Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae) Chapter III V

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2013-Agustus 2014 di
Laboratorium Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, di
kebun Petani Desa Lobu Siregar Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli
Utara, Propinsi Sumatera Utara (1200-1400 m dpl) dan Kabupaten Toba Samosir
Desa Tangga Batu Kecamatan Tampahan (900-1100 m dpl). Jenis kopi pada areal
percobaan adalah Arabika varietas Lini S 795 berumur 3 tahun dengan jarak
tanam 2,5 x 2,5 m.
Alat dan Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah B. bassiana isolat lokal dari buah kopi asal
daerah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir, aquadest, kain
kasa, kapas steril, kentang, etanol 96%, tissue gulung, spirtus, NaOCl, kertas isap,
aluminium foil, gas elpiji, plastic, kapas, agar, dextrose.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung
erlenmeyer 250 ml, jarum ent, pipet, panci, mikroskop binokuler, kamera,
haemocytometer, tip, handsprayer, jaring, glass ukur, saringan, wadah, botol, karet
gelang, kantong plastik, kain kasa, pisau, gunting, autoclove, laminar flow,
timbangan, lampu Bunsen, glas objek, glass preparat, spatula, mikropipet, kotak
stray, oven.
Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan di dua tempat, yakni di laboratorium dan
di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian di Laboratorium
Percobaan di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Faktorial terdiri dari dua faktor dengan tiga ulangan:
Faktor 1: Kerapatan B. bassiana, yang terdiri dari :
Kl

= Kontrol

K2

= 106spora/ml

K3

= 107 spora/ml


K4

= 108 spora/ml

Tiap kerapatan spora jamur B. bassiana diplikasikan sebanyak 6 ml (dua belas
kali semprot) perstoples yang berisi masing-masing kopi.
Faktor 2 : Sampel Buah Kopi
P1 = 50 buah kopi muda (matang susu)
P2 = 50 buah kopi setengah masak (berwarna kuning muda)
P3 = 50 buah kopi masak (berwarna merah)
Banyaknya ulangan yang dicobakan memenuhi rumus:
( t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
t = jumlah perlakuan
r = jumlah ulangan
(Hanafiah, 2005).
Jumlah ulangan = 3

Universitas Sumatera Utara


Jumlah unit percobaan = 36
Adapun kombinasi perlakuan sebagai berikut
K1P1

K1P2

K1P3

K2P1

K2P2

K2P3

K3P1

K3P3

K3P3


K4P1

K4P2

K4P3

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan model linear
statistik sebagai berikut:
Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk
Keterangan :
Y ijk

= Pengaruh perlakuan kerapatan B. bassiana taraf ke –i, umur buah kopi
taraf ke-j dan ulangan ke-k ( i= 1,2….a, j= 1,2….b. k= 1,2…r)

µ

= Rata-rata populasi mortalitas

αi


= Pengaruh utama kerapatan B. bassiana

βj

= Pengaruh utama umur buah kopi

(αβ) ij = Pengaruh interaksi dari kerapatan B. bassiana dan umur buah kopi

ε ijk

= Pengaruh faktor sisa pada satuan percobaan

Universitas Sumatera Utara

Penelitian di Lapangan
Penelitian ini menggunakan rancangan RAK faktorial dengan 2 faktor
yaitu:
Faktor 1: Kerapatan B. bassiana, yang terdiri dari :
Kl


= Kontrol

K2

= 106spora/ml

K3

= 107 spora/ml

K4

= 108 spora/ml

Faktor 2 : Sampel Buah Kopi
P1 = 50 buah kopi muda (matang susu)
P2 = 50 buah kopi setengah masak (berwarna kuning muda)
P3 = 50 buah kopi masak (berwarna merah)
Jumlah ulangan = 3

Jumlah unit percobaan = 36
Model linier yang digunakan dalam Rancangan acak Kelompok (RAK)
faktorial adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + ρ i + β k + (αβ)jk + ε ijk

Universitas Sumatera Utara

Keterangan :
Y ijZ

= Pengaruh perlakuan kerapatan B. bassiana taraf ke –I, umur buah kopi
taraf ke-j dan ulangan ke-k ( i= 1,2….a, j= 1,2….b. k= 1,2…r)

µ

= Rata-rata populasi mortalitas

αi

= Pengaruh utama kerapatan B. bassiana


βj

= Pengaruh utama umur buah kopi

(αβ) ij = Pengaruh interaksi dari kerapatan B. bassiana dan umur buah kopi

ε ijk

= Pengaruh faktor sisa pada satuan percobaan

Pelaksanaan Penelitian
Identifikasi B. bassiana entomopatogen
Pertama kali yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekplorasi
cendawan Beauveria bassiana dengan cara sebagai berikut.
Pengambilan sampel buah kopi
Sampel buah kopi diambil dari perkebunan kopi. Pada masing-masing
lahan ditetapkan 2 (dua) lokasi berbeda yang terdiri dari lahan kopi di Kabupaten
Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir. Dari setiap sampel dikumpulkan
buah kopi yang terdapat B. bassiana dengan ciri-ciri terdapat jamur warna putih

di sekitar lubang diskus. Kemudian buah kopi tersebut dibawa ke laboratorium.

