Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam Pemberantasan Money Laundering

(1)

ANALISIS PENGIMPLEMENTASIAN

REZIM CIVIL

FORFEITURE

DALAM PEMBERANTASAN

MONEY LAUNDERING

TESIS

Oleh

IRDANUL ACHYAR 067005071/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PENGIMPLEMENTASIAN

REZIM CIVIL

FORFEITURE

DALAM PEMBERANTASAN

MONEY LAUNDERING

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRDANUL ACHYAR 067005071/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGIMPLEMENTASIAN REZIM CIVIL

FORFEITURE DALAM PEMBERANTASAN MONEY

LAUNDERING Nama Mahasiswa : Irdanul Achyar Nomor Pokok : 067005071 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, D e k a n,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Korupsi terjadi hampir di semua negara- negara yang sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru dan Pilipina. Kini berkembang pada satu issue bahwa korupsi mempunyai kaitan juga dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisir, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer internasional yang efektif. Sementara itu menurut data yang ditemukan oleh Asian Development Bank dalam Perceived Standard mengemukakan bahwa Indonesia menempati urutan pertama dalam cost competitiveness bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia

Salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menyita dan mengambil alih asset para koruptor dengan jalur gugatan terhadap asset hasil kejahatan secara perdata atau yang di negara common law di kenal dengan istilah civil forfeiture. Civil forfeiture ini berasal dari Inggris dan kemudian berkembang di Amerika yang sama-sama menganut asas Common Law.

Bagaimana pelaksanaannya dengan Indonesia yang menganut system civil law? Dalam hal ini juga memerlukan penelitian.

Indonesia menganut civil law system dimana peraturan perundang-undangan dibuat dengan kodifikasi dalam media tertentu (misalnya UU, keputusan, regulasi tertulis, dan lain- lain ). Undang-Undang Money Laundering sering kali merupakan upaya yang dipilih oleh para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil korupsinya yang dipermudah dengan ketidak beranian Bank. Civil Forfeiture adalah upaya hukum untuk melakukan penyitaan dan pengambil alihan asset melalui gugatan perdata in rem atau gugatan asset yang berkaitan atau merupakan hasil pidana. Selain itu dalam penelitian ini juga dipergunakan metode penelitian yang disebut dengan metode perbandingan hukum (comparative law) untuk mengetahui substansi hukum yang menyangkut masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia yang diatur dalam system hukum negara selain di Indonesia melalui peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilannnya.

Data yang diperoleh melalui penelitian tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia yang kemudian disistemasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini.

Kata Kunci : Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture, Pemberantasan


(6)

ABSTRACT

Corruption occurs in almost all of developing countries including Indonesia besides Nigeria, Peru and the Philippines. A new issue currently developing is that corruption is related to the other organized crimes especially to the attempt of corruptors to hide their corruption-originated income through money laundering by using derivative transaction through an effective international transfer. Meanwhile, according to the data found by Asian Development Bank in Perceived Standard, it is stated that Indonesia belongs to the first place in cost competitiveness if compared to the other Asian countries.

One of the ways which can be used by the Government of Indonesia is to confiscate the assets of the corruptors by claiming the assets obtained through a criminal act by means of what is called civil forfeiture in the countries practicing common law. Civil forfeiture was originally from England which was then developed in the United States which also practices the Principle of Common Law. The purpose of this study was to analyze how Civil Forfeiture is implemented in Indonesia which practices Civil Law System.

Indonesia practices civil law system in which the regulations of legislation is made with codification in certain media such as Law, decree, written regulation, and so forth. Law on Money Laundering is an attempt frequently chosen by the corruptor to hide the money obtained through corruption which is made easier by the cowardice of the bank. Civil forfeiture is a legal attempt to confiscate the asset through an in rem civil allegation or to allege the asset related to or obtained through a criminal act. In addition, this study employed comparative law method to find out the legal substance related to the problem of the implementation of civil forfeiture regime in the legal system of Indonesia regulated in the legal system of the countries other than Indonesia through their regulation of legislation and court decisions.

The data obtained through this research will be selected to find out the articles containing legal norms which regulate the problem of the implementation of civil forfeiture regime in the frame work of Indonesian law and be systemized to find out the classification in line with the problem of this study.

Key Words: Implementation Analysis, Civil Forfeiture Regime, Money Laundering Elimination


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ ANALISIS

PENGIMPLEMENTASIAN REZIM CIVIL FORFEITURE DALAM

PEMBERANTASAN MONEY LAUNDERING ”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH, Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum, dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.


(8)

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, Sekaligus sebagai Sekretaris Ilmu Hukum penulis, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

6. Alm. Ayahanda Achyar dan Almh. Ibunda Djusa’ir Djamal tercinta yang semasa hidupnya mendidik dengan penuh rasa kasih sayang.

7. Istri tercinta Tety Andriani, SH, MKn yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini

8. Kepada Anak-anak Penulis; Andrian Danul Firmansyah, Andasmara Rizky Pranata, Abiandriandri Fikri Akbar, Avrijsto Amandri Achyar sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.


(9)

9. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

10.Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staff Ilmu Hukum Kak Niar, Kak Suganti, Juli, Fitri, SE, Fika, A.md, udin, ST, Hendra, Herman, terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Allah Membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2010 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Irdanul Achyar

Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 30 Juni 1971

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : PT. Sugar Labinta/ Ext. Legal Officer

Alamat : Jl. Abdul Hakim No.4 Kampus USU P. Bulan

Pendidikan : SD Negeri Tamat Tahun 1987

SMP Negeri Tamat Tahun 1990 SMU Negeri Tamat Tahun 1993

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan - Sumatera Utara Tamat Tahun 1999 Strata Satu (S2) Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 25

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 25

1. Tujuan Penelitian ... 25

2. Manfaat Penelitian ... 25

D. Keaslian Penelitian ... 26

E. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 26

1. Kerangka Teori ... 26

2. Kerangka Konsepsi ... 38

F. Metode Penelitian ... 40

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ... 40

2. Sumber Data ... 41

3. Alat Pengumpulan Data ………... 42

4. Analisis Data ... 42

BAB II URGENSI IMPLEMENTASI CIVIL FORFEITURE DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ...……… 44

A. Penerapan Civil Forfeiture terhadap Hukum Yang berlaku Di Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ………….… 44


(12)

B. Hubungan antara Civil Forfeiture dengan Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

(Mutual Legal Assistance /MLA) ………. 68

C. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuanngan ... 71

D. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi ... 85

E. Modus - modus Pencucian Uang ..……… 92

BAB III PELAKSANAAN CIVIL FORFEITURE DI NEGARA COMMON LAW TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ...……..………. 99

A. Civil Forfeiture di Negara Common Law……….... 99

B. Perangkat hukum yang Menjadi Dasar Penerapan Civil Forfeiture Di Negara-negara Common Law... 107

1. Perangkat Hukum yang menjadi dasar Civil Forfeiture Di Amerika Serikat... 107

2. Perangkat Hukum civil Forfeiture di Australia ………. 115

BAB IV KENDALA PELAKSANAAN IMPLEMENTASI CIVIL FORFEITURE DALAM MONEY LAUNDERING....………….. 118

A. Dilema Beban Pembuktian Terbalik ……….. 118

B. Penafsiran Asas Praduga Tidak Bersalah ……….. 126

C. Implementasi Civil Forfeiture Terhadap Hukum Di Indonesia Dengan Perbuatan Melawan Hukum ………. 128

1.Unsur Perbuatan Melawan Hukum menurut Hukum Pidana ……… 128

2. Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata ... 133

3. Unsur -Unsur Perbuatan Melawan Hukum Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ... 134


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 138

A. Kesimpulan ……….. 138

B. Saran ………. 139


(14)

ABSTRAK

Korupsi terjadi hampir di semua negara- negara yang sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru dan Pilipina. Kini berkembang pada satu issue bahwa korupsi mempunyai kaitan juga dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisir, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer internasional yang efektif. Sementara itu menurut data yang ditemukan oleh Asian Development Bank dalam Perceived Standard mengemukakan bahwa Indonesia menempati urutan pertama dalam cost competitiveness bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia

Salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menyita dan mengambil alih asset para koruptor dengan jalur gugatan terhadap asset hasil kejahatan secara perdata atau yang di negara common law di kenal dengan istilah civil forfeiture. Civil forfeiture ini berasal dari Inggris dan kemudian berkembang di Amerika yang sama-sama menganut asas Common Law.

