Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1. Paradigma Penelitian
Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia
(worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat
individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya
(Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macamparadigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan
Hermawan, 2011:9) Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti mengenai
dunia (West dan Turner, 2009:55).
Secara filosofis Creswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan
tentang

apa


itu

pengetahuan

(ontologi),

bagaimana

kita

mengetahui

itu

(epistemologi), dan nilai apa yang terkandung didalamnya (aksiologi), bagaimana kita
menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi). Paradigma
memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia, sementara
teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek tertentu dari perilaku
komunikasi (West dan Turner, 2009:55).
Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan

oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau
strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi
desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian
kepada 4 bagian yaitu : positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme.
Sedangkan Cresswell (Bungin, 2007:87) membagi paradigma penelitian atas 2 bagian

Universitas Sumatera utara

yaitu kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini digunakan paradigma
konstuktivis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.
Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan
bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi
didalamnya. paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi,
yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun
dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).
Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi
objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi peneliti untuk
menyelami teks dan menyingkap makna dibaliknya. Dalam proses penafsiran teks,
pengalaman, latar belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil
penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis (Ardianto dan Q-Aness,

2007:155) adalah :
1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan
dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini
dikarenakan, dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis tanda,
menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial,
budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigm ini, penelitian akan membahas
bagaimana citra perempuan digambarkan melalui foto iklan fashion dalam Majalah
Gogirl! edisi Januari-Desember 2012.
Paradigma ini menjadi arah bagi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian
ini tidak berhenti pada penafsiran teks (foto) sebagai objek dalam penelitian, tapi juga
mencari makna yang ada dibalik foto-foto fashion atau pakaian yang ada, yang dalam
pandangan Barthes disebut sebagai mitos. Penafsiran yang dilakukan terhadap teks

Universitas Sumatera utara


(foto) akan menjadi pintu bagi peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna
dibaliknya.

II.2 Uraian Teoritis
II.2.1 Semiotika
Alex Sobur dalam bukunya, ‘’Semiotika Komunikasi’’ menggambarkan
semiotika sebagai suatu bidang studi yang ‘’hangat’’ dan memikat. Semiotika telah
menjadi kegemaran di kalangan progresif. Ia membetot perhatian sejumlah besar
sarjana. Dari pengamatan sepintas terhadap pokok bahasan ini pada katalog
perpustakaan, akan cukup membuktikan popularitasnya. Hal ini diperkuat dengan
berdirinya pusat-pusat studi semiotika/semiologi yang menjamur di pelbagai belahan
bumi (Sobur, 2004 : 5).
Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani, ‘’semeion’’ yang berarti
tanda dan secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti
sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Eco (dalam Sobur, 2004)
mendefenisikan tanda sebagai sesuatu yang terbangun atas dasar konvensi sosial,
dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur, 2004:95). Alex Sobur
mengemukakan pendapatnya mengenai semiotika yang dalam pandangannya adalah

suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004: 15).
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini. Di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiologi,
dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak
dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
(Kurniawan, 2001:53).
Fiske (Bungin, 2007:167) membagi tiga bidang studi utama dalam semiotika,
yaitu :

Universitas Sumatera utara

1.

Tanda itu sendiri. Dimana terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan
cara


bagaimana

tanda-tanda

itu

terkait

dengan

manusia

yang

menggunakannya. Tanda adalah merupakan konstruksi manusia, maka hanya
bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakanannya.
2.

Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini meliputi
bagaimana berbagai kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan suatu

masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang
tersedia untuk mengirimkannya.

3.

Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Bergantung bagaimana kodekode dan tanda-tanda itu digunakan untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Sementara itu, menurut Littlejohn (2009:55-56) semiotika selalui dibagi ke

dalam tiga wilayah kajian, yaitu : semantik, pragmatik, sintaktik. Adapun paparannya
sebagai berikut :
1.

Semantik, berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang
ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda.

2.

Pragmatik, memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan
dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan
pengaruh tanda pada kehidupan sosial.


3.

