Hubungan Hasil Kultur Urin dengan Jenis Batu Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih
Sistem saluran kemih adalah suatu sistem dimana terjadinya proses filtrasi

darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (Mader,
2004). Sistem saluran kemih terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih (vesika
urinaria) dan uretra. Sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada

gambar berikut

Gambar 2.1. Anatomi Makroskopis Saluran Kemih Manusia
Sumber: Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and
Physiology 5th edition. New York: McGraw-Hill Companies


Universitas Sumatera Utara

6

2.1.1. Ginjal
Masing-masing ginjal mempunyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm
pada bagian paling tebal dan berbentuk seperti kacang merah. Terletak pada
posterior abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah daripada ginjal kiri
karena ada hepar di sisi kanan. Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu
korteks, medulla dan pelvis renal. Bagian paling superfisial adalah korteks
renal, yang tampak bergranula. Di sebelah dalamnya terdapat bagian lebih

gelap, yaitu medulla renal, yang berbentuk seperti kerucut disebut piramid
renal, dengan puncaknya disebut apeks atau papilla renal dan dasarnya

menghadap korteks. Di antara piramid terdapat jaringan korteks, disebut
kolum renal (Gray, 2008)

2.1.2. Ureter

Ureter terdiri dari dua tuba yang masing-masing menyambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya sekitar 25-30 cm, dengan
diameter ± 0,5 cm. Ureter berdasarkan lokasinya terbagi menjadi pars
abdominal dan pars pelvik.
Ureter mempunyai membran mukosa yang dilapisi dengan sel epitel kuboid
dan dinding muskular yang tebal. Urin dipompa ke arah distal ureter oleh
gelombang peristaltik, yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit dan urin
memasuki kandung kemih dalam bentuk pancaran (Gray, 2008)

2.1.3. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot, dan merupakan
tempat urin mengalir dari ureter. Ketika kandung kemih kosong atau terisi
setengahnya kandung kemih tersebut terletak di dalam pelvis, ketika kandung
kemih terisi lebih dari setengahnya maka kandung kemih tersebut menekan
dan timbul ke arah abdomen di atas pubis, peregangan inilah yang
merangsang refleks miksi. Adapun dinding kandung kemih terdiri dari lapisan
sebelah luar (peritonium), tunika muskularis, tunika sabmukosa, dan lapisan
mukosa (Gray, 2008).

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.4. Uretra
Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan
luar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari uretra wanita. Uretra
pada laki-laki merupakan tuba dengan panjang kira-kira 20 cm dan
memanjang dari kandung kemih ke ujung penis. Uretra pada laki-laki
mempunyai tiga bagian yaitu: uretra prostatika, uretra membranosa, dan
uretra spongiosa .

Uretra wanita jauh lebih pendek daripada pria, karena hanya 4 cm panjangnya
dan memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora
kira-kira 2,5 cm di sebelah belakang klitoris. Uretra ini menjalar tepat di
sebelah depan vagina. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis,
lapisan spongiosa, dan lapisan mukosa (Gray, 2008)

2.2.

Batu Saluran Kemih (BSK)

2.2.1. Frekuensi dan Epidemiologi
Penyakit BSK merupakan penyakit umum yang kasusnya sudah tercatat

sejak 387 SM dan memiliki tingkat kejadian yang meningkat dari tahun ke tahun
(Knoll, 2010). Data di Indonesia sendiri pada tahun 2006 menunjukkan jumlah
16.251 penderita rawat inap akibat penyakit BSK, dengan case fatality ratio
(CFR) sebesar 0,94% (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Meningkatnya insiden dan prevalensi di seluruh dunia yang bahkan lebih
jelas di negara-negara industri, tampaknya menggarisbawahi dampak dari gaya
hidup dan pilihan makanan serta akses ke perawatan medis yang lebih baik untuk
pembentukan batu kemih. Didapati juga adanya tren perubahan jenis BSK yang
terjadi (Knoll, 2010).

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.2. Distribusi Jenis BSK Periode 1980 – 2004
Sumber: European Urology Supplement 9. Epidemiology, Pathogenesis, and
Pathophysiology of Urolithiasis. Thomas Knoll, p2.


Prevalensi seumur hidup dari penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 1%
sampai 15%, dengan kemungkinan memiliki batu bervariasi menurut umur, jenis
kelamin, ras, dan lokasi geografis (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.1. Jenis Kelamin
Penyakit batu biasanya mempengaruhi pria dewasa lebih sering daripada
wanita dewasa. Hal ini diukur dengan berbagai indikator, termasuk
penerimaan rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan gawat darurat, jumlah pria
yang terkena dua sampai tiga kali lebih sering daripada perempuan. Namun,
ada beberapa bukti bahwa perbedaan jumlah insiden antara pria dan wanita
kini mengalami penyempitan (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.2. Ras/Etnis
Perbedaan etnis/ras dalam kejadian penyakit batu telah diamati. Di antara pria
Amerika Serikat, Source (1994) menemukan prevalensi tertinggi penyakit
batu terjadi pada ras kulit putih, diikuti kemudian oleh ras Hispanik, Asia,
dan Afrika-Amerika, yang memiliki prevalensi masing-masing 70%, 63%,

Universitas Sumatera Utara


9

dan 44% dari prevalensi kulit putih. Di antara pasien wanita di Amerika
Serikat, prevalensi tertinggi terjadi di ras kulit putih namun terendah di antara
wanita Asia (sekitar setengah dari kulit putih). Lainnya menemukan sebuah
diferensial lebih tinggi (3-4 kali lipat) antara kulit putih dan Afrika-Amerika.
Menariknya, meskipun ada perbedaan dalam prevalensi penyakit batu
menurut etnis, penelitian yang dilakukan oleh Maloney mengamati kejadian
yang menunjukkan bahwa diet dan faktor lingkungan lainnya dapat
berkontribusi lebih besar daripada kontribusi etnis dalam menentukan risiko
kejadian BSK (Pearle dan Lotan, 2012)

2.2.1.3. Usia
Insiden penyakit batu relatif jarang terjadi sebelum usia 20, tapi puncak
kejadian terjadi di dekade keempat – keenam kehidupan. Telah diamati juga
bahwa wanita menunjukkan distribusi bimodal penyakit batu, dengan adanya
puncak kedua insiden penyakit batu pada dekade keenam dari kehidupan,
sesuai dengan onset menopause. Temuan ini, telah dikaitkan dengan efek
perlindungan


estrogen

terhadap

pembentukan

batu

pada

wanita

premenopause, karena meningkatkan penyerapan kalsium ginjal dan
mengurangi resorpsi tulang, ditambah dengan metabolisme yang sedikit
berbeda antarjenis kelamin (Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.4. Geografi
Distribusi geografis penyakit batu secara kasar cenderung mengikuti faktor
risiko lingkungan; prevalensi penyakit batu yang lebih tinggi ditemukan di

tempat yang panas, kering, atau iklim seperti pegunungan, gurun, atau daerah
tropis. Namun, faktor genetik dan pengaruh diet mungkin lebih besar
daripada efek geografi. Setelah mengendalikan variabel faktor risiko lain,
peneliti Soucie dan kawan-kawan menetapkan bahwa suhu lingkungan dan
sinar matahari secara independen terkait dengan prevalensi batu (Soucie
dalam Pearle dan Lotan, 2012) .

Universitas Sumatera Utara

10

2.2.1.5. Iklim
Variasi musiman pada penyakit batu kemungkinan terkait dengan temperatur
lingkungan dan cara kehilangan cairan, yaitu melalui keringat dan mungkin
dengan peningkatan paparan sinar matahari yang disebabkan oleh kerja
vitamin D. Prince dan Scardino (1960) mencatat insiden tertinggi penyakit
batu di musim panas, Juli sampai September, dengan puncak terjadi dalam 1
sampai 2 bulan suhu rata-rata maksimal (Prince et al dalam Pearle et al,
2012).


2.2.1.6. Pekerjaan
Paparan panas dan dehidrasi merupakan faktor risiko untuk penyakit kerja
batu juga. Atan dkk (2005) menemukan kejadian penyakit batu secara
signifikan lebih tinggi pada pekerja baja yang terpapar suhu tinggi (8%)
dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada suhu normal (0,9%).
Evaluasi metabolik dari dua kelompok pekerja menunjukkan insiden yang
lebih tinggi dari volume urin yang rendah dan Hipositraturia di antara para
pekerja di daerah panas (Pearle dan Lotan, 2012).
Pada pekerjaan lain dengan mobilitas yang rendah, seperti posisi manajerial,
ditemukan juga peningkatan insidensi penyakit batu. Alasan belum jelas, tapi
diduga berkaitan dengan faktor diet dan statis urin yang berkepanjangan
(Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.7. Indeks Massa Tubuh dan Berat Badan
Hubungan ukuran tubuh dan kejadian penyakit batu telah diteliti. Dalam dua
studi kohort prospektif besar dengan sampel pria dan wanita, risiko prevalensi
dan insiden penyakit batu secara langsung berkorelasi dengan berat badan dan
indeks massa tubuh pada kedua jenis kelamin, meskipun besarnya asosiasi
lebih besar pada wanita dibandingkan pria (Curhan et al; Taylor et al, dalam
Pearle dan Lotan, 2012). Bukti terbaru menghubungkan obesitas dan

resistensi insulin dengan pH urine yang rendah dan batu asam urat (Maalouf

Universitas Sumatera Utara

11

et al, 2004a, 2004b) serta hubungan antara hiperinsulinemia dan

hiperkalsiuria (Kerstetter et al; Shimamoto et al; Nowicki et al dalam Pearle
et al, 2012).

2.2.1.8. Air
Efek menguntungkan dari asupan cairan yang tinggi pada pencegahan batu
telah lama diakui. Dalam dua studi observasional besar, asupan cairan
ditemukan berbanding terbalik dengan risiko kejadian pembentukan batu
ginjal. Selanjutnya, dalam penelitian prospektif, dilakukan uji coba secara
acak untuk menilai efek dari asupan cairan pada kekambuhan batu. Hasilnya,
volume urin secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang ditugaskan
untuk asupan cairan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak
menerima rekomendasi, dan, oleh karena itu, tingkat kekambuhan batu secara

signifikan lebih rendah (12% vs 27%, masing-masing) (Borghi et al dalam
Pearle dan Lotan, 2012).

2.2.1.9. Diet dan Metabolik
BSK telah dibuktikan dipengaruhi faktor pemilihan makanan. Makanan yang
tinggi kadar garam (mereduksi volume urin) dan tinggi kalsium, akan
memudahkan proses supersaturasi batu. Sebaliknya, buah-buahan dan sayur
dapat menjadi booster eksresi sitrat, yang dapat menginhibisi terbentuknya
batu (Dawson dan Tomson, 2012).
Pengaturan metabolik (horrmonal) juga dapat mempengaruhi terbentuknya
batu, baik secara direk maupun indirek. Contohnya adalah pasien batu
kalsium oksalat (prevalensi terbanyak), pada pasien batu jenis ini detemui
keadaan hyperoxalouric. Adapun kadar oksalat dalam urin ditentukan oleh
tingkat absorbsi oksalat di saluran cerna, tingkat resorbsi oksalat dari tulang,
dan reabsorbsi oksalat dari urin. Ketiga hal tersebut sangat dipengaruhi kadar
hormon paratiroid (PTH), 1,25 dihydroxyvitamin D, kadar oksalat dalam diet,
dan probiotik (Liebman dan Al Wahsh, 2011).

Universitas Sumatera Utara

12

2.2.2. Patogenesis Pembentukan BSK
Batu urin terdiri dari dua komponen, yaitu komponen kristal dan komponen
matrik
A. Komponen kristal :
Batu terutama terdiri dari komponen kristal. Tahapan pembentukan batu
yaitu: nukleasi, perkembangan, dan aggregasi yang melibatkan komponen kristal.
Pembentukan initi (nukleasi) mengawali proses pembentukan batu dan mungkin
dirangsang oleh berbagai zat termasuk matrik protein, kristal, benda asing, dan
partikel jaringan lainnya. Kristal dari satu tipe dapat sebagai nidus untuk nukleasi
dari tipe lain. Ini sering terlihat pada kristal asam urat yang mengawali
pembentukan batu kalsium oksalat.
B. Komponen matrik :
Komponen matrik dari batu urin adalah bahan non kristal, bervariasi sesuai
tipe batu, secara umum dengan kisaran 2-10% dari berat batu. Komposisinya
terutama terdiri protein, dengan sejumlah kecil hexose dan hexosamine.
Bagaimana peranan matrik dalam mengawali pembentukan batu tidak diketahui.
Mungkin matrik bertindak sebagai nidus untuk aggregasi kristal atau sebagai lem
untuk perekat komponen kristal kecil dan dengan demikian menghalangi sedikit
turunnya melalui saluran kemih.
Penyakit BSK telah menjadi keluhan medis yang didokumentasikan sejak
peradaban Mesir kuno setidaknya, dan terus bertanggung jawab untuk
peningkatan jumlah kunjungan praktisi di seluruh dunia. Selain itu, tingkat
kekambuhan batu yang tinggi, yaitu lebih dari 50% dalam 5 tahun sejak episode
pertama, menunjukkan kemungkinan adanya common pathway dalam patogenesis
pembentukan batu yang dapat ditargetkan untuk upaya pencegahan. Common
pathway

itu

adalah

proses

supersaturasi,

yang

secara

fisik-kimiawi,

memungkinkan terbentuknya batu (Bagga et al, 2013).
Teori supersaturasi menjelaskan bahwa BSK terbentuk pada urin yang jenuh
(supersaturasi) sehubungan dengan konstituen ionik batu tertentu. Supersaturasi
suatu bahan terlarut tergantung pada aktivitas ion bebas komponen batu, bukan
pada konsentrasi molar mereka. Adapun peningkatan konsentrasi komponen

Universitas Sumatera Utara

13

kristal meningkatkan aktivitas ion bebas mereka, faktor lain menghambat itu.
Ketika kalsium dan oksalat dilarutkan dalam air murni, misalnya, larutannya
menjadi jenuh ketika penambahan setiap kalsium oksalat tidak mengakibatkan
pembubaran lanjut. Namun, urin, seperti air murni, mengandung banyak ion dan
molekul yang dapat membentuk kompleks larut dengan komponen ionik dari batu.
Interaksi dengan zat terlarut lainnya (misalnya, sitrat) dapat mengakibatkan
pengurangan aktivitas ion bebas, yang memungkinkan ambang batas kejenuhan
urin meningkat. pH urin juga mempengaruhi aktivitas ion bebas. Tingkat aktivitas
ion bebas kimia di mana batu-batu akan tidak tumbuh atau membubarkan disebut
sebagai kelarutan keseimbangan, atau batas atas Metastabilitas. Di atas tingkat
ini, urin akan jenuh, dan batu pun akan terbentuk dalam berbagai ukuran
(Bushinsky dan Monk, 2010).
Ketika larutan menjadi jenuh sehubungan dengan fase padat, ion dapat
bergabung bersama untuk membentuk lebih stabil, proses ini disebut nukleasi.
Nukleasi homogen mengacu pada bergabungnya ion yang sama menjadi kristal.
Sedangkan termodinamika nukleasi heterogen digunakan kristal tersusun dari zatzat berbeda, seperti sel-sel epitel yang terkelupas. Kristal kalsium oksalat,
misalnya, dapat bernukleasi dengan kristal asam urat. Selanjutnya beberapa kristal
kecil akan beragregasi membentuk batu yang lebih besar, hingga sampai pada
ukuran yang cukup besar untuk menimbulkan keluhan klinis (Bushinsky dan
Monk, 2010).
Seperti telah dijelaskan di atas, batu kristal di saluran kemih harus
bertumbuh, beragregasi dengan kristal lain hingga membentuk massa yang cukup
besar untuk mengoklusi lumen saluran kemih, atau mengadhesi pada epitelium
tubulus saluran kemih. Jika tidak, batu kristal tersebut dapat terbawa arus urin dan
diekskresikan. Pertumbuhan kristal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yang dibedakan menjadi faktor promotor (kalsium, oksalat, dan lain-lain) dan
faktor inhibitor (sitrat, magnesium, uropontin, dan lain-lain). Ternyata
berdasarkan penelitian Kumar dkk, ditemukan pada pasien lelaki yang menderita
BSK, bahwa jumlah faktor inhibitor pada whole urine mereka defektif, atau
kurang (Kumar et al, 2005). Bisa disimpulkan ketidakseimbangan antara faktor-

Universitas Sumatera Utara

14

faktor promoter dan inhibitor akan mengakibatkan kristal batu dapat bertumbuh
>10kD dan beradhesi di lumen.

Gambar 2.3 Teori Supersaturasi: Patogenesis BSK
Sumber: Meyer JL: Physicochemistry of stone formation. In Resnick MI,
dalam Campbell-Walsh Urology 10th Edition. 2012

Ada beberapa kondisi yang diyakini dapat berujung pada common
pathway, proses supersaturasi. Kondisi-kondisi tersebut contohnya adalah statis

urin, penyakit vaskular, penyakit metabolik, faktor pemilihan diet, serta
kecenderungan genetika bawaan (Bagga et al, 2013).

2.2.3. Jenis-jenis BSK
Jenis

BSK

ada

beberapa

macam,

tergantung

berdasarkan

apa

dikategorikan. Berdasarkan lokasi anatomis, batu dapat dikelompokkan menjadi
empat jenis, yaitu:
a. Batu ginjal
b. Batu ureter
c. Batu buli
d. Batu uretra

Universitas Sumatera Utara

15

BSK dapat terjadi di semua bagian saluran kemih. Sebanyak 97% BSK
dapat berada di paremkim, papilla, kalik, pelvis renalis, dan kaliks serta ureter.
Hanya 3% yang ditemukan di buli dan uretra. Anatomi sistem pengumpulan
sangat menentukan bentuk batu yang merupakan hasil adaptasi struktur sekitar
(Nur Lina, 2008).

2.3.

Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah yang diterapkan pada berbagai

kondisi klinis, mulai dari tanpa gejala kehadiran bakteri dalam urin hingga infeksi
parah ginjal beserta sepsis yang dihasilkan (Stoller, 2008). ISK merupakan infeksi
tersering kedua setelah infeksi saluran nafas atas yang terjadi pada populasi
dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65 tahun dan 2.5-11% pada pria di atas
65 tahun. ISK merupakan infeksi nosokomial tersering yang mencapai kira-kira
40-60% (Guidelines Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2010). Diperkirakan bahwa
terdapat 150 juta pasien yang didiagnosis dengan ISK tahunan (Stamm dan
Norrby dalam Stoller, 2008).
ISK memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda dalam proses diagnosis;
beberapa kasus dapat dikultur singkat dengan antibiotik tertentu, sementara yang
lainnya memerlukan kultur yang lebih lama dengan uji antibiotik spektrum luas.
Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat untuk ISK membatasi morbiditas dan
mortalitas yang terkait, dan menghindari penggunaan antibiotik jangka panjang.
Kemajuan dalam pemahaman kita tentang patogenesis ISK, pengembangan tes
diagnostik baru, dan pengenalan agen antimikroba baru telah memungkinkan
dokter untuk tepat menyesuaikan pengobatan khusus untuk setiap pasien (Stoller,
2008).
Kebanyakan ISK disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari flora
tinja usus distal, dan hampir 80-85% disebabkan oleh E.coli terutama infeksi
yang terjadi pada pasien tidak rawat inap dan tidak obstruksi. Penyebab
lainnya bisa berupa bakteri gram negatif lain, (misal: Klebsiella sp., Proteus sp,
Pseudomonas sp, Enterobacter sp.) serta kokus gram positif (seperti Enterococcus

Universitas Sumatera Utara

16

faecalis dan Staphylococcus epidermidis) yang juga merupakan uropatogen

potensial (Jawetz, 2008).
Kuman patogen dari ekstraintestinal juga dapat menimbulkan ISK. Ini
termasuk parasit seperti protozoa, misalnya Trichomonas, terutama dalam saluran
kemih; jamur, biasanya pada penderita yang lemah dan diobati dengan antibiotika;
Mycobacterium tuberculosis. Candida albican dan candida yang lain mungkin

ditemukan pada wanita dengan DM dan pemakaian kateter (Jawetz, 2008).
Di Indonesia sendiri, belum pernah dilakukan penilaian nasional mengenai
pola kuman dan resistensi untuk ISK. Berikut data pola kuman dan resistensi dari
isolat urin pada 3 senter, yaitu: Jakarta (Bagian Mikrobiologi & Bagian Patologi
Klinik); Bandung (Bagian Patologi Klinik Sub Bagian Mikrobiologi); dan
Surabaya (Bagian Mikrobiologi). Jumlah kuman yang didapat dari periode 20022004 sebanyak 3331 kuman (Guidelines Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2010).

Tabel 2.1. Pola Kuman Isolat urin Terbanyak
Kuman

Jumlah

E. Coli

1161 (34,85%)

Klebsiellasp

554 (16,63%)

Pseudomonas sp

498 (14,95%)

Staph. Epidermidis

165 (4,95%)

Enterobacter aerogenes

153 (4,59%)

Lain-lain

800 (24,01%)

Sumber: Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Guidelines Infeksi Saluran Kemih
2010.

2.4. Hubungan Antara ISK dengan BSK
Dalam menganalisis hubungan antara batu dengan ISK, terdapat tiga unsur ,
yaitu obstruksi-infeksi-batu. Hubungan yang terjalin antara ketiga unsur tersebut
adalah sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

17

1.

Setiap unsur bisa sebagai pencetus awal (reservoir) dan unsur yang lain
sebagai pengikut

2.

Unsur-unsur saling memelihara bahkan memperkembangkan hubungan,
dan manambah patogenitas dari penyakit BSK

2.4.1. Pengaruh ISK terhadap Kejadian Batu
Infeksi menyebabkan nekrosis jaringan, ulserasi, dan terbentuknya pus
di lumen saluran kemih. Lesi pada lumen bisa sembuh menjadi jaringan
parut (scar ), maka hal ini akan menimbulkan penyempitan saluran kemih dan
akibatnya akan mengganggu aliran urin atau statis urin. Statis urin ini bisa
menimbulkan residu. Obstruksi urin ini akan memberi

kesempatan pada

kristaloid untuk berpresipitasi sehingga terbentuk batu di bagian proksimal
obstruktor (Bahdarsyam, 2003).
Peneltian eksperimental yang dilakukan di Heidelberg, membuktikan
teori di atas. Djojodimedjo et al melakukan penelitian pada kelinci jantan
dewasa yang dibagi menjadi tiga kelompok (kontrol, ligasi, dan ligasi+injeksi
105/ml E.coli). Pada akhir penelitian, disimpulkan bahwa kelompok hewan
coba yang diinfeksi E.coli menunjukkan kerusakan mukosal yang lebih
tinggi, jumlah antibodi spesifik monoklonal yang lebih banyak (OPN, OPN
mRNA, TLR-4, JNK, TNFR-1,iNOS, HMGB-1), dan kejadian apoptosis
yang lebih banyak. Hal-hal inilah yang mengakibatkan retensi urin dan
memudahkan nukleasi kristal batu (Djojodimedjo et al, 2013).
Selain dengan obstruksi anatomis, ISK juga mempengaruhi proses
terbentuknya batu dengan cara lain. Skenario kedua adalah bahwa bakteri
yang hidup di dalam saluran kemih dan menyebabkan ISK kronis
menghasilkan batu. Bakteri ini diberi nama bakteri urease. Bakteri urease
mengubah pH urine (>7,2) dan memungkinkan presipitasi beberapa senyawa,
seperti magnesium dan fosfat, menjadi lebih mudah. Hasilnya adalah
senyawa fosfat bernama batu struvite (magnesium-amonium-fosfat [MAP])
(Gómez-Núñez et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara

18

Magnesium amonium fosfat (struvite) batu yang identik dengan batu
infeksi.

Mereka

umumnya

terkait

dengan

Proteus,

Pseudomonas,

Providencia, Klebsiella, dan infeksi Staphylococcus. Mereka jarang jika

dihubungkan dengan infeksi Escherichia coli. Adapun batu kalsium fosfat
adalah variasi kedua dari batu yang sering dihubungkan dengan infeksi. Batu
kalsium fosfat dengan pH urine6.6 (Stoller, 2008). Penelitian Stoller
dan Abraham pada tahun 2003 juga mengemukakan adanya beberapa agen
bernama nanobacteria yang bisa memiliki peran dalam patogenesis batu
berbasis kalsium. Namun, teori ini belum mapan. Dilaporkan prevalensi
nanobacteria sebesar 0,5% dari 1.000 kasus batu; tapi masih sulit untuk

mengidentifikasi nanobacteria ini (Abrahams dan Stoller dalam GómezNúñez et al, 2011). Semua batu, bagaimanapun juga, dapat berhubungan
dengan infeksi sekunder akibat obstruksi dan stasis proksimal
Infeksi juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap persepsi
nyeri. Bakteri uropatogenik dapat mengubah peristaltik reteral oleh karena
produksi eksotoksin dan endotoksin. Peradangan lokal dari infeksi dapat
menyebabkan aktivasi kemoreseptor dan persepsi nyeri lokal dengan pola
rujukan yang sesuai (Stoller, 2008).

2.4.2. Pengaruh BSK terhadap Kejadian Infeksi
Batu merupakan benda asing dalam saluran kemih. Ketika suatu batu
terbawa aliran urin, batu dapat tersangkut pada lumen saluran kemih,
terutama pada diameter lumen yang relatif sempit. Hal ini mengakibatkan
terjadinya obstruksi urin. Kejadian ini menyebabkan daya ketahanan saluran
menjadi berkurang, yang merupakan kesempatan bagi bakteri untuk
bermukim pada saluran tersebut (Bahdarsyam, 2003).
Teori tersebut telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Sebuah studi
multisenter menunjukkan perbedaan antara pasien dengan kultur positif dan
negatif. Menggunakan analisis ROC curve, kejadian piuria (>10 leukosit per
HPF), demam (>37,9oC), dan leukositosis (>11.300 sel/mm3) diukur pada

Universitas Sumatera Utara

19

pasien dengan kultur positif. Hasil perhitungan dengan model regresi logistik
untuk leukositosis (OR 2.1), piuria (OR 2,8), dan suhu (OR 3.1) menunjukkan
peningkatan risiko yang signifikan dari kelompok uji yang memiliki kultur
urin positif (kelas yang benar 87,9%) (Yilmaz et al, 2011).
Selain contoh di atas, keberadaan batu juga dapat memperbesar
patogenitas ISK. Sesuai dengan penjelasan di atas, obstruksi urin akibat batu,
dapat memungkinkan infeksi ascending bacteria . Bakteri tersebut tidak hanya
dapat menginvasi lumen saluran kemih, namun juga dapat sampai ke
permukaan batu, dan menyisip di celah-celah partikel batu. Lapisan batu
kemudian akan berkembang, sehingga menutupi permukaan bakteri. Hal ini
akan menyebabkan antibiotik sulit mencapai bakteri dan ISK sulit
disembuhkan (Prabakharan et al dalam Gómez-Núñez et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara