Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering

ABSTRAK
Salah satu perubahan secara khusus dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU)
adalah pembuktian dengan menggunakan prinsip pembuktian terbalik sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 77 UUPPTPPU yang menegaskan bahwa: ”Untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.” Ketentuan ini berbeda
dengan pembuktian secara umum menurut hukum acara pidana dimana pihak yang
harus membuktikan adalah pihak yang mengajukan tuntutan (JPU), sedangkan
pihak yang diwajibkan membuktikan dalam UUPPTPPU adalah pihak tersangka
atau terdakwa atau kuasanya.
Perumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: pertama,
bagaimanakah asas pembuktian terbalik menurut hukum acara pidana dalam undangundang tindak pidana pencucian uang? kedua, bagaimanakah pengaturan sistem
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang? dan ketiga, apakah
hambatan-hambatan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang
tindak pidana pencucian uang?
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni
mengacu kepada norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas, dan ketentuan yuridis yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sifat penelitian adalah deskriptif
analitis yaitu mengungkapkan bahan-bahan menyangkut pembuktian terbalik dalam
peraturan perundang-undangan terkait dan UUPPTPPU serta dalam bahan hukum

sekunder secara analisis dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan
hubungan antara berbagai jenis data.
Disimpulkan dalam penelitian ini: Pertama, asas pembuktian terbalik menurut
hukum acara pidana tindak pidana pencucian uang murni pengingkaran asas yang
bersifat universal yakni pengingkaran terhadap asas praduga tidak bersalah menjadi
asas praduga bersalah. Kedua, pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam Pasal 77
UUPPTPPU mewajibkan pihak terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta
kekayaannya sedangkan kesalahan terdakwa tidak perlu dibuktikan. Ketiga, hambatan
dalam penerapan sistem pembuktian terbalik adalah bertentangan dengan perspektif
Hak Asasi Manusia.
Saran yang diharapkan: Pertama, perlu kehati-hatian dalam penerapan asas
pembuktian terbalik sebab asas ini cenderung tidak sejalan dengan konsep HAM yang
menagnggap setiap orang bersalah. Kedua, perlu penajaman bahwa selain yang
dibuktikan adalah harta kekayaan agar ketentuan dalam Pasal 77 UUPPTPPU juga
diatur penegasan tentang pembuktian mengenai kesalahan terdakwa. Ketiga, perlu
ditetapkan ketentuan pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU agar tetap
dipergunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium).
Kata Kunci : Asas Pembuktian Terbalik, Pengaturan Pembuktian Terbalik, dan
Tindak Pidana Pencucian Uang


Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
One of the specific changes in Law No.8/2010 on the Prevention and
Elimination of Money Laundering is to prove using the principle of inverted
authentication as mandated in Article 77 of Law No.8/2010 that to be used in the
investigation in court the defendant is required to prove that his property is not
gained from any criminal act. This provision is different from common authentication
according to the criminal law in which the party who needs to prove it is the party
who claims while in Law No.8/2010, the party who is required to prove is the
defendant or his/her lawyer.
The purpose of this study was, first, to find out what the principle of inverted
authentication is according to the criminal law in Law No.8/2010; second, to find out
how the system of inverted authentication in the criminal act money laundering is
regulated; and third, to find out the constraints in the application of the inverted
authentication system in Law No.8/2010.
The data for this descriptive analytical study with normative juridical method
referred to the juridical norms, rules, principles and provisions found in the
regulation of legislation that can reveal the materials related to the inverted
authentication in the related laws, Law No.8/2010, and secondary legal materials.

The data obtained were analyzed systematically through the description of the
relationship between various kinds of the data obtained.
The conclusion is that, first, the principle of inverted authentication according
to the criminal la, money laundering is purely a denial of the universal principle,
namely, the denial of the principle of presumption of innocence and make it the
principle of guilt; second, the regulation of inverted authentication system in Article
77 of Law No.8/2010 requires the defendant to prove the origin of his/her property
while the guilt of the defendant is not necessary to prove; and third, the constraints
faced in the application of inverted authentication system is against the perspective of
Human Rights.
It is suggested that, first, it needs to be careful in applying the principle of
inverted authentication because this principle tends not to be in line with the concept
of Human Rights which every person is guilty; second, it needs a clarity that besides,
according to Article 77 of Law No.8/2010 the defendant is required to prove the
origin of his/her property, a clear regulation to prove the guilt of the defendant is
also needed; and third, the provision of inverted authentication in Article 77 of Law
No.8/2010 needs to be enacted that it can still be used as the last effort (ultimatum
remidium).
Keywords: Inverted Authentication Principle, Inverted Authentication Regulation,
Money Laundering


Universitas Sumatera Utara