Eufemisme Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Melayu Langkat

(1)

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

TESIS

Oleh

A N T O N I

117009035/LNG

117009008/LN

TESIS

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

A N T O N I

117009035/LNG

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

Nama Mahasiswa : Antoni Nomor Pokok : 117009035 Program Studi : Linguistik

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. Nurlela, M.Hum.)

Ketua Anggota

(Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling.)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Nurlela, M.Hum.

Anggota : 1. Dr. Namsyah Hot, M. Ling.

2. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Dr. Mahriyuni, M.Hum.


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU

LANGKAT

Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.

Kata kunci: eufemisme, upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, kearifan lokal, semantik kognitif.


(7)

ABSTRACT

This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.

Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya yang tidak terhinggga banyaknya sehinggga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana sekaligus juga sebagai Dosen penguji I, yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Bapak Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling, selaku pembimbingan II, yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan tesis ini, khususnya tentang tata cara penulisan yang baik dan benar.

6. Ibu Dr. Mahriyuni, M.Hum dan Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum, selaku penguji II dan III, yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan yang sangat berguna bagi pernyempurnaan tesis ini.

7. Seluruh dosen pada Progam Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

8. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) atas beasiswa yang dalam usaha peningkatan kualitas guru di daerah Sumatera Utara.


(9)

9. Orang tua penulis, Suriadi dan Karsini serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang.

10.Istri tercinta Gandayani Siregar, yang sama-sama berjuang dalam menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kasih sayang, kerjasama, dan saling berbagi dalam keadaan suka dan duka.

11.Ananda tercinta Nabila Hafidz Salwa yang telah berkorban kehilangan banyak waktu, perhatian dan kasih sayang dari ayah dan bunda selama dalam masa pendidikan.

12.Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebut satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu bersama-sama.

13.Rekan-rekan guru di MTs Ar Rahman Air Tenang atas kerjasama yang baik dan semangat kekeluargaan yang senantiasa kita bina selama ini.

14.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga kiranya Allah SWT memberi rahmat dan hidayah-Nya untuk kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2013 Penulis,

A N T O N I


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR. ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II KONSEP, TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep ... 10

2.1.1 Jati Diri Orang Melayu. ... 10

2.1.2 Kearifan Lokal ... 12

2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangi Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat ... 14

2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu ... 16

2.2 Kajian Teoretis ... 25

2.2.1 Semantik Kognitif ... 25

2.2.2 Eufemisme ... 27

2.2.3 Tipe Eufemisme ... 31

2.2.4 Kerangka Teori yang Diterapkan ... 33

2.3 Tinjauan Pustaka ... 34

2.3.1 Penelitian Terdahulu ... 34

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 39

3.1 Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat ... 39

3.2 Sosial Budaya Masyarakat Melayu Langkat ... 45

3.3 Kondisi Daerah Kabupaten Langkat ... 46

3.4 Gambaran Umum Kecamatan Selesai ... 49

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 52

4.1 Metode Penelitian ... 52

4.2 Lokasi Penelitian ... 52

4.3 Data dan Sumber data ... 53

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 54

4.5 Teknik Analisis Data ... 54

4.5.1 Reduksi Data ... 55


(11)

4.5.2 Penyajian Data ... 55

4.5.3 Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan ... 56

BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

5.1 Pendahuluan ... 59

5.2 Temuan Penelitian ... 59

5.2.1 Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki 59 5.2.2 Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 61

5.2.3 Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64

5.2.4 Eufemism dalam Upacara Tepung Tawar ... 67

5.2.5 Eufemisme dalam Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 72

5.2.6 Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74

5.3 Tipe-tipe Eufemisme yang di proleh dari Rangkian Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78

5.4 Makna Eufemisme ... 82

5.4.1 Eufemisme Tipe dan Makna Figuratif Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 83

5.4.2 Eufemisme Tipe Satu Kata Menggantikan Kata Yang lain (one for subtitution) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 85

5.4.3 Eufemisme Tipe Sirkumlokasi (circumlocutions) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 89

5.4.4 Eufemisme Tipe Hiperbola (hyperbole) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 92

5.4.5 Eufemisme Tipe Metafora ( metaphor ) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 95

5.5 Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Eufemisme Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 99

5.5.1 Sikap Menghormati Tamu ... 104

5.5.2 Sikap Menepati Janji ... 105

5.5.3 Sikap Menghormati Orang Tua ... 107

5.5.2 Sikap Menghindari Perselisihan ... 108

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 110

6.1 Simpulan ... 110

6.2 Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113


(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1 Tipe Eufemisme ... 56

4.2 Makna Eufemisme ... 56

5.1 Tipe Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki ... 60

5.2 Tipe Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 62

5.3 Tipe Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64

5.4 Tipe Eufemisme dalam Upacara Tepung Tawar ... 67

5.5 Tipe Eufemisme dalam Upacara Nasi Berhadap-Hadapan ... 73

5.6 Tipe Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74

5.7 Tipe Eufemisme Dari Rangkaian Upacar Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78

5.8 Ungkapan Figuratif ... 84

5.9 Satu Kata Menggantikan Kata yang Lain(One For Substitution) ... 86

5.10 Ungkapan yang Berkategori Sirkum Lokasi ... 90

5.11 Hiperbola pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 92

5.12 Metapora pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 96


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat ... 20

2.2 Hempang Pintu Pada Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 21

2.3 Tepung Tawar ... 22

2.4 Hidangan Pada Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 23

3.1 Lambang Daerah Kabupaten Langkat ... 42

3.2 Rumah Adat Masyarakat Masyarakat Melayu Kabupaten Langkat ... 46

3.3 Peta Kabupaten Langkat ... 47

3.4 Lokasi Wisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat ... 49

3.5 Mesjid Raya Pekan Selesai ... 51


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Ungkapan (Pantun Dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki

yang Mengandung Unsur Eufemisme ... 115

2. Gambar Wawancara Terhadap Dua Informan ... 118

3. Transkrip ... 119

4. Biodata Informan ... 126


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.

Kata kunci: eufemisme, upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, kearifan lokal, semantik kognitif.


(16)

ABSTRACT

This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.

Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Eufemisme merupakan usaha seseorang dalam bertutur agar bahasa yang dituturkan tidak dianggap melanggar konsep tabu yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

Penggunaan eufemisme semakin tumbuh subur sejak orang Melayu memeluk agama Islam sebab dalam Islam diajarkan keutamakan akhlak dan sopan santun. Akhlak yang terpuji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah

Eufemisme telah dikenal atau dipakai oleh masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Bahkan mereka telah menggunakannya sebelum mereka mengenal agama, khususnya agama Islam. Pada saat itu, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh atau kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Jika mereka berbuat sesuatu yang dilarang atau melanggar pantangan, mereka akan mengalami sesuatu yang negatif. Sebagai contoh, ketika mereka memasuki hutan, mereka harus minta izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata ‘nenek’ pada ‘penunggu’ yang diyakini mendiami hutan tersebut atau kata ‘cucu’ untuk menyebutkan dirinya, sebagai tanda merendahkan diri atas ‘penunggu’ hutan tersebut. Ketika para petani mendapati sawah mereka dimakan tikus, mereka harus menghindari kata ‘tikus’ untuk menyebutkan hewan tersebut. Dengan demikian, mereka harus mengganti kata tikus dengan ‘cik siti,’ agar tidak semua padi mereka yang sedang berbuah, dimakan oleh tikus sampai habis.


(18)

S.A.W begitu mempengaruhi masyarakat Melayu Islam, bukan saja dalam

perbuatan, melainkan juga dalam bertutur sehari-hari. Ajaran agama ini akhirnya membudaya di tengah-tengah masyarakat Melayu, sehingga konsep kesantunan atau eufemisme terus berkembang hingga saat ini.

Eufemisme adalah bagian dari semantik kognitif. Eufemisme memiliki enam belas tipe (Allan dan Burridge, 1991: 14). Dari keenam belas tipe yang ditemukan oleh Allan dan Burridge tersebut akan dicermati tipe-tipe mana saja yang terdapat pada proses upacara perkawinan adat masyarakat Melayu Langkat. Selain tipe, tesis ini juga akan meneliti makna eufemisme yang ada dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.

Cara mengungkapkan perasaan orang-orang tua dahulu pada masyarakat Melayu berbeda dengan anak muda sekarang. Orang tua pada masa lalu mengungkapkan perasaaan atau keinginannya, baik ungkapan rasa senang, sedih, marah, bimbang, takut, malu, bosan, dan benci, mereka lazim menggunakan perumpamaan yang banyak mengandung eufemisme. Hal ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan tetap terdengar sopan, tidak kasar, bermartabat, dan dipahami lebih dalam oleh lawan bicara (pendengar). Sementara itu, masyarakat sekarang ini dalam mengungkapakan pikiran dan perasaannya lebih senang berbicara langsung dari pada menggunakan perumpamaan atau pribahasa. Masyarakat sekarang enggan menggunakan ungkapan yang bermakna eufemisme karena dianggap ortodoks, lambat, dan bertele-tele. Hal ini senada dengan temuan Juairi Hikmah (2011:2) bahwa masyarakat khususnya generasi muda sekarang jarang sekali menggunakan pepatah dalam berbahasa. Pada pepatah juga dijumpai banyak ungkapan yang


(19)

bermakna eufemisme yang saat ini, dengan penuh kesadaran atau tidak telah mulai ditinggalkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan bahasa sangat penting dalam memahami kebudayaan, demikian sebaliknya, peranan budaya juga sangat penting untuk memahami bahasa. Kekeliruan dan kesalahan kerap terjadi sehingga menyebabkan perselisihan karena orang tidak mampu menggunakan bahasa sesuai kebudayaan di suatu daerah tertentu.

Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat atau di media kerap kita jumpai atau dengar orang-orang berbicara sesuka hatinya, tanpa merasa malu apalagi merasa bersalah telah melanggar norma atau sopan-santun di dalam masyarakat, yang kadang kala menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Apabila hal ini terus terjadi, tidak mustahil suatu saat nanti, eufemisme dalam bahasa Melayu Langkat dan adat masyarakat Melayu Langkat yang sarat dengan nilai-nilai luhur, perlahan-lahan akan hilang, ditinggalkan oleh pemiliknya.

Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Bahasa sama halnya dengan budaya, keduanya dapat dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa sangat memainkan peran penting bagi pelestarian suatu budaya atau adat-istiadat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Langkat, selain berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya, bahasa Melayu Langkat adalah bagian dari budaya itu sendiri. Bahasa Melayu Langkat adalah alat untuk


(20)

mentransmisikan, mengembangkan, dan juga mewariskan suatu budaya, yang telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Langkat, sejak dahulu hingga sekarang ini.

Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan keturunan yang sah sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat.

Perkawinan yang sah, selain untuk melestarikan keturunan, juga mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan kepastian hukum atas status anak yang dilahirkannya, siapa yang menjadi ayah dan ibu, sekaligus yang berhak dan berkewajiban mengasuh, memelihara, memenuhi kebutuhan, dan lain sebagainya.

Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akad nikah merupakan peristiwa sangat penting yang tidak terlupakan dalam perjalanan hidup manusia. Akad nikah adalah ibadah dan lambang kesucian hubungan antara dua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, perkawinan perlu didasari dengan niat yang suci, mendapat persetujuan kedua orang tua dan kebulatan tekad kedua mempelai untuk hidup bersama secara rukun, harmonis dan bertanggung jawab.

Setiap etnis memandang upacara perkawinan merupakan suatu tahapan yang dianggap sangat sakral, baik bagi calon pengantin itu sendiri maupun bagi seluruh anggota keluarga, serta seluruh kerabat kedua belah


(21)

pihak. Proses pelaksanaan upacara perkawinan ini umumnya memperhatikan serangkaian aturan atau tata cara yang sudah ditentukan secara hukum agama dan hukum adat yang tidak tertulis yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap etnis, terlebih etnis yang ada di provinsi Sumatera Utara, khususnya etnis Melayu.

Dalam pandangan adat Melayu, kehadiran keluarga, kaum famili, tetangga, dan masyarakat pada acara perkawinan bertujuan untuk mempererat silaturahim, memberikan kesaksian atas perkawinan kedua pengantin dan untuk merestui sekaligus mendoakan kebaikan untuk kedua pengantin. Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan adat secara lengkap memberikan kesan yang baik di masyarakat, dan dapat menghindari anggapan bahwa kedua pengantin sudah melakukan hubungan ‘terlarang’ sebelum menikah.

Adat perkawinan Melayu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Meski tidak masuk dalam rukun nikah, merayakan perkawinan atau pesta perkawinan yang dimaksudkan untuk mengumumkan atau mengabarkan kepada masyarakat luas sebuah perkawinan merupakan hal yang dianjurkan (walimatul urus). Mengabarkan atau menumumkan sebuah perkawinan penting dilakukan, untuk menjagah terjadinya fitnah dan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kedua pengantin dapat menjagah kesucian perkawinannya dan dapat menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan baik.

Upacara adat perkawinan pada masyarakat Melayu Langkat pada umumnya hampir sama dengan tradisi masyarakat Melayu pada daerah lain


(22)

yang berpegang teguh dengan adat. Mereka mempercayai bahwa adat yang mereka pegang mempunyai makna dan kebaikan dalam kehidupan, oleh sebab itu bagi masyarakat Melayu adat perkawinan begitu diutamakan.

Upacara adat perkawinan biasanya dilaksanakan dengan cukup meriah, namun, sesuai fenomena yang diamati dan hasil wawancara dengan Bapak Abu Samah (informan), upacara perkawinan Melayu Langkat dewasa ini tidak dilaksanakan secara utuh lagi. Sebagian masyarakat Melayu Langkat menganggap upacara adat perkawinan tersebut merepotkan keluarga, karena tidak praktis dan efisien. Umumnya upacara adat perkawinan yang masih dilaksanakan dengan baik saat ini antara lain penyambutan pengantin beserta rombongan dengan acara: hempang batang, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, disambut tari persembahan, hempang pintu, hempang kipas di pelaminan, dan bersanding. Selanjutnya acara marhaban (doa), tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi berdimbar, dan serah terima pengantin (acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan).

Masyarakat Melayu Langkat umumnya masih memegang teguh adat istiadat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Kebiasaan santun berbahasa dapat dilihat dari tuturan-tuturan orang Melayu, yang sedapat mungkin menghindari ungkapan secara berterus terang, dalam menyatakan sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Sebagai contoh, begitu di lidah, begitu di hati. Artinya: apa yang dijanjikan itulah yang menjadi maksud sesungguhnya. Contoh lain, ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan orang lain, orang tersebut menggunakan ungkapan, Ape engko ade waktu?


(23)

Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesungguhnya adalah mengharapkan bantuan kepada orang yang dimaksud. Pada upacara adat perkawinan juga terdapat banyak contoh ungkapan yang menggunakaan eufemisme dalam menyampaikan maksudnya. Beberapa contoh di antaranya:

pucuk dicinta ulampun tiba ‘apa yang dicita-citakan atau diidam-idamkan datang tanpa diduga’ kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah ‘dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu atau peraturan dan tetap menjaga kedamaian di dalam rumah maupun masyarakat’ dan ungkapan yang menyatakan piring tak retak, nasi tak dingin makna dari ungkapan tersebut adalah apabila pinangan ternyata ditolak, tidak mengapa, pihak laki-lakipun tidak akan memaksa.

Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam bertutur orang Melayu banyak menggunakan eufemisme. Eufemisme merupakan bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan untuk menghindari tabu atau kata tidak sopan pada saat berkomunikasi.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Tipe dan makna eufemisme apa sajakah yang digunakan pada saat upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat?

2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.


(24)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat

2. Menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada upacara adat perkawinan masyarakat Langkat.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis:

1. Memperkaya khasanah budaya, termasuk linguistik, khususnya yang berkaitan dengan adat Masyarakat Melayu.

2. Membantu pelestarian kebudayaan Masyarakat Melayu, khususnya Melayu Langkat.

3. Sebagai rujukan dalam penelitian sejenis, khususnya yang berhubungan dengan eufemisme.

4. Sebagai pemacu semangat bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam agar bahasa dan kebudayaan Melayu Langkat dapat tetap lestari.

1.4.2 Manfaat Praktis


(25)

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, sebagai masukan dalam mengembangkan budaya daerah (lokal).

2. Bagi para guru yang mengajar di sekolah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membuat rencana pembelajaran, khususnya mata pelajaran muatan lokal.


(26)

BAB II

KONSEP, TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat Melayu Langkat, yakni penggunaan bahasa untuk memperhalus makna menghindari tabu atau tidak sopan. Kajian ini disebut dengan eufemisme. Di bawah ini dijelaskan hal-hal yang terkait dengan penelitian ini, yaitu: (1) Jati Diri Orang Melayu, (2) Kearifan Lokal, (3) Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu

2.1.1 Jati Diri Orang Melayu

Banyak orang memiliki pamahaman yang berbeda-beda tentang pengertian “Melayu”. Hal ini terjadi karena pengertian Melayu didasarkan atas hal yang berbeda pula. Ada sebagian orang yang memandang Melayu dari pengertian “ras”, ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau religi, yaitu “sesama agama Islam”. Pengertian berbeda ini terjadi karena orang Melayu banyak mendiami wilayah yang berbeda-beda. Wilayah yang didiami orang Melayu meliputi: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Tamiang (Aceh Timur), pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi dan pesisir Palembang (Sinar, 2002: 1)

Pada abad ke-18 orang Barat, khususnya orang Belanda dan orang Inggris menganggap semua penduduk nusantara dan semenanjung Malaysia


(27)

disebut “Bangsa Melayu”. Hal ini terjadi karena mereka melihat persamaan warna kulit, postur tubuh yang relatif sama, dan menguasai atau memahami bahasa Melayu secara bersama.

