Penerbitan Penetapan Sementara Dalam Sengketa Merek Dagang Terdaftar di Pengadilan Niaga Pasca Keluarnya Perma Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara

BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA SENGKETA MEREK
DAGANG TERDAFTAR DI INDONESIA

A. Pelanggaran Merek
Pelanggaran merek seringkali dilakukan karena terkait dengan fungsi
merek sebagai identitas suatu produk atau jasa yang telah mempunyai reputasi dan
juga terkait dengan fungsi merek sebagai jaminan terhadap kualitas barang.103 Hal
ini dikarenakan dalam merek melekat keuntungan ekonomis, terutama merek
terkenal. Fungsi merek yaitu sebagai identitas dari suatu produk atas suatu
perusahaan tertentu, sehingga konsumen dapat membedakan antara produk yang
satu dan lainnya untuk jenis produk yang sama.104
Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena terkait dengan
reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut. Ada beberapa faktor atau
alasan yang menyebabkan pihak-pihak tertentu melakukan pelanggaran merek
milik orang lain diantaranya:
1. Memperoleh keuntungan secara cepat dan pasti oleh karena merek yang
dipalsu atau ditiru itu biasanya merek-merek dan barang-barang yang laris di
pasaran;

103


Menurut sudut pandang produsen, merek digunakan sebagai jaminan nilai hasil
produksinya, khususnya mengenai kualitas kemudian pemakaiannya. Dari sisi konsumen, merek
diperlukan untuk melakukan pilihan barang yang akan dibeli (Wiratmo Dianggoro, Pembaharuan
Undang- Undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Jakarta: Yayasan Perkembangan
Hukum Bisnis,1997), hlm. 34.
104
Sentosa Sembiring, Prosedur dan Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual
di Bidang Hak Cipta Paten dan Merek,(Bandung: Yrama Widya, 2002), hlm. 55.

47
Universitas Sumatera Utara

2. Tidak mau menanggung resiko rugi dalam hal harus membuat suatu merek
baru menjadi terkenal karena biaya iklan dan promosi biasanya sangat besar;
3. Selisih keuntungan yang diperoleh dari menjual barang dengan merek palsu itu
jauh lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika
menjual barang yang asli, karena pemalsu tidak pernah membayar biaya riset
dan pengembangan, biaya iklan dan promosi serta pajak, sehingga bisa
memberikan potongan harga yang lebih besar kepada pedagang.

Ada 3 (tiga) bentuk pelanggaran merek yang perlu diketahui yaitu:105
1. Pembajakan merek (Trademark Piracy)
2. Pemalsuan (Counterfeiting)
3. Peniruan label dan kemasan suatu produk (Imitations of Labels and Packaging)
Pembajakan merek terjadi ketika suatu merek, biasanya merek terkenal
asing, yang belum tcrdaftar kemudian didaftarkan oleh pihak yang tidak bcrhak.
Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik merek yang asli ditolak oleh kantor
merek setempat karena dianggap serupa dengan merek yang sudah terdaftar
sebelumnya.
Pelanggaran merek yang selanjutnya adalah pemalsuan merek. Pemalsuan
merek dapat terjadi ketika suatu produk palsu atau produk dengan kualitas lebih
rendah ditempel dengan merek terkenal. Di Indonesia, pemalsuan merek terkenal
sering terjadi terutama terhadap produk-produk garmen yang kebanyakan
merupakan merek luar negeri seperti Levi’s, Wrangler, Osella, Country Fiesta,

105

WIPO Intellectual Property Handbook: PoIicy, Law and Use, Chapter 2-Fields of
Intellectual Property Protection.,522-524.


Universitas Sumatera Utara

Hammer, Billabong, Polo dan Ralph Laurent.106 Pemalsuan merek dapat
dikatakan sebagai kejahatan ekonomi, karena para pemalsu merek tidak hanya
menipu dan merugikan konsumen dengan produk palsunya namun juga merusak
reputasi dari pengusaha aslinya.

Pelanggaran merek yang mirip dengan

pemalsuan merek adalah peniruan label dan kemasan produk (imitation of label
and packaging). Bedanya, pada pemalsuan merek label atau kemasan produk yang
digunakan adalah tiruan dari yang aslinya, sedangkan pada peniruan, label yang
digunakan adalah miliknya sendiri dengan menggunakan namanya sendiri. Pelaku
peniruan ini bukanlah seorang kriminal, tetapi lebih kepada pesaing yang
melakukan perbuatan curang.107 Pelaku peniruan berusaha mengambil keuntungan
dengan cara memirip - miripkan produknya dengan produk pesaingnya atau
menggunakan merek yang begitu mirip (similar) sehingga dapat menyebabkan
kebingungan di masyarakat. Dalam hal penggunaan merek yang begitu mirip
dengan merek orang lain yang terdaftar maka pelaku peniruan tersebut melakukan
pelanggaran merek. Kata-kata yang dijadikan merek oleh pelaku peniruan bisa

mirip atau bahkan berbeda dengan merek pelaku usaha lainnya, namun ketika
warna atau unsur dalam kemasan yang digunakan identik (sama serupa) atau mirip
(similar) dengan pesaingnya barulah hal ini menyebabkan kebingungan
(confusion). Sedangkan warna atau unsur dalam kemasan masih jarang
didaftarkan sebagai merek dagang.

106

Sebagaimana diungkapkan oleh Asosiasi Pemasok Garmen dan Asesoris Indonesia
(APOAI) dalam Harian Bisnis Indonesia, Senin, 20 Maret 2000 dengan judul Pembajakan Merek
Garmen Sulit Dihentikan.
107
WIPO Intellectual Property Handbook.Policy, Law and Use, Chapter 2-Fields of
Intellectual Property Protection.,524.

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan di bidang Merek adalah pelindungan bagi jenis-jenis Merek
baru yang dikenal sebagai Merek Non-Traditional, antara lain yaitu bentuk tiga
dimensi, suara, aroma, hologram, dan sebagainya. Dengan diberikannya

perlindungan bagi jenis-jenis Merek ini, lingkup dan definisi Merek yang diatur
dalam UU Nomor. 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebaiknya dapat diperluas
mengikuti perkembangan pelindungan Merek.108
Pada prinsipnya, ketika terdapat unsur persamaan yang identik atau mirip
maka peniruan ini memiliki unsur yang sama dengan unsur perbuatan
membonceng reputasi (passing off). Karena adanya persamaan identik dan
persamaan yang mirip tersebut dapat menyebabkan kebingungan (likelihood of
confusion)

dan

juga

mengarahkan

masyarakat

atau

konsumen


kepada

penggambaran yang keliru (misrepresentation).
Secara umum dikenal sebagai melanggar hukum suatu perbuatan curang
(unfair competition) ketika memirip-miripkan barang milik sendiri dengan barang
milik orang lain (to pass off one‘s own goods as being those of a competitor).
Pelanggaran merek jenis ini termasuk bagian dari persaingan curang (unfair
competition).
1.

Pengertian Pemboncengan Reputasi (Passing Off)
Suatu merek yang telah mempunyai reputasi tinggi sehingga menjadi

merek terkenal menyebabkan pihak-pihak tertentu tergoda untuk melakukan
perbuatan curang dengan memirip-miripkan mereknya dengan merek yang
mempunyai reputasi tinggi tersebut. Warna kemasan, tipe huruf dan tata letak
108

Definisi merek di dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor. 15 Tahun 2001, menunjukkan

bahwa merek berfungsi sebagai tanda atau ciri untuk suatu produk barang atau jasa, yang berguna
untuk membedakan produk yang satu dengan produk barang atau jasa lainnya yang sejenis.

Universitas Sumatera Utara

cetakan pembungkus suatu produk memberikan andil untuk kesuksesan
pemasaran suatu produk. Namun demikian hingga saat ini, hal-hal tersebut yang
mendukung peningkatan reputasi belumlah didaftarkan sebagai merek.
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:109
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of
another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort
under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark
infringement”. (tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya
sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing
off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum
persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek.)
Tindakan passing off dapat juga dikatakan sebagai membuat beberapa
representasi palsu yang cenderung membawa kita untuk percaya bahwa barang
atau jasa adalah bagian dari mereka yang lain.110 Di negara-negara yang menganut
sistem common law, seseorang dikatakan melakukan perbuatan passing off jika

seseorang memperoleh keuntungan dengan melakukan perbuatan yang merugikan
reputasi orang lain atau mendompleng atau membonceng reputasi orang lain.
Passing off mengandung 2 (dua) pengertian yaitu sebagai bentuk perbuatan
melawan hukum (tort) yang dilarang dan juga sebagai upaya gugatan untuk
mendapatkan

suatu

penetapan

(injunction)

sebagai

pemulihan

atas

kerusakan/kerugian yang ditimbulkan karena adanya perbuatan passing off.


109

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West
Publishing Co, 2004), hal. 1115.
110
lihat http://www.duhaime.org/LegalDictionary/P/PassingOff.aspx) yang menyatakan
Making some false representation likely to induce a person to believe that the goods or services
are those of another.

Universitas Sumatera Utara

Suatu perbuatan passing off harus memenuhi tiga elemen yaitu111 pertama
adanya reputasi yang terdapat pada pelaku usaha yaitu apabila seorang pelaku
usaha memiliki reputasi bisnis yang baik di mata publik dan juga usahanya
tersebut cukup dikenal oleh umum, kedua adanya misrepresentasi dalam hal ini
dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada
pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat dengan
mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memilih
produk yang diinginkan, ketiga terdapatnya kerugian yang timbul akibat adanya
tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha

yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan
merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh
masyarakat (public misleading).

Menurut Djumhana dan Djubaedillah112 pengertian passing off adalah:
“Tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala
cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.
Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng secara meniru atau memiripmiripkan kepada kepunyaan orang lain yang telah memiliki reputasi baik. Cara
mendompleng reputasi (goodwill) ini bisa terjadi pada bidang merek paten, desain
industri maupun hak cipta.

111

Frans. H. Winata, Pemboncengan Reputasi Merek (Passing Off) sebagai Tindakan
Persaingan Curang, http://yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel/ diakses tanggal 20
Pebruari 2011.
112
Muhamad Djumhana & R. Djubaedilah, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 265.


Universitas Sumatera Utara

Copinger sebagaimana dikutip Djumhana dan Djubaedillah (1993; 187)
menyatakan:113
The action for passing off lies where the defendant has represented to the public
that his goods or business are the goods or business of the plaintiff. A defendant
may make himself liable to this action by publishing a work under the same title
as the plaintiff’s, or by publishing a work where ‘get up’ so resemble that of the
plaintiff’s work as to deceive the public info the belief that it is the plaintiffs
work or is associated or connected with the plaintiff (Tindakan terhadap
pemboncengan reputasi dilakukan ketika tergugat telah menampilkan kepada
masyarakat bahwa barang atau bisnisnya adalah barang atau bisnis penggugat.
Tergugat mungkin harus bertanggungjawab atas tindakannya mernproduksi
produk dengan nama yang sama dengan penggugat, atau memproduksi produk
dimana kemasannya menyerupai produk penggugat sehingga menipu masyarakat
sehingga percaya bahwa ini adalah produk penggugat, atau berkaitan atau
berhubungan dengan penggugat).
Passing off terkait erat dengan apa yang disebut goodwill. Istilah goodwill
sering digunakan bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang
melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan sebagai
“itikad baik”. Penjelasan mengenai goodwill adalah sebagaimana dilukiskan oleh
MacNaghten

sebagai

suatu

kebaikan

yang

bermanfaat

dan

bersifat

menguntungkan dari nama baik, reputasi dan keterkaitannya dalam usaha bisnis.
Goodwill adalah daya kekuatan yang atraktif yang timbul dari kegiatan usaha.114
Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau
kegagalan dari sebuah perusahaan. Banyak pelaku usaha berjuang untuk
mendapatkan dan menjaga reputasi mereka dengan mempertahankan kualitas
produk dan memberikan jasa kelas satu kepada para konsumen.115 Kalangan

113

Ibid., hlm. 267.
Sam Ricketson & Megan Richardson, Intellectual Property:Cases, Materials and
Commentary, 2nd Editian, (Sidney : Butterworths, 1998), 777.
115
Keterlibatan pilihan teknologi (termasuk teknologi proses) baik yang dipatenkan
maupun yang berupa rahasia dagang. yang berlangsung sejak tahap perencanaan dan berlanjut
hingga tahap pembuatannya, ataupun penggunaan merek pada saat produk yang bersangkutan
114

Universitas Sumatera Utara

pelaku usaha mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk keperluan periklanan
dan membangun reputasi produk baru atau mempertahankan reputasi dari produk
yang telah ada. Reputasi merupakan pengakuan hasil aktifitas daya intelektual
manusia. Oleh karena itu di negara-negara dengan sistem Common Law, hukum
memberikan pelindungan kepada pemilik yang berhak atas segala sesuatu yang
melekat didalamnya reputasi atau goodwill terhadap pihak yang hendak
membonceng reputasinya. Perbuatan membonceng reputasi dalam perdagangan
tidak hanya menyangkut hak atas merek tetapi berkaitan dengan hak-hak karya
intelektual lainnya, misalnya:
a. Reputasi yang timbul karena hasil karya cipta, misalnya karakter dan
visualisasi dalam karya film
b. Reputasi yang timbul dari tanda merek atau kaitannya. Berkaitan merek
misalnya, tema-tema iklan produk merek bersangkutan, bentuk botol minuman
atau parfum yang khas.
c. Reputasi timbul dalam hubungan nama seseorang, kegiatan atau organisasi,
seseorang memiliki reputasi karena hasil dari aktivitasnya yang melekat pada
nama orang tersebut
d. Reputasi timbul dan melekat pada suatu wilayah geografis, suatu daerah
dengan indikasi-indikasi tertentu yang sifatnya khas karena faktor alam dan
manusia atau kombinasinya menjadikan daerah tersebut menjadi terkenal dan

dipasarkan, menunjukkan keterlibatan HKI sejak awal hingga akhir produksi. Dapat dikatakan
HKI telah hadir sebelum (sejak awal) produksi hingga saat pemasarannya. Karenanya, memang
tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa globalisasi prodnk pada akhirnya juga berarti
globalisasi HKI. (Bambang Kesowo, Implementasi Persetujuan TRIP$ dalam Hukum Hak Atas
Kekayaan Intelektual Nasional, Makalah ‘Penataran Lembaga dan Hukum Internasional",
Universitas Padjadjarn, Bandung, 1997, hlm. 22)

Universitas Sumatera Utara

mempunyai daya pembeda, misalnya ‘Champagne’ di Perancis, orang
mengenal daerah tersebut sebagal peughasil minuman anggur yang khas
berkualitas tinggi
Dalam berbagai literatur, istilah passing dijumpai dan dikenal di negaranegara yang menganut sistem hukum common law. Hukum Passing off muncul
dari tradisi dan kebiasaan dalam common law, ketika suatu usaha yang rnerniliki
reputasi tidak memiliki merek dagang atau tidak dapat mendaftarkan merek
dagangnya, misalnya karena mereknya terlalu deskriptif, namun memerlukan
pelindungan hukum dari upaya pihak lain yang hendak membonceng reputasi
usaha tersebut.116 Hukum passing off ini bertujuan melindungi baik konsumen
maupun pelaku usaha dari adanya praktek-praktek usaha yang dilakukan oleh
pihak lain untuk meraih keuntungan dengan cara-cara yang merugikan atau
membahayakan reputasi pelaku usaha yang asli. Pada awalnya, perbuatan passing
off terjadi ketika seseorang memberikan gambaran bahwa produknya adalah
produk orang lain (bentuk klasik). Perbuatan ini yang sering disebut
“membonceng di belakang” reputasi milik orang lain. Misalnya dalam Kasus
Reddaway v Banham (1896) AC 199117 dimana Penggugat telah membuat dan
menjual mesin pembuat ikat pinggang yang disebut Camel Hair Belting.
Tergugat, mantan pegawai di perusahaan Penggugat, memulai bisnis baru pada
bidang yang sama dan menamainya sama dengan milik Penggugat. Penggugat
dapat menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen potensialnnya mengira

116

“Choosing and Protecting your Brand” diambil dan http://www.out-law.com/page5541, diakses tanggal 15 Januari 2011.
117
Protecting the Brand: The Law of Passing Off & Registered Trade Marks ditulis oleh
Peter Knight, diambil dari http://www.claytonutz.com diakses tanggal 20 Pebruari 2010.

Universitas Sumatera Utara

bahwa produk yang dijual oleh Tergugat adalah produk yang berasal dari
Penggugat. Pengadilan Banding berpendapat bahwa nama yang digunakan oleh
Penggugat adalah kata yang deskriptif yang menunjukkan jenis barang tersebut
dan akhirnya kata tersebut bebas digunakan oleh siapa saja. Pengadilan Banding
memutuskan bahwa Tergugat tidak terbukti melakukan kesalahan.
Namun House of Lords tidak setuju dengan pendapat tersebut, dan
menyatakan:
“finding that the words had acquired a secondary signification, that is of products
unique to the plaintiff. Lord Herschell said “I cannot help saying that, if the
defendants are entitled to lead purchasers to believe that they are getting the
plaintiff’s manufacture when they are not, and thus to cheat the plaintiffs of some
of their legitimate trade, i should regret to find that the law was powerless to
enforce the most elementary principles of commercial morality.”
Di negara-negara common law, yang dapat diminta dalam tuntutan
berdasar passing off adalah berupa suatu penetapan hakim (injunction) yang
berisi:
1) Penghentian perbuatan tergugat yang menyesatkan dan pernyataan untuk tidak
menghalangi perbuatan tersebut, berupa:
a) Menarik dari peredaran barang atau jasa yang rnenyesatkan tergugat untuk
diserahkan atau dihancurkan.
b) Meminta ganti rugi materiil atas kerugian nyata yang diderita dan sejumlah
keuntungan yang seharusnya diperoleh, termasuk biaya pengacara dan biaya
perkara.
2) Meminta ganti rugi yang bersifat immaterial akibat kerugian terhadap
reputasinya.
Dalam gugatan passing off

tidak dapat menuntut hukuman fisik atau

denda yang bersifat punitive. Tort of passing off adalah upaya perdata, yang dapat

Universitas Sumatera Utara

dituntut adalah ganti kerugian dan penghentian pemakaian karakter atau merek.
Sekarang ini, passing off diaplikasikan menjadi lebih luas ke berbagai bentuk
praktek perdagangan curang (unfair trading) dan praktek persaingan curang
(unfair competition) dimana kegiatan seseorang menimbulkan kerugian atau
membahayakan reputasi milik orang 1ain.
Menurut McManis dalam Simandjuntak118, pemboncengan reputasi dilihat
dari sifat perbuatan tidak terlepas dari sifat-sifat umum perbuatan persaingan
curang, diantaranya:
1) Menipu dalam penjualan berkenaan dengan merek dan barang.
2) Penggelapan (misappropriation) nilai-nilai yang sulit diraba.
3) Dan bersifat jahat (malicious).
Pengaturan passing off mencegah pihak lain untuk melakukan119 menyajikan
barang atau jasa seolah-olah barang/jasa tersebut milik orang lain dan menjalankan
produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan dengan barang/jasa milik
orang lain. Passing off merupakan bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai

perbuatan curang dalam bisnis. Hal ini juga ditegaskan oleh Mollengraaf yang
mengatakan bahwa persaingan semacam itu ialah berwujud penggunaan upaya,
ikhtiar yang bertentangan dengan kesusilaan dan kejujuran di dalam pergaulan
hukum dengan tujuan untuk mengelabui mata masyarakat umum dan merugikan

118

Emmy Pangaribuan S, Analisis Hukum Ekonomi terhadap Hukum Persaingan,
(Yogyakarta:Makalah pada FH UGM,1999), hlm. 14.
119
Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, (Bandung: CV Nuasa
Aulia, 2010), hlm.119.

Universitas Sumatera Utara

pesaingnya, segala sesuatu ini untuk menarik langganan orang lain atau
memperbesar peredaran barang- barangnya.120
Dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan pengertian perbuatan
persaingan curang sebagai berikut:
A term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in
trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to
substitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having
an established reputation and extensive sale, by means of imitating or
counterfeiting the name, title, size, shape or dictinctive peculiarities of the article,
or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package or those
such simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general
public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute
counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name.
Di negara-negara dengan sistem common law, persaingan curang (unfair
competition), baik perbuatan melawan hukum menurut the common law dan the
federal statute, diartikan sebagai “praktek curang dalam bisnis atau usaha”.
Pengertian ini kemudian secara bertahap diperluas dalam praktek-praktek
pengadilan berdasar konsep keadilan dan kejujuran dalam dunia usaha atau bisnis.
Seperti dalam kasus yang terkenal yaitu kasus Arsenal Football Club Plc v
Reed (2003).121 Dalam kasus ini diceritakan bahwa Arsenal adalah Klub
Sepakbola Inggris yang sudah sangat terkenal, yang sering disebut “the gunners”
atau “Arsenal”. Bertahun-tahun klub ini dikenal dengan logonya yaitu berupa
sebuah meriam dan pelindungnya. Tahun 1989, Arsenal mendaftarkan beberapa
merek produk berupa pakaian, sepatu olahraga dan barang lainnya. Ada dua

120

Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid I Bagim Pertama,(Jakarta:UI Press,
1983), hlm. 24.
121
Peter Knight, Protecting the Brand, diambil dari http://www.claytonutz.com, diakses
tanggal 20 Pebruari 2010.

Universitas Sumatera Utara

merek kata yang didaftarkan yaitu “Arsenal” dan “Arsenal Gunners” dan dua
merek gambar yaitu “The Crest Device” dan “The Cannon Device”.
Adalah seorang bernama Mathhew Reed yang sejak tahun 1970 sudah
menjual souvenir dan pakaian yang berhubungan dengan Arsenal. Namun dengan
jelas Reed menuliskan kata “unofficial” untuk menunjukkan bahwa barang yang
dijualnya tidak berhubungan dengan Arsenal. Reed berpendapat bahwa para
pembelinya tidak tertipu mengenai asal barang tersebut, dan mereka membeli
barang tersebut sebagai tanda untuk mendukung tim kesayangan mereka. Reed
juga berpendapat bahwa dia tidak menggunakan merek terdaftar milik Arsenal
sebagai merek untuk barang-barangnya, namun digunakan untuk hiasan dekoratif
untuk mendukung Arsenal. Pada Pengadilan pertama, Reed menang. Namun
ketika kasus diserahkan kepada European Court of Justice Arsenal yang
dimenangkan.
Pada prinsipnya ada 5 karakteristik dasar dalam gugatan passing off,
yaitu:122
1) Misrepresentation
2) Made by a trader in the course of trade
3) To prospective customers of his or ultimate consumers of goods or services
supplied by him
4) Which is calculated to injure the business or goodwill of another trader (in the
sense that is reasonable consequence), and

122

Dalam kasus Erven Warnink Besloten Vennotschap v J Townend & Sons (Hull) Ltd
(1979) AC 731, Inggris (dikenal dengan kasus “Advocaaf’).

Universitas Sumatera Utara

5) Which causes actual damage to business or goodwill of the trade by whom the
action is brought or, in a quia timet action; will probably do so.
Berdasar

uraian

sebelumnya

dapat

dikatakan

bahwa

perbuatan

pemboncengan reputasi atas dasar passing off merupakan tort yang berasal dari
hukum ciptaan (judge made law). Atau dapat juga dikatakan bahwa action for
passing off adalah upaya alternatif melawan tindakan persaingan curang yang
dianggap sebagai salah satu upaya efektif pelindungan merek dari praktek
persaingan curang.

Di Inggris, Trademarks Act 1994 adalah undang-undang

tentang merek. Di Australia berlaku Trademarks Act 1995. Trademarks Act 1994
dan Trademarks Act 1995 lahir sebagai respon untuk memenuhi standar
pelindungan merrk hasil penjanjian TRIPS.

Adapun kelebihan pelindungan

undang-undang merek (Trademarks Act) dibandingkan dengan tort of passing off
antara lain adalah:
1) Pemegang merek terdaftar bisa menggunakan dasar gugatan atas pelanggaran
merek berdasarkan ketcntuan undang-undang merek maupun tort of passing off
sebagai pembarengan, bahkan sekaligus berdasarkan ketentuan persaingan
curang yang bersifat umum, misalnya di Australia dengan ketentuan Pasal 52
Trade Parctices Act 1974;
2) Pelindungan merek terdaftar efektif sejak tanggal penerimaan pendaftaran
merek tanpa perlu membuktikan ada reputasi mereknya;
3) Trademarks Act menyediakan sanksi pidana berupa fisik atau denda;123

123

Jill McKeough&Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia ,2nd edition,
(Sidney:Butterworth,1997), p. 421.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pencemaran Merek Terkenal (Dilution)
Ada dua macam pelanggaran merek yaitu memiliki persamaan pada

pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar milik orang lain dan memiliki
persamaan pada keseluruhannya dengan merek yang sudah terdaftar milik orang
lain. Persamaan-persamaan ini yang dapat menyesatkan dan membingungkan
konsumen pada saat membeli produk atau jasa. Suatu merek akan melanggar
merek yang sudah terdaftar jika cenderung menipu konsumen (begitu sama/mirip
sehingga menyesatkan/ menyebabkan kebingungan bagi konsumen) sampai batas
dimana mereka kemungkinan keliru membeli produk yang sebenarnya bermaksud
membeli produk merek yang sudah terdaftar tersebut.
Selain 2 (dua) macam pelanggaran merek tersebut diatas terdapat 3 (tiga)
bentuk pelanggaran merek, yaitu: Trademark piracy (pembajakan merek),
Counterfeiting (pemalsuan) dan Imitations of labels and packaging (peniruan
label dan kemasan suatu produk). Ketiga bentuk pelanggaran merek tersebut
biasanya terjadi pada merek terkenal. Pembajakan merek terjadi ketika suatu
merek, biasanya merek terkenal asing, yang belum terdaftar kemudian didaftarkan
oleh pihak yang tidak berhak.124 Akibatnya permohonan pendaftaran pemilik
merek yang asli ditolak oleh kantor merek setempat karena dianggap serupa
dengan merek yang sudah terdaftar sebelumnya.
Pelanggaran merek yang selanjutnya adalah pemalsuan merek. Pemalsuan
merek dapat terjadi ketika suatu produk palsu atau produk dengan kualitas lebih

124

Dalam Article 6 bis The Paris Convention disebutkan bahwa “a well-Known
trademark must be protected even if it is not registered in the country” sebagaimana dikutip oleh
Dwi Agustine Kurniasih,S.H.,M.H dalam Pelindungan Hukum Pemilik Merek Terdaftar Dari
Perbuatan Passing Off (Pemboncengan Reputasi) dalam media HKI Vol. V/No.6 Desember 2008.

Universitas Sumatera Utara

rendah ditempeli dengan merek terkenal. Kasus pemalsuan merek terkenal sering
terjadi seperti Levi’s, Giorgio Armani dan Emporio Armani125, M-150126; dan
kasus merek Benetton.127 Pelanggaran merek yang mirip dengan pemalsuan merek
adalah peniruan label dan kemasan produk. Bedanya, pada pemalsuan merek label
atau kemasan produk yang digunakan adalah tiruan dari yang aslinya, sedangkan
pada peniruan, label yang digunakan adalah miliknya sendiri dengan
menggunakan namanya sendiri.

Pelaku peniruan berusaha mengambil

keuntungan dengan cara memirip-miripkan produknya dengan produk pesaingnya
atau menggunakan merek yang begitu mirip sehingga dapat menyebabkan
kebingungan di masyarakat. Hal ini juga menyimpangi hak konsumen dalam
hukum pelindungan konsumen yaitu hak untuk memilih dan mendapatkan kualitas
barang sesuai dengan barang atas jasa yang dipilihnya.

Ketiga bentuk

pelanggaran merek ini juga dapat menyesatkan dan menyebabkan kebingungan
pada konsumen.
Seperti halnya dengan pelanggaran merek biasa, kedua macam
pelanggaran merek dan ketiga bentuk pelanggaran merek yang telah disebutkan
diatas, juga dapat dilakukan pada merek terkenal. Namun pada merek terkenal,
pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga
dapat mencermarkan reputasi dan mengurangi keunikan dari merek terkenal.
Pencemaran merek terkenal tersebut, dikenal dengan nama dilution. Dilution tidak

125

Kasus merek antara GA Modefine S.A v. Sutedjo dalam putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No.216/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Pst.
126
Kasus merek antara Osotspa Co.Ltd v. Wasli dalam putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.28/MEREK/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst.
127
Kasus merek antara NV. Sumatra Tobacco Trading Company v. Benetton Group S.PA
dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 02 PK/N/Haki/2005.

Universitas Sumatera Utara

mempersyaratkan kebingungan, karena walaupun konsumen tidak bingung
dengan menganggap barang atau jasa tersebut disponsori atau berkaitan dengan
merek terkenal, namun ketakutan yang muncul adalah dilain waktu mereka akan
berhenti mengkaitkan merek secara eksklusif dengan barang dan jasa pengguna
merek sebelumnya.128 Jadi mengurangi kemampuan merek untuk membangkitkan
respon positif calon konsumen bahwa merek tersebut berkaitan secara eksklusif
dengan barang dan jasa pengguna merek sebelumnya (senior).
Schechter mengatakan merek terkenal harus dilindungi dari pemakaian
oleh produk yang lain yang mengikis keunikan dan nilai pembeda. Maka hukum
merek harus mencegah pengurangan sedikit demi sedikit dari dispersi dan
indentitas (gradual whittling away) dan menjaga ingatan masyarakat akan merek
terkenal dari penggunaan produk-produk tidak sejenis.129 Hukum merek dalam
pandangannya, harus dibuat untuk melindungi fungsi yang sebenarnya dari merek
didalam pasar, yaitu sebagai nilai pembeda.130 Terdapat perbedaan yang jelas
antara blurring dan confusion. Blurring terfokus pada pengurangan fungsi merek
sebagai identitas unik dari merek dan jasa, sementara confusion terfokus pada
kepercayaan yang salah bahwa pengguna junior dalam cara tertentu berkaitan
128

Terdapat 2 Jenis dilution, yaitu pengaburan (blurring) dan pencemaran (tarnishment).
Pencemaran (tarnishment) terjadi pada saat pengguna merek junior menggunakan merek yang
digunakan senior atau merek sejenis yang dapat merusak reputasi dari merek yang digunakan
senior, seperti penggunaan merek dengan cara tidak sesuai secara total dengan citra yang
diproyeksikan oleh merek. Tarnishment secara khusus menyangkut penggunaan merek terkenal
atau unsur pembeda dan merek pada produk-produk dengan kualitas yang buruk atau penggunaan
merek dalam konteks tidak sehat atau tidak baik. Blurring didasari oleh ide bahwa penggunaan
merek pada produk yang berbeda akan “mengurangi kualitas pembeda dari merek” dan
menyulitkan konsumen mengingat secara cepat produk yang asli. Penggunaan merek mungkin
tidak membingungkan konsumen, tetapi dapat mengacaukan sinyal merek terkenal dan membuat
konsumen kesulitan menghubungkannya dengan produk merek terkenal. Nilai pembeda dari merek
berkaitan dengan efektifitas kekuatan penjualan.
129
Robert G.Bone. “ Schechter’s Ideas In Historical Context And Dilution’s Rocky Road
“.24 Santa Clara Computer & High Tech. L.J. 469.
130
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dengan barang dan jasa pengguna merek senior. Pemilik merek terkenal harus
mendapatkan pelindungan hukum terhadap pencemaran merek terkenal (dilution).
Hal ini disebabkan karena pemilik merek terkenal telah banyak berinvestasi
dengan mengiklankan dan membangun merek yang kuat. Hukum merek harus
memberikan pelindungan yang sama antara berinvestasi melalui iklan dengan
berinvestasi dengan melalui aset atau material.
Dilution Theory Schechter, melindungi merek tidak hanya sebagai
perwujudan goodwill yang telah ada, tetapi juga sebagai alat untuk menghasilkan
goodwill masa datang yang belum dibuat. Schechter tidak hanya melihat dilution
semata-mata sebagai suatu cara untuk mencegah penggunaan nilai goodwill atau
free riding dalam investasi penjualan. Dilution merupakan “kerugian nyata”
pemilik merek terkenal yang diakibatkan dari pelemahan kekuatan penjualan dari
merek. Schechter menggunakan konsep “pelemahan kekuatan penjualan” dalam
menjelaskan fungsi dari merek. Dalam menjelaskan merek semata-mata sebagai
simbol dari goodwill tanpa mengakui merek sebagai agen ciptaan dan pelestarian
yang nyata dari goodwill, akan mengabaikan aspek esensial dari merek yang
seharusnya dilindungi.
Sekarang ini merek tidak semata-mata sebagai simbol dari goodwill tetapi
sebagai agen yang efekfif untuk penciptaan goodwill. Dalam pembuktian dilution
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu actual dilution dan likelyhood dilution.
Pembuktian dengan menggunakan actual dilution merupakan konsep pembuktian
pertama dari dilution yang dianut oleh Amerika Serikat. Dilution harus dibuktikan
dengan penurunan nyata atau sebenarnya dari daya pembeda yang dimiliki merek

Universitas Sumatera Utara

terkenal dan juga kerugian yang nyata yang diderita pemilik merek terkenal
sebagai akibat penurunan daya pembeda tersebut. Pembuktian dengan actual
dilution ini sangat sulit, oleh karena itu dalam perkembangan Amerika Serikat
menggunakan likelyhood of dilution untuk membuktikan ada atau tidaknya
dilution. Pada metode ini yang terpenting adalah pemilik merek terkenal dapat
membuktikan potensi penurunan daya pembeda dari merek terkenal atas
penggunaan merek yang serupa pada barang-barang tidak bersaing. Standard
likelyhood of dilution dinyatakan dalam Trademark Dilution Revision Act. Pasal
43(c) (2) (b) Trademark Dilution Revision Act (TDRA), menyatakan:
. . In determining whether a mark or trade name is likely to cause dilution by
blurring, the court may consider all relevant factors, including the following:
(i)
The degree of similarity between the mark or trade name and the
famous mark
(ii)
The degree of inherent or acquired distinctiveness of the famous mark
(iii)
The extent to which the owner of the famous mark is engaging in
substantially exclusive use of the mark.
(iv)
The degree of recognition of the famous mark.
(v)
Whether the user of the mark or trade name intended to create an
association with the famous mark.
(vi)
Any actual association between the mark or trade name and the
famous mark.131
(Dalam menentukan apakah merek atau nama dagang adalah mungkin
menyebabkan dilution oleh blurring, pengadilan dapat mengacu pada faktorfaktor, seperti :
(i)
Tingkat kesamaan antara merek atau nama dagang dengan merek
terkenal;
(ii)
Tingkat kekhususan yang melekat pada merek terkenal;
(iii) Tingkatan untuk mana pemilik merek terkenal melibatkan secara
substansial penggunaan ekslusive dari merek;
(iv)
Tingkat pengakuan dari merek terkenal;
(v)
Apakah pengguna merek berniat untuk membuat atau mengkaitkan
dengan merek terkenal.
(vi)
Keterkaitan yang sebenarnya antara merek atau nama dagang dengan
merek terkenal.)

131

Trademark Dilution Revision Act of 2006, 109 P.L. 312, 2, 120 Stat. 1731.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan untuk tarnishment pengadilan mengacu pada Pasal 43(c)(2)(c)
Trademark Dilution Revision Act (TDRA) yang menyatakan
“For purpose of paragraph (1), ‘dilution by tarnishment’ is association arising
from the similarity between a mark or trade name and a famous mark that harms
the reputation of the famous mark.”(dilution karena tarnishment dilihat dari
keterkaitan yang timbul dari persamaan antara suatu merek dengan merek terkenal
yang merugikan reputasi dari merek terkenal.)
Jadi dalam prakteknya, pelanggaran merek dan pencemaran merek terkenal
(dilution) mempunyai macam dan jenis pelanggaran yang sama, tetapi dengan
penekanan

yang berbeda.

Dalam

pelanggaran

merek

fokusnya

adalah

keterkecohan dan kebingungan konsumen yang diakibatkan dari pelanggaran
merek. Sedangkan dalan pencemaran merek terkenal (dilution) yang menjadi
fokus adalah penurunan daya pembeda atau nilai eksekutif dari merek terkenal
sejalan dengan fungsi dari merek tersebut. Dalam hal terjadinya pencemaran
merek terkenal (dilution), Amerika Serikat sebagai negara pelopor dilution
memperbolehkan pemilik merek terkenal untuk menghentikan penggunaaan
mereknya oleh pihak lain meskipun bukan untuk produk yang bersaing, dengan
dasar bahwa penggunaan itu dapat menurunkan nilai mereknya. Trademark
Revision Dilution Act (TRDA) Tahun 2006 Amerika Serikat memberikan prosedur
perlawanan bagi pemilik merek terkenal terhadap merek pihak lain yang potensial
mengakibatkan dilution melalui opposition of registration dan cancellation of
registration. Namun Amerika Serikat tidak mengatur mengenai tindak pidana
pencemaran merek terkenal (dilution) dan tidak memberikan upaya hukum pidana
serta sanksi pidana atas pencemaran merek terkenal (dilution.

Universitas Sumatera Utara

B.

Pelindungan Merek Dagang Terdaftar
Pelindungan Merek dagang terdaftar bisa didasarkan ke dalam 2 (dua)

bagian yaitu berdasarkan ketentuan perundangan di Indonesia dan didasarkan
kepada Konvensi Internasioanal.

1.

Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Di Indonesia
Terhadap pemilik merek terdaftar terdapat 3 (tiga) pelindungan hukum

132

yang diberikan oleh negara, yaitu pelindungan hukum preventif133, pelindungan
hukum represif, dan penetapan sementara pengadilan niaga.

a.

Pelindungan Hukum Preventif Untuk Mencegah Terjadinya Sengketa
Dalam hal seperti disebutkan di atas, Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 mempunyai beberapa tindakan preventif untuk menanggulangi apabila
keadaan-keadaan di atas terjadi, antara lain:
Dalam hal seperti di atas Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001
mempunyai beberapa tindakan preventif untuk menanggulanginya, antara lain:
1)

Pembatalan pendaftaran merek. (Pasal 68 ayat (1)), dilakukan oleh:
a) Pemilik merek terdaftar.
b) Pemilik merek terkenal walaupun tidak terdaftar.
Tenggang waktu untuk mengajukan pembatalan pendaftaran merek ke
pengadilan ini diatur dalam 2 (dua) macam, yaitu selama jangka waktu

132

Menurut Satijipto Raharjo, pelindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan pelindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Satijipto
Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53.
133
Pelindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan
diskresi (Phillipus M. Hadjon, Pelindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), hlm. 2.

Universitas Sumatera Utara

2)

3)

4)

5)

6)

7)

berlakunya pendaftaran (Pasal 69 ayat 1) dan Tanpa batas waktu (Pasal 69
ayat 2).
Penghapusan pendaftaran merek
Penghapusan pendaftaran merek ini ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
a) Penghapusan atas permintaan pemilik merek terdaftar, penghapusan ini
berlaku untuk seluruh atau sebagian jenis barang/ jasa yang diajukan
kepada Kantor Merek. Dalam hal merek lisensi, penghapusan harus
dengan persetujuan pihak penerima lisensi (Pasal 63)
b) Penghapusan atas prakarsa Kantor Merek (Pasal 61)
c) Larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
d) Penghapusan atas perintah Pengadilan
Gugatan atas peniruan merek
Perbuatan seperti pemalsuan, peniruan dan lain-lain dapat dituntut menurut
ketentuan hukum perdata. Hal seperti ini dapat kita lihat dalam pernyataan
Pasal 1365 KUHPerdata. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang
Merek Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 76 ayat (1) yang menyebutkan
gugatan tentang kerugian, gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan
Niaga (Pasal 76 ayat (2)). Gugatan ganti rugi ini dapat bersifat materiil
maupun immateriil. Dalam hal penerima lisensi, penerima lisensi baik
dengan sendiri atau bersama-sama dengan pemilik merek dapat
mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Merek Nomor
15 Tahun 2001. Dengan demikian KUHPerdata merupakan Lex Generalis,
sedangkan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 berfungsi
sebagai Lex Specialis.
Penyelesaian Hukum Pidana
Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1339 KUHPidana. Selain itu
dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 juga telah mengatur ketentuan pidana bagi pelanggaran merek berupa
denda maupun penjara dan kurungan.
Penanganan oleh Pabean
Badan ini mempunyai kewenangan atas inisiatif sendiri untuk menunda
pelepasan barang-barang yang telah terbukti melakukan pelanggaran di
bidang Hak Milik Intelektual. Badan ini juga berwenang untuk
memusnahkan barang-barang hasil pelanggaran tersebut serta melarang
agar barang-barang tersebut tidak diekspor kembali.
Penanganan Badan Standar Industri
Barang-barang yang memakai merek tanpa hak dapat diyakini tidak
memiliki kriteria standar industri yang ditetapkan, baik komposisi maupun
kualitasnya dengan demikian dapat dikatakan berada di bawah standar
(inferior quality goods of services) tindakan semacam ini merupakan salah
satu objek dari Badan Standar Industri yang dalam hal ini dapat
mengeluarkan keputusan untuk melarang barang-barang tersebut beredar
karena merugikan konsumen serta pemilik merek.
Pengawasaan oleh Badan Standar Periklanan.
Disini badan pengawasan periklanan berfungsi untuk mengawasi situasi
persaingan yang ada melalui kode etik periklanan.

Universitas Sumatera Utara

b.

Pelindungan Hukum Represif Untuk Menyelesaikan Terjadinya
Sengketa
Pemilik merek terdaftar mendapat pelindungan hukum represif134 atas

pelanggaran hak atas merek baik dalam wujud gugatan ganti rugi dan gugatan
pembatalan pendaftaran merek maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana
melalui aparat penegak hukum. Pelindungan hukum yang represif ini diberikan
apabila telah terjadi pelanggaran hak atas merek. Disini peran lembaga peradilan
dan aparat penegak hukum lainya seperti Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS), dan Kejaksaan sangat diperlukan.
Perbandingan Sanksi Dalam UU Tahun 1992, 1997 dan 2001 dapat dilihat
dalam tabel berikut;

Tabel Perbandingan Sanksi Dalam UU Tahun 1992, 1997 dan 2001
Undang-Undang
No.19/1992

Undang-Undang
No.14/1997

Undang-Undang
15/2001

No.

Pasal 81
Pidana penjara paling
lama 7 tahun dan denda
paling banyak 100 juta,
untuk setiap orang yang
dengan sengaja dan
tanpa hak menggunakan
merek yang sama pada
keseluruhan

Sanksi
pidana
sama
seperti UU No. 19/1992,
hanya merubah kata
“setiap orang” menjadi
“barang siapa”

Pasal 90
Pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak 1
miliar rupah kepada
barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak
menggunakan
merek
yang
sama
pada

134

Pelindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan (Maria Alfons, “Implementasi Pelindungan Indikasi
Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”,
Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hlm.18.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 82
Pidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda
paling banyak 50 juta
rupiah untuk setiap
orang yang dengan
sengaja menggunakan
merek yang sama pada
pokoknya dengan merek
orang lain

keseluruhan
dengan
merek orang lain
Pasal 91
Pidana penjara paling
lama 4 tahun dan/atau
denda paling banyak
800 juta rupiah kepada
barang siapa dengan
sengaja dan
tanpa hak menggunakan
merek yang sama pada
pokoknya dengan orang
lain.
Pasal 92 ayat 1
Pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak 1
miliar rupiah kepada
barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak
menggunakan
tanda
yang
sama
dengan
indikasi geografis.
Pasal 92 ayat 2
Pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak
800 juta rupiah, kepada
barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak
menggunakan
tanda
yang
sama
pada
pokoknya
dengan
indikasi
geografis
terdaftar
Pasal 93
Pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau
denda paling banyak 1
miliar rupiah kepada
barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak
menggunakan indikasi
asal yang menyesatkan
masyarakat
Pasal 94

Universitas Sumatera Utara

Pidana kurungan paling
lama 1 tahun dan/atau
denda paling banyak
200 juta rupiah kepada
barang
siapa
yang
memperdagangkan
barang hasil tindak
pidana diatas
Pasal 83
Tidak
menyebutkan Pasal 95
Tindak pidana dalam merupakan delik aduan
Pasal
90-Pasal
94
Pasal 81 dan Pasal 82
merupakan delik aduan
merupakan
tindak
kejahatan
Sumber: UU No.19 Tahun 1992, UU No.14 Tahun1997 dan UU No. 15
Tahun 2001
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun
2001 dirasakan masih belum membuat pelaku pelanggaran jera dalam melakukan
pelanggaran atau pemalsuan Merek yang membahayakan kesehatan dan
keselamatan jiwa manusia serta lingkungan hidup. Dengan maraknya pelanggaran
dan pemalsuan Merek yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa
manusia serta lingkungan hidup, misalnya pelanggaran Merek di bidang obatobatan, oli dan pelumas, suku cadang, kosmetik, pestisida dan produk berbahan
kimia lainnya yang sangat merugikan, maka ketentuan mengenai sanksi pidana
baik hukuman denda maupun hukuman badan yang dapat diberlakukan terhadap
pihak pelanggar yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 harus diperberat.
c. Perintah Penangguhan Sementara dari Kawasan Pabean
Dengan meningkatnya perdagangan internasional dan makin meluasnya
pelanggaran HKI yang melintasi batas-batas negara, maka disadari mengenai
pentingnya peranan yang dapat dilakukan oleh Bea Cukai dalam melaksanakan
pelindungan HKI. Sebelum berlakunya Persetujuan TRIPS (Trade Related

Universitas Sumatera Utara

Aspects of Intellectual Properly Rights) instansi Bea Cukai di berbagai negara
umumnya tidak banyak terlibat dalam pelindungan HKI.
Secara khusus dalam TRIPS diatur ketentuan tentang penegakan hukum di
bidang impor ekspor barang yang melanggar HKI, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh aparat Bea dan Cukai yang mempunyai fungsi melakukan
pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai
dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai serta penyidikan tindak pidana
kepabeanan dan cukai.135 Sebagai aparat 'border enforcement', Bea Cukai
dianggap memiliki potensi yang tidak dapat diabaikan dalam penegakan hukum di
bidang HKI, yaitu:
a) Bea Cukai akan dapat secara efektif mencegah dan menangkal barang-barang
yang melanggar HKI, sebelum barang tersebut masuk dalam sistem distribusi
dan peredaran bebas - di mana akan sangat sulit dan akan memakan biaya yang
sangat besar untuk memberantasnya. Hal ini karena posisi Bea Cukai yang
berada di pintu-gerbang dan perbatasan wilayah negara.
b) Aparat Bea Cukai memiliki kewenangan di bidangnya, yang memungkinkan
untuk melakukan pencegahan atau penyitaan barang, melakukan pemeriksaan
fisik (termasuk di tempat importir dan eksportir), serta memeriksa dokumen
yang berkaitan. Dengan informasi yang dimiliki Bea Cukai dapat
mengidentifikasi dan menangani sampai ke sumber darimana barang yang
melanggar tersebut berasal.

135

Lihat http://www.beacukai.go.id/arsip/abt/tugas-pokok-dan-fungsi.html,
tanggal 23 Maret 2014.

diakses

Universitas Sumatera Utara

c) Dengan kerjasama antar Bea Cukai di berbagai negara (negara pengeksportransit- pengimpor), diharapkan dapat lebih mengefektifkan pencegahan
pelanggaran HKI. Diterimanya TRIPS Agreement telah menjadikan peranan
Bea Cukai dalam pelindungan HKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang
diatur dalam Part III TRIPS : Enforcement of Intellectual Property Rights,
diantaranya mencakup Section 4 : Special Requirement Related to Border
Measures, yang mengatur mengenai Suspension of Ralease by Customs
Authorities (Penangguhan Pengeluaran Barang oleh Aparat Pabean), yang
merupakan ketentuan standar yang harus diformulasikan dan diatur dalam
ketentuan nasional masing-masing negara penandatangan WTO Agreements/
TRIPS. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di tiap negara, aparat border
enforcement, dalam hal ini Bea Cukai, harus ikut terlibat dalam pelaksanaan
pelindungan HKI.
Walaupun secara umum Bea Cukai dapat berperan penting dalam
pelindungan HKI ini, terdapat beberapa keterbatasan yang dapat menghambat
efekvifitas Bea Cukai dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang HKI.
Keterlibatan Bea Cukai dalam pelindungan terhadap HKI merupakan suatu tugas
yang baru ditetapkan dalam perundang-undangan, sehingga masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya. Aparat Bea Cukai harus
melaksanakan pengawasan terhadap wilayah yang luas dan pelayanan terhadap
kelancaran perdagangan internasional yang semakin meningkat volumenya. Bea
Cukai harus menangani bermacam-macam kepentingan dan prioritas, dengan
prasarana yang terbatas. Ruang lingkup dan tingkat kewenangan yang diberikan

Universitas Sumatera Utara

kepada Bea Cukai berbeda di tiap negara (walaupun terdapat standar pelindungan
minimal yang diatur dalam TRIPS). WTO menyatakan bahwa peranan Bea Cukai
harus dirumuskan secara tepat agar intervensi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum di bidang HKI, tidak menghambat arus perdagangan barangbarang yang sah. Hal ini sesuai dengan tujuan penegakan hukum/pelindungan
HKI yang termuat dalam Preambule/konsideran dari TRIPS, yang menyatakan
bahwa perlu dipastikan/dijaga agar tindakan dan prosedur penegakan hukum
dibidang HKI tidak akan menjadi hambatan/barrier terhadap perdagangan yang
sah (legitimate trade).
1)

TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights) dan Kaitannya dengan Pelindungan HKI oleh Bea Cukai
Pelindungan HKI sangat penting artinya bagi perkembangan teknologi

baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/
peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi
apabila ada jaminan pelindungan HKI yang baik. Pelindungan HKI yang memadai
juga akan memacu peningkatan lalu-lintas perdagangan internasional, ekspor,
investasi dan alih teknologi. Beberapa perjanjian internasional sebelumnya seperti
Paris Convention136 telah mengatur mengenai standar pelindungan minimum yang
harus diberikan terhadap HKI. Namun TRIPS lebih memperluas lingkup
pelindungan tersebut, dengan menetapkan standar pelindungan, aturan-aturan

136

The Paris Convention, adopted in 1883, applies to industrial property in the widest
sense, including patents, trademarks, industrial designs, utility models, service marks, trade
names, geographical indications and the repression of unfair competition.( Konvensi Paris,
diadopsi pada tahun 1883, berlaku untuk industri properti dalam arti luas, termasuk paten, merek
dagang, desain industri, model utilitas, merek layanan, nama dagang, indikasi