Sintaktik, disebut juga dengan kajian hubungan antara tanda-tanda. Tandatanda sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semua selalu
menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang
diatur dalam cara tertentu. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu
dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya.

Melihat pada penggunaan katanya, ada yang menyebut studi mengenai tanda
ini dengan semiologi, ada pula yang menggunakan kata semiotika. Sebenarnya hal ini
menunjuk pada pendirinya. Semiotika identik dengan Peirce dan istilah semiologi
idetik dengan Saussure. Menurut Masinambow, perbedaan kedua istilah itu
menunjukkan perbedaan orientasi, semiologi mengacu pada tradisi Eropa yang

Universitas Sumatera utara

bermula dari Ferdinand de Saussure dan semiotika pada tradisi Amerika yang
bermula pada Charles Sanders Peirce (Sobur, 2004:12).
Saussure mendefinisikan semiologi dengan ‘’sebuah ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat’’, dimana terkait dengan tujuan untuk

menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya (Sobur, 2004:12). Istilah Semiotika yang dimunculkan oleh Charles
Sanders Peirce memuat bahwa yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep
tentang tanda-tanda: tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh
tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri –sejauh terkait dengan pikiran manusiaseluruhnya terdiri dari tanda-tanda (Sobur, 2004:13).
Teori yang dikemukakan Peirce menjadi teori utama dalam semiotik.
Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penanda.
Peirce berkeinginan untuk mengidentifikasi partikel dasar tanda dan menggabungkan
kembali semua komponen tersebut dalam satu struktur tunggal. Peirce ingin
membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004:97). Peirce berkeyakinan
bahwa tanda tidak pernah merupakan suatu entitas yang sendirian, namun memiliki
tiga aspek didalamnya. Peirce membuat contoh adanya kepertamaan, yaitu tanda itu
sendiri. Kekeduaan adalah objeknya, dan penafsirnya –unsur pengantara- adalah
contoh keketigaan. Keketigaan dalam konteks pembentukan tanda ini membangkitkan
semiotika yang tidak berbatas. Agar dapat berdiri sebagai suatu tanda, maka tanda
harus ditafsirkan artinya harus ada penafsir (Sobur, 2004:41).
Gambar II.1
Unsur Makna Menurut Peirce
Ikon


Indeks

Objek

Sumber : Bungin, 2007:168

Universitas Sumatera utara

Panah dua arah dalam gambar unsur makna Peirce diatas digunakan untuk
menekankan setiap istilah hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan unsur yang
lain. hasil interaksi ketiganya dalam pikiran seseoranglah yang memunculkan makna
tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda. Menurut Peirce, sesuatu yang harus
digunakan agar tanda berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda akan selalu
berada dalam hubungan triadik yaitu antara ground, object, interpretant. Tanda yang
berkaitan dengan ground dibagi menjadi qualisign, kualitas yang ada pada tanda.
Sinsign, kenyataan yang ada pada tanda. Legisign, norma yang terkandung dalam
tanda (Sobur, 2004:41).
Kode merupakan system pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah
unit (atau kadang satu unit tanda). Dalam semiotic, kode dipakai untuk merujuk pada
struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode.

Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode. Pertama
paradigmatic yang merupakan sekumpulan tanda dan dari dalamnya dipilih satu
untuk digunakan. Dalam semiotic, paradigmatic digunakan untuk mencari symbolsimbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu member makna. Kedua,
sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang
dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah paradigm dan bahasa adalah
sintagma (Kriyantono, 2008).
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda menjadi tiga, yaitu ikon (icon),
indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah sesuatu yang berfungsi sebagai
penanda yang serupa dengan bentuk objeknya. Indeks adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang megisyaratkan petandanya. Sedangkan
simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah
secara konvensi telah lumrah digunakan dalam masyarakat (Bungin, 2007:166).
Berdasarkan interpretant, Peirce membagi tanda kepada tiga yang terdiri dari rheme
tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign, tanda
sesuai kenyataan. Argument, tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu
(Sobur, 2004:42). Peirce menekankan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan
perantaraan tanda. Dapat berkomunikasi juga menggunakan tanda-tanda.

