Kepastian Hukum Penguasaan Negara Atas Usaha-Usaha Pertambangan Mineral dan Batabara di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat
melimpah dan beragam sumber dan jenisnya. Baik Sumber daya yang ada di laut,
daratan maupun perut Bumi. Segala Kekayaan alam tersebut merupakan
Anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dipergunakan se-Arif dan sebijak
mungkin

untuk

kelangsungan

hidup

umat

manusia.

Dimana


dalam

penggunaannya harus memperhatikan antara kebutuhan saat ini dan dimasa yang
akan datang. Sehingga kekayaan alam bumi pertiwi tetap dapat dinikmati generasi
berikutnya. Dalam artian, sumber daya alam tersebut dapat diolah namun tidak
menjadikan pengelolaan tersebut menjadikan sumber daya alam yang lainnya
menjadi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi, dampak pengelolaan tersebut
juga sebisa mungkin haruslah tidak

memberikan dampak negatif terhadap

masyarakat.
Sejak kemerdekaan NKRI, Founding father negara kita sudah meletakkan
sebuah pengaturan akan sumber daya alam kita. Pengelolaan sumber daya alam
tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3
menyebutkan “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung Didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”. Secara singkat pengertian dari Dikuasi Negara tersebut adalah Negara
berdaulat mutlak atas kekayaan sumber daya alam.


Sedangkan digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dimaknai Hak kepemilikan yang sah

Universitas Sumatera Utara

atas kekayaan alam adalah rakyat indoneia yang dikuasakan kepada negara. 2Yang
dipertegas kembali dalam UU No.5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 1 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) “Bumi, Air, dan Ruang
Angkasa dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”. Namun, pengertian “dikuasai” dalam
ayat tersebut tidaklah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberikan pengertian “yang
memberi wewenang kepada negara” sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
indonesia. Adapun wewenang yang dimaksud diatas sesuai dengan pasal 2 ayat 2
dan 3 UUPA adalah negara melalui pemerintah sebagai pengatur roda
pemerintahan Negara berwenang:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaannya.
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas Bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam terkandung di dalamnya itu.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut.
3

Berdasarkan pengaturan tersebut, pemerintahlah yang berperan aktif dalam

mengatur tentang bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam (selanjutnya
disebut BARAKA) yang terkandung didalamnya. Pemerintah mengatur setiap
kegiatan pengelolaan BARAKA yang berada dalam wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam artian negara sebagai representasi dari

2

UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
C.S.T Kansil dan Kansil.cristine, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,
2001, hal. 40-41
3

Universitas Sumatera Utara


bangsa indonesia. Sebagai contoh kegiatan pengelolaan atas BARAKA yaitu
Perikanan, perindustrian, PERTAMBANGAN, Pembangunan perumahan, dan
lain sebagainya. Dimana dalam pelaksanaannya tetap memegang tujuan dari
wewenang tersebut adalah sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang
adil dan makmur. Selain itu, pemerintah juga berwenang untuk menentukan dan
mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk Badan Hukum dengan
BARAKA.
Pertambangan sebagai salah satu kegiatan pengelolaan kekayaan alam yang
ada dalam perut bumi merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki negara.
Pada tanggal 02 desember 1967 diundangkan undang-undang No.11 Tahun 1967
tentang

Ketentuan-ketentuan

Pokok

pertambangan

untuk


mengkoordinir

penguasaan dan pengusahaan kekayaan alam dalam bidang pertambangan umum.
Meskipun terdapat kelemahan dalam undang-undang ini karena sifatnya yang
sentralistik, namun selama lewat satu dasawarsa sejak diberlakukan, undangundang ini telah membawa sumbangan yang besar bagi perkembangan
pembangunan dibuktikan dengan semakin banyaknya pertambangan umum yang
beroperasi di Indonesia.
Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut dianggap sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan dimasa
depan. Disamping itu, pembangunan pertambangan dituntut harus menyesuaikan
diri dengan perubahan lingkungan dan perkembangan kebutuhan masyarakat
dalam kegiatan berbangsa dan bernegara maupun international. Oleh sebab itu,
pada tanggal 12 januari 2009, diundangkanlah undang-undang no. 4 tahun 2009
tentang pertambangan mineral dan batu bara. Melalui undang-undang ini,

Universitas Sumatera Utara

pemerintah memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
indonesia, koperasi maupun perseorangan untuk melakukan pengusahaan bahan
galian tambang mineral berdasarkan izin usaha tambang.

4

Adapun pengertian Pertambangan sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UU Nomor 4

Tahun 2009 Tentang Pertambangan Energi Sumber Daya Mineral (selanjutnya
disebut UU ESDM)“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang”. Uniknya, bahwa pertambangan yang notabenenya merupakan kegiatan
pengelolan kekayaan alam yang ada dalam perut bumi yang berbentuk bahan
tambang galian memiliki pengaturan hukum khusus berbeda dengan ketentuan
yang mengatur mengenai BARAKA lainnya. Namun, salah satu hal yang sangat
penting dalam undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah adanya kewajiban
pengelola untuk menyetorkan keuntungan yang diperolehnya kepada pemerintah.
Dimana selama ini, pemegang Kontrak Karya (selanjunya disebut KK) dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (selanjutnya disebut
PKP2B) tidak pernah menyetorkan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah
keuntungan yang diperolehnya. Keuntungan yang diperolehnya hanya dinikmati
oleh pemegang KK dan PKP2B. Dimana pemegang KK dan PKP2B hanya

diwajibakan untuk membayar kewajiban pajak dan penyetoran pembagian hasil
produksinya. Dimana jumlah keuntungan yang wajib disetorkan kepada

4

UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Energi Sumber Daya Mineral

Universitas Sumatera Utara

pemerintah adalah sebesar 10% dari total keuntungan bersih yang diperoleh
perusahaan. Adapun dari 10% keuntungan tersebut dibagi lagi menjadi :
1. Pemerintah; dan
2. Pemerintah Daerah.
Adapun bagian pemerintah sebesar 4% sedangkan bagisan pemerintah daerah
adalah sebesar 6%. Bagian pemerintah daerah sebanyak 6% ini dibagi antara lain:
1. Pemerintah provinsi mendapat 1%;
2. Pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5%; dan
3. Pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat
bagian sebesar 2,5%.
Selain itu, Yang menarik untuk ditelusuri adalah instansi pemerintah mana

yang

berhak

untuk

mengeluarkan

Izin

kuasa

Pertambangan

tersebut,

memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan berkala, dan mencabut izin
nya.Selanjutnya apakah masalah “tarik menarik” antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah akan dapat terpecahkan, jika kita kaitkan dengan adanya
otonomi daerah.Biasanya secara klasik akan terjadi perebutan wewenang

pemberian izin, pembuatan kebijakan, pembuatan peraturan, serta pembagian
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan terjadi tarik
menarik pembagian rejeki atas “bagian Pemerintah” yang diperoleh dari
kontraktor pertambangan umum antara Bupati, gubernur dan pemerintah pusat,
sebagai mana ditetapkan dan ditentukan oleh kontrak karya atau implementasi
dari community development.
Disisi lain, pengelolaan penambangan pasti akan selalu memiliki dampak

Universitas Sumatera Utara

terhadap kelestarian lingkungan hidup. Media Communication and Outreach
Jaringan

Advokasi

Tambang

(Jatam)

tertanggal


28

September

2012

memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia karena operasi
pertambangan.

Sekitar

3,97

juta

hektare

kawasan


lindung

terancam

pertambangan, termasuk keragaman hayati. Tak hanya itu, daerah aliran sungai
(DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di
Indonesia, 108 rusak parah.Meskipun demikian, patut diberi apresiasi bahwa
semangat disusunnya UU Minerba adalah dalam rangka memberikan landasan
hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan
pengelolaan dan pengusahaan pertambangan dan mineral. Terutama dalam rangka
menghadapi tantangan lingkungan strategis baik bersifat nasional maupun
internasional dan menjawab sejumlah permasalahan di bidang pertambangan
mineral dan batubara akibat pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi,
otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi
dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran
swasta dan masyarakat. 5
Disisi lain juga, kekuasaan negara atas BARAKA tersebut juga merupakan
suatu kewajiban, dan yang harus dirasakan oleh masyarakat umum terkhusus
masyarakat disekitar wilayah pertambangan. Kekuasaan yang dimiliki negara juga
masih melekat suatu kewajiban untuk kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara
konkrit kemakmuran yang dimaksudkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak
dapat didefenisikan secara jelas. Namun secara implisit, pengembangan terhadap
masyarakat sekitar wilayah pertambangan dapat dijadikan sebagai acuan yang
5

http://Media.communication.outrech.kerusakan_lingkungan. Diakses tanggal 09 februari 2016,
pukul 20.00 wib

Universitas Sumatera Utara

mendasar bahwa sebuah usaha pertambangan telah memberikan manfaat positif
terhadap masyarakat sekitar pertambangan, belum lagi untuk kemakmuran
Rakyat. Seperti contoh pendirian sekolah untuk masyarakat, pemeberian bantuan
kepada

masyarakat

yang

mengalami

kerugian atas

usaha

pengelolaan

pertambangan, pembangunan untuk kepentingan sosial lainnya, Beasiswa dan lain
sebagainya. Peran negara sebagai pemilik kekuasaan haruslah terlihat secara nyata
baik secara langsung maupun melalui perantara perusahaan yang menjadi
pengelolaa

usaha

pertambangan

tersebut.

6

Berkaitan

dengan

Hukum

Pertambangan Nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, menurut
Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam
atau diatas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat
dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.
Realitas menunjukkan bahwa setiap usaha pengelolaan pertambangan pasti
akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup, pengaruh terhadap sosial

6

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan.Lex Jurnalica Volume 10

Nomor 3. Desember 2013,hal 208.

Universitas Sumatera Utara

dan ekonomi masyarakat, dan perekonomian negara sendiri. Sehingga kepastian
hukum sangatlah dibutuhkan dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut.
7

Selain itu, Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat

hukum adat sekitar pertambangan juga melahirkan suatu permasalahan tersendiri
terhadap pengelolaan pertambangan. Dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat
3 UUD-1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI. Hal ini menunjukan bahwa
Negara RI menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala
aspeknya, termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum Adat, hak-hak
ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan lain sebagainya.
Dalam ketentuan Pasal 3 dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, pada prinsipnya menjelaskan
bahwa Pelaksanaan hak ulayat dari masyarakat hukum adat sepanjang masih ada,
disesuaikan dengan kepentingan nasional dan negara, dan akan didudukan pada
tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Pengakuan hukum
adat dalam UUPA, khususnya dalam Pasal 5 bahwa Hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat.
Dengan demikian menunjukan bahwa hukum adat disamping sebagai sumber
utama, juga sebagai pelengkap dalam pembentukan hukum agraria nasional.
Prinsip yang terkandung dalam hak ulayat, terkait dengan salah satu prinsip
hukum adat adalah bersifat “Komunal”. Hak ulayat ini adalah merupakan refleksi
dari salah satu prinsip hukum adat yang bersifat “Komunal”, bahwa masyarakat

7

I b i d. hal 210

Universitas Sumatera Utara

adat mengutamakan prinsip kebersamaan dalam segala hal termasuk dalam
menikmati hasil-hasil tanaman yang ada diatas wilayah mereka. Dalam pandangan
hukum adat, tanah hak ulayat adalah merupakan milik persekutuan hukum
masyarakat adat, dimana mereka secara kolektif memiliki hak untuk
menggunakan dengan bebas tanah tersebut dan pihak diluar persekutuan dapat
juga menikmati hasil tersebut dengan izin kepala Adat dengan pembayaran
recognisi (pembayaran sebelum tanah diolah). Hal ini menunjukan dalam
pandangan hukum adat, bahwa kepemilikan masyarakat adat lebih dominan dari
pada pihak luar . Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPA Kedudukan Hak Ulayat
masih diakui sepanjang masih hidup masih diakui. 8Menurut Boedi Harsono
(Boedi Harsono, 1997), hak ulayat diakui oleh UUPA tetapi pengakuan itu harus
memenuhi 2 syarat : yakni mengenai eksistensinya, diakui sepanjang masih ada,
dan mengenai pelaksanaannya, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara. Undang-Undang, UUPA No. 5 tahun1960 adalah produk hukum yang
menegaskan pengakuan atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5
yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.
9

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)

juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 6
UU Kehutanan, menyebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan negara yang berada
dalamwilayah masyarakat hukum adat. Dalam pasal ini hutan adat di klaim
8

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya,Djambatan, Bandung 1997, hal.70.

9

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan,Lex Jurnalica Volume 10
Nomor 3, Desember 2013, hal 209

Universitas Sumatera Utara

sebagai hutan negara. Kedudukan hutan adat sebagai hutan negara ini dipertegas
lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan
yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).
Perlindungan hukum terhadap masyarakat adat juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan ( UU Perkebunan). Dalam Pasal 9 ayat
(2) UU Perekebunan menegaskan bahwa permohonan hak untuk usaha
perkebunan berada diatas tanah ulayat yang menurut kenyataannya masih ada,
pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat yang
bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan
imbalannya (ganti rugi). Terkait dengan pengelolaan tambang yang berada di
wilayah masyarakat hukum adat, memiliki pengaruh dan dampak yang luas bagi
masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengaruh tersebut tidak hanya berkaitan
kegiatan penggembangan ekonomi dan produksi tambang, namun juga masalahmasalah sosial dan budaya, juga lingkungan tempat tinggal masyarakat adat.
Pembangunan adalah proses natural untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu
masyarakat makmur sejahtera, adil, dan merata.10
Berdasarkan latar belakang realitas tersebut diatas, penulis berpendapat
bahwa sangat penting untuk mengetahui tentang penguasaan negara terhadap
pengelolaan pertambangan dan pertanggung jawaban negara baik melalui
pemerintah

daerah

maupun

perusahaan

pengemban

untuk

memberikan

kemakmuran terhadap rakyat terkhususnya untuk kemakmuran masyarakat
lingkar tambangan, sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur
10

Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Penguatan LKM dan UKM di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2001,hal 23.

Universitas Sumatera Utara

mengenai usaha-usaha pertambangan minerba serta kaitannya terhadap pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kewenangan yang dimiliki negara dari penguasaan-Nya atas
usaha-usaha pertambangan jika dikaitkan dengan hukum agraria?
2. Apa saja hak dan kewajiban yang diberikan yang diberikan kepada
pemilik izin usaha pertambangan dalam mengelola pertambangan
minerba?
3. Bagaimana kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan jika
dikaitkan dengan hak menguasai negara?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui kewenangan hak menguasai negara atas usahausaha pertambangan jika dikaitkan dengan hukum agraria.
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban apa saja yang diberikan kepada
pemilik izin usaha pertambangan dalam mengelola pertambangan
minerba.
c. Untuk

mengetahui

pertambangan

jika

kepastian

hukum

dikaitkan dengan

pemberian
mak

izin

usaha

menguasai

negara

sebagaimana diatur dalam UUPA.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai tambahan literatur dibidang ilmu
hukum, khususnya hukum agraria tentang pertambangan. Selain itu,

Universitas Sumatera Utara

karya tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi penulisan
karya tulis selanjutnya sehingga dapat memberkan kontribusi terhadap
ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya hukum agraria tentang
pertambangan minerba.
b. Manfaat Praktis
Karya tulis ini dapat dijadikan sebagai acuan secara yuridis bagi
pemerintah dalam mengatur tata pengelolaan pertambangan di
Indonesia. Selain itu, karya tulis ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan

kepada

pembaca

tentang

kepastian

hukum

atas

pengelolaan kekayaan alam yang terdapat dalam wilayah negara
kesatuan republik Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Karya Tulis ini dalam pengesahannya adalah melalui tahap pemeriksaan di
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan hasilnya belum
pernah ada ataupun tidak ada karya tulis yang membahas maupun menulis tentang
pembahasan yang sama. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat
dipertanggung jawabkan keasliannya secara ilmiah oleh penulis.
E. Tinjauan Pustaka
1.

Kepastian Hukum
Kepastian hukum (Legal Certainty atau Certain in Law) terdapat dua

suku kata dimana salah satunya terdapat kata “certain”. Berdasarkan Blak’s
Law Dictionary merumuskan pengertian “certain” adalah sebagai berikut:
Certain, Ascertained : precise, identified; exact;definitife;clearly known;
without liability to mistake or ambiguity; from data already given. Free from

Universitas Sumatera Utara

about.” Dalam artian Dipastikan tertentu pada : tepat, mengindetifikasi, tepat,
definitif, jelas diketahui, tanpa adanya kesalahan atau ambiguitas,
memberikan kepada seseorang apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Kepastian hukum merupakan satu asas esensisal dalam negara hukum.
11

Boediono kusumohamidjojo berpendapat bahwa kepastian hukum nyaris

merupakan syarat mutlak bagi suatu negara hukum dan demokratis. Kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan dari hukum itu sendiri mengadung arti
adanya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum. Konsistensi tersebut
diperlukan sebagai acuan atau patokan bagi perilaku manusia sehari-hari
dalam berhubungan dengan masnuai lainnya. Fungi dari kepastian tersebut
antara lain untuk memberikan patokan bagi perilaku yang tertib, damai, dan
adil.
Adapun dalam teori mengenai kepastian hukum yang dikemukakan oleh
Lawrence M.Friedman terdapat tiga elemen berkaitan dengan hukum, yaitu
struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).12
Berkaitan dengan struktur yang dimaksud

oleh

Friedman,

merupakan

kerangka yang memberikan perlindungan menyeluruh terhadap suatu sistem
hukum, struktur terdiri dari elemen-elemen lembaga peradilan, peraturan
perundang-undangan dan prosedur yang

menjadi acuan oleh penegak

hukum. Berikut pendapat Friedman mengenai struktur :
“The structure of a legal system consists of elements of this kind : the
number and size of court;their jurisdiction (that is, what kind of cases
they hear, and how and why); and modes of appeal from onecourt to
11

Budiono kusumohamidjojo, Ketertiban yang adil, Gramedia Widiasarana Indonesia, jakarta
1999. Hal 109
12
Lawrence M.Friedman, American Law (New York : W.W. Norton and Company,1984), hal 7

Universitas Sumatera Utara

another . Structure also means how the legislature is organized, how
many members sit on the Federal Trade Commision, what a president
can (legally) do or not do, what procedures the policies department
follows, and so on. Structure, in way, is a kind of cross section of the
legal system – a kind of still photograph, whichfreezes the action.” 13
Friedman memfokuskan bahasan mengenai hukum secara struktur
sebagai susunan pranata yang mengisi kedudukan-kedudukan yang
mempunyai peran dan fungsinya masing-masing di dalam sebuah sistem
hukum. Sedangkan substansi atau substance merupakan hal-hal apa saja
yang dihasilkan oleh struktur, hal itu bisa berupa peraturan perundangundangan, keputusan-keputusan maupun kebijakan- kebijakan. Substansi
merupakan peraturan, norma, tatanan, dan perilaku suatumasyarakat dalam
suatu sistem yang dibuat oleh yang berwenang. Friedman berpendapat
mengenai substansi (substance) sebagai berikut :
”Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the
actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system;
Substance also means the “the product” that people within the legal
system manufacture – the decision they turn out, the new rules they
contrive” 14
Setelah membahas mengenai struktur dan substansi, Friedman juga
berpendapat mengenai budaya hukum. Budaya hukum merupakan sikap
perilaku masyarakat, sikap masyarakat terhadap suatu norma hukum. Hal ini
berkaitan dengan kepercayaan, nilai, ide dan pengharapan dari suatu
masyarakat terhadap hukum. Pandangan masyarakat terhadap hukum sangat
bervariasi karena dipengaruhi oleh sub kebudayaan seperti etnik, jenis
kelamin, pendidikan, keyakinan, dan lingkungan. Adapun pendapat
13
14

I b i d hal 5
I B I D hal 6

Universitas Sumatera Utara

Friedman mengenai budaya hukum sebagai berikut:
“The stress here is on living law, not just rules in law books. And this
brings us the third component of a legal system, which is, in some ways,
the least obvious : the legal culture. By this we mean people’s attitudes
toward law and the legal system–their beliefs, values, ideas, and
expectations. In other words, it is that the part of the general culture
which concerns the legal system. These ideas and opinion are, in a
sense,
what
sets
the
legal
process
going;thelegalculture,inotherwords,istheclimateofsocialthoughtandsoci
al force which determines how law is used, avoided, or abused.”15
Ketiga hal diatas yang telah dijelaskan merupakan tiga kesatuan yang utuh.
Tiga komponen hukum tersebut menurut Friedman, struktur itu ibarat
sebuah mesin, sementara substansi itu adalah hasil karya mesin tersebut
sedangkan budaya hukum sebagai perilaku atau tata cara si pengguna yang
menggunakan mesin tersebut.
Berkaitan dengan kepastian hukum juga terdapat pendapat dari Leonard
J.Theberge yang menyatakan sistem hukum yang dikembangkan agar hukum
tersebutmampu berperan dalam pembangunan ekonomi, yang mampu
menciptakan prediktabilitas (predictablitiy), stabilitas (stability), dan
keadilan (fairness). 16Berkaitan dengan predictablitiy, hal ini diperlukan agar
hukum dapat menciptakankepastian. Dengan adanya kepastian, investor
dapat memperkirakan akibat tindakan- tindakan yang akan dilakukannya dan
memiliki kepastian bagaimana pihak lain akan bertindak.
Berkaitan dengan stability, peranan dari suatu negara yang dikuasakan
melalui sistem hukum yang sah pada dasarnya untuk menjamin dan menjaga
keseimbangan dari perpolitikan negara tersebut. Keseimbangan ini meliputi
kepentingan individu, kelompok dan kepentingan umum yang dikaitkan
15

I b i d hal 6
Leonard J.Theberge, ”Law and Economic Development”, Journal of International Law and
Policy,Vol 9, (1980), hlm. 232.

16

Universitas Sumatera Utara

dengan tantangan yang sedang dihadapi baik dalam negeri maupun di luar
negeri. Dalam hal ini, hukum dilihat sebagai alat untuk mengakomodasi dan
menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.17
Hal ketiga yang disampaikan oleh Leonard adalah keadilan atau
fairness. Fairness adalah hukum harus menciptakan keadilan bagi
masyarakat dan mencegah terjadinya praktek-praktek yang tidak adil dan
bersifat diskriminatif. Aspek fairness seperti due-process, persamaan
perlakuan dan standar tingkah laku pemerintah adalah suatu kebutuhan
untuk menjaga mekanisme pasar dan mecegah dampak negatif tindakan
birokrasi yang berlebih-lebihan. Tidak adanya standar keadilan, dikatakan
sebagai masalah paling besar yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Dalam jangka

panjang

tidak

adanya

standar

tersebut

dapat

mengakibatkanhilangnyalegitimasi pemerintah.126
Dalam penelitian ini, dapat digunakan untuk melihat bagaimana
kepastian hukum yang ditimbulkan oleh pemberian izin usaha pertambangan
terhadap masyarakat hukum adat, pengembangan masyarakat lingkar
tambang dan terhadap kehutanan di Indonesia.

2.

Penguasaan Negara
Penguasaan negara adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh UUD

1945 pasal 33 ayat 3. Namun, yang menjadi pemikiran tentang penguasaan
BARAKA oleh negara berangkat dari pemahaman atas ketentuan alinea
keempat pembukaan UUD 1945 yaitu :
17

Suparji, Penanaman Modal Asing, Insentiv vs pembatasan UAI, Jakarta : 2008 , hal 5- 16., yang
mengutip dari Leonard J.Theberge, hlm. 232

Universitas Sumatera Utara

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan
yangdipimpinolehhikmah
kebijaksanaan
dalamPermusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pemerintah memiliki tanggungjawab sekaligus tugas utama untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kata-kata tumpah darah memiliki makna tanah air. Tanah air Indonesia
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kesemuanya

itu

ditujukan

untuk

memajukan

kesejahteraan

umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Negara melalui pemerintah mengupayakan agar kekayaan alam yang ada di
Indonesia meliputi yang terkandung di dalamnya adalah dipergunakan
utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Penjabaran lebih lanjut
lanjut dari kalimat ini dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Hak penguasaan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah hak
pengelolaan yang bersumber dari Hak Menguasai negara

yaitu Hak

Menguasai Negara atas usaha pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan lama yang terkandung didalamnya. Dimana mineral dan batu bara
sebagai objek bahan pertambangan tentu sekali yang menjadi dasar hukum

Universitas Sumatera Utara

yang mengaturnya adalah

pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengannya. Hak Menguasai Negara
yang dimaksud disini adalah hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Menguasai yang dimaksud
bukanlah dalam artian negara sebagai pemilik namun menguasai dalam artian
negara yang mengatur mengenai peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan BARAKA, Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum orang-orang dengan BARAKA, juga menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa sesuai pasal 2 ayat 1 dan 2
UUPA, yang bunyinya:
Ayat 1
“atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal
sebagaimana terdapat pada pasal 1, Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalmnya itu, pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat.”
Ayat 2
“Hak menguasai oleh negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.”
Dalam rangka penguasaan negara atas usaha-usaha pertambangan
mengandung pengertian negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan
mengusahakan segenap sumber daya bahan galian yang terdapat dalam
wilayah hukum pertambangan indonesia. Jika dirunut ke-pasal 33 ayat 3

Universitas Sumatera Utara

UUD 1945 “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Dari ayat tersebut terdapat dua aspek kaidah yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu “Hak penguasaan negara” dan “dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”. Hak penguasaan negara merupakan
instrumen (alat) atau bersifat instrumental, sedangkan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan tujuan (objektivitas) dari pada
alat setelah dipergunakan. Hak penguasaan negara merupakan konsep yang
didasarkan pada organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat.18 Hak penguasaan
negara selain berisi wewenang untuk mengatur dan mengurus dan mengawasi
pengelolaan atau penguasaan bahan galian, juga berisi kewajiban untuk
mempergunakannya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengusahaan
dan penggunaan bahan galian disesuaikan dengan tujuan dan diantara
keduanya memiliki sifat kesesuaian yang mutlak dan tidak dapat diubah.
Kemakmuran rakyat merupakan semangat dan cita negara kesejahteraan yang
harus diwujudkan oleh negara dan pemerintah negara indonesia. Oleh karena
itu, HPN atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya pada
hakikatnya merupakan suatu perlindungan dan jaminan akan terwujudnya
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Maka, untuk delegasi wewenang pelaksanaan Hak menguasai Negara itu
tidakah mungkin dapat dilaksanakan oleh pusat secara keseluruhan.
Mengingat adanya program otonomi daerah, sehingga kewenangan untuk
mengatur sendiri daerahnya dapat dilegasikan kepada daerah. Demikian juga

18

Abrar Saleng,Hukum Pertambangan,UII Press, jakarta,2004, hal.21

Universitas Sumatera Utara

dikehendaki oleh UUPA pasal 2 Ayat 4 yang bunyinya:
“Dari hak menguasai negara tersebut diatas pelaksanaanya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional menurut ketentuan peraturan pemerintah.
Dari uraian ayat 4 tersebut diatas, ternyata ada kemungkinan dibuka untuk
menerbitkan suatu hak baru yang namanya ketika itu belum ada tetapi
merupakan delegasi pelaksanaan kepada daerah-daerah otonom dan
masyarakat hukum adat. Untuk delegasi wewenang pelaksanaan Hak
Menguasai Negara itu kepada daerah swatantra (sejak berlakunya undangundang nomor 5 Tahun 1974 istilah ini sudah tidak digunakan lagi dan
diganti dengan daerah tingkat I yaitu Provinsi dan daerah tingkat II yaitu
Kabupaten/Kota), sementara untuk pendelegasian kepada Masyarakat Hukum
Adat masih belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
sehingga masih menjadi suatu das sollen (Teori atau konsep) semata
sungguhpun UUPA cukup fleksibel untuk menampung kelak suatu ketentuan
hak pengelolaan bagi daerah-daerah pedesaan yang tercantum dalam suatu
masyarakat hukum tertentu. 19

3.

pengelolaan dan pengusahaan pertambangan di Indonesia.
20

Pengelolaan berdasarkan KBBI memiliki kata dasar “kelola” yang

artinya mengendalikan, mengurus, menyelenggarakan, jika ditambah awalan
pe- dan akhiran an- membentuk kata pengelolaan yang artinya :
19

A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Medan, 1994. Hal.1
http://kamusbahasaindonesia.org/pengelolaan/mirip. diakses tanggal 10 Februari 2017.pukul
19.25 WIB.
20

Universitas Sumatera Utara

a.

Proses, cara, perbuatan mengelola.

b.

Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang
lain.

c.

Proses

yang

membantu

merumuskan kebijaksanaan dan tujuan

organisasi,
d.

Proses yang memberikan pengawasan kepada semua hal yang terlibat
dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
21

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan,

konstruksi,

penambangan,

pengolahan

dan

pemurnian,

pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
22

Kegiatan pasca tambang yang selanjutnya disebut pascatambang adalah

kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau
seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan
alam dan

fungsi sosial

menurut

kondisi

lokal diseluruh wilayah

penambangan.
23

Penambangan sendiri merupakan bagian kegiatan usaha pertambangan

untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral dan ikutannya.
24

Mineral adalah senyawa organik yang terbentuk dialam, yang memiliki

sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya
yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Sementara
21

Pasal 1 ayat 1 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara.
Pasal 1 ayat 27 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara
23
Pasal 1 ayat 19 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara.
24
Pasal 1 ayat 2 dan 3 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan
batubara.
22

Universitas Sumatera Utara

Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara
alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
25

Dalam pengusahaan suatu usaha pertambangan, haruslah mendapat izin

usaha pertambangan (selanjutnya disebut IUP). IUP adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan.
26

Usaha-Usaha

Pertambangan

adalah

kegiatan

dalam

rangka

pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca
tambang.
Prinsip saling menguntungkan yang dimaksud dalam hal ini adalah
antara masyarakat sekitar wilayah pertambangan dengan pihak pengelola
usaha-usaha

pertambangan

baik

melalui

pemerintah

pusat

ataupun

pemerintah daerah maupun perusahaan pengemban usaha pertambangan.
Dimana diantara subjek hukum tersebut haruslah saling memberikan
pengaruh yang positif dalam bidang-bidang yang sudah dijelaskan diatas.
27

Wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP adalah wilayah

yang memiliki potensi mineral dan/atau batu bara dan tidak terikat dengan
batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
nasional. Maka, Masyarakat sekitar wilayah pertambangan adalah masyarakat
yang bermukim disekitar wilayah usaha-usaha pertambangan mineral
dan/atau batubara dan mineral ikutan-nya.
Suatu perusahaan pertambangan haruslah memberikan kontribusi
25

Pasal 1 ayat 7 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara.
Pasal 1 ayat 6 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara
27
Pasal 1 ayat 29 undang-undang no.4 Tahun 2009 Tentang pertambangan mineral dan batubara
26

Universitas Sumatera Utara

terhadap masyarakat lingkar tambang. Pengembangan ini dinamakan dengan
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dalam pasal 1 angka 28 yang
bunyinya “pemberdayaan masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun secara kolektif, agar
menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.

Jenis Penelitian
Menurut Soerjono soekanto, penelitian hukum dapat dibagi kedalam:
a. Penelitian hukum normatif, yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronasi hukum, sejarah hukum, dan
perbandingan hukum.
b. Penelitian Hukum sosiologis atau Empiris, yang terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
Maka, jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan Penelitian hukum

Normatif. Normatif, karena skripsi ini mengkaji kepastian hukum Indonesia
dalam mengatur tentang usaha pengelolaan pertambangan tepatnya dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara (termasuk peraturan perundang-undangan dibawahnya secara hirarkis)
dikaitkan dengan hak pengelolaan negara atas bumi, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkadung didalamnya yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-pokok Dasar Agraria.
2.

Sifat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Secara garis besar, sifat penelitian terbagi atas:
a.

Penelitian Eksploratoris, yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk
memperoleh keterangan, penjelasan dan data yang belum diketahui
sebelumnya.

b.

Penelitian Deksriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan dan
memaparkan kembali fenomena yang ada.

c.

Penelitian Eksplanatoris, yaitu suatu penelitian yang menerangkan,
memperkuat, menguji, bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa
terhadap penelitian-penelitian yang ada.

Berdasarkan penjelasan diatas, Sifat penulisan dalam skripsi adalah penelitan
Dekskriptif. Karena dalam skripsi ini akan dipaparkan mengenai kekuasaan
negara atas usaha pengelolaan pertambangan sekaligus kaitannya dalam
perkembangan hukum positif indonesia yang telah mempengaruhi kepastian
hukum kekuasaan negara atas bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya yang terdapat diwilayah hukum NKRI.
3.

Sumber Data
Sumber data dalam penelitian hukum pada umumnya dapat berupa data

primer dan data sekunder.
a.

Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya
baik melalui baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam
bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.

b.

Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, dan peraturan
perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini, menggunakan data sekunder. Dimana dalam data
sekunder ini, kemudian terbagi atas tiga bagian, yaitu:
• Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang memiliki sifat
mengikat. adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam
peneliian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria,Undang-undang No.4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, Peraturan Pemerintah
RI No.22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
• Bahan Hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen resmi dan sifatnya tidak terikat seperti
buku teks, jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan. yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku, jurnal, yang
berkaitan dengan hukum agraria khususnya pertambangan.
• Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahanprimer maupun sekunder. Misalnya
Kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bashasa Indonesia (KBBI),
Ensiklopedia, Indeks Kumulatif, Wikkipedia, dan Lain sebaginya.
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus besar bahasa
indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum.
4.

Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi atas dua bagain yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum dapat berupa studi
lapangan (Field Research) yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan
untuk mendapatkan data primer yang diperoleh langsung dari lapangan baik
berupa wawancara maupun pengamatan terhadap objek penelitian dan Studi
kepustakaan (Library Research) digunakan untuk mendapatkan data
sekunder yaitu dengan mencari teori yang bersifat umum berkaitan dengan
objek penelitian untuk mendapatkan data sekunder.
Dalam hal ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
adalah studi kepustakaan karena dari sifat penelitian normatif yang dipakai,
sehingga peneliti mengumpulkan data skripsi ini untuk memperoleh konsep
dan teori yang bersifat umum. Untuk kemudian dapat dianalisa
permasalahan yang ada untuk kemudian ditemukan suatu pemecahan
masalah melalui data yang bersumber dari buku, jurnal hukum, maupun
kamus hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.
b.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan pendekatan secara kualitatif terhadap data sekunder. Analisis
terhadap data sekunder dimaksudkan untuk mengetahui makna aturan
hukum tentang kekuasaan negara atas pengelolaan pertambangan dan
konsepsi pengembangan masyarakat dalam usaha kegiatan pertambangan.
Adapun cara yang dilakukan penulis dalam menganalisis data skripsi ini
adalah melalui pemilihan peraturan perundang-undangan yang kemudian
memilah pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang

Universitas Sumatera Utara

mengatur tentang objek kajian, membuat sistematika dan sinkronasi diantara
peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan ditemukan suatu
permasalahan kemudian melalui data sekunder akan dilakukan analisis
untuk menemukan klasifikasi dan keselarasan yang benar mengenai objek
kajian.
G.

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan gambaran isi dari tulisan penelitian yang

tersusun secara sistematis (sesuai urutan, tahapan, langkah, dan lain-lain). Adapun
tulisan ini disusun secara bertahap yang terdiri dari bab-bab, dimana bab-bab
tersebut sesuai dengan pembahasannya terdiri dari sub-sub bab sebagai
penjabaran dari setiap bab per babnya. Adapun sub-sub bab tersebut antara satu
dengan yang lainnya masih berkaitan (komprehensif).
Oleh karena itu, sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam susunan
sebagai berikut:
a.

BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini, terdapat sub bab yang berisikan tentang gambaran umum

penelitian yaitu latar belakang penulis mengangkat judul penelitian, perumusan
masalah tentang apakah yang menjadi masalah hukum maupun sosial lainnya
yang ingin dibahas dalam penelitian tersebut, tujuan dan manfaat penelitian,
keaslian penulisan tentang judul penelitian yang dibahas adalah murni belum
pernah dibahas dalam penelitian sebelumnya, dan tinjaun pustaka tentang
penjelasan secara singkat dan umum mengenai judul penelitian yang diangkat
juga penjelasan terhadap kata-kata yang berkaitan dengan pembahasan penelitian
penelitian.

Universitas Sumatera Utara

b.

BAB II Kewenangan hak menguasai negara atas usaha-usaha pertambangan
mineral dan batubaradikaitkan dengan hukum agraria.
Dalam bab ini, membahas tentang Pengertian hak menguasai negara

berdasarkan uupa, Sistem pengelolaan usaha pertambangan minerba di-Indonesia,
serta kewenangan negara atas usaha-usaha pertambangan minerba di-Indonesia
berdasarkan undang-undang no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan
batubara dengan uupa.
c.

BAB III Hak dan kewajiban pemegang izin usaha pertambangan dalam
mengelola Mineral dan batubara.
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai apa saja Hak dan Kewajiban

pemegang IUP dalam mengelola pertambangan minerba. Serta akibat hukum yang
timbul apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang IUP.
d.

BAB IV Kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan dikaitkan
dengan hak menguasai negara berdasarkan UUPA.
Bab ini membahas tentang penelitian penulis terhadap Kepastian hukum

pemberian IUP dengan hak ulayat masyarakat hukum adat, Kepastian hukum
ataspemberdayaan masyarakat lingkar tambang, kepastian hukum izin usaha
pertambangan terhadap kehutanan.
e.

BAB VIPenutup
Bab ini merupakan pembahasan terakhir dalam skripsi ini dimana akan

dipaparkan mengenai apa yang menjadi kesimpulan atas permasalahan yang ada
dan saran dari penulis untuk pemecahan masalah yang menjadi objek kajian.

Universitas Sumatera Utara

Daftar Pustaka....................................

Universitas Sumatera Utara