Pada tahun 1400 M, pusat imperium Melayu berada di Malaka. Pada saat itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam untuk dapat lebih berkembang. Perkembaangan Melayu dimulai dari Malaka hingga ke penjuru nusantara. Penyebaran Melayu dilakukan dengan cara perdagaan dan dengan cara perkawinan dengan putri raja setempat. Dengan demikian, selain membentuk masyarakat Islam di tempat tersebut juga sekaligus membentuk budaya Melayu. Sejak saat itu defenisi jati diri Melayu dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa, dan adat-istiadat Melayu (Sinar, 2002: 6)

Di bawah ini dituliskan beberapa pendapat ahli dari dalam dan luar negeri mengenai siapa sesungguhnya orang Melayu itu, dikutip dari

- Syed Husin Ali mengatakan, “Orang melayu dari segi lahiriah biasanya berkulit sawo matang, berbadab sederhana dan tegap, selaku berlemah lembut serta berbudi bahasa.”

(diunduh tanggal 11-04-2012 pukul 15.00 WIB), yaitu:

- Werndly, kata “melayu” berasal dari kata “melaju” dasar katanya laju

bermakna cepat, deras dan tangkas, dengan pengertian bahwa orang melayu bersifat tangkas dan cerdas, segala tindak tanduk mereka cepat dan deras.


(28)

- Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan melayu berarti penyeberang, pengertiannya bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya dari Hindu- Budha kepada Islam.

Beberapa pendapat ahli tentang siapa sesungguhnya orang Melayu itu juga terdapat dalam Sinar (2002: 7-10), yaitu:

- Pendeta Simon mengatakan, “Banyak orang Batak naik haji ke Mekah menyatakan dirinya sebagai Melayu”.

- Windstedt mengatakan bahwa orang Melayu Islam tidak menyukai cara seluk pawang masa kini yang dianggap tahyul.

- Judiht A. Nagata, mengatakan bahwa orang melayu beragama Islam, berbahasa Melayu, dan menganut adat Melayu.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Melayu dapat dipahami bahwa orang Melayu sejak mereka memeluk agama Islam di abad ke-5 M adalah sebagai berikut:

Seseorang disebut Melayu apabila orang tersebut beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu dalam berkomunikasi, dan berbudaya atau beradat-istiadat Melayu. Adapun konsep adat Melayu itu adalah adat bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu adalah suku atau etnis escara kultural dan bukan harus secara persamaan darah keturunan. Sistem kekeluargaan orang Melayu menganut adalah Parental (kedudukan pihak ibu dan bapak sama).


(29)

2.1.2 Kearifan Lokal

Penggalian kearifan lokal suatu kebudayaan merupakan hal yang penting dalam usaha untuk tetap melestarikan kebudayaan tersebut. Di tengah arus moderenisasi yang terjadi saat ini yang meliputi hampir di setiap bidang kehidupan, memberi pengaruh yang luar biasa pada pola fikir dan budaya

masyarakatnya. Moderenisasi yang mengglobal menyebabkan terjadinya pergeseran nilai budaya. Kebudayaan lokal yang dulu menjadi pandangan dan pegangan hidup masyarakat, perlahan-lahan terpinggirkan oleh pengaruh budaya asing yang berkembang begitu pesat. Pengaruh budaya asing tersebut masuk dan terus merongrong di dalam kehidupan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005), kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif. Dari penyataan di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal adalah nilai budaya yang bersifat positif yang berasal dari kebudayaan masa lalu yang dapat dijadikan modal yang cukup potensial, untuk membentuk karakter bangsa yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Kearifan lokal


(30)

digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya tersebut.

Pemertahanan nilai-nilai budaya di Indonesia biasanya dilakukan dengan cara konvensional yaitu diwariskan hanya secara lisan. Dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan tersebut oleh orang-orang tua kepada anak-anak sampai kepada cucu mereka. Membangun kembali nilai-nilai budaya, etika dan agama perlu dilakukan dengan usaha membangun moral bangsa, kepribadian, karakter bangsa, intlektual, sosial, emosi, etis, dan banyak faktor pendukung lainnya (Sinar, 2011:6). Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa, untuk membangun kembali nilai-nilai budaya harus dengan pendidikan dan pembelajaran yang bernuansa agama dan budaya. Karena dengan cara demikian pemertahanan nilai budaya yang mengandung kearifan lokal akan dapat dipertahankan dan sekaligus dikembangkan secara berkelanjutan.

2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat

Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Melayu Langkat sesungguhnya berasal dari budaya mereka sendiri yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Ajaran Islam berperan besar terhadap cara pandang, berpikir, dan bertindak bagi masyarakat Melayu Langkat. Kebudayaan Melayu Langkat tidak terlepas dari ajaran Islam yang meliputi akidah, akhal, dan ilmu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa kearifan budaya Melayu yang didasarkan pada ajaran Islam dapat dilihat antara lain:


(31)

1. Masyarakat atau orang Melayu mengutamakan “budi dan bahasa”, yang menunjukan sopan santun dan tingginya peradapan Melayu, seperti pada pantun:

Jangan suka mencabut padi Kalau dicabut hilang buahnya Jangan suka menyebut budi Kalau disebut hilang tuahnya

Dari pantun diatas dapat tergambar dengan jelas bahwa orang Melayu dilarang mengingat-ingat budi atau kebaikan yang telah dilakukannya, apalagi sampai menyebut-nyebutnya atau mengatakannya kepada orang lain Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang umatnya berlaku riya atau suka menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dilakukannya karena akan merusak nilai dari kebaikannya tersebut.

2. Masyarakat atau Orang Melayu mengutamakan sifat Melayu, seperti terlihat pada ungkapan berikut ini:

- Yang disebut sifat malu,

malu membuka aib orang malu menyingkap baju di badan malu mencoreng syarak

malu dilanda adat

malu tertarung pada lembaga (Sinar, 2002: 22).

Masyarakat melayu menurut adat kebiasannya sangat menjaga dan menjunjung tinggi rasa malu. Ada konsep di tengah-tengah Masyarakat Melayu yang mengatakan bahwa lebih baik mati dari pada menanggung malu. Menjaga atau menjunjung tinggi rasa malu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran Islam yang mengharuskan umatnya menjaga kehormatannya, seperti dikutip dalam hadits nabi “Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sekehendak


(32)

3. Masyarakat Melayu ramah dan menghormati tamu, seperti tergambar pada ungkapan sebagai berikut:

selamat datang kami ucapkan

mohon serta keberkahan dan keampunan kehadirat Allah kita tujukan

semoga pertemuan mendapat kesyukuran

Makna yang terdapat di dalam pantun tersebut adalah ucapan selamat datang dari tuan rumah kepada tamu yang telah sampai dengan selamat sampai ketujuan, tidak lupa pula mereka mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT serta memanjatkan doa agar pertemuan yang mereka selenggarakan mendapatkan ridho dan berkahNya. Selain ungkapan-ungkapan yang disajikan di atas, masih terdapat banyak lagi kearifan yang dimiliki oleh masyarakat Melayu Langkat yang isinya selalu berlandaskankan ajaran agama Islam.

2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu

Perkawinan merupakan tahap kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dikatakan terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya. Mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar.

Dalam proses upacara perkawinan pada masyarakat Melayu Deli Serdang terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon pengantin (Damanik repository.usu.ac.id). Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah: 1. Risik Kecil


(33)

Merisik kecil adalah mengutus seorang atau dua orang datang ke keluarga gadis dengan maksud untuk ‘memata-matai’ keadaan seorang gadis.

Merisik biasanya dilakukan oleh orang dekat keluarga lelaki, seperti abang ayah kandungnya, atau paman pemuda tersebut. Merisik dilakukan secara tidak resmi, merisik dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi untuk menghindari rasa malu bila pinangan dari pihak lelaki ditolak.

2. Jamu Sukat

Jamu sukat atau jamu sukut adalah pemberian sejumlah upah kepada penghulu telangkai atas jerih payahnya dalam melaksanakan tugasnya untuk menyukseskan proses upacara perkawinan mulai dari awal hingga akhir.

3. Risik Besar

Tujuan merisik besar adalah untuk memastikan bahwa gadis yang diminati oleh seorang lelaki atau pemuda masih ‘sendiri’. Ini penting, karena dalam Islam seseorang dilarang meminang tunangan orang lain. Di samping itu, adat ini juga bertujuan untuk menyelidiki latar belakang si gadis, baik yang berkaitan kemahiran dalam mengurus rumah tangga, adab, sopan-santun, tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya.

4. Meminang

Setelah diketahui bahwa gadis tersebut masih sendiri, pihak keluarga lelaki akan menetapkan hari peminangan. Urusan peminangan akan dilakukan oleh keluarga terdekat pihak lelaki. Meminang ini dilakukan untuk


(34)

menyatakan tujuan mereka yang sebenarnya secara resmi. Pihak calon pengantin laki-laki dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman dan telah berumah tangga. (Sinar, 1994: 65) Pada acara tersebut kedua belah pihak keluarga akan berunding untuk menetapkan tanggal pertunangan. Di samping itu, perbincangan juga membahas hantaran dan jumlah rombongan yang akan datang untuk upacara bertunangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah persiapan yang akan dilakukan oleh pihak perempuan.