Universitas Sumatera Utara

a

b

Gambar 1 : a. Buah kopi dari lapangan yang terdapat jamur B. bassiana dan
b. Sporulasi buah kopi di laboratorium

Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)
Bahan untuk membuat media terdiri dari 250 gram kentang, 20 gr dextrose
dan 1000 ml aquades, 20 gr agar. Kentang dikupas dan dicuci sampai bersih,
kemudian dipotong kecil-kecil dengan ukuran (1 x 1 x 1 cm). Kentang yang sudah
dipotong dimasukkan ke dalam panci serbaguna yang berisi Akuades dan dimasak
selama 20 menit. Kentang disaring dengan menggunakan saringan dan diambil
ekstraknya sebanyak 500 ml lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian
diaduk sampai homogen. Erlenmeyer disumbat dengan kapas dan ditutup kertas
Aluminium foil dan dimasukkan ke dalam autoklaf 121°C dengan tekanan 1

atmosfer selama 15 menit kemudian didinginkan.

a

b

Gambar 2: a. dan b. Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Universitas Sumatera Utara

Isolasi Jamur B. bassiana
Bagian buah kopi yang terdapat B. bassiana yang berwarna putih
kemudian dikumpulkan, kemudian disterilkan dalam 0,1 % NaCl selama 1 menit
dan dibilas 3 kali dengan air steril. Kemudian ditumbuhkan dalam cawan petri
berdiameter 9 cm yang berisi media dektrosa kentang agar (PDA). Inkubasi
dilakukan selama 5-7 hari pada suhu ruang dan tempat gelap. Hasil isolasi
kemudian di identifikasi dengan mikroskop dengan perbesaran 400x. Setelah itu
isolat jamur B. bassiana tersebut dapat digunakan untuk produksi masal
(Quesada-Moraga et al., 2006)


a

b

Gambar 3: a. dan b. Jamur Beauveria bassiana

Penelitian di Laboratorium
Buah-buah kopi matang susu, setengah masak dan yang masak yang
terserang PBKo dimasukkan ke dalam wadah plastik ukuran 10x12 cm yang telah
dilapisi tissue. Selanjutnya wadah plastik yang sudah berisi buah-buah kopi yang
terserang PBKo disemprot sesuai perlakuan dengan menggunakan handsprayer.
Pengamatan dilakukan enam hari setelah penyemprotan dengan cara membedah

Universitas Sumatera Utara

buah kopi untuk melihat gejala infeksi jamur entomopatogen. Setiap serangga
PBKo (larva, pupa atau imago) yang mati diamati di bawah mikroskop.

a

b

Gambar 4: a. dan b. Aplikasi B. bassiana di laboratorium
Penelitian di Lapangan
Pengambilan buah kopi dilakukan pada dua Kabupaten sentra penghasil kopi
dengan ketinggian tempat yang bervariasi antara 1200-1400 m dpl (Kabupaten
Tapanuli Utara) dan 900-1100 m dpl (Kabupaten Toba Samosir), yaitu:
1. Kabupaten Tapanuli Utara:
Kegiatan dilaksanakan di Desa Lobu Siregar Kecamatan Siborong-borong
(1200-1400 m dpl) milik Bapak S. Simanjutak dengan luas lahan 1.600 m2
dengan jumlah populasi 256 tanaman dengan jarak tanaman 2,5x2,5 meter.
Tanaman kopi berumur 3 tahun varietas Arabika (Sigararutang).
2. Kabupaten Toba Samosir:
Kegiatan dilaksanakan di Desa Tangga Batu Kecamatan Tampahan (9001100 m dpl) milik Bapak T. Tampubolon dengan luas lahan 1.600 m2
dengan jumlah populasi 256 tanaman dengan jarak tanaman 2,5 x 2,5
meter. Tanaman kopi berumur 3 tahun, varietas Arabika (Sigararutang).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian

lapangan

dilakukan

dengan

menyemprotkan

jamur

entomopatogen B. bassiana pada buah kopi matang susu, setengah masak
(berwarna kekuningan) dan buah masak (merah) yang terserang PBKO pada
kotak-kotak perlakuan di lapangan yang ditempatkan di sekitar pohon kopi. Kotak
perlakuan berukuran 40x40x10 cm3, dengan ketebalan triplek 5 mm. Kotak-kotak
perlakuan diisi dengan rincian 50 buah kopi matang susu, 50 buah kopi setengah
masak (berwarna kuning), dan 50 buah kopi masak (berwarna merah) yang
terserang PBKo yang telah dialasi serasah (daun-daun kering 10 gr). Serasah dan
buah kopi kemudian dicampur merata untuk mengkondisikan letak buah seperti di
kebun kopi. Penyemprotan dilakukan dengan handsprayer pada pagi hari pukul
6.00 WIB dan diamati 6 hari setelah aplikasi (hsa) hingga 10 hsa. Pengamatan
dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi dan ditempatkan dalam ruangan
dengan kondisi lingkungan seperti dalam uji laboratorium lalu dilakukan
pembedahan dengan menggunakan mikroskop binokuler untuk melihat infeksi
Beauveria bassiana dalam tubuh PBKo.

a

b

Gambar 5: a. Aplikasi B. bassiana di lapangan Desa Lobu Siregar- Taput
b. Aplikasi B. bassiana di lapangan Desa Tangga Batu-Tobasa

Universitas Sumatera Utara

Peubah Amatan
Uji B. bassiana di Laboratorium
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago)
Diamati stadia PBKo yang terinfeksi baik larva, pupa dan imago.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi yang terinvestasi PBKo
dan menghitung jumlah PBKo yang mati 6 hari setelah aplikasi (hsa) sampai
dengan 10 hsa. Keberhasilan penekanan populasi PBKo oleh Beauveria bassiana
dilakukan dengan menghitung seluruh larva dan imago PBKo yang terdapat di
dalam buah kopi yang terinfeksi

Beauveria bassiana

entomopatogen lalu

dibandingkan dengan jumlah larva dan imago sehat. Persentase mortalitas
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Σ PBKo mati
Mortalitas PBKo

=

Σ PBKo mula-mula

x 100%

Apabila ada PBKo yang mati pada kontrol, maka dilakukan penghitungan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Po - Pc
Pt

=

x 100%
100 - Pc

Keterangan:
Pt = Persentase kematian terkoreksi
Po = Persentase kematian teramati
Pc = Persentase kematian control
(Yue dan Rong, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Uji B. bassiana di Lapangan
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago)
Diamati stadia PBKo yang terinfeksi baik larva, pupa dan imago.
Pengamatan dilakukan dengan mengambil 10 buah kopi yang terinvestasi PBKo
dan menghitung jumlah PBKo yang mati dimulai pada 5 hari setelah aplikasi
(hsa) sampai dengan 10 hsa. Sampel yang diambil adalah sampel destruktif
artinya sampel tidak dikembalikan ke kotak perlakuan karena telah rusak akibat
pembelahan buah untuk pengamatan. Keberhasilan penekanan populasi PBKo
oleh Beuveria bassiana dilakukan dengan menghitung seluruh larva, pupa atau
imago PBKo yang terdapat di dalam buah kopi yang terinfeksi Beuveria bassiana
lalu dibandingkan dengan jumlah larva, pupa dan imago sehat. Persentase
mortalitas dihitung berdasarkan rumus:
Σ PBKo mati
Mortalitas PBKo

