Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul oleh atau didapat pada
waktu melakukan pekerjaan (Irianto, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI Nomor: PER-01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit
Akibat Kerja bahwa yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja (PAK) adalah
setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 terdapat 31 jenis penyakit
akibat kerja, 29 dari 31 jenis penyakit akibat kerja adalah penyakit akibat kerja
yang bersifat internasional; penyakit demikian mengikuti standar Organisasi
Perburuhan Internasional (Suma’mur, 2009).
Di tempat kerja terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit
akibat kerja sebagai berikut (Suma’mur, 2009).
1.

Faktor fisis , seperti:
a.

Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja;


b.

Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain
penyakit susunan darah dan kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah
dapat mengakibatkan katarak (cataract) pada lensa mata, sedangkan
sinar

ultra

violet

menjadi

sebab

konjungtivitis

fotoelektrika

(conjunctivitis photoelectrica);


7
Universitas Sumatera Utara

8

c.

Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas),
kejang panas (heat cramps) atau hiperpireksia (hyperpyrexia), sedangkan
suhu terlalu rendah antara lain menimbulkan frostbite;

d.

Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison (caisson disease);

e.

Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan pada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.


2.

Faktor kimiawi, yaitu antara lain:
a.

Debu yang menyebabkan pnemokoniosis (pneumoconiosis), diantaranya
silikosis, asbestosis dan lainnya;

b.

Uap yang diantaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume
fever), dermatosis (penyakit kulit) akibat kerja, atau keracunan oleh zat
toksis uap formaldehida;

c.

Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya;

d.


Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi pada kulit;

e.

Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur
dan lainnya yang menimbulkan keracunan.

3.

Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brusella (brucella) yang
menyebabkan penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit;

4.

Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin,
sikap badan yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang
dapat menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat
laun dapat terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.


Universitas Sumatera Utara

9

5.

Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau
hubungan industrial yang tidak baik, misalnya dengan timbulnya depresi atau
penyakit psikosomatis.

2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja
Kulit merupakan bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhapat
berbagai macam penyakit. Penyakit kulit akibat kerja atau dermatosis akibat kerja
adalah semua kelainan kulit yang disebabkan oleh pekerjaan. Penyakit tersebut
terjadi pada saat atau setelah tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau
disebabkan oleh faktor-faktor yang ada pada lingkungan kerja. Penyakit ini
merupakan 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja, sebagian besar disebabkan
karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah, atau
dihasilkan oleh pekerjaan itu.
2.2.1


Penyebab penyakit kulit akibat kerja
Penyakit kulit akibat kerja disebabkan oleh kontak langsung kulit dengan

agen penyebab. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan penyakit kulit akibat
kerja pada saat melakukan pekerjaan. Agen penyebab penyakit kulit tersebut
antara lain berupa agen-agen fisik, kimia, maupun biologis (Anies, 2014).
Penyebab dermatosis akibat kerja digolongkan sebagai berikut (Sum’mur,
2009) :
1.

Faktor fisis, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu
dingin, sinar matahari, sinar X, dan sinar elekromagnetis lainnya;

Universitas Sumatera Utara

10

2.


Bahan yang berasal dari tanaman atau tumbuhan, yaitu daun, ranting, kayu,
akar, umbi, bunga, getah, debu dan lainnya;

3.

Makhluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga, kutu dan
sejenisnya, serta hewan lainnya dan bahan yang berasal dari padanya;

4.