5. Ikat Janji

Ikat janji adalah acara pengambilan keputusan untuk dibuat sebagai pengikat janji. Isi dari ikat janji itu antara lain :

a. Berapa besar uang antaran,

b. Berapa besarnya untuk biaya peralatan pengantin perempuan, c. Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin),

d. Pada hari pernikahan berlangsung, sejumlah uang harus disiapkan, seperti untuk uang buka hempang pintu, dan sebagainya.

6. Akad Nikah

Akad nikah merupakan satu acara paling penting dalam perkawinan masyarakat Melayu yang rata-ratanya beragama Islam. Akad nikah bukanlah merupakan adat, tetapi, lebih kepada ajaran agama dan merupakan puncak kesahihan perkawinan. Akad nikah dijalankan setelah semua perjanjian yang disepakati telah dilaksanakan oleh pihak lelaki. Perjanjian yang dimaksud seperti uang belanja, mas kawin dan barang lainnya. Di dalam upacara akad


(35)

nikah, ayah si gadislah yang paling utama untuk menikahkan anaknya. Namun, akad nikah ini dapat diwakilkan kepada wali.

7. MalamBerinai Curi

Malam sebelum nikah dilakukan berinai, yaitu pada ujung jari tangan, kuku-kuku dan kaki dibungkus dengan inai (pacar). Inai adalah daun dari sejenis tumbuhan, ditumbuk halus dan dapat mengeluarkan warna merah.

8. Malam Berinai Kecil

Di dalam berinai ini calon pengantin dihiasi sesuai menurut pakaian perkawinan yaitu laki-laki pakai tengkuluk dan sebagainya, sedangkan pengantin perempuan memakai tudung, semuanya di atas pelaminan masing-masing dan dihadapan sanak famili. Setiap orang yang menepung tawari mencalitkan sedikit inai ke tapak tangan calon pengantin dan nanti jika di kamar barulah diadakan inai yang sebenarnya.

9. Malam Berinai Besar,

Sebelum berinai besar pihak perempuan mengantar inai kepada pihak pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar itu oleh pihak calon pengantin, dipanggilah seluruh keluarga. Biasanya pada malam berinai besar

juga diadakan pesta berinai, dimeriahkan dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian. Dewasa ini demi efisiensi biaya, upacara berinai yang dilaksanakan hanya berinai besar saja.


(36)

Gambar 2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat

10.Mengantar Pengantin Laki-laki,

Mengantar pengantin laki-laki adalah upacara mengiringi pengantin laki-laki dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan. Orang yang mengantar pengantin laki-laki adalah orang tua dan keluarga dekat si pengantin laki-laki.

11.Hempang Pintu,

Hempang pintu adalah dua pria (pemuda) berdiri di kiri dan kanan pintu, masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan. Maksud dan tujuan pihak keluarga pengantin perempuan menghadang pengantin laki-laki di depan pintu adalah untuk meminta sesuatu sebagai syarat agar pengantin pria dapat masuk kedalam rumah pengantin wanita.


(37)

Gambar 2.2 Hempang Pintu pada adat perkawinan Melayu Langkat

12.Bersanding,

Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan duduk bersanding dipelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk dipelaminan ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin dihias sehingga tampak gagah dan cantik mempesona.

13.Tepung Tawar

Makna tepung tawar adalah memberikan doa restu bagi kedua pengantin dan seluruh keluarganya agar mendapat kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan, di samping itu tepung tawar juga dimaksudkan sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Jadi, upacara tepung tawar bermakna sebagai doa dan pengharapan. Tepung tawar juga dimaknai sebagai penawar, supaya hidup tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, semua urusan jadi lancar.


(38)

Gambar 2.3 Tepung Tawar pada adat perkawinan Melayu Langkat

14.Makan Nasi Hadap-hadapan,

Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari kedua belah pihak keluarga pengantin, sedangkan laki-laki tidak boleh ikut serta. Kedua pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan yang sudah terhidang nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan kue.

Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan keturunan. Acara makan nasi hadaphadapan mengandung arti cinta kasih murni antara istri.


(39)

Gambar 2.4 Hidangan pada Upacara Makan Nasi Hadap-hadapan

15.SerahTerima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan,

Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki dari keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga pengantin perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat kepada kedua pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada keluarga pengantin perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki dengan baik.

16.Mandi Berdimbar,

Mandi berdimbar adalah mandi yang dilakukan pengantin dengan menggunakan campuran air, bunga, dan beberapa bahan lainnya. Pada mandi berdimbar ini kadang-kadang terlebih dahulu dilakukan upacara memukul pelepah mayang, memecah telur, kelapa muda, dan mandi bersembur- semburan. Orang-orang ramai juga ikut serta bersiram-siraman. Bila terkena


(40)

siraman air mandi berdibar, bagi para pemuda atau gadis, dipercaya akan cepat mendapat jodoh. (Hariani, informan).

17.Sembah Keliling,

Acara sembah keliling adalah acara bersalaman dengan orang- orang tua dan segenap keluarga, baik keluarga pria maupaun keluarga wanita atau dalam adat Jawa acara ini disebut dengan istilah sungkeman yang bertujuan untuk mohon restu dan doa dari segenap keluarga yang ada.

18.Naik Halangan(Lepas Pantang),

Beberapa hari setelah malam bersatu diedarkanlah dalam kain putih bersih “tanda kegadisan”(perawan) sang istri kepada mertua perempuan dan wanita-wanita lain sebagai bukti.

19.Meminjam Kedua Pengantin oleh Pihak Keluarga Laki-Laki Kepada Pihak Keluarga Perempuan,

Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua pengantin dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di rumah keluarga laki-laki. Kedua pengantin dijemput oleh anak beru (baik pria maupun wanita).

20.Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan,


(41)

Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga malam atau lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru diantarkan kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para

anak beru sebagai mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan biasanya menerima hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan mangkuk.

21.Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri.

Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang laki-laki atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah mereka sendiri. Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau tinggal menetap di rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya. Setelah itu baru laki-laki tersebut dapat membawa istrinya pindah ke rumahnya sendiri.

2.2. Kajian Teoretis 2.2.1. Semantik Kognitif

Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97) dikutip dari (tanggal 21-03-2013 pukul 14.25). Dapat dikatakan bahwa semantik kognitif merupakan istilah yang mengacu pada studi tentang makna yang dikaitkan dengan pikiran manusia sebagai pengguna bahasa.


(42)

Semantik (Inggris: semantic) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang bermakna “tanda” “atau lambang”. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna) (lihat Hikmah, 2011:33). Chaer (1995:2) mengatakan “ semantik adalah sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tatanan analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.” Dari pengertian di atas, semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda lingustik dengan hal yang ditandainya atau ilmu yang mempelajari makna atau arti dalam setiap bahasa atau kalimat yang diucapkan oleh manusia.

Dalam tesis ini, semantik yang berhubungan erat dengan eufemisme Bahasa Melayu Langkat diteliti maknanya. Karena semantik kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pada pikiran manusia. Eufemisme berhubungan dengan ungkapan kata atau kalimat, sehingga eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif karena terdapat struktur kognitif dalam eufemisme. Makna eufemisme akan didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran yang diucapkan. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.

Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan


(43)

pengalaman dan tingkah laku mereka yang berkembang. Makna juga merupakan struktur konseptual yang konvensionalisasi. Menurut penganut semantik kognitif proses konseptualisasi sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia dalam memahami dan membicarakan dunia. Semantik kognitif menguraikan makna dengan berpadukan kepada sistem kognitif menyamakan makna dengan konsep.

2.2.2 Eufemisme

Untuk menjawab masalah penelitian ini digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, dalam buku mereka yang berjudul Euphemism and Dysphemism, Language Used as Shield and Weapon

(1991: 14). Allan dan Burridge menjelaskan eufemisme sebagai berikut:

In short Euphemism are alternatives to disprefered, and are used in order to avoid possible loss of face. The disprefered expression may be taboo, fearsome, distasteful or for some other reason have too many negative connotations to felicitously execute speaker’s communicative intention on given occasion.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa eufemisme adalah cara lain dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan untuk menghindari rasa malu. Bentuk ungkapan yang tidak berkenan itu dapat berupa tabu, rasa takut, tidak disenangi, atau alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipergunakan dengan tujuan berkomunikasi oleh penutur dalam situasi tertentu. Selain teori yang disampaikan oleh Allan dan Burridge, beberapa pendapat dari para ahli tentang eufemisme dikemukakan sebagai berikut:


(44)

1. Eufemisme berasal dari kata Yunani, eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan-ungkapan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.

Contoh : Para pahlawan telah gugur di medan juang (mati) Maaf saya hendak ke belakang sebentar (ke toilet)

Wanita itu adalah teman hidupnya selama ini (istri) (Keraf, 996:132).

2. Eufemisme atau eufemia adalah suatu gejala bahasa yang bersifat memperhalus atau mempersopan. Kata tertentu diganti dengan kata lain yang dianggap lebih mengacu kepada makna kata yang lebih halus atau sopan (Badudu, 1991:96).

3. Eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu (Kridalaksana, 1982:42).

4. Eufemisme kata atau frasa yang menggantikan satu kata tabu atau yang digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang menakutkan dan kurang menyenangkan (Fromkin dan Rodman dalam Ohuiwuton, 1997: 96).

Penggunaan eufemisme lazim dipakai dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Melayu Langkat. Eufemisme juga kerap digunakan pada upacara adat, baik dalam tuturan, pepatah, maupun pantun. (Sutarno dalam Faridah: 2002) membagi tiga jenis eufemisme, yakni kategori baik, buruk, dan memanifulasi kenyataan.


(45)

Eufemisme berkategori baik, berhubungan dengan sopan-santun, misalnya, untuk menyatakan orang cerdik-pandai, digunakan tuturan, kami dengar datuk orang arif orang bijaksana , tahu dikias diumpama. Ungkapan ini biasanya digunakan pada acara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, mungkin juga dipakai daerah lain. Eufemisme berkategori buruk yaitu eufemisme yang memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis. Contoh :

rakyat miskin rakyat prasejahtera rakyat kelaparan rakyat rawan pangan

Kategori yang ketiga yaitu, manipulasi kenyataan. Contoh orang yang mencuri uang negara dengan jumlah yang sangat banyak, tidak disebut pencuri atau perampok tetapi disebut koruptor.

Berdasarkan uraian di atas penggunaan eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat sesuai dengan teori para ahli eufemisme, yaitu untuk memperhalus bahasa dan menghindari kata yang tidak sopan. Penggunaan eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat, apabila merujuk pendapat Sutarno dikategorikan sebagai eufemisme baik.

Pada pembahasan di awal telah disinggung beberapa pengertian eufemisme berdasarkan beberapa ahli. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah perkataan yang baik yang dapat menyenangkan orang lain dan memberi kesan santun, tidak terdengar kasar. Penggunaan eufemisme sendiri sesungguhnya untuk menghindari tabu atau tidak santun. Memang kerap terjadi kerancuan di masyarakat berkaitan batasan tentang tabu itu sendiri. Di satu komunitas masyarakat sebuah kata bisa


(46)

dianggap tidak sopan atau tabu, namun di masyarakat lain, kata itu bisa tidak memiliki makna tabu. Namun, kebanyakan kata yang berbau seks atau bagian anggota tubuh yang biasanya ditutupi dianggap tabu bila diucapkan di tempat umum.

Eufemisme belum tentu untuk menggantikan kata yang bermakna tabu. Namun, eufemisme lebih berhubungan dengan konsep budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Allan dan Burridge (1991:12) membagi eufemisme ke dalam hal- hal berikut:

1. bagian tubuh (body parts);

2. fungsi tubuh (bodily function); 3. seks (sex);

4. ketidakberterimaan (Disapproval);

5. kemarahan (anger); 6. kebencian ( hate);

7. penyakit (desease); 8. kematian (death);

9. ketakutan (fear);

10.ihwal Tuhan (God);

11.nafsu (lust).

2.2.3 Tipe Eufemisme

Allan dan Burridge (1991:14), memberikan beberapa tipe eufemisme, sebagai berikut.


(47)

NO TIPE EUFEMISME CONTOH 1 ungkapan figuratif (figurative

expressions)

B.Ing : Go to the happy hunting Grounds = (mean) die

B.Ind : ’Pergi ke tanah perkuburan yang menyenangkan =(bermakna wafat’

2 metapora (metaphor) B.Ing : The miraculous pitcher that holds water with the mouth downwards = vagina

B.Ind : ‘Tempat air yang menakjupkan dengan mulutnya menghadap ke bawah = kemaluan wanita’

3 plipansi (Flippancy) B.Ing : Kick the bucket = die

B.Ind : ‘Menendang ember = meninggal’

4 memodelkan kembali

(remodeling)

B.Ing : Basket = bastard

B.Ind : ‘Keranjang = bajingan’ 5 sirkumlokasi (circumlocutions) B.Ing : Solid human waste = feces.

B.Ind : ‘Kotoran manusia padat = tahi’ 6 memendekkan (clipping) B.Ing : jeeze = jesus

7 akronim (Acronyms) B.Ing : snafu = normal situation

B.Ind : ‘situasi normal’ 8 singkatan (abbreviations) B.Ing : S.O.B = son of a bitch

B.Ind : anak pelacur

9 pelesapan (omission) B.Ing : I need to go = to the lavatory

B.Ind : ‘Saya mau pergi = ke kamar kecil’

10 satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitutions)

B.Ing : bottom = ass

B.Ind : dasar = pantat 11 umum ke khusus (general for

specific)

B.Ing : Go to bed = fuck

B.Ind : Pergi tidur = bercinta 12 sebagian untuk keseluruhan (a

part for whole)

B.Ing : spend a penny = go to the lavatory


(48)

B.Ind : ‘Menghabiskan uang satu sen = ke kamar kecil’

13 melebih-lebihkan (hyperbole) B.Ing : Personal assistant to the Secretary = cook

B.Ind : ’Pembantu pribadi sekretaris = Koki’

4 makna di luar pernyataan

(understatement)

B.Ing : genital, bulogate = thing

B.Ind : bisa apa saja seperti alat kelamin, kasus = sesuatu

15 Jargon B.Ing : Feces = shit

B.Ind :’ Kotoran (istilah medis)= tahi’

16 kolokial (colloquial) B.Ing : Period = menstruation

B.Ind : Periode = ‘menstruasi’

Berikut ini contoh penggunaan eufemisme yang terdapat pada tuturan masyarakat Melayu di Kabupaten Langkat.

1. Terimalah jike ade lelaki yang ingin mengambilmu sebagai teman hidup!

2. Berape tebal amplop engko siapkan untuk test PNS?

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa, kata teman hidup

bermakna perempuan yang telah dinikahi oleh lelaki. Teman hidup ini digunakan untuk memperhalus kata yang bermakna istri atau bini. Kata

amplop bermakna tempat atau kemasan untuk di isi surat atau uang untuk dikirim kepada orang lain. Kata amplop pada kalimat di atas, digunakan untuk memperhalus makna kata yang maksudnya sebagaiuang suap”. Kata

teman hidup dan amplop di atasmerupakan bentuk eufemisme yang tergolong dalam tipe satu kata menggantikan kata lain (one for substitution).


(49)

Eufemisme dalam masyarakat fungsi utamanya adalah untuk menghindari tabu atau tidak santun pada saat berkomunikasi. Tabu adalah suatu bentuk larangan yang tidak tertulis, untuk tidak menggunakan kata tertentu yang dianggap tidak pantas di tengah-tengah masyarakat. Kata yang termasuk tabu biasanya sesuatu yang berbau seks, yang berhubungan dengan bagian tubuh yang harus ditutupi, menujukkan sesusatu yang menjijikkan, kotor atau kasar. Kebiasaan masyarakat Melayu dalam menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan rasa suka, benci, kaya, pintar, dan penyakit, juga tidak disampaikan secara terus terang, tetapi menggunakan kata kiasan untuk menghindari tabu.

2.2.4 Kerangka Teori yang Digunakan

Penelitian ini berpijak pada kajian semantik kognitif. Semantik kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pikiran manusia. Eufemisme merupakan bagian dari semantik kognitif karena makna eufemisme didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran sehingga eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif.

Teori eufemisme dipakai untuk menentukan jenis tipe eufemisme yang terkandung dalam isi ungkapan pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat. Pendekatan kajian eufemisme memberi sumbangan terhadap kajian kearifan lokal pada upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat.


(50)

2.3. Tinjauan Pustaka 2.3.1. Penelitian Terdahulu

Kajian eufemisme telah diteliti sebelumnya oleh Faridah (2002), dalam penelitiannya yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Melayu Deli Serdang. Teori yang digunakan pada penelitiannya adalah teori eufemisme oleh Allan dan Burridge. Pada kajiannya Farida mengkaji berbagai tipe, fungsi, dan makna eufemisme, untuk penyajian data penelitiannya menggunakan metode cakap atau wawancara. Dalam mengidentifikasi dan mengelompokan tipe-tipe eufemisme digunakan metode agih. Sedangkan untuk menganalisis fungsi dan makna digunakan metode padan. Sumber data dalam penelitiannya menggunakan data tulis dan data lisan. Hasil dari penelitiannya, ditemukan enam tipe eufemisme dan empat fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Deli Serdang. Tipe eufemisme yang ditemukannya antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) Metafora, (3) Satu kata untuk menggantikan kata lain, (4) Umum ke khusus, (5) Hiperbola, (6) Kolokial. Sedangkan fungsi eufemisme yang beliau temukan antara lain: (a) sapaan, (b) menghindari tabu, (c) menyatakan cara, dan (d) menyatakan situasi. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap penelitian ini adalah dalam hal penggunaan teori. Pada penelitian ini juga digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, untuk menemukan tipe eufemisme dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.

Anita Purba (dalam Tia dan Dardannila 2008), dalam penelitiannya berjudul Eufemisme dalam Bahasa Simalungun membahas bentuk dan fungsi eufemisme Bahasa Simalungun. Penelitian Purba ini menggunakan pandangan


(51)

Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber acuan untuk mencari bentuk dan fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan makna eufemisme. Ada dua belas bentuk dan fungsi eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anita Purba antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) metafora, (3) sirkumlokusi, (4) kliping, (5) pelesapan, (6) satu kata untuk menggantikan kata yang lain, (7) umum ke khusus, (8) hiperbola, (9) pernyataan yang tidak lengkap, (10) kolokial, (11) remodel, dan (12) sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme dalam bahasa Simalungun, berhubungan dengan sapaan atau penamaan dan menghindari tabu. Penelitian beliau memberi kontribusi terutama sekali pada bagaimana menentukan tipe yang termasuk dalam kelompok tertentu, dari tipe-tipe yang dikemukakan oleh Allan dan Buridge.

Widya Andayani (2005), tesisnya berjudul Upacara PerkawinanAdat Jawa Nemokke di Medan : Suatu Kajian Sosiolinguistik. Nemokke adalah upacara perkawinana adat Jawa yang berisi nasihat terhadap pengantin. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan tipe-tipe dan fungsi eufemisme, dalam kalimat dan ungkapan beserta pola sosiolinguistik yang tergambar pada upacara nemokke. Dalam penelitiannya, data diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan ahli dalam adat Jawa, khususnya ahli nemokke dalam upacara adat perkawinan Jawa. Dari hasil penelitiannya ditemukan 4 tipe eufemisme, antara lain: (1) metapora, (2) satu kata menggantikan kata yang lain, (3) hiperbola, (4) ungkapan figurative. Selain tipe, dalam penelitiannya ditemukan juga fungsi eufemisme yaitu sebagai sapaan dan menghindari tabu. Berdasarkan pola sosiolinguistiknya, ahli nemokke yang usianya lebih tua menggunakan lebih banyak eufemisme dan


(52)

lebih bervariasi dalam menyampaikan nasihat. Penelitiannya memberi inspirasi dalam menentukan kriteria informan yang akan dijadikan nara sumber. Pada Penelitiannya, perbedaan usia ternyata menentukan frekwensi penggunaan eufemisme. Nara sumber yang usianya lebih tua ternyata menggunakan lebih banyak dan lebih bervariasi dari nara sumber yang berusia lebih muda.

Selain itu Tia Rubby dan Dardanila (2007), dalam Penelitian mereka yang berjudul Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia Penelitian ini membicarakan bentuk eufemisme dan frekwensi penggunaannya pada surat kabar Harian Seputar Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode observasi, yang dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Untuk menganalisis data, digunakan metode deskriptif dengan teknik membaca. Dalam penelitian Tia dan Dardanila tersebut, ditemukan tujuh bentuk eufemisme yang muncul, yaitu: (1) ekspresi figuratif (2) Flipasi, (3) kata yang satu menggantikan kata yang lain (4) singkatan (5) satu kata menggantikan kata yang lain, (6) umum ke khusus, (7) hiperbola. Bentuk yang sering muncul (dominan) pada penelitaian mereka adalah satu kata menggantikan kata yang lain sebanyak 40%. Pada penelitian mereka memberikan masukan dalam hal penggunaan teori. Mereka menggunakan teori yang sama dengan penelitian ini, yaitu menggunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge. Teori Allan dan Buridge membantu dalam mengklasifikasi jenis atau tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian.

Juairi Hikmah (2011), dalam tesisnya berjudul Analisis Makna Emotif dalam Pepatah Nasihat bahasa Melayu Serdang. Penelitian tersebut memfokuskan pada makna emotif dalam pepatah Bahasa Melayu Serdang


(53)

(BMS), yaitu bagaimana makna emotif yang terdapat dalam pepatah berdasarkan pada emosi dasar Melayu, menemukan makan tersirat dalam pepatah, dan menelaah makna emotif BMS yang dituturkan oleh Masyarakat Melayu Serdang (MMS) di daerah Pantai Cermin.

Teori yang digunakan adalah teori semantik kognitif. Teori ini berhubungan dengan emosi dan pikiran. Teori semantik yang digunakan untuk menelaah emosi digunakan perangkat fonetik, perangkat leksikal, dan perangkat sintaksis. Sumber data yang digunakan adalah emosi dasar Melayu Serdang, dan pepatah BMS. Data diambil melalui instrumen penelitian dan rekaman suara informan. Data diolah dan dianlisis dengan metode kualitataif deskriptif.

Hasil analisis makna emotif berdasarkan pada emosi dasar Melayu dan perangkat emotif, diperoleh makna emotif senang ada 39, sedeh ada 13, marah ada 22, benci ada 4,malu ada 6, takut ada 5, dan bosan ada 6 pepatah. Perangkat emotif fonetik ada 16, perangkat leksikal ada 93, dan perangkat sintaksis ada 29 pepatah. Makna emotif dalam pepatah BMS mempengaruhi sikap, karakter, dan cara berbicara seseorang dalam kehidupan.

Dari uraian hasil penelitian terdahulu tentang eufemisme, maupun hal yang berhubungan dengan bahasa Melayu di atas dapat dilihat bahwa, kajian tersebut sangat relevan untuk melengkapi tesis ini karena banyak mengulas tentang tipe maupun makna kata, kelompok kata, atau kalimat yang berkaitan dengan eufemisme. Sedangkan tesis ini sendiri mengkaji tentang eufemisme dalam bahasa Melayu Langkat.


(54)

Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini mengkhususkan kajian pada penggunaan eufemisme dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu di kabupaten Langkat. Pada penelitian ini juga digali dan diupayakan untuk menenemukan kearifan lokal yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa, sehingga cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang aman dan sejahtetra dapat terwujud.


(55)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat

A.Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Pada masa pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkat berstatus keresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang disebut residen dan berkedudukan di Binjai. Residen mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat di bidang penanganan orang-orang asing saja, sedangkan orang-orang asli (pribumi) berada di bawah penangan pemerintah Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh:

1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah (1805-1892)

2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah (1893-1927) 3. Sultan Mahmud (1927-1945/46)

(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat 2011)

Di bawah pemerintahan kesultanan dan assisten residen struktur pemerintahan disebut Luhak, di bawah luhak disebut Kejuruan (raja kecil) dan distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (raja kecil karo) yang berada di desa. Pemerintahan luhak dipimpin oleh seorang pangeran atau anak raja, pemerintahan kejuruan dipimpin oleh seorang Datuk, Pemerintahan Distrik dipimpin oleh seorang kepala distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/datuk harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya. Pemerintahan Kesultanan di Langkat dibagi atas 3 (tiga) kepala Luhak.


(56)

1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh Tengku Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 kejuruan (sekarang dikenal dengan sebutan kecamatan) dan dua distrik yaitu :

1.1 Kejuruan Selesai 1.2 Kejuruan Bahorok 1.3 Kejuruan Sei Bingai 1.4 Distrik Kwala 1.5 Distrik Salapian

2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura, dipimpin oleh Pangeran Tengku Jambak/Tengku Pangeran Ahmad. Wilayah ini mempunyai 2 (dua) kejuruan dan 4 (empat) distrik yaitu:

2.1 Kejuruan Stabat 2.2 Kejuruan Bingei 2.3 Kejuruan Secanggang 2.4 Kejuruan Padang Tualang 2.5 Distrik Cempa

2.6 Distrik Pantai Cermin

3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Brandan dipimpin oleh Pangeran Tumenggung (Tengku Jakfar). Wilayah ini terdiri dari satu kejuruan dan dua distrik.

3.1 Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji. 3.2 Distrik Pulau Kampai

3.3 Distrik Sei Lepan


(57)

Awal 1942, Kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda beralih ke Pemerintahan Jepang, namun sistem pemerintahan tidak mengalami perubahan, hanya sebutan keresidenan berubah menjadi SYU, yang dipimpin oleh Syucokan. Afdeling diganti dengan Bunsyu dipimpin oleh Bunsyuco. Kekuasaan ini berakhir pada saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

B. Masa Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, Sumatera dipimpin oleh seorang gubernur, yaitu Mr. T.M. Hasan, sedangkan Kabupaten Langkat tetap dengan status keresidenan dengan asisten residennya atau kepala pemerintahnya dijabat oleh Tengku Amir Hamzah, yang kemudian diganti oleh Adnan Nur Lubis dengan sebutan Bupati.

Pada tahun 1947-1949, terjadi agresi militer Belanda I, dan II. Kabupaten Langkat terbagi dua, yaitu Pemerintah Negara Sumatera Timur (NST) yang berkedudukan di Binjai dengan kepala pemerintahannya Wan Umaruddin dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedudukan di Pangkalan Berandan, dipimpin oleh Tengku Ubaidulah.

Berdasarkan PP no.7 tahun 1956, secara administratif, Kabupaten Langkat menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan kepala daerahnya (bupati) Netap Bukit. Pada tahun 1965-1966 jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dipegang oleh seorang care taker ( Pak Wongso) dan selanjutnya oleh Sutikno yang pada waktu itu sebagai Dam Dim 0202 Langkat.


