Kajian Simbol Pada Arsitektur Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga Kabupaten Karo

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simbol
Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo
(menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana
atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem
epistimologi

dan

keyakinan

yang

dianut

(Sukamto,

2001).

Dalam


perkembangannya menurut semiotika memiliki tiga jenis yaitu:
1. Jenis Semiotika Konotatif yaitu makna tanda-tanda konotatif yang
diterapkan pada bidang kesusasteraan dan arsitektur.
2. Jenis Semiotika Ekspansif yaitu pengembangan dari semiotika konotatif.
Jenis ini mengambil makna sepenuhnya oleh pengertian yang diberikan
seperti telah diambil alih oleh peran filosofi.
3. Jenis Semiotika Komunikatif yaitu digunakan oleh orang yang
mempelajari tanda sebagai bagian proses komunikasi berupa tanda yang
digunakan oleh pengirim dan diterima oleh penerima dengan maksud yang
sama. Adapun maksud yang terima secara denotatif (makna yang langsung
dari suatu tanda yang telah disepakati bersama dan semua orang
mengetahuinya dengan arti yang sama) dan konotatif (maksud kedua atau
yang tersirat selain dari dari denotatif ).
Pembentukan suatu tanda yaitu akibat hubungan yang kuat antara
"signifier" (pemberi tanda/semainon) dan signified (maksud dari tanda tersebut)
(Havet, 1978). Berdasarkan dasarnya terdapat jenis tanda (Zoest, 1978) yaitu:

4
Universitas Sumatera Utara


5

1. Legisign yaitu berasal dari kata lex (hukum). Legisign merupakan suatu
tanda karena suatu keberaturan tertentu seperti sistem stuktur bangunan.
2. Sinsign yaitu berasal dari kata sin yang mengadaptasi dari kata singular
(tunggal). Sinsign meruapakan tanda yang berdasarkan atas kejadian,
bentuk yang asli seperti bangunan tradisional yang memiliki keunikan dan
keaslian.
3. Qualisign yaitu berasal dari kata quality atau kwalitas ataupun sifat.
Qualisign yaitu tanda yang didasari oleh sifatnya.
Beberapa jenis tanda lainnya (Charles, 1977) yaitu :


Ikon yaitu tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya atau tanda yang
menggunakan kesamaan ciri-ciri benda tersebut. Sifat-sifat ikon yaitu
sesuatu yang pasti, memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu,
berhubungan dengan kenyataan dan mengikuti dengan apa yang diwakili.




Indeks yaitu berkaitan terhadap sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya
yang memiliki sifat tergantug pada keberadaan bendanya. Misalnya gula
dan semut, dimana semut akan datang jika ada gula maka semut
merupakan indeks. Indeks yang berperan sebagai tanda akan kehilangan
cirinya jika bendanya disingkirkan tetapi masih akan mempunyai arti.



Simbol atau lambang yaitu tanda dimana hubungan antara tanda dengan
denotum (penanda) ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum
atau kesepakatan bersama. Simbol dapat menggambarkan suatu ide
abstrak dimana tidak ada kemiripan antara bentuk tanda dan arti. Makna
simbol akan menghilang jika tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang

Universitas Sumatera Utara

6

latar belakangnya berbeda. Simbol adalah tidak pernah benar-benar

menghasilkan makna baru dalam setiap konteks yang berbeda. Hal ini
bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah
antara penanda dan petanda seperti simbol keadilan yang berupa sebuah
timbangan tidak dapat digantikan oleh identitas lainnya seperti kendaraan
atau kereta (Berger, 2000).
Berdasarkan teori symbol, simbol dibagi menjadi dua, yaitu (Langer,
1957):
1. Simbol diskursif, ialah bentuk yang digunakan secara literal dimana unitunitnya bermakna berdasarkan konvensi (aturan yang disepakati bersama).
Setiap unit memiliki maknanya sendiri seperti kata dalam serangkaian
kalimat. Symbol diskursif memiliki ciri-ciri logika, parsial, gramatika,
mengandung pesan, dan denotatif.


Logika
Menurut KBBI, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Karya

arsitektural yang dapat diterima oleh akal pikiran dan telah disepakati
bersama (konvensi)



Parsial
Menurut KBBI adalah bagian dari keseluruhan. Karya arsitektur terdiri

dari elemen-elemen yang dipersatukan sehingga memiliki makna yang
utuh. Elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki makna tersendiri
secara parsial.


Gramatika / tatanan

Universitas Sumatera Utara

7

Menggabungkan elemen-elemen menjadi karya arsitektur memiliki tatanan
yang telah disepakati. Seperti dalam penyusunan kata menjadi serangkaian
kalimat.


Mengandung pesan

Suatu karya arsitektur yang tersusun dari elemen-elemen dan ditata

menurut tatanan yang ada akan memberikan pesan khusus bagi
penggunanya. Apabila ada elemen yang dihilangkan, pesan tersebut akan
berubah dari sebelumnya.


Tersurat / denotatif
Makna dari elemen-elemen arsitektur digambarkan secara tersurat dan

dapat dilihat secara inderawi oleh pengguna.
2. Symbol presentasional, tidak terdiri dari unit-unit yang memiliki arti tetap
untuk digabung berdasarkan aturan tertentu dan juga tidak dapat diuraikan.
Maknanya ada didalam bentuk secara keseluruhan. Symbol presentasional
terkait dengan rasa (sense), holistic, gestalt, kesan, dan konotatif.


Sense (rasa)
Setiap karya arsitektur akan menghadirkan sense berbeda-beda. Sense


tersebut diakibatkan adanya gabungan elemen arsitektur yang saling
berkaitan.


Holistic
Penekanan terhadap pentingnya keseluruhan dan saling keterkaitan

dari bagian-bagiannya dan tidak bisa terpisahkan.


Gestalt

Universitas Sumatera Utara

8

Berarti kesatuan yang utuh dan terpadu.


Kesan

Menurut KBBI adalah sesuatu yang terasa (terpikir) sesudah melihat

(mendengar). Dalam arsitektur, kesan pengguna terhadap karya arsitektur
sangat penting. Karena kesan tersebut yang akan terus melekat pada
pikiran manusia.


Konotatif
Menurut KBBI adalah makna yang ditambahkan pada makna denotasi.

Makna konotatif akan didapatkan oleh pengguna setelah dilakukan kajian
terhadap karya arsitektur secara keseluruhan.
Beberapa fungsi simbol yaitu (Raho, 2007) :
1. Simbol membantu manusia untuk berhubungan dengan bidang material
dan sosial dengan memperbolehkan mereka memberi nama, membuat
kategori, dan mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja.
Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting.
2. Simbol dapat menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.
3. Simbol dapat menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir.
Dalam hal ini, berpikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan

diri sendiri.
4. Simbol dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mecari solusi
persoalan

manusia.

Sedangkan

manusia

bisa

berpikir

dengan

menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam
melakukan

sesuatu.


Universitas Sumatera Utara

9

5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia berpikir melampaui
pemahaman yang biasanya dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka
sendiri.

Dengan

menggunakan

simbol-simbol

manusia

bisa

membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau akan datang.

Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan
pandangan orang lain.
6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataankenyataan metafisis seperti surga dan neraka.
7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh
lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam
mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.
2.2 Pengertian Rumah
Arsitektur adalah lingkungan fisik. Arsitektur adalah pewadahan
aktifitas/kegiatan manusia. Di dalam lingkungan fisik tersebut terdapat
"lingkungan fisik terkecil" dalam aktifitas manusia, yaitu rumah tinggal. Dalam
arsitektur, merancang rumah tinggal mempunyai keunikan tersendiri. Rumah
merupakan produk arsitektur yang paling dasar dan lengkap. Rumah tinggal
mewakili pelaku aktifitas di dalamnya, yaitu manusia yang beraktifitas di
dalamnya (Setiyoko, 2007). Dimana arsitektur berkaitan dengan lingkungan
buatan sebuah lingkungan tempat tinggal yang diciptakan untuk melindungi
dirinya dari pengaruh alam secara global dan dalam kenyataan sebenarnya berupa
gedung

dan

lingkungan

fisik

(alam)

di

sekitarnya

(Ronald,

2005).

Universitas Sumatera Utara

10

Rumah tinggal berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat bersosialisasi,
tempat berlindung, dan tempat menciptakan rasa kekeluargaan antara anggota
keluarga (Mukono,2000). Fungsi rumah tinggal lainnya (Turner, 1976) yaitu:
a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang ditampilkan
pada hunian atau perlindungan yang diberikan oleh hunian tempat individu
melakukan aktifitasnya. Kebutuhan akan rumah tinggal dimaksudkan agar
penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim dan
lingkungan setempat.
b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk
mengembangkan kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi. Kebutuhan rumah
ditinjau dari pemenuhan kebutuhan sosial budaya dimana dalam kehidupan,
bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat sangat dibutuhkan dan
kemudahan menuju tempat kerja untuk mendapatkan sumber penghasilan.
c. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya
keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan
atas lingkungan rumah tinggal serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah
dan lahan.
Rumah yang dikategorikan sehat yaitu tempat berlindung dan beristirahat
serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang dapat menumbuhkan kehidupan
sehat secara fisik, mental, dan sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat
bekerja secara produktif (Keman, 2005). Setiap pemilik rumah atau yang
dikuasakannya wajib memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan
fungsinya sebagai tempat tinggal atau hunian dan mengelola serta memelihara

Universitas Sumatera Utara

11

rumah sebagaimana mestinya (Undang-Undang Republik Indonesia No.4
Tahun 1992 dengan judul Perumahan dan Permukiman).
2.3 Rumah Tradisional
Tradisional adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu
berpegang pada norma dan adat yang ada secara turun temurun. Tradisional
berasal dari kata “tradisi” artinya adat kebiasaan turun temurun yang masih
dijalankan oleh kelompok masyarakat (Suharjanto, 2011). Tradisionalism adalah
suatu paham yang berdasarkan pada tradisi (Poerwadarminta. 1976)
Rumah tradisional adalah rumah dari beberapa generasi tidak mengalami
perkembangan, maupun perubahan (Hidayati, 1993). Dalam satu budaya tertentu,
di lingkungan tertentu pula, terdapat bermacam-macam perilaku masyarakat, tidak
selalu memiliki kesamaan perilaku dari anggota budaya tertentu. Norma budaya
diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi.
Kesetiaan pada adat kebiasaan ini bergantung pada persepsi seseorang (Marcella,
2004).
Rumah tradisional secara umum memiliki kesamaan yang khas, yaitu
pondasi rumah panggung yang merupakan pondasi umpak yang berada di
permukaan tanah dan di atasnya berdiri struktur rangka kayu dengan
menggunakan 2 sistem. Sistem pertama menggunakan konstruksi bertiang dengan
balok-balok pengikat, sistem hubungan tiang ke balok menggunakan pasak dan
pen. Sistem kedua menggunakan konstruksi balok bulat horizontal sebagai
penyangga badan rumah. Aspek-aspek tersebut adalah landasan untuk

Universitas Sumatera Utara

12

menentukan corak modernisasi yang akan mewarnai arsitektur Indonesia
selanjutnya (Soeroto, 2003).
2.4 Rumah Tradisional Karo
Perkembangan

kebudayaan

berkaitan

dengan

sejarah

kebangsaan

sedangkan perkembangan arsitektur berhubungan dengan sejarah kebudayaan
suatu bangsa. Masuknya suatu peradaban baru mustahil dapat menggoyahkan
kebudayaan yang sedemikian utuh. Teknologi dan tata nilai berhasil diadaptasi ke
dalam bentuk bangunan tradisional. Proses pembaharuan berlangsung tanpa
merusak nilai-nilai yang menjiwai wujud arsitekturnya, dan arsitektur tradisional
mencapai puncak keindahannya sebagai gambaran kebesaran kebudayaan suatu
bangsa (Soeroto, 2003). Dengan mengetahui dan memahami arsitektur tradisional
dan mengetahui latar belakang budayanya, maka nilai-nilai tradisi akan terus
hidup dan berkembang sebagai bagian kebudayaan bangsa. Pemahaman tradisi
dan budaya tersebut akan mengembalikan jati diri dan memberi warna pada
bangunan-bangunan yang bercirikan kepribadian Indonesia.
Kehidupan yang terus berjalan dan kebudayaan pun akan berkembang
seiring jaman. Kebudayaan harus menciptakan bentuk arsitekturnya yang lahir
dari keinginan rohani. Dari bentuk yang jujur, wajar, sederhana dan memancarkan
kebenaran niscaya terwujud keindahan sejati (Soeroto, 2003) yaitu dengan
membahas dan mempelajari kembali nilai-nilai luhur kebudayaan dan juga
kearifan arsitekturnya.
Secara umum rumah tradisional Karo mempunyai bentuk empat persegi
panjang dengan dua buah pintu (ture) sebagai pintu utama yaitu pintu hulu (Ture

Universitas Sumatera Utara

13

Julu) dan pintu hilir (Ture Jahe) sebagai pintu utama. Bagian-bagian
atapnya berbentuk paduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segitiga
yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe). Bagian dinding yang
juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dapur-dapur yang terletak di atas
beberapa tiang. Terdapat beberapa jenis bangunan tradisional Karo yaitu:
1. Si Waluh Jabu, yaitu tempat tinggal raja yang memiliki banyak ornamen
dan makna. Delapan rumah atau makna sebenarnya berarti delapan
keluarga dalam satu kekerabatan. Rumah Si Waluh Jabu adalah nama lain
dari Gerga atau Belang Ayo.

Gambar 2.1 Si Waluh Jabu
Sumber: id.pinterest.com

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.2 Denah rumah Siwaluh Jabu
Sumber : Buku Arti dan Fungsi Tanah (2015)

Nama kedudukan dan fungsi setiap jabu adalah (Antonius, 2015):


Jabu nomor 1 dinamakan jabu bena kayu, yaitu sebagai tempat
kedudukan keluaga bangsa taneh. Derajatnya sebagai pemimpin
merangkap anggota jabu-jabu. Dialah yang berhak tanah rumah
siwaluh jabu.



Jabu nomor 2 dinamakan jabu ujung kayu, yaitu sebagai tempat
kedudukan anak beru dari jabu benah kayu. Penghuni jabu ini
bertindak mewakili penghuni jabu bena kayu untuk menyampaikan
perintah-perintah atau nasihat-nasihat pada semua penghuni atau
anggota

rumah

siwaluh

jabu.

Universitas Sumatera Utara

15



Jabu nomor 3 dinamakan jabu leper bena kayu, yaitu sebagai tempat
kedudukan pihak anak, saudara penghuni jabu benah kayu. Penghuni
jabu tergolong bangsa taneh. Menurut fungsi bahwa jabu ini
dinamakan jabu sungkun barita, karena bertugas meneliti dan
menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.



Jabu nomor 4 disebut jabu leper ujung kayu, yaitu sebagai tempat
kedudukan pihak kalimbubu juga jabu simangan minem. Kedudukan
penghuni jabu sangat dihormati karena statusnya sebagai kalimbubu.



Jabu nomor 5 disebut jabu sedapurka bena kayu yaitu sebagai tempat
kedudukan anak beru menteri dari jabu benah kayu. Sesuai dengan
fungsinya, jabu ini dinamakan juga jabu peninggel-ninggel yang
artinya mendengarkan. Fungsi jabu yaitu mendengarkan segala
pembicaraan dan keputusan di dalam musyawarah anggota rumah adat.



Jabu nomor 6 dinamakan jabu sedapurka ujung kayu, yaitu sebagai
tempat kedudukan anak, saudara dari penghuni jabu kalimbubu bena
kayu. Jabu ini disebut juga jabu ariteneng yaitu yang dianggap sebagai
pemberi ketenangan, ketentraman bagi seluruh penghuni jabu.



Jabu nomor 7 disebut jabu sedapurka leper bena kayu yaitu sebagai
tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini dinamakan jabu bicara
guru yang berkewajiban mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan.



Jabu nomor 8 disebut jabu sedapurka leper ujung kayu yaitu disebut
sebagai tempat kedudukan anak, saudara penghuni jabu ujung kayu.

Universitas Sumatera Utara

16



Jabu ini disebut juga jabu singkapur belo sesuai dengan kedudukannya
yang bertugas menyediakan, menyuguhkan sirih kepada seseorang
pendatang dan pembantu penghuni jabu bena kayu menjamu tamu.

2. Sepulu Jabu, yaitu satu rumah yang terdiri dari 10 keluarga dalam satu
kekerabatan dan memiliki ukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu
3. Sepulu Dua Jabu, yaitu rumah yang terdapat 12 keluarga dalam satu
kekerabatan yang tidak memiliki kamar seperti Rumah Si Waluh Jabu dan
Sepuluh Jabu.

Gambar 2.3 Sepulu Dua Jabu
Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland

4. Sepulu Enem Jabu, yaitu rumah tertinggi di Indonesia. Dihuni oleh 16
keluarga dalam satu kekerabatan dan merupakan rumah terbesar di budaya
Karo

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 2.4 Sepulu Enem Jabu
Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland

5. Si Enem Jabu, yaitu rumah yang berukuran lebih kecil dari Si Waluh Jabu
dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan
6. Si Empat Jabu, yaitu rumah yang berukuran palig kecil dan dihuni oleh 4
keluarga dalam satu kekerabatan.
7. Jambur, yaitu suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan yang memiliki
bentuk rumah tradisional Karo dengan atap ijuk merupakan tempat
pelaksanaan acara-acara adat dan juga kegiatan masyarakat lainnya.
Jambur juga digunakan sebagai tempat beristirahat anak muda. Para
pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung Simpang Empata.
Para pemuda tidak pantas tidur dengan orangtuanya dalam satu kelambu
yang disekat-sekat dan sempit.
8. Griten (Geriten), yaitu bangunan sebagai tempat menyimpan tengkorak
keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk
panggung, yang ditopang oleh tiang penyangga bangunan.
9. Sapo Page dan Lesung yaitu lumbung padi yang berbentuk seperti rumah
tradisional Karo dan berada pada halaman depan rumah. Terdiri dari dua

Universitas Sumatera Utara

18

tingkat dan ditopang oleh tiang dan lantai bawah tidak memiliki dinding.
Ruang ini juga digunakan sebagai tempat duduk-duduk, beristirahat dan
sebagai ruang tamu. Pada bagian atas digunakan sebagai menyimpan padi.

Gambar 2.5 Sapo Page
Sumber: pusakaKaro.wordpress.com

10. Keben yaitu tempat untuk menyimpan beras yang merupakan bagian
terpenting dari budaya Karo karena beras merupakan tingkat status yang
menunjukkan kekayaan seseorang.

Gambar 2.6 Keben
Sumber: amstrophel13architect.files.wordpress.com

Universitas Sumatera Utara

19

2.5 Masyarakat Karo
Suku Karo dikenal diperkirakan pada tahun 1250. Pada mulanya suku ini
bernama suku Haru yang kemudian disebut Haro dan akhirnya dinamai suku Karo
(Putro, 1951). Haru adalah kerajaan yang cukup kuat dan memiliki wilayah yang
sangat luas, mulai dari Siak (Riau) hingga ke sungai Wampu di Langkat. Raja
kerajaan Haru sudah berganti secara turun-temurun karena kerajaan yang sudah
cukup lama bertahan, dan pada tahun 1539 kerajaan Haru kalah akibat serangan
tentara Aceh yang memiliki senjata yang kuat. Setelah menerima serangan, rakyat
pergi menyelamatkan diri hingga ke Singkel, Pak-pak/Dairi, Aceh(Gayo Alas),
Asahan, Simalungun dan dataran tinggi Karo (Karo Gugung), daerah Sipi-sipis
dan Tebing Tinggi (Wahid, 2013).
Pada awalnya terdapat tiga kelompok kekerabatan (marga), yakni Ginting,
Peranginangin dan Tarigan, kemudian bertambah menjadi marga Karo-Karo dan
Sembiring, tergambar pada bentuk pemerintahan lokal yaitu: Kerajaan Sinembah
yang rajanya berasal dari keturunan Sembiring Meliala, Kerajaan Suka dari
keturunan Ginting Suka, dan Kerajaan Lingga dari keturunan Sinulingga. Pada
jaman kolonial Belanda ditambah lagi dengan kerajaan Kuta Buluh yang rajanya
berasal dari keturunan Peranginangin (Wahid, 2013)
Di dalam wilayah suku bangsa Karo terdapat beberapa bagian daerah yaitu
(Putro, 1981):
1. Daerah Karo Gugung yaitu Kabupaten Karo. Daerah Karo Gugung terbagi
lagi yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-Gunung dan Taneh
Urung

Melas

Universitas Sumatera Utara

20

2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan
Cingkes tahun 1946
3. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah yang berada
disepanjang sungai Lau Renun
4. Daerah Karo Jahe yaitu derah Hulu
5. Daerah Karo Binge yaitu Karo Salapian, Karo Buah Orok yang sekarang
disebut dengan Karo Langkat
Orang yang mendirikan kampung (kuta) pasti memiliki marga. Misalnya
kampung yang didirikan oleh marga Karo-Karo, maka kampung disebut Panteken
(yang mendirikan) marga Karo-Karo. Maka marga Karo-Karo sebagai marga
(anak) tanah. Dan jika ada marga lain yang datang untuk tinggal di kampung
tersebut akan menjadi satu keluarga dan memiliki kedudukan sebagai kalimbubu
(pihak keluarga perempuan yang dinikahi) atau anak beru (keluarga laki-laki yang
menikahi anak perempuan sebuah keluarga).
2.6 Pola Perkampungan Masyarakat Karo
Perkampungan Karo pada umumnya mempunyai pola mengelompok dan
pengelompokannya

berada

pada

satu

bidang

tanah

tertentu

tetapi

pengelompokkannya dibagi menjadi beberapa sektor atau Kesain (halaman
kampung yang diketuai oleh seorang penghulu) (Sitanggang, 1991). Pola
perkampungan Karo pada umumnya mengelompok atau berbaris mengikuti alur
sungai sehingga perletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu
utama atau depan menghadap ke hulu sungai sedangkan pintu belakang
menghadap ke hilir sungai. Namun, pada saat tertentu dapat juga mengikuti arah

Universitas Sumatera Utara

21

Utara-Selatan, dimana pintu utama diletakkan searah dengan aliran sungai atau
dibagian selatan, dengan demikian panjang bangunan diletakkan pada arah utara
selatan dan lebarnya pada arah timur dan barat. Dengan demikian tidak terdapat
rumah yang dibangun menentang arus sungai. Mata angin yang digunakan
masyarakat Karo disebut Desa Siwaluh yaitu mata angin yang terdiri dari delapan
penjuru yang sama halnya dengan mata angin pada umumnya (Wahid,2013).
2.7 Rumah Tradisional Karo
2.7.1 Bagian Bawah Rumah
Merupakan barisan kolom (binangun) yang terbuat dari kayu damar laut
atau pohon enau (perangkih) berbentuk segidelapan atau bulat dengan diameter 30
cm sebanyak 16 buah, delapan diantaranya digunakan sebagai pemikul lantai dan
atap sedang, delapan lainnya hanya memikul lantai saja. Jarak antar kolom adalah
3 depan atau sekitar 3 mm. Rangkaian kolom diikat dengan susunan balok
(pemajang) berukuran 10x20 cm yang ditembuskan melewati kolom dengan pen
dan disusun berselang-seling dengan jarak antara lapis dengan lapis sekitar 15-20
cm. Pada kolom sudut, balok menjulur keluar sekitar 40 cm. Ketinggian kolom
dihitung antara permukaan tanah dengan permukaan lantai adalah sekitar 150-175
cm atau 2,5 m. Seluruh rangkaian kolom diletakkan diatas pondasi batu kali
(palas) yang ditanam kedalam tanah sampai kedalaman sekitar 60 cm. Pondasi ini
diletakkan di atas beberapa lembar sirih (belo cawir) dan sejenis besi (besi mersik)
(Wahid, 2013).

Universitas Sumatera Utara

22

Gambar 2.7 Bagian Bawah Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.7.2 Bagian Tengah Rumah (Lantai)
Bangunan Karo menggunakan lantai berlapis dengan ketinggian lantai
bawah 1,5 m dari tanah dan jarak antara lantai atas dan bawah adalah sekitar 0,4
cm. Konstruksi rangka lantai diawali dari balok-balok (awit) kecil terbuat dari
pohon enau kering (pengguh) bulat berdiameter 10 cm atau berbentuk papan
berukuran 8x12 cm yag menjorok keluar sepanjang 70 cm dan terletak melintang
diatas balok penghubung kolom-kolom (pemajang) bangunan yang paling atas
dimana struktur lantai diletakkan dinamai dabuhen. Di atas balok-balok (awit)
kecil tersebut diletakkan belahan bambu (galigar awit) berukuran 6x12 cm yang
tidak struktural yang disusun rapat yang ditutupi dengan lapisan salimar yang
terbuat dari papan dengan ketebalan 6 cm.
Di atas susunan belahan bambu terdapat balok dan konsol (kemping atau
bangunan kalang papan) berukuran 7x40 cm yang terletak berlawanan arah
dengan susunan bambu, kemudian diatas balok binangun kalang papan ini
diletakkan balok-balok (kalang papan) berukuran 8x15 cm yang berfungsi
menunjang langsung papan-papan lantai (papan jabu) berukuran 5x20 cm. Pada

Universitas Sumatera Utara

23

ujung awit yang menjorok keluar sejauh 0,7 m yang menopang balok keliling
berukuran 88x20 cm yang disebut dapur-dapur yang diletakkan miring. Dapur
yang mirip dengan perahu dibuat mengelilingi bangunan dan dapur melintang dan
membujur dihubungkan dengan pen (Wahid, 2013).
2.7.3 Bagian Tengah Rumah (Dinding)
Dinding bangunan berada pada posisi miring sekitar 30 derajat dengan
ketinggian sekitar 100 m, terletak di atas dapu-dapur yang terdiri dari papanpapan dari bahan kayu yang dinamakan ndap-dap tua yang dihubungkan dengan
satu sama lain dengan cara diikat dengan tali ijuk (ret-ret). Di bagian bawah,
dinding tegak miring lalu dihubungkan dengan sambungan celah dengan dapudapur dan dibagian atas dinding miring bertumpu pada balok (Junjungan Derpih)
berukuran 7x15 cm yang berfungsi untuk pengikat, di atas junjungan derpih
terdapat rusuk-rusuk (perongkil) penahan penutup atap ijuk berukuran 5x5x200
cm berjarak sekitar 40 cm antara satu dengan lainnya yang dibuat dari batang enau
(Wahid, 2013).
Ukiran horizontal yang memanjang di bagian dinding secara keseluruhan
membentuk motif binatang melata seperti cecak. Sudut dinding (Susi atau
Cuping) terbuat dari bahan kayu yang cukup tua yang terdiri dari papan berukur
berukuran 4x30 cm yang terletak di sudut dapu-dapur dan digunakan untuk
memikul junjungan derpik dan disambung dengan pen (Wahid, 2013).

Universitas Sumatera Utara

24

Gambar 2.8 Dinding Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.7.4 Bagian Tengah Rumah (Pintu Atau Labah)
Rumah Karo pada umumnya memiliki dua buah pintu (labah) yang
terletak pada bagian hilir (pintu jahe) dan dibagian hulu atau pintu hulu. Tetapi di
bagian sebelah kamar rumah raja juga terdapat pintu yang berbentuk seperti
bentuk labah tetapi lebih kecil. Setiap pintu diberi palang dibagian dalam sebagai
kunci (Wahid, 2013).
Rumah Karo pada umumnya juga memiliki jendela, paling sedikit terdapat
dua buah jendela di setiap sisi bangunannya yaitu bagian hilir (pintu perik
kenjahe) dan satu di bagian hulu (pintu perik kenjulu). Tetapi sering juga terdapat
di setiap kamar. Jendela kecil yang berbentuk memanjang dengan ukuran panjang
120 cm dan lebar 25 cm. Jendela lainnya yaitu jendela yang disebut pintu perik
mirip dengan pintu tetapi hanya dengan satu daun (Wahid, 2013).
Daun pintu dibuat dari bahan kayu yang terdiri dari 2 papan berupa daun
pintu dengan ketebalan 5 cm dan lebar 40 cm atau 8x30 cm dan dibentuk sehingga
mempunyai pen dan engsel. Pintu tersebut diletakkan pada dapur-dapur bagian
bawah dan menyangkut pada junjungan derpik bagian atas sehingga keduanya
merangkap sebagai kusen dan ditempatkan memanjang ditengah ruang. Biasanya

Universitas Sumatera Utara

25

dilengkapi dengan pegangan tangan (cikepen). Pintu diukir dan dilengkapi dengan
kunci pen kayu (Wahid, 2013).

Gambar 2.9 Pintu Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

Gambar 2.10 Jenis Jendela Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

26

Gambar 2.11 Jenis Jendela Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.7.5 Bagian Tengah Rumah (Para Atau Rak)
Para adalah tempat berbentuk rak yang ditopang dengan beberapa tiang
atau digantung yang diletakkan pada bagian yang tinggi dalam rumah. Terdapat 4
buah para yang diletakkan bertingkat (Wahid, 2013) yaitu:
1. Para pengeringan (Tuhor)
Para pengeringan terletak di atas dapur masing-masing jabu (ruang) yang
terdapat dalam rumah. Ukuran para tuhor 2x2 m (sesuai dengan luas
dapur). Tiap-tiap sudut para pengeringan diberi gantungan untuk tempat
menggantungkan sesuatu seperti daging, parang dan lain-lain. Sedangkan
pada bagian tengahnya dijadikan tempat mengeringkan lada dan lain-lain.
2. Para penyimpanan periuk (Kudin)
Para periuk adalah bagian dari para pengeringan yang terletak pada bagian
atas, berbentuk bak dengan kedalaman 30 cm. Para ini berfungsi sebagai
tempat menyimpan kuali atau periuk dan mengeringkan kemiri dan lainlain.
3. Para sesajen (Ndegeng)

Universitas Sumatera Utara

27

Para sesajen adalah para yang terletak diatas “Jabu Bata Ruang” yang
terbuat dari balok atau papan dengan lebar 2 m dengan panjang 6 m. Para
ini berfungsi sebagai tempat memberikan sesajen kepada dewa dan arwah
leluhur.
4. Para layar
Para layar terletak pada bagian teratas dari ketiga lainnya yang digunakan
sebagai tempat untuk menyimpan periuk yang diperkirakan adalah periuk
tempat sesembahan.
2.7.6 Bagian Tengah Rumah (Beranda)
Setiap rumah mempunyai dua buah beranda (ture) yang terletak disebelah
hilir (ture jahe) dan satu bagian hulu (ture julu). Beranda ini terbuat dari lantai
bambu ulat yang ditopang dengan tiang setinggi 1,5 m, dengan panjang sekitar 3
m dan lebar 6 m. Beranda berfungsi sebagai (Wahid, 2013) :


Tempat para wanita menganyam bakul, tikar dan lain-lain pada saat
malam hari



Tempat berbincang dan memadu kasih antara gadis dan pemuda pada
malam hari





Tempat memandikan anak
Tempat memandikan mayat (bila ada salah satu anggota rumah yang
meninggal dunia)



Tempat buang air bagi anak-anak

Universitas Sumatera Utara

28

Gambar 2.12 Beranda Rumah
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.7.7 Bagian Tengah Rumah (Dapur)
Setiap rumah mempunyai 4 buah dapur, yaitu dua dibagian hilir dan dua
dibagian hulu yang terdapat pada tiap jabu ruang. Tiap dapur digunakan oleh dua
keluarga yang saling bersebelahan (Sedapuren). Dapur berbentuk bujur sangkar,
dengan ukuran 2x2 meter persegi dilengkapi dengan anak batu (mutu), dan tiga
buah tungku (diliken) di tengah-tengah dapur, yang menggambarkan kelompok
kekerabatan masyarakat Karo yang disebut pengikat tiga (Rakut si telu) yaitu,
anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena setiap dapur digunakan oleh dua
keluarga, maka setiap dapur terdapat dua pasang tungku yang terdiri dari enam
buah tungku (diliken) (Wahid, 2013).
2.7.8 Bagian Atas Rumah (Atap)
Beberapa kolom bangunan memiliki ketinggian lantai sekitar 2,5 m dari
muka tanah dan yang lainnya memanjang sampai pada bagian bawah atap yaitu
pada ketinggian para-para sekitar 4,5 m dari muka tanah atau sekitar 2 m dari

Universitas Sumatera Utara

29

lantai. Bentuk atap merupakan gabungan antara pelana dan perisai dan pada ujung
puncak atap pelana terdapat kepala kerbau yang terbuat dari ijuk sebagai simbol
(Wahid, 2013).
Tanduk rumah terbuat dari tanduk kerbau yang diletakkan pada atas ujungujung bubungan pada rangka ujung atas rusuk yang menyerupai kepala kerbau. Di
Barus Jahe tanduk rumah terletak pada ruang kayu yang terbuat dari tanduk
kerbau jantan dan pada bagian utara adalah tanduk kerbau betina. Pada bagian
mulut kerbau digantungkan periuk tanah yang terbuat yang diisi dengan sesajen
yang memiliki arti agar kerbau tidak memangsa penghuni rumah (Wahid, 2013).

Gambar 2.13 Tanduk Kerbau
Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara

Atap pada bangunan Karo merupakan unsur yang paling dominan dari segi
tampak dan potongan karena memiliki ketinggian ¾ dari ketinggian rumah.
Bagian segitiga ang dibentuk oleh atap pelana yang dinamakan lambe-lambe (ayo
rumah) terbuat dari papan atau tepas yang dianyam dan diletakkan sesuai dengan
arah hulu ke hilir. Motif yang digunakan pada lambe-lambe yaitu bunga Gundur,

Universitas Sumatera Utara

30

Tampune-tampune, Pako-pako, Lumut laut, Ampik-ampik lembu, ujen labang,
desa sawaluh serta lipan-lipan (Wahid, 2013).
Rangka tempat dudukan atap ijuk terbuat dari bambu yang dibelah dengan
ukuran 1x3 cm yang disusun dengan jarak 4 cm dan diikat dengan rotan, atap ijuk
diikatkan dengan diapit bambu belah dan disusun secara berlapis-lapis sehingga
semakin kebawah maka akan semakin tebal. Ketebalan pada bagian atas hanya
sekitar 15 cm tetapi di bagian bawah memiliki ketebalan 25 cm. Di bagian
samping cucuran atap disusun dengan membuat gulungan ijuk berdiameter 10 cm
yang disusun dua lapis secara teratur dan diikat lalu ditutup dengan lembaranlembaran ijuk lainnya lalu diikat dengan ijuk (Wahid, 2013).
Penutup atap terbuat dari ijuk yang dikaitkan dengan reng yang terbuat
dari belahan kayu bambu kecil-kecil yang dihubungkan dengan rusuk-rusuk atap
dengan cara diikat dengan tali rotan atau ijuk. Adapun perhitungan keperluan
banyaknya ijuk (Wahid, 2013) yaitu :






Berat ijuk penutup atap 2,4 ton untuk setiap rumah
1 rumah memerlukan 20 ikat ijuk
1 ikat memiliki berat 20 kg yang terdiri dari 100 hingga 200 lembar
lempengan ijuk.
Manurut bentuk atapnya terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa

dan rumah Raja Sibayak. Adapun pembagian lainnya yaitu:
1. Rumah dengan atap (tersek) tak bertingkat (Rumah kurung manik)

Universitas Sumatera Utara

31

Gambar 2.14 Rumah Kurung Manik
Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2. Rumah dengan beratap satu tingkat (Sada tersek)

Gambar 2.15 Rumah Sada Tersek
Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara

3. Rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjunganjung)
2.8 Makna Ragam Hias Tradisional Karo
Ragam hias yang diterapkan di rumah-rumah arsitektur Karo biasanya
bermotif dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan alam lainnya. Namun sering
terlihat bahwa antara nama dan wujud sebenarnya berbeda, misalnya wujud yang

Universitas Sumatera Utara

32

kelihatan tumbuh-tumbuhan (salur-saluran) namun namanya hubun sikawiten
(embun beranak), berupa cosmos. Ragam hias tersebut biasa ditemukan di dapur.
Terdapat 5 jenis warna pada ragam hias yang disesuaikan dengan banyak
marga di Tanah Karo (marga utama). Adapun makna dari kelima warna tersebut
yaitu :

(1) Putih yang artinya berhati bersih/suci, (2) Merah yang artinya

merawa/garang, (3) Hitam yang artinya Si kujuma kurumah/rakyat jelata/awam,
(4) Biru yang arinya pendek/orang yang sering berdoa, (5) Kuning yang artinya
guru/dukun.
Tabel 2.1 Ragam Hias Pada Rumah Tradisional Karo

Gambar

Nama
Pengeret-eret

Arti Ornamen
Sebagai kekuatan menolak
bala, ancaman dari roh
jahat

terhadap

penghuni/pemilik

rumah

dan juga sebagai persatuan
keluarga.

Ornamen

ini

terbuat dari anyaman ijuk
dan

dikaitkan

dinding

depan

dengan
rumah

sebagai pengganti paku.
Tapak Raja Sulaiman

Nama ornamen diadaptasi
dari

nama

dianggap

raja

yang

sakti

dan

dihormati serta ditakuti
oleh

roh-roh

sehingga
menghindari

jahat
dapat

niat

jahat

Universitas Sumatera Utara

33

Gambar

Nama

Arti Ornamen
yang datang secara nyata
atau tidak nyata. Ornamen
ini

memiliki

makna

kekeluargaan

dan

kekuatan.
Panai

Sebagai tolak bala pada
anak-anak

Tupak Salah Silima- Melambangkan
lima

kekeluargaan

merga

silima

sistem

sebagai

sosial masyarakat Karo
yang utuh dan dihormati.
Kesatuan

dimaknai

sebagai kekuatan karena
kekuatan masyarakat Karo
pada hakikatnya terletak
pada kebersamaan yang
dibangun. Kelima merga
merupakan merga induk
yang diikat oleh struktur
sosial dan tak terpisahkan
antara satu dengan yang
lainnya. Dan ornamen ini
sebagai

penolak

bala

terhadap niat jahat dari
adanya

keinginan

mengganggu

yang

keutuhan

merga silima.

Universitas Sumatera Utara

34

Gambar

Nama
Ornamen
Siwaluh

Arti Ornamen
Desa Berbentuk
seperti

geometris

bintang

dengan

delapan

bagian

yang

berfungsi

sebagai

arah

mata angindan juga dapat
menentukan
baik

arah

dan

yang
buruk.

Kedelapan

mata

yaitu

Purba(timur),

:

angin

Aguni(tenggara),
Daksina(selatan),
Nariti(barat

daya),

Pustima(barat),
Mangabiya(barat

laut),

Utara (utara), Irisen (timur
laut).
Embun Sikawiten

Sebagai

petunjuk

hubungan

antara

kalimbubu

(awan

tebal

bagian atas) dan anak beru
(bayangan awan di bagian
bawah).

Sesuai

peranan

dengan

kalimbubu

sebagai pelindung anak
beru

dalam

hubungan

sistem

masyarakat

Karo. Bayangan awan di
bawah
mengikuti

akan bergerak
iringan

Universitas Sumatera Utara

35

Gambar

Nama

Arti Ornamen
gumpalan awan tebal di
atasnya

sesuai

dengan

fungsi kalimbubu.
Bindu Matagah

Sebagai

kekuatan batin

agar pemilik rumah tidak
diganggu oleh kekuatan
jahat. Biasanya terletak
pada dinding pemikul.
Bindu Matoguh

Berbentuk

menyilam

diagonal. Yang memiliki
arti keteguhan masyarakat
Karo untuk bertindak adil
dan

tidak

melanggar

norma.
Indung-indung Simata

Sebagai

hiasan

pada

bangunan gantang beruberu,

cimba

lau,

dan

gantang perburiken.
Tulak Paku Petundal

Sebagai penolak niat jahat
terhadap penghuni rumah.

Lipan
Tongkeh

Nangkih Lipan memanjat tunggul,
terbuat dari benang merah
di

atas kain

berwarna

gelap

Universitas Sumatera Utara

36

Gambar

Nama
Kite-kite Perkis

Arti Ornamen
Segala sesuatu yang dapat
digunakan

sebagai

jembatan dinamakan kitekite, sedang perkis adalah
nama untuk semut
Ipen-ipen

Sebagai
yang

menolak

bala

diadaptasi

dari

runcingnya segitiga yang
seperti gigi.
Lukisen Suki

Suki artinya pojok, jadi
artinya

lukisan

yang

diletakkan dipojok
Bunga Bincole

Bunga Bincole

Pucuk Merbung

Pucuk pakis Aji

Pucuk Tenggiang

Pucuk pakis Aji

Surat Buta

Tujuh huruf dari aksara
Karo

yang

dianggap

memiliki kekuatan untuk
menangkal roh jahat

Universitas Sumatera Utara

37

Gambar

Nama

Arti Ornamen

Bendi-bendi

Pegangan

pintu

atau

jendela
Keret-keret Ketadu

Keret artinya keratin atau
potongan

sedangkan

ketadu adalah sejenis ulat
hijau
Litap-litap Lembu

Pegangan

pintu

atau

pintu

atau

jendela
Lukisen Tonggal

Pegangan
jendela

Taruk-taruk

Pucuk labu kuning

Kidu-kidu

Jeroan

Lukisan Perdamaiken

Lukisan perdamaian

Lukisan
Binara

Burung Binara

adalah

jenis

tanaman yang digunakan
sebagai

ramuan

obat,

sedangkan arti keduanya
adalah nama seorang dewa
yang

menguasai

angin

ribut

Universitas Sumatera Utara

38

Gambar

Nama
Tanduk Kerbo Payung

Arti Ornamen
Tanduk kerbau

Sumber: Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara

2.9 Desa Lingga
Desa Lingga terdapat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Jarak Desa Lingga dari ibukota Kabupaten Karo yaitu 4,5km. Kecamatan
Simpang Empat memiliki luas wilayah 93,48 meter persegi dan memiliki
penduduk sebanyak 20.009 orang (website BPS Kabupaten Karo). Desa Lingga
memiliki bangunan rumah tradisional Karo berusia 250 tahun yang dikenal
dengan nama Rumah Siwaluh Jabu yang dihuni oleh 8 kepala rumah tangga yang
hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tenteram. Bahan bangunan rumah
tradisional Siwaluh Jabu terbuat dari kayu bulat, papan, bambu dan beratap ijuk
tanpa menggunakan paku yang dikerjakan oleh tenaga masyarakat pada zaman
dulu. Jarak dari Kota Berastagi ke desa Lingga yaitu 15 kilometer yang dapat
ditempuh menggunakan kendaraan umum dan kendaraan bus pariwisata.

Universitas Sumatera Utara

39

Gambar 2.16 Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga
Sumber : Karo.or.id

Desa Lingga terletak pada ketinggian 1200 meter dari permukaan laut..
Jarak Desa Lingga dari ibukota kecamatan Simpang Empat yaitu 5 km. Luas
keseluruhan Desa Lingga adalah 16,24 km2. Desa Lingga terletak di dataran
rendah yang dikelilingi desa-desa lainnya yang merupakan daerah pertanian.
Adapun batas-batas Desa Lingga yaitu :








Sebelah utara berbatasan dengan Desa Surbakti.
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kacaribu.
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kaban.
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Nang Belawan

1. Iklim Desa Lingga yaitu iklim kemarau dan penghujan.
2. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Lingga yaitu bertani.
3. Agama pada Desa Lingga terdiri dari Agama Kristen Protestan 55%,
Agama Islam 10% dan Agama Katholik 35%.

Universitas Sumatera Utara

40

Gambar 2.17 Desa Lingga
Sumber: Website Pariwisata Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

41

2.10 KERANGKA BERPIKIR


Desa Lingga dikenal sebagai desa tradisional yang menjadi salah satu
objek wisata karena desa-desa tersebut mewakili sejarah dan peradaban budaya
Karo.

Rumah tradisional Karo terkenal dengan seni arsitekturnya yang khas,
gagah dan kokoh dan juga ornamen-ornamen yang kaya akan filosofi mendukung
rumah tradisional Karo menjadi salah satu aset budaya yang ada di Indonesia
khususnya di Sumatera Utara.

Dengan berkembangya zaman, masyarakat pada Desa Lingga sudah tidak
banyak yang memiliki bangunan dengan gaya rumah tradisional Karo.
LATAR BELAKANG

PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana simbol pada arsitektur bagian dinding rumah
tradisional Karo yang ada di Desa Lingga?
2. Bagaimana pengaruh simbol tersebut terhadap masyarakat
pada Desa Lingga yang masih mempertahankan rumah
tradisional Karo?

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui simbol pada arsitektur yang terdapat di dinding rumah
tradisional Karo yang ada pada Desa Lingga.
2. Mengetahui pengaruh simbol tersebut terhadap masyarakat pada
Desa Lingga yang masih mempertahankan rumah tradisional Karo.

METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis penelitian.
2. Variabel penelitian
3. Sampel penelitian
4. Metoda pengumpulan data
5. Kawasan penelitian
6. Metoda analisis data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Universitas Sumatera Utara