Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering

BAB II
ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Asas Legalitas Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Hukum pidana merupakan bagian hukum publik, 52 konsekuensi logis
demikian, hukum pidana dititikberatkan pada kepentingan umum dan memiliki dua
unsur pokok yaitu norma dan sanksi. Hukum pidana menitikberatkan menyangkut
kepentingan umum. Hubungan hukum yang ditimbulkan dari perbuatan seseorang
menyebabkan dijatuhkannya sanksi pidana sebab selain pihak korban dirugikan
termasuk pihak pemerintah sebagai pembuat regulasi. 53
Hukum pidana memiliki hubungan hukum berdasarkan kepentingan
masyarakat sehingga memiliki sifat hubungan publik. Tujuan hukum pidana untuk
melindungi masyarakat melalui norma sanksi. 54 Hukum pidana memiliki korelasi erat
dengan berkembangnya masyarakat hukum terutama asas-asasnya yang tidak terlepas

52

Martimam Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1997), hal. 7-8. Lihat juga: EY. Kanter, dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana

di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 25.
53
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 37.
54
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam KitabUndang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

dari dinamika masyarakat bersangkutan. Asas-asas hukum pidana relatif telah
berkembang dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga memiliki
relevansi dengan dimensi pembuktian pada tataran legislasi dan implementasinya. 55
Pembuktian pada hakikatnya dalam hukum pidana memiliki peranan penting,
sebab melalui pembuktian itulah dapat ditentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menetapkan serta
memutuskan kesalahan seseorang baik melalui litigasi maupun non litigasi. Kajian
berdasarkan kerangka litigasi di pengadilan akan menentukan apakah terdakwa dapat
dijatuhi sanksi pidana (veroordeling) dari hasil persidangan secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana atau dibebaskannya dari dakwaan (vrijspraak)

karena tidak terbukti melakukan tindak pidana atau dilepaskan dari segala tuntutan
hukum (onslag van elle rechtsvervolging) karena apa yang didakwakan terbukti tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. 56 Secara sederhana ada
anasir erat hubungan antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian
yang merupakan rumpun hukum acara pidana.
Asas penting dalam hukum pidana erat kaitannya dengan asas legalitas yang
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, yang menentukan, “Tiada suatu peristiwa
dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang

55
56

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 75-76.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

mendahuluinya”. 57 Berdasarkan ketentuan tersebut, asas legalitas mengandung tiga
pengertian yakni:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana sebelum diatur dalam

suatu undang-undang tertentu;
2. Untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak dibolehkan
dipergunakan analogi; dan
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak bisa berlaku surut.
Ketiga unsur di atas, terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Asas
legalitas sebagai ciri utama dalam sistim civil law dan eksistensinya diakui dalam
KUH Pidana Indonesia. Pada perkembangannya saat ini, mengingat munculnya
perbuatan-perbuatan yang sepatutnya harus dipidana tetapi tidak bisa dipidana karena
tidak dilarang dalam undang-undang. Sehingga Utrecht menentang asas legalitas
tersebut dengan alasan asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat
yang masih hidup dan akan hidup. 58
Pertentangan tentang asas legalitas terus terjadi, Andi Hamzah misalnya
menentang pendapat Utrecht tersebut dengan tetap berpegang teguh pada asas
legalitas dengan alasan Andi adalah tidak mungkin dapat dikodifikasi secara
universal hukum adat yang masih hidup itu apalagi yang akan hidup sebab hal
demikian merupakan perlindungan terhadap hak asasi manusia menyangkut adat

57
58


A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 130.
Utrecht dalam Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

istiadat yang tidak bisa diatur secara komprehensif, adat antar daerah di wilayah
Indonesia berbeda-beda satu sama lainnya. 59
Demikian pula Barda Nawawi Arief berpandangan pada asas legalitas dengan
menyatakan bahwa dalam asas legalitas tersimpul asas lain seperti asas legalitas
formal, asas lex certa, asas lex temporis delicti dan asas non retroaktif. 60 Asas
legalitas mengacu pada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Namun
pada tataran penerapan (implementatif) asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak
misalnya adanya prinsip yang menggunakan ketentuan mana yang paling
menguntungkan bagi terdakwa. Pada tataran normatif asas legalitas ini juga
dikecualikan misalnya terdapat pada Ketentuan Peralihan. Bilamana perundangundangan direvisi setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka
digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya. 61 Melemahnya asas
legalitas juga ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. 62 Ketentuan Pasal 1
ayat (2) KUH Pidana inilah yang mengandung asas lex temporis delicti.