=

x 100%
Σ PBKo mula-mula

Apabila ada PBKo yang mati pada kontrol, maka dilakukan penghitungan
menggunakan rumu sebagai berikut:
Po - Pc
Pt

=

x 100%
100 - Pc

Keterangan:
Pt = Persentase kematian terkoreksi
Po = Persentase kematian teramati
Pc = Persentase kematian control
(Yue dan Rong, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Persentase Buah Kopi yang Terserang.
Menetapkan 2 pohon contoh untuk setiap perlakuan pada areal pertanaman.
Dipilih 4 cabang pada setiap pohon contoh dengan posisi cabang berada di tengah
bagian pohon dan keempat cabang tersebut searah dengan mata angin (utara,
selatan, barat dan timur). Diambil 25 buah kopi per cabang atau 100 buah kopi
per pohon pada tanaman yang diamati. Persentase buah terserang dihitung dengan
menggunakan rumus (BBP2TP, 2008):
Jumlah buah terserang
Persentase Buah Terserang =

x 100 %
Jumlah buah awal

Uji Viabilitas
Penghitungan jumlah propagul aktif

B. bassiana dilakukan dengan

menggunakan haemocytometer. Diambil sampel sebanyak 1 ml, kemudian dibuat
seri pengenceran sampai 106, 107dan 108 dan dilakukan penanaman pada media
PDA cawan Petri dengan langsung menuangkan seri pengenceran tersebut pada
media PDA. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 7, 14 , dan 21 hari.
Jumlah koloni yang terbentuk dihitung dengan rumus:
Jumlah propagul = (Ax 106 ) +(Bx 107 )+ (Cx 108 )
3
Keterangan:
A = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 106
B = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 107
C = jumlah koloni pada media PDA cawan Petri dari pengenceran 108
(Prayogo, 2008)

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian di Laboratorium
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Laboratorium setelah
Aplikasi Beauveria basssiana
Hasil analisis statistik aplikasi jamur B. bassiana pada beberapa tingkat
kerapatan spora menunjukkan adanya pengaruh terhadap mortalitas larva
H. hampei. Analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
nyata antar perlakuan (Tabel 1).
Tabel 1. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
48.37a
46.06b
0.00e
44.77c
42.39d
0.00e
48.18a
47.73b

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
34.88d
55.55d
76.73c
42.80c
59.43cd 76.79c
0.00e
0.00e
0.00e
45.04b
59.54c
76.02d
44.59c
61.41b
77.8b
0.00e
0.00e
0.00e
48.50a
64.40a
79.58a
48.31a
64.33a
79.60a

10
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
79.38c
77.03d
0.00e
80.72b
78.51c
0.00e
81.12a
82.03a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Pada pengamatan larva H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa
persentase kematian tertinggi (82.03%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada
perlakuan 108 spora/ml di buah masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106
spora/ml di buah muda. Kerapatan spora jamur yang rendah masih membutuhkan

Universitas Sumatera Utara

waktu lebih lama untuk menginfeksi serangga hingga menimbulkan gejala atau
meskipun kontak antara keduanya telah terjadi. Semakin tinggi kerapatan spora
jamur B. bassiana yang telah diaplikasikan pada pakan mampu menginfeksi
serangga uji.

Apabila serangga memakan bagian tanaman yang telah

diperlakukan dengan biopestisida, maka akan mengalami infeksi yang
menyebabkan kematian (Gurulingappa et al., 2011).
Tabel 2. Rataan persentase mortalitas pupa H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
20.88e
22.12d
0.00f
24.47a
24.11b
0.00f
24.05b
23.96c

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00g
0.00e
0.00g
0.00g
0.00e
0.00g
0.00g
0.00e
0.00g
0.00g
0.00e
0.00g
27.80f
53.30d
71.51c
34.81d
56.83c
68.28e
0.00g
0.00e
0.00g
32.75e
57.78b
67.70f
40.41b
58.27b
69.27d
0.00g
0.00e
0.00g
37.53c
60.90a
73.41b
47.81a
62.79a
75.00a

10
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
67.73e
72.16c
0.00f
68.64d
67.97e
0.00f
74.01b
76.32a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Pengamatan hari ke 6 sampai hari ke 10 setelah aplikasi B. bassiana pada
semua perlakuan menunjukkan adanya kematian pupa H. hampei kecuali pada
perlakuan kontrol. Persentase kematian tertinggi (76.32%) terdapat pada
pengamatan 10 hsa pada perlakuan 108 spora/ml di buah masak dan terendah
(0%) pada kontrol serta 106 spora/ml (24.47%) di buah setengah masak.
Penelitian Qazzaz et al., (2015) bahwa peningkatan kerapatan spora jamur yang

Universitas Sumatera Utara

tinggi menyebabkan meningkatnya konidia jamur, sehingga jamur mampu
berkecambah

dan mampu menimbulkan kematian

pada pupa H. hampei.

