Pembuatan dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Sediaan Floating Tetrasiklin Dengan Menggunakan Cangkang Kapsul Alginat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetrasiklin
2.1.1

Uraian umum tetrasiklin (Ditjen POM, 2014)
Rumus Bangun:

Gambar 2.1 Rumus bangun tetrasiklin
Rumus Molekul : C22H24N2O8
Berat Molekul

: 444,43

Pemerian

: Serbuk hablur, kuning; tidak berbau. Stabil di udara
tetapi pada pemaparan dengan cahaya matahari kuat
menjadi gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil
dari 2, potensi berkurang, dan cepat rusak dalam

larutan alkali hidroksida.

Kelarutan

: Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam
larutan

asam

encer dan

dalam

larutan

alkali

hidroksida; sukar larut dalam etanol; praktis tidak
larut dalam kloroform dan dalam eter.
pH


: Antara 3,0 dan 7,0

9
Universitas Sumatera Utara

2.1.2

Farmakologi tetrasiklin
Tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik.

Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini (Setiabudy,
2012).
Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi
bakteri Gram-positif dan -negatif, -aerobik dan anaerobik. Selain itu, tetrasiklin
juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela, dan
protozoa tertentu (Setiabudy, 2012). Tetrasiklin juga digunakan untuk mengobati
ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacter pylori (Katzung, dkk., 2004).
Dosis oral tetrasiklin untuk infeksi Helicobacter pylori adalah 500 mg
empat kali sehari dan pegobatan selama 10-14 hari (Chey dan Wong, 2007).

Untuk infeksi klamidia adalah 500 mg empat kali sehari selama 7 hari dan untuk
infeksi akne adalah 500 mg dua kali sehari (Setiabudy, 2012).
2.1.3

Farmakokinetik tetrasiklin

a. Absorpsi: kira-kira 30-80% tetrasklin diserap lewat saluran cerna. Absorpsi
ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas.
Berbagai faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya
makanan dalam lambung, pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks
tetrasiklin dengan zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca2+, Mg2+,
Fe2+, Al3+ yang terdapat dalam susu dan antasid). Oleh sebab itu sebaiknya
tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan (Setiabudy, 2012).
b. Distribusi: Dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein
plasma dalam jumlah yang bervariasi. Pemberian oral 250 mg tetrasiklin
tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2,0-2,5 μg/ml. Dalam cairan

10
Universitas Sumatera Utara


serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam
serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis.
Penetrasi ke cairan tubuh lain dalam jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa, dan
sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum bererupsi.
Golongan tetrasiklin menembus sawar uri yang terdapat dalam air susu ibu
dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya,
daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan lebih baik
(Setiabudy, 2012).
c. Metabolisme: Obat golongan tetrasiklin tidak dimetabolisme di hati
(Setiabudy, 2012).
d. Ekskresi: Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi
glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin
diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke
dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat
yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama
setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau
gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat
yang tidak diserap diekskresi melalui tinja (Setiabudy, 2012).

2.1.4

Efek samping tetrasiklin

a. Reaksi kepekaan: reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian
golongan tetrasiklin adalah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis
eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat adalah edema angioneurotik dan reaksi

11
Universitas Sumatera Utara

anafilaksis. Demam dan eosinofilia dapat terjadi pada waktu terapi
berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivat tetrasiklin sering
terjadi (Setiabudy, 2012).
b. Reaksi toksik dan iritatif: iritasi lambung paling sering terjadi pada
pemberian tetrasiklin per oral. Makin besar dosis yang diberikan, makin
sering terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi
dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin
bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antasid yang
mengandung alumunium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali

timbul akibat iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi
staphylococcus sp. atau Clostridium difficile yang sangat berbahaya.
Manifestasi reaksi iritatif yang lain adalah terjadinya tromboflebitis pada
pemberian IV dan rasa nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan
IM tanpa anestetik lokal. Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan
kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik
pada granulosit dan trombositopenia (Setiabudy, 2012).
c. Efek samping akibat perubahan biologik: Seperti antibiotik lain yang
berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti
oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinfeksi
kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, faring, bahkan kadangkadang

menyebabkan

infeksi

sistemik.

Faktor


predisposisi

yang

memudahkan terjadinya superinfeksi ini adalah diabetes melitus, leukimia,
lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien
yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama (Setiabudy, 2012).

12
Universitas Sumatera Utara

2.1.5

Interaksi tetrasiklin
Tetrasiklin membentuk kompleks tak larut dengan sediaan besi,

aluminium, magnesium, dan kalsium, sehingga resorpsinya dari usus gagal. Oleh
karena itu, tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan makanan
(khususnya susu) atau antasida (Tan dan Rahardja, 2002).


2.2 Penyakit Ulkus Peptikum
2.2.1

Gambaran umum
Penyakit ulkus peptikum adalah keadaan di mana kontinuitas mukosa

lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang
tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun sering dianggap
sebagai tukak (misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda dengan tukak
akut karena memiliki jaringan parut pada dasar tukak (Price dan Wilson, 1995).
Berdasarkan lokasinya, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap
bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum (Price dan Wilson, 1995).
Gejala utama penyakit tukak lambung adalah adanya rasa sakit dan
ketidaknyamanan pada bagian lambung dan gejala lainnya seperti pendarahan
pada tinja, muntah, dan tinja yang berwarna hitam menunjukkan bahwa terjadinya
pendarahan pencernaan gastrointestinal (Sunil, et al., 2012).
2.2.2

Etiologi penyakit ulkus peptikum

Kebanyakan penyakit ulkus peptikum disebabkan karena adanya asam

lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor
lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhan mukosa.