Bagaimana pelaksanaannya dengan Indonesia yang menganut system civil law? Dalam hal ini juga memerlukan penelitian.

Indonesia menganut civil law system dimana peraturan perundang-undangan dibuat dengan kodifikasi dalam media tertentu (misalnya UU, keputusan, regulasi tertulis, dan lain- lain ). Undang-Undang Money Laundering sering kali merupakan upaya yang dipilih oleh para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil korupsinya yang dipermudah dengan ketidak beranian Bank. Civil Forfeiture adalah upaya hukum untuk melakukan penyitaan dan pengambil alihan asset melalui gugatan perdata in rem atau gugatan asset yang berkaitan atau merupakan hasil pidana. Selain itu dalam penelitian ini juga dipergunakan metode penelitian yang disebut dengan metode perbandingan hukum (comparative law) untuk mengetahui substansi hukum yang menyangkut masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia yang diatur dalam system hukum negara selain di Indonesia melalui peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilannnya.

Data yang diperoleh melalui penelitian tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka hukum Indonesia yang kemudian disistemasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini.

Kata Kunci : Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture, Pemberantasan


(15)

ABSTRACT

Corruption occurs in almost all of developing countries including Indonesia besides Nigeria, Peru and the Philippines. A new issue currently developing is that corruption is related to the other organized crimes especially to the attempt of corruptors to hide their corruption-originated income through money laundering by using derivative transaction through an effective international transfer. Meanwhile, according to the data found by Asian Development Bank in Perceived Standard, it is stated that Indonesia belongs to the first place in cost competitiveness if compared to the other Asian countries.

One of the ways which can be used by the Government of Indonesia is to confiscate the assets of the corruptors by claiming the assets obtained through a criminal act by means of what is called civil forfeiture in the countries practicing common law. Civil forfeiture was originally from England which was then developed in the United States which also practices the Principle of Common Law. The purpose of this study was to analyze how Civil Forfeiture is implemented in Indonesia which practices Civil Law System.

Indonesia practices civil law system in which the regulations of legislation is made with codification in certain media such as Law, decree, written regulation, and so forth. Law on Money Laundering is an attempt frequently chosen by the corruptor to hide the money obtained through corruption which is made easier by the cowardice of the bank. Civil forfeiture is a legal attempt to confiscate the asset through an in rem civil allegation or to allege the asset related to or obtained through a criminal act. In addition, this study employed comparative law method to find out the legal substance related to the problem of the implementation of civil forfeiture regime in the legal system of Indonesia regulated in the legal system of the countries other than Indonesia through their regulation of legislation and court decisions.

The data obtained through this research will be selected to find out the articles containing legal norms which regulate the problem of the implementation of civil forfeiture regime in the frame work of Indonesian law and be systemized to find out the classification in line with the problem of this study.

Key Words: Implementation Analysis, Civil Forfeiture Regime, Money Laundering Elimination


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbuatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan kejahatan serius lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya telah disamarkan atau disembunyikan1.

Secara sederhana, pencucian uang adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money), yaitu uang berasal dari praktek-praktek illegal seperti korupsi, perdagangan wanita dan anak-anak, terorisme, penyuapan, penyelundupan, penjualan obat-obat terlarang, judi, prostitusi, tindak pidana perbankan dan praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk ‘membersihkannya’, uang tersebut ditempatkan (placement) pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset tersebut (integration).

Perbuatan pencucian uang tersebut sangat membahayakan baik dalam tataran nasional maupun internasional, karena pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku

1


(17)

kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, nominal uang yang dicuci biasanya luar biasa jumlahnya, sehingga dapat mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global. Pencucian uang ini dapat menekan perekonomian dan menimbulkan bisnis yang tidak fair terutama kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir2. Pelaku kejahatan pencucian uang ini motifasinya hanya ingin menikmati akses yang ada untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah uang mereka menjadi sah 3. Perbuatan seperti ini semakin meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang lebih canggih (shopisticated crimes) dengan memanfaatkan sarana perbankan ataupun non perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi yang memunculkan fenomena cyber laundering.

Di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian diubah melaui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Prinsip dasar UU TPPU ini adalah mensyaratkan tindak pidana pencucian uang telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh krporasi, dengan modus operandi adalah

2

R. Bosworth Davies, Euro Finance : The Influence of Organized Crime : Paper on The Eight International Symposium on Economic Crime, England, 28 Agustus 1991, halaman 30.

3

David A Chaikin, Money Laundering : An Investigatory Perspective, Criminal Law Review, Vol 2 No 3, Spring, 1991, halaman 474.


(18)

menyamarkan harta kekayaan hasil kejahatan yang dikategorikan sebagai predicate crime.4

Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Tahun 1980-an jutaan uang hasil tindak kejatan masuk dalam bisnis legal dan ekonomi. Money laundering sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dikenal sejak zaman perompak yang merampok kapal Portugis di Laut, kemudian dikenal dengan money laundering ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat pada tahun 1920-an memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis) yang modal usahanya jelas-jelas dari bisnis illegal5.

Perkembangan masyarakat modern pun berpengaruh terhadap

perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu barang/aset hasil tindak pidana merupakan "darah segar" bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan hasil suatu tindak pidana adalah darah

4

Pasal 2 UU TPPU mensyaratkan 25 jenis tindak pidana (predicate crime) yang dikategorikan sebagai tindak pidana utama dalam tindak pidana pencucian uang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, yakni : korupsi, penyuapan, penyeludupan imigran,dibidang perbankan, di bidang pasar modal,di bidang asuransi,narkotika,psikotropika,perdagangan manusia,perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan,dibidang kehutanan,di bidang lingkungan hidup,dibindang kelautan,atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau diluar wilayah Indonesia, dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

5 Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Launderinng

), http:/www.jdih. bpk.go.id/ informasihukum/MoneyLaundring.pdf, diakses pada tanggal 15 Juli 2009.


(19)

bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa.

Kejahatan dengan motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) belaka yang banyak melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir (well-organized crimes), memanfaatkan kecanggihan teknologi (advanced technology means), serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara (international crimes). Khusus kejahatan yang termasuk jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan6.

Pada bulan Juni tahun 2001, Indonesia ditempatkan dalam daftar non-cooperative countries and territories (NCCTs) atau yang lebih dikenal dengan nama

black list. Yang menempatkan Indonesia kedalam daftar tersebut adalah Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) 7 .