Zat atau bahan kimia, yaitu asam dan garan zat kimia anorganis,
persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.
Dari semua penyebab tersebut, faktor kimiawi merupakan faktor bahaya

yang paling penting, karena zat atau bahan kimia banyak digunakan berbagai
industri dalam proses produksinya. Dermatosis akibat kerja ditimbulkan oleh 2
mekanisme, yaitu iritasi atau perangangan primer yang penyebabnya disebut
dengan iritan primer, dan melalui sensitisasi atau perentanan kulit yang
penyebabnya disebut pemeka (sentisitizer).
Perangsang primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan

dermatosis oleh efeknya yang langsung pada kulit normal dilokasi terjadinya
kontak bahan tersebut dengan kulit dalam jumlah dan kekuatan yang cukup lama.
Iritan primer memberikan rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan
lemak kulit, mengambil air dari lapisan kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi
susunan kimia kulit, sehingga keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul
dermatosis.
Sensitisizer atau perentan kulit adalah senyawa kimia yang tidak
menimbukan perubahan-perubahan pada kulit saat pertama kontak, tetapi
kemudian mengakibatkan perubahan khas di lokasi kontak atau lokasi lain di
kulit, setelah 5 atau 7 hari sejak kontak yang pertama. Sensitisasi biasanya

Universitas Sumatera Utara

11

disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur molekul lebih sederhana yang
bergabung dengan zat putih telur untuk membentuk antigen.
2.2.2

Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja

Sebagaimana penyakit akibat kerja pada umumnya, dermatosis akibat

kerja pun sering sangat khas menurut jenis pekerjaan dan lingkungan kerja.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 (dua) jenis
kelompok penyakit kulit akibat kerja, yaitu: 1. Penyakit kulit (dermatosis) yang
disebabkan oleh penyebab fisis, kimiawi dan biologis, dan 2. Penyakit kulit
epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral,
antrasen atau persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut (Suma’mur,
2009).
Menurut Waldron (1990) dan Anies (2006) yang dikutip oleh Anies
(2014), Penyakit kulit akibat kerja yang ditimbulkan oleh penyebab fisis, kimiawi
dan biologis, antara lain sebagai berikut:
1.

Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling
sering ditemukan. Bentuk akut ditandai dengan eritema, edema, papula,
vesikel, atau bula, yang biasanya terdapat pada tangan, lengan bawah, dan
wajah. Bentuk kronik tidak khas, mrip dengan kebanyakan dermatosis yang
lain dan penyebabnya tidak mudah dikenali.


2.

Dermatitis (ekzema) kontak alergi, baik akut maupun kronis mempunyai cirriciri klinis yang sama dengan ekzema bukan akibat kerja.

3.

Akne (jerawat) akibat kerja. Mirip dengan jerawat pada umumnya, tetapi

terutama menyerang bagian yang kontak dengan agen.

Universitas Sumatera Utara

12

4.

Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit ini dianggap sebagai penyakit kulit

akibat kerja, jika sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan
dalam pekerjaan tersebut.

5.

Kanker kulit akibat kerja. Biasanya berupa kanker sel skuamosa atau sel
basal. Kanker akibat kerja cenderung terjadi pada permukaan kulit yang
paling banyak terpapar terhadap karsinogen.

6.

Penyakit kulit menular akibat kerja. Paling sering adalah penyakit zoonotik,
kandidiasis, tuberkolosis verukosa.

2.3 Keluhan Gangguan Kulit Akibat Kerja
Keluhan gangguan kulit akibat kerja merupakan kelainan pada kulit yang
dirasakan oleh pekerja pada saat bekerja ataupun selesai bekerja. Keluhan
gangguan kulit ini merupakan gejala dari suatu penyakit akibat kerja. Keluhan
gangguan kulit yang dirasakan oleh pekerja dapat memberi gambaran tentang
jenis penyakit kulit apa yang berisiko diderita oleh pekerja. Keluhan gangguan
kulit ini dapat berupa rasa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, lepuh kecil
pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, penebalan pada kulit dan
lain sebagainya.
Menurut Chowdhug dan Maibach (2004) yang dikutip oleh Bangun
(2012), kelainan kulit yang terjadi, ditentukan oleh tiga faktor. Faktor yang
pertama adalah faktor yang berasal dari bahan iritannya, berupa ukuran molekul,
daya larut, konsentrasi bahan tersebut, serta pH. Faktor yang kedua adalah faktor
yang berasal dari lingkungan berupa lama kontak, kekerapan (terus-menerus
terpapar atau berselang), temperatur, tekanan, dan trauma fisik. Faktor yang ketiga

Universitas Sumatera Utara

13

adalah faktor yang berasal dari masing-masing individu berupa usia, jenis
kelamin, ras, penyakit kulit yang sedang/pernah diderita, dan daerah kulit yang
terpapar.
Menurut Gilles, et.al., (1990) yang dikutip oleh Suryani (2011), Faktorfaktor yang berpegaruh terhadap timbulnya penyakit kulit akibat kerja antara lain,
ras, keringat, terdapat penyakit kulit lain, Personal Hygiene, dan tindakan
menggunakan APD.
Berdasarkan sumber yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya penyakit kulit di atas, maka dapat disimpulkan faktorfaktor yang dominan menyebabkan terjadinya penyakit kulit yaitu bahan kimia,
lama kontak, masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwaya penyakit kulit
sebelumnya, personal hygiene dan penggunaan APD.
2.4 Pengolahan Getah Karet (Lateks)
Getah karet (Lateks) dapat diolah menjadi sheet dan crepe. Pabrik
pengolahan karet PTPN III Kebun Sei Silau mengolah hasil karetnya menjadi
Sheet. Sheet adalah produk karet alam berupa lembran-lembaran yang telah
diasap, bersih dan liat, bebas dari buluk (jamur), tidak saling melekat, warnanya
jernih, tidak bergelembung udara, dan bebas dari akibat pengolahan yang kurang
sempurna (Djoehana, 2012).

Universitas Sumatera Utara

14

2.4.1

Proses Pengolahan

Penerimaan
Lateks

Pengenceran
Lateks

Pembekuan
Lateks

Penggilingan

Sortasi

Pengasapan
dan
Pengeringan

Pengepakan

Gambar 2.1 Bagan Proses Pengolahan Lateks
1) Penerimaan lateks
Lateks hasil penyadapan diangkut dengan tangki yang ditarik truk pabrik.
Di pabrik, lateks diterima dan dicampur dalam bak penerimaan.
2) Pengenceran lateks
Pengenceran lateks atau memperlemah kadar karet adalah menurunkan
kadar karet yang terkandung dalam lateks sampai diperoleh kadar karet baku
sesuai dengan yang diperlukan dalam pembuatan sheet, yaitu sebesar 13%, 15%,
16% atau 20% sesuai dengan kondisi dan peralatan setempat.
Maksud dari pengenceran lateks adalah:
1.

Untuk melunakkan bekuan, sehingga tenaga gilingan tidak terlalu berat,

2.

Memudahkan penghilangan gelembung udara atau gas yang terdapat dalam
lateks,

3.

Memudahkan meratanya koagulan (asam pembeku) yang dibubuhkan untuk
proses koagulasi.

Universitas Sumatera Utara

15

3) Pembekuan Lateks
Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan)
butir-butir karet yang terdapat dalam cairan lateks, supaya menjadi satu gumpalan
atau koagulum. Untuk membuat koagulum ini, lateks perlu dibubuhkan obat
pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Menurut penelitian,
terjadinya proses koagulasi adalah karena terjadinya penurunan pH. Lateks segar
mempunya pH 6,5. Supaya dapat terjadi penggumpalan, pH harus diturunkan
sampai 4,7. Penurunan pH ini terjadi dengan membubuhkan asam semut (asam
formiat) 1% atau asam cuka 2% kedalam lateks yang telah diencerkan.
Cara pembekuan dalam bak pembekuan adalah sebagai berikut:
1.

Tangki yang telah diisi lateks yang telah diencerkan diaduk beberapa kali.
Buanglah busa-busa yang timbul dengan alat pembuang busa. Pengadukan
pertama cukup 4 kali bolak-balik.

2.

Bubuhkan kedalam lateks yang telah diencerkan tersebut asam semut (asam
formiat) atau sam cuka sesuai dengan yang diperlukan. Tiap liter lateks Kadar
Karet Baku 16% memerlukan 60 cc asam semut 1% atau asam cuka 2%.
Adukklah agar asam tersebut merata di dalam larutan lateks. Pengadukan
dilakukan 6-10 kali bolak-balik.

3.

Buanglah busa yang timbul dengan segera.

4.

Pasanglah sekat-sekat dengan cepat tetapi teratur mulai dari bagian tengah
menuju pinggir sedemikian rupa, sehingga tiap ruang di antara sekat terisi
lateks yang tingginya sama.

Universitas Sumatera Utara

16

5.

Biarkan lateks membeku selama 2-3 jam. Bila telah membeku, tambahkan air
bersih kedalam tangki sampai permukaan bekuan sedikit terendam.

6.

Setelah sekat-sekat diangkat, akan diperoleh lembaran-lembaran koagulum
yang siap untuk digiling.

4) Penggilingan
Koagulum dari bak pembekuan diangkat, dan melalui talang didorong
menuju sebuah meja yang terletak di muka gilingan pertama. Dari meja ini
koagulum meluncur ke gilingan pertama, kemudian menuju gilingan kedua, dan
seterusnya serta berakhir setelah keluar dari gilingan gambar.
Lembar-lembar yang keluar dari gilingan gambar dimasukkan kedalam
bak pencucian untuk membersihkan serum yang masih melekat pada lembaran.
Setelah dicuci bersih, lembaran-lembaran karet basah digantungkan pada rak-rak
penggantung untuk dibiarkan agar air yang masih ada pada lembaran menetes.
Lama penggantungan kira-kira 1-2 jam.
Proses ini berguna untuk:
a.

Menggiling lembaran-lembaran koagulum menjadi lembaran-lembaran karet
yang mempunyai ukuran panjang, lebar dan tebalnya tertentu.

b.

Untuk mengeluarkan serum yang terdapat didalam koagulum.

c.

Untuk membuang busa yang teringgal.

d.

Untuk memberi gambaran (print, batikan kembang) pada permukaan lembar
karet.

5) Pengasapan dan pengeringan

Universitas Sumatera Utara

17

Proses ini berguna untuk mendapatkan lembaran karet yang sungguhsungguh kering. Di samping itu, lembaran juga perlu diawetkan agar tahan
terhadap kerusakan. Proses ini juga untuk memberi warna coklat terang yang
diinginkan. Untuk Pengasapan dan pengeringan digunakan kamar asap dengan
suhu tidak boleh kurang dari 40ºC.
Setelah lembaran karet mencapai kekeringan sesuai dengan yang
ditentukan, dapur dimatikan dan kamar dibiarkan dingin. Lembaran-lembaran
karet yang berwarna coklat, yang disebut Ribbed Smoked Sheet, dikeluarkan dan
diangkut ke ruang sortasi.
6) Sortasi
Pelaksanaan sortasi ini dimaksudkan untuk memisahkan lembaranlembaran karet berdasarkan tingkat (grade) kualitasnya.
7) Pengepakan
Sebelum dibungkus, lembar karet dilipat untuk memudahkan mengaturnya
dalam peti waktu pengepakan. Setelah itu, dilakukan pengepresan. Setelah
pengepresan, peti tidak boleh dibuka terlebih dahulu agar bentuk kubus yang
diharapkan dari tumpukan sheet dapat dipertahankan. Peti baru bisa dibuka
keesokan harinya.
Sebagai pembungkus, bandela digunakan lembaran-lembaran karet yang
sama jenis (grade)-nya. Setelah sheet dibungkus, bandela kemudian dilabur
dengan memakai campuran talk dan perekat, kemudian diberi merk/tanda sesuai
dengan peraturan.

Universitas Sumatera Utara

18

2.5 Asam Formiat
Asam formiat atau sering juga disebut asam semut dengan rumus molekul
HCOOH memiliki berat molekul 46,03, titik didih 101°C, titik nyala 69ºC, titik
lebur 8ºC, berat jenis (air=1) 1,19. Asam formiat berupa cairan yang jernih dan
tidak berwarna, mudah larut dalam air, berbau merangsang, dam masih bereaksi
asam pada pengenceran.
Konsumen asam formiat terbesar adalah industri karet, dalam industri ini
asam formiat digunakan sebagai koagulan getah karet. Selain industri karet, asam
fomiat juga digunakan pada industri tekstil dalam hal proses dyeing dan finishing
sebagai conditioner . Sedangkan dalam industri kulit, asam formiat digunakan
untuk menetralisir kapur. Dalam jumlah yang sedikit, asam formiat juga
digunakan sebagai intermediat bahan-bahan farmasi dan bahan kimia lainnya.
2.5.1

Efek Pada Kesehatan
Asam formiat merupakan bahan iritan cair organik. Bahan iritan adalah

bahan yang karena reaksi kimia dapat menimbulkan kerusakan, peradangan atau
sensitisasi bila kontak dengan permukaan tubuh yang lembab seperti kulit, mata,
dan saluran pernafasan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa luka, peradangan,
iritasi (gatal-gatal), dan sensitisasi (Cahyono, 2004).
Menurut SIKer Nas (2011) bahaya utama asam formiat terhadap kesehatan
yaitu iritasi jika kontak dengan kulit, bersifat iritan dan korosif jika terkena mata,
dan mengiritasi jika tertelan. Organ sasarannya yaitu sistem pernafasan, paruparu, kulit, ginjal, hati, mata, dan sistem saraf pusat.

Universitas Sumatera Utara

19

1.

Paparan jangka pendek
a.

Terhirup
Menghirup kabut bahan dapat menimbulkan iritasi ringan pada saluran
napas, yang ditandai dengan batuk, tersedak, dan napas pendek.
Menghirup cairan atau semprotan bahan ini dapat menyebabkan
kerusakan membran mukosa saluran napas dan iritasi saluran napas.

b.

Kontak dengan kulit
Dapat mengiritasi kulit, menyebabkan luka bakar. Peradangan kulit
ditandai dengan rasa gatal, kulit bersisik, kemerahan, dan kadang-kadang
melepuh.

c.

Kontak dengan mata
Bersifat iritan dan korosif jika terkena mata. Peradangan pada mata
ditandai dengan kemerahan, mata berair, dan gatal. Cairan atau
semprotan bahan ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan membran
mukosa mata. Dapat menyebabkan penglihatan menjadi kabur.

d. Tertelan
Menyebabkan luka korosif lokal, nyeri kerongkongan, rasa seperti
terbakar, nyeri perut, kram perut, muntah, diare. Menelan cairan bahan
ini dapat menyebabkan kerusakan membran mukosa mulut .
2.

Paparan jangka panjang
a.

Terhirup
Paparan berulang atau jangka panjang dapat menyebabkan iritasi saluran
napas yang mengarah pada sering terjadinya serangan infeksi bronkial.

Universitas Sumatera Utara

20

b.

Kontak dengan kulit
Paparan berulang atau jangka panjang dapat menyebabkan iritasi kulit
berat (dermatitis).

c.

Kontak dengan mata
Paparan berulang atau jangka panjang dapat menyebabkan iritasi mata
kronis.

d. Tertelan
Kerusakan ginjal yang ditandai dengan adanya albumin dan darah pada
urin.
Menurut Occupational Safety & Health Administration (2006) jalur masuk
asam formiat yaitu inhalasi, oral, kulit dan/atau kontak mata dengan organ sasaran
mata, kulit, dan saluran pernafasan. Gejala yang timbul bila kontak dengan bagian
tersebut berupa kulit terasa seperti terbakar, dermatitis, lakrimasi (keluarnya air
mata), rhinorrhea ( keluarnya lendir tipis dari hidung), batuk, dyspnea (kesulitan
bernafas), dan mual.
Menurut NIOS Pocket Guide to Chemical Hazards (2011) bila asam
formiat kontak dengan mata, kulit, dan saluran pernafasan dapat menimbulkan
efek pada kesehatan berupa iritasi mata, iritasi kulit, iritasi hidung dan
tenggorokan. Gejala yang timbul yaitu kulit terasa seperti terbakar, lecet,
lakrimasi (keluarnya air mata), penglihatan kabur, kemerahan pada mata,
rhinorrhea (keluarnya lendir tipis dari hidung), dyspnea (kesulitan bernafas),

mual, edema paru, asidosis metabolik, dan ketidaksadaran. sakit tenggorokan,
sakit perut, kram, muntah, diare.

Universitas Sumatera Utara

21

2.6 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap
Gangguan Kulit Akibat Asam Formiat

Timbulnya

Keluhan

Berdasarkan teori yang ada, faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya keluhan gangguan kulit yaitu bahan kimia, lama kontak, masa kerja,
umur, jenis kelamin, ras, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene dan
penggunaan APD. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang dominan berpengaruh
terhadap keluhan gangguan kulit pada pekerja yaitu umur, masa kerja, unit kerja,
riwayat penyakit kulit, dan penggunaan APD.
a.

Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan

gangguan gangguan kulit pada seseorang. Pekerja dengan umur usia lanjut
memiliki kulit yang sudah berubah strukturnya. Kulit mereka kurang elastis, dan
sudah kehilangan lapisan lemak di atasnya sehingga kulit mereka menjadi kering
dan terlihat tipis. Hal ini menyebabkan kulit mereka lebih rentan mengalami
gangguan kulit.
Akan tetapi sebaliknya, hasil penelitian yang dilakukan suryani (2011)
menunjukkan bahwa rata-rata umur pekerja yang mengalami dermatitis kontak
yaitu 23 tahun yang mana masih tergolong masih muda. Menurut NIOSH (2006)
yang dikutip oleh Suryani (2011) pekerja umur 15-24 tahun merupakan umur
dengan insiden penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Salah satu faktor
penyebabnya yaitu bahwa pekerja yang lebih muda mempunyai pengalaman yang
lebih sedikit dibandingkan pekerja yang lebih tua, sehingga kontak bahan kimia
lebih sering terjadi pada pekerja yang lebih muda.

Universitas Sumatera Utara

22

b.

Masa Kerja
Masa kerja adalah lamanya seseorang terpajan dengan kemungkinan

sumber yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan gangguan kulit. Menurut
Suma’mur (2009) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak
dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
c.

Unit Kerja
Berdasarkan penelitian Adillah (2012), spesifikasi pekerjaan yang

dilakukan pekerja terbukti memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak.
Pekerja yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan bahan kimia akan lebih
rentan terkena penyakit kulit.
d.

Riwayat Penyakit Kulit/ Riwayat Alergi
Alergi yaitu suatu reaksi atau perubahan tubuh yang berlebihan terhadap

suatu bahan tertentu. Pekerja yang mempunyai riwayat alergi pada kulit
cenderung terkena dermatosis daripada yang tidak mempunyai riwayat alergi
karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat penyakit kulit yang
pernah diderita sebelumnya.
3.

Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri sangat penting bagi pekerja untuk

melindungi dirinya dari risiko bahaya yang dapat timbul di tempat kerja baik itu
penyakit akibat kerja (PAK) maupun kecelakaan kerja. perlindungan tubuh atau
permukaan kulit berupa baju kerja, sarung tangan kerja dan sepatu kerja dapat
digunakan untuk mencegah:
1) Kerusakan kulit akibat reaksi alergi atau zat kimia yang korosif.