13
Universitas Sumatera Utara

Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme
pertahanan mukosa proses penyembuhannya (Berardi dan Welage, 2005).
Penyebab ulkus peptikum yang lain adalah terlalu banyak sekret getah
lambung yang berhubungan dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh
lapisan mukus lambung dan duodenum, serta netralisasi asam lambung oleh getah
duodenum. Daerah keadaan normal yang terpapar getah lambung disuplai banyak
kelenjar mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposit pada bagian bawah
esofagus, kemudian lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula
pilorika dalam yang terutama menyekresi mukus, akhirnya kelenjar Brunner pada
duodenum atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1990).
2.2.3


Patofisiologi
Penyebab terjadinya ulkus peptikum saat ini masih sering diperdebatkan.

Patifisiologi

penyakit

tukak

lambung

dapat

digambarkan

sebagai

ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, dan asam
lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, dan prostaglandin), yang
menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012).

2.2.4

Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah penyebab utama tukak lambung yang pertama

kali di identifikasi oleh dua ilmuwan austraslia pada tahun 1982. Helicobacter
pylori merupakan bakteri bacillus gram negatif, berbentuk spiral, bakteri
mikroaerofilik, dan memiliki flagellata (Shah, et al., 2009). Bakteri ini dapat
ditemukan antara lapisan mukus dan permukaan sel epitel di lambung, atau pada
berbagai lokasi lapisan sel epitel dapat ditemukan. Kombinasi antara bentuk tubuh

14
Universitas Sumatera Utara

spiral dan flagel dari bakteri yang membantunya berpindah-pindah disekitar
lumen dalam lambung (Berardi dan Welage, 2005).
Helicobacter pylori memproduksi enzim urease dalam jumlah besar
dimana enzim ini menghidrolisis urea yang terdapat dalam cairan lambung dan
mengubahnya menjadi amonia dan karbondioksida. Efek netralisir dari amonia
yang dihasilkan akan membentuk suasana netral dan mengelilingi tubuh bakteri
yang dapat membantu melindungi bakteri dari pengaruh asam di lambung. Bakteri
ini juga memproduksi senyawa protein penghambat asam yang membantunya
untuk beradaptasi di lingkungan dengan pH yang rendah dalam lambung.
Helicobacter pylori dapat berpindah ketubuh lain melalui tiga jalur yaitu fesesoral, oral-oral dan iatrogenik (Berardi dan Welage, 2005).
Infeksi H.pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis kronis pada semua
individu yang terinfeksi dan secara umum terkait dengan ulkus peptikum, kanker
lambung, dan mukosa jaringan limpoid. Namun, hanya sejumlah kecil yang
terkena infeksi H.pylori dapat mengakibatkan terjadinya penyakit ulkus peptikum
sekitar 20% atau kanker lambung kurang dari 1% (Berardi dan Welage, 2005).
2.2.5

Sawar mukosa lambung
Mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan

termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan, dan
mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal
dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim
proteolitik dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung
memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk
mempertahankan keutuhan mukosa lambung (Malik, 1992).

15
Universitas Sumatera Utara

Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan
terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Prostaglandin terdapat dalam jumlah
berlebihan di mukus lambung dan berperan penting dalam pertahanan mukosa
lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung dan duodenum
(Price dan Wilson, 1995). Prostaglandin dapat meningkatkan resistensi selaput
lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi
sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa.
Pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus.
Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara
fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002).
Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain
dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada
gambar dibawah ini

Gambar 2.2 Gambaran penyakit ulkus peptikum

16
Universitas Sumatera Utara

2.2.6

Terapi eradikasi Helicobacter pylori
Di Amerika Serikat, terapi eradikasi Helicobacter pylori terdiri atas: terapi

lini pertama / terapi tripel, terapi lini kedua / terapi kuadrupel, dan terapi
sekuensial (Chey dan Wong, 2007).
Terapi lini pertama digunakan obat antara lain (Chey dan Wong, 2007) :
- Proton pump inhibitor + amoksisilin + klaritomisin (70-85%)
- Proton pump inhibitor + metronidazol + klaritomisin (70-85%)
- Proton pump inhibitor + metronidazol + tetrasiklin (75-90%)
Pengobatan dilakukan selama 10-14 hari
Dosis :
1. PPI: Omeprazole 2x20 mg/hari, Lansoprazole 2x30 mg/hari, Rabeprazole 2x10
mg/hari, dan Esomeprazole 2x20 mg/hari
2. Amoksisilin : 2 x 1000 mg/hari
3. Klaritomisin : 2 x 500 mg/hari
4. Metronidazol : 3 x 500 mg/hari
5. Tetrasiklin : 4 x 250 mg/hari
Terapi lini kedua / terapi kuadrupel dilakukan jika terdapat kegagalan pada
lini pertama. Kriteria gagal dapat dilihat apabila 4 minggu pasca terapi, bakteri
Helicobacter pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan uji nafas urea atau
hispatologi (Chey dan Wong, 2007).
Terapi lini kedua digunakan obat antara lain (Chey dan Wong, 2007) :
- Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + amoksisilin +
klaritomisin

17
Universitas Sumatera Utara

- Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + metronidazol +
klaritomisin
- Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + metronidazol +
tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama 7 hari
Dosis bismuth subsalicylate adalah 2 x 525 mg/hari
Terapi tripel sekuensial menggunakan 3 antibiotik yang mungkin
meningkatkan kecepatan eradikasi, terutama resisten klaritomisin. Regimen
sekuensial terdiri dari 40 mg pantoprazol, 1 gram amoksisilin, dan placebo,
masing-masing diberikan dua kali sehari untuk 5 hari pertama kemudian 40 mg
pantoprazol, 500 mg klaritomisin, dan 500 mg tinidazol yang masing-masing
diberikan dua kali sehari untuk sisa selama 5 hari. Terapi standar 10 hari terdiri 40
mg pantoprazol, 500 mg klaritomisin, dab 1 gram amoksisilin yang masingmasing diberikan dua kali sehari. Terapi pengobatan keduanya ditoleransi dengan
baik tetapi eradikasi dengan regimen sekuensial (89%) secara signifikan lebih
baik daripada terapi pengobatan standar (77%) (Hajiani, 2009).