(58)

Secara berturut-turut jabatan Bupati Kdh. Tingkat II Langkat dijabat oleh: 1. T. Ismail Aswin 1967 – 1974

2. HM. Iscad Idris 1974 – 1979 3. R. Mulyadi 1979 - 1984

4. H. Marzuki Erman 1984 – 1989 5. H. Zulfirman Siregar 1989 – 1994 6. Drs. H.Zulkifli Harapan 1994 – 1998

7. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH 1998 – 1999 8. H. Syamsul Arifin, SE 1999 – 2009

9. Ngogesa Sitepu 2009 – sekarang

Gambar 3.1 Lambang Daerah Kabupaten Langkat


(59)

C. Pengertian Lambang (Bentuk Lambang)

1.Sebuah bintang berwarna emas dan kuning gading melambangkan dasar falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

2.Perisai berwarna kuning gading dan 2 buah bambu warna kuning gading melambangkan perjuangan rakyat mencapai kemerdekaan RI yang berdasarkan Pancasila.

3.Untaian padi dan kapas (17 dan 8) melambangkan tanggal 17 bulan 8 tahun 1945 dan keseluruhannya berarti melambangkan kesejahteraan rakyat.

4.Tapak sirih warna coklat muda dan hiasannya coklet tua melambangkan kebudayaan dan adat istiadat Langkat.

5.Sampan nelayan dengan warna layarnya coklat muda dan badannya warna hitam, melambangkan bahwa daerah Langkat berpantai luas rakyat bersemangat bahari.

6.Keris berwarna putih dan gagangnya berwarna coklat tua, melambangkan semangat patriotisme rakyat Langkat.

7.Pita berwarna merah tulisannya "Kabupaten Langkat" berwarna putih menyatakan Daerah Langkat.

D. Arti Warna

1.Hijau: lambang kemakmuran (dasar lambang)

2.Kuning Emas: lambang kebesaran jiwa dan kemurnian adat 3.Kuning Gading: lambang kejayaan

4.Merah: lambang semangat yang menyala-nyala 5.Biru Air: lambang kecintaan kesetiaan pada tanah


(60)

7.Coklat: lambang kepribadian/ kesuburan tanah langkat 8.Hijau: lambang kejujuran dan keteguhan

Visi Dan Misi Kabupaten Langkat

Visi:

"Terwujudnya masyarakat kabupaten langkat yang religius, maju, dinamis, sejahtera, dan mandiri”

Misi:

1. Menyuguhkan kehidupan beragama yang rukun, toleran dan penuh kesejukan, memelihara serta mengembangkan budaya dan kearifan.

2. Melaksanakan reformasi secara sungguh-sungguh melalui penyelenggaraan pemerintahan dengan aparatur yang bersih, berorientasi kepada pelayanan publik serta penggunaan anggaran yang pro publik.

3. Memfokuskan kepada pembangunan nyata perekonomian masyarakat berbasis agro industri pertanian dan bahari serta industri strategis lainnya yang berwawasan lingkungan.

4. Memecah stagnasi pembangunan dengan mengakselerasi secara cerdas pencapaian kesejahteraan masyarakat di bidang daya beli, kualitas pendidikan dan kesehatan.

5. Menumbuhkan investasi yang mampu secara langsung mengangkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

6. Memperkuat pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial politik, kesejahteraan sosial dan perlindungan terhadap anak

7. Memperkokoh kualitas demokrasi dengan edukasi politik dan menyertakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan politik


(61)

3.2. Sosial Budaya Masyarakat Melayu Langkat

Suku Melayu Langkat

Masyarakat suku Melayu Langkat hampir seluruhnya memeluk agama Islam, yang telah berkembang di kalangan orang Melayu Langkat sejak beberapa abad yang lalu. Agama Islam begitu kuat tumbuh dalam masyarakat Melayu Langkat, terlihat dari segala bentuk tradisi adat-istiadat dan budaya suku Melayu Langkat banyak dipengaruhi unsur budaya Islam. Menurut data statistik jumlah penduduk Langkat berjumlah 967.535 jiwa. Penduduk suku Melayu berjumlah 14,93% dari seluruh jumlah suku yang ada di Kabupaten Langkat, suku Melayu menempati urutan kedua terbesar setelah suku Jawa dengan jumlah 56,87% (Sumber: BPS Langkat 2011).

adalah salah satu suku Melayu yang terdapat di Sumatera Utara. Pemukiman suku Melayu Langkat ini berada di wilayah kabupaten Langkat. Penyebaran suku Melayu Langkat ini mulai dari daerah kota Medan, Binjai, Bahorok, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan hampir di seluruh wilayah Kabupaten Langkat.

Masyarakat Melayu Langkat memiliki rumah tradisional dengan bentuk khas Melayu. Dibangun dengan bentuk rumah panggung, biasanya dibuat dari bahan kayu hitam. Pintu masuk ke dalam rumah biasanya berada di samping rumah, dengan sebuah tangga, tetapi saat ini masyarakat Melayu Langkat sudah ada yang menempatkan pintu masuk dan tangga di depan rumah. Rumah suku Melayu Langkat menggunakan atap yang terbuat dari daun nipah (daun rumbia) yang banyak tumbuh subur di rawa-rawa daerah ini. Atap yang terbuat dari daun nipah ini, memberikan rasa sejuk dan nyaman


(62)

bagi mereka yang berteduh di bawahnya, meskipun cuaca sedang terik dan panas.

Gambar 3.2 Rumah Adat Masyarakat Melayu Kabupaten Langkat

Masyarakat Melayu Langkat saat ini memiliki profesi atau mata pencaharian beragam, namun, sebagian besar mereka hidup sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman di ladang seperti: padi, ubi, jagung, berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir biasanya penduduk menjadi nelayan. Selain itu mereka memilih profesi sebagai pedagang, nelayan, sektor pemerintahan dan sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka ada juga yang menjadi buruh di perkebunan dan lain-lain.

3.3 Kondisi Daerah Kabupaten Langkat

1. Letak Geografi

Kabupaten Langkat merupakan salah satu yang terletak di Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3° 14´ – 4° 13´ lintang utara, serta 97° 52´ – 98° 45 bujur timur dan 4 – 105 meter dari permukaan laut dengan batas-batas sebagai berikut:


(63)

- Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Kabupaten Aceh Tamiang

- Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Karo

- Sebelah Timur berbatas dengan daerah Kabupaten Deli Serdang - Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Tenggara/Tanah Alas

2. Topografi

Daerah Tingkat II Langkat dibedakan atas 3 bagian:

- Pesisir Pantai dengan ketinggian 0 – 4 meter diatas permukaan laut - Dataran rendah dengan ketinggian 0 – 30 meter diatas permukaan laut - Dataran Tinggi dengan ketinggian 30 – 1200 meter diatas permukaan laut Gambar 3.3 Peta Kabupaten Langkat dengan sejumlah kecamatannya.

Sumber: www.Langkatcab.go.id.(diunduh tanggal 24-06-2013 pukul 11.00 WIB) 3. Jenis-jenis Tanah


(64)

- Sepanjang pantai terdiri dari jenis tanah alluvial, yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan.

- Dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal

- Dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning.

4. Aliran Sungai Sungai

Daerah Kabupaten Langkat dialiri oleh 26 sungai besar dan kecil, melalui kecamatan dan dan desa-desa, diantara sungai-sungai tersebut yaitu: Sungai Wampu, Sungai Batang Serangan, Sungai Lepan, Sungai Besitang dan lain-lain. Secara umum sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk pengairan, perhubungan, dan lain-lain.

5. Wisata

Di daerah Kabupaten Langkat terdapat taman wisata Bukit Lawang sebagai objek wisata. Taman Bukit Lawang ini terletak dikaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNG) dengan udara sejuk oleh hujan tropis, di Taman Bukit Lawang ini terdapat lokasi rehabilitasi orang hutan (mawas) yang dikelola oleh WNF. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan aset nasional, didalamnya terdapat beberapa satwa yang dilindungi seperti: Badak Sumatera, Rusa, Kijang, Burung Kuau, Siamang, juga terdapat juga terdapat tidak kurang dari 320 jenis burung. 176 binatang menyusui, 194 binatang melata, 52 jenis


(65)

ampibi serta 3500 jenis spesies tumbuh-tumbuhan serta yang paling menarik adalah bunga raflesia yang terbesar di dunia. (sumber: BPS Langkat 2009)

Gambar 3.4 Lokasi Wisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat

3.4 Gambaran Umum Kecamatan Selesai

Menurut data dari Badan Pusat Stastistik, luas kecamatan Selesai adalah 167,72 Km. Jumlah Desa yang terdapat di Kecamatan Selesai sebanyak 14 desa. Ibu kota kecamatan Selesai adalah Pekan Selesai. Jumlah penduduk di kecamatan ini sebanyak 69.321 jiwa, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 34.922 jiwa, sedangkan perempuan sebanyak 34.399 jiwa. Suku Melayu di Kecamatan Selesai sebanyak 12,85% terbesar nomor dua, Suku Jawa mendominasi dengan jumlah 66,42% , sedangkan jumlah terbesar ketiga adalah Suku Karo dengan jumlah 11,47% dan selebihnya suku campuran.

Penduduk di Kecamatan Selesai mayoritas beragama Islam. Jumlah penduduk di kecamatan ini yang memeluk agama Islam sebanyak 92,64%. Penduduk suku Jawa dan Melayu di kecamatan ini hampir dapat dipastikan beragama Islam. Di kacamatan ini terdapat bangunan bersejarah berupa masjid yang didirikan pada masa Kesultanan Langkat. Masjid ini diberi nama


(66)

Masjid Raya Pekan Selesai. Berdasarkan catatan yang ada, mesjid ini di bangun oleh Tengku Dacmad bin Tengku Sulung Chaibar Sanah pada tahun 1906 atau 1326 hijriyah sekitar empat tahun setelah mesjid Azizi di bangun di Tanjung Pura.

Saat pertama sekali menginjakan kaki memasuki mesjid tersebut ada perasaan yang berbeda, melihat bangunan masjid dan ornamen yang menghiasi dinding dan langit-langit masjid tersebut seolah-olah membawa kita kembali bernostalgia ke masa yang lalu. Suasana di dalam dan di sekeliling masjid tersebut memberikan rasa sejuk, damai, tenang, bahkan perasaan seperti berada di tempat yang keramat. Tepat persis di depan mesjid Raya Pekan Selesai ini, dahulu pernah berdiri dengan kokoh istana kejuruan atau istana raja kecil yang merupakan tempat tinggal pemimpin kejuruan Selesai. Namun sangat di sayangkan, sisa-sisa bangunan istana tersebut kini sudah tidak dapat kita lihat lagi karena di tanah tersebut kini telah dibangun sebuah yayasan pendidikan yang didirikan oleh ahli waris keluarga kejuruan Selesai.

Di sebelah kiri masjid raya tersebut kini terdapat pesantren Tahfizh Al Qur’an (penghafal Alqur’an) yang dikhususkan untuk santri putri. Di belakang masjid tersebut terdapat makam keluarga Tengku yang telah meninggal dunia. Masjid ini telah mengalami perbaikan sebanyak dua kali, pertama pada tahun 1966 oleh Tengku Burhanuddin bin Tengku Zainal Abidin Sanah dan kedua pada tahun 2009 oleh Dr Tengku Indra Azrial, MPh, SpM bin Tengku Baharuddin. Meskipun telah mengalami perbaikan atau direhab sebanyak dua kali, namun, bangunan utama mesjid ini masih tetap dipertahankan keasliannya seperti pada masa awal pembangunannya. Masjid raya ini hingga saat sekarang


(67)

masih digunakan sebagai tempat beribadah dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya oleh penduduk sekitar masjid tersebut.

Gambar 3.5 Masjid Raya Pekan Selesai di bangun tahun 1906 oleh Tengku Dacmad bin Tengku Sulung Chaibar Sanah


(68)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini berdasar pada penggunaan data yang murni dan alamiah yang diperoleh dari lapangan, sehingga d iperoleh hasil penelitian yang dapat menjelaskan realita yang sebenarnya ( lihat Andayani, 2005)

Metode penelitian menggunakan metode cakap atau yang dikenal dengan metode wawancara. Selain metode cakap penelitian ini juga menggunakan metode simak. Dengan kedua metode ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing, yaitu memancing informan untuk berbicara, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat.

4.2. Lokasi Penelitian

Mengingat daerah kabupaten Langkat sangat luas, maka penelitian tentang Eufemisme Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat hanya difokuskan di Kecamatan Selesai. Adapun alasan pemilihan lokasi di Kecamatan Selesai adalah:


(1)

enggak pas. Pantun yang harusnya mengungkapkan ini, maksudnya untuk menyatakan yang lain atau dikias sekarang diucapkan tanpa kiasan lagi dan terkesan kasar. Saya : Contohnya seperti apa, Pak?

Bapak Azlan : Anak beruk sebesar lengan Dibungkus tudung kain Sungguh buruk hatimu kawan Tidak suka mencari yang lain.

Ungkapan pada pantun di tadi dengan mengatakan sungguh buruk hatimu itu sudah sangat tidak pantas, terlalu kasar. Kadang-kadang saya sempat tegur juga orang-orang yang seperti ini. Mungkin ini pengaruh zaman reformasi, orang suka bicara terus terang. Saya : Apakah bapak juga mengajarkan ungkapan-ungkapan

yang halus maknanya atau dikenal dengan eufemisme dalam pantun kepada anak-anak Bapak?

Bapak Azlan : Tidak. Paling dulu waktu anak-anak masih kecil saya sering mendengarkan pantun kepada mereka, tapi enggak pernah diajarkan secara serius.

Saya : Pak apakah ada syarat khusus untuk menjadi juru telangkai


(2)

orang yang padat ilmunya, muksudnya ilmu lahir dan batin lengkap. Selain itu, orang yang menjadi telangkai harus mempunyai pengetahuan tentang kaidah pantun, seperti pantun dua baris, empat baris, enam baris, dan seterusnya. Orang yang jadi telangkai haruslah bisa membawakan tema sesuai acara yang berlangsung, jual beli pantun dan juga seni budayanya, pokoknya banyaklah syaratnya.

Saya : Baiklah pak, sampai di sini dulu diskusi kita pak. Saya akan kembali lagi apabila ada informasi tambahan ya ng sama butuhkan. Terima kasih banyak Pak.

Bapak Azlan : ya..ya.. sama-sama. Saya senang bisa membantu, mudah- mudahan informasinya berguna.

Transkrip III

Wawacara dengan Bapak Ramli (tokoh masyarakat Kelurahan Pekan Selesai Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat Sumatera Utara) selepas sholat Ashar berjama bersama Bapak Azlan di mesjid Raya Pekan Selesai, tanggal 01 Mei 2013.

Saya : Sekarang baru giliran Bapak yang saya wawancarai ya Pak

Bapak Ramli : ia, saya siap saja.


(3)

upacara adat perkawinan yang menggunakan ungkapan sangat berlebihan, sebagai contoh kagum melihat kain terbentang. Ungkapan ini dipakai pada saat rombongan pengantin laki-laki mendapati jalan mereka dihadang oleh kain yang panjang. Maksudnya bagaimana Pak?

Bapak Ramli : Oh itu, memang kadang kala para juru bicara (telangkai) menggunakan ungkapan yang berlebihan untuk menarik perhatian juga sekaligus untuk menjaga kehalusan bahasa agar mereka dapat diterima dengan baik.

Saya : Pak selain dengan cara melebih-lebihkan apakah ada cara yang lain yang digunakan untuk memperhalus makna bahasa?

Bapak Ramli : ia, ada. Kadang-kadang dipakai ungkapan yang pakai ibarat atau perumpamaan,

Saya : Bisa beri contohnya, Pak?

Bapak Ramli : ya, contoh seperti mendapat durian runtuh, bagaikan duri dalam daging, atau dalam pantun yang berbunyi

Ayam sambung jangan di tambat Jike ditambat kalah laganye Asam di gunung ikan ditebat Dalam belange bertemu juge.

Saya : Maksudnya Pak?


(4)

perumpamaan tentang satu keadaan atau peristiwa. seperti mendapat durian runtuh, maknanya perumpaan orang yang mendapat keberuntungan dengan tidak disangka- sangka, sedangkan bagaikan duri dalam daging adalah ungkapan untuk menggambarkan kebencian terhadap orang lain yang hidupnya selalu merongrong dari dalam. Pantun pada contoh di atas mengkiaskan bahwa kalau memang jodoh dari arah asal yang berjauhan pun akan bertemu juga.

Saya : oh, begitu ya Pak. Baiklah Pak untuk saat ini saya rasa cukup dulu. Apabila nanti ada yang kurang, saya akan datang kepada Bapak-bapak, bolehkan Pak?

Bapak Ramli : Oh, ya..ya.. silakan, Dengan senang hati kami menerimanya.

Saya : Saya sangat berterima kasih kepada Bapak berdua. Saya juga minta maaf ya pak sudah menganggu dan menyita waktu Bapak. Jadi, Terima kasih sekali lagi ya.. Pak. Bapak Ramli : Oh, iya..iya.. gak masalah. Terima kasih sama-sama


(5)

Lampiran 4

Biodata informan Informan 1

Nama Lengkap : Abu samah

Umur : 56 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan Sekertaris desa

Alamat : Jl Ki Hajar Dewantara Desa Sei limbat Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat

Status : Menikah

Informan 2

Nama : M. Azlan

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Pekan Selesai kecamatan Selesai Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Status : Menikah

Informan 3

Nama : Ramli

Umur : 51 Tahun

Pekerjaan : Petani


(6)

Selesai Kabupaten Langkat

Status : Menikah

Informan 4

Nama : Faridah Hanum

Umur : 30 Tahun

Pekerjaan : Guru

Alamat : Jl Besar Batang Serangan kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat