Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suren (Toona surenii Merr)
A. Deskripsi Botani Suren
Suren (Toona sureni Merr) merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan
kayunya dapat digunakan untuk papan dan bahan bangunan perumahan, peti, veneer,
alat musik, kayu lapis, venir, dan mebel. Suren memiliki pohon berukuran sedang
sampai besar, tinggi total 40 m - 60 m dengan tinggi bebas cabang hingga 25 m.
Diameter batang mencapai 100 cm - 300 cm. Tanaman suren sering dimanfaatkan
sebagai pemecah angin (wind breaker), pohon peneduh dan sering ditanam di tepi
jalan. Bagian tanaman suren khususnya kulit kayu dan daunnya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan obat tradisional seperti tonik, obat diare, dan anti biotik (BBPBPTH,
2009).
Menurut Djam’an (2002) klasifikasi tanaman suren adalah sebagai berikut:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo: Sapindales
Famili: Meliaceae
Genus: Toona
Spesies: Toona sureni Merr.


Universitas Sumatera Utara

B. Tempat Tumbuh
Tanaman ini tumbuh pada daerah bertebing dengan ketinggian 600 - 2700 m
dpl dengan temperatur 22ºC. Suren tumbuh tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
besar di Indonesia, Nepal, India, Burma, China, Thailand, Malaysia sampai ke barat
Papua Nugini. Suren tumbuh dengan cepat (BBPBPTH, 2009).
C. Sifat Kayu Suren
Kayunya bernilai tinggi dan mudah digergaji serta memiliki sifat kayu yang
baik. Warna kayu teras merah coklat, muda bersemu ungu, gubal berwarna putih
kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, tekstur kayu kasar,
arah serat lurus atau agak berpadu, permukaan kayu agak licin dan mengkilap indah
dengan lingkaran tahun yang jelas sehingga menimbulkan ornamen yang indah. Pada
bidang radial dan tangensial tampak gambaran berupa pita-pita yang berwarna lebih
tua. Berat jenis 0.53 (0.42 – 0.65), penyusutan dari keadaan basah sampai kering
tanur 3.3% (radial) dan 4.1% (tangensial). Kayu suren memiliki kelas kuat IV dan
kelas awet IV/V, serta daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas IV,
sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas IV-V. Kayu mudah dibentuk
dan diampelas dengan baik serta dapat diserut, dibuat lubang persegi dan dibubut.

Kayu ini juga tergolong tahan lama di dalam air laut (APFORGEN, 2007).
Seiring laju degradasi hutan alam maka habitat tegakan pohon suren juga
mengalami penyusutan sehingga untuk menemukan pohon suren di hutan alam sudah
sangat sulit. Penyusutan potensi jenis suren pada umumnya telah memasuki fase yang
memprihatinkan apabila tidak diimbangi dengan upaya penyelamatan sumberdaya
genetiknya. Dengan mengingat kegunaan dari jenis kayu ini, sangat perlu untuk

Universitas Sumatera Utara

diselamatkan dari penyusutan karena sangat berpotensi secara luas khususnya di masa
mendatang. Suren memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu jenis tanaman
rehabilitasi lahan terdegradasi (Sofyan dan Islam, 2006).
2.2 Akasia (Acacia mangium Willd)
A. Deskripsi Botani Akasia
Pohon akasia pada umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m,
dengan batang bebas cabang lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total tinggi
pohon. Pohon akasia jarang mencapai diameter setinggi dada lebih dari 60 cm. Di
tempat tumbuh yang buruk, pohon akasia bisa menyerupai semak besar atau pohon
kecil dengan tinggi rata-rata antara 7 sampai 10 m. Batang pohonnya beralur
memanjang. Pohon yang masih muda umumnya berkulit mulus


dan berwarna

kehijauan; celah-celah pada kulit mulai terlihat pada umur 2–3 tahun. Pohon yang tua
biasanya berkulit kasar, keras, bercelah dekat pangkal, dan berwarna coklat sampai
coklat tua (Djam’an, 2002).
Pada awal perkecambahan, A. mangium mempunyai daun majemuk yang
serupa dengan Leucaena dan Albizia sp. Jenis lain dari sub famili mimosoideae. Daun
majemuk setelah beberapa minggu membentuk daun palsu yang disebut Phyllodia,
yang ditandai dengan melebarnya tangkai daun dan sumbu utama daun majemuk
menjadi rata. Daun umumnya berbentuk bulat telur sampai ellips, halus atau sedikit
bersisik, berwarna hijau tua. Bunga majemuk berbentuk simetris dengan banyak
stemen. Petal dan filamen berwarna putih sedangkan anter berwarna kuning. Biji
yang telah masak berkulit keras, warna hitam dengan panjang 7-8 mm dan lebar 3-5
mm ( Anhar, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Adapun klasifikasi akasia menurut Krisnawati et al. (2011a) adalah sebagai
berikut :

Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus: Acacia
Spesies: Acacia mangium Willd.
B. Penyebaran A. mangium
Jenis akasia tumbuh secara alami di hutan tropis lembab di Australia bagian
timur laut, Papua Nugini dan Kepulauan Maluku kawasan timur. Setelah berhasil
diintroduksikan ke Sabah, Malaysia, pada pertengahan tahun 1960-an, akasia banyak
diintroduksikan ke berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Papua Nugini,
Bangladesh, Cina, India, Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia,
jenis ini pertama kali diintroduksikan ke daerah lain selain Kepulauan Maluku pada
akhir tahun 1970-an sebagai jenis pohon untuk program reboisasi (Pinyopusarerk et
al., 1993).
C. Tempat Tumbuh A. mangium
A. mangium merupakan jenis tanaman pioner yang tidak memerlukan
persyaratan tumbuh yang tinggi. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah dengan pH rendah
yaitu di bawah 4.2, tanah miskin hara, padang alang-alang, lahan bekas tebangan,


Universitas Sumatera Utara

tanah-tanah tererosi dan tanah berbatu. A. mangium mampu tumbuh dan beradaptasi
dengan baik pada kondisi klimatis yang berbeda dari habitat alaminya, namun
keberhasilan dari pertumbuhannya kemungkinan dipengaruhi oleh ketinggian tempat,
kelembaban, curah hujan tinggi dan temperatur yang tetap sepanjang tahun. A.
mangium dapat tumbuh dengan bagus pada keadaan yang penuh cahaya. Jenis ini
dapat tumbuh pada ketinggian di atas permukaan laut sampai ketinggian 480 m.
Jumlah curah hujan tahunan di areal tumbuhnya akasia bervariasi dari 1000 mm
sampai lebih dari 4500 mm dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 1446 dan
2970 mm. Suhu minimum rata-rata berkisar 12–16oC dan suhu maksimum rata-rata
sekitar 31–34 oC (Krisnawati et al., 2011a).
A. mangium melakukan simbiosis dengan bakteri tanah dari genus Rhizobium.
Bakteri melakukan penetrasi pada permukaan akar muda dalam tanah kemudian akan
memperbanyak diri dengan membentuk bintil akar pada permukaan akar. Melalui
bintil-bintil akar, bakteri akan menyerap gas nitrogen dari udara pada tanah. A.
mangium yang tumbuh dengan normal memiliki bintil akar yang besar sehingga dapat
mencegah terjadinya kekurangan nitrogen, karena bakteri Rhizobium mampu
menyediakan kebutuhan nitrogen yang cukup (Anhar, 2006).

D. Kegunaan A. mangium
Penanaman A. mangium pada HTI umumnya adalah untuk menghasilkan
bahan baku pembuatan pulp dan kertas, selain itu untuk pembuatan furnitur dan
pembuatan alat-alat rumah tangga serta pembuatan papan partikel unggul. Dengan
kepadatan dan nilai kalori sebesar 4800 sampai 4900 kkal per kilogram kayu A.
akasia sangat bagus digunakan untuk pembuatan papan partikel yang cukup bagus.

Universitas Sumatera Utara

Dalam keadaan mendesak daun A. mangium bisa juga digunakan untuk makanan
ternak (Krisnawati et al., 2011a).
Kayu gubal akasia tipis dan berwarna terang dan kayu terasnya berwarna agak
coklat, keras, kuat, dan tahan lama pada ruangan yang berventilasi baik, meskipun
tidak tahan apabila kontak dengan tanah. Pohon akasia juga dapat digunakan sebagai
pohon penaung, ornamen, penyaring, pembatas dan penahan angin, serta dapat
ditanam pada sistem wanatani dan pengendali erosi. Jenis ini banyak dipilih oleh
petani untuk tujuan peningkatan kesuburan tanah ladang atau padang rumput.
Beberapa spesies akasia dari daerah humid atau sub humid digunakan untuk kegiatan
reforestasi, dan menghasilkan kayu untuk produksi pulp, kayu gergajian dan bahan bakar.
Di daerah beriklim kering beberapa spesies akasia berguna untuk program rehabilitasi

dan mempunyai potensi untuk digunakan dalam kegiatan agroforestri (Awang dan
Taylor, 1993).

2.3 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
A. Deskripsi Botani Sengon
Pohon sengon umumnya berukuran cukup besar dengan tinggi pohon total
mencapai 40 m dan tinggi bebas cabang mencapai 20 m. Diameter pohon dewasa
dapat mencapai 100 cm atau kadang-kadang lebih, dengan tajuk lebar mendatar.
Apabila tumbuh di tempat terbuka sengon cenderung memiliki kanopi yang
berbentuk seperti kubah atau payung. Pohon sengon pada umumnya tidak berbanir
meskipun di lapangan kadang dijumpai pohon dengan banir kecil. Permukaan kulit
batang berwarna putih, abu-abu atau kehijauan, halus, kadang-kadang sedikit beralur
dengan garis-garis lentisel memanjang (Atmosuseno, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan panjang sekitar 23–
30 cm. Anak daunnya kecil-kecil, banyak dan perpasangan, terdiri dari 15–20 pasang
pada setiap sumbu (tangkai), berbentuk lonjong (panjang 6–12 mm, lebar 3–5 mm)
dan pendek kearah ujung. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau pupus dan

tidak berbulu sedangkan permukaan daun bagian bawah lebih pucat dengan rambutrambut halus (Soerianegara dan Lemmens, 1993).
Klasifikasi tanaman sengon (Paraserianthes falcataria), menurut Krisnawati
dkk. (2011b) sebagai berikut:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo: Fabales
Famili: Mimosaceae
Genus: Paraserianthes
Spesies: Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
B. Penyebaran Sengon
Sengon merupakan tanaman asli Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan
Solomon dan Australia. Tegakan alam sengon di Indonesia ditemukan tersebar di
bagian timur (Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua) dan di perkebunan di Jawa. Saat
ini, sengon sudah banyak ditanam di negara-negara tropis termasuk Brunei, Kamboja,
Kamerun, Kepulauan Cook, Fiji, Polinesia Perancis, Jepang, Kiribati, Laos, Malaysia,
Kepulauan Marshall, Myanmar, Kaledonia Baru, Pulau Norfolk, Filipina, Samoa,
Thailand, Tonga, Amerika Serikat, Vanuatu dan Vietnam (Orwa et al., 2009).

Universitas Sumatera Utara


C. Tempat Tumbuh Sengon
Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering, tanah
lembap dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama drainasenya
cukup (Soerianegara dan Lemmens, 1993). Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh
di berbagai jenis tanah kecuali tanah grumusol. Pada tanah latosol, andosol, luvial
dan podzolik merah kuning, sengon tumbuh sangat cepat. Di tanah marginal, pupuk
mungkin diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan awal. Setelah itu, pertumbuhan
sengon akan lebih cepat karena kemampuan untuk mengikat nitrogen meningkat.
Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer, hutan hujan
dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput dan di sepanjang
pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya, sengon berasosiasi dengan jenis-jenis
seperti Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyrosspp., Pterocarpus indicus,
Terminalia spp. dan Toona sureni. Curah hujan tahunan berkisar antara 2000 dan
2700 mm, kadang-kadang sampai 4000 mm dengan periode musim kering lebih dari
4 bulan. Sengon mudah melakukan penguapan sehingga memerlukan iklim yang
basah; curah hujan untuk pertumbuhan optimalnya adalah 2000–3500 mm per tahun.
Curah hujan lebih rendah dari 2000 mm per tahun akan menghasilkan kondisi
pertumbuhan yang kering, sedangkan lebih dari 3500 mm per tahun akan
menciptakan kelembapan udara sangat tinggi, yang apabila dibarengi dengan

intensitas cahaya matahari yang sangat rendah mungkin akan merangsang
pertumbuhan jamur. Suhu optimal untuk pertumbuhan sengon adalah 22–29 °C
dengan suhu maksimum 30–34 °C dan suhu minimum 20–24 °C (Soerianegara dan
Lemmens 1993).

Universitas Sumatera Utara

D. Kegunaan Sengon
Kayu sengon pada umumnya ringan, lunak sampai agak lunak. Kayu terasnya
berwarna putih sampai coklat muda pucat atau kuning muda sampai coklat
kemerahan. Kayu sengon dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan
konstruksi ringan (misalnya langit-langit, panel, interior, perabotan dan kabinet),
bahan kemasan ringan (misalnya paket, kotak, kotak cerutu dan rokok, peti kayu, peti
teh dan pallet), korek api, sepatu kayu, alat musik, mainan dan sebagainya. Kayu
sengon juga dapat digunakan untuk bahan baku triplex dan kayu lapis, serta sangat
cocok untuk bahan papan partikel dan papan blok. Kayu sengon juga banyak
digunakan untuk bahan rayon dan pulp untuk membuat kertas dan mebel (Krisnawati
et al., 2011b).
Sebagai jenis pengikat nitrogen, sengon juga ditanam untuk tujuan reboisasi
dan penghijauan guna meningkatkan kesuburan tanah. Daun dan cabang yang jatuh

akan meningkatkan kandungan nitrogen, bahan organik dan mineral tanah (Orwa et
al., 2009). Sengon sering ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian seperti jagung,
ubi kayu dan buah-buahan. Sengon sering pula ditanam di pekarangan untuk
persediaan bahan bakar (arang) dan daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak ayam
dan kambing.
2.4 Fungi Mikoriza Arbuskula
A. Pengertian Mikoriza
Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (fungi) dan rhiza
(akar). Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi
dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan,

Universitas Sumatera Utara

fungi memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang,
sebaliknya fungi memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu
tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh
dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar
yakni ektomikoriza dan endomikoriza (FMA) (Sieverding, 1991).
Fungi mikoriza arbuskula dapat dibedakan dari endomikoriza dengan
memperhatikan karateristik berikut ini: (a) sistem perakaran yang kena infeksi tidak
membesar (b) funginya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata pada
permukaan akar (c) hifa menyerang ke dalam sel jaringan korteks (d) dan pada
umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut dengan arbuscules
(arbuskula) dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut dengan vesicles
(vesikula). Dibandingkan dengan fungi ektomikoriza yang tingkat asosiasinya lebih
spesifik dan hanya terbatas pada jenis-jenis pohon hutan potensial seperti Pinus,
Eucalyptus, Gnetum gnemon dan kelompok Dipterocarpus, endomikoriza tingkat
asosiasi FMA nampaknya lebih luas. Tipe fungi ini mampu berasosiasi dengan jenisjenis pohon hutan potensial yang popular dipakai untuk HTI dan reboisasi lainya
seperti (Paraserianthes falcataria, Acacia akasia, Switenia macrophylla, Pterocarpus
sp, Tectona grandis, Toona surenii, dll) (Setiadi, 2001).
Fungi mikoriza arbuskula adalah salah satu tipe fungi mikoriza dan termasuk
ke dalam golongan endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula termasuk ke dalam kelas
Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu
Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae
mempunyai 2 genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora. Giomaceae mempunyai 4

Universitas Sumatera Utara

famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus, famili Acaulosporaceae dengan
genus Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus,
dan Archaeoporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM, 2004).
B. Peranan Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, K,
Fe dan Mn untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa
pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan akar terutama di daerah
yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan kurang air. Akar tanaman
bermikoriza ternyata meningkatkan penyerapan seng dan sulfur dari dalam tanah
lebih cepat daripada tanaman yang tidak bermikoriza (Abbot dan Robson, 1991).
Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin hara
atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peran fungi ini tidak
begitu nyata (Setiadi, 2001).
Banyak penelitian melaporkan bahwa tanaman bermikoriza lebih tahan
terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Menurut
Musfal (2008), hubungan FMA dengan tanaman inangnya adalah saling
menguntungkan baik bagi tanaman pangan, pertanian, kehutanan maupun tanaman
penghijauan. Mekanisme translokasi dan penyerapan langsung air melalui jaringan
hifa sama dengan cara penyerapan nutrisi. Kemungkinan pengaruh kolonisasi
mikoriza pada tanaman tahan kekeringan, terkait dengan penyerapan nutrisi. Pada
tanah kering, ketersedian nutrisi menjadi berkurang karena adanya peningkatan
proses difusi (Smith dan Read, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Kelebihan yang dimiliki oleh FMA ini adalah kemampuannya dalam
meningkatkan penyerapan unsur hara makro terutama fosfat dan beberapa unsur
mikro seperti Cu, Zn, dan Bo. Oleh sebab itu, maka penggunaan FMA ini dapat
dijadikan sebagai alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk buatan
terutama fosfat. Untuk membantu pertumbuhan tanaman reboisasi pada lahan-lahan
yang rusak, penggunaan tipe fungi ini dianggap merupakan suatu cara yang paling
efisien karena kemampuannya meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa fungi ini juga mampu mengurangi serangan
patogen tular tanah dan dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah
yang tercemar logam berat, sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi (Riyanto, 2009).
Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur dalam bentuk mikoriza akan
memperbesar kemampuan tanaman untuk mendapatkan unsur hara pada tanah yang
miskin hara. Penelitian rumah kasa yang dilakukan Rasyid (2011) menunjukkan
aplikasi FMA dan asam humik berpengaruh terhadap pertumbuhan Suren (Toona
sureni merr) pada media tumbuh tanah bekas tambang emas. Hal ini dikarenakan
peran FMA dan asam humik dalam meningkatkan dan memperbaiki kemampuan akar
dan tanaman, hal ini sesuai dengan pernyataan Setiadi (2001) bahwa FMA selain
mampu menyerap air, FMA juga mampu memperbaiki kemampuan akar dalam
menyerap dan mencari air dan mineral, dengan meningkatnya kemampuan akar,
maka sangat memungkinkan semai dapat tumbuh pada lahan marginal terutama lahan
bekas tambang.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian Nusantara (2002) menunjukkan inokulasi FMA meningkatkan
kadar P jaringan semai sengon. Hal ini disebabkan hifa eksternal mikoriza tersebut
membantu melarutkan bentuk-bentuk P tidak tersedia dalam tanah dan juga
melindungi tudung akar dari pelukan ion-ion logam misalnya Al yang banyak
dijumpai pada tanah Ultisol.
Penelitian Safriyanto (2004) menunjukkan bakteri yang diisolasikan dari
tanah perakaran sengon bermikoriza dan tidak bermikoriza untuk pertumbuhan semai
A. mangium terlihat bakteri rhizosfer sengon secara konstan meningkatkan
pertumbuhan tinggi, diameter dan persentase infeksi akar untuk semai A. mangium
serta inokulasi FMA terlihat dapat meningkatkan pertumbuhan semai A. mangium
tetapi untuk interaksi FMA dan bakteri rhizosfer tidak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan pertumbuhan A. mangium.
Menurut Abbot dan Robson (1991) dalam Irwanto (2006) peran FMA
sebetulnya secara tidak langsung meningkatkan ketahanan terhadap kadar air yang
ekstrim. Fungi mikoriza dapat mempengaruhi kadar air tanaman inang. Ada beberapa
dugaan tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan, antara lain :
1. Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun
sehingga transpor air ke akar meningkat.
2. Peningkatan status P tanaman sehingga daya tahan tanaman terhadap
kekeringan meningkat. Tanaman yang mengalami kahat P cenderung peka
terhadap kekeringan.

Universitas Sumatera Utara

3. Pertumbuhan yang lebih baik serta ditunjang adanya hifa eksternal fungi yang
dapat menjangkau air jauh ke dalam tanah sehingga tanaman dapat bertahan
pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan
4. Pengaruh tidak langsung karena adanya hifa eksternal yang menyebabkan
FMA efektif dalam mengagregasi butir tanah sehingga kemampuan tanah
menyimpan air meningkat.
2.5 Tanah Ultisol
Konsepsi pokok dari Ultisol (ultimus : terakhir) adalah tanah-tanah berwarna
merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut sehingga
merupakan tanah yang berpenampang dalam sampai sangat dalam (> 2 m),
menunjukkan adanya kenaikan kandungan liat dengan bertambahnya kedalaman yaitu
terbentuknya horizon bawah akumulasi liat. Tanah Ultisol mempunyai tingkat
perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam,
kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan
kejenuhan basa rendah. Tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin
kandungan bahan organik. Tanah ini miskin kandungan hara terutama P dan kationkation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar
kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993).
Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH
3.10−5), kecuali tanah ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral
hingga agak masam (pH 6.80−6. 50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari
granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2.90−7. 50
cmol/kg, 6.11−13.68 cmol/kg, dan 6.10−6.80 cmol/kg. Hasil penelitian menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping
mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi. Di Indonesia, Ultisol umumnya belum
tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk
perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani
kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan
baik (Prasetyo et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Aplikasi Penggunaan Beberapa Aktivator terhadap Pertumbuhan Sengon (Paraserainthes falcataria), Akasia (Acacia mangium), dan Suren (Toona sureni)

2 46 64

Respon Pertumbuhan Bibit Beberapa Jenis Akasia (Acacia Spp) Terhadap Fungi Mikoriza Arbuskula.

3 61 71

Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Asam Humik Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona serene Merr) Pada Tanah Bekas Tambang Emas

1 41 53

Pengaruh Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Bakteri Rhizosfer Paraserianthes falcataria terhadap Pertumbuhan Semai Acacia mangium Wild

0 16 63

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 6 86

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 14

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 2

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 3

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 4

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 16