Sampai Tahun 2004 penilaian terhadap Indonesia dalam masalah pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang masih buruk dikarenakan Indonesia dinyatakan belum koperatif dan 4 (empat) hal yang menyebabkan Indonesia masuk kategori tersebut adalah :

6

Sutedi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008,hal 23

7

Threenov, Pencucian uang ,http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/10/rbk,20041020-07,id.html


(20)

1. Banyaknya hambatan dalam pengaturan dibidang keuangan untuk mencegah dan menindak pelaku tindak pidana pencucian uang ;

2. Hambatan dibidang sektor ril, seperti tidak adanya keseragaman dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia, sehingga setiap oang bisa memiliki lebih dari 1 (satu) identitas;

3. Kurangnya kerjasama internasional antara Indonesia dengan negara lain baik dalam bentuk ekstradisi, MLA atau MOU;

4. Kurangnya sumber daya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang

Dengan UU TPPU diharapkan bahwa atas tindak pidana pencucian uang yang merupakan bentuk tindak pidana independen, artinya terpisah dari tindak pidana asalnya (predicate crime), karena tindak pidana asal bisa terjadi dimana-mana dapat dituntut berdasarkan UU TTPU tersebut, maksudnya adalah selain dari tindak pidana asal yang dilakukan di Indonesia, tindak pidana asal juga bisa yang dilakukan diluar negeri, kemudian hasil uangnya dibawa ke Indonesia untuk dikaburkan asal-usulnya, sehingga seolah-olah uang yang sah. Ini dengan catatan di negara asal tempat kejadian predicte crime tersebut merupakan tindak pidana juga. Jadi dalam hal ini terjadi double crime.8

Perkembangan selanjutnya pada bulan September 2007 the United Nation Office on Drugs and Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery Initiative (selanjutnya disingkat StAR) yang bertujuan utama untuk


(21)

memberikan bantuan tekhnis dan finansial kepada negara-negara berkembang dalam memperkuat kapasitas institusional lembaga-lembaga nasionalnya untuk dapat mengambil kembali aset-asetnya yang telah dicuri.9

Salah satu perubahan yang layak untuk dipikirkan adalah mengubah fokus pemberantasan dengan mengejar aset para pelaku pencucian uang. Hal ini dapat dinilai lebih efektif karena merampas aset hasil suatu kejahatan seringkali memberikan dampak yang lebih besar daripada menghukum pelaku kejahatan itu sendiri.

Keberhasilan metode ini dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat dalam memberantas kejahatan kerah putih diawal tahun 1970-an.10 Civil forfeiture

sering digunakan oleh pemerintah federal Amerika Serikat untuk menyita aset-aset yang berhubungan dengan organized crime untuk memutus jalur uang dan financial support dari kejahatan seperti drugs trafficking atau illegal gambling.11

Belajar dari pengalaman keberhasilan Amerika Serikat dalam menyita aset-aset hasil kejahatan yang merupakan bagian dari tindak pidana pencucian uang, maka pemerintah berupaya untuk menempuh cara yang sama. Keberhasilan inilah yang dilihat oleh pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan kerah putih seperti korupsi yang merupakan bagian dari tindak pidana pencucian uang yang selama ini menjadi permasalahan besar di Indonesia. Seperti yang diketahui, dalam prakteknya

9

Lihat United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17 September 2007 (http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKRO,html), diakses pada tanggal 15 Nopember 2007.

10

Scott A. Hauert, An Examination of The Nature. Scope and extent of Statutory Civil Forfeiture, 20 University of Dayton Law Review, 1994, hal 171.

11


(22)

selama ini sulit sekali untuk mengembalikan aset-aset yang dicuri oleh para koruptor kepada negara. Kelemahan dari segi regulasi dan sumber daya manusia untuk menginventarisir, mencari alat bukti dan menyita aset-aset yang banyak dilarikan oleh para koruptor ke luar negeri masih menjadi salah satu hambatan terbesar dari pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi12.

Secara kuantitas, tindak pidana Korupsi di Indonesia telah merambah beberapa sektor. Korupsi tidak saja terjadi di lembaga eksekutif dan yudikatif. Korupsi sebagai kejahatan tidak saja merugikan ekonomi dan keuangan negara tetapi juga merugikan individual maupun kelompok masyarakat lainnya.

Korupsi terjadi hampir di semua negara- negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru dan Pilipina. Kini berkembang satu issue

bahwa korupsi mempunyai kaitan juga dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisir, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif

yakni melalui transfer internasional yang efektif.13

Bayangkan saja besarnya jumlah uang yang dikorupsi di Indonesia sebagaimana diuraiankan Revrisond Baswir sangat menyayat hati. Menurutnya bisnis korupsi hampir menyamai volume anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dimana APBN tahun ini sebesar Rp.370,59 triliun. Ia mengasumsikan, penyimpangan

12

Mokhamad Najih, Ratifikasi UNCAC (Melalui UU No 7/2006) dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia.Kaitannya dengan Stolen Asset Recovery (Star)Initiative,disampaikan dalamSeminar Pengkajian Hukum Nasional 2007 di Hotel Millenium tanggal 28-29 November 2007.

13

Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiatif, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Asset Negara, Kerta Patrika Vol.33 No1, Januari 2008.


(23)

rata-rata 33%, atau sekitar sepertiga pendapatan negara tidak masuk ke kas negara dan sepertiga belanja negara melenceng dari sasaran. Selanjutnya, sepertiga volume bisnis korupsi berkaitan dengan pengeluaran tunai yang langsung dari masyarakat. 14

Sementara itu menurut data yang ditemukan oleh Asian Development Bank

dalam Perceived Standard mengemukakan bahwa Indonesia menempati urutan pertama dalam cost competitiveness bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia. Sedangkan pada bidang-bidang lain seperti quality of physical infrastructure,risk of disruptive political change, perception of judicial system, dan penerapan Corporate Governance, Indonesia memiliki nilai jelek dan menempati urutan terakhir dibandingkan negara-negara di Asia. Penilaian ini didukung oleh pengamatan dari para investor terhadap kualitas penerapan good corporate governance di Asia yang dilakukan oleh McKinsey & Co., dimana Indonesia menempati urutan keenam setelah Jepang, Taiwan, Korea, Thailand dan Malaysia. Persepsi negatif terhadap Indonesia di mata luar negeri juga terletak pada tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme di kawasan Asia berdasarkan hasil survey political and economic risk consultancy. Di samping itu pada survey Corruption Persception Index 2001 oleh Transparancy International, Indonesia menduduki peringkat 88 dari 99 negara yang disurvey. Demikian pula berdasarkan data dari Kementerian Negara BUMN mengungkapkan hasil Survey of Institutional Investor Corporate Governance 1999 (PWC) bahwa Indonesia memiliki rangking 4,7 yang berkenaan dengan kualitas keterbukaan (disclosure and transparancy) diantara negara Asia Pasific. Dapat dibandingkan

14


(24)

dengan rangking Singapura 3,0; Malaysia dan Philipina 4,2; Thailand 4,3 diikuti dengan India dan China masing-masing dengan rangking 4,4 dan 4,7 (semakin kecil rangking berarti semakin baik dan semakin besar rangking berarti semakin buruk)15.

Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan berkenaan dengan isu korupsi. Paling tidak, terdapat 12 Undang-Undang, 2 PERPU, 3 KEPPRES, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Instruksi Presiden dan yang baru Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang disahkan 27 Desember 2002. Undang-Undang yang baru itu dimaksudkan untuk memperkuat inisiatif memberantas korupsi melalui sarana pembentukan KPTPK atau sering disebutkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diamanatkan Pasal 43 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.16

Di dalam terminologi yang luas korupsi adalah penyalahgunaan dari sektor publik untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan ini dilakukan secara sepihak oleh pejabat publik seperti korupsi dan nepotisme, maupun penyalahgunaan yang menghubungkan antara pejabat publik dan para pelaku di sektor privat seperti penyuapan, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan penipuan.

Korupsi dapat timbul baik di sektor birokratis maupun politis dalam bentuk yang kecil maupun besar dan dilakukan secara terorganisir ataupun tidak untuk

15

http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/talkshow-korupsi-fh-usu.pdf, diakses tgl 2 February 2009.


(25)

memudahkan aktivitas kriminal seperti perdagangan obat bius, penyelundupan maupun pencucian uang (money laundering) dan bentuk kejahatan lainnya.

Korupsi dapat menimbulkan kerugian yang besar di berbagai sektor. Dalam bidang politik, korupsi mengikis demokrasi dan good governance dengan menghancurkan proses formal. Korupsi dalam pemilihan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan representasi sebuah pembuatan kebijakan. Korupsi di pengadilan menghambat kepastian hukum dan korupsi di dalam administrasi pemerintahan mengakibatkan timbulnya pelayanan yang berbeda dan cenderung tidak adil. Secara umum korupsi mengikis kapasitas institusi pemerintahan karena prosedur tidak dipedulikan, sumber daya yang ada dimanipulasi, dan pejabat diangkat atau dipromosikan tidak berdasarkan kemampuannya. Sehingga korupsi mengikis legitimasi pemerintahan, menghambat pembangunan infrastruktur, menimbulkan tekanan keuangan pemerintah dan menghancurkan nilai-nilai demokratis kepercayaan dan toleransi.17

Kurang efektifnya penanganan korupsi telah membuat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang berisikan beberapa intruksi Presiden, yaitu :

Pertama, seluruh pejabat negara segera melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

17

Phylis Dinino dan Sahr Jon Kpundeh, A Handbook of Fighting Corruption, Center for Democracy and Governance, Washington D.C, 1999, hlm 5 dalam http:// bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/menjaga-demokrasi-dengan-pemberantasan-korupsi.pdf diakses tgl 2 February 2009.


(26)

Kedua, bantu KPK dalam pelaporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan laporan kekayaan.

Ketiga, Tingkatkan kualitas pelayanan publik melalui standarisasi pelayanan dan hapuskan pungutan liar.

Keempat, laksanakan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara konsisten untuk mencegah berbagai pemborosan.

Kelima, terapkan hidup sederhana dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta penghematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak pada keuangan negara.

Keenam, beri dukungan maksimal terhadap upaya penindakan korupsi yang dilakukan Polri, Kejaksaan, dan KPK dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian ijin terhadap saksi/tersangka.

Ketujuh, tingkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif.

Dalam mengatasi korupsi yang pertama sekali perlu dilakukan adalah pembenahan sistem hukum. Pembenahan harus dilakukan tidak hanya dalam substansi hukum, tetapi harus juga mengkaji aparatur hukum dan budaya hukum (legal culture). Setidak-tidaknya menurut studi yang dilakukan Burg’s ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi, yaitu :


(27)

Pertama, “stabilitas” (“stability”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.

Kedua, “meramalkan” (“predictability”), berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional.

Namun, di antara kedua unsur itu penting diperhatikan aspek “keadilan” (“fairness”) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.18

Pembenahan sistem hukum tentu memerlukan waktu. Namun bukan berarti pemberantasan korupsi harus berjalan di tempat. Pemberantasan korupsi harus tetap dijalankan seiring dengan pembenahan sistem hukum dengan memakai perangkat-perangkat hukum yang telah ada. Selain UU Nomor 31 tahun 1999 (selanjutnya disingkat menjadi UU TPK) yang selama ini digunakan untuk melawan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah disebutkan diatas, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutanya disingkat menjadi UU TPPU). Kalau selama ini UU

18

http: // bismarnasty .files. wordpress .com. html / 2007 / 06 / menjaga–demokrasi-dengan pemberantasan - korupsi.pdf, diakses tgl 2 February 2009.


(28)

TPK menekankan tindak pidana korupsi kepada pelakunya, UU TPPU menekankan tindak pidana korupsi pada hasilnya.

Korupsi tidaklah selalu dalam bentuk uang tunai melainkan lebih banyak menggunakan transfer uang dari satu pihak ke pihak lainnya dengan melibatkan lembaga keuangan seperti bank. Pendekatan ini dapat jauh lebih efektif mengingat alur peredaran uang lebih mudah dideteksi. Pencantuman korupsi dan penyuapan sebagai predicate crimes dalam UU TPPU juga lebih memudahkan para aparat hukum untuk menjerat koruptor dan hasilnya. Kelebihan lain dari UU TPPU adalah adanya mutual legal assistance diantara Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dengan financial unit intelligence (FUI) negara lain dalam melacak arus peredaran uang maupun aset dari para koruptor. Keberhasilan PPATK yang berkerjasama dengan FUI negara Australia dalam membawa pulang aset Hendra Rahardja merupakan bukti awal ampuhnya penerapan UU TPPU.19

Keluarnya UU No. 25 tahun 2003 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”) dan UU No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (“UU MLA”) memang telah banyak membantu aparat penegak hukum dalam mencari informasi, alat bukti atau menyita aset di luar negeri.20 Namun dalam hal pembuktian di dalam proses pengadilan sering kali pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk membuktikan unsur yang didakwakan. Selain itu sering

19

Ibid

20

Nasution, Bismar, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Asset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia”, Hotel Millenium Jakarta 28-29 Nopember 2007.


(29)

juga pemerintah mengalami kesulitan dalam persidangan karena berbagai hambatan tekhnis persidangan seperti kurang lengkapnya alat bukti, terdakwa sakit, hilang atau meninggal dunia.

MLA ini memang sangat dianjurkan dalam beberapa pertemuan internasional dan konvensi, misalnya dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerjasama internasional antara lain dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi dan dalam hal ini Indonesia telah memiliki payung MLA tersebut.

Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara 21.

UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty based crime) yang mengutamakan prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Di dalam ketetentuan Pasal 4 UNCAC 2003 secara jelas ditentukan : “convention in a manner consistant with the principles of souverign equality and territorial integrity of state and that of non-intervention in the domestic affairs of other states”. Ketentuan ini mencerminkan bahwa implementasi konvensi

21

Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, Kertha Patrika, Vol 33 No.1, Januari 2008


(30)

oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Ketentuan Pasal 4 UNCAC 2003 ini berhubungan dengan Bab IV UNCAC 2003 yang mengatur tentang kerjasama internasional (Pasal 43 UNCAC 2003) serta ketentuan Bab V UNCAAC 2003 tentang pengembalian aset (Asset Recovery) dan juga ketentuan Pasal 31 UNCAC 2003 tentang pembekuan, perampasan dan penyitaan (freezing, seizure and confiscation).

Suatu kemajuan yang dapat dicatat bahwa ketentuan mengenai ekstradisi, seperti prinsip “dualcriminality” tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat. Hal ni dapat dilihat dengan mencermati Pasal 44 section 2 UNCAC 2003 yang menentukan : ”state party whose law so permits my grant the extradition of a person for any ofthe offences covered by this convention that are not punishable under its own domestic law”. Terobosan lain terhadap prinsip umum ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas.

Pasal 44 section 11 dan section 12 UNCAC 2003 memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas untuk segera menyerahkan seorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke negara pemohon dengan syarat tertentu. Dalam pasal 11 UNCAC 2003 ditentukan bahwa apabila suatu negara peserta yang di dalam wilayahnya ditemukan orang yang disangka sebagai pelaku kejahatan, tidak mengekstradisikan orang tersebut, dengan alasan orang tersebut adalah warga negaranya, maka negara tersebut, atas permintaan negara peserta yang


(31)

memohon ekstradisi wajib untuk menyerahkan kasus tersebut pada badan yang berkompetensi untuk tujuan penuntutan 22.

