Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang harus dihadapi dan tak dapat dihindari oleh
pemerintah atau negara indonesia adalah kemiskinan, pemerintah belum mampu
menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut, padahal setiap pemimpin
Negara Indonesia selalu mengiming-imingi pengentasan kemiskinan sebagai misi
utama mereka disamping misi-misi yang lain.
Secara umum, penanggulangan kemiskinan sampai saat ini sangat sulit
untuk diatasi oleh pemerintah. Misalnya, gelandangan dan pengemis merupakan
salah satu fakta sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dan merupakan salah satu
masalah yang belum mampu untuk diatasi oleh pemerintah. Padahal jelas kita
ketahui bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang tercantum dalam Pasal
34 ayat 1 dikatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin
dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada
kenyataanya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara.
Selain itu, dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis
pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 31 Tahun 1980 tentang
penanggulangan gelandang dan pengemis. Pengaturan lain terhadap gelandangan

dan pengemis juga terdapat dalam Perkapolri

No. 14 Tahun 2007 tentang
15
Universitas Sumatera Utara

penanganan gelandangan dan pengemis antara lain mengatur tentang cara
preventif dan penegakan hukum dalam menangani gelandang dan pengemis.
Demikian halnya yang tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana Pasal
504 dan Pasal 505 bahwa negara melarang untuk gelandangan dan pengemis.
Pasal 504 KUHP
1. Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan
pengemisan dengan pidana kurungan paling lama 6 minggu.
2. Pengemisan yang dilakukan oleh 3 orang atau lebih, yang berumur di atas 16
tahun, diancam dengan pidana kurungan lama 3 bulan.
Pasal 505 KUHP
1. Barang siapa bergelandang tanpa pencarian, di ancam karena melakuukan
pengelandangan dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan.
Penggelandangan yang dilakukan 3 orang atau lebih yang berumur di ats
16 tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan. Selain itu, dalam

Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 juga diatur mengenai
Larangan Gelandangan dan Pengemis dan Praktek Susila di Kota Medan. Maka
dengan berbagai peraturan tersebut, sudah tentu bahwa pemerintah wajib untuk
melindungi dan memberdayakan GEPENG (gelandangan dan pengemis) dan
anak-anak terlantar tersebut. Seseorang dapat dikatakan sebagai anak apabila ia
berusia di bawah 18 tahun dan belum terikat oleh suatu perkawinan, karena jika
belum berusia 18 tahun tetapi telah melakukan perkawinan maka ia dapat
dikatakan telah dewasa. Penanganan masalah anak merupakan masalah yang
harus dihadapi oleh semua pihak yang bukan hanya orang tua atau keluarga saja,
16
Universitas Sumatera Utara

tetapi juga setiap orang yang berada di dekat anak tersebut harus dapat membantu
pertumbuhan anak dengan baik. Mengenai anak terlantar banyak hal yang
sebenarnya dapat mengatasinya seperti adanya panti-panti yang khusus
menangani masalah anak terlantar, tetapi karena kurangnya perhatian dari
pemerintah untuk mendukung pelaksanaan tersebut maka kelihatannya panti-panti
tadi tidak berfungsi dengan baik.
Masalah gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah
sosial sebagai dampak dari proses pembangunan nasional itu sendiri. Dari tesis

Nurmayana dikatakan bahwa kotalah sebenarnya yang merupakan tempat asal
gejala gelandangan. Masalah ini perlu mendapat penanganan sedini mungkin
secara konsepsional dan pragmatik, agar tidak membawa dampak negatif yang
lebih rawan serta dapat mengganggu stabilitas di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, keamanan, ketertiban masyarakat, dan juga menimbulkan citra negatif
terhadap keberhasilan pembangunan nasional dewasa ini.
Menurut Susenas tahun 2000 mencatat bahwa jumlah anak terlantar usia 618 tahun mencapai 3.156.365 anak atau 5,4 persen dari jumlah anak di indonesia,
yang terbagi di pedesaan 2.614.947 dan di Perkotaan sebanyak 541.415 anak.
sedangkan tahun 2004 anak terlantar meningkat menjadi 3.308.642 anak.
Selanjutnya jumlah anak rawan terlantar pada tahun 2000 mencapai 10.349.240
anak. Dari jumlah tersebut, yang tinggal di pedesaan sebanyak 7.320.786 anak
dan diperkotaan sebanyak 3.046.454 anak. Data anak terlantar menurut sensus
penduduk tahun 2000 mencapai 28.544.797 anak dimana yang di Pedesaan
sebanyak 17.117.934 anak dan di perkotaan sebanyak 11.426.863 anak.
Sedangkan menurut data sensus penduduk pada tahun 2004 jumlah balita terlantar
17
Universitas Sumatera Utara

sebanyak 1.138.126 anak.


Pada tahun 2011 terdapat 230 ribu anak jalanan di

indonesia, yang mengalami kenaikan bila dibandingkan pada tahun 2010 yaitu
jumlah anak jalanan mencapai 200 ribu jiwa.
Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di Sumatera Utara terus
meningkat dari tahun ketahun. Sesuai data tahun 2007 yang di peroleh dari Dinas
Sosial Sumatera Utara menunjukkan jumlah gelandang pengemis dan anak
jalanan (Gepeng Anjal) mencapai 95.791 orang. Dengan rincian, 3.300 pengemis,
4.823 gelandangan dan 18.741 anak balita terlantar, 161.755 keluarga fakir
miskin, dan yang paling besar jumlah keluarga yang tinggal di rumah tak layak
huni (RTLH) mencapai 140.169 keluarga (KKSP, 2008). Menurut data resmi
yang dirilis Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) menyebutkan sebanyak 800
hingga 900 anak di kota metropolitan Medan yang masih wajib pendidikan
menjadi anak jalanan yang bekerja paruh waktu. 1 Berdasarkan data Dinas Sosial
Sumut, di tahun 2009 tercatat ada 4.373 orang gelandangan dan 3.440 pengemis
dengan total 7813 jiwa. Sedangkan di tahun 2012 kaum GEPENG mencapai
12.680. 2
Gelandangan dan pengemis di Kota Medan selama bulan Suci Ramadan
tahun ini mengalami peningkatan sebesar 50 persen. Dari data Dinas
Kesejahteraan Sosial Sumatera Utara (Sumut), secara keseluruhan di Sumut

jumlah Gepeng 4.181 orang. Populasi Gepeng di Kota Medan merupakan
tersebesar kedua, yakni sebanyak 1.023 orang. Sementara terbanyak pertama
1

Jurnal Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Oleh Yakmi
Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun oleh Fadlika Sya’bana
2

http://Medanbisnisdaily.com/news/read/2014/05/13/95168/memberdayakan_GEPENG_dan_a
nak_jalanan/ diakses pada 6 oktober 2015 00.34 wib

18
Universitas Sumatera Utara

adalah di

Tapanuli Utara (Taput) sebanyak 2.255 orang khusus untuk

gelandangan, data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Sumut, tercatat sebanyak 2.500
jiwa. khusus jumlah gelandangan saja di Medan sebanyak 1.676 orang. Jumlah

tersebut terbesar dari 33 kabupaten/kota di Sumut lainnya. 3
Kebijakan mengenai larangan dan pengemis di kota Medan telah
ditetapkan semenjak tahun 2003 yaitu terdapat di dalam Peraturan Daerah No. 6
Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemis di Kota Medan. Akan
tetapi pada realitanya Medan memiliki jumlah gelandangan terbesar dibandingkan
dengan 33 kabupaten atau kota di sumatera utara. Peningkatan jumlah Gepeng
dari tahun ketahunpun dapat dilihat pada lima tahun terakhir menjadi trend yang
sangat pelik yang harus dihadapi oleh kota Medan. Harusnya kebijakan yang telah
ditetapkan mempunyai kelanjutan dalam implementasi nyata pengurangan jumlah
gelandangan dan pengemis tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik ingin meneliti hal ini, di
mana judul penelitian ini adalah “ Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota
Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di
Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:

3


http://sumutpos.co/populasi-GEPENG-naik-50-persen/ diakses pada 6 oktober 2015 00.21 wib

19
Universitas Sumatera Utara

“ Bagaimana Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 6
Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan
(Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui Bagaimanana Proses Implementasi Perda No. 6 Tahun
2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis oleh Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Medan.
b. Untuk

mengetahui

bagaimana

sistem


pelayanan

yang

dilakukan

pemerintah dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003
tentang larangan gelandangan dan pengemis di kota Medan oleh Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Manfaat secara ilmiah
Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir
ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan
menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan
aplikasi yang diperolah dari Ilmu Administrasi Negara.
2. Manfaat secara akademis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memperkaya khasanah
kepustakaan sehingga dapat menjadi sumbangan ilmiah, menambah bahan


20
Universitas Sumatera Utara

kajian akademik, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca
mengenai Otonomi Daerah.
3. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan untuk menangani masalah
gelandangan dan pengemis.
1.5 Kerangka Teori
Untuk memudahkan penulis dalam rangka menyusun penelitian ini, maka
dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berfikir untuk menggambarkan
dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Sugiyono menyebutkan
kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk melakukan penelitian dan teori
yang dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek
penelitian. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar
yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. 4
1.5.1 Kebijakan Publik
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa
Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin
menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris

4

Sugiyono Prof. Dr. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R
& D. (Bandung: CV. Alfa Beta) hal. 55

21
Universitas Sumatera Utara

“policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau
administrasi pemerintahan. 5
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. 6 Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif
memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi
kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan

sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Oleh karena itu, kita
memerlukan batasan atau konsep kebijakan yang lebih tepat.
Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan kebijakan publik yang
dapat digunakan, salah satunya menurut Robert Eyestone, ia mengatakan bahwa
“secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungannya. 7 Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye
yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. 8 Konsep kebijakan publik dari
Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat
oleh pemerintah, bukan swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang
harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. 9

5

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2000), hal 22-25.
6
Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hal. 14
7
Ibid., hal 15
8
Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hal 2
9
Ibid., hal 2

22
Universitas Sumatera Utara

Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu
maksud tertentu. 10 Dan dalam pandangan Harrold Laswell dan Abraham Kaplan
berpendapat bahwa kebijakan publik tersebut hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai
dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat. 11 Ini berarti kebijakan
publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang
ada dalam masyarakat.
Batasan lain juga disebutkan oleh James Anderson. Ia mengatakan bahwa
kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan
oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu
persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi,
yakni: Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik
berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabatpejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.
Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam
mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan
rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan
publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif,
kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk
10
11

Winarno, Budi, ibid., hal 16
Subarsono, AG. Ibid., hal 3

23
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin
mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk
mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu
persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. 12
Dari beberapa uraian diatas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O.
Jones, bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen:
1. Goals atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai
tujuan
3. Programs, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan
tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak,
primer atau sekunder). 13
Meskipun terdapat berbagai defenisi kebijakan publik yang telah
dikemukakan diatas, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan dan berorientasi pada tujuan dan kepentingan
masyarakat.

12
13

Winarno Budi, ibid., hal 16-18
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi. 2003, hal 2-3

24
Universitas Sumatera Utara

1.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahapan.
Seperti tahapan-tahapan kebijakan publik yang dikemukakan oleh William N.
Dunn berikut ini: 14
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah
masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu
masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain
pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif kebijakan. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masingmasing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagi kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan
“bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
14

William N. Dunn, Analisa Kebijakan Publik. 1998, hal. 24-25

25
Universitas Sumatera Utara

3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga
atau keputusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program
tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang
diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni
dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di
tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa
yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Tahap penilaian kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.
1.5.2 Implementasi Kebijakan Publik
1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

26
Universitas Sumatera Utara

Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum
di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan. 15 Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output)
maupun sebagai hasil. 16
Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van
Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompokkelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah
dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi
kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi
negara dalam mengatasi masalah.
1.5.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers
bukanlah

jaminan

bahwa

kebijakan

tersebut

pasti

berhasil

dalam

implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan baik yang bersifat individu maupun kelompok atau
institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers
15

Budi Winarno, ibid, hal. 101
Ibid., hal. 102

16

27
Universitas Sumatera Utara

untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan
pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak
variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu
sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang
terlibat di dalamnya, maka kita akan melihat beberapa teori implementasi
kebijakan sebagai berikut:
1. Teori George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
empat variabel, yakni: (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c) disposisi dan (d)
struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama
lain. 17
Komunikasi

Sumberdaya
Implementasi
Disposisi

Struktur Birokrasi
Gambar 1.1: Faktor Penentu implementasi menurut Edwards III
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

17

AG Subarsono. ibid, hal. 90-92

28
Universitas Sumatera Utara

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran
suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh
kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok
sasaran.
b. Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya
finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan
agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi dokumen
saja.
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor
memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga
menjadi tidak efektif.
d. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari
aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya

29
Universitas Sumatera Utara

prosedur operasi yang standar (standard operating procedure atau SOP). SOP
menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit
dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak
fleksibel
2. Teori Donald S. Van Meter dan Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja
implementasi kinerja implementasi, yakni: (a) standar dan sasaran kebijakan, (b)
sumberdaya, (c) komunikasi, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) disposisi
implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik.18
a. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.
Apabila

standar

dan

sasaran

kebijakan

kabur,

maka

akan

terjadi

multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
b. Sumberdaya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia
(human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).
c. Hubungan antar Organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan
kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
18

AG Subarsono. ibid, hal. 99-101

30
Universitas Sumatera Utara

d. Karakteristik agen pelaksana
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur
birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang
semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
e. Kondisi sosial, politik dan ekonomi
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan,
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat
opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung
implementasi kebijakan.
f. Disposisi implementor
Disposisi implementor inimencakup tiga hal yang penting, yakni : (1) respon
implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan
dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki
oleh implementor.
3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (a) karakteristik dari masalah
(tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability

31
Universitas Sumatera Utara

of statute to structure implementation) dan (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation). 19
4. Teori Merilee S, Grindle (1980)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi
oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
implementasi (context of implementation). 20
Variabel isi kebijakan mencakup : (a) sejauh mana kepentingan kelompok
sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (b) jenis manfaat yang
diterima oleh target groups (c) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari
sebuah kebijakan, (d) apakah letak sebuah program sudah tepat, (e) apakah sebuah
kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci dan (f) apakah sebuah
program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan mencakup : (a) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, (b) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa
dan (c) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi teori
yang di kemukakan oleh George C. Edwards III.

19
20

Subarsono, AG. ibid., hal. 94
Subarsono, AG. ibid., hal. 93

32
Universitas Sumatera Utara

1.5.3 Hasil Penelitian Terdahulu

Menurut Gede Sedana didalam jurnalnya tentang faktor penyebab
terjadinya gelandangan dan pengemis, Beberapa faktor penyebab terjadinya
Gepeng terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling
mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya, faktor tersebut
yaitu 21 :

1. Faktor internal yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat ,
Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di
dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk
melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.

Faktor-faktor

tersebut adalah :
a. Kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan
lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan
aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha
b. Umur
c. Rendahnya tingkat pendidikan formal
d. Ijin orang tua
e. Rendahnya tingkat keterampilan (“life skill”) untuk kegiatan
produktif
f. Sikap mental

21

Ir. Gede Sedana, M.Sc. Mma. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan Dan Pengemis. 2013

33
Universitas Sumatera Utara

2. Eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas gepeng. Faktorfaktor eksternal mencakup :
a. Kondisi hidrologis
b. Kondisi pertanian
c. Kondisi prasarana dan sarana fisik
d. Akses terhadap informasi dan modal usaha
e. Kondisi permisif masyarakat di kota

Didalam jurnal Nungkei Feriustika Kesumawindayati Dan Chalid Sahuri
mengungkapkan bahwa Setiap proses kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan
gelandangan dan pengemis tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan yang ingin dicapai. Masalah yang mempengaruhi strategi pelaksanaan
pembinaan gelandangan dan pengemis yaitu anggaran operasional yang tidak
mencukupi, gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar kota sedangkan
syarat yang mengikuti pembinaan tersebut gelandangan dan pengemis yang
memiliki identitas dan berasal dari kota tersebut, tidak adanya sanksi atau
hukuman untuk gelandangan dan pengemis agar mereka jera, panti sosial yang
tidak ada sehingga sulit untuk merehabilitasi gelandangan dan pengemis, tidak
adanya kerjasama atau membangun kemitraan dengan instansi lain yang sesuai
dengan ketentuan berlaku dalam Peraturan Daerah dan kurangnya sosialisasi
dengan gelandangan dan pengemis yang terkena razia. Sehingga sulit untuk
melakukan pelaksanaan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis yang

34
Universitas Sumatera Utara

berkeliaran di kota. Dengan demikian fenomena yang menyangkut gelandangan
dan pengemis sulit untuk dapat tertangani dengan efektif. 22
Sedangkan Nurrohmah Setyaningrum mengungkapkan Persepsi pengemis
anak tentang kegiatan mengemis yaitu, pengemis anak bisa mendapatkan uang
tanpa harus meminta pada orang tua. Pengemis anak juga dapat bermain diselasela kegiatan mengemis yang dilakukannya, yang dilakukan di tempat istirahat
mereka seperti di tempat parkir. Pengemis anak juga menganggap bahwa kegiatan
mengemis yang dilakukannya untuk membantu orang tua mereka, karena
penghasilan orang tua mereka dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Kegiatan mengemis yang dilakukan oleh pengemis anak dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya karena :
1. penghasilan mengemis yang menguntungkan.
2. tuntutan gaya hidup yang mencakup pola makan, uang jajan, fashion,
dan majunya teknologi yang menjadikan mereka tidak ingin
ketinggalan dengan untuk memiliki barang-barang seperti HP, TV,
tape dan kompor gas
3. tidak adanya aturan yang melarang pengemis di sekitar pasar.
4. sikap satpam pasar dan pedagang yang seolah membiarkan dan
menerima keberadaan pengemis yang berada di sekitar pasar.
Hal ini cenderung menjadikan pengemis semakin terlena dengan kegiatan
mengemis yang dilakoninya.
Dampak kegiatan mengemis bagi anak terbagi menjadi dua yaitu
1. Dampak negatif
22

Nungkei Feriustika Kesumawindayati Dan Chalid Sahuri. Strategi Pelaksanaan Pembinaan
Gelandangan dan Pengemis. 2014

35
Universitas Sumatera Utara

Dampak negatif kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak
adalah anak merasa malu atau minder ketika berjumpa dengan teman
sekolahnya dan dapat menyebabkan pengemis anak merasa ketagihan
2. Dampak positif
Dampak positif mengemis bagi pengemis anak adalah pengemis anak
dapat menabung/menyisihkan penghasilan dari mengemis untuk
disimpan dan anak mampu memenuhi kebutuhan, seperti kebutuhan
uang saku sekolah, kebutuhan uang jajan, dan kebutuhan peralatan
sekolah. 23
Arie Kusuma, Nugroho Budi dan Nugroho Noto Susanto mengungkapkan
Motivasi non-ekonomi pengemis adalah 24 :
1. Budaya. Mengemis menjadi satu-satunya pekerjaan (profesi) yang
menjadi penunjang hidup.
2. Agama. Mengemis menjadi sebuah kegiatan yang didorong oleh faktor
eksternal dan internasl. Faktor eksternal karena adanya kewajiban yang
diharuskan oleh agama dalam menyantuni orang-orang miskin (dhu
afa) sementara hal tersebut juga mempengaruhi sisi internal seseorang
dimana dia merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
3. Lingkungan Sosial
a. Mengemis menjadi salah satu kegiatan karena didorong oleh
pengaruh kelompok tertentu dalam suatu lingkungan sehingga

23

Nurrohmah Setyaningrum. Fenomena Pengemis Anak Di Pasar. 2014
arie kusuma paksi, nugroho budi n., nugroho noto susanto. Motivasi Non-ekonomi Pengemis
di kota Yogyakarta. 2013
24

36
Universitas Sumatera Utara

seseorang secara tidak sadar mengikuti segala aktivitas yang
dilakukan oleh kelompok tersebut.
b. Mengemis disebabkan oleh adanya permasalahan yang terjadi di
dalam lingkungan keluarga sehingga seseorang merasa tidak betah
terhadap lingkungan tersebut dan akhirnya memilih untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan menjadi pengemis.
Hal serupa diungkapan Lita Yuniarti dalam jurnalnya yaitu, Penyebab
mereka menjadi pengemis karena beberapa hal atau alasan. Ada alasan yang
bersifat struktural, dia tidak bisa melakukan pekerjaan lain selain mengemis
karena faktor fisik atau cacat yang dideritanya sehingga sektor usaha formal tidak
mau menerimanya untuk bekerja. Kedua, karena faktor fisik yang mengalami
kecacatan. Cacat yang dideritanya membuatnya melakukan pekerjaan sebagai
pengemis karena tidak bisa melakukan pekerjaan lainnya yang lebih berat dan
mengeluarkan banyak tenaga. Alasan ketiga yaitu karena malas dan kemiskinan
kultural. Sifat dasar seseorang yang tidak ingin berusaha untuk melakukan
pekerjaan yang lebih layak dan memilih mengemis karena dirasa itu pekerjaan
yang sangat mudah tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tidak ada dorongan
untuk mengusahakan pekerjaan yang lebih baik meskipun untuk hal tersebut
sudah ada di depan mata. Alasan keempat adalah pemberian reward atau imbalan
yang menggiurkan sehingga seseorang akan berusaha keras untuk mendapatkan
uang dari mengemis itu.
Untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak,
pengemis-pengemis tersebut melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan
penghasilan. Dan ketika pekerjaan yang mereka lakukan mendapatkan ganjaran

37
Universitas Sumatera Utara

atau reward yang menguntungkan, maka mereka cenderung melakukan pekerjaan
tersebut secara terus-menerus. Dari mengemis mereka bisa mendapatkan uang dan
mampu memenuhi kebutuhannya tersebut. Selain itu, mengemis adalah cara
mudah untuk mendapatkan uang atau reward yang berlimpah, karenanya mereka
tetap melakukan pekerjaannya sebagai pengemis meskipun dirasa tidak layak bagi
masyarakat sekitar karena keluar dari norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Banyak cara yang dilakukan oleh masing-masing pengemis, dan cara
yang berbeda-beda juga dilakukan oleh beberapa pengemis untuk mengemis. Cara
yang umum dilakukan yaitu dengan berpakaian yang lusuh layaknya pengemis
pada umumnya. Kedua adalah dengan bersikap jujur agar dapat dipercaya oleh
orang dan dianggap pengemis yang baik. Cara ketiga adalah dengan memaksa
sampai dia mendapatkan uang yang diinginkannya dari pengunjung. Cara yang
terakhir adalah dengan menunggu pengunjung datang memberinya sedekah, cara
ini dilakukan oleh pengemis cacat atau lumpuh karena selain kelumpuhannya itu
menarik rasa iba orang, dia juga tidak bisa berjalan ke tempat lain karena
keterbatasannya tersebut. 25
Jurnal yang ditulis oleh irka syuryani juga mengemukakan bahwa
Pengemis meliputi :
1. Tidak tersedianya pekerjaan pokok
2.

Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan

3. Tidak mau bekerja keras, membuat mereka tidak mengingikan mencari
pekerjaan yang lebih baik dan layak

25

Lita Yuniarti. Perilaku Pengemis Di Alun-Alun Kota Probolinggo. 2013

38
Universitas Sumatera Utara

4. Tidak disiplin, membuat mereka sulit memasuki dunia kerja terutama
sektor formal yang membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai disiplin
tinggi
5. Tidak punya tanggung jawab, membuat mereka sulit diterima di dunia
kerja karena tidak mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan
6. Tidak punya percaya diri (budaya malu), membuat mereka membiarkan
diri bekerja menjadi pengemis tanpa ada usaha untuk mencari pekerjaan
yang lebih baik dan terhormat
Para pengemis menunjukkan diri sebagai orang miskin sehingga terlihat
layak untuk dikasihani dan diberi sumbangan. Upaya yang dilakukan oleh
pengemis seperti memanfaatkan anak kecil ketika mengemis untuk mendapatkan
belas kasihan dari orang yang melihatnya agar memberikan sumbangan dan
berpakaian lusuh untuk menutupi status sosial yang sebenarnya, karena pada saat
di rumah atau ketika tidak mengemis, penampilan yang mereka tunjukan itu
berbeda

ketika

mereka

mengemis.

Para

pengemis

cenderung

memaksa/mengintimidasi untuk mendapatkan sumbangan, sehingga masyarakat
merasa terpaksa ketika memberi sumbangan kepada pengemis. 26
1.5.4

Kebijakan Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
Kebijakan yang mejadi landasan dari penelitian ini yaitu :

1. UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial

26

Perilaku pengemis di kota palembang (studi pada komunitas pengemis di kawasan masjid
agung) oleh irka syuryani. 2013

39
Universitas Sumatera Utara

Setiap Warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaikbaiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha
kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warga Negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan
Pancasila.
Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial ialah semua upaya, program, dan
kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan
dan mengembangkan kesejahteraan sosial.
Pekerjaan Sosial ialah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana
bagi pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial. "Jaminan Sosial" sebagai
perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistim perlindungan dan
pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi Warga Negara yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.
Tugas-tugas Pemerintah ialah :
a.

Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk memelihara,
membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan sosial;

b. Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran
serta rasa tanggungjawab sosial masyarakat;

40
Universitas Sumatera Utara

c. Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha
kesejahteraan sosial.
Usaha-usaha Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :
a. Bantuan sosial kepada Warga Negara baik secara perseorangan
maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial
atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial
maupun alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain
b. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu
sistim jaminan sosial;
c. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya
penyaluran ke dalam masyarakat, kepada Warga Negara baik
perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya
untuk mempertahankan hidup, yang terlantar atau yang tersesat;
d. Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban,
perikemanusiaan dan kegotong-royongan.
Alat kelengkapan Pemerintah dalam lapangan kesejahteraan sosial :
a. Di tingkat Pusat ialah Departemen yang diserahi tugas urusan
kesejahteraan sosial dengan seluruh aparatnya;
b. Di tingkat Daerah ialah aparat-aparat yang diserahi tugas urusan
kesejahteraan sosial di Daerah.
Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan
usaha kesejahteraan sosial dengan mengindahkan garis kebijaksanaan dan
ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Perundangundangan. Untuk mencapai daya-guna dan daya-kerja sebesar-besarnya, bagi

41
Universitas Sumatera Utara

usaha masyarakat di bidang kesejahteraan sosial, ialah usaha kesejahteraan sosial
dan pemenuhan jaminan sosial yang menyangkut kepentingan orang banyak,
dapat dibentuk yayasan atau lembaga lain yang syarat-syarat dan cara-cara
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang
Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup
mengembara di tempat umum.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi
penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan
serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :
a.

pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga
terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;

b.

meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
dan kesejahteraan pada umumnya;

42
Universitas Sumatera Utara

c.

pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke
daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah
masyarakat.

Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga
maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan,
serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat.
Usaha rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usahausaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan
dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui
transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan
lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali
memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia
sebagai Warga Negara Republik Indonesia.
Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha
preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan
pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan
dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta
memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki
kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan
yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

43
Universitas Sumatera Utara

Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh
Pemerintah. Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah
badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan
Keputusan Presiden.
Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan
dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan
maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya
gelandangan dan pengemis. Dilakukan antara lain dengan :
a. Penyuluhan dan bimbingan sosial;
b. Pembinaan sosial;
c. Bantuan sosial;
d. Perluasan kesempatan kerja;
e. Pemukiman lokal;
f. Peningkatan derajat kesehatan.
Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan
gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun
kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan.
Meliputi :
a. Razia;
b. Penampungan sementara untuk diseleksi;
c. Pelimpahan.

44
Universitas Sumatera Utara

Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam
penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi sebagaimana di maksud dalam
Pasal 11 di maksudkan untuk menetapkan kualifikasi para gelandangan dan
pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri
dari :
a. Dilepaskan dengan syarat;
b. Dimasukkan dalam panti sosial;
c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
d. Diserahkan ke pengadilan;
e. Diberikan pelayanan kesehatan.
Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan
kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi
maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan
jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.
Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usahausaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut,
bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga
masyarakat.
Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan
dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial. bertujuan untuk menentukan
kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan.
Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan
dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif.
45
Universitas Sumatera Utara

para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik
fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.
Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah
mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan keterampilan kerja dalam
rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui
jalur-jalur transmigrasi swakarya, dan pemukiman lokal.
Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang
telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis.
2.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 Tentang
Koordinasi Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dilaksanakan

melalui suatu Tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Keputusan Presiden
ini mempunyai tugas membantu Menteri Sosial dalam menetapkan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Keputusan
Presiden ini mempunyai berfungsi :
a. Mengajukan perumusan kebijaksanaan pelaksanaan penanggulangan
gelandangan dan pengemis secara terpadu;
b. Menyusun dan memperinci kebijaksanaan tersebut pada huruf a bagi
tiap-tiap Departemen yang melaksanakan penanggulangan gelandangan
dan pengemis sesuai dengan bidangnya masing- masing, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Keanggotaan Tim sebagaimana di maksud ini terdiri dari :
46
Universitas Sumatera Utara

a. Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial
sebagai Ketua merangkap anggota;
b. Direktur Rehabilitasi Tuna Sosial sebagai Sekretaris merangkap
anggota;
c. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat sebagai anggota
d.

Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri sebagai anggota;

e. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan Keamanan sebagai
anggota;
f. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan sebagai anggota;
g. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai anggota;
h. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja sebagai anggota;
i. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Transmigrasi sebagai anggota;
j. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian sebagai anggota;
k. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian sebagai anggota.
3. Peraturan Daerah No. 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan
Pengemis di Kota Medan
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup
mengembara ditempat-tempat umum.
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan
alasan lainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

47
Universitas Sumatera Utara

Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau
perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas
kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi,
anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud
melakukan pengemisan.
Pengawasan terhadap peraturan daerah ini dilaksanakan secara terpadu di
bawah koordinasi kepala daerah. Dalam hal-hal tertentu dan dipandang kepala
daerah membentuk tim pengawasan terpadu teknis penanggulangan gelandangan
dan pengemis akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah.
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan
pengemis serta susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup
keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya. Barang siapa yang melanggar
ketentuan peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Tindak pidana dimaksud adalah pelanggaran.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan pemerintah kota Medan
diberi wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan
pengemis di kota Medan. Wewenang sebagaimana dimaksud adalah :
a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran
ketentuan

tentang

penaggulangan

gelandangan

pengemis

agar

keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas

48
Universitas Sumatera Utara

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan

tindak

pidana

yang

pelanggaran

ketentuan

tentang

penanggulangan gelandangan dan pengemis
c. Meminta keterangan dan bahan bukti bagi orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan
tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis
d. Melakukan

penggeledahan

untuk

mendapatkan

bahan

bukti

pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut
e. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas
penyidikan tindak pidana pelanggaran gelandangan dan pengemis
f. Menyuruh berhenti seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung, memeriksa identitas orang dan
atau dokumen, dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
pidana pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan
pengemis
g. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
saksi
h. Menghentikan penyidikan
i. Melakukan tindak lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan
pen