkan
mucus dan lisozim (enzim yang berfungsi menyerang dinding bakteri). Kelenjarkelenjar ini strukturnya sama seperti kelenjar kardia bagian terminal esophagus.
2.2.3 Korpus dan Fundus
Lamina propria korpus dan fundus terisi oleh kelenjar gastric tubulosa
bercabang yang bermuara ke dalam dasar foveola gastrika. Sel-sel dan susunan
dalam kelenjar-kelenjar ini tidak uniform. Biasanya mereka dianggap terdiri atas 3
bagian dari ujung foveola gastrika sampai dasar kelenjar, yakni ; ismus, leher dan
basis. Bagian leher dari kelenjar terdiri atas sel stem, sel mukus leher dan sel


15

parietal (oksintik). Bagian basis kelenjar terdiri dari sel parietal, sel zimogen dan
sel enteroendokrin.
2.2.4 Cairan Lambung (Gastric Juice)
Cairan lambung adalah campuran heterogen dari cairan jernih, flocculent,
dan mukus jernih. Konstituen utama dari cairan lambung adalah asam
hidroklorida, protease lambung (pepsin dan gastricsin), faktor hematopoietik,
hormon lambung, dan mucosubstance (aminopolysaccharida, mukopoliuronida,
mukoid, dan mukoprotein). Protease lambung yang utama adalah pepsin dan
gastricsin, pepsinogen adalah precursor yang diubah menjadi pepsin aktif oleh
HCl bebas dan oleh proses autokatalitik (Perigard, 2000).
2.2.5 Fisiologi Sekresi Lambung
Asam klorida dan pepsin produk yang paling utama dapat menimbulkan
kerusakan mukosa lambung. Asam lambung disekresi oleh sel-sel parietal dalam
lambung. Ada dua jenis sekresi asam yaitu basal dan akibat perangsangan. Sekresi
asam basal dalam pola sirkadia, terjadi terus menerus dan tertinggi terjadi pada
malam hari (kira-kira jam 10 malam sampai tengah malam) dan terendah pada
pagi hari ( jam 4 sampai 8 pagi). Pola sekresi asam ini bertanggung jawab bagi
salah satu karakteristik dari penyakit ulkus lambung dan duodenum, yang mana

rasa sakit terjadi pada malam hari ketika sekresi asam tinggi dan tanpa dinetralkan
oleh makanan. Sekresi basal sebagian besar dikontrol oleh nervus fagus dan
neurotransmitter asetil kolin (Gregory, 2000; Tolman, 2000)
Sekresi asam akibat perangsangan dihasilkan dalam 3 fase yang berbeda
tergantung sumber rangsang (sefalik, gastrik, dan intestinal). Penglihatan,
penciuman dan rasa dari makanan merupakan komponen fase sefalik melalui

16

perangsangan nervus fagus. Fase gastrik terjadi ketika makanan masuk kedalam
lambung, komponen sekresi adalah kandungan makanan yang terdapat di
dalamnya (asam amino dan amino bentuk lain) yang secara langsung merangsang
sel G untuk melepaskan gastrin yang selanjutnya mengaktifasi sel-sel parietal
melalui mekanisme langsung maupun meknisme tidak langsung. Peregangan
dinding lambung memicu pelepasan gastrin dan produksi asam.
Fase terakhir (fase intestinal) sekresi asam lambung dimulai pada saat
makanan masuk kedalam usus dan diperantarai oleh adanya peregangan usus dan
pencampuran kandungan makanan yang ada (Tarigan, 2006).