Badan yang berkompetentsi dimaksud, punya kewajiban untuk mengambil keputusan serta melaksanakan proses peradilannya dengan cara-cara yang sama dan berdasarkan hukum nasional negara peserta. Negara-negara peserta punya kewajiban untuk bekerjasama, khususnya dalam hal prosedur serta pembuktian guna efisiensi penuntutan. Selanjutnya dalam pasal 44 section 12 UNCAAC 2003 ditentukan bahwa : bilamana suatu negara peserta diijinkan oleh hukum nasionalnya untuk mengekstradisi atau sebaliknya menyerahkan seorang warga negaranya, hanya pada kondisi bahwa orang tersebut akan dipulangkan ke negara peserta itu untuk menjalani hukuman yang dijatuhkan karena putusan pengadilan untuk mana atau penyerahan orang yang dicari negara peserta itu dan negara peserta yang meminta ekstradisi orang itu setuju dengan opsi ini dan syarat-syarat lain yang menurut penilaiannya, layak, ekstradisi atau penyerahan dengan syarat akan cukup untuk membebaskan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 section 11 UNCAC 200323.

Objek MLA antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang. Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan asset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang

22

Ibid, hal. 4

23


(32)

yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.

Dalam MLA terdapat MoU tentang berbagai macam perjanjian dalam kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas tindak pidana dikenal beberapa perjanjian, antara lain, Memorandum of Understanding (MoU), Ekstradisi, dan Perjanjian Pemindahan Orang yang Sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Person).

Dalam MoU yang dikerjasamakan atau dipertukarkan adalah informasi dalam rangka penyelidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Perjanjian ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap seorang tersangka atau terdakwa yang berada pada yurisdiksi negara lain.

Kemudian, perjanjian Transfer of Sentenced Person meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya.

Kalau dilihat dari jumlah perjanjian MLA yang dimiliki Indonesia, yaitu hanya tiga perjanjian. Dari ketiga perjanjian tersebut, ada satu perjanjian MLA yang walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA dengan Korea. Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November 2004, tetapi sampai hari ini belum


(33)

diratifikasi. Sementara itu, Singapura dan Malaysia sudah mencatatkan dokumen ratifikasinya masing-masing sejak April dan Juni 2005. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar 50 negara, seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat China memiliki 39 perjanjian

MLA dengan negara lain. Baru-baru ini, Indonesia sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi yang akan ditandatangani dalam perjanjian MLA24

Sebagaimana diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat dan perkembangan teknologi dan pelayanan nasabah bank semakin meningkat dengan modus operandi lebih rumit dan canggih.

Di samping itu, mengingat tindak pidana tertentu memiliki karakteristik lintas batas Negara (transnational organized crime), seperti korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk memperoieh alat bukti dan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Indonesia harus lebih aktif mengupayakan peningkatan kerja sama MLA dengan negara lain. Kita jangan selalu terlambat seperti yang selama ini terjadi. Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama MLA dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia memiliki UU MLA atau Perjanjian MLA justru karena dipengaruhi atau ditekan Negara lain atau lembaga internasional 25.

24

http://Yunushusein.files.wordpres.com/2007/07/35-mutual legalassistance-dan penegakan hukum-x.pdf.Mutual Legal Asistance : Suatu Keharusan Dalam Penegakan Hukum,diakses pada tanggal 17 Agustus 2010


(34)

Salah satu aspek dari MLA ini adalah sharing forfeited asset yaitu asset yang disita sebahagian dibagikan kepada Negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut baik untuk biaya operasional atau lainnya. Ini suatu permasalahan baru. Indonesia telah mempunyai ketentuan tentang masalah ini dalam pasal 57 UU No 1 tahun 2006 , namun beberapa Negara seperti Thailand, tidak memilikinya26.

Di Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya ''facilitating assistance" misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen maka bank akan memperoleh bagian sampai 40%. 27

Dengan adanya MLA ini diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan dan terdapat perubahan cara pandang terhadap multi aspek korupsi, antara lain : aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan dan keamanan.

26

Ibid.

27

http: // hukum oesoe 83. blogspot .com / 2008 / 12 / bantuan – hukum – timbal -balik-dalam.html,Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Menyita dan Merampas Aset korupsi di Luar Negeri, diakses tanggal 23 Juli 2009.


(35)

Dalam upaya pemberantasan korupsi, sistem pembuktian konvensional tidak selalu ampuh, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan alternatif solusi yang potensial. Jika pada saat sebelumnya, instrument yang sering digunakan penyidik adalah penyitaan (pidana) atau sita in persona yang dalam hal ini unsurnya adalah adanya tindak pidana, maka dalam tindak Pidana khusus seperti korupsi, penyidik kesulitan untuk menemukan hubungan khusus antara perbuatan pidana dan pelaku.

Dalam tindak pidana korupsi yang dikejar adalah pelaku, sehingga dalam prakteknya mengalami banyak kesulitan dan tidak banyak aset para pelaku yang dapat disita. KUHAP menetapkan seorang harus ditetapkan sebagai tersangka dulu baru asetnya dapat disita. Akhirnya akan banyak aset koruptor yang tidak terkejar dan banyak dilarikan keluar negeri dikarenakan prosedur hukum yang mengatur sulit mengejar pelakunya.28

Hal ini terlihat dalam persidangan Syamsul Nursalim yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Dengan alasan sakit, Syamsul Nursalim kabur ke Singapura yang menyebabkan proses persidangannya tertunda29 . Padahal Syamsul Nursalim diperkirakan telah mencuri aset negara senilai Rp. 10 trillyun.30

Pengembalian aset negara yang berhasil dapat dilihat pada kasus BLBI yang uang hasil korupsi dapat diambil kembali oleh pemerintah Indonesia. Uang itu

28

Sita Perdata,Terobosan Baru dalam RUU Tipikor, http://www.hukumonline. com/detail.asp?id= 18005&cl =berita.Diakses pada tanggal 30 Januari 2009.

29

Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar Interpol 18 Juli 2003 (http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=333), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007.

30


(36)

dikirim ke gabungan satuan kerja masalah Hendra Raharja di Jakarta dengan timnya adalah Departemen Kehakiman. Uang itu adalah harta Hendra yang masih tersisa di Australia. Sedangkan harta Hendra lainnya seperti rumah dan gedung sudah dijual. Disinyalir harta berupa barang bergerak tidak ada lagi.31 Hendra adalah terdakwa kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada PT BHS. Dalam kasus ini, negara dirugikan sebesar Rp 305 miliar plus US$ 2,3 juta. Disidang secara in absentia, Hendra dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 22 Maret 2002. Majelis hakim juga menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti senilai Rp.1,95 triliun. Dalam rangka mengembalikan aset yang dicuri, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan pemerintah Australia untuk memberantas kejahatan transnasional. Bentuknya berupa gabungan satuan kerja (joint task force) yang dipimpin Departemen Kehakiman dan HAM Indonesia dan Departemen Kehakiman dan Bea Cukai Australia. Harta Hendra lain yang berada di Hong Kong dan Cina serta dua tempat lain juga akan dilacak pihak Indonesia. Diharapkan dengan bekerja sama dengan Negara lain akan melacak harta Hendra Raharja di negara lain yang diduga telah ditransfer oleh Hendra, keluarga, maupun rekan-rekannya32.

Dalam praktek, hanya sedikit aset pelaku korupsi yang bisa disita. Karena pemerintah kalah beberapa langkah dari koruptor. Diduga banyak aset koruptor yang tak terkejar karena keburu dilarikan ke luar negeri.

31

InfoAnda.com, Sebesar Rp 4 Miliar Milik Hendra Raharja Disita, Rabu, 21 April 2004 http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BAdcU1YDBQEB

32


(37)

Sita perdata atau sita in rem lebih mudah dibanding dengan penyitaan yang diatur KUHAP. Dalam sita perdata, aset seseorang bisa disita meski pemeriksaan masih dalam tahap penyelidikan. Bila berdasarkan penyitaan yang diatur KUHAP seseorang harus ditetapkan sebagai tersangka dulu, dalam sita perdata penetapan status semacam itu tidak perlu. Sita perdata bisa dilakukan tanpa adanya tersangka.

Keuntungan sita perdata, penanganan aset relatif menjadi lebih cepat. Sebab dalam pidana, penentuan tersangka harus melalui proses yang panjang. Harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat, bukan sekadar bukti permulaan yang cukup. Secara teori, yang “dianggap jahat” adalah benda atau asetnya. Sedangkan pemilik benda “yang dianggap jahat” bukan menjadi fokus dalam sita perdata ini.

Hambatan-hambatan inilah yang dapat menjadi tantangan bagi efektifnya pengambilan asset hasil kejahatan di Indonesia. Tanpa adanya putusan dari pengadilan akan sulit bagi Indonesia untuk meminta bantuan negara lain untuk mengambil aset para koruptor yang ada didaerahnya karena adanya asas double criminality yang dianut oleh sebagian negara-negara tersebut. Selain itu, mengingat mudahnya memindahkan transfer, tertundanya persidangan yang diakibatkan oleh kaburnya seorang yang diduga pelaku suatu tindak pidana dapat memberikan kesempatan bagi orang itu untuk memindahkan assetnya.

Hal ini terlihat dari masih banyaknya asset para koruptor yang berhasil dilarikan ke luar negeri. Menurut data yang dikeluarkan oleh Merril Lynch, asset


(38)

para koruptor Indonesia di Singapura mencapai US$ 87 millyar atau sekitar Rp. 870 trillyun.33

Dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan koruptor kakap, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar penegak hukum menyelesaikan kasus korupsi besar ini sekaligus membantah isu bahwa program pemberantasan korupsi dilakukan secara tebang pilih. Pemerintah tidak ada niat menjalankan pemberantasan korupsi secara tebang pilih, ”Itu dosa dan salah”. Urusan perkara korupsi harus lurus.Tidak ada kata damai atau pendekatan kabinet malam hari. Semua harus lurus, terang dan akuntable dan dalam hal ini telah meminta Kapolri dan Jaksa Agung agar memisahkan motif-motif politik dalam upaya pemberantasan korupsi karena korupsi itu adalah urusan hukum dan khususnya mengenai TPPU (money laundering ) beliau meminta agar PPATK34 untuk bekerja lebih keras dan disiplin guna mencegah dan memberantas masalah tersebut .35

33

Pikiran Rakyat, 80 % Koruptor Kakap Kabur, Jumat, 27 April 2007 (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/27/0101.htm), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007.

34 PPATK digagas dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Adhoc (PAH) IV dengan Kepolisian RI (Polri) tentang pembahasan RUU Tindak Pidana Pencucian Uang (22/5), oleh Wakapolri Makbul Padmanegara dengan usulan perlunya dibentuk lembaga pengawas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Alasannya RUU Tindak Pidana Pencucian Uang yang dinilai Makbul telah memberi kewenangan relatif lebih besar dibandingkan ketentuan dalam UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003. RUU yang dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 ini secara detil mendelegasikan wewenang kepada PPATK sesuai dengan tugas yang diberikan. Berdasarkan Pasal 38, tugas PPATK antara lain melakukan upaya pencegahan, melakukan pengelolaan data dan informasi, melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pelapor, melakukan analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lainnya kepada penyidik; dan melakukan penyelidikan tindak pidana pencucian uang. Untuk pelaksanaan tugas pencegahan, misalnya, PPATK berwenang untuk mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan dengan instansi terkait, memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan, mewakili Pemerintah RI dalam organisasi dan forum internasional, menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang, dan menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

35

SBY Minta Kasus-kasus Korupsi Besar Dirampungkan Rabu, 28 Nopember 2007 JAKARTA (Suara Karya) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=187515 . Diakses pada tanggal 31 Januari 2009.


(39)

Oleh karena itu pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum Pidana lewat penuntutan (conviction), lewat suatu proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis disamping upaya pemberantasan

(represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian aset (asset recovery) hasil korupsi.36

Melihat permasalahan ini, perlu kiranya Indonesia memikirkan suatu cara baru untuk memerangi korupsi. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menyita dan mengambil alih asset para koruptor dengan jalur gugatan terhadap asset hasil kejahatan secara perdata atau yang di negara common law di kenal dengan istilah civil forfeiture. Secara psikologi, setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti memiliki alasan. Pada dasarnya, pelaku kejahatan melakukan tindak pidana guna mendapatkan uang dan kekuasaan. Pihak yang dapat melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum yang menuntut para pelaku serta merampas uang dan kekuasaan yang diperoleh pelaku dari kegiatan kejahatannya.

Untuk itu maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut tentang civil forfeiture sehingga civil forfeiture sehingga perlu dipikirkan beberapa aspek pelaksanaan dari civil forfeiture sebelum diadopsi kedalam hukum di Indonesia.

36


(40)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah Urgensi Pengimplementasian Civil Forfeiture di Indonesia dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ?

2. Bagaimanakah praktek pelaksanaan Civil Forfeiture di Negara Common Law ? 3. Apakah Hambatan dari Pengimplementasian Civil Forfeiture di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

a. Untuk dapat mengetahui dan memahami tujuan dan kegunaan pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam permberantasan tindak pidana pencucian uang

b. Untuk dapat mengetahui dan memahami praktek pelaksanaan rezim civil forfeiture di negara Common Law.

c. Untuk dapat mengetahui dan memahami hambatan pengimplementasian rezim

civil forfeiture dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia 2. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum acara dan upaya pengembalian aset di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi


(41)

penyempurnaan perangkat peraturan mengenai pemberantasan kejahatan kerah putih pada umumnya dan korupsi pada khsususnya.

Secara praktis penelitian bermanfaat bagi aparat penegak hukum dan juga para praktisi hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagi negara bermanfaat untuk dapat mengembalikan aset negara yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai pengimplementasian rejim civil forfeiture pemberantasan tindak pidana pencucian uang belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Secara umum Civil Forfeiture dapat diartikan sebagai upaya hukum untuk melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu asset melalui gugatan in rem37 atau

37


(42)

gugatan terhadap asset.38 Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil aset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim ditemui di negara-negara common law.

Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of death atau yang sering disebut sebagai Teori Deodand.39 Teori ini didasarkan pada legal fiksi dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint”

(menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut (taint doctrine).40 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita.41 Namun demikian, walaupun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law).42 Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal dari pada pemilik kapalnya.43

Kongres pertama dari Amerika Serikat mempertahankan penggunaan civil forfeiture di hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi

38

David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390.

39

Tood Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act:, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hlm. 89.

40

Ibid.

41

Ibid, hlm. 90.

42

Leonar W. Levy, A License to Steal : The Forfeiture of Property, 1996, hlm. 19.

43


(43)

kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal.44 Supreme Court

kemudian juga mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus The Palymra yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argument pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah illegal, karena tapa adanya sebuat putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah.45 Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat.46

Di Amerika untuk melakukan perampasan aset atau penggeledahan diperlukan Search Warrant (penggeledahan) yang dikeluarkan oleh pengadilan. Dengan Search Warrant ini, penegak hukum dapat mendapatkan banyak informasi mengenai individual yang bersangkutan seperti computer information, kekayaan, record bank, pajak, bisnis, buku cek dan banyak lagi. Elemen yang paling penting adalah harus mempunyai bukti bahwa penyitaan aset tersebut berhubungan dengan aktivitas illegal atau memberikan bukti dugaan bahwa aset tesebut berhubungan dengan aktivitas illegal. Terkadang informasi mengenai aset tesebut dapat diketahui sebelum search warrant dikeluarkan sehingga dapat lebih memudahkan para penegak hukum. Salah satu contoh, dari data pengembalian pajak (tax return) seseorang memperoleh pendapatan sebesar 10.000 US Dollar per tahun, tetapi orang tersebut memiliki harta kekayaan sekitar 500.000 US Dollar kemudian investigator harus mencari hubungan antara aset-aset tambahan dengan tindak pidana. Di Tampa,

44

Ibid, hlm. 46.

45

Barner, Op.Cit, hlm. 91.

46


(44)

Florida, terdapat seorang pengedar narkotika pada tahun 1990 dari Kolombia dan orang tersebut memiliki property yang disimpan dibeberapa negara misalnya negara Eropa. Hal yang penting bahwa pelaku kejahatan berupaya menyembunyikan aset kejahatannya dengan menyimpan di negara-negara lain.

Elemen lain yang penting adalah kerja sama antar negara yang dapat membantu negara asal untuk melacak asset yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan di luar negeri. Untuk perkara pidana di Amerika Serikat menggunakan

burden of proof beyond the reasonable doubt. Di Amerika Serikat, setelah aset atau property disita, pihak ketiga dapat mengklaim aset tesebut dengan disertai bukti-bukti yang lengkap. Contoh, jika seorang anak daripada terdakwa ingin mengajukan gugatan atas aset-aset ayahnya yang merupakan terdakwa yang dirampas dengan mengklaim bahwa sebagian dari aset-aset tersebut diperoleh secara sah, maka anak tersebut memiliki hak untuk melakukan hal tersebut selama yang bersangkutan mengajukan bukti-bukti kuat.

Criminal Asset Recovery/Asset Forfeiture adalah bagian dari hukuman yang dijatuhkan atas putusan pengadilan atas delik yang terjadi. Artinya bahwa jika terdakwa diputus bersalah oleh pengadilan melakukan tindak pidana, dan tunduk pada perampasan aset maka hukum acara perampasan aset dapat dilakukan. Hal ini sama halnya dengan perampasan aset secara perdata dimana jaksa penuntut umum berkewajiban menyampaikan bukti-bukti. Perbedaan antara perampasan aset secara perdata dan perampasan aset secara pidana adalah bahwa dalam perampasan aset secara perdata yang berlaku adalah Pemerintah melawan property, sementara dalam


(45)

perampasan aset secara pidana, Pemerintah melawan terdakwa. Kemudian, pelaksanaan perampasan aset secara pidana tergantung pada putusan pengadilan atas delik yang terjadi, sementara perampasan aset secara perdata tidak, artinya terlepas dari adanya putusan pengadilan atas tindak pidana47.

Surat penetapan pengadilan Indonesia terkait penyelamatan aset (dalam proses pembekuan, penyitaan aset, dan lain-lain) tidak memungkinkan adanya peluang perlawanan (verzet). Penetapan pengadilan tersebut dapat diterapkan di negara lain (USA). Bekerja sama dengan pemerintahan negara lain sangat penting dalam usaha penyelamatan aset. Selama diantara negara-negara tersebut mempunyai

Mutual Legal Assistance Treaty atau Vienna Convention maka negara tersebut bisa bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam pengeluaran surat penetapan pengadilan. Di Amerika Serikat, penerapan hukum pidana dan perdata mendapat perlakuan yang sama. Office of International Affairs dari Department of Justice di Amerika Serikat bekerja sama dengan pemerintahan luar negeri dalam proses dan pengeluaran Court Orders yang diperlukan oleh negara tersebut dalam kasus penyitaan aset di Amerika Serikat.

Secara umum, MLA Treaty harus terbuka, saling menghormati dan kooperatif. Jika terdapat MLA Treaty atau negara peminta telah meratifikasi Vienna Convention, maka permintaan akan perampasan aset secara international dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara kedua negara. Pada dasarnya, biasanya terdapat pembagian 50-50 persen atas bagian harta hasil rampasan yang berada di

47


(46)

negara lain untuk dapat dikembalikan kepada negara peminta. Misalnya, suatu kasus yang pernah ditangani tentang perdagangan obat terlarang, dimana pelaku menyembunyikan aset-asetnya di luar negeri termasuk di Swiss. Pemerintah Amerika Serikat mengirim permintaan kepada pemerintah Swiss untuk merampas aset-aset dan mengembalikannya ke Amerika. Hal ini berjalan dengan baik, tetapi pemerintah Amerika harus membagi 50 persen bagian kepada pemerintah Swiss.

Indonesia menganut civil law system dimana peraturan perundang-undangan dibuat dengan kodifikasi dalam media tertentu (misalnya UU, keputusan, regulasi tertulis, dan lain lain ). Saat ini masih menjadi pertimbangan bagi Indonesia apakah Indonesia memerlukan UU Asset Recovery atau UU Asset Forfeiture yang juga mengatur di dalamnya prosedur pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset, termasuk pembagian asset, secara tersendiri atau diintegrasikan dengan UU yang ada. Saat ini di Indonesia, keputusan pembagian aset berada di tangan Departemen Keuangan, berbeda dengan Amerika dimana pembagian aset dilakukan berdasarkan kebijakan masing-masing lembaga yang menangani (Department of Justice dan

Department of Treasury).

Dalam rangka mengembalikan harta kekayaan yang berasal dari korupsi pemerintah mengeluarkan UU Anti Money Laundering. Money Laundering sering kali merupakan upaya yang dipilih oleh para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil korupsinya yang dipermudah dengan ketidak beranian Bank48 untuk melaporkan

48

Lihat ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI Tahun 2001 yang disempurnakan menjadi Peraturan Nomor 5/21/PBI Tahun 2003 yang mewajibkan Bank untuk


(47)

transaksi keuangan yang mencurigakan di perbankan terutama yang menyangkut pejabat-pejabat pemerintahan. Untuk hasil transaksi keuangan yang mencurigakan di perbankan lebih banyak diperoleh setelah dilakukan komplain audit di Bank tersebut.49

Pasal 3 UU TPPU menyatakan : (1) Setiap orang yang dengan sengaja;

a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tidak pidana ke dalam Penyediaan Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. mentransfer Harta kekayaan yang diketahuinya pidana patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain. c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau meyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

meneliti kebenaran dokumen mengenai identitas calon nasabah, maksud, tujuan, hubungan yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah,serta identitas pihak lainnya.

49

Tempo Interaktif, 21 Maret 2007 ,Bank Takut laporkan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan Pejabat Negara, http://www.tempointeraktif .com/hg/ekbis/2007/03/21/brk.2007321-95966.id.html. diakses tanggal 30 Januari 2009.


(48)

e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana;

g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang surat berharga lainnya; atau

h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun yang paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00,- ( lima belas milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Adapun jenis-jenis tindak pidana yang dimaksud dalam UU TPPU adalah sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Pencucian Uang : menempatkan, mentransfer, membayarkan/ membelanjakan, menghibahkan/menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang/surat berharga lain, atau menyembunyikan/menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.


(49)

2. Tindak Pidana Percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang

3. Tindak pidana menerima/menguasai : penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Ancaman pidana atas tindak pidana yang dimaksud dalam UU TPPU adalah penjara minimum 5 tahun dan maksimum 15 tahun, serta denda minimum Rp. 5 milyar dan maksimum Rp. 15 milyar. Sedangkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang ;

a. penyedia jasa keuangan : sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan (ancaman pidana : denda minimum Rp. 250 juta dan maksimum Rp. 1 milyar) b. setiap orang yang tidak melaporkan pembawaan uang tunai dalam Rupiah

sejumlah Rp. 100 Juta atau lebih ke dalam/ ke luar wilayah RI, diancam pidana denda minimum Rp. 100 juta dan maksimum Rp. 300 juta.

c. PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum,hakim atau pihak lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar larangan menyebut identitas pelapor diancam dengan pidana penjara minimum 1 tahun dan maksimum 3 tahun. UUTPPU juga mengatur tindak pidana pencucian uang oleh korporasi, dimana disebutkan bahwa tanggung jawab pidana berada pada pengurus dan korporasi yang bersangkutan dan korporasi diancam pidana pokok serta denda sebesar maksimum denda ditambah 1/3 dan pidana tambahan (pencabutan izin usaha).