2.3 Lambung
2.3.1

Gambaran umum
Lambung adalah organ berbentuk huruf J yang terletak pada bagian kiri

atas rongga perut di bawah diafragma yang dapat dilihat pada gambar 2.3.
Lambung terdiri dari epitel selapis toraks dengan lekukan-lekukan sehingga
terbentuk lubang-lubang pada permukaan lambung. Lubang-lubang ini merupakan
muara dari kelenjar lambung. Lambung dapat diregangkan sehingga mampu

18
Universitas Sumatera Utara

menampung sejumlah besar makanan (Leeson, dkk., 1989). Lambung menerima
makanan dan bekerja sebagai penampung untuk jangka waktu pendek. Semua
makanan dicairkan dan dicampurkan dengan asam lambung dan dicerna oleh usus
(Pearce, 2006). Lambung merupakan organ untuk menampung makanan yang
ditelan. Lambung dapat membesar sampai mencapai kapasitas dua sampai tiga
liter dan tidak mempunyai bentuk yang tetap (Wibowo, 2009).

Gambar 2.3 Struktur lambung (Hameed, et al., 2014)
2.3.2

Anatomi lambung
Secara anatomis lambung terbagi atas kardia, fundus, korpus, dan pilorus.

Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor (Price dan Wilson, 1995). Bagian
proksimal terdiri dari bagian fundus dan bagian badan yang bertindak sebagai
tempat untuk bahan tercerna. Bagian antrum adalah bagian utama untuk gerakan
mencampur makanan dan juga bertindak sebagai pompa dalam pengosongan
lambung untuk mendorong makanan menuju bagian saluran pencernaan
selanjutnya (Arunachalam, et al., 2011).

19
Universitas Sumatera Utara

Lambung terdiri dari empat lapisan umum, yaitu: mukosa, submukosa,
muskularis, dan serosa (Leeson, dkk., 1989). Mukosa merupakan lapisan dalam
lambung yang tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal yang disebut rugae.
Dengan adanya lipatan-lipatan ini, lambung dapat berdistensi sewaktu diisi
makanan (Price dan Wilson, 1995). Mukosa lambung terdiri dari epitel permukaan
yang mengalami invaginasi dengan berbagai kedalaman di dalam lamina propria
dan membentuk gastric pits. Lamina propria dari lambung terdiri dari jaringan
penghubung yang jarang yang diselilingi dengan sel-sel otot polos dan limfoid.
Lapisan otot yang memisahkan mukosa dari submukosa adalah mukosa
muskularis. Stres dan faktor-faktor psikosomatik lain; konsumsi substansi seperti
aspirin, etanol, makanan yang hiperosmolar, dan beberapa mikroorganisme
misalnya Helicobacter pylori dapat mengganggu permukaan epitel dan
menyebabkan ulkus (Junqueira dan Carneiro, 2005).
Submukosa terdiri dari jaringan aerolar yang menghubungkan lapisan
mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
bersama gerakan peristaltik makanan. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf
pembuluh darah dan saluran limfa (Price dan Wilson, 1995).
Muskularis dibentuk oleh tiga lapisan otot polos, yaitu: (1) Lapisan luar
longitudinal dan (2) Lapisan tengah sirkular yang merupakan lanjutan dari kedua
lapisan otot esofagus dan ditambah dengan (3) Lapisan serong (oblik) berbentuk
lengkungan otot yang berjalan dari kardia mengitari fundus dan korpus (Leeson,
dkk., 1989).
Serosa merupakan lapisan terluar yang dibentuk oleh jaringan aerolar
elastis yang relatif padat. Pada banyak tempat, jaringan aerolar diliputi oleh

20
Universitas Sumatera Utara

peritoneum yaitu satu lapis sel mesotel gepeng dan pada keadaan ini disebut
serosa. Pembuluh darah dan limfa terdapat di serosa dan menuju ke lapisanlapisan yang lain (Leeson, dkk., 1989).
2.3.3

Fisiologi lambung
Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut

makanan. Selain itu, lambung juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan
makanan dalam jangka waktu singkat yang memungkinkan untuk mengonsumsi
makanan dalam jumlah yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara
enzimatik berlangsung di dalam lambung (Narang, 2011).
Apabila makanan masuk di dalam lambung maka lambung melemas akibat
proses refleks relaksasi reseptif. Relaksasi otot-otot lambung ini dicetuskan oleh
gerakan gerakan faring dan esofagus. Relaksasi kemudian diikuti oleh kontraksi
peristaltik yang mencampur makanan dan menyemprotkannya ke dalam
duodenum dengan kecepatan terkontrol. Gelombang peristaltik yang paling jelas
di pusat distal lambung. Apabila berbentuk dengan baik, gelombang kontraksi
berlangsung dengan kecepatan 3 kali/menit (Ganong, 1999).
Waktu pengosongan lambung saat berpuasa ataupun saat makan
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan gerakan
atau motilitas dari otot-otot lambung yang mengakibatkan perbedaan waktu
pengosongan lambung diantara kedua kondisi ini. Siklus yang baik makanan
melalui lambung dan usus setiap 2 sampai 3 jam. Siklus ini disebut siklus
mioelektrik bagian saluran pencernaan atau perpindahan suatu bahan tercerna
dalam saluran pencernaan yang dipengaruhi motilitas saluran pencernaan. Dalam
siklus ini dibagi dalam 4 tahapan:

21
Universitas Sumatera Utara

1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan
terjadinya awal motilitas kontraksi.
2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit dengan
potensial aksi dan motilitas kontraksi. Pada fase ini berlangsung dengan
intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara bertahap.
3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini
mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat
4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase II dan
fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus (Hameed, et al.,
2014).
Tahapan siklus kontraksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Pola motilitas saluran pencernaan (Hameed, 2014).
2.3.4

Sekresi lambung
Sel-sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung

setiap hari. Getah lambung mengandung bermacam-macam bahan seperti: pepsin,

22
Universitas Sumatera Utara

lipase, mukus, kation (Na+, K+, Mg2+, H+ (pH sekitar 1,0)), dan anion (Cl- dan
SO42-). Asam lambung yang disekresikan oleh kelenjar di korpus lambung
membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein,
menghasilkan pH yang dibutuhkan pepsin untuk mencerna protein, serta
merangsang aliran empedu dan getah pankreas. Asam ini cukup pekat untuk dapat
menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung
tidak mengalami iritasi atau tercerna karena getah lambung juga mengandung
mukus (Ganong, 1999).
Mukus disekresikan oleh permukaan sel-sel mukosa dan leher di korpus
dan fundus serta sel-sel yang serupa di bagian lambung lain yang terdiri dari
glikoprotein yang disebut musin. Masing-masing musin mengandung 4 submit
yang disatukan oleh jembatan disulfida. Mukus membentuk suatu gel fleksibel
yang melapisi mukosa. Membran permukaan sel mukosa dan taut erat antara selsel juga merupakan bagian sawar mukosa yang melindungi epitel lambung dari
kerusakan (Ganong, 1999).

2.4 Sistem Penyampaian Obat
2.4.1

Uraian sistem penyampaian obat
Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat

yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat
yang lain dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik
dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para
ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat yang ideal.
Sistem pemberian obat yang ideal harus memiliki kemampuan untuk dapat

23
Universitas Sumatera Utara

digunakan

satu

dosis

pemberian

obat

dan

selama

pengobatan

harus

menyampaikan obat secara langsung di lokasi tertentu supaya pengobatan menjadi
optimal. Para ilmuwan telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat
yang mendekati sistem penyampaian yang ideal dan mendorong para ilmuwan
untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau “Controlled
Release System”. Desain penyampaian obat secara oral dimana pelepasan obatnya
dipertahankan berlangsung secara terus menerus yang ditujukan untuk mencapai
pelepasan obat yang efektif sehingga konsentrasi obat pada jaringan target dapat
ditentukan dan mengoptimalkan efek terapetik obat yang dilakukan dengan cara
mengendalikan pelepasan obat di dalam tubuh dengan dosis obat tertentu.
Biasanya obat konvensional diberikan dalam dosis berkala yang diformulasikan
sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas, aktivitas, dan bioavalabilitas
sediaan obat. Kebanyakan obat yang diformulasi dalam bentuk sediaan
konvensional kurang efektif dalam penyampaian obat di jaringan target (Kumar,
et al., 2012).
Rute oral yang secara umum merupakan sistem penyampaian obat yang
ideal memiliki dua sifat utama yaitu (Sharma, et.al., 2011):
1. Untuk aksi diperpanjang harus diberikan dalam dosis tunggal.
2. Penyampaian langsung dari obat aktif ke jaringan target.
2.4.2

Sistem penyampaian obat pelepasan lambat
Sistem pelepasan lambat (Sustained release) adalah sistem penyampaian

obat yang pelepasan obatnya diperlambat selama jangka waktu tertentu dan juga
pelepasan obat dikontrol di dalam tubuh. Oleh karena itu, sistem penyampaian
obat ini berhasil mempertahankan tingkat konsentrasi obat yang konstan pada

24
Universitas Sumatera Utara

jaringan target atau sel. Sistem penyampaian obat dengan cara ini dikelompokkan
ke dalam dua sistem penyampaian obat yaitu “Controlled Release” dan “Extended
Release” (Lee, 1987).
a. Controlled Release
Sistem controlled release merupakan sistem penyampaian obat terkontrol
yang pelepasannya secara perlahan selama priode waktu tertentu yang pelepasan
obatnya diperpanjang (Lee, 1987).
b. Extended Release
Sistem extendend release merupakan sistem penyampaian obat yang
pelepasan obatnya lebih lambat dari pelepasan obat secara normal pada umumnya
dan dapat mengurangi frekuensi dosis obat (Lee, 1987).
Keuntungan sistem pelepasan lambat adalah mengurangi efek samping
secara lokal maupun sistemik yaitu pencegahan iritasi lambung, pemanfaatan obat
yang lebih baik yaitu mengakumulasi dosis kronis suatu obat, meningkatkan
efisiensi pengobatan,dan meningkatkan kepatuhan pasien dengan mengurangi
dosis pemakaian per hari (Isha, et al., 2012).
Pelepasan lambat menguraikan suatu pelepasan yang lambat dari bahan
obat suatu sediaan untuk mempertahankan respon terapetik dalam waktu yang
panjang yaitu 8-12 jam dan kriteria sediaan SR yaitu jumlah obat yang terdisolusi
selama 3 jam adalah 20-50% untuk 6 jam adalah 45-75% dan 12 jam≥ 75%
(Murthy dan Sellasie, 1993).
2.4.3