59


Andi Hamzah dalam Loebby Loqman, Perkembangan Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana di Indonesia, (Semarang: Papers, 2004), hal. 6-7.
60
Barda Nawawi Arief dalam Jan Remmelink, Op. cit., hal. 358. Asas legalitas formal (lex
scripta) memandang penghukuman harus didasarkan pada ketentuan undang-undang tertulis. Asas lex
certa memandang kebijakan legislasi dalam merumuskan ketentuan undang-undang harus lengkap dan
jelas serta tidak samar-samar. Asas lex temporis delicti memandang suatu perbuatan pidana harus
sesuai dengan waktu dan tempat terjadinya pidana. Asas non retroaktif memandang bahwa hukum
tidak bisa diberlakukan secara surut.
61
A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit., hal. 151.
62
Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana menentukan: “Jikalau undang-undang diubah, setelah
perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kaitannya, asas legalitas dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) adalah

terkait dengan dikriminalisasinya pencucian uang menjadi suatu perbuatan yang
dilarang atau tindak pidana yang dilarang dalam UUPPTPPU khususnya yang
menyangkut dengan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait dengan pembuktian
terbalik yang telah diatur (dilegalkan) dalam Pasal 77 UUPPTPPU. Ketentuan pasal
ini menentukan, ”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Dengan demikian, berdasarkan asas legalitas pembuktian terbalik telah dianut dalam
Pasal 77 UUPPTPPU.
Pengecualian terhadap asas legalitas terdapat dalam Pasal 94 dan Pasal 95
UUPPTPPU. Ketentuan dalam Pasal 94 menyangkut tugas Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus tunduk pada UU No.8 Tahun 2010
tetapi kecuali mengenai struktur organisasinya masih tetap berpedoman pada UU
No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 95
menentukan batasan terhadap kasus-kasus tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan sebelum berlakunya UU No.8 Tahun 2010, diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan dalam UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003.

B. Asas Beban Pembuktian

Universitas Sumatera Utara


Secara teoritis ilmu pengetahuan hukum acara pidana asasnya mengenal
empat teori hukum pembuktian meliputi: teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim (conviction intime), teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam
batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk stelsel).
Konsekuensi logis dari keempat teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi
dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Keempat macam teori tentang
beban pembuktian tersebut pada hakikatnya terdapat di negara Indonesia maupun di
beberapa negara seperti di Malaysia, Inggris, Hongkong, dan Singapura. Teori beban
pembuktian tersebut dibagi dalam tiga macam:
1. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum
Beban pembuktian pada penuntutu umum dikenal dengan pembuktian biasa
atau konvensional, dimana penuntut umum lah yang diwajibkan membuktikan
kesalahan terdakwa berdasarkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, jika
tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa (lihat
Pasal 66 KUHAP). 63 Konsekuensi logis dari beban pembuktian dalam teori ini ada
pada Jaksa Penuntut Umum, tentu saja dengan beban pembuktian demikian


63

Pasal 66 KUHAP ditentukan: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”.

Universitas Sumatera Utara

berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas
tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) yakni menjunjung tinggi
HAM terdakwa. Jaksa Penuntut Umum harus menganggap bahwa tersangka atau
terdakwa bukan orang yang bersalah sebelum terbukti kesalahannya di hadapan
sidang pengadilan.
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak
mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) merupakan salah satu karakter
dalam pembuktian di sidang pengadilan khususnya bagi negara-negara demokrasi
yang mengakui rule of law. Negara Indonesia misalnya mewujudkan asas praduga
tidak bersalah melalui penerapan sistem pembuktian negatif berdasarkan keyakinan
hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk stelsel). Asas praduga tidak bersalah dinilai oleh International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) tidak bertentangan dengan hak asasi manusia
sebab asas ini tidak memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai orang yang
bersalah sebelum dapat dibuktikan.64
Beban pembuktian yang dibebankan kepada JPU dikenal di Indonesia
sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 66 KUHAP dengan tegas ditentukan,
“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. JPU yang wajib

64

http://www.rimanews.com/read/20100824/2284/mengimplementasikan-azaspembuktian-terbalik, diakses tanggal 31 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

membuktikan kesalahan terdakwa dengan berbagai macam alat-alat bukti yang
diajukannya di sidang pengadilan. Ketentuan Pasal 66 KUHAP tersebut sejalan
dengan Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah
Pidana Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik PBB tentang
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.
2. Beban Pembuktian Pada Terdakwa
Konsekuensi dari beban pembuktian ini adalah terdakwa yang wajib aktif

membuktikan, menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana.
Terdakwa lah di hadapan sidang pengadilan yang mempersiapkan segala beban
pembuktian dan jika tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan
pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast
atau sifting of burden of proof/onus of proof) yang bersifat absolut atau murni.
Beban pembuktiannya diwajibkan pada terdakwa atau kuasanya maka
pembuktian terbalik jenis ini bersifat absolut (murni) dimana terdakwa dan atau
penasihat hukumnya yang wajib membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Jika
beban pembuktian diwajibkan kepada terdakwa, maka hal ini jelas-jelas menggeser
asas parduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Sebab terdakwa berhak untuk

Universitas Sumatera Utara

diam (the right to remain silent), tidak boleh dipaksa untuk bicara dalam proses
persidangan. 65
Pada hakikatnya pembuktian terbalik model inilah yang disebut pembuktian
terbalik bersifat absolut dan model ini merupakan penyimpangan dari hukum
pembuktian pada umumnya (konvensional) dan juga merupakan suatu tindakan luar
biasa dalam kerangka pembuktian. Pembuktian secara konvensional atau pembuktian

secara negatif menempatkan kedudukan hak asasi tersangka yang paling tertinggi
sedangkan pembuktian terbalik khususnya yang bersifat absolut (murni) memaksa
terdakwa untuk berbicara dengan membuktikan kesalahannya.
Prinsip beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP
berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik absolut yang
pengaturannya tidak ditemukan dalam KUHAP melainkan dianut dalam beberapa
undang-undang khusus. 66 Jika JPU dibebankan untuk membuktikan kesalahan
tersangka atau terdakwa maka prinsip ini dikenal dengan beban pembuktian biasa,
sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka atau terdakwa
maka prinsip demikian dikenal dengan pembuktian terbalik.
3. Beban Pembuktian Berimbang

65

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 107.
Bandingkan dengan Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) dan Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999
junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
66

Universitas Sumatera Utara

Beban pembuktian berimbang disebut juga dengan pembuktian terbalik
keseimbangan kemungkinan. Baik penuntut umum maupun terdakwa dan atau
kuasanya saling membuktikan di hadapan sidang pengadilan. Lazimnya penuntut
umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa
bersama penasihat hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Asas pembuktian ini dinamakan pembuktian terbalik yang
bersifat berimbang. Asas ini telah dianut di Amerika Serikat dan juga di Indonesia.
Berdasarkan ketiga macam beban pembuktian tersebut di atas, dapat
dikelompokkan menjadi dua klasifikasi yakni pembuktian biasa (konvensional) dan
pembuktian terbalik (absolut/murni dan terbatas/berimbang) sebagai berikut: 67
a. Pembuktian

biasa

(konvensional)

dasarnya

Pasal

66

KUHAP

menerapkasan asas praduga tidak bersalah terhadap terdakwa, sama
pembuktiannya dengan pembuktian negatif (negative wettelijk stelsel)
dalam KUHAP;

67

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian.....Op. cit, hal. 101-103. Sejarah
pemberlakuan asas pembuktian terbalik bermula dari sistem pembuktian yang dikenal pada negaranegara yang menganut rumpun Anglo Saxon (negara-negara penganut kasus-kasus tertentu atau case
law atau certain cases) khususnya terhadap kasus tindak pidana gratifikasi (pemberian yang
berkorelasi dengan suap). Pada mulanya sudah dianut di negara Inggris, Singapura, Malaysia, hingga
di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

b. Pembuktian terbalik, menerapkan asas praduga bersalah terhadap
terdakwa, ketentuan ini tidak diatur dalam KUHAP. Beban pembuktian
terbalik ada pada terdakwa bukan pada JPU. Pembuktian terbalik dibagi
dua:
1) Pembuktian terbalik berimbang yang diturunkan; dan
2) Pembuktian terbalik berimbang yang dipertajam atau dinaikkan
(absolut/murni).
Pembuktian terbalik terbatas/berimbang atau disebut juga pembuktian terbalik
keseimbangan kemungkinan. Dikatakan pembuktian terbalik berimbang karena
walaupun terdakwa dibebankan membuktikan tetapi JPU juga tetap berkewajiban
membuktikan alat-alat bukti yang dimilikinya. Sedangkan dikatakan pembuktian
biasa (konvensional) sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP, penuntut umum yang harus
membuktikan

kesalahan

terdakwa

dengan

mempersiapkan

alat-alat

bukti

sebagaimana ditentukan dalam undang-undang dan terdakwa dapat menyangkal
keabsahan dari alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai
ketentuan Pasal 66 KUHAP. Sedangkan dikatakan pembuktian terbalik, beban
pembuktiannya berada pada terdakwa, yang dapat dilihat dalam berbagai perundangundangan misalnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU.
Sedangkan beban pembuktian dalam pembuktian terbalik keseimbangan
kemungkinan dibebankan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya dan penuntut
umum wajib sama-sama membuktikan keabsahan alat-alat bukti. Terdakwa

Universitas Sumatera Utara

berkewajiban membuktikan alat-alat bukti yang diajukannya di persidangan demikian
pula bagi penuntut umum juga berkewajiban membuktikan keabsahan alat-alat bukti
yang diajukannya di sidang pengadilan.
Pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang mewajibkan terdakwa
atau penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau
kebenaran dari terdakwa. Ketentuan pembuktian terbalik dalam beberapa perundangundangan berbeda-beda pengaturannya ada yang dibebankan kepada terdakwa
(absolut), ada yang bersifat terbatas dan berimbang bahkan ada yang dikhususkan
untuk pembuktian harta kekayaan dan ada pula yang dikhususkan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
Ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa perundang-undangan di Indonesia
yang menganut asas pembuktian terbalik pada UU No.8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU), UU
No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

C. Tujuan Asas Pembuktian Terbalik Untuk Merampas Aset Hasil Tindak
Pidana Pencucian Uang

Universitas Sumatera Utara

Esensi dianutnya asas pembuktian terbalik khususnya dalam UUPPTPPU
bertujuan untuk perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang. Perampasan
aset dapat diterapkan untuk kasus-kasus tindka pidana pencucian uang dengan
menggunakan hukum pidana dapat sekaligus digunakan instrumen hukum perdata
secara bersamaan, tidak perlu harus ditunggu lama setelah jalur hukum pidana
digunakan terlebih dahulu. Konsep demikian dikenal dalam istilah model civil
forfeiture.68
David Scott Romantz, mendefinisikan civil forfeiture adalah suatu instrumen
penyitaan atau perampasan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap
aset. 69 Konsep civil forfeiture didasarkan pada doktrin mencemari (taint doctrine)
dimana sebuah tindak pidana dianggap noda atau menodai (taint) sebuah aset. 70 Jika
menggunkana instrumen hukum pidana disebut criminal forfeiture dan jika
menggunakan instrumen hukum perdata disebut civil forfeiture, bahkan dalam konsep
civil forfeiture kedua-duanya dapat sekaligus dijalankan. Criminal forfeiture
68

Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di
Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar
Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 20. Sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam
UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UUPTPK menggunakan aturan
perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil
biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban
pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah
aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.

69

David Scott Romantz, Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of
right and The Judicial Response: The Guilt of the Res, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal.
390.
70
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

bertujuan untuk menuntut orang atau pelaku melalui gugatan in personam (gugatan
terhadap orang) sedangkan civil forfeiture bertujuan untuk merampas aset atau harta
kekayaan melalui gugatan in rem. 71
Perampasan aset sebagai alat yang tangguh untuk merampas kembali hasilhasil tindak pidana, terutama dalam kasus-kasus besar dimana hasilnya telah ditranfer
ke luar negeri. 72 Hal yang terasa sulit adalah ketika aset tersebut berada di luar negeri,
maka harus didukung dengan perjanjian atau kerjasama antara negara melalui
kerjasama internasional, untuk dapat merampas (recover) aset hasil kejahatan yang
melalui lintas batas antara negara, misalnya melalui kerjasama Bantuan Hukum
Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) yang dapat dilakukan 3 (tiga) bentuk
yaitu: Bilateral; Regional; dan Multilateral. 73
Untuk merampas aset hasil-hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU dapat dilakukan dengan menggunakan
hukum perdata untuk mengajukan gugatan in rem. Penggunaan civil forfeiture pada
hakikatnya menyangkut dalam hal:74
1. Tidak terbukti terdakwa secara pidana;
71

Ibid., hal. 389.
Theodore S. Greenberg, dkk, Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for NonConviction Based Asset Forfeiture, (Jakarta: Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, 2009), hal. 167.
73
Zulkarnain Sitompul, “Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerja Sama Internasional”,
Artikel dalam Jurnal Forum Keadilan, Nomor 40, Tanggal 13 Februari 2005, hal. 32.
74
Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi
Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas
Airlangga (Unair), tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3.
72

Universitas Sumatera Utara

2. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap;
3. Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah
adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Instrumen hukum pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda
milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum menuntut agar aset itu dirampas
melalui putusan hakim. Sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh Jakas Pengacara
Negara (JPN) mewakili negara yang dirugikan. Penggunaan instrumen civil forfeiture
menimbulkan konsekuensi hukum yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum
perdata (BW) yang berlaku, materil maupun formil. Berbeda dengan proses pidana
yang menggunakan sistem pembuktian materil, maka proses perdata menganut sistem
pembuktian formil yang lebih lebih mudah dari pada pembuktikan materil.
Pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial,
karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset. Pemanfaatan potensi civil
forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral di samping diperlukan
suatu restrukturisasi hukum nasional antara lain menghendaki adanya reformasi
bidang hukum materiil dan formil. Hukum acara perdata harus diformat kembali,
mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku
dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private sementara civil
forfeiture menuntut legal expertise, pengetahuan teknis yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, seyogyanya diatur secara
tersendiri dalam undang-undang khusus. Seperti di Amerika Serikat terdapat
ketentuan khusus yang mengatur yaitu federal forfeiture law, di Australia/New
Zealand diatur khusus dalam Proceeds of Crime Act, 2002, di Irlandia diatur khusus
dalam The Proceeds of Crime Act, 1996, di Inggris (United Kingdom) diatur dalam
The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002 yang telah diamandemen dalam
The Serious Organized Crime and Police Act, 2005. Pengaturan khusus ini penting
terutama dikaitkan dengan tiga hal:75
1. Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi 2003 sehubungan
dengan ratifikasi konvensi tersebut;
2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata
yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi;
3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak
dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak
adanya kesalahan.
Penggunaan civil forfeiture dalam tindak pidana pencucian uang untuk
mengantisipasi bebasnya atau tidak terbuktinya terdakwa dalam persidangan sehingga
tidak ada alasan untuk merampas aset yang dicuri. Padahal nyata-nyata bahwa harta
kekayaannya tidak bisa ia buktikan dalam persidangan. Oleh sebab itu, dengan
menggunakan civil forfeiture walaupun terdakwa bebas dari tuntutan pidana, namun

75

http://www.thenewspaper.com/rlc/docs/2007/ontarioag-size.pdf, Ministry of the
Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of
the Attorney General, 2007, diakses tanggal 28 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

ia masih diwajibkan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana (vide Pasal 77 UUPPTPPU).
Walaupun perampasan aset model civil forfeiture belum sepenuhnya diatur
dalam bentuk undang-undang di Indonesia, namun, Burgerlijke Wetboek (BW),
memungkinkan untuk diterapkan mengenai tanggung gugat yang dipertajam dalam
bentuk yang disebut dengan “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat
risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai berikut yaitu:
1. Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan mempertahankan
persyaratan sifat melanggar hukum perdata (pembuktian terbalik) dan
kesalahan mengubah pembagian beban pembuktian yang normal (tanggung
gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian), demi kerugian
pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan
normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah
melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma
dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan
persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar
hukum. 76

76

J.H. Nieuwenhuis, diterjemahkan oleh: Djasadin Saragih, Pokok-pokok Hukum Perikatan,
(Surabaya: tanpa penerbit, 1985), hal.135. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda,
dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaankeadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang
mereka lakukan.

Universitas Sumatera Utara

2. Karena ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat sifat
melanggar hukum (perdata) dan kesalahan (tanggung gugat risiko). Dalam hal
ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan (dalam arti
sempit) di satu sisi dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan
sebagai syarat tanggung gugat di lain sisi. 77
Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana pencucian uang, lebih
berkaitan dengan penajaman tanggung gugat atas harta kekayaan dengan pembuktian
terbalik yang dipertajam dalam Pasal 77 UUPPTPPU, hal ini juga diatur dalam Pasal
1367 Ayat (2) jo Ayat (5) BW. 78 Sifat melawan hukum materil yang tidak dapat
dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa.
Oleh sebabnya, gugatan dengan pembuktian terbalik yang dipertajam sangat
dimungkinkan diterapkan. Bahkan sampai pada ahli waris tersangka atau terdakwa
yang telah meninggal dunia harus membuktikan mengenai asal-usul harta kekayaan.
Sehingga dengan penggunaan instrument civil forfeiture akan mempermudah
perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang dengan mengoptimalkan jalur
perdata.
Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita atau merampas
aset yang berasal dari hasil kejahatan sudah hal yang lazim ditemui di negara-negara

77

Ibid., hal.74. Contoh adalah tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum
bawahannya, (c.f. Pasal 1367 Ayat (3) BW).
78

Ibid., hal.136.

Universitas Sumatera Utara

common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad
pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap
sebagai “instrumen kematian” (instrument of a death) atau yang sering disebut
sebagai deodand. 79
Praktik civil forfeiture dianggap oleh sebahagian orang bersifat tidak adil,
namun Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaan civil forfeiture untuk
hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan
kepada pemerintah federal dalam hal menyita kapal. 80 Supreme Court kemudian juga
mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus Palmyra
yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si
pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan kapalnya adalah illegal karena
tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah
yang menjadi dasar dari penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat. 81
Tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian manusia
yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan

79

Tood Barnet, Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture
Reform Act, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. Munculnya era industrialisasi di Inggris
kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang
terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. Namun demikian, walaupun deodand
telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat
terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law). Colonial Admiralty Courts sering sekali
mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya.
80
81

Ibid., hal. 46.
Ibid., hal. 91-92.

Universitas Sumatera Utara

manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya. Tujuan
hukum tersebut untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat hukum. 82 Dengan
demikian, maka tujuan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset
atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang untuk mencapai ketertiban,
keteraturan dan keadilan yang dimaksud.
Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan
agar berhati-hati dan tetap memperhatikan rule of law dan due process of law dalam
merumuskan upaya paksa perampasan aset melalui civil forfeiture khususnya untuk
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). 83 Civil forfeiture masih dipersoalkan di
negara-negara yang mengenalnya, antara lain mencegah adanya penyalahgunaan
kewenangan polisi (abuse of police powers) dalam pelaksanaan upaya hukum
“perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana korupsi. 84 Misalnya jika
dikaitkan dengan Pasal 28G UUD 1945 maka harta benda (kekayaan) seseorang tidak
boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas, karena harta benda tersebut
termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana. Jaminan

82

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu
Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Loc. cit.
83

http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/19517/rombak-total-draf-ruu-tipikor,
diakses tanggal 29 Juli 2012.
84
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Disampaikan sebagai Narasumber dalam Sosialisasi RUU Perampasan
Aset Tindak Pidana, Ditjen Depkumham, di Hotel Maharani, Jakarta, tanggal 3 Agustus 2009, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

konstitusi ini bukan untuk meniadakan pembentukan RUU tentang Perampasan Aset
Tindak Pidana.
Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery85,
menyebutkan bahwa keuntungan prosedur perampasan aset tindak pidana melalui
prosedur khusus perundang-undangan adalah: 86
1. Terdakwa telah wafat;
2. Terdakwa bebas dari tuntutan pidana;
3. Terdakwa tidak dapat ditemukan pada “negara korban”, karena sudah
melarikan diri keluar negeri atau pemilik aktiva tersebut tidak pasti;
4. Pemilik aset bersangkutan tidak pasti; dan
5. Ketentuan daluarsa menuntut tindak pidana sehingga tidak memungkinkan
penyidikan.

Dari syarat di atas, tampak bahwa jika instrumen hukum pidana sudah
berakhir atau tidak berhasil digunakan untuk menuntut terdakwa sehingga ia bebas
atau telah kadaluarsa, maka dapat digunakan civil forfeiture dengan prosedur perdata,
tidak diharuskan untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari orang yang
melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability), cukup membuktikan adanya
dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana.

85

http://www.baselgovernance.org/icar/, diakses tanggal 29 Juli 2012. Basel Institute on
Governance, International Centre for Asset Recovery adalah pusat Internasional untuk Asset Recovery
(ICAR) yang menyediakan pengembangan kapasitas dan metodologi pelatihan onsite, di negaranegara Selatan dan Timur, di bidang investigasi keuangan, penelusuran aset dan pemulihan serta
bantuan hukum timbal balik.
86

Ibid., Lihat juga: http://www.assetrecovery.org/kc/node/3518064a-a345-11dc-bf1b335d0754ba85.12, diakses tanggal 27 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

Penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence
(pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah
dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana.87

D. Asas Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Ditentukan dalam Pasal 77 UUPPTPPU, “Untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dalam persidangan
kasus-kasus tindak pidana pencucian uang di sidang pengadilan pada tingkat tataran
normatif yakni dalam UUPPTPPU telah dianut asas pembuktian terbalik.
Ketentuan pembuktian terbalik juga dinormatifkan dalam Pasal 37 UU No.31
Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi 88 selain itu juga diatur dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang

87

Stefan D. Cassella, “Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in
Transnasional Cases”, Journal of Financial Crime, Vol. 10, No.4, Tahun 2003, hal. 303. Lihat juga:
Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Makalah
Disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasioal (SPHN 2007), Hotel Millenium, Jakarta,
Tanggal 28 s/d 29 Nopember 2007, hal. 14.
88
Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menentukan:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Perlindungan Konsumen. 89 Selain itu juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebagai contoh jika memperhatikan ketentuan pembuktian terbalik dalam
undang-undang tindak pidana korupsi menganut beban pembuktian yang berimbang
atau pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang dimana terdakwa atau
penasihat hukumnya dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan atau
kebenaran dari terdakwa. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 22 UU No.8 Tahun
1999 juga menganut pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang.
Jika dianalisis ketentuan pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 UU
No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UUPPTPPU) bersifat absolut (murni) sebab dalam pasal ini tidak ditentukan
kewajiban bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa melalui
dakwaannya. Dengan dianutnya pembuktian terbalik bersifat murni di dalam Pasal 77
UUPPTPPU menyebabkan beralihnya asas parduga tidak bersalah menjadi asas
praduga bersalah.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
89
Pasal 22 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menentukan:
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”.

Universitas Sumatera Utara

Sehingga maksud dari pembuat undang-undang (legislatif) menginginkan
untuk kasus tindak pidana pencucian uang ingin memposisikan terdakwa sebagai
pihak yang bersalah padahal kesalahannya itu belum terbukti secara keseluruhan
melalui putusan pengadilan. Tentu saja dengan memposisikan terdakwa sebagai
orang yang bersalah akan menjadi dilema dalam kaitannya dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini berbeda sekali dengan ketentuan pembuktian terbalik yang
diatur dalam Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 dan Pasal 22
UU No.8 Tahun 1999 yang menganut beban pembuktian yang bersifat terbatas atau
berimbang, selain terdakwa atau penasihat hukumnya, penuntut umum juga wajib
membuktikan dakwaannya.
Lebih lanjut dikatakan Lilik Mulyadi asas pembuktian terbalik yang bersifat
murni mengandung konsekuensi logis bahwa:90
Praduga bersalah relatif cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang
bersifat universal khususnya asas praduga tidak bersalah. Pada dasarnya, asas
praduga tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum.
Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana
mendapatkan hak untuk untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti
kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada pembuktian pada penuntut
umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus
mengikuti cara-cara yang adil.

Pandangan Lilik Mulyadi di atas, tampak masih tetap membenarkan beban
pembuktian harus ada pada penuntut umum sebab dengan demikian akan mengikuti
90

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

norma dengan cara-cara yang adil bagi pencari keadilan. Sebagaimana pandangan
tersebut, Indrianto Seno Adji memperkuat argumentasinya dengan dikritiknya
pembuktian terbalik yang bersifat absolut (murni). Beliau mengatakan:91
Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian
yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana
yang universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistim kontinental maupun
Anglo Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan
kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja dalam kasus-kasus
tertentu (certain cases) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang
diferensial, yaitu sistem pembuktian terbalik itupun tidak dilakukan secara
keseluruahn (overall) tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin
tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak
asasi manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa.

Pandangan tersebut di atas tidak juga memposisikan tersangka atau terdakwa
sebagai orang yang bersalah secara keseluruhan (overall) melainkan harus memiliki
batas-batas yang tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,
khususnya hak tersangka atau terdakwa. Pembuktian secara konvensional menganut
asas praduga tidak bersalah sehingga dalam hal ini siapa yang menuntut, maka dialah
yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya itu. Dengan dianutnya asas praduga
bersalah memberlakukan asas baru yakni asas pembuktian terbalik sehingga terdakwa
akan menyangkal dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

91

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2006), hal. 132-133.

Universitas Sumatera Utara

Dalam konteks kajian asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana
pencucian uang ditekankan dan ditegaskan bahwa walaupun UUPPTPPU menganut
asas pembuktian terbalik namun tidak diberlaku untuk kesalahan tersangka atau
terdakwa. Hal ini jelas disebutkan dalam ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU tersebut
bahwa terdakwa wajib membuktikan Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana. Berarti dalam konteks ini bukan terhadap kesalahan pelaku melainkan
pembuktian terbalik ditujukan kepada kepemilikan harta si pelaku. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pemberlakuan asas pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU tidak
mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia sebab tidak ditujukan terhadap
pembuktian kesalahan pelakunya.
Jika pembuktian terbalik ditujukan kepada kesalahan si pelaku atau terdakwa
maka ketentuan itu akan bertentangan dengan perspektif HAM. Karena akan
menggeser asas praduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Konsekuensi logis
asas pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU bukan pada kesalahan pelaku
melainkan kepada kepemilikan harta kekayaan si pelaku. Jika pelaku tidak bisa
membuktikan kepemilikan harta kekayaannya itu maka harta tersebut akan dirampas
untuk negara. Jika pelaku dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya itu adalah
miliknya berdasarkan bukti-bukti yang kuat maka si pelaku berhak memiliki harta
tersebut dan pelaku tidak berhak mengajukan tuntutan balik atas tidak terbuktinya
hartanya berasal dari kejahatan. Konsep inilah yang merupakan ciri khusus asas

Universitas Sumatera Utara

pembuktian terbalik yaitu tidak dibenarkannya terdakwa melakukan tuntutan balik
jika pembuktian terdakwa ternyata benar.
Asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang tidak
meletakkan beban pembuktian kesalahan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia
tidak bersalah melakukan tindak pidana. Akan tetapi beban pembuktian itu ditujukan
kepada terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diperolehnya.
Pandangan ini dikemukakan pula oleh Lilik Mulyadi bahwa beban pembuktiannya
relatif tidak dapat diperlakukan terhadap kesalahan terdakwa karena akan
mengakibatkan penggeseran asas parduga tidak bersalah menjadi asas praduga
bersalah. Dalam kajiannya jika digunakan asas praduga bersalah akan bertentangan
dengan instrumen hukum acara dan hukum internasional dimana terdakwa tidak
diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya. 92
Asas praduga bersalah hanya bisa diberlakukan dalam instrumen hukum
perdata yang bertujuan untuk mengejar aset (follow the money) setelah itu kemudian
diterapkan rezim perampasan aset civil forfeture. Untuk membuktikan kesalahan si
pelaku tetap mengedepankan asas pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang
timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel) sebagaimana yang dianut di dalam KUHAP. Tetapi untuk mengembalikan
aset (asset recovery) hasil dari tindak pidana pencucian uang serta membuktikan harta

92

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 109.

Universitas Sumatera Utara

kekayaan pelaku tetap dipergunakan asas pembuktian terbalik karena pembuktian
demikian akan lebih menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana dan hukum
pidana materil serta instrumen hukum internasional.93
Guna menghindari akses negatif dari asas pembuktian terbalik, maka mesti
dipergunakan asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau
pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles)
yang lebih mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan
kemerdekaan individu dan perampasan hak berkaitan dengan harta kekayaan milik
pelaku yang diduga kuat berasal dari tindak pidana pencucian uang.
Asas pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang atau pembuktian
terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) menempatkan
hak

asasi

pelaku tindak

pidana

dalam

kedudukan (level)

paling tinggi

mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced
probability principles) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi
khusus terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana diterapkan asas
pembuktian terbalik melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest
balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan
dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta

93

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam
kedudukan belum kaya. 94
Misalnya praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong (Putusan
Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin
Hong dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong
Kong v Lee Kwang Kut) dan India (Putusan Mahkamah Agung India antara State of
Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of
West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255) dilakukan
terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku dengan mempergunakan asas pembuktian
terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) sehingga
implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana. 95
Jika memperhatikan ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU menempatkan harta
kekayaan yang paling tertinggi. Hal ini sangat berbeda sekali dengan ketentuan dalam
Pasal 37 UUPTPK yang menempatkan hak asasi pelaku yang menempati kedudukan
yang paling tinggi. Perbedaaannya adalah dalam hal kedudukan hak asasi pelaku
tindak pidana korupsi menempati kedudukan yang paling tinggi sehingga
menggunakan asas pembuktian secara negatif (berarti membuktikan kesalahan
terdakwa) sedangkan terhadap harta kekayaannya ditempatkan pada posisi yang lebih
94

Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian...Op. cit., hal. 24.

95

Ibid., lihat juga: http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktianterbalik.html, diakses tanggal 28 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

rendah sehingga digunakan asas pembuktian terbalik. Inilah yang dikenal dengan asas
pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan yang diturunkan. 96
Sedangkan dalam asas pembuktian Pasal 77 UUPPTPPU, menempatkan harta
kekayaan pada kedudukan yang paling tinggi sehingga digunakan asas pembuktian
terbalik dengan beban pembuktian pada harta kekayaan sehingga Pasal 77
UUPPTPPU menganut pembuktian berimbang yang dipertajam atau dinaikkan.
Maksud dipertajam adalah menempatkan harta kekayaan di posisi paling tinggi
daripada kesalahan pelaku. Untuk hak asasi pelaku ditempatkan pada kedudukan
yang lebih rendah. Konsekuensi logis ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU ini dapat
diterima sebab dengan tujuan utamanya adalah untuk mengejar aliran uang (follow
the money) sehingga mengenyampingkan kedudukan hak asasi manusia pada
kedudukan yang lebih rendah dari aset.97 Itu sebabnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU
tidak ditegaskan ketentuan yang mengandung unsur pembuktian kesalahan melainkan
hanya menentukan pembuktian kepemilikan harta kekayaan.
Berdasarkan uraian di atas, dianutnya asas pembuktian terbalik dengan beban
pembuktian bagi terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam
Pasal 77 UUPPTPPU akan semakin mempermudah aparat hukum untuk mengejar
aset melalui pembuktian asal-usul harta kekayaan yang dikuasai oleh terdakwa.
Sedangkan dengan dianutnya asas pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan

96
97

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian….Op. cit., hal. 111.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dalam Pasal 37 UUPTPK akan terasa sulit pembuktiannya terutama yang menyangkut
asal-usul harta kekayaan si terdakwa.

Universitas Sumatera Utara