Semakin banyak spora yang menempel pada tubuh serangga, semakin besar pula
peluang jamur untuk tumbuh dan berkembang pada tubuh serangga selanjutnya
mematikan serangga (Cruz et al., 2006).
Tabel 3. Rataan persentase mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di laboratorium.
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
16.67c
17.67b
0.00f
14.07e
15.22d
0.00f
17.24bc
18.14a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
23.94bc 58.37a
65.55b
22.92c
53.91d
63.29c
0.00e
0.00f
0.00e
24.77b
46.42e
56.56d
18.48d
54.17cd 63.65c
0.00e
0.00f
0.00e
34.69a
54.26c
64.18bc
24.29b
57.43b
70.77a

10
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
67.57b
66.34c
0.00fe
59.10c
66.09
0.00f
64.57d
72.42a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Tabel 3 menunjukkan mortalitas Imago H. hampei yang tertinggi
(72.42%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 108 spora/ml di buah
masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106 spora/ml (18.14%) di buah
masak. Data di atas menunjukkan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108)
10 hsa berbeda sangat nyata dengan K3 (B.bassiana kerapatan konidia 107 ) dan
tidak berbeda nyata dengan K2 (B.bassiana kerapatan konidia 106 ). Hal ini
sejalan dengan pernyataan (Khairani, 2007) bahwa semakin tinggi konsentrasi

Universitas Sumatera Utara

maka semakin banyak spora yang menempel pada tubuh serangga, selanjutnya
akan mematikan serangga tersebut. Hasil penelitian Malarvannan et al., (2010)
bahwa perlakuan B. bassiana strain Leptocorisa konsentrasi 108 dengan ditambah
perekat perata bahan aktif alkil aril alkoksilat dan asam oleat, tingkat kematian
H. antonii pada 5,6, dan 7 hsa masing-masing mencapai 36,40, dan 100%.
Penelitian di Lapangan
Mortalitas Hama PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Lapangan setelah
Aplikasi Beauveria basssiana di Desa Lobu Siregar-Kabupaten TAPUT dan
Desa Tangga Batu-Kabupaten Tobasa.
Berdasarkan tabel 4 dan 5 perlakuan berbagai konsentrasi kerapatan jamur
B. bassiana menyebabkan peningkatan mortalitas larva H. hampei di lapangan
setelah penyemprotan B. bassiana pada pengamatan 6 hsa sampai dengan 10 hsa.
Tabel 4. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Lobu Siregar-TAPUT
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00g
0.00g
0.00g
0.00g
38.82e
35.49f
0.00g
41.61d
43.87c
0.00g
45.34b
47.80a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00g
0.00e
0.00f
0.00g
0.00e
0.00f
0.00g
0.00e
0.00f
0.00g
0.00e
0.00f
46.94c
49.59c
55.63d
45.27d
50.80d
55.58e
0.00g
0.00e
0.00f
47.26b
51.46b
58.71b
48.55a
51.53a
57.67c
0.00g
0.00e
0.00f
46.21c
56.40c
61.75a
48.57a
53.90a
60.88a

10
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
65.86d
65.16e
0.00f
68.44b
66.75c
0.00f
70.54a
69.86a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Universitas Sumatera Utara

Hasil pengamatan di Desa Lobu Siregar- Kabupaten Tapanuli Utara
persentase kematian larva H. hampei pada setiap pengamatan menunjukkan beda
nyata antar perlakuan. Persentasi kematian larva H. hampei pada setiap
pengamatan dapat dilihat pada (Tabel 4 dan 5). Rata-rata mortalitas larva
H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa persentase kematian tertinggi
(69.86%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 108 spora/ml di buah
masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106 spora/ml di buah masak.
Sedangkan di Desa Tangga Batu- Kabupaten Tapanuli Utara pengamatan
tertinggi pada 10 hsa yaitu sebesar 68.88%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar
55.49%, pengamatan 8 hsa yaitu sebesar 51.00%, dan pengamatan 7 hsa yaitu
sebesar 47.59% dan pengamatan 6 hsa yaitu sebesar 45.60% pada P3 (umur buah
kopi masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108) (Tabel 5).
Tabel 5. Rataan persentase mortalitas larva H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah apilkasi di Desa Tangga Batu-TOBASA
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00g
0.00g
0.00g
0.00g
35.97e
32.61f
0.00g
39.03d
41.37c
0.00g
43.06b
45.60a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00d
0.00e
0.00f
0.00d
0.00e
0.00f
0.00d
0.00e
0.00f
0.00d
0.00e
0.00f
46.76c
47.20d
49.23e
46.41c
48.92c
50.66d
0.00d
0.00e
0.00f
45.73b
49.04b
52.09c
47.25a
49.34b
52.33c
0.00d
0.00e
0.00f
45.23b
49.72b
54.11b
47.59a
51.00a
55.49a

10
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
60.26d
60.13c
0.00e
65.38b
65.69b
0.00e
68.54a
68.88a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6 menunjukkan di Daerah Lobusiregar-Kabupaten Tapanuli Utara
mortalitas pupa H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar
63.21%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 56.75% pada P3 (umur buah kopi
masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108).
Tabel 6. Rataan Mortalitas pupa H. hampei dengan Perlakuan Jamur B. bassiana
6-10 Hari Setelah Aplikasidi Desa Lobu Siregar-TAPUT
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00d
0.00d
0.00d
0.00d
31.91c
33.27c
0.00d
41.18b
41.81b
0.00d
41.25b
42.59a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
34.29e
37.68d
40.59d
39.93e
36.23e
39.22e
0.00f
0.00f
0.00f
42.09d
44.00c
44.00cd
43.36c
44.99c
45.21c
0.00f
0.00f
0.00f
46.35b
51.16a
53.04b
48.68a
50.85b
56.75a

10
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
49.35d
48.58d
0.00e
53.06c
52.70c
0.00e
59.52b
63.21a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Berbeda dengan pengamatan 8 hsa yaitu sebesar 51.16% pada P2 (umur
buah kopi setengah masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108).
pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 48.68%, pengamatan 6 hsa yaitu sebesar 42.59%
pada P3 (umur buah kopi yang masak) dengan perlakuan K4 (B. bassiana
kerapatan 108). Sedangkan di Daerah Tangga Batu- Kabupaten Toba samosir
mortalitas pupa H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar
58.74%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 51.86%, pengamatan 8 hsa yaitu sebesar
50.91%, pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 47.31% dan pengamatan 6 hsa yaitu

Universitas Sumatera Utara

sebesar 44.42% pada P3 (umur buah kopi yang masak) dengan perlakuan K4
(B. bassiana kerapatan 108) (Tabel 7).
Tabel.7. Rataan mortalitas pupa H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana
6-10 hari setelah aplikasi di Desa Tangga Batu- TOBASA
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
34.22e
35.36d
0.00f
42.24b
41.10c
0.00f
42.99b
44.42a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00f
0.00f
0.00g
0.00f
0.00f
0.00g
0.00f
0.00f
0.00g
0.00f
0.00f
0.00g
32.77e
38.13e
34.71f
32.83e
39.40e
36.31e
0.00f
0.00f
0.00g
40.44d
41.90d
40.03d
42.27c
43.62c
41.87c
0.00f
0.00f
0.00g
44.22b
47.13b
50.32b
47.31a
50.91a
51.86a

10
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
44.84e
50.42d
0.00f
51.86c
52,32c
0.00f
55.35b
58.74a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Pada Tabel 8 di Daerah Lobu Siregar- Kabupaten Tapanuli Utara
pengamatan imago H. hampei yang terinfeksi jamur diketahui bahwa persentase
kematian tertinggi (54.58%) terdapat pada pengamatan 10 hsa pada perlakuan 108
spora/ml di buah masak dan terendah (0%) pada kontrol serta 106 spora/ml sebesar
45.53%. Sedangkan di Daerah Tangga Batu-Kabupaten Toba Samosir adalah
mortalitas Imago H. hampei yang tertinggi pada pengamatan 10 hsa yaitu sebesar
53.27%, pengamatan 9 hsa yaitu sebesar 51.12%, pada pengamatan 8 hsa yaitu
sebesar 48.03%, pengamatan 7 hsa yaitu sebesar 43.06% dan pengamatan 6 hsa
yaitu sebesar 45.62% pada P3 (umur buah kopi yang masak) dengan perlakuan
K4 (B. bassiana kerapatan 108) Tabel 9.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 8. Rataan persentase mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur
B. bassiana 6-10 hari setelah aplikasi di Desa Lobu Siregar-TAPUT
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

6
0.00e
0.00e
0.00e
0.00e
24.70d
29.52c
0.00e
29.63c
32.45b
0.00e
32.66b
45.53a

Waktu Pengamatan (hsa)
7
8
9
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
0.00e
0.00f
0.00e
24.70d
27.30e
30.43d
29.52c
31.01d
35.00c
0.00e
0.00f
0.00e
29.63bc 35.08c
36.47c
32.45b
38.54b
39.95b
0.00e
0.00f
0.00e
32.66b
38.41b
38.41b
45.53a
50.96a
51.42a

10
0.00f
0.00f
0.00f
0.00f
52.03b
47.17c
0.00f
35.43e
46.78c
0.00f
43.31d
54.58a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Tabel 9. Rataan mortalitas imago H. hampei dengan perlakuan jamur B. bassiana
6-10 hari setelah aplikasi di Desa Tangga Batu- TOBASA
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

Saat Pengamatan Hari Setelah Aplikasi
6
7
8
9
10
0.00e
0.00f
0.00f
0.00g
0.00g
0.00e
0.00f
0.00f
0.00g
0.00g
0.00e
0.00f
0.00f
0.00g
0.00g
0.00e
0.00d
0.00f
0.00g
0.00g
26.25d
24.45e
24.36e
32.18f
39.28f
33.38c
27.87d
28.23d
35.54e
41.51e
0.00e
0.00f
0.00f
0.00g
0.00g
33.89b
28.60c
32.08c
36.24d
48.09d
34.22b
30.29b
35.30b
41.25b
50.84b
0.00e
0.00f
0.00f
0.00g
0.00g
33.60bc
31.60bc 37.74b
48.99b
51.85b
45.62a
43.06a
48.03a
51.12a
53.27a

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= control, K2= 106 spora/ml, K3=
107 spora/ml, K4= 108 spora/ml, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3=
Buah masak)

Perbedaan dosis spora B.bassiana antara perlakuan 106 , 107 , 108 di ikuti
dengan perbedaan rata-rata mortalitas H. hampei di lapangan. Hal ini disebabkan

Universitas Sumatera Utara

oleh berbedanya respon yang diberikan oleh masing-masing larva, pupa dan
imago terhadap entomopatogen B. bassiana. Misalnya perbedaan reaksi yang
diberikan molekul-molekul darah serangga terhadap benda-benda asing yang
dikeluarkan entomopatogen masuk kedalam tubuhnya dan perbedaan virulensi
dari spora jamur yang diaplikasikan (Suganya and Selvanarayanan, 2009).
Persentase Buah Kopi yang Terserang
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa persentase serangan hama
H.hampei tertinggi terdapat di Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara yaitu
pada pengamatan I (Januari 2014) sebesar 42.32% , pada pengamatan II (Februari
2014) sebesar 41.21%, pengamatan ke III (Maret 2014) sebesar 39.44%.
pengamatan IV (April 2014) sebesar 36.92%, pengamatan ke V (Mei 2014)
sebesar 36.91% .
Tabel 10. Rataan persentase buah yang terserang H. hampei di Desa Lobu
Siregar-Kabupaten Tapanuli Utara
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

I
35.72b
27.25e
28.71d
19.07i
15.53j
42.32a
26.61f
11.42k
27.71e
23.66h
25.44g
33.48c

II
27.93c
35.93b
41.21a
21.19f
14.33j
26.00d
18.28h
23.46e
10.32l
12.69k
17.25i
20.43g

Pengamatan
III
39.44a
13.44i
27.79c
20.00g
10.47j
15.46h
35.57b
22.69f
25.90d
23.67e
13.67i
15.35h

IV
32.92c
34.00b
36.92a
31.33c
17.10e
24.98d
16.74e
25.51d
12.70i
14.78g
15.65f
13.72h

V
34.67b
14.46i
24.80e
22.00f
8.22k
18.80h
36.91a
21.33g
33.69c
25.00d
10.33j
32.91c

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= utara, K2= barat, K3= timur,
K4= selatan, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan di Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir yaitu pada
pengamatan I (Januari 2014) sebesar 38.72% , pada pengamatan II (Februari
2014) sebesar 36.47%, pengamatan ke III (Maret 2014) sebesar 33.48%.
pengamatan IV (April 2014) sebesar 30.10%, pengamatan ke V (Mei 2014)
sebesar 26.08% Tabel 11.
Tabel 11. Rataan persentase buah yang terserang H. hampei di Tangga BatuKabupaten Toba Samosir.
Perlakuan
K1P1
K1P2
K1P3
K2P1
K2P2
K2P3
K3P1
K3P2
K3P3
K4P1
K4P2
K4P3

I
34.72c
26.85d
35.08b
25.76d
27.78d
26.49d
22.85f
35.39b
36.42b
26.57d
24.66e
38.72a

II
26.58c
36.47a
33.00b
18.92h
27.47c
25.59d
20.46g
24.05e
23.35f
16.73i
19.61g
22.16f

Pengamatan
III
27.95d
27.25d
28.71d
19.07h
15.53j
31.91c
26.61e
11.42k
27.71d
23.66g
25.44f
33.48a

IV
29.14b
24.55c
30.10a
21.70d
24.21c
20.54e
29.23ab
21.99d
15.87g
21.74d
20.72e
19.65f

V
11.41d
8.41f
26.08a
7.99g
7.13g
19.47b
8.09f
10.05e
15.10c
6.69g
8.66f
14.55c

Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap lajur menunjukkan
berbeda nyata menurut Duncan pada taraf 5 % (K1= utara, K2= barat, K3= timur,
K4= selatan, P1= Buah muda, P2= Buah setengah masak, P3= Buah masak)

Hasil analisis sidik ragam terhadap data di atas menunjukkan hasil
berbeda nyata pada taraf nyata 5 %. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh
ketinggian tempat terhadap persentase serangan hama H. hampei. Ketinggian
tempat berpengaruh terhadap perkembangan hama H. hampei. Pada ketinggian
antara 400- 1.000 m dpl dapat terserang berat sedangkan pada ketinggian 1.500 m
dpl tidak mengalami serangan yang berarti (Mandarina, 2008). Hal ini
bertentangan dengan penelitian lapangan Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli
Utara (1200-1400 m dpl) dapat mengalami serangan hama H. hampei cukup tinggi

Universitas Sumatera Utara

sebesar 41.21% dan Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir (900-1100 m
dpl) sebesar 38.72 %.
Uji Viabilitas
Jumlah propagul setelah penyimpanan pada suhu ruang selama satu
minggu adalah sebesar 146,69 x 108 spora/ml (kerapatan 106), 369,86 x 108
spora/ml (kerapatan 107) dan 486,98 x 108 spora/ml (kerapatan 108). Jumlah
propagul setelah penyimpanan pada suhu ruang selama dua minggu adalah
sebesar 139,99 x 108 spora/ml (kerapatan 106), 343,94 x 108 spora/ml (kerapatan
107) dan 457,46 x 108 spora/ml (kerapatan 108). Jumlah propagul setelah
penyimpanan pada suhu ruang selama tiga minggu adalah sebesar 126,62 x 108
spora/ml (kerapatan 106), 334,35 x 108 spora/ml (kerapatan 107) dan 438,98 x 108
spora/ml (kerapatan 108) tabel 12.
Tabel 12. Jumlah rata-rata koloni hasil uji viabilitas B. bassiana selama
penyimpanan.
Waktu Penyimpanan
(Hari)
7
14
21

Kerapatan Beauveria bassiana
10
107
108
8
8
146,69x 10
369,86x 10
486,90x 108
139,99x 108
343,94x 108
457,46x 108
8
8
126,62x 10
334,35x 10
438,98x 108
6

Subkultur secara nyata dapat menurunkan viabilitas spora B. bassiana
yang dibiakkan hanya pada media PDA. Namun pada media terjadi penurunan
viabilitas. Semakin tinggi konsentrasi semakin menurun viabilitas spora
(Fernandes et al., 2006)

Universitas Sumatera Utara

PEMBAHASAN
Mortalitas PBKo (Larva, Pupa, dan Imago) di Laboratorium dan di
Lapangan di Desa Lobu Siregar-Kabupaten TAPUT dan Desa Tangga BatuKabupaten Tobasa setelah Aplikasi B. basssiana.
Pengamatan terhadap larva, pupa dan imago di laboratorium menunjukkan
bahwa pemberian spora jamur B. bassiana dengan konsentrasi berbeda
memberikan pengaruh terhadap mortalitas H. hampei. Mortalitas pada masingmasing perlakuan berbeda nyata (Tabel, 1, 2, dan 3). Mortalitas tertinggi larva
pada pengamatan 10 hsa sebesar 82.03% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat
dibandingkan pada mortalitas tertinggi pupa sebesar 76.32% dan imago sebesar
72.42% pada konsentrasi 108 spora/ml. sedangkan di lapangan di Desa Lobu
Siregar Kabupaten Tapanuli Utara mortalitas tertinggi larva pada pengamatan 10
hsa sebesar 70.54% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat dibandingkan pada
mortalitas pupa sebesar 63.21% dan imago sebesar 54.58% serta di Desa Tangga
Batu Kabupaten Toba Samosir mortalitas tertinggi larva pada pengamatan 10 hsa
sebesar 68.88% infeksi B. bassiana terjadi lebih cepat dibandingkan pada
mortalitas tertinggi pupa sebesar 58.74% dan imago sebesar 53.27% pada
konsentrasi 108 spora/ml (Tabel 4,5,6,7,8, dan 9).
Jamur B. bassiana sebagai isolat lokal merupakan sarana yang sangat
penting dan berpeluang dalam pengelolaan dan pengendalian populasi hama
PBKo pada suatu ekosistem tanaman kopi yang stabil. Spora B. bassiana
berpotensi dalam proses infeksi, penetrasi dan mortalitas hama. Menurut
Patandung et al., (2009) hasil biakan produksi spora B. bassiana dengan interaksi

Universitas Sumatera Utara

konsentrasi 0.05% asam cuka merupakan produksi spora B. bassiana yang lebih
efektif, jumlah spora yang dihasilkan 2941,8 spora/ml air atau dengan kerapatan
spora 8,641x1012 spora/ml. Dengan demikian, produksi spora ini berpengaruh
pada tingkat virulensi dan viabilitas spora. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Nasir (2010) yang menyatakan bahwa mortalitas mempengaruhi H. hampei tetapi
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pedrini et al., (2010)
menyatakan B. bassiana juga efektif digunakan untuk mortalitas

Tribolium

castaneum.
Hasil pengamatan juga menunjukkan pada perlakuan kontrol tidak terjadi
mortalitas. Tobing et al., (2006) menyatakan bahwa pada umumnya PBKo
menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras. Namun buah yang
belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi muda (warna hijau) yang bijinya
masih lunak umumnya hanya di gerek untuk mendapatkan pakan dan selanjutnya
ditinggalkan. Setelah melihat perlakuan dengan hasil mempunyai pengaruh
positif, maka penambahan konsentrasi perlakuan akan memberikan peningkatan
tingkat mortalitas hama. Melihat hasil pengamatan ini membuktikan bahwa spora
B. bassiana dapat dimanfaatkan sebagai isolat lokal yang mudah diaplikasikan,
karena mampu menginfeksi hama PBKo.
Selama penelitian di lapangan di Desa Lobu Siregar-Kabupaten Tapanuli
Utara memiliki suhu udara rata-rata 21.000C dan kelembapan relative rata-rata
88.5% (BPS Siborongborong, 2014) dan di DesaTangga Batu-Kabupaten Toba
Samosir memiliki suhu udara rata-rata 24.000C dan kelembapan relative rata-rata
87.5% (BPS Tampahan, 2014). Semua isolat B. bassiana yang di teliti tidak

Universitas Sumatera Utara

tumbuh pada suhu 350C dan terhambat pada suhu 150C. Suhu optimum untuk
pertumbuhan setiap isolat B. bassiana antara 250C-300C. Perkecambahan dan
pertumbuhan B. bassiana paling baik pada kelembaban relative yang tinggi
(100%) dan kelembaban relative 85% (Crespor et al., 2008). Kelembaban yang
mendukung perkembangan B. bassiana berkisar 80-90% dan spora akan tumbuh
baik dan maksimum pada kelembaban 92%.

Suhu yang lebih sesuai untuk

epizootic melimpahnya B. bassiana adalah 20-300C, dimana perkembangan
optimal akan dicapai pada suhu 240C, sedangkan suhu kritis yang menghambat
pertumbuhan jamur B. bassiana adalah 50C dan akan mati apabila suhu mencapai
500 (Meyling and Eilenberg, 2007).
Keberhasilan jamur entomopatogen dalam menginfeksi serangga hama
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah faktor suhu dan kelembaban.
Jamur

memerlukan

perkecambahan

kelembaban

konidia.

Hal

yang
ini

tinggi
sesuai

dan

untuk
dengan

melakukan
penelitian

Sivasundaram et al., (2007) yang menyatakan bahwa untuk melakukan
perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga jamur
membutuhkan kelembaban sangat tinggi (>90%), dan suhu optimum untuk
perkembangan, patogenitas, dan kelulusan hidup jamur umumnya antara
20-300C.
Dalam penelitian ini sebagian besar H. hampei yang terinfeksi tidak
ditemukan miselium jamur yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga yang
terinfeksi. Seperti yang di jelaskan oleh Prayudi (2008) bahwa jamur patogen
dapat membunuh serangga melalui serangkaian proses yang salah satunya adalah

Universitas Sumatera Utara

produksi toksin. Produksi toksin telah diteliti pada B. bassiana dimana senyawa
dapat melemahkan inang setelah menyerang organ tubuh serangga dan merusak
hemolimfa

sehingga

metabolisme

dalam

tubuh

serangga

terhambat.

Terserangnya organ tubuh serangga dan hemolimfa, maka aktifitas serangga
yang terinfeksi jamur B. bassiana

biasanya akan berhenti makan, sehingga

menjadi lemah dan mempercepat kematian (Moorthi et al., 2011).
Soetopo dan Indriyani (2007) menyatakan serangga mati tidak selalu
disertai gejala pertumbuhan spora.

Mortalitas larva, pupa dan imago yang

tertinggi terdapat pada perlakuan K4 (B. bassiana kerapatan 108) 10 hsa. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi karapatan konidia jamur maka semakin tinggi
daya infeksi jamur tersebut terhadap serangga. Keberhasilan menginfeksi jamur
terhadap serangga hama sangat ditentukan oleh kerapatan konidia yang kontak
dengan tubuh inang. Semakin banyak konidia yang menempel pada inang sasaran
akan semakin cepat menginfeksi inang sasaran tersebut (Prayogo, 2006).
Pada umumnya kematian hama akan terjadi 2 hari setelah aplikasi
(Trizelia dan Nurdin, 2010) namun tergantung dari kerapatan konsentrasi spora
yang digunakan. Selanjutnya aplikasi B. bassiana setelah pengamatan 10 hsa
pada permukaan tubuh PBKo muncul konidiofor. Pengamatan terhadap gejala
serangan jamur B. bassiana terhadap larva, pupa, dan imago di laboratorium dan
lapangan menunjukkan adanya perubahan warna tubuh H. hampei yang
mengeras (mumifikasi).

Soetopo dan Indriyani (2007) menyatakan bahwa

miselium (hifa) jamur B. bassiana akan masuk kedalam tubuh serangga dan

Universitas Sumatera Utara

berkembang di dalamnya, lalu pada bagian luar tubuh serangga akan dipenuhi
oleh hifa dan konidia jamur berwarna putih (Gambar 9).

a

b

c

Gambar 6: a. Larva sehat dan larva yang mengalami infeksi (mati)
b. Pupa yang sehat dan Pupa yang mengalami infeksi (mati)
c. Imago yang terinfeksi jamur B. bassiana
Keberhasilan penggunaan isolat lokal B. bassiana dalam penelitian ini
ditentukan oleh kerapatan spora. Menurut Alizadeh et al. (2007) dan Mahmoud
(2009) tingkat keberhasilan dalam penggunaan agen hayati tergantung banyak
factor, diantaranya adalah faktor lingkungan termasuk biopestisida dan produk
kimia yang digunakan untuk melindungi tumbuhan pada lahan pertanian.
Persentase Buah Kopi yang Terserang
Keberadaan hama H. hampei pada masing-masing Kabupaten di analisa
untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap persentase buah
terserang. Data dianalisis berdasarkan serangan hama H. hampei pada setiap kali
pengamatan

di

masing-masing

Kabupaten.