Sistem penyampaian obat gastroretentif
Sistem penghantaran obat tinggal di lambung (GDDS) adalah salah satu

cara untuk memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam lambung dengan

25
Universitas Sumatera Utara

maksud untuk pemberiaan obat lokal pada saluran cerna bagian atas ataupun
untuk efek sistemik. Bentuk sediaan gastroretentif dapat bertahan di lambung
untuk waktu yang lama sehingga memperpanjang waktu retensi obat pada
lambung (Nayak, et al., 2010).
Jenis sistem penghantaran obat tertahan di lambung terdiri dari (Dehghan
dan Khan, 2009; Ami, et al., 2012; Swetha, et al., 2012):
a. Sistem mengembang dan membesar (swelling and expandable system)
b. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems)
c. Sistem mengapung (floating systems)
d. Sistem berdensitas tinggi (high-density systems)
Gambaran sistem penghantaran obat tertahan di lambung dapat ditunjukkan pada
Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Sistem penghantaran obat tertahan di lambung (Swetha, et al., 2012).
Berikut perbandingan antara sistem penyampaian obat konvensional dan
gastroretentif dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

26
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Perbedaan antara sistem penyampaian obat konvensional dan
gastroretentif (Dixit, et al., 2015)
Sistem penyampaian obat
konvensional
Meningkatkan efek samping
Mengurangi

tingkat

Sistem penyampaian obat gastroretentif
Mengurangi efek samping

kepatuhan Meningkatkan kepatuhan pasien

pasien
Mengurangi waktu retensi lambung

Meningkatkan waktu retensi lambung

Tidak sesuai untuk penyampaian Sesuai untuk penyampaian obat dengan
obat dengan rentang absorpsi yang rentang absorpsi yang sempit pada
sempit pada daerah usus

daerah usus

Tidak banyak bermanfaat bagi obat Bermanfaat

bagi

obat

yang

yang menunjukkan aksi lokal di menunjukkan aksi lokal di lambung dan
lambung dan terdegradasi dalam terdegradasi dalam usus dan mengalami
usus dan mengalami absorpsi yang absorpsi yang cepat melalui saluran
cepat melalui saluran pencernaan

2.4.4

pencernaan.

Sistem penyampaian obat mengapung (floating system)
Sistem penyampaian obat mengapung merupakan salah satu pendekatan

untuk mencapai retensi lambung sehingga diperoleh bioavaibilitas obat yang
dikehendaki. Sistem ini sesuai untuk obat yang memiliki rentang absorpsi yang
sempit di lambung dan juga memiliki daya densitas yang kecil sehingga memiliki
daya apung yang besar untuk dapat mengapung di atas cairan lambung tanpa
mempengaruhi tingkat kecepatan selama periode waktu yang lama. Sementara
sistem mengapung pada cairan lambung, obat dilepaskan secara perlahan-lahan
pada tingkat yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem
residual ini dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu
retensi lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat
dalam plasma (Ami, et al., 2012; Dwivedi dan Kumar, 2011).

27
Universitas Sumatera Utara

2.4.4.1 Pembagian sistem mengapung
Sistem penghantaran obat mengapung diklasifikasikan pada dua variabel
mekanisme yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent.
a. Sistem Effervescent
Sistem ini tidak hanya menggunakan polimer sintetik tetapi juga
menggunakan polimer alam untuk dibuat dalam bentuk matriks seperti dengan
menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa, kitosan,
dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, asam tartrat, dan
asam sitrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa sehingga ketika kontak dengan
cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap
dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini membantu sediaan untuk
mengapung. Bahan tambahan yang sering digunakan pada sistem ini adalah
HPMC, polimer poliakrilat, polivinil asetat, karbopol, agar, natrium alginat,
kalsium klorida, polietilen oksida, dan polikarbonat (Hameed, et al., 2014).

Gambar 2.6 Unit tunggal dan mekanisme sistem Effervescent FDDS

28
Universitas Sumatera Utara

Lapisan terluar sistem effervescent terbuat dari polimer yang dapat
mengembang yang permeabilitas terhadap cairan lambung sehingga bila
berkontak dengan lapisan effervescent natrium bikarbonat akan menunjukkan
reaksi netralisasi dimana karbon dioksida dibebaskan oleh keasaman cairan
lambung dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid sehingga sediaan bergerak ke
atas dan mengapung kemudian obat berdifusi secara perlahan-lahan (Hameed, et
al., 2014).
b. Sistem Non-effervescent
Bentuk

sediaan

mengapung

Non-effervescent

pada

umumnya

menggunakan bahan pembentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang
yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida, dan polimer pembentuk
matriks seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetaklirat dan polistiren. Metode
formulasi sistem ini termasuk sederhana yaitu dengan mencampurkan obat dengan
hidrokoloid pembentuk gel. Setelah pemberian oral, bentuk sediaan ini
mengembang dan berkontak dengan cairan lambung dan memiliki daya densitas <
1. Udara yang terperangkap dalam matriks akan mengembang sehingga sediaan
mengapung. Struktur seperti gel yang mengembang bertindak sebagai reservoir
dan memungkinkan pelepasan obat perlahan-lahan melalui resevoirnya (Bharathi,
et al., 2015). Contoh tipe sistem penyampaian obat mengapung ini adalah sistem
pelindung koloid gel, sistem kompartemen mikroporos, butiran alginat, dan
mikrosfer berongga (Amit, et al., 2011).
2.4.4.2 Kandidat obat untuk sediaan mengapung
Pada sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan
tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran, dan aktivitas