Universitas Sumatera utara

Ahli semiotika lain, Saussure memberikan sumbangan yang berarti juga pada
perjalanan semiotika sebagai suatu studi tentang tanda. Setidaknya ada lima
pandangan yang disumbangkan oleh Saussure dalam kaitan dengan strukturalisme,
antara lain pandangan tentang :
1. Penanda (signifier) dan petanda (signified)
2. Bentuk (form) dan isi (content)
3. Bahasa (Langue) dan tuturan (parole)
4. Sinkronik (synchronic) dan diakronik (diachronic)
5. Sintagmatik (syntagmatic) dan paradigmatik (associative)
Saussure mendudukkan tanda dalam konteks komunikasi manusia, dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut penanda (signifier) dan petanda
(signified). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna,
meliputi aspek material. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
aspek mental dari bahasa. Bila dianalogikan keduanya merupakan dua sisi dari
sekeping mata uang (Sobur, 2004:125). Penanda mewakili bentuk isi, sedangkan
penanda mewakili konsep atau makna. Berikut ini gambar elemen-elemen makna
Saussure :
Gambar II.3
Elemen-Elemen Makna Saussure
Sign

Composed of

Signification
Signifier

Signified

external reality of

meaning
(phsycal
existence

(mental
concept)

of the sign)

Universitas Sumatera utara

Sumber : John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm. 44 dalam Sobur,
2004:125

Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai signifier dan signified adalah
merupakan produk kultural yang mana hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer
atau berada dalam dua hal yang sama dan hanya berdasarkan pada konvensi,
kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Signifikasi
merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Dapat
dikatakan signifikasi adalah upaya untuk memberikan makna terhadap dunia (Sobur,
2004:125).
Roland Barthes, melakukan pengembangan terhadap konsep yang telah
dikemukakan oleh Saussure sebelumnya. Barthes menggagas model sistematis untuk
menganalisis makna dari tanda-tanda yang diberi nama signifikasi dua tahap. Barthes
juga melampaui Saussure dengan membuat penelitian semiotika tidak berhenti pada
teks, melainkan mengaitkannya pada struktur sosial yang melatarbelakanginya.
Dengan temuan ini, konsep Barthes memberikan tempat bagi area kehidupan sosial
dibalik makna. Seiring dengan itu, memungkinkan kajian semiotika menjangkau
lebih luas, berkaitan dengan budaya populer dan media massa.

II.2.2 Semiotika dalam Komunikasi Periklanan
Dalam komunikasi periklanan, semiotika tidak hanya menggunakan bahasa
sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna, dan bunyi.
Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu (1) media cetak (surat
kabar, majalah, brosur, papan iklan, atau billboard dan (2) media elektronika (radio,
televisi, film). Pengirim pesan adalah, misalnya, penjual produk, sedangkan
penerimanya adalah khalayak ramai yang menjadi sasaran.
Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis,
yaitu yang verbal dan yang nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita
kenal; lambang yang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan,
yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan

Universitas Sumatera utara

warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya seperti gambar benda,
orang atau binatang. Ikon disini digunakan sebagai lambang.
Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek. Objek iklan adalah hal
yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya.
Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam
proses interpretan. Jadi, sebuah kata seksekutif meskipun dasarnya mengacu pada
manajer menengah, tetapi selanjutnya manajer menengah ini ditafsirkan sebagai
“suatu tingkat keadaan ekonomi tertentu” yang juga kemudian dapat ditafsirkan
sebagai “gaya hidup tertentu” yang selanjutnya dapat ditafsirkan sebagai
“kemewahan” dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu merupakan segi
penting dalam iklan. Proses seperti itu disebut semiosis (Hoed, 2001:97).
Jika ingin menganalisis sebuah iklan pada sebuah majalah, maka kita dapat
manganalisis tanda-tanda dan sistem tanda dalam iklan tersebut. Dalam hal ini,
peneliti harus mempertimbangkan dengan sebagian atau bahkan dengan semua halhal berikut (Berger, 2000):
1. Apakah makna keseluruhan dari iklan itu? Perasaan apa yang ditimbulkannya? Bagaimana iklan itu melakukannya?
2. Bagaimana desain iklan itu? Apakah menggunakan keseimbangan aksial atau
bentuk lain? Bagaimana komponen-komponen atau elemen-elemen dasar
iklan itu disusun?
3. Apa hubungan yang muncul antara elemen gambar dan elemen tertulis serta
mengatakan apa ia pada kita?
4. Bagaimana dengan ruang pada iklan itu? Adakah bidang ruang putih itu penuh
dengan elemen-elemen grafis dan tertulis?
5. Tanda-tanda dan lambang-lambang apa yang kita temukan? Peran apa yang
dimainkan oleh tanda-tanda dan symbol-simbol itu dalam iklan?
6. Adakah gambar-gambar pribadi (orang laki-laki, perempuan, anak-anak,
binatang-binatang) dalam iklan itu dan seperti apa? Apa yang bisa dikatakan
tentang ekspresi-ekspresi, pose, model rambut, jenis kelamin, warna rambut,
etnisnya, pendidikannya, hubungan yang satu dengan yang lain (dsb)?

Universitas Sumatera utara

7. Apa yang dikatakan backgroundd (latar belakang foto) pada kita? Dimana
kejadian iklan itu dan arti apa yang dimiliki oleh backgroundd itu?
8. Kegiatan apa yang terjadi dalam iklan itu dan apa artinya? (mungkin
dimaksudkan untuk plot atau alur iklan itu).
9. Tema-tema apa yang ada dalam iklan itu? Iklan itu tentang apa? (Plot dalam
iklan mungkin mencangkup pria dan wanita yang minum, tetapi temanya
mungkin kecemburuan, ketidaksetiaan, ambisi, bujukan, dan sebagainya).
10. Bagaimana mengenai bahasa yang digunakan dalam iklan? Apakah terutama
memberikan informasi, atau menimbulkan semacam respon emosional, atau
kedua-duanya? Teknik apa yang digunakan oleh perancang: humor,
kebodohan,

makna

kehidupan,

perbandingan,

sindiran

seksual

(dan

sebagainya)?
11. Model wajah apa yang digunakan dan kesan apa yang ditimbulkan oleh wajah
itu?
12. Bagaimana dengan nilai estetika iklan itu? Bila iklan itu menampilkan foto,
apa jenis bidikan kamera yang dipakainya? Makna apa yang terkandung
dengan pengambilan jarak jauh, pendek, atau close up? Bagaimana dengan
lighting (pencahayaan)? Apakah menggunakan foto berwarna? Bagaimana sisi
pengambilan foto tersebut?
13. Pandangan sosiologi, politik, ekonomi, ataukah budaya yang dipancarkan
secara tidak langsung dalam iklan itu? (Iklan itu mungkin menggambarkan
tentang sepasang blue-jeans tetapi mungkin secara tidak langsung ia
merefleksikan

masalah-masalah

sexism,

perbedaan-perbedaan,

bentuk

pemikiran yang tetap, penyesuaian, konflik generasi, kesendirian, elitisme,
dan sebagainya).
Roland Barthes dalam bukunya, Mythologies, memperluas pengertian teks
dengan menunjuk bahwa aktivitas seperti pertandingan gulat, benda-benda yang ada
disekitar kita seperti makanan, mainan anak, iklan, dan sebagainya juga bisa dilihat
sebagai sebuah ‘’teks’’ (dalam Wardani, 2006:9). Maka dapat dikatakan juga bahwa

Universitas Sumatera utara

foto iklan juga merupakan tanda yang dapat diinterpretasikan oleh pembacanya.
Namun untuk membacanya, dalam buku Research Practice for Cultural Studies
dikatakan bahwa untuk membacanya harus ‘’dibaca’’ dalam kerangka kultural dan
konteks ideologinya (Gray, 2003:14).
Salah satu metode dalam penelitian semiotika untuk membaca makna tanda
adalah signifikasi dua tahap yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Dimana konsep
Barthes ini nantinya akan digunakan dalam penelitian. Roland Barthes digambarkan
sebagai seorang tokoh strukturalis yang sangat giat mempraktikkan model linguistik
dan semiologi Saussurean juga merupakan kritikus karya sastra Prancis yang ternama
(Sobur, 2004:65).
Barthes membagi signifikasi kepada dua tahap yaitu denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama dan konotasi adalah sistem
signifikasi tingkat kedua. Denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda yang
dibangun oleh relasi antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap
kenyataan eksternalnya. Konotasi ini ditujukan Barthes untuk menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca.
Ringkasnya, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Sobur, 2004:128).
Konsep Roland Barthes menunjukkan bahwa tanda konotatif tidak sekedar
memiliki makna tambahan tapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi

keberadaannya

(Sobur,

2004:69).

Tanda

konotasi

inilah

yang

membutuhkan peran pembaca agar dapat berfungsi. Konsep Barthes menekankan
pentingnya peran pembaca. Berikut ini gambar peta tanda Roland Barthes :

Universitas Sumatera utara

Gambar II.2
Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier
2. Signified
(Penanda)
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. CONNOTATIVE
SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA
KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics, NY : TotemBooks, hlm. 51 dalam
Sobur, 2004 : 69.

Dari gambar peta tanda Barthes di atas jelas terlihat bagaimana signifikasi
dua tahap yang dimaksudkan oleh Barthes. Dimana tanda denotasi yang merupakan
hubungan antara penanda dan petanda melandasi keberadaan tanda konotasi
dibawahnya. Dapat dipahami bahwa tanda konotasi bukanlah sekedar makna
tambahan, namun makna yang hadir seiring dengan keberadaan tanda denotasi.
Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut oleh Barthes sebagai mitos
dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai
dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004 : 71).
Pada signifikasi tahap kedua, proses analisis tanda konotasi yang merupakan
makna tersirat yang ada pada teks nantinya akan digunakan untuk membongkar mitos
yang ada dibalik teks. Analisis tanda konotasi ini berlangsung dalam tingkat subjektif
(Sobur, 2004:128). Roland Barthes dalam konsepnya memang menekankan peran
pembaca. Peran dalam artian meskipun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi
dan konotasi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Kodekode komunikasi dalam teks nantinya akan dicari makna harfiahnya (denotasi), lalu
hubungan antara satu tanda dengan tanda lain akan dikaji makna apa yang tersirat
didalamnya (konotasi).

Universitas Sumatera utara

Dalam signifikasi tahap dua inilah mitos bekerja, tanda konotasi seringkali
dikaitkan dengan operasi ideologi. Mitos dalam hal ini merupakan suatu produk kelas
sosial yang telah memiliki suatu dominasi. Mitos disebut-sebut sebagai suatu wahana
dimana suatu ideologi mewujud. Van Zoest mengatakan ideologi yang membangun
suatu teks dapat ditemukan dengan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat
didalamnya (Sobur, 2004:129). Pada tataran denotasi, penanda-penanda berhubungan
dengan petanda-petanda sedemikian rupa sehingga menghasilkan tanda. Pada saat
bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Tanda konotatif bukan
sekedar makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian denotatif yang
melandasi keberadaannya.
Roland Barthes melakukan pemilahan penanda-penanda pada wacana naratif
ke dalam serangkaian fragmen ringkas yang runut disebutnya dengan nama leksialeksia (lexias). Dimana leksia merupakan satuan-satuan pembacaan dengan panjang
pendek bervariasi. Suatu dampak dan fungsi yang khas akan didapatkan bila sepotong
teks dibandingkan dengan teks lain yang berada disekitarnya, hal ini disebut leksia.
Sebuah leksia bisa berbentuk apa saja, berupa sepatah-dua patah kata, kelompok kata,
beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf (Budiman, 2003:53).
Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok yang
didalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode tersebut (Sobur, 2004:65-66)
adalah :
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan ‘’kebenaran’’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
ini merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam
narasi ada suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki
dan penyelesaiannya dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembcaan, embaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata
atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau
frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kitab
menemukan suatu tema dalam cerita.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural, tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Pada taraf
pemisahan dunia secara struktural dan primitif menjadi kekuatan dan nilainilai yang berlawanan secara mitologis dan dapat dikodekan.

Universitas Sumatera utara

4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggpanya sebagai perlengkapan
utama teks yang dibaca orang, antara lain semua teks yang bersifat naratif.
Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada
praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita dapat mengenal kode lakuan
atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh
budaya. Barthes berpendapat realisme tradisional didefenisi oleh acuan ke apa
yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal
kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.
Dimensinya tergantung pada kepekatan dari konotasi-konotasi yang bervarisi
sesuai dengan momen-momen teks. Pada proses pembacaan, leksia-leksia itu
nantinya dapat ditemukan baik pada tataran pertama diantara pembaca dan teks
maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga
didapatkan aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi
(Budiman, 2003:54). Selain lima kode utama diatas, ada beberapa konsep penting
dalam analisis menggunakan peta tanda Barthes lainnya. Antara lain :
1. Penanda dan petanda, Hjemslev mendefenisikan tanda sebagai suatu
keterhubungan antara wahana ekspresi dan wahana isi. Sedangkan menurut
Peirce tanda adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi yang hadir dalam proses
interpretasi yang mengalir (Sobur, 2004:16-17). Tanda dalam hal ini adalah
kesatuan bentuk antara penanda dan petanda. Dimana penanda adalah bunyi
yang bermakna atau coretan yang bermakna, sedangkan petanda adalah
gamabran mental ataupun pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa.
Hubungan antara keduanya disebut signifikasi oleh Peirce (Sobur, 2004:125).
Umberto Uco, meyakini bahwa tanda dapat digunakan untuk menyatakan
kebenaran, sekaligus juga kebohongan (Sobur, 2004:18).
2. Denotasi dan Konotasi, dalam peta tanda Barthes dijelaskan bahwa denotasi
merupakan signifikasi tahap pertama dan konotasi merupakan signifikasi
tahap kedua. Denotasi bersifat langsung, dimana denotasi ini seringkali
diartikan dengan makna harfiah atau makna yang ‘’sesungguhnya’’ (Sobur,
2004:70). Kridalaksana mengemukakan defenisi denotasi sebagai makna kata

Universitas Sumatera utara

atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu
di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu, bersifat objektif.
Sedangkan konotasi adalah diartikan sebagai aspek makna sebuah atau
sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Devito
menjelaskan denotasi sebuah kata adalah defenisi objektif kata tersebut,
sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Sobur,
2004:263). Objektif disini berarti bersifat umum, sedangkan subjektif
dimaksudkan sebab ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada
penambahan rasa dan nilai tertentu. Konotasi memberikan peluang interpretasi
yang luas sebab berkaitan dengan pengalaman pribadi atau latar belakang
masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi yang
emotif.
3. Sintagmatik dan paradigmatik, Barthes yang merupakan pengikut Saussurean,
dalam konsepnya mengikuti jalur Saussure yang menjelaskan bahwa terdapat
dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan antara unsur-unsur bahasa
berdasarkan kegiatan mental manusia. Sisi pertama, dalam suatu wacana,
kata-kata bersatu demi suatu kesinambungan tertentu yang yang ditunjang
oleh keluasan, hubungan inilah yang disebut dengan sintagma. Dalam suatu
sintagma, suatu istilah seringkali kehilangan valensinya karena istilah tersebut
dipertentangkan dengan istilah lain yang mendahului dan mengikutinya atau
dengan keduanya. Di sisi lain, di luar wacana, kata-kata yang memiliki
kesamaan bergabung dalam ingatan yang membentuk kelompok-kelompok
tempat berbagai hubungan berkuasa, hubungan seperti inilah yang disebut
dengan hubungan asosiatif (Kurniawan, 2001:62-63).
Hubungan keduanya dalah relasi antara suatu komponen dalam
struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut. Misal, kalimat
Toni membeli sapu, kucing memakan ikan, dan Winda memasak air.
Hubungan antara Toni, membeli, dan sapu; atau antara kucing, memakan, dan
ikan; dan antara winda, memasak, dan air adalah hubungan sintagmatik.

