Penerbitan Penetapan Sementara Dalam Sengketa Merek Dagang Terdaftar di Pengadilan Niaga Pasca Keluarnya Perma Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Perdagangan

internasional penting bagi negara-negara dunia karena

secara realita perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi
negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat.1 Globalisasi juga mendorong
masuknya barang/jasa dari negara lain dan membanjiri pasar domestik. Pelaku
usaha domestik kini harus berhadapan dengan pelaku usaha dari berbagai negara,
dalam suasana persaingan tidak sempurna.2
Terkait dengan upaya menghadapi pasar global yang semakin kompetitif,
diperlukan peningkatan kemampuan bersaing untuk menguasai bisnis pasar
nasional maupun internasional yang dimaksudkan dapat meningkatkan kapasitas
pelaku ekspor, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan daya saing ekspor.
Daya saing di bidang perdagangan suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas produk
barang dan jasa yang diperdagangkan secara global.

Salah satu aspek penentu kualitas produk adalah Hak Kekayaan Intelektual
(HKI)3, karena HKI diyakini akan menambah nilai produk yang diperdagangkan.
Oleh karena itu penting bagi eksportir untuk mempersiapkan produknya terkait

1

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 2.
2
Ningrum Natasya Sirait, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
(Indonesia: ROV Creative Media (Published and Printed with Support of Deutsche Gesellschaft
für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH), 2009), hlm. ix.
3
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan istilah resmi yang digunakan pembentuk
undang-undang dalam perundang-undangan Indonesia (Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum
Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 1.

1
Universitas Sumatera Utara


dengan HKI sebelum melakukan ekspor agar produknya tersebut memiliki
pelindungan hukum.4 Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah-langkah
guna meningkatkan pelindungan hukum dan pembinaan di bidang HKI.5
Sebagai upaya untuk mendorong peningkatan daya saing produk
Indonesia, Kementerian Perdagangan secara regular memberikan sosialisasi
mengenai HKI kepada masyarakat dan pelaku usaha melalui berbagai kegiatan di
pusat dan daerah sekaligus fasilitas pendaftaran HKI kepada pengusaha Indonesia.
Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seminar,
workshop, dan stand informasi HKI pada berbagai pameran di dalam negeri.6
HKI juga melindungi merek (sebagai contoh nama dan/ atau simbol yang
digunakan oleh sebuah perusahaan), yang telah dikembangkan oleh perusahaan
untuk melambangkan reputasi mereka dan menempatkannya dalam pasar.7 Suatu
merek dagang atau jasa sebagai bagian dari apa yang dinamakan HKI berperan
besar dalam dunia bisnis pada dewasa ini. HKI adalah suatu sistem yang sekarang
ini melekat pada tata kehidupan modern.8
Secara sederhana HKI adalah suatu hak yang timbul dari hasil pemikiran
yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. HKI juga bisa
diartikan sebagai hak bagi seseorang karena ia telah membuat sesuatu yang

4


Kementerian Perdagangan RI, “Hak Kekayaan Intelektual”, http://djpen.kemendag.
go.id/app_frontend/contents/99-hak-kekayaan-intelektual, 28 Mei 2013.
5
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
hlm. 25.
6
Kementerian Perdagangan RI, Laporan Akhir Tahun Kementerian Perdagangan Tahun
2011, (Jakarta: Kementerian Perdagangan RI, 2011), hlm.19.
7
Eddy Damian dkk, Hak kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni,
2003), hlm. 2.
8
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPS (Bandung: Alumni,
2005), hlm.1.

Universitas Sumatera Utara

berguna bagi orang lain.9 Secara substantif, pada hakikatnya pengertian HKI dapat
dideskripsikan sebagai hak–hak atas harta kekayaan yang merupakan produk hasil

olah pikir manusia atau kemampuan intelektual manusia. Dengan perkataan lain,
HKI adalah hak atas harta kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual
manusia. Kekayaan semacam ini bersifat pribadi.10 HKI tidak semata–mata
berkaitan dengan hukum saja melainkan erat hubungan dengan masalah
perdagangan, ekonomi dan pengembangan teknologi serta menjadi landasan usaha
untuk memajukan sosio kultural bangsa dan masyarakat pada umumnya.11
Sebagai salah satu hak yang termasuk dalam HKI, merek dagang
(trademarks) memiliki usia yang sama dengan perdagangan itu sendiri.12 Merek
telah digunakan dalam bentuk cap pada hewan sejak tahun 5000 SM. Oleh rajaraja Mesir, merek telah digunakan sebagai lambang kerajaan, cap dari
perdagangan budak-budak belian

dan juga merek dagang. Bangsa Romawi

kemudian mengikuti penggunaan tanda tersebut.13 Sebuah merek dapat menjadi
kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan seringkali merek-lah yang
membuat harga suatu produk menjadi mahal bahkan lebih bernilai dibandingkan
dengan perusahaan tersebut.14

9


Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HKI Hak Kekayaan Intelektual Hak
Cipta, Paten, Merek dan Seluk beluknya (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 2.
10
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 34.
11
Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1984), hlm. 10.
12
Erman Rajagukguk dalam “Kata Pengantar” pada disertasi H.D. Effendi Hasibuan,
Pelindungan Merek: Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat,
(Jakarta: Program Pacsasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. xi.
13
Frank H. Foster dan Robert L. Shook, Patents, Copyrights and Trademarks: The Total
Guide to Protecting The Rights to Your Invention, Product, or Trademark. Now Better Than Ever,
Second Ed., (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1993), hlm. 19.
14
Eddy Damian dkk, Op. Cit., hlm. 131.

Universitas Sumatera Utara


Pengakuan atau syarat timbulnya hak atas merek bagi pemilik merek
menurut sistem konstitutif adalah mendaftarkan mereknya pada Direktorat
Jenderal HKI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek. Dengan demikian pendaftaran merek sekaligus menjadi faktor
penting dalam rangka pelindungan hukum yaitu tahap awal suatu pelindungan
yang bersifat preventif dan dasar berpijak yang kuat bagi upaya pelindungan
merek selanjutnya. Pada prinsipnya menurut Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek, permohonan pendaftaran merek tidak dapat diajukan oleh
pemohon yang beritikad tidak baik dan selanjutnya Pasal 6 ayat (1) UU No. 15
Tahun 2001 Tentang Merek berpegang pada prinsip bahwa merek boleh
didaftarkan sama dengan merek orang lain asalkan tidak untuk barang dan/jasa
yang sejenis. Prinsip ini banyak dianut oleh negara-negara di dunia sebagai
prinsip yang bersifat universal.15
Fungsi utama dari sebuah merek adalah agar konsumen dapat mencirikan
suatu produk (baik itu barang maupun jasa) yang dimiliki oleh perusahaan
sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau yang
mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Konsumen yang merasa puas dengan suatu
produk tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa
yang akan datang. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pemakai harus mampu
15


Tomi Suryo Utomo, Pelindungan Merek di Jaringan Internet: Perspektif UU Merek
Indonesia (makalah), (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Janabadra, 2000), hlm. 10.
Pengecualian terhadap prinsip yang terkandung dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek diberlakukan bagi merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terkenal meskipun barang atau jasanya tidak sejenis dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana. Hal
tersebut mengandung arti bahwa meskipun barang atau jasa tidak sejenis, penggunaan merek yang
mirip atau sama dengan sebuah merek terkenal dapat mengurangi reputasi dari merek terkenal
tersebut tetapi peraturan pelaksanaannya sampai saat ini belum ada.

Universitas Sumatera Utara

membedakan dengan mudah antara produk yang asli dengan produk-produk yang
identik atau yang mirip.16
Terhadap suatu produk yang mempunyai merek dan telah berhasil
menembus pasar dengan sukses, biasanya perusahaan pesaing akan mencoba
untuk membuat copy produk sejenis, baik dengan cara mengubah nama yang
sedikit berbeda atau kemasan yang tidak jauh berbeda dengan aslinya. Perbuatan
yang dilakukan oleh perusahaan pesaing ini dimaksudkan untuk menembus pasar.

Dasar pertimbangannya, jika perusahaan ingin membuat produk yang sama
dengan yang sebelumnya telah beredar di masyarakat, meski dengan kualitas
produk yang sama prima, namun bila dilakukan dengan menggunakan bentuk
baru, masyarakat konsumen sama sekali belum mengenalnya.
Masalah mengenai merek di Indonesia semakin marak antara lain, praktik
peniruan merek yang berupa upaya-upaya menggunakan merek yang sudah ada
sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama
dengan merek atau jasa yang sudah ada untuk menimbulkan kesan seakan-akan
barang yang diproduksinya tersebut adalah produk yang sudah ada tersebut.
Masalah lainnya adalah praktik pemalsuan merek dalam hal persaingan tidak
jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara
memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal
secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya, selain itu masalah
lainnya adalah perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan
dengan sifat dan asal-usul merek, hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah
16

OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,
2004), hlm. 359.


Universitas Sumatera Utara

suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada
suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu.17
Maraknya pelanggaran merek mengakibatkan kerugian negara di sektor
perekonomian dan perdagangan, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Sejak berdirinya Direktorat Penyidikan pada Direktorat Jenderal HKI, pada bulan
Maret 2011 hingga bulan September 2012, Direktorat Penyidikan telah menerima
pengaduan mengenai pelanggaran merek sebanyak 55 kasus.18 Pelanggaran dan
pemalsuan merek sudah semakin membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa
manusia serta lingkungan hidup. Misalnya pelanggaran merek di bidang obatobatan, oli dan pelumas, suku cadang, kosmetik serta pupuk tanaman yang terjadi
sangat merugikan kesehatan dan membahayakan keselamatan jiwa manusia serta
lingkungan hidup. Dalam laporan temuan BPOM, jenis obat palsu19 di tahun 2012
dengan temuan enam jenis obat palsu. Lalu kemudian naik drastis hingga 13 jenis
di 2013 dan tahun 2014 BPOM menemukan 14 jenis obat palsu beredar di
masyarakat.20
Upaya-upaya penegakan hukum yang terkoordinasi sangat penting dan
dengan telah dibentuknya Tim

Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak


17

Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenal Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) di Indonesia, Makalah, Jakarta, 1990, hlm. 16.
18
Laporan dari Drs. Mohammad Adri, SH, Direktur Direktorat Penyidikan, Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Lihat juga Fathlurachman “Penegakan Hukum di Bidang Hak
Kekayaan Intelektual.” Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.1., Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, Direktorat Penyidikan, Seminar Nasional Pelindungan dan Penegakan
Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, 5 Desember 2011, hlm. 25.
19
Menurut PerMenkes No. 949/MENKES/PER/VI/2000 yang di sebut obat palsu adalah
obat yang tidak diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah
memiliki izin edar.
20
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150603184332-255-57475/kasus-obatpalsu-di-indonesia-kembali-tumbuh/, diakses tanggal 08 Oktober 2015, lihat juga http://www.
pom.go.id/ new/index.php/ browse/ laporan_tahunan/27-07-2006/27-07-2016/1.


Universitas Sumatera Utara

Kekayaan Intelektual (TimNas PPHKI)21 di bawah pimpinan Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, diharapkan pelanggaran terhadap HKI
semakin berkurang. Adapun latar belakang pembentukan Tim Nasional
Penanggulangan Pelanggaran HKI, yaitu: pembajakan HKI di Indonesia sudah
pada tingkat yang membahayakan terhadap perekonomian dan perdagangan
nasional maupun internasional, penegakan hukum di bidang HKI membutuhkan
koordinasi antar aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam merumuskan
dan menetapkan kebijakan strategis. Ketentuan-ketentuan tentang upaya
bagaimana mencegah barang-barang tiruan merupakan hal penting sehubungan
dengan penegakan hukum di bidang Merek.
Ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 88 UU No.15 Tahun 2001
Tentang Merek menyebutkan berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya
dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan Surat
Penetapan Sementara tentang pencegahan masuknya produk yang berkaitan
dengan pelanggaran merek dan penyimpanan bukti yang berkaitan dengan
pelanggaran merek. Ketentuan merek sebagaimana tersebut di atas hanya
mensyaratkan permohonan penetapan sementara secara tertulis harus disertai
bukti kepemilikan merek, bukti awal adanya petunjuk awal yang kuat atas
terjadinya pelanggaran merek, keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau
dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan
pembuktian. Selain itu, di syaratkan pula adanya kekhawatiran bahwa pihak yang
21

Pembentukan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01H1.01.05 Tahun 2008 tentang Sekretariat Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual.

Universitas Sumatera Utara

diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat dengan mudah menghilangkan
barang bukti. Pemohon juga diwajibkan untuk membayar uang jaminan berupa
uang tunai atau jaminan bank. Namun demikian, bagaimana cara mengajukan
permohonan Penetapan Sementara tersebut tidak jelas disebutkan.22
Pada tanggal 30 Juli 2012, Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 (dua)
Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) yaitu PERMA Nomor 4 Tahun 2012
tentang Perintah Penangguhan Sementara dan PERMA Nomor 5 Tahun 2012
tentang Penetapan Sementara. Kedua PERMA ini terbit

karena banyaknya

pelanggaran terhadap HKI salah satunya hak merek. Sudah seharusnya MA
mengeluarkan peraturan terkait dengan hukum acara mengenai penetapan
sementara ini, apalagi sebenarnya ketentuan penetapan sementara sudah ada
dalam UU merek sejak 2001. Dengan adanya penetapan sementara itu, seharusnya
penanganan pelanggaran merek di Tanah Air akan lebih efektif dan efisien, serta
lebih diarahkan pada penyelesaian secara perdata.
Terkait dengan PERMA tersebut di atas, berdasarkan UU No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam

22

Kenny Wiston,”Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Untuk Pelanggaran HKI”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13441/penetapan-sementara-pengadilan-niaga-untukpelanggaran-hki.

Universitas Sumatera Utara

Peraturan Perundang-undangan.23 Dari pengertian tersebut secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi.24
Penelitian ini ingin mencarikan jawaban mengenai penetapan sementara di
pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 5 Tahun 2012. Sebagaimana diketahui
bahwa PERMA diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai suatu badan
tertentu. MA menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan
landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim
di pengadilan tingkat pertama.25
Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 menyebutkan apa
saja yang termasuk sebagai peraturan perundang-undangan, jenis dan hirarkinya
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat:
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang:
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Untuk melihat kedudukan PERMA yang diterbitkan Mahkamah Agung,
perlulah dicermati ketentuan Pasal 8 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011 yang
menyebutkan; ;
“Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang.
23

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97.
25
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm . 233.
24

Universitas Sumatera Utara

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota. Kepala Desa atau yang setingkat".

Apabila dilihat sekilas bunyi penjelasan tersebut dan dikaitkan dengan
Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, seakan-akan kedudukan Peraturan MPR,
Mahkamah Agung dan organ negara lainnya secara hierarkis berada di bawah
Peraturan Daerah. Akan tetapi apabila dicermati bunyi ketentuan Pasal 8 ayat (1)
akan terlihat bahwa peraturan yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih
rendah dari Peraturan Daerah. Hal itu bergantung kepada diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tersebut,
maka PERMA diakui keberadaannya sebagai jenis peraturan perundangundangan. Keberadaan PERMA sebagai jenis dari peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan Mahkamah Agung diakui keberadannya dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperlukan oleh undang-undang yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Hukum acara yang kodratnya selalu mengabdi kepada hukum materil,
seharusnya mengikuti sifat, perkembangan, keunikan, dan keanekaragaman hukum
materil untuk menjaga keseimbangan keadilan hukum yang dipikul oleh SEMA dan
PERMA. Dalam konteks ini keberadaan kedua lembaga tersebut pada praktik hukum
acara perdata di Indonesia memiliki peran yang urgen bagi hakim di seluruh
Indonesia sebagai pembaruan pedoman untuk menjalankan tugas pokok peradilan.26

26

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Ke Arah Pembaruan Hukum Acara Perdata Dalam
SEMA Dan PERMA, Cet. I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. vi.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 4 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
merumuskan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan. Lebih tegas lagi diatur dalam Pasal 2 Ayat (4)
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu berupa Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Banyaknya kritik yang muncul terhadap lembaga peradilan bukan
merupakan gejala yang tumbuh di Indonesia saja, melainkan terjadi di seluruh
dunia. Pada negara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan masyarakat
pencari keadilan, terutama dari kalangan ekonomi jauh lebih gencar. Kalangan
ekonomi Amerika menuduh bahwa hancurnya perkenomian nasional diakibatkan
oleh mahalnya biaya peradilan.27 Dengan berbagai kelemahan yang melekat pada
sistem peradilan formal itu sendiri, telah menyebabkan masyarakat pencari
keadilan semakin menghindar dari penyelesaian sengketa melalui pengadilan (dari
litigasi ke non-litigasi), kondisi ini tidak hanya melanda pengadilan di Indonesia
saja, tetapi melanda hampir seluruh negara didunia, baik negara-negara Barat
maupun Timur.28
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan nasional suatu negara secara
umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan
perkara bisa terjadi dalam praktek. Penangguhan bisa terjadi karena berbagai
sebab. Belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang telah ada yang
27

Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif,
(Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 3.
28
Runtung, “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Studi
Mengenai Masyarakat Karo di Kabanjahe dan Berastagi)”, Disertasi, (Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002), hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

harus diselesaikan).29 Hal ini berarti tertunda-tundanya putusan30 yang hendak
dikeluarkan. Dengan dikeluarkannya putusan pun, bukan berarti putusannya final
dan mengikat, karena umumnya sistem hukum nasional umumnya memberi pintu
kepada para pihak untuk mengajukan banding.

Sifat lama untuk keluarnya

putusan tidak kondusif bagi para pengusaha atau pedagang. Di mata mereka,
waktu sangatlah penting. Berlambat-lambat dalam usaha berarti kerugian secara
finansial, terutama apabila mereka memiliki kewajiban finansial kepada pihak
debitor (bank atau lembaga keuangan lainnya).31 Hal tersebut dapat dimaklumi
karena masyarakat menginginkan agar lembaga peradilan dapat memberikan
keadilan kepada masyarakat.32
Kondisi Indonesia yang sebagian besar masih memakai hukum kolonial,
diperlukan keseriusan di dalam pembentukan hukum.33

Pilihan terhadap

kebijakan dan keputusan administrasi tentu dipengaruhi budaya, perilaku, serta
nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat suatu negara.34

Para ahli sudah

sepakat bahwa elemen-elemen yang membentuk isi hukum nasional adalah hukum
29

R. Soebekti, Arbitrase Perdagangan (Bandung: Binacipta, 1981), hlm. 4.
Menurut Sudikno Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak (Sudino
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 174). Putusan
hakim harus memuat pertimbangan hukum yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang
tepat dan benar (Firdaus Syafaat, Misbruik Van Omstandigheden Dalam Perjanjian, (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm 151.
31
Huala Adolf, Dasar - dasar, Prinsip dan Filosofi Arbitrase (Bandung: Keni Media,
2013), hlm. 32.
32
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2006), hlm. 180.
33
Suhaidi, Makalah Kuliah Umum Penegakan Hukum dalam Melindungi Kepentingan
Masyarakat dengan Melihat Nilai – nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam
Masyarakat (Makalah disampaikan pada kuliah umum di Universitas Islam Tamiang), Kuala
Simpang, Aceh, 04 Maret 2013.
34
Ningrum Natasya Sirait, Indonesia dalam menghadapi Persaingan Internasional,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang hukum Internasional, (Medan: USU, 2
September 2006), hlm.1-2.
30

Universitas Sumatera Utara

adat, hukum Islam, hukum Eropa Continental dan hukum Anglo Saxon.35 Sistem
hukum Indonesia dibangun dengan pilihan paradigma yang disebut dengan ”The
Personality Law” yaitu membangun sistem hukum berdasarkan kepribadian
Bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma yang
berasal dari kultur masyarakat Indonesia dengan tetap menyesuaikan diri dengan
dinamika dunia luar.36
Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The Word Trade
Organization (WTO Agreement) pada tangal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko
yang selanjutnya disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
Tentang Pengesahan Agreement Establishing The Word Trade Organization
(WTO Agreement) pada tanggal 2 Nopember 1994, yang memuat Lampiran
Agreement On Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights (perjanjian
TRIPS). Tujuan Perjanjian TRIPS adalah untuk memberikan pelindungan HKI.
Perjanjian TRIPS mengatur norma-norma standar yang berlaku secara
internasional tentang HKI dan obyek HKI secara luas,37 yaitu Hak Cipta dan Hak
Terkait (Copyright and Related Rights), Merek (Trademarks), Indikasi Geografi
(Geographical Indications), Desain Industri (Industrial Designs), Paten (Patents),
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout-Designs (Topographies) of Integrated

35

Tan Kamelo, Problematika Penegakan Hukum Islam di Aceh Ditinjau dari Hukum
Nasional, (makalah disampaikan dalam seminar Internasional di Universitas Islam Tamiang),
Kuala Simpang, Aceh, 23 Desember 2012.
36
Tan Kamello, “Memperkenalkan Model Sistem Pembangunan Hukum Di Indonesia”,
dalam Pemikiran Guru Besar USU Dalam Pembangunan nasional, Dewan Guru Besar USU,
(Medan : USU Press, 2012), hlm. 95-96
37
Lihat Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS
Agreement) (i). The Agreement constitutes Annex IC of the Marrakesh Agreement Establishing the
World Trade Organization (hereinafter referred to as the ‘WTO Agreement”, which was
concluded on April 15, 1994, and entered into force on January 1, 1995. The TRIPS Agreement
binds all Members of the WTO (Lihat Pasal II.2 Perjanjian WTO).

Universitas Sumatera Utara

Circuits), Rahasia Dagang (Protection of Undisclosed Information) dan Larangan
Praktek Persaingan Curang dan Perjanjian Lisensi (Control of Anti-Competitive
Practices in Contractual Licenses). HKI adalah hak eksklusif yang diberikan
sebagai hasil yang diperoleh dari kegiatan intelektual manusia dan sebagai tanda
yang digunakan dalam kegiatan bisnis, termasuk ke dalam hak berwujud yang
memiliki nilai ekonomis.
Dengan menjadi negara pihak dalam WTO Agreement, Indonesia juga
sekaligus merupakan negara pihak Perjanjian TRIPS. Dengan menjadi negara
pihak Perjanjian TRIPS, Indonesia terikat oleh kaidah-kaidah hukum dalam
Perjanjian TRIPS. Sebagai bagian dari usaha untuk mengimplementasikan secara
efektif kewajiban-kewajiban internasionalnya yang lahir dari Perjanjian TRIPS,
Indonesia telah melakukan langkah-langkah hukum cukup berarti, diantaranya
yaitu melakukan perubahan-perubahan terhadap produk-produk aturan hukum
yang ada yang mengatur tentang merek. Ini dilakukan dalam rangka harmonisasi
supaya aturan hukum nasional Indonesia tentang merek juga selaras dengan asasasas dan kaidah-kaidah dalam Perjanjian TRIPS. Isu harmonisasi lahir, supaya
Indonesia dapat mengimplementasikan secara efektif kewajiban-kewajiban
internasionalnya di bidang merek.38
Dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan
Persetujuan TRIPS, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi
konvensi atau traktat-traktat internasional di bidang merek, yaitu:

38

Titon Slamet Kurnia, Pelindungan Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPS, (Bandung: PT. Alumni, 2011), hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

1.

The Paris Convention for the Protection of Industrial Property and
Convention Establishing the World Intellectual Property Organization39;

2.

The Trademark Law Treaty40

Ratifikasi beberapa konvensi internasional di bidang merek merupakan kesadaran
Indonesia untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia. Ratifikasi tersebut
diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan perdagangan secara
khusus dan perekonomian nasional pada umumnya, karena penerapan sistem
merek tidak hanya mendasarkan pada kepentingan hukum semata, tetapi juga
kepentingan ekonomi nasional.
Dalam rangka upaya harmonisasi tersebut, yang secara khusus mengalami
perkembangan cukup signifikan dalam hal legislasi ialah pengaturan tentang
merek. Indonesia telah beberapa kali mengubah aturan hukumnya tentang merek.
Secara kronologis produk undang-undang tentang merek yang dimiliki Indonesia
yaitu: UU No. 21 Tahun 1961, UU No. 19 Tahun 1992, UU No. 14 Tahun 1997;
dan terakhir UU No. 15 Tahun 2001. Perubahan yang secara khusus dimaksudkan
untuk menjawab isu harmonisasi dalam rangka keikutsertaan dalam Perjanjian
TRIPS yaitu UU No. 14 Tahun 1997 dan UU No. 15 Tahun 2001.
Penetapan Sementara Pengadilan Niaga merupakan hal yang baru dalam
sistem hukum merek Indonesia. Berdasarkan Pasal 85 UU Nomor 15 tahun 2001
Tentang Merek,36

yang memuat ketentuan Penetapan Sementara disebutkan

39

Diratifikasi pada tanggal 7 Mei 1997 dengan Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun

40

Diratifikasi pada tanggal 7 Mei 1997 dengan Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun

36

Republik Indonesia, UU Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek, pasal 85.

1997.
1997.

Universitas Sumatera Utara

bahwa Penetapan Sementara ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang
lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar. Untuk keperluan ini Pengadilan
Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna
mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar
merek.
Mahkamah Agung Rl mengeluarkan PERMA Nomor 5 Tahun 2012
tentang Penetapan Sementara. Latar belakang dikeluarkannya PERMA tersebut
karena UU tentang HKI khususnya merek belum mengatur dengan jelas dan rinci
tentang syarat-syarat dan proses pengajuan Permohonan Penetapan Sementara di
Pengadilan Niaga.
Cetak Biru Pengadilan Niaga pada tahun 1998 telah menggarisbawahi
bahwa pengembangan Pengadilan Niaga akan difokuskan pada masalah-masalah
hukum perniagaan. Mekanisme perluasan kewenangan dengan memakai undang undang telah digunakan ketika masalah-masalah HKI masuk ke dalam yurisdiksi
Pengadilan Niaga. Hal ini terwujud dengan diundangkannya paket UndangUndang HKI yang terdiri dari UU No. 31 Tahun 2000 mengenai Desain Industri,
dan UU No. 32 Tahun 2000 mengenai Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang
mengalokasikan sebagian proses beracara kepada Pengadilan Niaga. Sebelumnya,
masalah paten, merek dan hak cipta juga diurus Pengadilan Negeri. Namun UU
No. 13 Tahun 2016 mengenai Paten dan UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek,
serta UU No. 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa HKI dilakukan oleh Pengadilan Niaga.

Universitas Sumatera Utara

Dalam pengembangan kompetensi Pengadilan Niaga selanjutnya, dibahas
pula mengenai kewenangan Pengadilan Niaga. Terkait dengan Pengadilan Niaga
sebagai lembaga pemutus perkara yang berhubungan dengan hukum perniagaan,
yaitu bahwa Pengadilan Niaga dapat memutus dalam jangka waktu tertentu.
Jangka waktu pemeriksaan perkara yang masuk ke dalam perluasan kewenangan
Pengadilan Niaga, diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan.
Akibat dari adanya jangka waktu yang ditentukan, maka penanganan perkaranya
dituntut harus lebih sistematis. Hukum Acara yang digunakan oleh Pengadilan
Niaga selain Hukum Acara Perdata yang biasa digunakan di Pengadilan Negeri,
dalam hal-hal tertentu digunakan Hukum Acara Khusus.
Dalam sengketa merek di Pengadilan Niaga digunakan Hukum Acara
Khusus, berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001. Penyelesaian sengketa merek
berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2001 tenggang waktu pemeriksaan perkara
dibatasi mulai dari Pengadilan Niaga sampai dengan Pengadilan Tingkat kasasi di
Mahkamah Agung.
Praktik pelanggaran merek di Indonesia masih sering terjadi, karena masih
rendahnya kesadaran hukum dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
merek, serta masih minimnya tingkat kepedulian masyarakat tentang pentingnya
pendaftaran merek, sehingga pemilik merek tidak sering mengindahkan terhadap
merek yang telah di buatnya sebagai icon dalam memasarkan barang/atau jasanya.
Dalam rangka enforcement of intellectual property rights Pasal 50 (1)
TRIPS menetapkan tentang kewenangan badan peradilan negara anggota untuk
mengeluarkan suatu provisional measures yang bersifat segera dan efektif (to

Universitas Sumatera Utara

order prompt and effective provisional measures) yang terdiri dari tindakantindakan berupa pencegahan informasi produk-produk bermuatan kekayaan
intelektual ke dalam jalur perdagangan diwilayah negara anggota dan
mengamankan bukti-bukti yang berhubungan dengan HKI yang dilanggar .41
Penetapan Sementara adalah istilah provisional measures dari Pasal 50 (1)
TRlPS. Penetapan Sementara Pengadilan adalah suatu bentuk upaya hukum yang
bersifat

sementara

yang

dapat

dimohonkan

dalam

suatu

perselisihan/

permasalahan mengenai HKI (khusus terhadap desain industry, paten, merek dan
hak cipta) oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dengan tujuan untuk
mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar.42
Dalam konteks merek, adanya pelindungan hukum atas merek terdaftar
bagi pemilik merek selama 10 tahun yang diatur dalam Pasal 28 UU No. 15
Tahun 2001 Tentang Merek, bahwa merek terdaftar mendapat pelindungan hukum
untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka
waktu pelindungan itu dapat diperpanjang merupakan bentuk insentif yang
diberikan oleh pemerintah. Pemilik merek memiliki hak untuk memberikan lisensi
atau ijin kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya dengan ketentuan dan
syarat-syarat tertentu sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian lisensi,
sehingga pemilik merek dapat menikmati manfaat ekonomi berupa royalti.
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2001
dirasakan masih belum membuat pelaku pelanggaran jera dalam melakukan

41

Marni Emmy Mustafa, Prinsip – prinsip Beracara dalam Penegakan Hukum Paten di
Indonesia dikaitkan dengan TRIPS-WTO,(Bandung; PT. Alumni, 2007), hlm. 144.
42
Djamal, Penetapan Sementara Pengadilan (Pada Hak Kekayaan Intelektual),
(Bandung; Pustaka Reka Cipta, 2008), hlm. 135.

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran atau pemalsuan merek yang membahayakan kesehatan dan
keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup. Dengan maraknya pelanggaran
dan pemalsuan merek yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa
manusia serta lingkungan hidup, misalnya pelanggaran merek di bidang obatobatan, oli dan pelumas, suku cadang, kosmetik serta pupuk tanaman yang sangat
merugikan, maka ketentuan mengenai sanksi pidana baik hukuman denda maupun
hukuman badan yang diberlakukan terhadap pihak pelanggar yang diatur dalam
UU No. 15 Tahun 2001 harus diperbarui lagi.
Penetapan Sementara Pengadilan Niaga merupakan hal yang baru dalam
sistem hukum Indonesia. Suatu Penetapan Sementara Pengadilan Niaga yang telah
ditentukan sebagaimana diatur oleh UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan
PERMA No. 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara

tetapi

sampai

sekarang kenapa belum tidak dipergunakan dalam sengketa merek terdaftar.
sehingga menarik untuk diteliti dan dianalisis yang selanjutnya disusun dalam
bentuk disertasi.

B.

Identifikasi Masalah
Dalam mengindentifikasi43 permasalahan hukum dalam penelitian ini

sesuai dengan latar belakang masalah, perlu dipertanyakan hal apa yang akan
menjadi pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut sehingga ditemukan
suatu pemecahan terhadap beberapa masalah yang telah diidentifikasikan tersebut.

43

Mengidentifikasi berarti mengenal, menemukan, atau menampilkan hal yang spesifik
yang diangkat dari materi yang masih mengandung sifat umum. Adapun yang menjadi titik
tolaknya adalah tema sentral masalah yang dikemukakan dalam latar belakang masalah. Didi
Atmadilaga, Buku Pintar Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Buku Pertama,(Bandung:
Pionir Jaya, tanpa tahun), hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

Melakukan identifikasi masalah yang dikemukakan itu harus diselaraskan dengan
karakter atau model penelitian, atau dengan hakikat dari persoalan yang dikaji.44
Pokok permasalahan yang akan diteliti terkait adalah sebagai berikut:
1.

Faktor – faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya sengketa merek
dagang terdaftar di Indonesia?

2.

Bagaimana penerbitan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga pasca
keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara?

3.

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan penerbitan Penetapan
Sementara dalam sengketa merek dagang terdaftar di Pengadilan Niaga?

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya
sengketa merek dagang terdaftar di Indonesia.
2. Menganalisis penerbitan Penetapan Sementara di Pengadilan Niaga pasca
keluarnya PERMA Nomor 5 tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penerbitan
Penetapan Sementara dalam sengketa merek dagang terdaftar di
Pengadilan Niaga.

44

Yang dimaksud dengan hakikat yang dikaji dalam penelitian ini adalah diselaraskan
dengan upaya-upaya yang harus dipenuhi untuk mencari dan menemukan sesuatu yang benar
dalam konteks mencari suatu ilmu, dengan menggunakan acuan yang runut yaitu dari sudut
ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ontologi, dimaksudkan adalah hakikat apa yang dikaji.
Epistimologi, cara mendapatkan pengetahuan yang benar, dan aksiologi, adalah nilai kegunaan
ilmu. Lihat Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian (Jakarta : PT. Sofmedia, 2012), hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

D.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan adanya dua macam manfaat yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum dengan memakai hasil penelitian ini
sebagai kerangka dasar penelitian lebih lanjut terutama untuk menentukan
arah pembentukan undang – undang merek dan hukum acara di Pengadilan
Niaga. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah
kepustakaan yang dirasakan masih minim di Indonesia secara umum dan
Sumatera Utara secara khusus serta dapat diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi penelitian dalam bidang hukum merek dan hukum acara
untuk selanjutnya.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
praktisi HKI khususnya bidang hukum merek sehingga dapat memperbaiki
sistem hukum yang telah ada guna lebih memberikan pelindungan hukum
terhadap pemilik merek terdaftar. Bagi hakim penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai paradigma berfikir guna mengambil langkah
praktis dalam rangka penerapan hukum.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan inventarisasi kepustakaan yang telah dilakukan di berbagai

kepustakaan pada program doktor (S-3), maka penelitian yang berkaitan pernah
dilakukan;

Universitas Sumatera Utara

1. Disertasi Hatta Ali (2011), dengan judul “Asas Peradilan Sederhana,
Cepat dan Biaya Ringan dihubungkan dengan Keadilan Restoratif dalam
Lingkup Peradilan Umum di Indonesia”, Universitas Padjadjaran
(UNPAD)- Bandung;
2. Disertasi Djamal (2008), dengan judul “Penetapan Sementara Pengadilan
(pada Hak Kekayaan Intelektual) dan asas mendengar kedua belah pihak
(Audi Et Alteram Partem) dalam kerangka Sistem Peradilan Umum di
Indonesia”, Universitas Katholik Parahyangan (UNPAR)- Bandung;
3. Disertasi HJ. Marni Emmy Mustafa (2006), dengan judul “Prinsip –
prinsip beracara dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia dikatkan
dengan TRIPS-WTO”, Universitas Padjadjaran (UNPAD)- Bandung;
4. Disertasi Mohammad Saleh (2006), dengan judul “Kajian Atas Eksekusi
Putusan Perkara Perdata Dihubungkan Dengan Asas Peradilan
Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Sebagai Upaya Pembangunan

Negara Hukum”, Universitas Padjadjaran (UNPAD)- Bandung;
5. Disertasi Effendi Hasibuan (2003), dengan judul “Pelindungan Merek
dagang (trademark) terhadap persaingan curang; studi perbandingan
putusan pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat”, Universitas
Indonesia (UI)- Jakarta;
Semua karya diatas dapat digunakan sebagai referensi dan sebagai bahan
studi perbandingan guna menemukan sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi
pembangunan ilmu hukum dan pembangunan hukum di Indonesia. Sehingga

Universitas Sumatera Utara

keaslian penelitian disertasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
terbuka untuk dikritisi secara konstruktif.

F.

Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori45 merupakan pendukung dalam membangun atau berupa

penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori merupakan
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu sengketa atau
permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis.46
Kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dengan
menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil
penelitian yang terdahulu.47
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.48 Teori merupakan suatu generalisasi yang
dicapai, setelah mengadakan pengujian, dan hasilnya menyangkut ruang lingkup

45

Fungsi kerangka teori. Pertama, kerangka teori menguraikan variabel-variabel yang
diperhitungkan atau yang dijadikan sebagai objek yang diusulkan dalam suatu penelitian dan
darinya memberi hasil bagi pemecahan masalah. Kedua, memberikan batasan-batasan kepada
penyelidikan yang diajukan dengan menyarankan variabel-variabel mana yang harus dipandang
sebagai tidak relevan dan karena itu harus diabaikan. Ketiga, kerangka teori merupakan struktur
yang memberikan arti kepada hasil-hasil penelitian. Bagaimanapun juga arti hasil-hasil penelitian
yang diperoleh melalui analisis data adalah dengan mengacu kepada kerangka teori. Keempat,
kerangka teori memberikan premis-premis dari mana peneliti dapat mendeduksikan obyektifobjektif penelitian. Lihat dalam Uber Silalahi, Metode dan Metodologi Penelitian (Bandung : Bina
Budaya, 1999), hlm. 69.
46
M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm.
80.
47
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19.
48
Kerlinger, Foundations of Behavioral Research, 2nd Edition, (New York : MacMillan,
1971), hlm.9 sebagaimana dikutip dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian
Survai, (Jakarta : LP3ES, 1989), hlm. 37.

Universitas Sumatera Utara

fakta yang sangat luas. Kadang orang mengatakan teori merupakan "an elaborate
hypotesis", suatu hukum akan terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan telah
diterima dalam kalangan ilmuwan, sebagai suatu yang benar dalam keadaankeadaan tertentu.49 Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan
dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.50 Teori akan memberikan
sebuah sarana penjelasan yang bermanfaat dan akan membantu untuk
memperbandingkan teori-teori itu dan menilai manfaat teori-teori tersebut.51
Untuk mendukung penelitian ini, penulis akan mencoba untuk
menggunakan teori sebagai pisau analisa, dimana teori tersebut ditujukan untuk
lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau
diuji kebenarannya yang akan dikaitkan dengan permasalah yang diangkat.52
Ada beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut:

F.1.1. Grand Theory
Teori filsafat sebagai fundamental teori hukum dari disertasi ini adalah
“Azas Keadilan dan Kepastian Hukum” yang mendasari dalam suatu penyelesaian
hukum terhadap sengketa merek termasuk dengan penerbitan Penetapan
Sementara Pengadilan Niaga. Kepastian hukum maksudnya adalah hukum

49

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm. 126.
Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching
Order Finding Disorder) (Semarang : Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap
Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 15 Desember 2000), hlm. 8.
51
Tom Campbell, Seven Theories of Human Society, diterjemahkan oleh F. Budi
Hardiman, (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hlm. 29.
52
Ibid.
50

Universitas Sumatera Utara

dijalankan sesuai das sollen atau keinginan dan tujuan bersama. Radbruch
menyatakan tentang kepastian hukum guna mewujudkan legal order sebagai:
“The existence of a legal orders is more important than it’s justice and
expediency, which constitute the second great task of the law, while the first,
equally approved by all, is legal certaintly, that is order or peace”. (Eksistensi
suatu legal order adalah lebih penting daripada keadilan dan kelayakan itu sendiri,
yang menetapkan tugas besar kedua dari hukum, sementara yang pertama samasama diakui oleh seluruhnya adalah kepastian hukum, yakni ketertiban atau
ketentraman).53
Selanjutnya Radbruch menyatakan bahwa:
“Legal certaintly not only requires the validity of legal rules laid down by power,
it also makes demands on their contents, it demands that the law be capable of
being administered with certaintly, that it be practicable.” (Kepastian hukum
tidak hanya mensyaratkan keabsahan peraturan hukum yang dibuat melalui
kekuasaan, melainkan juga menuntut pada seluruh isinya, dapat di administrasikan
dengan pasti sehingga dapat dilaksanakan).54
Kepastian hukum memerlukan hukum positif yang ditetapkan melalui
kekuasaan Pemerintah dan aparatnya, untuk selanjutnya dilaksanakan sesuai
isinya. Keadilan dan kepastian hukum menjadi dasar dan tujuan akhir bagi
Pengadilan dalam memutus suatu perkara Merek. Pengadilan merupakan instansi
terakhir bagi para pihak yang bersengketa untuk memecahkan masalah hukum
yang mereka hadapi, kecuali bagi para pihak yang menyerahkan sengketa/konflik
mereka kepada badan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ataupun melalui
Lembaga Arbitrase.
Keadilan dan kepastian hukum menjadi recht idee dalam penyelesaian
hukum terhadap sengketa merek. Keseimbangan kepentingan antara para pihak
53

Lihat Radbruch, “Legal Philosophy” dalam Wilk, Kurt, The Legal Philosophies of
Lask, Radbruch and Dabin, Harvard University Press, USA, 1950-dikutip dalam Endang
Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights Kajian Hukum Terhadap Hak
atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, (Jakarta; Ghalia Indonesia,
2005), hlm. 206.
54
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dapat dicapai melalui penentuan scope of claims (ruang lingkup pengadilan)
secara seimbang pula, yang dilalukan oleh Hakim dalam Pengadilan. Radbruch
menilai sebagai:
“By justice we would test whether a precept is cast in the form of law at all,
whether it may at all be brought within the concept of law; by expediency we
would determine whether it’s contents are rights; and by legal certainty it affords
we would judge whether to ascribe to it validity.” (Dengan keadilan kita bisa
menguji apakah suatu ajaran ataupun aturan adalah masuk kedalam bentuk hukum
seluruhnya, apakah mungkin keseluruhannya tercakup dalam concept of laws;
dengan kelayakan kita dapat menentukan apakah keseluruhan isinya adalah benar
dan dengan kepastian hukum membuka kita untuk menilai dan menganggap ke
absahannya).55
Dengan kata lain berdasarkan keputusan pengadilan serta pendapat
ataupun ajaran hukum, maka azas keadilan dan kepastian hukum harus mendasari
setiap penyelesaian hukum sengketa merek termasuk penerbitan Penetapan
Sementara Pengadilan Niaga.

F.1.2. Middle range Theory
Pada tataran Middle range Theory digunakan teori “sistem hukum” yang
dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang menyatakan hukum mencakup
komponen yang terdiri dari:
1.

Struktur Hukum (Legal Structure) yaitu bagian-bagian yang bergerak di
dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam
sistem. Struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional
(birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan
Undang-undang. Struktur hukum adalah bagian-bagian yang bergerak di

55

Ibid, hlm. 206-207.

Universitas Sumatera Utara

dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam
sistem, misalnya lembaga-lembaga dan institusi ekonomi, pemerintahan,
pengadilan, kejaksaan dan lain-lain.
2.

Substansi Hukum (Legal substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh
sistem hukum. Substansi hukum sebagai suatu aspek dari sistem hukum,
merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku
masyarakat dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah
bagaimana apresiasi masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang
berlaku. Disinilah muncul konsep hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law). Oleh karena itu konsep legal substance juga meliputi apa yang
dihasilkan masyarakat.

3.

Budaya hukum (legal culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen
moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh
tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. Budaya hukum
dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan
sistem hukum. Masuk ke dalam komponen ini adalah kepercayaan terhadap
hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan harapan-harapannya. Dengan
kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum yang
diorientasikan pada sistem hukum.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Award, sistem56 diartikan sebagai hubungan yang berlangsung
diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur (system is an organized,
functioning relationship among units or components).57 Selanjutnya Mariam
Darus menegaskan bahwa suatu sistem adalah kumpulan azas-azas yang terpadu,
yang merupakan landasan diatas mana dibangun tertib hukum.58Keberadaan
merek sebagai bagian dari HKI merupakan salah satu bagian dari suatu sistem
hukum dalam kerangka hukum Indonesia.

F.1.3. Supporting Theory atau Applied Theory
Pada tataran Supporting Theory atau Applied Theory teori yang digunakan
adalah teori Pembangunan untuk mengkaji peranan hukum, arah dan bentuk
pembaharuan yang diperlukan agar dapat meningkatkan pelayanan guna
mewujudkan kepentingan masyarakat pencari keadilan. Pembangunan di
Indonesia harus dilaksanakan secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan
bangsa dengan saling menunjang antara pembangunan disektor yang satu dengan
pembangunan sektor yang lainnya. Semua masyarakat yang sedang membangun
dicirikan oleh perubahan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah menjamin
bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur, karena tujuan pokok dan
pertama dari hukum adalah ketertiban yang merupakan syarat pokok bagi ada