29
Universitas Sumatera Utara

kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk
diformulasikan pada sistem penghantaran obat mengapung diantaranya:
a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung, contoh: misoprostol dan
antasida
b. Obat-obat yang memiliki rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan,
contoh: Levodopa, asam p-amino benzoat, furosemid, dan riboflavin.
c. Obat-obat yang tidak stabil pada lingkungan basa di bagian usus atau kolon,
contoh: Captopril, ranitidine HCl, dan metronidazol.
d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon, contoh:
antibiotik yang digunakan pada pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya
tetrasiklin, klaritomisin, metronidazol, dan amoksisilin.
e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi,
contoh: diazepam, klordiazeposid, dan verapamil (Bharathi, et al., 2015).
Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk
sediaan mengapung ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Berbagai
contoh
formulasi
bentuk
(Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).
No
1

Bentuk Sediaan
Tablet

sediaan

mengapung

Nama Obat
Klorfeniramin

maleat,

teofilin,

furosemid,

siprofloksasin, captopril, asam aspirin, nimodipin,
amoksisilin, dan verapamil HCl.
2

Kapsul

Nicardipine,

klordiazeposid

HCl,

furosemid,

p-nitroanillin,

ketoprofen,

misoprostol, diazepam, propanolol.
3

Mikrosper

Aspirin,

griseofulvin,

ibuprofen, dan terfenadin.
4

Granul

Indometasin, natrium diklofenak, dan prednisolon.

5

Film

Cinnarizine

30
Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, bentuk sediaan mengapung yang telah tersedia dipasaran
dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 2.3 Sediaan mengapung yang telah tersedia di pasaran (Gopalakrishnan
dan Chenthilnathan, 2011).
No

Bentuk Sediaan

Nama Obat

Brand Name

1

Floating Controlled Levodopa,
Release Capsule
benserazid
Floating Capsule
Diazepam

MODAPAR

Perusahaan, Negara
Produsen)
Roche, USA

VALRELEA
SE
LIQUID
GAVISON

Hoffman-LaRoche,
USA
Glaxo Smith Kline,
INDIA

TOPALKAN

2
3

4
5
6
7

Effervescent
Floating Liquid
Alginate Preparation
Floating Liquid
Alginate Preparation
Colloidal gel
forming FDDS
Gas-generating
floating Tablets
Bilayer floating
Capsule

Aluminium
hidroksida,
MgCO3
Al, Mg antacid
Ferri sulfat

CONVIRON

Pierre Fabre Drug,
FRANCE
Ranbaxy, INDIA

Siprofloksasin

CIFRAN OD

Ranbaxy, INDIA

misoprostol

CYTOTEC

Pharmacia, USA

2.4.4.3 Keuntungan sistem penyampaian obat mengapung
Sistem penghantaran obat melalui sistem mengapung ini merupakan
teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan
memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini.
Keuntungan ini meliputi:
a. Peningkatan penyerapan obat karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan
peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.
b. Penghantaran obat dapat dikendalikan.
c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.
d. Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan
tertentu dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali.
e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.

31
Universitas Sumatera Utara

f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional.
g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien
menjadi lebih baik.
h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011).
Berbagai keuntungan ini menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi
untuk menghasilkan sistem pengahantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011).
2.4.4.4 Kekurangan sistem penyampaian obat mengapung
Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem mengapung ini,
terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi:
a. Retensi lambung yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH,
dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya
apung sediaan tidak dapat diprediksi.
b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak
cocok untuk sistem pemberian obat ini.
c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.
d. Pengosongan lambung untuk pasien pada posisi tidur telentang yang terjadi
secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pada diameter dan ukuran
sediaan mengapung. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat
pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011).

2.5 Polietilen Glikol (PEG)
Polietilen glikol adalah polimer sintetik yang dapat dirumuskan oleh
formula HOCH2(CH2OCH2)nCH2OH. Nilai n dapat berkisar dari 1 sampai nilai
yang sangat besar karena berat molekul polietilen glikol dapat berkisar antara 150-

32
Universitas Sumatera Utara

10.000. Senyawa yang memiliki berat molekul dari 150-700 berbentuk cairan dan
senyawa yang berat molekulnya 1.000-10.000 berbentuk padatan. Senyawa glikol
dengan berat molekul yang rendah biasanya digunakan untuk larutan kental
dimana campuran biasanya dimanfaatkan sebagai basis salep larut air (Grosser, et
al., 2011).
Nama lain basis ini adalah carbowax, carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E,
dan Phenol E. Polietilen glikol merupakan polimer dari etilen oksida dan air.
Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing
polimer. Polietilen glikol yang memiliki berat rata-rata 200, 400, dan 600 berupa
cairan bening yang tidak berwarna dan polietilen glikol yang memiliki berat
molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan kepadatannya
bertambah dengan bertambahnya berat molekul (Rowe, et al., 2003).
Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol. Penamaan PEG umumnya
ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata.
Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot
molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semi padat, PEG
3000-20.000 atau lebih berupa padatan semi kristalin, dan PEG dengan bobot
molekul yang lebih besar dari 100.000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar.
Umumnya PEG dengan bobot molekul 1.500-20.000 yang digunakan untuk
pembuatan dispersi padat. Polimer ini mudah larut dalam berbagai pelarut, titik
leleh, dan toksisitasnya rendah berada dalam bentuk semi kristalin. Kebanyakan
PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 4000 dan 20000, khususnya
PEG 4000 dan 6000. PEG 6000 biasanya berbentuk serbuk putih dengan tekstur
seperti lilin (Leuner dan Dressman, 2000; Rowe, et al., 2003).

33
Universitas Sumatera Utara

Polietilen glikol 6000 adalah polietilen glikol H(O-CH2-CH2)n OH dimana
harga n antara 158 dan 204. Pemerian: serbuk licin putih atau potongan putih
gading, praktis tidak berbau dan berasa. Kelarutan: mudah larut dalam air, dalam
etanol (95%) P, dalam kloroform P, dan praktis tidak larut dalalm eter P. Bobot
molekul rata-rata: 7300-9300. Kandungan lembab: sangat higroskopis walaupun
higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul, titik leleh 55-63ºC
(Ditjen POM, 2014).
Polietilen glikol 4.000, 6.000 dan 8.000 berbentuk serbuk putih dengan
tekstur seperti lilin dan berwarna seperti parafin. Kelarutannya sangat larut dalam
air, dalam diklorometan, dan sedikit larut dalam alkohol (Sweetman, 2009).
Polietilen glikol dapat menunjukkan aktivitas oksidasi jika terjadi
inkompatibilitas. Aktivitas antibakteri dari bakterisin atau benzilpenisilin dapat
dikurangi jika diformulasi dengan salep yang mengandung basis PEG ini.
(Sweetman, 2009).
Penggunaan polietilen glikol dan polimer hidrofilik lain dengan
konsentrasi tinggi dalam suatu formulasi dapat mempengaruhi sifat obat bahkan
ketika obat dicampurkan dengan polimer. Mekanisme polimer hidrofilik dapat
meningkatkan kelarutan obat atau meningkatkan tingkat kebasahan yang
mengelilingi obat (Attwood dan Florence, 2008).

2.6 Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya dimasukkan kedalam
cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak dan keras.

34
Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang
semuanya dapat ditelan oleh pasien untuk memperoleh keuntungan dalam
pengobatan. Kapsul gelatin keras merupakan kapsul yang digunakan oleh ahli
farmasi dalam menggabungkan obat-obat dan pada umumnya kapsul jenis ini
sering diproduksi oleh para pembuat sediaan farmasi (Ansel, 2005).
Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur dan air. Kulit kapsul dapat juga
mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna, bahan
pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang
diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan
kapsul lunak relatif sedikit. Bahan yang paling banyak adalah Gliserin USP,
Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasikombinasinya. Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering
menetukan kekerasan cangkang gelatin dengan anggapan tidak ada pengaruh dari
bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Gelatin bersifat stabil diudara
bila dalam keadaan kering akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba
bila menjadi lembap atau disimpan dalam larutan berair. Biasanya cangkang
kaspul gelatin mengandung uap air antara 9-12%. Apabila disimpan pada
lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi
oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya
pada lingkungan udara yang sangat kering, sebagian uap air yang terdapat pada
kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin
akan remuk bila dipegang (Ansel, 2005).
Cangkang kapsul gelatin keras harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan
kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian harus saling

35
Universitas Sumatera Utara

menutupi bila dipertemukan dimana bagian tutup akan menyelubungi bagian
tubuh secara tepat dan ketat (Ansel, 2005).
Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, dan mudah pengisiannya tanpa
persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Pada praktek peresepan,
penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam meresepkan
obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang dianggap baik
untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih menguntungkan daripada
tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah menelan kapsul daripada tablet.
Oleh karena itu, bentuk sediaan kapsul lebih disukai. Pilihan ini telah mendorong
pabrik farmasi untuk memproduksi sediaan kapsul dan di pasarkan, walaupun
produknya sudah ada dalam bentuk sediaan tablet (Gennaro, 2000).

2.7 Natrium Alginat
Alginat sangat berlimpah di alam indonesia karena alginat sebagai
komponen struktural yang terdapat pada alga coklat (Phaeophyceae) yang
komponennya mencapai 40% bahan keringnya (Draget, et al., 2005)
Umumunya, alginat komersil diproduksi dari Laminaria hyperborean,
Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria
japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan
Sargassum sp (Draget, et al., 2005). Alginat merupakan bahan yang non toksik,
non alergi, biodegradabel, dan biokompatibel (Rehm, 2009).
Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbandingan asam uronat
(guluronat dan manuronat) pada berbagai sepsies alga yang ditentukan dengan
spektroskopi NMR high-field.

36
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga (Draget, et al.,
2005).
Source

FG

FM

FGG

FMM

FGG,MG

Laminaria japonica

0,35

0,65

0,18

0,48

0,17

Laminaria digitata

0,41

0,59

0,25

0,43

0,16

Laminaria hyperborea, blade

0,55

0,45

0,38

0,28

0,17

Laminaria hyperborea, stipe

0,68

0,32

0,56

0,20

0,12

Laminaria hyperborea, outer cortex

0,75

0,25

0,66

0,16

0,09

Lessonia nigrescens

0,38

0,62

0,19

0,43

0,19

Ecklonia maxima

0,45

0,55

0,22

0,32

0,32

Macrocystis pyrifera

0,39

0,61

0,16

0,38

0,23

Durvillea Antarctica

0,29

0,71

0,15

0,57

0,14

Ascophyllum nodosum, fruiting body

0,10

0,90

0,04

0,84

0,06

Ascophyllum nodosum, old tissue

0,36

0,64

0,16

0,44

0,20

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β-Dmannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit itu berikatan pada
atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM
dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1982).
Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur kimia alginat (Thom, et al., 1982).
Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang
diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.

