Studi Keterkaitan Kualitas Hidup Dengan Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Helvetia Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Diabetes Melitus

2.1.1 Defenisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) didefiniskan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, protein
sebagai akibat insufiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi insulin dapat disebabkan
oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap
insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Defenisi DM lainnya menurut American Diabetes Association (ADA)
2014 adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut


American

Diabetes

Association

(ADA)2015diabetes

dapat

diklasifikasikan kedalam beberapa kategori berikut:
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan
sel-sel

pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada

pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,


6

Universitas Sumatera Utara

Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe auto antibodi
yang dihubungkan dengan DM tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase) (Depkes, RI., 2005).
Diabetes mellitus tipe 1 paling sering mengenai individu dalam masa
pubertas atau dewasa muda. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi absolut
insulin akibat nekrosis sel

yang parah. Umumnya, kehilangan fungsi sel

berasal dari proses yang diperantarai otoimun terhadap sel , dan hal ini dapat
dipicu oleh invasi virus atau kerja toksin kimiawi. Akibat penghancuran sel-sel
ini, pankreas gagal merespon glukosa dan diabetes tipe 1 menunjukkan gejalagejala klasik defisiensi insulin (polidipsia, polifagia, poliuria dan kehilangan berat
badan). Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari status
katabolik yang ditandai oleh hiperglikemia dan ketoasidosis yang mengancam

jiwa (Finkel, dkk., 2013).
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 9095% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM tipe 2 di kalangan remaja dan anakanak populasinya meningkat. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor utama (Depkes, RI., 2005).
Diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi faktor-faktor genetik, seperti
penuaan, obesitas dan resistensi insulin perifer dan bukan oleh proses otoimun
atau virus. Perubahan metabolik yang teramati lebih ringan dibandingkan DM tipe

7

Universitas Sumatera Utara

1 (misalnya, pasien DM tipe 2 tidak ketotik) tetapi dampak klinis jangka panjang
dapat sangat merusak (misalnya, komplikasi vascular dan infeksi lanjutan dapat
menyebabkan amputasi dan ekstremitas bawah) (Finkel, dkk., 2013).
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dan penurunan
sekresi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan

pengambilan glukosa pada otot skelet (ADA, 2015).
c. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus (DM) tipe ini terjadi pada masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan biasanya pada
trisemester kedua dan ketiga dan bersifat sementara. Penderita DM gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita diabetes lagi di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko tersebut (ADA, 2010).
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih
sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap
bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko
mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan
lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol
metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut (Depkes, RI.,
2005).
d. Diabetes tipe lain
Diabetes melitus tipe lain adalah diabetes melitus yang muncul karena
faktor lain seperti defekasi genetik fungsi sel-sel beta, defekasi genetik kerja

8


Universitas Sumatera Utara

insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, diabetes melitus karena obat,
diabetes melitus karena infeksi, diabetes melitus imunologi yang jarang dan
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus (ADA, 2015).
2.1.3 Epidemiologi Diabetes Melitus
Insidensi diabetes meningkat dengan cepat di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia. Misalnya, diperkirakan bahwa lebih dari 180 juta orang di seluruh
dunia terkena diabetes dan prevalensi tersebut diperkirakan akan menjadi dua kali
lipat pada tahun 2030. Di Amerika Serikat, sekitar 21 juta orang diperkirakan
menderita diabetes dan penyakit ini merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas (Finkel, dkk., 2013).
Prevalensi penyakit DM di dunia terus meningkat, pada tahun 1995
prevalensinya 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi 5,4%. Data WHO
menyebutkan, angka kejadian DM di Indonesia mendekati 4,6%, padahal di
negara berkembang DM menyerang masyarakat yang ada pada usia produktif,
yaitu sekitar 45 sampai 65 tahun. Menurut data WHO, biaya yang harus
dikeluarkan sebagai akibat implikasi ekonomis komplikasi diabetes kurang lebih
mencapai 46.207 dolar AS per tahun. Diabetes mellitus merupakan penyebab

utama kebutaan pada dewasa umur 20 sampai 74 tahun, dan berperan dalam
berkembangnya penyakit menjadi gagal ginjal terminal. Kurang lebih 67.000
orang mengalami amputasi ekstremitasi bawah setiap tahunnya, dan 75% pasien
meninggal dengan DM tipe 2 karena gangguan kardiovaskuler (Dipiro, dkk.,
2005).