Universitas Sumatera Utara

23

2) Penyebaran zat kimia melalui kulit.
3) Penyebaran panas atau dingin atau sinar radiasi.
APD yang digunakan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut:
1) Alat pelindung diri harus dapat melindungi terhadap bahaya-bahaya dimana
pekerja terpajan.
2) Alat atau pakaian pelindung diri harus ringan dan efisien dalam
memberiperlindungan.
3) Sebagai pelengkap terhadap tubuh harus fleksibel namun efektif.
4) Pekerja yang memakai alat pelindung diri harus tidak terhalang gerakannya
maupun tanggapan panca indranya.
5) Alat pelindung diri harus tahan lama.
6) Alat pelindung diri harus tidak memiliki efek samping (bahaya tambahan
karena pemakaian) baik oleh karena bentuknya, konstruksi, bahan atau
mungkin penyalahgunaan.
Jenis APD yang biasa digunakan antara lain: sarung tangan, masker,
pelindung mata, pakaian kerja, topi pengaman, dan sepatu kerja. APD standar
untuk bahan kimia berbahaya adalah:
1.

Pelindung kepala dikenal sebagai safety helmet yang bertujuan untuk
melindungi kepala dari benda jatuh dan melindungi dari arus listrik serta
melindungi kepala dari benturan.

2.

Pelindung mata dikenal sebagai safety glasses. Safety glasses berbeda dengan
kaca mata biasa, karena pada bagian atas, kanan dan kiri frame terdapat

Universitas Sumatera Utara

24

pelindung dan jenis kacanya yang dapat menahan sinar ultraviolet sampai
persentase tertentu.
3.

Pelindung wajah yang dikenal adalah face shield melindungi wajah dari
situasi yang mungkin terjadi percikan bahan kimia, uap, serbuk, debu dank
abut. Jenis pelindung wajah yang lain adalah welding helmets (topeng las).

4.

Pelindung tangan diperkirakan hamper 20% dari seluruh kecelakaan yang
menyebabkan cacat adalah tangan, kemampuan kerja akan sangat berkurang.
Kontak dengan bahan kimia kaustik beracun, bahan-bahan biologis, sumber
listrik, benda yang suhunya sangat dingin atau sangat panas dapat
menyebabkan iritasi atau membakar tangan. APD tangan dikenal sebagai
safety gloves dengan berbagai jenis penggunaannya. Untuk melindungi

tangan dari bahan kimia adalah sarung tangan vinyl dan neoprene.
5.

Pelindung kaki. Sepatu yang dapat melindungi kaki dari bahan asam, basa,
ketone, aldehid adalah jenis sepatu butly, sepatu vinyl dan sepatu nitrile.

Universitas Sumatera Utara

25

2.7 Kerangka Konsep
1.
2.
3.
4.

Umur
Masa Kerja
Unit Kerja
Riwayat Penyakit
Kulit
5. Pemakaian APD

Keluhan Gangguan
Kulit

Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

3 13 119

Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Penyakit Kulit pada Pekerja Pencuci Bowldisk di PT. Bakrie Sumatera Plantation Tahun 2016

1 7 98

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

0 0 16

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

0 0 6

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

5 14 3

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Kulit Dalam Penggunaan Asam Formiat Pada Pekerja Bagian Produksi Pabrik Pengolahan Karet PTPN III Kebun Sei Silau Tahun 2016

0 0 44

Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Keluhan Subyektif Pada Pekerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Kebun Bah Jambi Tahun 2016

0 0 16

Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Penyakit Kulit pada Pekerja Pencuci Bowldisk di PT. Bakrie Sumatera Plantation Tahun 2016

0 0 14

Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Penyakit Kulit pada Pekerja Pencuci Bowldisk di PT. Bakrie Sumatera Plantation Tahun 2016

0 0 2