37
Universitas Sumatera Utara

Natrium alginat lambat larut dalam air dan membentuk larutan kental, tidak larut
dalam etanol, dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera,
Laminaria, Aschophyllum, dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).
Asam alginat tidak larut dalam air. Oleh karena itu, umumnya yang
digunakan di industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium.
Salah satu sifat natrium alginat mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat, dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium disebabkan oleh
adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat
pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai
poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris,
et al., 1980).
Pembentukan gel dan taut silang dari polimer-polimer adalah terutama
dicapai melalui pertukaran ion natrium dari asam guluronat dengan ion kalsium
dan membentuk struktur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Ca

2+

Gambar 2.8 Bentuk konformasi “kotak telur” kalsium alginat
Pengikatan kation dan sifat-sifat pembentukan gel tergantung kepada
komposisi dan urutannya. Afinitas terhadap kalsium meningkat dengan

38
Universitas Sumatera Utara

peningkatan jumlah residu α-L asam guluronat pada alginat. Sifat-sifat fisik gel
tergantung kepada rasio asam uronat dalam rantai polisakarida. Alginat yang kaya
α-L guluronat membentuk gel yang kaku tapi rapuh, sedangkan alginat yang kaya
β-D asam mannuronat lebih lemah tetapi lebih fleksibel (Morris, et al,. 1978;
Sachan, et al., 2009).
Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter
berikut, antara lain:
(i)

pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya
muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii)

Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek
salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii)

Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan
(Draget, et al., 2005).
Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada

jumlah ion karboksilat, berat molekul, dan pH. Kemampuan mengikat air
meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium
alginat kurang dari 500, sedangkan pada pH dibawah 3 terjadi pengendapan.
Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai
pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).
Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat dimana
larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling
stabil pada daerah pH 6-7, sedangkan pada pH 4,5 asam bebasnya akan
mengendap. Pemanasan yang kuat dan lama terutama >70°C dihindari karena
akan mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan

39
Universitas Sumatera Utara

disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight,
1994). Natrium alginat yang umum digunakan antara 2,5% sampai 10% (Siregar
dan Wikarsa, 2010).
Di laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU pada beberapa tahun
terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung.
Cangkang kapsul dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan
kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul
alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Utuhnya
cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan
komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh
(Bangun, dkk., 2005).

2.8 Disolusi
Pelepasan obat adalah suatu proses dimana obat meninggalkan produk
obat dan melibatkan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
(ADME), dan akhirnya menimbukan aksi farmakologis (Singhvi dan Singh,
2011). Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol
oleh sifat fisika kimia obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia
dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran
molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisikokimia
yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled
release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk
sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi yang telah umum digunakan untuk
metode pelepasan obat secara in vitro (Martin, dkk., 2008).

40
Universitas Sumatera Utara

Disolusi secara farmasetikal dapat didefinisikan sebagai laju perpindahan
massa dari permukaan padat ke dalam medium disolusi atau pelarut dalam kondisi
standar antarmuka cairan/padat, suhu, dan komposisi pelarut. Langkah dasar
dalam disolusi obat adalah reaksi antara obat padat dengan cairan dan/atau
komponen medium disolusi. Reaksi ini berlangsung pada antarmuka padat-cair
dan karena kinetika disolusi tergantung pada tiga faktor, yaitu laju aliran medium
disolusi terhadap antarmuka padat-cair, laju reaksi pada antarmuka, dan difusi
molekul dari molekul obat terlarut dari antarmuka terhadap medium pelarut
(Singhvi dan Singh, 2011).

Gambar 2.9 Langkah dasar mekanisme disolusi obat (Singhvi dan Singh, 2011):
(1). Molekul pelarut dan/atau komponen dari disolusi medium
bergerak menuju antarmuka
(2). Adsorpsi (reaksi berlangsung pada antarmuka cairan-padatan)
(3). Molekul obat terlarut bergerak menuju medium pelarut
Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan
dan tingkat kelarutan suatu obat di dalam medium air dimana di dalam obat
mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Medium yang umum
digunakan pada uji disolusi adalah medium lambung dan dapat fosfat. Masalah
bioavailabilitas dapat ditemukan pada metode disolusi ini. Akan tetapi, pada
percobaan disolusi yang dilakukan secara in vitro dapat dinyatakan masalah
bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel dan Yu, 1998).

41
Universitas Sumatera Utara

Laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang larut per satuan waktu di bawah
kondisi yang dibakukan dari antarpermukaan cairan/padat, suhu, dan komposisi
pelarut. Disolusi dapat dianggap sebagai suatu tipe spesifik reaksi heterogen
tertentu ketika hasil pemindahan massa sebagai suatu pengaruh jaringan bersih
antara molekul terlarut yang lepas dan yang mengendap pada permukaan padat
(Siregar dan Wikarsa, 2010).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan.
Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam gelas beaker yang berisi air atau
dimasukkan kedalam saluran cerna, obat mulai masuk kedalam larutan dari bentuk
padatnya. Desintegrasi, deagregasi, dan disolusi bisa berlangsung secara
bersamaan dengan melepasnya suatu obat dari bentuk obat yang diberikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori, yaitu:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:
i.

Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama
dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju
disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel yang kecil dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium sehingga laju disolusi
akan meningkat.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:
i.

Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila
dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat, dan
penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada

42
Universitas Sumatera Utara

bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah dan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
ii. Efek fak