Data

dapat

dilihat

pada

Tabel 10 dan 11. Pada ketinggian tempat 1200-1400 m dpl persentase buah kopi
yang terserang tertinggi terdapat pada pengamatan I (Januari 2014) sebesar

Universitas Sumatera Utara

42.32% di Desa Lobu Siregar Kabupaten Tapanuli Utara cukup tinggi
dibandingkan pada ketinggian tempat 900-1100 m dpl persentase buah kopi yang
terserang tertinggi terdapat pada pengamatan I (Januari 2014) sebesar 38.72% di
Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir. Hal ini disebabkan karena pengaruh
pengaruh hama dengan ketersediaan makanan di lapangan karena semakin
banyak populasi hama sedangkan ketersediaan makanan sedikit maka persentase
buah yang terserang menjadi banyak dibandingkan pada waktu ketersediaan
melimpah. Kurangya perawatan kebun seperti pemangkasan dan sanitasi kebun
semakin mendukung perkembangan hama di lapangan (BBP2TP, 2008).
Uji Viabilitas
Dari uji viabilitas selama masa penyimpanan dapat diketahui bahwa jumlah
propagul mengalami penurunan setiap minggunya. Hal ini mungkin disebabkan
terjadinya kerusakan hifa atau spora B. bassiana akibat proses penghalusan serbuk.
Kemungkinan lain adalah masih terjadinya proses metabolisme B. bassiana yang
membutuhkan nutrisi, sementara persediaan nutrisi terbatas sehingga jamur B.
bassiana menjadi mati karena kurangnya persediaan nutrisi. Jumlah propagul jamur
B. bassiana pada sediaan yang sama setelah disimpan selama lima bulan pada suhu
kamar adalah sebesar 1,77x108 spora/ml. Sementara itu jumlah propagulnya setelah
disimpan selama lima bulan pada suhu kamar adalah sebesar 2,54x108 spora/ml. Jamur
B. bassiana dengan jumlah propagul 5x106 spora/ml

masih efektif untuk

membunuh hama wereng (Wahyudi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Peremajaan biakan jamur B. bassiana yang dilakukan menunjukkan
tumbuhnya misselia B. bassiana dengan lebat, seperti disajikan pada Gambar 10.
Hasil pengamatan Wahyudi (2008) bahwa koloni jamur B. bassiana pada media
PDA cawan petri akan membentuk lapisan seperti tepung. Koloni bagian pinggir
berwarna putih dan menjadi kuning pucat, kadang-kadang agak kemerah-merahan.
Konidia membentuk sekelompok sel-sel yang menggembung yang tersusun rapat.
Biakan B. bassiana hasil peremajaan 7, 14, 21 hari inkubasi disajikan pada
Gambar 10.

a

b

c

Gambar 7. a. B. bassiana masa inkubasi 7 hari, b. B. bassiana masa inkubasi 14
hari, c. B. bassiana masa inkubasi 21 hari
Untuk menjaga viabilitas maupun virulensinya, spora jamur B. bassiana
dapat diawetkan dengan cara pengeringan karena pada kadar air rendah aktivitas
metabolismenya kecil. Spora B. bassiana yang dikering-anginkan masih dapat
bertahan hidup sampai 2 tahun bila disimpan pada suhu 5°C. Perkecambahan
spora B. bassiana dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Fernandes et al., 2006).
Udara yang terlalu kering dan lembab serta adanya sinar, merupakan kondisi
yang tidak dapat dihindari terutama pada penyimpanan dalam suhu 23°C dan
29°C. Spora kering B. bassiana yang disimpan pada suhu 5°C lebih lambat

Universitas Sumatera Utara

mengalami

kematian

daripada

penyimpanan

pada

suhu

23-29°C

(Crespor et al., 2008) melaporkan bahwa udara dan suhu tinggi akan
menyebabkan spora cepat mengalami deteriorasi atau kehilangan viabilitasnya.
Pada suhu 5°C, metabolisme sel berlangsung minimum atau terhenti sama sekali,
akibatnya akan menyebabkan kadar air spora kering B. bassiana tetap rendah
sehingga viabilitas sporanya tetap stabil.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. B. bassiana konsentrasi 108 spora/ml efektif terhadap mortalitas larva,
pupa dan imago.
2. Tingkat kematian tertinggi H. hampei larva, pupa, dan imago di
laboratorium sebesar 82.03%, 76.32%, dan 72.42% di lapangan Desa Lobu
Siregar Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 70.54%, 63.21%, dan 54.58%
dan di Desa Tangga Batu Kabupaten Toba Samosir sebesar 68.88%,
58.74% dan 53.27%.
3. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap persentase buah kopi yang
terserang H. hampei dengan masing-masing tempat sebesar 42.21% (12001400 m dpl) dan 38.72% (900-1100 m dpl).
4. Lama penyimpanan berpengaruh terhadap jumlah propagul.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jamur B. bassiana isolat
lokal dengan lama penyimpanan yang berbeda terhadap H. Hampei di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Uji Efektivitas Bacillus thuringiensis Berliner dan Beauveria bassiana Vui!! Terhadap Ulat Krop Crocidolomia binotalis ZeC (Lepidoptera : Pyralidae) Pada Tanaman Kubis di Laboratorium

2 59 84

EFEKTIVITAS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. PADA FORMULA GRANULAR TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KOPI, Hypothenemus hampei Ferr.

0 4 6

EFEKTIVITAS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. PADA FORMULA GRANULAR TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KOPI, Hypothenemus hampei Ferr.

0 5 14

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

0 1 22

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

0 0 2

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

0 1 5

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

1 2 12

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

0 3 8

Pemanfaatan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill Isolat Lokal Sebagai Agens Hayati Penggerek Bubuk Buah Kopi Hypothenemus Hampei (Coleoptera: Scolytidae)

0 0 55