Universitas Sumatera utara

Hubungan paradigmatik atau asosiatif dalam contoh di atas menunjuk pada
hubungan antara kata yang dapat saling dipertukarkan, misalnya Toni dengan
Winda, kucing, sapu, ikan, dan juga unsur lain dalam bahasa yang dapat
menggantikannya.
4. Mitos dan ideologi, Barthes memahami mitos sebagai cara berpikir
kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau
memahami sesuatu hal. Mitos merupakan rangkaian konsep yang saling
berkaitan. Mitos berada pada suatu sistem pemaknaan pada tataran kedua.
Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
(Sobur, 2004:71).
Mitos bukanlah sebuah objek, konsep ataupun gagasan. Namun lebih dari itu
mitos adalah suatu cara signifikasi, suatu bentuk. Mitos tidak ditentukan oleh
objek ataupun materi pesan yang disampaikan, namun lebih kepada
bagaimana mitos disampaikan. Mitos merupakan produk kelas sosial yang
telah memiliki dominasi. Contoh mitos saat ini misalnya, maskulinitas,
feminisme dan lain-lain. Mitos bekerja merupakan bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.
Dalam sosiologi Durkheim dikatakan bahwa mitos adalah suatu jenis tuturan,
sesuatu yang hampir mirip dengan ‘’representasi kolektif’’.

Melalui pemikiran diatas kita memahami bahwa mitologi dalam hal ini
bukanlah hanya bagaimana mitos sehari-hari seperti kisah-kisah tradisional, legenda,
dan sebagainya. Bila pada awal kemunculan, proses signifikasi berakhir pada teks
secara struktural saja, maka Barthes bermain dalam tahap konotasi lebih dalam.
Barthes meyakini konotasi mengandung hal yang lebih besar dari makna yang
bersifat emotif, yaitu adanya mitos. Mitos adalah wahana dimana suatu ideologi
berwujud. Satu tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan
ataupun dari mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama.
Pendekatan Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial,

Universitas Sumatera utara

budaya, dan politisnya, dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray,
2003:13).
II.2.3 Representasi
Representasi menurut David Croteau dan William Hoynes merupakan hasil
dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain
diabaikan. Melalui pengertian ini kita dapat memahami bahwa dalam proses
representasi, tanda yang akan digunakan telah mengalami seleksi sebelumnya. Dalam
artian ada tanda yang dipakai dan yang lain diabaikan. Tanda yang dipakai
merupakan sesuatu yang mendukung kepentingan dari orang yang merepresentasikan.
Danesi mendefenisikan representasi ini sebagai suatu proses perekaman gagasan,
pengetahuan, atau pesan secara fisik. Lebih tepatnya diartikan sebagai penggunaan
tanda-tanda (misalnya gambar, suara, tulisan dan sebagainya) untuk menampilkan
ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik
(Danesi, 2010:3).
Representasi sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, sekelompok orang,
gagasan ataupun pendapat tertentu ditampilkan dalam teks. Ada dua hal yang perlu
ditandai dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, sekelompok orang, gagasan
ataupun pendapat tersebut telah ditampilkan sebagai mana mestinya. Apakah
ditampilkan sesuai adanya atau malah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi itu
ditampilkan. Hal ini menyangkut akan dikemas seperti apakah suatu representasi.
Kemasan disini adalah bisa diartikan sebagai unsur-unsur seperti apakah yang dipilih
untuk menampilkan representasi, misal kalimat, gambar, foto seperti apa yang dipilih
dalam menampilkan suatu representasi (Mondong, 2011:115-116)
John Fiske menjelaskan bahwa untuk menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang meliputinya. Level
pertama, peristiwa yang ditandakan yaitu saat kita menganggap dan mengkonstruksi
peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Level kedua, saat kita memandang sesuatu
sebagai realitas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.
Dalam level ini digunakan alat teknis berupa kata, kalimat atau proposisi, grafik dan

Universitas Sumatera utara

sebagainya. Pemakaian kata, kalimat atau proposisi tertentu akan membawa makna
tertentu pula ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode
representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas
sosial, kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat (Eriyanto,
2001:14).

II.2.4. Foto Sebagai Media Iklan
Defenisi fotografi secara luas adalah paduan seni dan teknik memindahkan
gambar yang ada di alam ke atas benda yang peka atau sensitif terhadap cahaya yang
disebut dengan film (sensor semikonduktor pada kamera digital) dengan
mempergunakan alat bantu kamera. Istilah fotografi berasal dari dua kata dalam
Bahasa Yunani, yaitu photos yang berarti cahaya dan graphein yang berarti
menggambar. Sementara itu, kata kamera berasal dari bahasa Latin Camera Obscura
yang berarti kamar gelap atau dark room (Mulyana, 2008:5).
Foto yang bagus harus memiliki beberapa kualitas. Pertama, foto harus fokus
sehingga maknanya yang penting bisa terlihat dan dipahami pemirsanya. Kedua, foto
harus memiliki exposure yang bagus. Kualitas foto yang bagus lainnya adalah foto
bebas dari cacat (Rolnicki, 2008:322).
Salah satu teknik yang digunakan dalam fotografi adalah fotografi digital.
Fotografi digital memudahkan kita memahami dunia fotografi. Fotografi digital,
sebagai lawan dari fotografi film, adalah proses fotografi yang menggunakan media
perekaman digital.

Fotografi

digital,

berbeda

dengan

fotografi

film

yang

menggunakan media film sebagai media penerima gambar, menggunakan sensor
elektronik untuk merekam gambar, lalu selanjutnya diolah untuk disimpan dalam
data biner. Hal ini memotong banyak alur pengolahan gambar, sebelum dicetak
menjadi gambar akhir, dan memungkinkan penggunanya untuk melihat dan
menghapus foto langsung melalui kamera sehingga kesalahan bisa disadari lebih
awal.

Universitas Sumatera utara

Fotografi periklanan merupakan bagian dari aktivitas promosi pemasaran.
Fotografi periklanan terkait dengan berbagai ranah atau aktivitas yang memerlukan
promosi atau tujuan publikasi. Diantaranya adalah makanan, arsitektur, fashion, still
life (benda mati yang seolah hidup), anak-anak, olahraga, dan lainnya. Fotografi
periklanan harus memiliki kekuatan atraktif yang mengandung komposisi warna yang
menarik (expressive power of photography) dan semua unsur ini harus mampu
berbicara atau bercerita untuk mewakili produk yang dipublikasikan.
Roland Barthes (Evans dan Hall, 199:13) mengatakan fotografi sebagai
pesan yang tak berkode. Fotografi mengungkapkan semua komponen dunia yang
dapat diidentifikasi, namun untuk dapat interpretasi haruslah memiliki pengetahuan
yang cukup. Apa yang dikatakan oleh Barthes itu sebagai kelebihan dari bahan visual
sebagai bahan yang menyimpan berbagai informasi yang sangat berguna di dalam
suatu penelitian. Bahan fotografi saat ini jenisnya bermacam-macam seperti foto,
grafis, film, video, kartun, microfilm, slide, dan sebagainya sehingga disebut saja
semuanya sebagai bahan visual.

Universitas Sumatera utara

II. 3 Model Teoritik
Gambar II.3
Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Foto
Iklan Fashion di Majalah Gogirl!
Desain Kaus Medan
Objek Penelitian
Foto iklan pada rubrik “Fashion
Spread” dalam Majalah Gogirl!
edisi Januari-Desember 2012

Semiotika Roland Barthes
Level Teks :
1. Analisis Leksia dan 5 Kode
Pembacaan
2. Denotasi dan Konotasi
Level Konteks :
1. Mitos

1. Makna dalam foto iklan fashion
pada majalah Gogirl!
2. Mitos

Universitas Sumatera utara

Dokumen yang terkait

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

2 19 103

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl! Edisi Januari-Desember 2012)

0 11 125

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

1 3 8

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 1

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 6

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 28

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 0 12

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 0 1

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 1 6

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 1 4