Gambar 2.2 Mekanisme sekresi asam lambung dan faktor-faktor yang

mempengaruhi (Tarigan, 2006)
Beberapa cara untuk menghambat sekresi asam juga berlangsung
bersamaan. Somatostatin, suatu hormon gastrointestinal yang dilepaskan sel-sel
endokrin didapati pada mukosa lambung (sel-sel D) dalam rangka merespon HCl.
Somatostatin dapat menghambat produksi asam melalui mekanisme langsung (sel-

17

sel parietal) maupun tidak langsung (menurunkan pelepasan histamin dari sel-sel
seperti enterokromafin (ECL) dan menimbulkan pelepasan gastrin melalui sel-sel
G. Faktor rangsang tambahan yang dapat mengimbangi sekresi asam, antara lain
neural (sentral dan perifer) dan hormonal (sekretin dan kolesistokinin). Dalam
keadaan fisiologi fase-fase tersebut berlangsung secara bersamaan (Gambar 2.2)
(Tarigan, 2006).
Dalam keadaan puasa, pH cairan lambung sangat asam (1 dan 2) sehingga
setiap mukosa lambung yang tidak terproteksi akan cepat mengalami auto-digesti.
Pertahanan mukosa terhadap serangan asam terdiri :
a. Barrier mukus merupakan pertahanan yang penting. Sel yang melapis
epitel permukaan lambung mensekresi cairan kental glikoprotein netral
yang membentuk satu lapis mukus tidak bergerak pada permukaan.

b. Permukaan epitel merupakan pertahanan kedua; untuk fungsinya yang
tepat memerlukan integritas kedua aspeks membran plasma sebagai
barrier terhadap transfer ion, dan fungsi metabolik seluler termasuk
produksi bikarbonat. Ulserasi dapat timbul akibat destruksi atau
hilangnya barier mukosa, atau hilangnya integritas epitel permukaan
(Underwood, 1994)

2.3 Sistem Pelepasan Obat Sustained Release
Teknologi penyampaian obat berkembang secara signifikan belakangan
ini. Untuk mengurangi fluktuasi konsentrasi obat dalam darah setelah pemberian
sediaan

konvensional, sistem pelepasan extended-release yang mana obat

dilepaskan perlahan-lahan dalam waktu panjang telah dikembangkan. Sediaan
pelepasan segera (immediate-release) konvensional tidak dapat mempertahankan

18

jumlah obat dalam trayek terapeutik untuk waktu yang lama dalam darah dan

dengan demikian lama kerja obat menjadi singkat. Sistem pelepasan extendedrelease disebut juga sustained release dan slow-release. Keuntungan sistem
pelepasan lambat (sustained release) yaitu akan meningkatkan keutungan
terapeutik, mengurangi efek samping

obat dan biaya pengobatan, dan

pengelolaan penyakit kronis akan menjadi lebih baik (Rajabi-Siahboom, et al.,
2013).
Sustained release (SR) menguraikan suatu pelepasan yang lambat dari
bahan obat dari suatu sediaan untuk mempertahankan respon terapeutik dalam
waktu yang panjang yaitu 8-12 jam dan kriteria sediaan SR yaitu jumlah obat
yang terdisolusi selama 3 jam adalah 20-50% untuk 6 jam adalah 45-75% dan 12
jam ≥ 75% (Murthy dan Sellasie, 1993).
Formulasi sustained release menggabungkan satu atau lebih dari
pendekatan teknologi yang umum berikut ini (Rajabi-Siahboomi, et al., 2013):
1. Sistem matriks. Matriks dapat digambarkan sebagai zat pembawa padat
inert yang didalamnya obat disampur secara merata. Obat dimasukkan
sebagai partikel-partikel terdispersi atau terlarut dalam matriks. Suatu
matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau
menyatukan obat dengan bahan matriks bersama-sama. Sistem ini terdiri

dari satu atau lebih bahan yang mengontrol pelepasan dengan obat
terdispersi dalam matriks. Berdasarkan sifat dari bahan yang mengontrol
kecepatan pelepasan obat dapat dibagi 2 yaitu:
a. Sistem matriks hidrofilik: partikel-partikel obat terdispersi dalam
suatu matriks polimerik. Bahan matriks jenis ini diantaranya adalah

19

metil sellulosa, hidroksietil selulosa, hidroksipropil metilselulosa,
natrium karboksimetilselulosa, natrium alginat, xanthan gum dan
karbopol.
b. Sistem matriks yang tidak larut: obat terdispersi dalam suatu polimer
yang tidak larut dalam air atau lilin; pelepasan obat terjadi misalnya
cairan lambung permeasi ke matriks dan melarutkan obat.
2. Sistem reservoir: Suatu unit yang mengandung obat (inti) ditutupi oleh
suatu penyalut sawar polimerik. Sistem ini terdiri dari:
a. Sistem diffusi sederhana, suatu inti yang mengandung obat
dikelilingi oleh suatu penyalut polimer yang tidak larut dalam air.
Pelepasan obat tercapai oleh difusi obat melalui penyalutan.
b. Sistem osmotik mengandung bahan osmotik dalam inti obat yang

disalut. Pelepasan obat terjadi melalui suatu lubang dalam lapisan
penyalutan disebabkan suatu gradient tekanan osmosa yang
dihasilkan oleh masuknya cairan lambung kedalam inti.
Bahan-bahan yang digunakan untuk matriks sistem pelepasan lambat
(sustained release) yaitu (Rajabi-Siahboomi, et al., 2013):
a. Matriks

lilin

meliputi

lilin

karnauba,

fatty

alcohol,

gliserol

palmitostearat, stearil alkohol, aluminium monostearat, dan gliserol
monostearat. Bahan ini dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan
polimer hidrofilik.
b. Ion-exhange resins merupakan resin polimerik yang taut silang
(crosslinked polymeric resins) yang membentuk kompleks dengan obatobat yang bermuatan berlawanan.

20

c. Polimer yang larut dalam air yang membentuk matriks yang inert
meliputi etil selulosa, metilakrilat, metilmetakrilat, dan polivinil asetat.
d. Polimer yang digunakan dalam formulasi matriks hidrofilik meliputi
hidroksipropilmetilselulosa, natrium karboksimetilselulosa, natrium
alginat, kitosan, karbomer, dan karagenan.
2.3.1

Pelepasan Obat dari Matriks
Kinetika pelepasan obat dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

pengembangan polimer, erosi polimer, kelarutan obat atau karakteristik difusi,
distribusi obat dalam matriks, perbandingan obat dan polimer dan sistem geometri
dari matriks (silinder maupun bulat). Selama mengalami sentuhan dengan cairan
(air atau media fisiologis), polimer matriks mengembang dan pelarutan obat dapat
terjadi. Seketika setelah konsentrasi pelarut di sekitarnya melebihi ambang batas,
ikatan polimerik terlepas sehingga terjadi perubahan polimer dari bentuk seperti
kaca ke bentuk seperti karet menghasilkan peningkatan yang besar terhadap
mobilitas rantai-rantai polimer sehingga lubang-lubang jaring polimer bertambah
besar dan obat tersebut dapat larut dan berdifusi melalui lapisan gel. Secara
singkat pelepasan obat dari sistem matriks dapat diamati dari tiga bidang utama
yang muncul selama proses penglepasan yaitu bidang yang terkikis, bidang yang
mengembang dan bidang yang mengalami difusi.
Obat terdispersi dalam polimer (seperti kaca) dalam sistem pelepasan yang
dikontrol oleh pengembangan. Polimer kontak dengan cairan lambung dan
mengembang, namun obat belum berdifusi keluar polimer. Setelah medium
masuk kedalam polimer yang seperti kaca, temperatur transisi kaca menjadi lebih

21

rendah disebabkan relaksasi dari rantai polimer sehingga obat dapat keluar dari
polimer yang seperti karet (Grassi dan Grassi, 2005).
2.3.2 Pengamatan Kinetika Pelepasan Obat yang Lambat (Sustained Release)
Metode dari pengamatan kinetika pelepasan obat dari suatu formulasi dapat
berdasarkan persamaan matematika. Model matematika yang berbeda dapat
diaplikasikan untuk mendeksripsikan kinetika proses pelepasan obat. Kinetika
pelepasan obat dapat ditentukan dengan menemukan hasil yang sesuai dari data
pelepasan obat secara berturut-turut ke dalam plot persamaan model orde nol,
orde satu, Higuchi dan Korsmeyer-Peppas (Dash,et al., 2010):
a. Orde nol
Disolusi obat dari bentuk sediaan lepas lambat idealnya mengikuti kinetika
orde nol yaitu pelepasan obatnya konstan dari awal sampai akhir (Dash,
dkk.2010). Orde nol menjelaskan sistem yang mana kecepatan pelepasan obat
tidak tergantung kepada konsentrasi. Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde
nol terjadi melalui mekanisme erosi.
Qt = Q0+K0t
Keterangan:
Ot = jumlah obat yang terlarut dalam waktu t
Q0 = jumlah obat mula-mula dalam larutan biasanya (Q0=0)
K0 = konstanta pelepasan orde nol
Dalam model ini plot persen obat yang terlepas versus waktu adalah linear.
b. Orde satu
Orde satu menguraikan sistem yang mana kecepatan pelepasan obat
tergantung kepada konsentrasi. Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde satu
dapat dinyatakan dalam persamaan:

22

dC/dt = -Kc
Keterangan : K adalah konstanta kecepatan orde ke satu (menit-1)
Persamaan dapat dibuat menjadi :
Log C = Log Co-Kt/2,303
Persamaan orde satu diperoleh dari plot log persen kumulatif obat
terdisolusi versus waktu yang akan memberikan garis lurus dengan slope –
K/2,303.
Persamaan orde satu diperoleh dari plot log persen kumulatif terdisolusi
versus waktu. Ini dapat digunakan untuk menguraikan disolusi obat dari beberapa
sediaan yang dimodifikasi pelepasannya seperti sistem transdermal, tablet matriks
dengan obat yang lambat larut dalam bentuk disalut, dan lain-lain.
c. Model Higuchi
Higuchi menguraikan sistem pelepasan obat dari matriks yang tidak larut
dalam air sebagai proses yang tergantung kepada akar waktu berdasarkan
persamaan difusi Fickian
Qt = KH.t .½
Keterangan :
Qt
KH

= jumlah obat yang terlepas pada waktu t (mg)
= konstanta kecepatan Higuchi (menit-½)

Data disolusi in vitro di plot sebagai akar waktu versus persen kumulatif
obat. Beberapa kondisi percobaan yang mekanisme pelepasan obatnya
menyimpang dari persamaan Fickian berarti mengikuti pelepasan non-Fickian.
Pelepasan obat dari matriks bentuk granul meliputi penetrasi secara simultan
dari cairan di sekeliling, disolusi obat, pengeluaran obat melalui pori seperti
terlihat pada Gambar 2.3.

23

Matriks
Polimer

Bagian yang berkelok
(tortuous path), tempat
obat dikeluarkan dari
matriks

Cairan masuk ke pori
untuk mengeluarkan obat
Gambar 2.3 Matriks dengan pori-pori (Sinko, 2011).
d. Model Korsmeyer-Peppas (Power Law)
Model Korsmeyer-Peppas dapat ditunjukkan melalui persamaan :
Mt/M∞ = Ktn
Keterangan :
Mt/M∞ = jumlah obat yang dilepaskan pada waktu t
K
= konstanta laju pelepasan
n
= eksponen pelepasan
Data disolusi in vitro di plot sebagai log % kumulatif obat versus log
waktu untuk membuat grafik Korsmeyer-Peppas (Paulo dan Jose, 2001).
Persamaan dapat juga ditulis dalam logaritma yaitu:
Log Mt/M∞ = n log t + log k
Nilai n digunakan untuk mengkarakterisasi mekanisme pelepasan yang
berbeda seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

24

Tabel 2.1. Eksponen difusi (n) dan mekanisme teoritis pelepasan obat dari sistem
penyampaian terkontrol polimerik bentuk sferis
Eksponen difusi (n)

Mekanisme pelepasan obat

0,43 < n < 0,5

Difusi Fickian

0,5 < n