9

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko untuk penyakit DM terutama untuk DM tipe 2
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Faktor risiko DM tipe 2
1

Riwayat

2
3


Obesitas
Umur

4
5

Hipertensi
Hiperlipidemia

6

Faktor lain

Diabetes dalam keluarga
Diabetes Gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan > 4kg
Kista ovarium
>120 % berat badan ideal
20-59 tahun : 8,7%

>65 tahun : 18 %
>140/90 mmHg
Kadar HDL rendah 250 mg/dL
Kurang olahariaga
Pola makan rendah serat
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005)

2.1.5 Gejala Klinik
Penyakit DM ditandai dengan gejala 3P, yaitu poliuri (banyak berkemih),
polidpsi (banyak minum), dan polifagi (banyak makan). Di samping
meningkatnya KGD, diabetes bercirikan adanya gula dalam kemih (glycosuria).
Hal ini karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul
rasa haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih (Tjay, 2010).
Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali dapat mengganggu (pruritus) dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya hadir dengan keluhan khas
diabetes melitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan


10

Universitas Sumatera Utara

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin
disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatalgatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita.
Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL juga dapat digunakan
sebagai patokan diagnosis diabetes melitus (Depkes, RI., 2005). Berikut ini adalah
kriteria penegakan diagnosis diabetes melitus.
Tabel 2.2 Kriteria Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus
Glukosa Plasma Puasa

Glukosa Plasma 2 jam
setelah makan
Normal
126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral
dengan pemberian 75 gram glukosa didapatkan kadar glukosa darah >200 mg/dL

(Depkes, RI., 2005).
2.1.7 Komplikasi Penyakit Diabetes Mellitus
Komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi dalam 2 kategori mayor: (1)
komplikasi metabolik akut dan (2) komplikasi vaskular jangka panjang.

11

Universitas Sumatera Utara

a. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif
akut dari konsentrasi glukosa plasma.
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar gula darah penderita yang sangat rendah, yakni
kurang dari 50 mg/dL. Kadang-kadang gejala timbul pada kadar glukosa darah
yang lebih tinggi bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat.
Keadaan ini terjadi mendadak dan dapat dipastikan dengan mengukur kadar
glukosa darah. Gejala dini hipoglikemia yaitu keringat dingin pada muka terutama
hidung, gemetar, lemas, rasa lapar, mual, tekanan darah turun, gelisah, jantung
berdebar, sakit kepala serta kesemutan dijari tangan dan bibir. Bila dibiarkan

tanpa pertolongan maka penderita menjadi tidak sadar (koma) dengan atau tanpa
kejang (Dalimartha, 2004).
Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila
penderita:
a.

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)

b.

Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau
ahli gizi

c.

Berolah raga terlalu berat

d.

Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar

e.

Minum alkohol

f.

Stress

g.

Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia (PERKENI, 2006).

12

Universitas Sumatera Utara

2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah (KGD) meningkat.
Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obatobatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, poldipsia, polifagia,
kelelahan yang parah (fatigue) dan pandangan kabur (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2005).
3. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik terjadi akibat tubuh sangat kekurangan insulin yang
sifatnya mendadak (akut). Glukosa darah yang tinggi tidak dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi. Keadaan ini menyebabkan terjadinya perubahan
metabolik di dalam tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan energi, sel lemak dipecah
dan menyebabkan terbentuknya keton yang dapat ditemukan pada urin. Bila
keadaan ini terus berlanjut tanpa pengobatan maka keton yang terbentuk akan
terakumulasi dan ini sangat membahayakan. Darah menjadi asam dan jaringan
tubuh akan rusak.

Gejalayang timbul antara lain merasa letih, sangat haus,

mengeluarkan urin yang sangat banyak, mual, muntah, nyeri daerah perut, nafas
cepat dan dalam serta berbau aseton, kebingungan mental dan kehilangan
kesadaran (Dalimartha, 2004).
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi jangka panjang DM dapat menyerang semua sistem organ
dalam tubuh. Kategori komplikasi kronik DM yaitu:
1. Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada penderita DM antara
lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Hal ini dikarenakan terjadi penyumbatan

13

Universitas Sumatera Utara

pada pembuluh darah yang diakibatkan oleh KGD yang tinggi. Hiperglikemia
yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c)
menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak dan
penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi ini sering dirasakan pada penderita
DMT2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, atau kegemukan
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.2 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Secara keseluruhan, tujuan pengobatan diabetes adalah mempertahankan
kadar glukosa darah dalam rentang normal (normoglikemia). Hal ini akan
meredakan gejala akut dan meminimalkan dampak komplikasi kronis pada
individu. Kenyataannya, normoglikemia sangat sulit dicapai dan terapi obat
dilakukan pada tingkat individual. Peningkatan olahraga dan berhenti merokok
sangat disarankan untuk mengurangi tekanan darah tinggi dan mengurangi
tingginya kadar lemak dalam darah. Upaya ini terbukti mengurangi resiko
komplikasi jangka panjang. Akan tetapi, kunci penting dalam terapi diabetes
adalah diet. Diet dapat diterapkan secara tunggal (tanpa terapi lain) atau dapat
dikombinasikan dengan penggunaan insulin atau agen hipoglikemik oral (Barber
dan Deborah,2013 ).

14

Universitas Sumatera Utara

1.
a.

Terapi Non Farmakologi
Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:
1.

Karbohidrat : 60-70%

2.

Protein : 10-15%

3.

Lemak : 20-25% (Depkes, RI., 2005).
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut

dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (Depkes, RI., 2005).
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respons sel-sel

terhadap stimulus glukosa. Dalam salah

satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi
kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status diabetes
melitus), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4
bulan tambahan waktu harapan hidup (Depkes, RI., 2005).
b.

Olahraga
Olahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Prinsipnya tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh
olahraga yang disarankan antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang dan
lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan

15

Universitas Sumatera Utara

aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.

Terapi Farmakologi
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga)

belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya
(Depkes, RI., 2005).
a.

Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada

DM Tipe I, sel-sel

Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak

lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe
I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat
di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita
diabetes melitus Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Depkes,
RI., 2005).
b.

Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid,

tolazamid, asetoheksamid dan klorpropamid. Generasi

2

yang potensi

hipoglikemiknya lebih besar adalah gliburid (glibenklamid), glipizid, glikazid dan
glimepirid (Suherman, 2007).
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogueus, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel

16

Langerhans pankreas. Berbagai

Universitas Sumatera Utara

sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda, tetapi absorbsi melalui saluran
cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi
absorsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea dengan masa paruh
pendek akan lebih efektif apabila bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam
plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma terutama albumin, ikatan ini
paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid (Suherman,
2007).
c.

Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme

kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.
Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K ATPindependent di sel

pankreas (Suherman, 2007).

Pada pemberian oral absorbsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai
dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa
kali sehari, sebelum makan. Metabolism utamanya di hepar dan metabolitnya
tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan
fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara hati-hati. Efek samping utamanya
hipoglikemia dan gangguan saluran cerna (Suherman, 2007).
d.

Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanid: fenformin,

buformin dan metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena
sering menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah
metformin. Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu
antihiperglikemik tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya

17

Universitas Sumatera Utara

tidak menyebabkan hipoglikemik. Metformin menurunkan produksi glukosa di
hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin.
Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat
protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya
sekitar 2 jam (Suherman, 2007).
e.

Golongan Tiazolidinedion
Senyawa golongan tiazolidindion contohnya rosiglitazon, troglitazon dan

pioglitazon bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan
berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di
otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawasenyawa TZD juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Depkes, RI., 2005).
f.

Penghambat Enzim -Glikosidase
Obat golongan penghambat enzim -glikosidase ini dapat memperlambat

absorbsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat
kerja enzim -glikosidase di intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma
pada orang normal dan pasien diabetes melitus. Karena kerjanya tidak
mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping
hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada diabetes
melitus usia lanjut atau diabetes melitus yang glukosa postprandialnya sangat
tinggi (Suherman, 2007).
g.

GLP-1 Agonis (Glucagon Like Peptide-1)
Mekanisme GLP-1 agonis ini adalah dengan meningkatkan sekresi insulin

setelah pemberian glukosa per oral, menurunkan sekresi glukagon dan
memperlambat pengosongan lambung. Contoh obat ini adalah eksenatid dan

18

Universitas Sumatera Utara

liraglutid, kedua obat ini tidak diabsorpsi di saluran cerna sehingga harus
diberikan secara injeksi (Suherman, 2007).
h.

Penghambat DPP-4
Obat ini menghambat kerja DPP-4 sehingga mencegah degradasi GLP-1.

Efek berlangsung sekitar 12 jam dan menurunkan kadar glukosa darah puasa dan
posprandial tapi tidak mempengaruhi kadar insulin plasma. Obat golongan ini
tidak meningkatkan berat badan dan tidak ditemukan kejadian hipoglikemia,
contohnya sitagliptin, vidagliptin dan saxagliptin (Suherman, 2007).
i. Penghambat SGLT2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Merupakan suatu jenis antidiabetes dengan mekanisme kerja menghambat
secara spesifik SGLT2, suatu sistem transpor predominan reabsorbsi glukosa dari
filtrasi glomerulus sehingga penghambat SGLT2 menurunkan reabsorpsi glukosa
dari urin dan selanjutnya akan menurunkan kadar glukosa pada pasien diabetes.
Tidak terdapat kejadian hipoglikemik, menurunkan berat badan, menurunkan
tekanan darah dan efektif untuk semua penderita diabetes melitus tipe 2, contoh
obat golongan ini adalah canagliflozin, dapagliflozin dan empagliflozin (ADA,
2015).
2.3 Kualitas Hidup
2.3.1 Defenisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah persepsi atau pandangan subjektif individu terhadap
kehidupannya dalam konteks budaya dan nilai yang dianut individu dalam
hubungannya dengan tujuan personal, harapan, standar hidup dan perhatian yang
mempengaruhi kemampuan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan
sosial dan lingkungan (Yusra, 2010).

19

Universitas Sumatera Utara

Secara umum terdapat 5 bidang (domain)yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkanoleh WHO dalam
Silitonga (2007), bidang tersebut adalah kesehatanfisik, kesehatan psikologik,
keleluasaan aktifitas, hubungan sosial danlingkungan, sedangkan secara rinci
bidang-bidang yang termasukkualitas hidup adalah sebagai berikut:
a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi danvitalitas,
aktifitas seksual, tidur dan istirahat.
b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar memori dan
konsentrasi.
c. Tingkat aktifitas (level of independence): mobilitas, aktifitas sehari-hari,
komunikasi, kemampuan kerja.
d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungansosial.
e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasankerja.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Menurut Raeburn dan Rootman mengemukakan bahwa terdapat delapan
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu:
1. Kontrol, berkaitan pembatasan terhadap kegiatan untuk menjaga kondisi
tubuh.
2. Kesempatan yang potensial, berkaitan dengan seberapa besar seseorang
dapat melihat peluang yang dimilikinya.
3. Sistem dukungan, termasuk didalamnya dukungan yang berasal dari
lingkungan keluarga, masyarakat maupun sarana-sarana fisik seperti
tempat tinggal atau rumah yang layak dan fasilitas-fasilitas yang memadai
sehingga dapat menunjang kehidupan.

20

Universitas Sumatera Utara

4. Keterampilan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
keterampilan lain yang mengakibatkan ia dapat mengembangkan dirinya,
seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus tertentu.
5. Kejadian dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan
stress yang diakibatkan oleh tugas tersebut. kejadian dalam hidup sangat
berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus dijalani, dan
terkadang kemampuan seseorang untuk menjalani tugas tersebut
mengakibatkan tekanan tersendiri.
6. Sumber daya, terkait dengan kemampuan dan kondisi fisik seseorang.
Sumber daya pada dasarnya adalah apa yang dimiliki oleh seseorang
sebagai individu.
7. Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada
lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibat bencana.
8. Perubahan politik, berkaitan dengan masalah negara seperti krisis moneter
sehingga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan/ mata pencaharian
(Octantyanty, 2012).
Beberapa penelitian mengenai kualitas hidup menemukan beberapa faktor
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Berikut beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup, yaitu:
1. Gender atau jenis kelamin
2. Usia
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Status pernikahan

21

Universitas Sumatera Utara

6. Penghasilan
7. Hubungan dengan orang lain
8. Standard referensi, seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai persamaan
antara diri individu dengan orang lain (Rofitri, 2009).
2.4

Kuesioner EQ5D
Kuesioner EQ5D sering digunakan untuk mengukur utilitas kesehatan

dalam penelitian medis dan kesehatan masyarakat. Kuesioner ini terdiri dari lima
dimensi (termasuk mobilitas, perawatan diri, aktivitas sehari-hari, rasa sakit dan
kecemasan/ depresi) yang tiap dimensi terdiri dari 3 skala (tidak ada masalah,
masalah tingkat sedang, masalah berat) (Perneger, dkk., 2010).
Klasifikasi dimensi kesehatan ini dapat menggambarkan 243 macam
tingkat kesehatan yang sering dilaporkan sebagai skala mulai dari 11111
(kesehatan penuh) sampai 33333 (kesehatan terburuk). Variasi nilai dicakup dari
penelitian- penelitian seluruh dunia, yang diterapkan dalam bentuk skala ,
menghasilkan preferensi skor mulai dari tingkat kesehatan yang lebih buruk dari
kematian (