Pengelolaan Terpadu Padi Sawah (Ptps): Inovasi Pendukung Produktivitas Pangan

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS):
INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN
Ameilia Zuliyanti Siregar
Departemen Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
zuliyanti@yahoo.com,azs_yanti@gmail.com

Pendahuluan
Pengelolaan Terpadu Padi Sawah (PTPS) merupakan sebuah inovasi untuk
menunjang peningkatan produksi padi yang merupakan bahan pokok pangan
sebagian besar masyarakat Indonesia, selain jagung dan sagu. Oleh karena itu, padi
memegang posisi strategis untuk dikembangkan. PTPS menggunakan komponen
teknologi tepat guna dan menggunakan sumber daya alam secara bijak agar
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas pangan. PTPS
bertujuan meningkatkan produktivitas tanaman secara kuantitas dan kualitas melalui
penerapan teknologi dengan memperhatikan spesifik lokasi serta menjaga kelestarian
lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan
naik dan kesejahteraan dapat tercapai.
Penerapan PTPS didasarkan pada empat prinsip berikut ini untuk
meningkatkan produktivitas tanaman, yaitu :






Spesifik lokasi (Local specific): memperhatikan kesesuaian teknologi dengan
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertanian setempat.
Terpadu (Holistic): suatu pendekatan mengunakan sumber daya alam,
pengetahuan dan teknologi yang dikelola secara terpadu.
Partisipatif (Participatory): petani berperan serta dalam memilih dan menguji
teknologi sesuai dengan kemampuan petani dan kondisi setempat melalui proses



pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.
Sinergis

(Synergy):

memanfaatkan


teknologi

pertanian

yang

sudah

dikembangkan dan diterapkan berlandaskan konsep lingkungan.

2

Universitas Sumatera Utara

Dalam penerapan PTPS tidak mengenal rekomendasi untuk diterapkan
secara nasional karena petani secara bertahap dapat memilih sendiri komponen
teknologi yang paling sesuai dengan kemampuan petani berdasarkan kearifan lokal
dalam mendukung efisiensi biaya produksi menggunakan teknologi tepat guna.

B. Komponen Teknologi PTPS

Komponen teknologi PTPS disusun berdasarkan kajian kebutuhan dan
peluang dengan mempelajari permasalahan yang dihadapi petani dan cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan produksi menggunakan
teknologi tepat guna. PTPS menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang
dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan.
Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan
untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi
dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTPS. Komponen
teknologi dasar PTPS meliputi :

• Penggunaan varietas padi unggul (berdaya hasil tinggi dan bernilai ekonomi tinggi

sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani).

• Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat.

• Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
• Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).

Sedangkan


komponen

teknologi

pilihan

adalah

teknologi-teknologi

penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik
lokasi maupun kearifan lokal yang terbukti serta berpotensi meningkatkan
produktivitas. Komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya alam yang
tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen teknologi pilihan PTPS
meliputi :







Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam.
Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien.
Penggunaan bibit muda (< 21 HSS) dengan jumlah bibit terbatas (1 – 3 bibit per
lubang).
Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo).
Pemberian bahan organik (kompos, pupuk kandang, pupuk biologi, jerami, dll)
3

Universitas Sumatera Utara




Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok.
Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan ini

diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas padi

dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif.

C.Teknis Pelaksanaan PTPS
1. Pengolahan Tanah Sesuai Musim dan Pola Tanam
Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan dua kali pembajakan, minimal
satu kali garu atau tanpa olah tanah. Pemilihan cara yang akan dilakukan disesuaikan
dengan keperluan dan kondisi lingkungan. Faktor yang menentukan adalah kemarau
panjang, pola tanam dan jenis/struktur tanah. Dua minggu sebelum pengolahan
tanah, taburkan bahan organik secara merata di atas hamparan sawah. Bahan organik
yang digunakan dapat berupa pupuk kandang (2 ton/ha) atau kompos jerami (5
ton/ha).

2. Varietas Unggul
Dalam PTPS pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama
yang mampu meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang akan ditanam
dipilih varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya
hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima
pasar.Varietas unggul baru (VUB) dapat berupa padi inbrida seperti ciherang,
mekongga, inpari (10, 11,13) atau hibrida seperti rokan, hipa 3, bernas super dan

intani. Tanam varietas unggul baru ini secara bergantian untuk memutus siklus hidup
hama dan penyakit.

3. Benih Bermutu
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh
yang tinggi, berukuran penuh dan seragam, daya kecambah diatas 80 % (vigor
tinggi), bebas dari biji gulma, penyakit dan hama atau bahan lain. Gunakan selalu

4

Universitas Sumatera Utara

benih yang telah memiliki sertifikasi atau label untuk mendapatkan benih dengan
tingkat kemurnian tinggi dan berkualitas yang diproduksi oleh petani.
PTPS menganjurkan untuk menyeleksi atau memilih benih bermutu agar
didapatkan benih yang benar-benar berkualitas (bernas) dan vigor tinggi dengan cara
membuat larutan garam dapur (30 gram garam dapur dalam 1 liter air) atau larutan
pupuk ZA (1kg pupuk ZA dalam 2.7 liter air). Benih dimasukkan ke dalam larutan
garam atau pupuk ZA (volume larutan 2 kali volume benih) kemudian diaduk dan
benih yang mengambang atau terapung di permukaan larutan dibuang.

Cara sederhana dapat dilakukan dengan merendam benih dalam larutan
garam dapur menggunakan indikator telur. Telur mentah (bisa telur ayam atau
bebek) dimasukkan ke dalam air, kemudian masukkan garam sedikit demi sedikit
sambil diaduk sampai telur terapung ke permukaan. Kemudian telur diambil dan
benih dimasukkan ke dalam larutan garam. Benih yang mengapung dibuang dan
benih yang tenggelam selanjutnya dicuci sampai bersih dari garam untuk disemai.
Untuk keperluan penanaman seluas 1 hektar benih yang dibutuhkan kurang
lebih sebanyak 20 kg. Benih bernas (yang tenggelam) dibilas dengan air sampai
bersih dari garam kemudian direndam dengan air bersih selama 24 jam. Selanjutnya
diperam dalam karung atau wadah lainnya selama 48 jam dan dijaga kelembabannya
dengan membasahi wadah dengan air. Untuk benih padi hibrida tidak diberi
perlakuan perendaman dalam larutan garam tetapi langsung direndam dalam air dan
selanjutnya diperam.
Lahan persemaian untuk 1 hektar luasan lahan pertanaman sebaiknya 400
meter persegi (4% dari luas tanam) dengan lebar bedengan 1 – 1.2 meter dan antar
bedengan dibuat parit sedalam 25 – 30 cm. Saat pembuatan bedengan taburkan bahan
organik 2 kg /meter persegi seperti kompos, pupuk kandang atau campuran berbagai
bahan antara lain kompos, pupuk kandang, serbuk kayu, abu dan sekam padi. Tujuan
pemberian bahan organik ini untuk memudahkan pencabutan bibit padi sehingga
kerusakan akar bisa dikurangi.


5

Universitas Sumatera Utara

4. Sistem Tanam
PTPS menganjurkan tanam menggunakan bibit muda atau kurang dari 21
HSS (hari setelah sebar) dan jumlah bibit 1 – 3 batang per lubang karena bibit lebih
muda akan menghasilkan anakan lebih banyak dibanding menggunakan bibit lebih
tua. Pada daerah endemik keong, untuk mengantisipasi serangan keong dapat
menggunakan bibit lebih dari 21 HSS tetapi dianjurkan tidak lebih dari 25 HSS.
Masa kritis serangan keong berada pada 21 hari setelah sebar dan 10 hari setelah
pindah tanam.
Tanam dilakukan dengan kondisi lahan jenuh air (ketinggian air kurang
lebih 2 cm dari permukaan tanah macak-macak) dengan jumlah bibit yang ditanam
tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Gunakan jarak tanam yang beraturan seperti
model tegel 20 X 20 cm (25 rumpun/meter persegi) atau 25 X 25 cm (16
rumpun/meter

persegi).


Pengaturan

jarak

tanam

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan caplak atau tali sebagai mal.
PTPS menganjurkan untuk mengatur jarak dan populasi tanaman dengan
menerapkan sistem tanam jajar legowo. Sistem tanam jajar legowo adalah sistem
tanam dengan pengaturan jarak tanam tertentu sehingga pertanaman akan memiliki
barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana jarak tanam pada barisan
pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan. PTPS menganjurkan penerapan
sistem tanam jajar legowo karena adanya keuntungan dan kelebihan yang lebih

dibanding dengan sistem tanam konvensional (tegel) diantaranya yaitu :








Adanya efek tanaman pinggir.
Sampai batas tertentu semakin tinggi populasi tanaman semakin banyak jumlah
malai persatuan luas sehingga berpeluang menaikkan hasil panen.
Terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan keong atau
mina padi.
Pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah.
Dengan areal pertanaman yang lebih terbuka dapat menekan hama dan penyakit.
Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Sistem tanam jajar legowo yang dapat diterapkan adalah sistem tanam jajar
legowo 2 : 1 atau 4 : 1 dan penyulaman tanaman dapat dilakukan sebelum
tanaman berumur 14 HST (hari setelah tanam).
6

Universitas Sumatera Utara

5. Pengairan Berselang (Intermittent Irrigation)
Pengairan dilakukan dengan sistem pengairan berselang (intermittent
irrigation). Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi sawah dalam kondisi
kering dan tergenang secara bergantian yang bertujuan untuk :











Menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi lebih luas.
Memberi kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak.
Mencegah timbulnya keracunan besi.
Mencegah penimbunan asam organik dan gas hidrogen sulfida yang
menghambat perkembangan akar.
Mengaktifkan jasad renik (mikrobia tanah) yang bermanfaat.
Mengurangi kerebahan.
Mengurangi jumlah anakan tidak produktif (tidak menghasilkan malai-gabah).
Menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen.
Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan olah).
Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran hama
wereng coklat, hama penggerek batang, serta mengurangi kerusakan tanaman
padi karena hama tikus.

Teknis penerapan pengairan berselang dilakukan pada saat tanaman
berumur 3 HST (hari setelah tanam) dimana petakan sawah diairi dengan tinggi
genangan 3 cm dan selama 2 hari berikutnya tidak ada penambahan air sampai
kondisi air di petakan habis dan tanah mengering sedikit retak. Baru pada hari ke-4
(7 HST) petakan sawah diairi kembali hingga genangan air setinggi 3 cm dan tidak
ada penambahan air sampai kondisi air dipetakan habis dan tanah menjadi mengering
sedikit retak kembali. Cara ini dilakukan terus sampai fase anakan maksimal.
Pada saat mulai fase pembentukan malai (bunting) sampai pengisian biji
petakan sawah digenangi terus. Petakan dikeringkan kembali saat 10 – 15 hari
sebelum panen. Pada tanah yang cepat menyerap air atau berpasir selang waktu
pengairan harus diperpendek. Apabila ketersediaan air selama satu musim tanam
kurang mencukupi selang waktu pengairan dapat diperpanjang yaitu dengan selang
waktu 5 hari.

7

Universitas Sumatera Utara

Pengairan berselang secara efektif dan efisien hanya dapat dilakukan pada
areal sawah irigasi teknis yang dapat dengan mudah mengatur masuk dan keluarnya
air pada areal persawahan. Pada sawah-sawah yang sistem drainasenya tidak baik
(sulit dikeringkan) atau sawah tadah hujan pengairan berselang (intermittent
irrigation) tidak perlu diterapkan.

6. Pemupukan Berimbang
PTPS menerapkan pemupukan berimbang secara efektif dan efisien sesuai
kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan berimbang
adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi
kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin
dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman
adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea), P (phospat ; dalam bentuk
pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam bentuk pupuk KCL).
Kebutuhan N tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat
kehijauan warna daun padi menggunakan bagan warna daun (BWD). Bagan warna
daun adalah sebuah alat untuk mengukur tingkat kebutuhan N tanaman dengan
mengukur skala tingkat kehijauan warna daun sehingga dapat diketahui jumlah
kebutuhan unsur hara N tanaman. Nilai pembacaan bagan warna daun (BWD)
digunakan untuk mengoreksi dosis pupuk N yang telah ditetapkan sehingga menjadi
lebih tepat sesuai dengan kondisi tanaman.
Pemberian pupuk awal N diberikan pada umur tanaman sebelum 14 HST
ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah. Dosis pupuk awal N (urea) untuk
padi varietas unggul baru adalah 50 – 75 kg/ha, sedangkan untuk padi tipe baru
dengan dosis 100 kg/ha. Pembacaan BWD hanya dilakukan menjelang pemupukan
kedua (tahap anakan aktif; umur 21 – 28 HST) dan pemupukan ketiga (tahap
primordia; umur 35 – 40 HST). Khusus untuk padi hibrida dan padi tipe baru
pembacaan BWD juga dilakukan pada saat tanaman dalam kondisi keluar malai dan
10 % berbunga.
Pemupukan dilakukan dengan cara disebar/ditabur merata di seluruh
permukaan tanah. Urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air sehingga pada
saat pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan pengeluaran air ditutup.
8

Universitas Sumatera Utara

Pemupukan P dan K disesuaikan dengan hasil analisis status hara tanah dan
kebutuhan tanaman. Status hara tanah P dan K dapat ditentukan dengan perangkat uji
tanah sawah (PUTS). Tiap wilayah telah memiliki dosis rekomendasi pemupukan P
dan K yang berdasarkan pada uji tanah sawah yang dilakukan oleh instansi terkait
(Balai Penyuluhan/Dinas Pertanian). Terdapat tiga skala tingkatan status hara tanah P
dan K pada suatu lahan sawah yaitu tinggi (50 kg/ha dan 0-50 kg/ha), sedang (75
kg/ha dan 50 kg/ha) dan rendah (@100 kg/ha).
Pupuk P diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar atau bersamaan dengan
pemupukan N yang pertama pada 0 – 14 HST. Pupuk K pada lahan sawah dengan
status hara tanah P dan K rendah (dosis 100 kg/ha KCL) diberikan 50 % sebagai
pupuk dasar (pemupukan pertama) dan sisanya diberikan pada masa primordia. Pada
lahan sawah dengan status hara tanah P dan K sedang – tinggi (< 50 kg KCL/ha)
pupuk K diberikan seluruhnya sebagai pupuk dasar (0 – 14 HST).

7. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma atau penyiangan adalah kegiatan membersihkan
pertanaman dari rumput, gulma di areal pertanaman. Penyiangan dapat dilakukan
dengan cara mencabut gulma dengan tangan, menggunakan alat gasrok (landak) atau
menggunakan herbisida. PTPS lebih menganjurkan melakukan penyiangan dengan
menggunakan alat gasrok karena sinergis dengan pengelolaan lainnya dan lebih
memiliki keuntungan ramah lingkungan, hemat tenaga kerja, memberikan sirkulasi
udara ke dalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman dan
apabila dilakukan bersamaan atau segera setelah pemupukan akan menjadi efisien.
Penyiangan menggunakan gasrok dapat dilakukan apabila penyiangan
dilakukan saat tanaman berumur 10 – 15 HST. Dianjurkan dilakukan dua kali,
dimulai pada saat tanaman berumur 10 – 15 HST dan diulangi 10 – 25 hari kemudian
dilakukan pada kondisi air macak-macak dengan ketinggian 2 – 3 cm. Gulma yang
terlalu dekat dengan tanaman dicabut dengan tangan atau memakai herbisida.

9

Universitas Sumatera Utara

8. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT)
Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT) merupakan suatu
pendekatan

pengendalian

yang

memperhitungkan

faktor

ekologi

sehingga

pengendalian dilakukan agar tidak terlalu mengganggu keseimbangan alam dan tidak
menimbulkan kerugian yang besar. PHT merupakan perpaduan berbagai cara
pengendalian hama dan penyakit, melalui monitoring populasi hama dan kerusakan
tanaman menggunakan teknologi pengendalian tepat guna. PHT dapat dilakukan
menggunakan strategi berikut ini : gunakan varietas tahan hama dan penyakit,
menggunakan tanaman yang sehat, mmanfaatkan musuh alami, pengendalian secara
mekanik (alat) dan fisik (menangkap) serta penggunaan pestisida hanya jika
diperlukan dan dilakukan tepat sesuai dosis, sasaran dan waktu.

9. Panen dan Pasca Panen
PTPS sangat memperhatikan proses penanganan panen dan pasca panen.
Panen dan pasca panen harus ditangani secara baik dan benar karena penanganan
panen dan pasca panen yang tidak baik dan benar dapat menyebabkan kehilangan
hasil 4 – 18 %. Untuk mendapatkan butir padi dan beras dengan kualitas baik perlu
memperhatikan ketepatan waktu panen. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan
prosentase butir hijau tinggi yang berakibat sebagian butir padi tidak berisi atau
rusak saat digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena butir padi
mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras pecah saat digiling.
Umur tanaman padi mungkin berbeda antara varietas satu dengan varietas
yang lainnya sehingga hal ini juga perlu diperhatikan. Hitung sejak padi berbunga
biasanya panen dilakukan pada 30 s/d 35 hari setelah padi berbunga. Jika malai telah
menguning 95 % segera lakukan pemanenan.
Panen dilakukan dengan cara memotong padi menggunakan sabit bergerigi
10 – 15 cm dari atas permukaan tanah atau dari pangkal malai jika akan dirontok
dengan power thresser. Panen sebaiknya dilakukan secara berkelompok (15 – 20
orang) yang dilengkapi dengan alat perontok. Dengan cara ini maka tingkat
kehilangan hasil pada saat panen dapat dikurangi.
Gunakan plastik atau terpal sebagai alas padi yang baru dipotong dan
ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera mungkin padi dirontokan, apabila panen
10

Universitas Sumatera Utara

dilakukan pada waktu pagi hari sebaiknya sore harinya segera dirontokkan karena
perontokkan yang dilakukan lebih dari dua hari dapat menyebabkan kerusakan beras.
Perlu diperhatikan juga jika perontokkan padi dilakukan dengan cara tradisional (digepyok) maka gunakan alas dari plastik atau terpal yang lebarnya mencukupi dan
bagian pinggir plastik atau terpal dilipat keatas yang berfungsi sebagai dinding untuk
menahan butir padi terlempar keluar dari alas sehingga mengurangi kehilangan hasil.
Proses selanjutnya adalah penanganan pasca panen. Gabah yang sudah
dirontokkan dijemur di atas lantai jemur atau jika tidak ada bisa menggunakan terpal.
Gabah dijemur dengan ketebalan 5 – 7 cm dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam
sekali hingga kering. Gabah kering jika tidak langsung digiling harus disimpan di
tempat yang bersih dalam lumbung/gudang yang bebas hama dan memiliki sirkulasi
udara yang baik. Gabah yang akan dikonsumsi agar diperoleh beras dengan kualitas
baik disimpan dengan kadar air 14 %. Sedangkan gabah yang akan digunakan
sebagai benih disimpan dengan kadar air 12 %.
Gabah yang akan disimpan dalam waktu lama harus memiliki kadar air yang
lebih rendah. Untuk penyimpanan 4 – 6 bulan gabah harus memiliki kadar air 12 %
dan apabila disimpan selama 7 – 12 bulan kadar air gabah 11 %. Yang perlu
diperhatikan dalam penyimpanan gabah adalah tempat penyimpanan dan wadah yang
digunakan untuk mengemas gabah. Gudang atau tempat penyimpanan harus bersih
dari kotoran dan hama, dapat melindungi gabah dari hama seperti tikus dan memiliki
sirkulasi udara yang baik.
Wadah pengemas dapat menggunakan kemasan karung, kemasan plastik
dan kemasan yute. Kemasan harus dapat melindungi gabah dari hama, kerusakan
fisik terhadap goncangan dan mudah dipindahkan. Simpan gabah dengan ditata rapi
secara bertumpuk dan mendapatkan sirkulasi udara yang baik. Sebaiknya kemasan
atau karung disimpan tidak langsung menempel pada dinding karena dapat
mempengaruhi kelembaban padi dalam kemasan.
Pencegahan dan pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara fumigasi.
Penggunaan insektisida jangan langsung disemprotkan pada butiran gabah karena
dapat mempengaruhi kualitas gabah. Gabah yang sudah disimpan jika akan digiling
diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum digiling untuk menghindari butir beras
pecah.
11

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan Produktivitas sekolah : penelitian di SMK al-Amanah Serpong

20 218 83

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Analisis Sistem Informasi Pengelolaan STNK Di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Wilayah XX/Samsat Bandung Barat

15 155 60

Pengaruh Inovasi Produk dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian Makanan Ringan Yagi Yagi di Easy Cafe Bandung

9 168 44

Pengaruh Kualitas Software Aplikasi pengawasan kredit (C-M@X) Pt.PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat Dan Banten (DJBB) Terhadap Produktivitas Kerja karyawan UPJ Bandung Utara

5 72 130

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17