(1)

B A B V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan hasil penelitian di atas, dapat diajukan kesimpulan dan saran, baik berkaitan dengan kondisi saat ini maupun di masa mendatang, di antaranya :

A. Kesimpulan

1. Civil Forfeiture dapat diadopsi kedalam hukum Indonesia untuk pembasmian Tindak Pidana Pencucian Uang dengan melalui gugatan perdata in rem dengan jaksa penuntut umum sebagai pengacara negara dan dengan dasar pasal 1365 KUH Perdata dimana gugatan tersebut berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat.

2. Bahwa sistem hukum di negara Common Law telah mengimplementasikan gugatan civil forfeiture didalam sistem hukum dan sampai dengan saat ini tetap menjadi bagian terpenting untuk mengembalikan aset yang telah dicuri.

3. Bahwa gugatan perdata dalam prakteknya akan memunculkan problem pengembalian kerugian keuangan negara. Kendala teknis yuridis terletak pada sistem pembuktian yang rumit dan tidak dapat dipergunakan Hukum acara perdata dalam HIR.


(2)

B. Saran

1. Perlu dilakukan reformasi peraturan perundang-undangan anti korupsi, terutama berkaitan dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi. UU PTPK belum mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi, khususnya mengenai prinsip-prinsip pengembalian aset negara yang dikorupsi melalui gugatan perdata;

2. Mekanisme civil forfeiture sebagaimana dianut di berbagai negara perlu diadopsi dalam pengaturan gugatan perdata pengembalian aset negara yang dikorupsi. Hal tersebut mengingat gugatan perdata yang diatur dalam UU PTPK maupun HIR tidak optimal dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara dan Jaksa Pengacara Negara dihadapkan pada kendala-kendala teknis;

3. Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif sebagaimana diatur dalam UU PTPK saat ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiatif, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Asset Negara, Kerta Patrika Vol.33 No1, Januari 2008. Andi Hamzah,Perbandingan Pemberantassan Korupsi di berbagai Negara,

(Jakarta:Sinar Grafika)2005

Barnet, Tood, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act:, 40 Duquesne Law Review Fall 2001

Dinino, Phylis dan Sahr Jon Kpundeh, A Handbook of Fighting Corruption, Center for Democracy and Governance, Washington D.C, 1999

Hauert Scott A, An Examination of The Nature. Scope and extent of Statutory Civil Forfeiture, 20 University of Dayton Law Review, 1994Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. Rajawali Press, 1990.

Romli Atmasasmita,3, Pengantar hukum Pidana Internasional bagian II,Jakarta,Hecca Mitra utama,2004)

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001

B. Internet, Majalah, Makalah, Koran

bpkp.go.id, Rendah, Dukungan Perusahaan Keuangan Pemberantasan Pencucian Uang,2005-08-16 http :// bpkp .go. id / view berita.php?aksi= view&start= 1205 & id = 985. Diakses Tanggal 30 Januari 2009.

Ben Clarke,Confication of Proceeds of Crime :Australian Response, disampaikan dalam 2nd World Conference on Investigation on Crime,ICC,Durban,3-7


(4)

http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/talkshow-korupsi-fh-usu.pdf, diakses tgl 2 February 2009.

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=BAdcU1YDBQEB, “Sebesar Rp 4 Miliar Milik Hendra Raharja Disita”, Rabu, 21 April 2004.

http://gagasanhukum.wordpress.com.tag/s-eka-iskandara,diakses pada bulan Juli 2010

http:/ /www .tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/03/21/brk.2007321-95966.id.html. Diakses tanggal 30 Januri 2009.

http:// www .tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/09/16/brk,20050916-6669

2,id.html. diakses pada tanggal 29 Januari 2009.

Iman jauhari, Jurnal Compendium,Volume VI,2 Agustus 2005, Magister SPS USU hal. 17

Kompas, 17 Agustus 2008.

Kuntoro Basuki, Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata, Seminar Pengkajian Hukum Nasioal (SPHN 2007), Hotel Millenium,Jakarta,28-29 Nopember 2007.

Levy, Leonar W., A License to Steal : The Forfeiture of Property, 1996

Lawrence L. C. Lee, Combatting Illicit Traffic In Taiwan: Proposed Money Laundring Control Act. Tul. J. Int.i & Comp. L. Vol. 14, 1996

M. Guadamillas and R. Keppler, ”Securities Clearance an Settlement System.A Guide to Best Practies”, World Bank Policy Reseacrh Working Paper No 2581, April 2001.

Mardjono,Makalah,”Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan”,disampaikan pada acara seminar mengenai Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum, yang dialaksanakan oleh Lembaga Kriminologi UI,Jakarta,1994

Mokhamad Najih, Ratifikasi UNCAC (Melalui UU No 7/2006) dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia.Kaitannya dengan Stolen Asset Recovery (Star)Initiative,disampaikan dalamSeminar Pengkajian Hukum Nasional 2007 di Hotel Millenium tanggal 28-29 November 2007.


(5)

Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003.

---, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Asset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia”, Hotel Millenium Jakarta 28-29 Nopember 2007.

Politik Indonesia, Lagi, Syamsul Nursalim Dikejar Interpol 18 Juli 2003 (http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=333), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007.

Pikiran Rakyat, 80 % Koruptor Kakap Kabur, Jumat, 27 April 2007 (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/27/0101.htm), diakses pada tanggal 20 Nopember 2007.

Romantz, David Scott, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994

Rajagukguk, Erman, Anti Pencucian Uang : Perbandingan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, Volume 16, Nopember 2001, hal 24-25

Robert E. Powis, Money Laundring: Problem and Solution, The Banker Magazine, Nov/Des, 1992

Romli Atmasasmita,1, Pengembalian dan Pengelolaan Aset Korupsi,Harian Sindo,27 Juli 2007.

SBY Minta Kasus-kasus Korupsi Besar Dirampungkan Rabu, 28 Nopember 2007

JAKARTA (Suara Karya)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=187515 .Diakses pada tanggal 31 Januari 2009.

Sita Perdata,Terobosan Baru dalam RUU Tipikor, http://www.hukumonline.

com/detail.asp?id= 18005&cl =berita.Diakses pada tanggal 30 Januari 2009.


(6)

Stefan D.Casela, “Provisions of the USA Patriot Act Relating to Asset Forfeiture in Transnational Cases, dikutip dari Ario Wandatama dan Detania Sukarja dalam makalahnya, Implementasi Instrument Civil Forefeiture di Indonesia Untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, hal 28 of 135.Tempo Interaktif, 21 Maret 2007 ,Bank Takut laporkan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan Pejabat Negara,

Tempo Interaktif, 6 September 2005, Tujuh Perwira Polri Diduga Lakukan Pencucian Uang,

United Nation, Launch of Asset Recovery Initiative, 17 September 2007 (http://go.worldbank.org/U2ZCWCDKRO),

Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Sebagai Strategi Untuk memberantas Kejahatan Keuangan (profit Oriented Crimes), Jurnal Hukum Progresif, PDIH Undip, 2006, semarang, Halaman 40. 10[10] Bruce Zagaris & Elizabeth Kingma, Asset Forfeiture International and Foreign Law : An Emerging Regime, Emory In’I L. Rev. Vol V 1991

C. Pasal-pasal

Pasal 1 angka 1 undang nomor 25 tahun 2003 tentang peubahan atas undang-undang nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang