Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Marpuji, dkk., (1990). Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi3.Surakarta Abdul Wahab, Solichin. 2002. Analisis Kebijaksanaan,Jakarta: Bumi Aksara.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1997. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Masyarakat.Bandung : PT Karya Nusantara

Nungkei Feriustika Kesumawindayati, Chalid Sahuri,2011.StrategiPelaksanaan Pembinaan Gelandangan dan Pengemis oleh Dinas Sosial

Saptono, Iqbali. 2007. Studi Kasus Gelandangan – Pengemis Di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem

Sarbaguna,Boy. 2008. Analisis Data pada Peneltian Kualitatif. Jakarta: Penerit Universitas Indonesia

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial, Pedoman Praktisi Penelitian Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan. Medan: PT. Grasindo Monoratama

Solahuddin, 2008.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Acara & Perdata (KUH, KUHAP, KUHAPdt,) Jakarta: Visi Media

Solichin Abd Wahab,1997. Analisis Kebijaksanaan I, Jakarta: Haji Mas Agung Suparlan, Parsudi, 1993. Kemiskinan Di Perkotaan,Jakarta; Yayasan Obor Indonesia Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode penelitian Sosial: Aplikasi Dalam Praktek. Jakarta: EGC


(3)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan dan mendeskripsikan objek dan fenomena yang diteliti. Termasuk didalamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam variabel penelitian itu berinteraksi satu sama lain dan ada pula produk interaksi yang berlangsung (Siagian, 2011: 52).

Penelitian deskriptif bersifat menggambarkan dan melukiskan suatu hal berupa gambar atau foto yang didapat dari data lapangan dan kemudian menjelaskannya dengan kata-kata.Pendekatan penelitian ini adalah berupa pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengkaji data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber data yang terkumpul, mempelajari data, menelaah, menyusun dalam suatu satuan. Melalui penelitian deskriptif ini, penulis membuat gambaran kondisi secara menyeluruh tentang implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis

3.2 Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul penelitian yaitu “Implementasi Peraturan Daerah nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis” maka jelas penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan. Dalam hal ini dinas yang terkait adalah dinas sosial, dan lembaga sosial yang berhubungan dengan penelitian tersebut.


(4)

34 3.3 Informan Penelitian

Informan adalah orang yang bermanfaat untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.Ia mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Informan berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal. Informan dengan kebaikannya dan kesukarelaannya dapat memberikan pandangannya dari segi orang dalam nilai-nilai, sikap dan suatu proses yang menjadi latar penelitian tersebut.

Pada penelitian ini, penulis tidak menggunakan populasi dan sampel tapi menggunakan subyek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian. Subyek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Suyanto, 2005: 171- 172). Informan penelitian ini meliputi tiga macam informan yaitu:

1. Informan Kunci, yaitu mereka yang megetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Kepala dinas sosial dan tenaga kerja Kota Medan. 2. Informan Utama adalah mereka yang terlibat langsung dalam penelitian ini,

yaitu Satuan Polisi Pamong Praja.

3. Informan tambahan yaitu mereka yang dapat menguatkan informasi yang terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah gelandangan dan pengemis.


(5)

35 3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data atau informasi menyangkut masalah yang akan di teliti dengan memplajari dan menelaah buku serta tulisan yang ada pada kaitanya terhadap masalah yang diteliti.

2. Studi lapangan yaitu pengumpulan data atau informasi yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung turun ke lokasi penelitiaan untuk mencarai fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti adalah:

a. Observasi, yaitu mengumpulkan data tentang gejala tertentu yang yang dilakukan dengan mengamati, mendengar, dan mencatat kejadian yang menjadi sasaraan penelitian.

b. Wawancara, yaitu cara pengumpulan data diamana penelitian dan responden hadir dalam waktu dan tempat yang sama dalam rangka memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 211).

Dalam penelitian ini, wawancara yang dimaksud yaitu mengajukan pertanyaan secara tatap muka dengan responden yang bertujuan untuk menelengkapi data yang diperlukan.

3.5 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan menjabarkan hasil penelitian sebagimana adanya.Data-data yang telah di tetapkan dari hasil penelitian


(6)

36 lapangan melalui observasi dan wawancara kemudian dikumpulkan lalu di olah dan dianalisis dengan menggambarkan dan menjelaskan serta memberikann komentar dengan jelas sehingga data dapat dipahami dengan mudah untuk mengetahui jawaban dari masalah yang diteliti (Sarbaguna, 2008).

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif, artinya untuk analisis data tidak diperlukan model uji statistik dengan memakai rumus-rumus tertentu, melainkan lebih ditujukan sebagai tipe penelitian deskriptif. Kutipan hasil wawancara dan observasi sejauh mungkin akan ditampilkan untuk mendukung analisis yang disampaikan, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian.


(7)

37 BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kota Medan

Saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, di mulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutanya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya di ubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal sudah menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. Medan sebagai ibukota Deli juga telah mendorong Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah


(8)

38 44 daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura, dan lain lain

4.2 Kondisi Geografis Kota Medan

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota 45 Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan


(9)

39 perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada (3° 30' – 3° 43' Lintang Utara) dan (98° 35' - 98° 44' Bujur Timur). Untuk itu topografi kota Meda cenderung miring ke utara dan b erada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut

Gambar : 4.1. Peta Kota Medan

Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan


(10)

40 Timur.Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia.Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. 46 Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

4.3 Kondisi Demografis Penduduk Kota Medan

Berdasarkan data kependudukan Tahun 2015 penduduk Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.210.624 jiwa, dengan jumlah penduduk wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang memiliki potensi kepadatan penduduk yang sangat besar. Penduduk kota Medan memiliki ciri penting


(11)

41 yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Adapun berbagai etnis mayoritas yang berada di kota Medan adalah :

1. Suku Jawa

2. Suku Tiongha

3. Suku Minangkabau

4. Suku Aceh

5. Suku Batak

Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya, di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal dengan istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah.

Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan karena membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan


(12)

42 pendapatan masyarakat.Pada tahap ini pertumbuhan penduduk sudah mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah kecuali komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

4.4 Kondisi Ekonomi Kota Medan

Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang di dominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan dengan increasing retunrn to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap. Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya 48 dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal) yang


(13)

43 diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Berdasarkan perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar 26,91 persen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen. Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37 persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masingmasing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen. Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasi/telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar 6,56 persen terhadap tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor 49 pengangkutan dan komunikasi 9,22 persen. Disusul


(14)

44 oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,47 persen, sektor bangunan 8,22 persen, sektor jasa-jasa 7,42 persen, sektor listrik, gas dan air bersih 5,06 persen, sektor pertanian 4,18 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 2,94 persen, sektor industri 1,71 persen, dan penggalian tumbuh 0,46 persen. Besaran PDRB Kota Medan pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku tercapai sebesar Rp.72,67 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 33,43 triliun. Terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Medan tahun 2009 sebesar 6,56 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang perumbuhan sebesar 2,20 persen Disusul oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 1,85 persen, sektor bangunan 0,91 persen, sektor jasa-jasa 0,76 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 0,43 persen, sektor industri 0,25 persen, sektor pertanian 0,10 persen, sektor listrik ,gas dan air bersih 0,07 persen dan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan 0,00 persen. Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB Kota Medan pada tahun 2009 digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga yang mencapai 36,20 persen, disusul oleh ekspor neto 30,53 persen (ekspor 50,82 persen dan impor 20,29 persen), pembentukan modal tetap bruto 20,61 persen, konsumsi pemerintah 9,54 persen dan pengeluaran konsumsi lembaga nirlaba 0,64 persen. PDRB per Kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai Rp. 34,26 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp. 31,07 juta. 50 4.5 Kondisi Sosial Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan.Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial


(15)

45 lainnya. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di Kota Medan tahun 2004 berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya, Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan) merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin 4.6 Kondisi Penduduk Garis-garis Besar Haluan Negara menyatakan bahwa jumlah penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi modal dasar yang efektif bagi pembangunan nasional. Namun dengan pertumbuhan yang pesat sulit untuk meningkatkan mutu 51 kehidupan dan kesejahteraan secara layak dan merata. Hal ini berarti bahwa penduduk yang besar dengan kualitas yang tinggi tidak akan mudah untuk dicapai. Program kependudukan di Kota Medan seperti halnya di daerah Indonesia lainnya meliputi: pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian bayi dan anak, perpanjangan usia harapan hidup, penyebaran penduduk yang seimbang serta pengembangan potensi penduduk sebagai modal pembangunan yang terus ditingkatkan. Komponen kependudukan umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan


(16)

46 proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik, akan mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

4.5 KondisiSosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan.Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosiallainnya.

Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

4.6 Kondisi Kultural Kota Medan

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai– nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun


(17)

47 kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan.

Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan. Selain wisata alam, Kota Medan juga kaya akan objek wisata sejarah, pendidikan, serta tempat liburan yang modern. Semuanya tersaji secara lengkap.Jalur transportasi baik dari darat, perairan, dan udara untuk menuju tempat-tempat wisata juga selalu mengalami perkembangan dan perbaikan demi menciptakan Kota Medan yang ramah akses.Layanan dan fasilitas umum tersebar dan semakin mudah didapat dalam memenuhi setiap kebutuhan selama berlibur.Banyak tempat wisata yang dapat di kunjungin di Kota Medan baik berupa pemandangan, tempat bersejarah dan lain-lain. Adapun beberapa tempat wisata yang dapat dikunjungin adalah :

1. Tjong A Fie Mansion

2. Istana Maimun

3. Gedung Balai Kota Lama

4. Menara Air Tirtanadi

5. Titi Gantung yaitu sebuah jembatan di atas rel kereta api

6. Gedung London Sumatera

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh


(18)

48 karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara agar menjaga keanekaragaman baik dalam segi suku, etnis dan agama yang berada dalam kota Medan agar tetap saling terjaga dan harmonis satu sama lain.

TABEL 4.1 PENDUDUK MENURUT KECAMATAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN TAHUN 2013

No.

Kecamatan Pria Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Medan

Tuntungan

40.097 42.437 82.534

2. Medan Johor 62.331 64.336 126.667

3. Medan Amplas 57.918 59.004 116.922

4. Medan Denai 71.750 71.100 142.850

5. Medan Area 48.054 49.200 97.254

6. Medan Kota 35.442 37.700 73.112

7. Medan Maimun 19.524 20.379 39.903

8. Medan Polonia 26.460 27.413 53.873

9. Medan Baru 17.667 22.150 39.817


(19)

49

11. Medan Sunggal 55.717 57.927 113.644

12. Medan Helvetia 71.586 74.805 146.391

13. Medan Petisah 29.526 32.701 62.277

14. Medan Barat 34.931 36.406 71.337

15. Medan Timur 52.906 56.539 109.445

16. Medan

Perjuangan

45.405 48.683 94.088

17. Medan Tembung 65.761 68.882 134.643

18. Medan Deli 86.937 85.014 171.951

19. Medan Labuhan 57.635 55.679 113.314

20. Medan Marelan 75.066 73.131 148.197

21. Medan Belawan 49.175 47.105 96.280


(20)

45 4.7 Gambaran Umum Dinas Sosial dan Tenaga Kerja KotaMedan

Sejarah Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja KotaMedan

Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota dibentuk berdasarkan peraturan Daerah Kota Medan Nomor3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Perangkat Daerah Kota Medan yang merupakan tindak lanjtuk dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Medan yang melaksanakan kewenangan pemerintahan di bidang sosial dan ketenagakerjaan di Kota Medan sesuai dengan peraturan Daerah Kota Medan Noor 2 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan Kota Medan. Pelaksanaan kewenangan pemerintahan di bidang sosial dan ketenangakerjaan sebelumnya ditangai oleh 2 (dua) Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu : Kantor Sosial Kota Medan merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan tugas dan kewenangan pemerintah di bidang sosial dan Dinas Tenaga Kerja Kota Medan merupakan Satuan kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan tugas dan kewenangan pemerintah di bidangketenagakerjaan

Visi dan Misi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja KotaMedan

Visi Kantor Dinas Sosial da Tenaga Kerja Kota Medan adalah :

“ Perluasan, Perlindungan Kerja dan Pengentasan Kemiskinan dalam Masyarakat Menuju Medan Kota Sejahtera”.

Sedangkan untuk mewujudkan visi tersebut maka misi dari dinas sosial dan tenaga kerja kota medanadalah:

a. Meningkatakan penempatan tenaga kerja dan memperluas kesempatan kerja;


(21)

b. Meningkatan hunungan industrial yangstandar/ideal;

c. Meningkatakan pengawasan dan perlingunanketenagakerjaan; d. Meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber dayamanusia; e. Meningkatkan kualitas pengelolaan lembaga-lembagasosial; f. Mengingkatakan penagann masalah-masalah kesejajteraansosial; g. Meningkatkan rasa nilai-nilai kejuangan dan kesetiakawanansosial;

Struktur Organisasi Kantor Dinas Sosial dan TenagaKerja

Struktur organisasi pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Perangkat Daerah Kota Medan.

BAGAN 4.1 STRUKTUR ORGANISASI DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN


(22)

47 Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan saat ini didukung SDM sebanyak 98 orang yang terdiri atas:

TABEL4.2 DAFTAR HADIR DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN

No .

Nama / Nip PANGKA

T/GOL.

Jabatan

1 S. ARMANSYAH LUBIS, SH NIP. 19660727 199303 1 003

IV / b KEPALA DINAS I. SEKRETARIAT

2 Drs. ALEKSANDER, M.AP NIP. 19601209 199003 1 002

IV / b SEKRETARIS

3 ILYASAK

NIP. 19620408 199303 1 005

III / b Kasubbag Umum 4 JULIA, SE

NIP. 19640704 198408 2 001

III / b Kasubbag Keuangan

5 TIMBUL ANTONIUS, SH

NIP. 19790908 200502 1 009

III / b Kasubbag Program 6 AMY PRATIWI,SE

NIP. 19851017 201001 2 027

III / b Bnedahara Pengeluaran 7 Drs. ALI CHAD

NIP. 19580717 198003 1 006

IV / b Staf 8 REBEKKA SITINJAK

NIP. 19641130 198603 2 006

III / b Staf 9 RENTHA MARIAITO L. TOBING,

S.SOS

NIP. 19880408 201001 2 014

III / b Staf

10 JIMMY MANURUNG, SE

NIP. 19790405 200904 1 005

III / b Staf 11 MIAFITRI DAMANIK SE

NIP. 19840615 201001 2 039

III / b Staf 12 IBNU FAHREEZA, SE

NIP. 19870426 201001 1 011

III / a Staf 13 ERLINDA KRISTINA SIAGIAN,

SE

NIP. 19880405 201001 2 019

III / a Staf

14 EDIANTO

NIP. 19580627 198003 1 004

II / c Staf

15 LOLITANORA GIRSANG

NIP. 19781211 201001 2 009

II / d Staf 16 NOVITA SARI GINTING

NIP. 19840109 201001 2 023

II / d Staf 17 SUPRIADI

NIP. 19800602 201401 1 002

I / c Staf

II. BIDANG BINA SOSIAL

18 Drs. SAHDIN SAGALA, M.AP NIP. 19630313 199112 1 001


(23)

19 ROSDIANA FLORENCE, SH NIP. 19621027 199203 2 001

III / d Kasi Bantuan Sosial

20 SIDUHU HAREFA, SH

NIP. 19580911 198303 1006

III / d Kasi Bimbingan Sosial 21 Hj. SYAFRIA ARITONANG

NIP. 19580908 198503 2 004

III / c Kasi Kepahlawanan 22 SYAIFUL BAHRI, SH

NIP. 19590804 198003 1 006

IV / b Staf 23 Dra. CUT SAHARA

NIP. 19610910 198202 2 003

III / d Staf 24 AZMAN

NIP. 19580513 198101 1 001

III / b Staf 25 ARIHTA SEMBIRING

NIP. 19591122 198003 2 003

III / b Staf 26 MURNI HUTAURUK

NIP. 19591024 198103 2 001

III / b Staf 27 SONDANG JUWITA S S.Psi, M.Psi

NIP. 19830219 200604 2 014

III / b Staf

28 TRISNO MULYONO

HUTAGALUNG, SH

NIP. 19840310 200903 1 010

III / a Staf

III. BIDANG PELAYANAN SOSIAL

29 ZAILUN , SH, M.AP

NIP. 19600820 198602 1 001

IV / a KABID PELAYANAN SOSIAL

30 DAMERIA, S.Sos

NIP. 19581215 198403 1 003

III / d Kasi Undian dan Pengumpulan Uang

31 DELI MARPAUNG, SH

NIP. 19660517 198903 2 006

III / d Kasi Rehabilitasi 32 RIDHA VALENTA YETTA, SE

NIP. 19640412 199203 2 004

III / d Kasi Pembinaan Daerah

Kumuh dan Penanggulangan

Bencana

33 RITAWATY, SH, M.AP

NIP. 19620805 198606 2 001

IV / b Staf 34 LAMO MAYJEN LBN. TOBING

NIP. 19380708 200801 1 001

II / b Staf 35 BINSAR PANDAPOTAN

HASIBUAN

NIP. 19820425 200804 1 003

II / d Staf

IV. BIDANG PENTAKER

36 SYAFUL ALAMSYAH, SE NIP. 19620412 199203 1 008

IV / a KABID PENTAKER 37 EDDY SEMBIRING COLIA, SE

NIP. 19621231 199103 1 061

III / d Kasi PTKDN 38 LEPPI, SE

NIP. 19610316 199203 1 003

III / d Kasi PTKLN 39 GEMPITA SEKARWATI, SE

NIP. 19610616 199203 2 002

III / d Kasi Informasi Pasar Kerja


(24)

49 40 SONDANG AGUSTINA RAMBE,

SH

NIP. 19600817 198603 2 003

III / d Staf

41 ELIOSA BR PINEM, SP NIP. 19701211 199803 2 003

III / c Pengantar Kerja

42 MINDO BERTUA SITUMEANG

NIP. 19580306 198102 2 001

III / b Pengantar Kerja 43 ASRAH YETTY

NIP. 19620114 198204 2 001

III / b Staf 44 SAHBANI

NIP. 19630322 198203 1 003

III / b Pengantar Kerja 45 LOUIS STEFANI SRIRATU, SE

NIP. 19860916 201001 2 026

III / b Staf 46 BAIKUNI W. A PASARIBU, SE

NIP. 19770125 201001 2 009

III / a Staf 47 JULI YANTI

NIP. 19700525 200801 2 022

III / a Staf 48 MARDIYANI, SE

NIP. 19790322 200801 2 008

III / a Staf

V. BIDANG HUBIN SYAKER

49 AMIN YAHYA, SH

NIP. 19600806 198903 1 003

IV / b KABID HUBIN

SYAKER 50 Drs. AFRIZAL M.AP

NIP. 19660717 198603 1 001

IV / a Kasi Perselisihan

Hubungan Industrial (PHK)

51 BANCI ELIDA GINTING, SH NIP. 19590105 198703 2 003

III / d Kasi Persyaratan Kerja dan Pengupahan 52 EFFENDI SITUMORANG, SH

NIP. 19631230 199203 1 004

III / d Kasi Organisasi

Pekerja, Pengusaha dan Purna kerja

53 Drs. ALBON HAMONANGAN

NIP. 19591120 198603 1 005

III / d Mediator 54 Drs. OSLEN SIMARMATA

NIP. 19610805 199103 1 003

III / d Mediator

55 RETINA SAMOSIR, SE

NIP. 19650302 199203 2 003

III / d Mediator 56 Drs. BRISTON

NIP. 19600220 198102 1 001

III / d Mediator

57 HEBRON GULTOM, SH

NIP. 19630410 198601 1 001

III / c Mediator 58 URAIDA, SE

NIP. 19680808 198903 2 044

III / c Staf 59 NURIANTINA, SP

NIP. 19710201 199803 2 002

III / c Mediator 60 JONES PARAPAT, SH

NIP. 19861016 201101 1 005

III / b Staf 61 KAMISWAR

NIP. 19590110 198703 1 005


(25)

62 RUSTI HUTAJULU, AMd NIP. 19770219 201101 2 003

II / c Staf

VI. BIDANG PENGAWASAN

63 BINSAR ROBERT TAMBUNAN, SH

NIP. 19601005 199303 1 002

IV / a KABID

PENGAWASAN 64 Drs. JUITA GINTING

NIP. 19601205 198603 1 005

IV / a Kasi Pengawasan Jamsostek

65 Dra. AKHRIDA

NIP. 19600214 198503 2 001

III / d Kasi Pengawasan Norma Kerja

66 Ir. ROSMALINA DEWI

NIP. 19580806 199102 2001

III / d Kasi Pengawasan K3 67 KOANDA, S.Sos, M.M.

NIP. 19611205 198603 1014

IV / a Staf 68 FRIDOLF JOHN RUMAPEA

NIP. 19600626 199203 1 003

III / d Staf 69 KONGOWATI, SH

NIP. 19630824 198603 2 003

III / d Pengawas Ketenagakerjaan 70 RENTAULI SILALAHI S.Sos III / c Pengawas

NIP. 19681125 199803 2 002 Ketenagakerjaan 71 EFFENDI SIAGIAN, SH

NIP. 19580909 198703 1 006

III / c Staf 72 MASNA JUITA HARAHAP

NIP. 19660704 198612 2 001

III / b Staf 73 DENNY ROSAWATI

SIHOMBING, SE

NIP. 19731103 199803 2 002

III / b Staf

74 CUT YUNITA N, SST NIP. 19840628 201001 2 021

III / b Staf 75 WAGIMAN

NIP. 19591001 198101 1 001

III / b Staf 76 RAJANI LINDUNG SIANTURI,

ST

NIP. 19761010 201001 1 022

III / b Staf

77 DIES EKAPRASETYA PUTRA, ST NIP. 19810321 201001 1 015

III / b Staf 78 UJI DIPPOS LUMBAN SIANTAR,

ST

NIP. 19820730 201001 1 015

III / b Staf

79 SANDRO H SIREGAR, SH NIP. 19830729 201001 1 013

III / b Staf 80 NELLY APRIANI, ST

NIP. 19800405 200904 2 007

III / b Staf 81 MASCO ROSNELLI BR GINTING,

SH

NIP. 19860417 201001 2 002

III / b Staf

82 SUCI ANGGRAEINY PASARIBU, S.S.T.

NIP. 19830614 201001 2 036


(26)

51 83 ERWIN DALIMUNTHE S.Kom

NIP. 19800315 201001 1 020

III / a Staf

VII. BIDANG PELATIHAN DAN PRODUKTIVITAS NAKER

84 DRS. ALI NAFIAH, MT NIP. 19660307 198603 1 005

IV / a KABID LATTAS 85 IR. RAHMALINA

NIP. 19610308 198603 2 006

III / d Kasi Instruktur dan Lembaga

86 BETTY SARAGI, SmHk

NIP. 19600716 198503 2 001

III / d Kasi Sertifikasi 87 SAMSUL KAMAL

NIP. 19600218 198612 1 002

III / b Staf 88 M. RAIS

NIP. 19600128 198303 1 006

III / b Staf 89 ESTER SIANTURI, SE

NIP. 19880215 201001 2 014

III / a Staf

90 MISDAR II / c Staf

NIP. 19620203 198603 1 005 91 USMAN

NIP. 19621105 198703 1 003

II / b Staf

Tugas Pokok danFungsi

Peraturan Walikota Medan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. Sesuai dengan Struktur organisasinya, unsur-unsur yang melaksanakan penyelenggaraan pelayanan bidang sosial dan ketenagakerjaan beserta rincian tugas pokok dan fungsi masing-masing, sebagai berikut :

1. Dinas

Dinas mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang Sosial dan Tenaga Kerja berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan Dinas menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan kebijakan teknis di bidang sosial danketenagakerjaan b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di


(27)

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang sosial danketenagakerjaan

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas danfungsinya

2. Sekretariat

Sekretarian mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Dinas lingkup kesekretariatan meliputi pengelolaan administrasi umum, kepegawaian, keuangan, dan penyusunan program Sekretariat menyelenggaran fungsi :

a. Penyusunan rencana, program, dan kegiatankesekretariatan b. Pengkoordinasian penyusunan perencanaan programDinas

c. Pelaksanaandan penyelenggaran pelayanan administrasi kesekretariatan Dinas yang meliputi administrasi umum, kepegawaian, keuangan, dan kerumahtangganDinas

d. Pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pengembangan organisasi, danketatalaksanaan

e. Pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan tugas-tugasDinas f. Penyiapan bahan pembinaan, pengawasan, danpengendalian g. Pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan pelaporankesekretariatan h. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai

dengan tugas danfungsinya.

3. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terdiri dari 6 (enam) bidang, yaitu: a. Bidang BinaSosial

b. Bidang PelayananSosial


(28)

53 d. Bidang Hubungan Industrial Syarat-Syarat Kerja dan Purna Kerja e. Bidang Hubungan Industrial Syarat-Syarat Kerja dan Purna

Kerja

f. Bidang pengawasanKetenagakerjaan

g. Bidang Pelatihan danProduktivitas

4. Sekretariat terdiri dari 3 sub bagian ,yaitu: a. Sub BagianUmum

b. Sub BagianKeuangan

c. Sub Bagian PenyusunanProgram

5. Dinas sosial dan tenaga kerja terdiri dari 17 jabatan,yaitu: a. Seksi BantuanSosial

b. Seksi BimbinganSosial

c. Seksi Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial.

d. Seksi undian dan PengumpulanUang, e. SeksiRehabilitasi.

f. Seksi Penempatan Tenaga Kerja DalamNegeri g. Seksi Penempatan Tenaga Kerja LuarNegeri, h. Seksi Informasi PasarKerja

i. Seksi Organisasi Pekerja Pengusaha Pendidikan dan PurnaKerja j. Seksi Persyaratan Kerja danPengupahan.

k. Seksi Perselisihan Hubungan Industrial /PHK, l. Seksi Pengawasan NormaKerja.


(29)

m.Seksi Pengawasan Keselamatan dan KesehatanKerja,

n. Seksi PengawasanJAMSOSTEK o. Seksi Instruktur dan Lembaga p. SeksiSertifikasi

q. Seksi Bimbingan Produktivitas Tenaga Kerja danPemagangan. 6. Jabatanfungsional

Pada dinas sosial dan tenaga kerja kota medan terdapat 3 (tiga) jabatan fungsional, yaitu:

a. Jabatan fungsional pengantarkerja b. Jabatan fungsionalketenagakerjaan


(30)

BAB V ANALISIS DATA

5.1 Pengantar

Pada bab ini data-data yang telah didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deksriptif - kualitatif yang lebih mementingkan ketetapan dan kecukupan data, dimana data yang disajikan berupa deskripsi tentang peristiwa dan pengalaman penting dari kehidupan atau beberapa bagian pokok dari kehidupan seseorang dengan kata-katanya sendiri. Data-data yang didapatkan diperoleh peneliti dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan informan.

Analisis data adalah upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.Untuk melihat gambaran yang lebih jelas dan rinci, maka peneliti mencoba menguraikan hasil wawancara dengan informan tentang data-datatersebut.

Adapun informan yang peneliti wawancarai adalah informan kunci, informan utama dan informan tambahan.Informan kunci terdiri 1 orang yaitu Staff Bidang Pelayanan Sosial Bapak Lamo Mayjen Lbn. Tobing.Informan utama terdiri 2 orang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP).Sedangkan informan tambahan terdiri 3 orang yaitu selaku Gelandangan dan Pengemis, Serta Praktek Tuna Susila.


(31)

HasilTemuan

5.1.1 Informan Kunci

Nama : Lamo Mayjen Lbn. Tobing

Umur : 34Tahun

Pendidikan : SLTA

JenisKelamin :Pria

Jabatan : KepalaStaff Bidang Pelayanan

Sosial

Agama : KristenProtestan

Suku : Batak

Lamo Mayjen Lbn. Tobing merupakan Kepala staff dibagian bidang pelayanan sosial di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan.Bapak Lamo memilikki peran dalam pelaksanaan peraturan daerah no.6 tahun 2003 yaitu memberikan pelayanan sosial kepada para gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila yang di razia oleh satpoll PP di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja , kemudian di data dan dimasukkan kedalam arsip dinas sosial dan tenaga kerja. Dalam wawancara saya menanyakan tentang pendapat Bapak Lamo mengenai implementasi perda no.6 tahun 2003 dan berikut pernyataan beliau :

“Saya sebenarnya sih setuju dengan perda ini, namun saya pikir masih banyak perbaikan yang harus dilakukan didalam perda ini, setiap pointnya harus lebih mendetail tentang apa saja yang harus dilakukan”.

Bapak Lamo juga menambahkan bahwa point – point yang ada diperda tersebut juga masih belum detail setiap peran – peran bagi yang menjalankannya,


(32)

baik tentang larangan, pengawasan, pembinaan dan ketentuan pidananya, mungkin disebabkan karena barunya Standar Operation Procedure (SOP) yang ditetapkan.

Berikut pernyataan beliau :

“Ya mungkin dikarenakan SOP kita baru saja dibuat,jadi dulu hanya berlandaskan pada peraturan kementerian sosial saja, tidak memilkki SOP sendiri tentang larangan gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila sehingga peraturan ini agak sulit diterapkan”.

Bapak Lamo selaku bidang pelayanan sosial merupakan pelaksana dari perda ini, yaitu menangani penyandang msalah kesejahteraan sosial. DINSOSNAKER Kota Medan juga menjalankan kebijakan ini sesuai dengan tupoksinya masing-masing. DINSOSNAKER memiliki SOP untuk melaksanakan kebijakan ini, SOP ini juga kebetulan baru saja dibuat, sebelum adanya SOP dinsosnaker menjalankan perda dengan apa adanya saja.

BAGAN 5.1 SOP PERDA NO 6 TAHUN 2003

PERDA

BIDANG PELAYANAN SOSIAL

1. PENEGAK PERDA (SATPOL-PPMEDAN 2. POLRESTAMEDAN 3. DINSOSSUMUT 4. POLISIMILITER

DIDATA


(33)

Berikut pernyataan beliau :

Biasanya yang terlibat itu dalam pembentukan perda di Kota Medan ini, biasanya yaitu Kepala SKPE instansinya tersebut dan bagian hukum, sekretariat Kota Medan”.

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa masih kurang pihak yang terlibat dalam pembentukan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini, seperti dari pihak – pihak yang lebih berkompeten dibidang yang menangani apa isi perda tersebut, dalam konteks ini yaitu yang lebih memahami tentang gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila tersebut.

Dalam hal sosialisasi tentang peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini Bapak Lamo menjelaskan kegiatan sosialisasi yang dilakukan dalam bentuk himbauan – himbauan.komunikasi antar satuan kerja pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan berjalan cukup baik dalam menjalankan Peraturan Daerah no 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis Kota Medan. Komunikasi yang dilakukan dalam melakukan sosialisasi pembuatan program kerja tentang perda ini berjalan dengan lancar. Dalam melaksanakan tugas fungsi pokoknya Dinas Sosial dan Tenaga Kerja juga melibatkan beberapa instansi terkait seperti Satpol-PP, Kepolisian yaitu Polresta Kota Medan, Dinsos Sumatera Utara serta Polisi Militer dalam melaksanakan penegakan kebijakan seperti razia, penertiban, dll.

Kerjasama dalam mendukung pelaksanaan kebijakan ini juga cukup baik karna bukan hanya DINSOSNAKER Kota Medan saja yang terlibat didalamnya, Satpol-PP Kota Medan juga punya andil besar dalam kebijakan ini yaitu sebagai penegak perda, kerja sama antara dinas sosial dan tenaga kerja terlihat pada saat penertiban mereka akan saling bekerja sana dan membentuk tim untuk operasi di lapangan yaitu ada di 2 lokasi gelandangan dan pengemis serta pada malam hari


(34)

diadakan juga razia wanita tuna susila ataupun tindak asusila di hotel-hotel. Dinsosnaker juga bekerjasama dengan beberapa lembaga bantuan masyarakat (LSM) yaitu terutama lsm yang berkaitan langsung dengan masalah anak jalanan dan anak terlantar diantaranya yaitu, LSM KKSP( Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, PKPA, Sinar Agape Children Village, dll.

Bentuk komunikasi langsung kepada para gelandangan dan pengemis sertamasyarakat yaitu berupa adanya penertiban- penertiban, himbauan-himbauan, seperti bimbingan teknis yang diadakan kepada lurah dan camat.Namunsosialisasi tersebut juga tergantung kepada yang ada pada DINSOSNAKER kota Medan itu sendiri.

Berikut pernyataan beliau :

Untuk sosialisasi perda no.6 tahun 2003 ini, kita melakukan sosialisasi dalam bentuk himbauan, yang himbauannya kita buat ke kecamatan – kecamatan maupun ke kelurahan – kelurahan, ke tim – tim kita, rekan – rekan kita, kita himbau kepada masyarakat bahwa gelandangan dan pengemis itu adalah sebuah profesi yang tidak layak dilakukan, dan apabila kita merazia mereka, itu salah satu upaya kita untuk mengangkat harkat dan martabat mereka, bukan untuk menjatuhkan atau menghalang – halangi profesi yang mereka lakukan”.

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwasanya sosialiasi yang dilakukan oleh dinas sosial dan tenaga kerja sendiri sudah cukup bagus, dapat dilihat dari banyaknya pihak yang terlibat, tidak hanya dinas sosial sendiri, tetapi juga melibatkan perangkat – perangkat daerah yang memberikan informasi juga secara langsung kepada warga – warga didaerahnya masing – masing.


(35)

Dalam pelaksanaannya sendiri, Bapak Lamo menerangkan juga bahwa dalam proses pelaksanaan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini sendiri tentang larangan gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila, yang masih berkeliaran ini juga tidak hanya di tangkap dan dirazia, namun di lakukan juga pembinaan kepada mereka – mereka tersebut, berupa program pelatihan keterampilan yang dibuat oleh dinas sosial dan tenaga kerja tersebut. Berikut pernyataan beliau :

“ Ya pertama, setelah kita tangkap atau dirazia dilapangan, sebelumnya ada kita buat pelatihan – pelatihan keterampilan bagi gelandangan – gelandangan dan pengemis, seperti pelatihan membuat sablon, menganyam buat keranjang, membuat keset kaki itu, adalah beberapa jenis pelatihan disini. Namun 2 tahun belakangan ini, program ini stop berjalan, saya kurang tahu di 2016 ini ya, jadi saya berharap mudah – mudahan adalagi program – program tersebut, jadi hasil gelandangan dan pengemis ini bisa kita ajarkan kembali”

Ada beberapa program dalam menjalankan kebijakan ini yang baru saja dibuat karena masih awal tahun anggaran namun belum berjalan, yaitu seperti razia penetiban, sosialisasi dan pelatihan bagi anak jalanan, yaitu pelatihan berupa membuat sablon, keset, dll.Namun belum berjalan karena anggaran yang belum turun.kebijakan ini di sahkan oleh walikota medan yang ditanggungjawabi langsung oleh walikota medan, pelaksanaan kebijakan ini merupakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan melalui Bidang Pelayanan Sosial , yang dipimpin oleh kepala bidang dan didalamnya terdapat 3 seksi namun seksi yang terkait langsung dengan perda ini yaitu seksi rehabilitasi yang memiliki staf 3 orang. Kepala dinas selaku pengawas terlaksananya perda ini juga cukup aktif dan pro terhadap program program yang ada tidak hanya memonitoring kepala dinas juga terkadang ikut turun


(36)

langsung kelapangan.

Di Kota Medan sendiri, baik di pusat kota maupun disekitarannya masih banyak terlihat gelandangan dan pengemis dimana – mana, di setiap persimpangan lampu merah, terminal ataupun tempat – tempat ramai lainnya. Keberadaan gelandangan dan pengemis ini jelas menganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban Kota Medan sendiri, Bapak Lamo juga mengatakan sebagai berikut :

“ Ya adek bisa lihat sendiri, dimana – mana mereka adakan, sudah kami tangkap, kami razia, masih juga ada, apalagi yg di lampu merah itu, sangat merusak keindahan kota medan”

Dari penuturan tersebut jelas bahwa dinas sosial dan tenaga kerja juga sangat menyayangkan keberadaan gelandangan, pengemis dan praktek tuna susila tersebut, selain menjadi penyakit masyarakat, masalah ini juga merusak keindahan dan ketertiban kota medan.

Jumlah gelandangan, pengemis dan praktek tuna susila di Kota Medan ini sendiri, dari tahun ke tahun juga semakin bertambah dan semakin banyak dimana – mana, padahal peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini sudah dijalankan dengan mengikuti prosedur yang ada. Setelah saya lakukan wawancara mendalam kepada dinas sosial dan tenaga kerja yang diwakili oleh bapak lamo ini apa alasan masih banyaknya gelandangan, pengemis dan praktek tuna susila ini, dikarenakan kebanyakan mereka tersebut berasal dari luar kota medan itu sendiri. Berikut pernyataan beliau :

“ Karena sebenarnya gelandangan – gelandangan dan pengemis itu tidak semua warga kota medan, bahkan ada dari kabupaten tetangga, terakhir ini kita tangkap kemaren dan kita data ternyata dia warga deli serdang, ada juga yang dari langkat, stabat, tebing tinggi, apalagi pas bulan ramadhan


(37)

kemaren banyak dari luar kota medan”.

Dapat kita lihat bahwa mayoritas gelandangan dan pengemis di kota medan ini sendiri berasal dari luar kota medan, ini dikarenakan kota medan merupakan kota yang besar dan banyak penduduknya, sehingga menjadikan salah satu daya tarik bagi orang – orang untuk mencari nafkah menjadi gelandangan dan pengemis tersebut.

Selain itu Bapak Lamo juga menjelaskan bahwa selain karena banyaknya gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar kota medan itu sendiri, kendala – kendala lain yang menyebabkan sulitnya menjalankan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini salah satunya adalah karena warga kota medannya sendiri yang masih banyak sekali merasa kasihan terhadap mereka dan memberikan sejumlah uang, sehingga membuat mereka menjadi ketergantungan walaupun tujuannya baik untuk menolong orang. Berikut pernyataan beliau :

“ Ya mungkin pertama karena masih banyak ya warga kota medan yang merasa kasihan terhadap mereka, padahal sudah ada himbauan untuk jangan memberi mereka uang, kemudian masih banyak masyarakat yang menghalang – halangin kita ketika melakukan proses razia terhadap mereka dengan alasan kasihan mereka pak, mau makan apa nanti mereka, lalu didaerah – daerah lain sudah ada namanya reaksi cepat, untuk kota medan sendiri kita sudah mengusulkan yang terdiri dari tim yang akan bergerak cepat bilamana ditemukan lokasi – lokasi orang – orang yang melakukan mengemis. Dan yang terakhir masalah pantai rehabilitasi tadi yang belum ada untuk di kota medan ini, sampai sekarang ini, yang ada hanya rumah singgah”.

Dapat kita lihat bahwa masih banyak sekali kendala – kendala yang dihadapi oleh Dinas sosial dan tenaga kerja serta instansi – instansi yang terkait dalam


(38)

menjalankan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini, peran masyarakat Kota Medan sendiri juga ikut serta dalam mensukeskan peraturan daerah ini terutama untuk gelandangan dan pengemis, selain itu untuk Praktek Tuna Susilanya sendiri Terdapat kendala dilapangan yaitu setelah WTS di tertibkan, didata, dan di interogasi ternyata ia merupakan korban dari perdagangan manusia dan di dalam kebijakan ini belum ada pengaturan tentang hal tersebut. DINSOSNAKER kota Medan juga sudah berupaya untuk meminta pembaharuan atas kebijakan ini kepada Legistlatif. Denda yang terdapat didalam perda juga menjadi kendala di lapangan karna hingga saat ini denda tersebut belum pernah berjalan, dan juga tidak ada kejelasan tentang siapa yang memungut, dan akan di kemanakan hasil dari denda tersebut. Ketiadaan panti juga menjadi kendala dalam menjalankan kebijakan ini.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sendiri selaku pihak yang terlibat langsung dalam proses razia gelandangan, pengemis dan praktek tuna susila sendiri juga telah berusaha melakukan yang terbaik tentang larangan tersebut, yaitu dengan melakukan razia rutin disetiap titik – titik tempat berkumpulnya mereka. Bapak Lamo juga menambahkan bahwa Satpoll PP sudah bekerja keras membantu kami untuk menangani masalah gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila. Berikut pernyataan beliau :

“Ya saya kira semua instansi yang terkait sudah berperan dengan baik, satpoll PP juga sudah berusaha bekerja dengan keras, semoga masalah gelandangan dan pengemis ini bisa berkurang”.

Dapat kita lihat bahwa Dinas sosial dan tenaga kerja juga sangat mengapresiasi segala usaha yang sudah dilakukan oleh satpoll pp dalam menangani masalah ini, dimana mereka sudah melakukan salah satu tindakan razia yang bertujuan selain mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis serta praktek tuna


(39)

susila di kota medan, juga ikut berperan menjaga ketertiban.

Bapak Lamo juga mengharapkan agar pemerintah kota medan sendiri memilikki panti rehabilitasi sendiri, tidak mengandalkan milik pemerintah provinsi yang ada dibinjai. Berikut pernyataan beliau :

“ Yang pertama kali yang kita harapkan itu ya panti rehabilitasinya, jadi ketika kita melakukan razia dilapangan, kita memilikki wadah untuk menampung mereka. Jadi istilahnya, kalo kita hanya mengandalkan pani rehabilitasi milik pemerintah provinsi yang dibinjai, kapasitasnya kurang, hanya ditahan 2-3 hari lalu dilepas. Dan harapan kita juga kedepan agar peraturan daerah ini bisa dilaksanakan dengan baik, mengurangi tingkat presentase gepeng di lapangan”.

Dapat kita lihat bahwa Dinas sosial dan tenaga kerja sangat mengharapkan pemerintah kota medan memilikki panti rehabilitasi khusus untuk gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila.Fasilitas yang ada untuk menjalankan perda ini tergolong sudah memadai, Fasilitas yang dimiliki oleh DINSOSNAKER Medan yaitu berupa mobil yang digunakan untuk melakukan razia kelapangan dan alat-alat untuk administrasi kantor juga telah memadai.

Namun hingga saat sekarang ini fasilitas yang menjadi masalah utama dalam menjalankan PERDA ini yakni Kota Medan belum mempunyai panti rehabilitasi dan masih bergantung kepada panti milik Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara. Karna tidak adanya panti, GEPENG, ANJAL dan WTS ( Wanita Tuna Susila) yang sudah terjaring razia, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan akan memohon bantuan kepada dinsos sumut untuk dititip dan serta di rehabilitasi. Usul untuk pembuatan panti rehabilitasi sudah beberapa kali diajukan oleh DINSOSNAKER kota Medan namun terhalang oleh belum adanya lokasi.


(40)

5.1.2 Informan Utama1

a. Nama : Yuli Suhesti

b. Umur : 38Tahun

c. Jeniskelamin :Perempuan

d. RiwayatPendidikan : SMK

e. Agama :Islam

f. Suku : Jawa

g. Alamat : Medan Amplas

h. Jabatan : Wadanru ( Wakil Komandan

Regu ) Polwan Pol-PP

Ibu Yuli Suhesti menjelaskan bahwa tugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisidaerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, disamping menegakkan peraturan daerah, Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah lainnya yaitu peraturan kepala daerah.

Ibu Yuli Suhesti juga menjelaskan bahwa untuk mengoptimalkan kinerja satpoll pp yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tentram, tertib, dan teratur. Penataaan kelembagaan Satpoll PP tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk disuatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, budaya, sosiologi, serta resiko keselematan polisi pamong praja.


(41)

Ibu Yuli Suhesti juga menambahkan salah satu wewenang Satpol PP adalah melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda atau peraturan kepala daerah, dan dalam kasus ini tentang Peraturan daerah no.6 tahun 2003 yaitu larangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila. Ibu Yuli Suhesti kemudian langsung menjelaskan tentag bagaimana proses sosialisasi peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan tenaga Kerja Pemerintah kota Medan kemudian langsung menjelaskan bagaimana proses sosialisasi tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktik tuna susila ini terhadap mereka melalui himbauan - himbauan. Berikut pernyataan beliau :

”Ya Sosialisasinya kita secara langsung kita beritahukan berupa himbauan himbauan kepada masyarakat”.

Sebagai seorang wakil komandan regu di Satuan polisi pamong praja kota medan, Ibu Yuli Suhesti mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilakukan harus secara menyeluruh dan seluruh anggota harus diberitahu, dimana setiap regu harus saling berkoordinasi dengan baik dan maksimal dalam melaksanakan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini tentang larangan gelandangan dan pengemis,serta praktek tuna susiladimana semua yang terjaring oleh satuan polisi pamong praja akan ditindak tegas, didata dan diberi sanksi apabila kedapatan kembali kejalan lagi. Berikut Pernyataan beliau :

“Semua gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila yang kami razia itu, akan kami tindak tegas, didata oleh dinas sosial dan akan diberikan pembinaan, dan yang kedapatan kembali kejalan lagi ya akan kami berikan sanksi”.


(42)

Sanksi yang diberikan bermacam – macam mulai dari sanksi berupa teguran sampai sanksi yang berat. Ibu Yuli Suhesti juga mengatakan bahwa anggotanya melakukan penangkapan atau razia ini sesuai dengan SOP yang kita gunakan, dimana setiap masyarakat harus diperlakukan secara humanis. Berikut pernyataan beliau :

“ Begini pertama ya, kita lakukan dulu pendekatan humanis yaitu, secara baik – baik dan kekeluargaan sesuai dengan peraturan menteri dalam negeri, namun apabila tidak bisa diajak kerja sama ya terpaksa kita angkat mereka”.

Dapat kita lihat bahwa Satpol PP juga mengikuti standar operation procedure dalam menjalankan tugasnya dalam menangani masalah pelarangan gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila sesuai dengan peraturan daerah kota medan no.6 tahun 2003, Namun kebanyakan gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila ini sangat sulit untuk diajak kerja sama dan malah lari ke perkampungan masyarakat, padahal tujuan kami bukan hanya ingin menangkap mereka, tetapi juga mau mendata dan memberikan mereka keterampilan – keterampilan yg dilakukan oleh dinas sosial agar mereka tidak kembali lagi kejalan. Berikut Pernyataan Beliau :

“Ya banyak dek kejadiannya, ada yang ketika kami razia dia pasrah, ya mungkin karena udah gak kuat lagi untuk lari, tapi gak banyak juga anak – anak , remaja yang masih muda pada menghindari kami dan lari kerumah – rumah warga dan mereka itu dilindungi oleh warga situ, kalau sudah kayak gitu biasanya ya kami lepas”.


(43)

penyakit masyarakat satu ini, padahal jelas sudah peraturannya untuk tidak melakukan kegiatan atau pekerjaan yang berkaitan dengan gelandangan, pengemis dan praktek tuna susila tersebut. Ibu Yuli Suhesti juga menambahkan bahwa masyarakat sekitar juga ikut terlibat dalam proses razia yang kami lakukan. Berikut pernyataan beliau :

“ Ya anggota banyak yang melapor sama saya, kalo masyarakat banyak yang menghalangin proses razia yang kami lakukan, dengan alasan kasihan mereka”.

Kesadaran dari masyarakat juga sangat penting dalam merealisasikan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini menjadi peraturan yang baik dan dapat berjalan. Ibu Yuli Suhesti menambahkan bahwa peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini juga dibuat bukan hanya untuk melarang kegiatan gelandangan dan pengemis, serta praktek tuna susila ini saja, melainkan untuk menjaga keindahan dan kenyamanan kota medan sehingga terbebas dari namanya kegiatan gepeng – gepeng tersebut. Berikut pernyataan beliau:

“ Saya berharap masyarakat juga bisa ikut bekerja sama dalam menegakkan peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini, supaya peraturan ini kedepannya bisa lebih baik, dan untuk pihak – pihak atau instansi yang terkait juga bisa lebih giat lagi bekerja sama dalam mencapai tujuan dari peraturan daerah ini”.

Ibu Yuli Suhesti sebagai wakil komandan regu juga mengharapkan agar seluruh pihak bisa bekerja sama untuk mengurangi angka gepeng – gepeng di kota medan ini, dan juga membantu gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.


(44)

5.1.3 Informan Tambahan1

a. Nama : Nur Fajirah

b. Umur : 40Tahun

c. Jeniskelamin :Perempuan

d. RiwayatPendidikan : SMP

e. Agama :Islam

f. Suku :Aceh

g. Alamat : Pondok Kelapa

Ibu Nur Fazrah adalah seorang Pengemis yang ada disekitaran simpang empat jalan gatot subroto di Kota Medan. IbuNur Fajirah memilikki dua orang anak yang tinggal di aceh bersama suaminya. Menurut ceritanya Ibu Nur Fajirah ditinggalkan oleh suami dan anaknya disana, akibatnya ia tidak memilikki uang dan memilih pergi ke kota Medan untuk mengemis.Ibu Nur Fazrah mengaku sering di razia dan ditangkap oleh satpoll pp yang datang pada saat melakukan penertiban. Namun, Ibu Nur Fazrah mengaku kurang mengetahui mengenai peraturan daerah no.6 tahun 2003. Berikut pernyataan beliau :

“Saya enggak tahu tu dek tentang perda No.6 tahun 2003 itu, tapi kalo tentang larangan gak boleh lagi minta – minta iya udah pernah dikasih tau”

Selanjutnya, Ibu Nur Fajirah mengatakan dalam sehariiabisa mendapatkan lebih dari 100 ribu kalau banyak yang memberi kepadanya. Untuk hal sosialisasi sendiri mengenai peraturan daerah No.6 tahun 2003 ini. Berikut pernyataan beliau:


(45)

“Dalam sehari saya bisa dapat 100rb, kalo untuk sosialiasi tentang peraturan itu saya enggak tahu, tapi yang jelas, kami dihimbau supaya untuk tidak mengemis lagi karena sudah dilarang”.

Walaupun sudah dilarang ibu Nur Fajirah mengatakan bahwa ia tidak memilikki usaha atau pekerjaan yang bisa dia kerjakan lagi selain mengemis, selain sulitnya mencari pekerjaan di usianya yang tidak muda lagi. Ibu Nur Fajirah juga menambahkan bahwa ia sebenarnya kurang setuju tentang penegakan peraturan daerah no.6 tahun 2003 yang melarang kegiatan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila ini. Berikut pernyataan beliau :

“Ibu sih kurang setuju tentang larangan mengemis ini, ibu makan darimana coba, ibu gak punya apa – apa. Kasian lah ibu dek”

Ibu Nur Fazrah mengatakan bahwa dulu ia bekerja di sebuah pabrik kayu di aceh. Namun karena masalah rumah tangga akhirnya ibu Nur Fajirah keluar dari pekerjaannya tersebut. Ibu Nur Fazrah juga sangat menyayangkan sikap pemerintah yang seakan lepas tangan untuk membantu dan menolong orang – orang susah seperti dirinya tersebut, dan hanya mementingkan kepentingannya saja. Berikut pernyataan beliau :

“Ibu sangat kecewa dengan pemerintah terutama untuk orang susah kayak kami – kami ini, kami merasa tidak dipedulikan dan dibiarkan saja, terutama untuk bapak / ibu satpol pp, mereka kasar kepada kami, kami kan juga butuh makan, kami gak ganggu orang.”


(46)

Ibu Nur Fazrah mengatakan selama ia mengemis disimpang tersebut, ia sering dirazia dan mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari pihak satpoll pp tersebut, memang benar mereka menjalankan tugas yang diperintahkan kepada mereka, tetapi mereka tidak melihat siapa yang mereka hadapi, seharusnya mereka juga bisa lebih baik kepada kami. Ibu Nur Fazrah juga menambahkan bahwa seharusnya razia dilakukan dengan baik tidak ada namanya kekerasan, dan ia juga berharap agar pihak – pihak yang terkait terutama dinas sosial dan tenaga kerja untuk lebih berperan aktif dalam memberikan solusi tidak hanya melarang saja. Berikut pernyataan Ibu Nur Fazrah :

“Ya berharap banyak agar pemerintah kota medan memberikan kami jalan keluar untuk kedepannya, kami juga tidak ingin seperti ini terus, tapi karena demi makan, kami harus melakukan kegiatan mengemis ini.”

Ibu Nur Fazrah mengungkapkan bahwa semua pelaksanaan peraturan daerah ini sebenarnya baik yaitu melarang segala kegiatan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila tersebut, walaupun caranya agak berbeda tujuannya baik yaitu untuk mendata mereka dan di satukan untuk diberikan pelatihan keterampilan – keterampilan agar ia dapat hidup layak dan mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali dengan baik ditengah masyarakat.

5.2 AnalisisData

Semua proses implementasi kebijakan publik merupakan tahapan yang penting dan harus dilalui demi mencapai hasil dari suatu kebijakan. Salah satunya adalah implementasi kebijakan publik yang merupakan pelaksanaan dari suatu


(47)

keluaran kebijakan (Peraturan Perundang-Undangan) oleh organisasi pelaksana kebijakan. Tujuan kebijakan tidak akan tercapai tanpa adanya tindakan implementasi. Implementasi kebijakan juga merupakan sebuah proses yang kompleks dan panjang. Pemahaman yang paling penting bagi peneliti kebijakan dari proses implementasi adalah untuk dapat mengindentifikasi variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah implementasi kebijakan. Maka, akan ditemukan fenomena-fenomena yang berhubungandenganimplementasi, pada gilirannya akan sangat membantu dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan proses implementasi kebijakan kedepannya.

Tachjan (2006: 26) mengemukakan bahwa tentang unsur – unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu :

1. Unsur pelaksana

2. Adanya program yang dilaksanakan serta 3. Target group atau kelompok sasaran

Unsur pelaksana adalah implementator kebijakan yang diterangkan oleh Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006: 28) sebagai berikut :

“Pelaksana kebijakan merupakan pihak – pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian”.

Kebijakan mengenai larangan dan pengemis di kota Medan telah ditetapkan semenjak tahun 2003 yaitu terdapat di dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemis di Kota Medan. Akan tetapi pada


(48)

realitanya Medan memiliki jumlah gelandangan terbesar dibandingkan dengan 33 kabupaten atau kota di sumatera utara. Peningkatan jumlah Gepeng dari tahun ketahunpun dapat dilihat pada lima tahun terakhir menjadi trend yang sangat pelik yang harus dihadapi oleh kota Medan. Harusnya kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai kelanjutan dalam implementasi nyata pengurangan jumlah gelandangan dan pengemistersebut.

Setiap kebijakan publik yang telah disusun, harus diimplementasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam pengimplementasian suatu kebijakan publik perlu diperhatikan beberapa unsur yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini, adapun unsur – unsur tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Unsur pelaksana

Peran penting sikap pelaksana dalam implementasi suatu kebijakan disampaikan oleh Hessel (2003:90) sebagai berikut: ”Jika para implementor memperhatikan terhadap suatu kebijakan khusus, maka dimungkinkan bagi implementor untuk melakukan sebagaimana yang dimaksudkan para pembuat keputusan. Namun ketika sikap atau perspektif implementor ini berbeda dari para pembuat keputusan, proses mengimplementasikan sebuah kebijakan menjadi secara pasti lebih sulit”. Pendapat Hessel di atas menunjukkan bahwa meskipun para pelaksana kebijakan memiliki kemampuan untuk melaksanakan sebuah kebijakan, namun ketika para implementor tidak setuju terhadap kebijakan tersebut, akan mengarah untuk tidak melakukan.Disposisi implementor adalah kecenderungan sikap maupun pemahaman yang dimiliki oleh implementor yang akan mempengaruhi pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Banyaknya kerancuan pada isi perda ini membuat keenggan implementor dalam melaksanakan


(49)

perda ini, karna tidak adanya pembaharuan dari perda yang sudah bisa dikatakan mulai tua, banyaknya kendala- kendala yang terjadi dilapangan juga menyurutkan hati implementor dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut. Seperti, kejelasan akan pemungutan denda, peraturan tentang tindak asusila.

Implementor perda no. 6 tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis dan seluruh mitra yang terkait sebagai unsur pelaksana yang baik, dalam menjalankan perda ini DINSOSNAKER Kota Medan bekerjasama dengan instansi lainnya seperti Satpol-PP sebagai penegak perda. Dan juga Polresta kota Medan, DINSOS SUMUT serta Polisi Militer. Tidak hanya bekerjasama dengan instansi pemerintah DINSOSNAKER Medan juga membina kemitraan dengan LSM dan panti non-pemerintah.maka dapat dikatakan dinasosnaker kota dapat dikatakan sebagai pelaksanayang baik dalam merealisasikan peraturan daerah no.6 tahun 2003 tersebut.

Namun tidak halnya dengan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila, sebagai pihak pelaksana, Dinas Sosial dan tenaga kerja serta pihak – pihak yang terlibat dalam pelaksana peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini dinilai belum memuaskan, dimana masih banyaknya keluhan – keluhan dari masyarakat sekitar bahwa pihak terkait Dinas Sosial dan Tenaga Kerja belum melakukan sosialisasi secara maksimal,serta eksekusi pelarangan dalam bentuk razia dinilai belum sempurna.

b. Adanya program yang dilaksanakan

Ada beberapa program dalam menjalankan kebijakan ini yang baru saja dibuat karena masih awal tahun anggaran namun belum berjalan, yaitu seperti razia penetiban, sosialisasi dan pelatihan bagi anak jalanan, yaitu pelatihan berupa


(50)

membuat sablon, keset, dll.Namun belum berjalan karena anggaran yang belum turun.kebijakan ini di sahkan oleh walikota medan yang ditanggungjawabi langsung oleh walikota medan, pelaksanaan kebijakan ini merupakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan melalui Bidang Pelayanan Sosial , yang dipimpin oleh kepala bidang dan didalamnya terdapat 3 seksi namun seksi yang terkait langsung dengan perda ini yaitu seksi rehabilitasi yang memiliki staf 3 orang. Kepala dinas selaku pengawas terlaksananya perda ini juga cukup aktif dan pro terhadap program program yang ada tidak hanya memonitoring kepala dinas juga terkadang ikut turun langsung kelapangan.

c. Target Group atau Kelompok Sasaran

Dalam impelementasi Peraturan Daerah no.6 Tahun 2003 ini sendiri jelas diterangkan bahwa yang menjadi kelompok sasaran dari peraturan ini adalah melarang segala kegiatan pergelandangan dan mengemis serta praktek tuna susila dan memberikan mereka keterampilan guna mencegah mereka kembali lagi kejalan dan mendapatkan pekerjaan yang layak serta mampu mengembalikan fungsi sosialnya dengan baik ditengah – tengah masyarakat.

5.2.1 Implementasi Peraturan Daerah No.6 Tahun 2003 Kota Medan tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila

Tujuan implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan adalah mewujudkan tercapainya kota medan menjadi kota bestari. Bahwa dengan semakin meningkatnya dan perkembangan jumlah gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila, yang melakukan kegiatan pengemisan di medan-medan jalan, traffic light, pelataran masjid-masjid dan jembatan-jembatan penyebrangan serta kegiatan tuna susila


(51)

ditempat-tempat umum, taman-taman, pinggiran sungai, bawah jembatan, hotel, losmen, dan tempat lainnya di kota medan.

Kegiatan yang dilakukan dengan berbagai cara, untuk menimbulkan belas kasihan orang lain, ini merupakan penyakit mental atau pemalas yang tidak sejalan dengan ajaran agama, sedangkan tuna susila merupakan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan keagamaan dan sangat membahayakan kehidupan generasi muda serta dapat menyebabkan penyebaran virus AIDS / HIV dan virus penyakit lainnya yang semakin meluas. Bahwa untuk maksud tersebut perlu menerbitkan satu ketentuan tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila di kota medan dan menetapkannya dalam satu PeraturanDaerah.

Unsur Pelaksana terlihat cukup baik yaitu terlihat dari kesiapan setiap pihak – pihak yang terlibat terutama Dinas Sosial dan tenaga Kera dalam merealisasikan penegakan peraturan daerah no.6 tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila. Dapat kita lihat pada tabel 5.1berikut :

TABEL 5.1 DATA HASIL PENERTIBAN GELANDANGAN, PENGEMIS, PSK DAN PASANGAN DILUAR NIKAH

TAHUN GELANDANGAN DAN

PENGEMIS

PSK DAN PASANGAN DILUAR NIKAH

2012 133 orang 70 orang

2013 124 orang 64 orang

2014 105 orang 56 orang

2015 88 orang 67 orang


(52)

Data hasil penertiban gelandangan, pengemis, PSK dan pasangan diluar nikahdinsosnaker medan tiap tahunnya mengalami penurunan sebab kendala kendala yang dihadapi pegawai seperti komunikasi, kebijakan dan sumber daya menjadi hambatan dan melemahkan kinerja dari pegawai, itu menjadi acuan bahwa belum terlaksana dengan baiknya kinerja dinas selaku implementor dalam kebijakan ini.

Dari hasil wawancara dengan gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila juga menunjukan bahwa kebijakanini juga kurang berjalan dengan baik.Terbukti dengan minimnya sosialisasi pemerintah kepada mereka secara langsung mengenai kebijakan tersebut terkait dengan tugas dan fungsi dari perda itu sendiri. Sehingga mereka kurang mengetahui tentang adanya kebijakan peraturan daerah no 6 tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis di kota medan. Kebijakan yang tidak pernah mendapat pembaharuan juga turut andil dalam melemahkan kebijakan ini dalam proses implementasinya.

Unsur adanya program yang dilaksanakan juga masih kurang minim dimana dapat kita lihat program pelatihan keterampilan – keterampilan 2 tahun belakangan ini sempat terhenti dikarenakan beberapa faktor. Oleh karena itu diharapkan tahun ini dapat kembali berjalan agar dapat dibina dengan efektif dan maksimal.Dan terakhir dari unsur target group atau kelompok sasaran, dinilai sudah cukup baik, dimana jelas siapa yang dimaksud dan apa yang dilarang dalam peraturan daerah no.6 tahun 2003 ini seperti gelandangan, pengemis serta praktek tuna susila yang melakukan kegiatannya di daerah Kota Medan.


(53)

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang didapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di bab ini merupakan hasil yang dicapai dari analisis data dalam penelitian tentang ImplementasiPeraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandang dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

6.1 Kesimpulan

Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945, yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 1 dikatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataanya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Tujuan kebijakan tidak akan tercapai tanpa adanya tindakan implementasi. Implementasi kebijakan juga merupakan sebuah proses yang kompleks dan panjang. Pemahaman yang paling penting bagi peneliti kebijakan dari proses implementasi adalah untuk dapat mengindentifikasi unsur unsurapa saja yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah implementasi kebijakan. Maka, akan ditemukan fenomena-fenomena yang berhubungandenganimplementasi

Perda ini diharapkan mampu mengakomodir perkembangan Kota Medan sehingga kota medan bisa menjadi kota bestari. Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan Secara


(54)

keseluruhan dapat terlihat bahwa komunikasi begitu mempunyai peran besar dalam keberlangsungan proses implementasi perda ini, jika komunikasi pada perda ini tidak berjalan dengan baik maka variabel variabel pendukung lainnya akan mengalami ketimpangan untuk dapat menjalanankan fungsinya. begitu juga dengan variabel sumber daya sangatlah memberi pengaruh besar terhadap variabel lainnya, karena dengan kurangnya sumber daya yang dibutuhkan oleh kebijakan maka akan melemahkan variabel lainnya, dan tentu variabel variabel lainnya bahkan tidak dapat berjalan dengan semestinya.

6.2 Saran

Adapun saran dari peneliti mengenai implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan adalah sebagai berikut :

1. Dengan dibuatnya Perda ini diharapkan mampu mengakomodir

perkembangan Kota Medan

2. Sebaiknya pemerintah atau pihak yang terkait di lapangan bisa berkomunikasi yang lebih baik lagi dalam sosialisasi ataupun dalam menyampaikan himbauan agar lebih dimengerti oleh masyarakat. Dengan komunikasi yang lebih baik diharapkan hubungan antara pelaksana kebijakan dengan masyarakat bisa terjalin dengan baik sehingga tujuan dari kebijakan tersebut dapat dicapai.

3. Sebaiknya pemerintah dapat meningkatkan kuantitas dari pelaksana kebijakan serta mampu memaksimalkan pemanfaatan fasilitas dan finansial agar tujuan dari perda tersebut dapat tercapai.


(55)

4. seyogyanya pemerintah dapat melengkapi fasilitas dan membangun panti guna kelancaran perda itusendiri

5. sebaiknya pemerintah melakukan revisi perda tersebut mengingat isi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan yang kurang rinci serta adanya poin poin yang isinya masih dipertanyakan

6. Sebaiknya kualitas Semangat, tanggung jawab dari implementator lebih ditingkatkan lagi sehingga semua stakeholder mampu memaksimalkan peran masing-masing dalam menyukseskan kebijakan tersebut.


(56)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

2.1.1 Pengertian Implementasi

Pengertian implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan penerapan.Implementasi diartikan sebagai sebuah pelaksanaan atau penerapan suatu program ataupun kebijakan yang telah dirancang atau didesain dan djalankan secara keseluruhan.Secara singkat, implementasi dapat diartikan sebagai penerapan, pelaksanaan, perwujudan dalam tindak nyata.Van Master dan Van Horn

dalam wahab (2002), merumuskan proses implementasi atau pelaksanaan sebagi berikut: “Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”. Pengertian implementasi dalam pengertian luas adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan. Dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan.

Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, kemudian telah tersusun dan dana telah siap untuk proses pelaksanaanya dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran atau tujuan kebijakan yang diinginkan.


(57)

11 Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, Misalnya perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyarakat dapat dianggap sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome” atau Dampak akhir kebijakan Dampak segara kebijakan Proses Pelaksanaan Kebijakan “policy impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan termasuk juga hasilhasil sampingan disamping “policy performance” yang diperoleh.

Subarsono (2008;89) mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu: a. Teori George C. Edward dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :

1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi.

2) Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat


(58)

12 menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980: 98) menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif .

4) Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi.

Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif.Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.Dalam konsep implementasi terdapat kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implmentasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrument.

Pemerintah dalam hal ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan pion penting dalam penyelengaraan pemerintahan.pelayanan dan pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep tentang masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang pertama mengenai


(59)

13 tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah pemerintah maka yang diatur adalah yang-diperintah dalam hal ini masyarakat.Berarti pemerintah memiliki hak untuk mengatur dan masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur.hal ini terkait dengan konsep implementasi kebijakan.

Implementasi sendiri menurut Budi Winarno (2002), yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompokkelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya, sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa, yaitu :

“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis seperti berikut ini :


(60)

14 Kebijakan

Dampak Akhir Kebijakan Proses

Pelaksanaan

Dampak Segera Kebijakan

Sumber : Bambang Sunggono (1994:139)

Dalam aturan peraturan daerah no 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis, Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Pemerintah daerah yang berwewenang dalam hal ini yaitu DPRD Kota Medan bagian Kesejahteraan Masyarakat, dan Dinas Sosial Kota Medan.

Penjelasan mengenai peraturan daerah no 6 tahun 2003 di kota Medan mengenai larangan gelandangan dan pengemis adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi masalah gelandangan pengemis dan keluarganya agar dapat hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasar bagi kemanusiaan.

Kesimpulanya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut telah dimuat dalam berbagai aspek antara lain :

1. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diambil dalam mencapai tujuan itu.

3. Adanya aturan-aturan yang harus di pegang dan prosedur yang harus di lalui. 4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.


(1)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR BAGAN ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BABIPENDAHULUAN ... 1

1.1 LatarBelakang ... 1

1.2 RumusanMasalah ... 7

1.3 Tujuan dan ManfaatPenelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1Implementasi ... 10

2.2Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan ... 16

2.3Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ... 17

2.4Gelandangan dan Pengemis ... 21

2.4.1 Defenisi Gelandangan... 21

2.4.2 Defenisi Pengemis ... 23

2.4.3 Defenisi Tuna Susila ... 23

2.5Kerangka Pemikiran ... 25

2.6Defenisi Konsep ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1Tipe Penelitian ... 29

3.2Lokasi Penelitian ... 29

3.3Informan Peneliian ... 30

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.5Teknik Analisis Data ... 31

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 33

4.1 Sejarah Kota Medan ... 33

4.2 Kondsi Geografis Kota Medan ... 34

4.3 Kondsi Demografis Kota Medan ... 36

4.4 Kondsi Ekonomi Kota Medan ... 38

4.5 Kondisi Sosial Kota Medan ... 41

4.6 Kondsi Kultural Kota Medan ... 42


(2)

vii

BAB VANALISISDATA ... 55

5.1 Pengantar ... 55

5.1.1Informan Kunci ... 56

5.1.2Informan Utama ... 65

5.1.3Informan Tambahan ... 69

5.2 Analisis Data ... 71

5.3 Implementasi Peaturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila ... 75

BABVIPENUTUP ... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 79


(3)

viii DAFTAR BAGAN

1. Bagan Alir Pikiran... 26 2. StrukturOrganisasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan ... 46 3. Standard Operation Procedure Perda No.6 Tahun 2003 ………57


(4)

ix DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Penduduk Menurut Kecamatan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013 ... 43 Tabel 4.2 Tabel Daftar Hadir Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan ... 47 Tabel 5.1 Tabel Hasil Penertiban Gelandangan, Pengemis, PSK dan Pasangan


(5)

x DAFTAR GAMBAR


(6)

xi DAFTAR LAMPIRAN

1. Berita Acara Seminar Proposal Penelitian

2. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3. Surat Rekomendasi Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan 4. Lampiran I Pedoman Wawancara Informan


Dokumen yang terkait

Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Kebijakan Tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Di Kota Medan Jangka Waktu 2015 (Studi Tentang Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003)

15 180 121

IMPLEMENTASI PERDA KOTA MEDAN NO. 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA DI KOTA MEDAN (Studi Kasus di Dinsosnaker Kota Medan).

0 3 26

Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)

0 0 13

Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)

0 0 1

Proses Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi pada Dinas Sosial Kota Medan)

2 2 39

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

1 3 12

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

0 0 2

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

0 1 9

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

0 1 1

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 Kota Medan Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis Serta Praktek Tuna Susila

1 1 1