Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo

(1)

Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKecamatanMardinding, Kabupaten Karo

Skripsi

Diajukan guna melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sosial dalam bidang antropologi

Oleh JonatanTarigan

070905046

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Jonatan Tarigan Nim :070905046 Departemen : Antropologi

Judul : Aron Pada Masyarakat Karo ( perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu Dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding, Kabupaten Karo.

Pembimbing a.n Ketua Departemen

Sekretaris

Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc Dr.Fikarwin Zuska

NIP: 155701055198703200 NIP: 196212201989031005

Dekan FISIP

Universitas Sumatera Utara

Prof.Drs.Badaruddin,Msi NIP.1968052519922031002


(3)

FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Aron

(Studi Deskriptif Tentang perubahan nilai aron pada masyarakat Lau Solu)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2014 Penulis

Jonatan Tarigan

 


(4)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kemurahan kasih dan anugrah- Nya yang begitu besar sehingga akhirnya skripsi ini telah selesai disusun penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Ayahanda Ibrahim Tarigan dan Ibunda Almh. Martalena Br Barus, juga kepada kakakku tersayang Betti Kartika Br. Tarigan S.E , Mailina Betaria Sonata Br. Tarigan Amd dan Mely nadia kareem yang selama ini telah memberikan doa dan semangat kepada penulis, skripsi ini kupersembahkan untuk kalian. Penulis juga berterima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. M. Arif Nasution MA. Yang telah memberikan fasilitas akademik selama penulis menjalani kuliah di FISIP USU.

2. Ketua Departemen Antropologi FISIP USU, Dr. Fikarwin Zuska. Yang telah memberikan fasilitas dan dukungan selama penulis menjalani perkulihan. 3. Dra. Sabariah Banggun,M.soc,Sc selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga dari awal hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Dra.sri Emiyanti pembimbing akademik yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis selama menjalani perkuliahan di Antropologi FISIP USU.


(5)

ii   

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Antropologi FISIP USU yang telah memberikan didikan dan pengetahuan pada penulis selama menjalani perkuliahan.

6. Teman-teman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini terutama Tino Saragih, Rendy Arsami Siregar S.sos, Alfi Zulkarnaen, Ali agasi serta teman-teman stambuk 2007 yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu

7. Bapak Kepala Desa Lau Solu dan semua warga Desa Lau Solu yang telah mau menerima dan mendukung saya selama melakukan penelitian di Desa Lau Solu.

8. Saudara-saudara saya Mama dan Mami Iptu Hendri Barus,Iptu Agnes Ina Nusa, Almh. Bik tengah Tanjung Langkat Pak Tengah dan Bik Tengah Bandar Baru,Bik uda, kak uwa Juli, Dr.Luckyana Depari,Meta Malemna Depari. Amd, kakak dan abang saya bapak dan mamak Ginta dan tak lupa Biring dan keluarga di P.Batu yang telah memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pembangunan disiplin ilmu di Antropologi FISIP USU.

Medan 22, April 2014 Penulis

(Jonatan Tarigan) NIM 070905046


(6)

Abstraksi

Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar.

17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran

Penelitian ini mengkaji tentang : Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan

aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah

penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok

aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut

pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa adanya perubahan konsep aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, dari aron dahulu yang bersifat tenaga (gegeh) menjadi aron singemo yang bersifat uang. Memudarnya konsep aron dipicu oleh kehadiran pendatang dari suku Alas dan meningkatnya kebutuhan hidup, dimana pemilikan lahan semakin luas dikarenakan jumlah penduduk semakin bertambah dan kebutuhannya juga ikut bertambah, sehingga warga pendatang kebanyakan memilih menjadi

aron si ngemo. Perubahan tersebut berawal dari tahun 1970 an. Adapun


(7)

iv   

DAFTAR ISI

Hal. HALAMAN PERSETUJUAN...

HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN ORIGINALITAS... ABSTRAK... UCAPAN TERIMA KASIH... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR PENGANTAR... DAFTAR ISI... BAB I. PENDAHULUAN...

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tinjauan Pustaka... 6

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kabupaten Karo... 16

2.2 Desa Lau Solu... 17

2.3 Pola Pemukiman dan Tata Lahan... 20

2.4 Kelembagaan di Desa Lau Solu... 29

BAB III. ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1 Aron... 35

3.1.1 Aron Perempuan... 36

3.1.2 Aron Laki-Laki... 37

3.2 Terbentuknya Kelompok Aron... 38

3.3 Keluarga Aron... 39


(8)

3.4 Aron Pendatang... 42

3.5 Aron Lokal... 43

3.6 Tahap-tahap Kegiatan Aron dalam Mengelola Sawah 3.6.1 Penyemaian Bibit... 46

3.6.2 Membajak... 47

3.6.3 Napsapi (Membersihkan Dinding Pematang Sawah) ... 49

3.6.4 Pemupukan... 52

3.6.5 Ngeroro (Menyiangi) ... 54

3.6.6 Penyemprotan “Pestisida” (Mompa Page)... 55

3.6.7 Muro (Menghalau Burung) ... 56

3.6.8 Proses Memotong (Nabi) ... 56

3.6.9 Ngerik... 57

3.7 Kedatangan Suku Alas... 59

3.8 Aron Suku Alas... 60

3.8.1 Budaya Kerja Tahun Merdang Merdem... 62

3.8.2 Etos Kerja... 63

3.8.3 Etos Kerja Pada Masyarakat Pedesaan... 63

3.8.3.1 Etos kerja dan Nilai Budaya Petani Pemilik Lahan... 64

3.8.3.2 Etos Kerja dan Budaya Buruh Tani... 65

BAB IV. Konsep Aron dalam Aktivitas Pertanian Pada Masyarakat Lau Sou 4.1 Konsep Aron Menurut Warga Desa di Lau Solu... 66

4.2 Aron Dahulu dan Aron Saat ini (ngemo)... 69

4.2.1 Konsep Aron Si Ngemo Menurut Warga Desa Lau Solu... 71

4.2.2 Jenis- Jenis Aron siNgemo pada Masyarakat Lau Solu... 74

4.2.2.1 Ari-ari (gaji harian) ... 75

4.3 Kondisi dan factor apa saja yang berubah pada Pelaksanaan Aron di Rentang Waktu Tertentu... 79


(9)

vi   

4.3.3 Kondisi Awal tahun 1980- Awal Tahun 1990... 81

4.3.4 Kondisi Akhir Tahun 1990- Awal Tahun 1998... 82

4.3.5 Kondisi Pertengahan Tahun 1998- Akhir Tahun 2004... 83

4.3.6 Kondisi Awal Tahun 2005 - Tahun 2013... 84

4.4 Bebarapa Hal Pemicu Perubahan Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu 85 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 89

5.2 Saran... 91

                   

   

   


(10)

Abstraksi

Jonatan Tarigan 2014, judul : Perubahan makna Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau SoluKec. Mardinding Kab. Karo Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 88 halaman, 7 tabel, 1 matriks, 2 box, dan 9 gambar.

17 daftar pustaka ditambah 1 sumber lain dan 7 lampiran

Penelitian ini mengkaji tentang : Aron pada Masyarakat Karo (Konsep Aron pada Masyarakat Lau Solu dalam Bidang Pertanian di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo”. Penelitian ini membahas tentang makna aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, bagaimana aron dahulu dan aron saat ini, hal-hal apa saja yang berubahan dalam pelaksanaan aron tersebut pada rentang waktu tertentu, dan hal-hal pemicu perubahan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif dengan memfokuskan pada aspek pengetahuan, yang digunakan oleh Spradley dalam mengungkapkan pola pikir masyarakat, folk taxonomy’ ini digunakan untuk menjelaskan pola pikir masyarakat tentang aron dahulu dan aron saat ini. Aron yang dulunya bersifat tenaga (gegeh) dengan bekerja secara bergiliran baik itu di ladang maupun di sawah, dengan jumlah pserta aron sebanyak 6-12 orang dan mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan

aron. Aron saat ini (aron singemo) sudah bersifat uang, dengan jumah

penduduk tidak menentu dan tidak terikat dalam menentukan kelompok

aron (siate-ate). Untuk menjelaskan proses perubahan tersebut

pendekatan ini dilakukan dengan pendekatan prosesual. Pendekatan prosesual tersebut digunakan untuk melihat hal-hal apa saja yang berubah dalam pelaksanaan aron pada rentang waktu tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang konsep aron menurut masyarakat Lau Solu Kecamatan Mardinding Kabupaten Karo, hal-hal apa saja yang berubah dan hal pemicu perubahan makna aron, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pengetua adat, kepala desa, dan beberapa warga yang mengetahui tentang aron. Observasi dilakukan untuk mengamati bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh peserta aron.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa adanya perubahan konsep aron pada masyarakat Lau Solu dalam bidang pertanian, dari aron dahulu yang bersifat tenaga (gegeh) menjadi aron singemo yang bersifat uang. Memudarnya konsep aron dipicu oleh kehadiran pendatang dari suku Alas dan meningkatnya kebutuhan hidup, dimana pemilikan lahan semakin luas dikarenakan jumlah penduduk semakin bertambah dan kebutuhannya juga ikut bertambah, sehingga warga pendatang kebanyakan memilih menjadi

aron si ngemo. Perubahan tersebut berawal dari tahun 1970 an. Adapun


(11)

1   

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Heterogenitas bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi menjadi hal baru dalam perbincangan. Indonesia dengan kemajemukan budayanya menghasilkan perbedaan budaya nasional yang dimiliki. Walaupun dengan perbedaan itu, nilai-nilai yang terkandung didalam setiap kebudayaan tidak pernah luput.

Budaya khas yang dimiliki oleh setiap negara seperti halnya Indonesia yang akan menjadi topik dalam review kali ini sangat identik dengan apa yang namanya identitas jati diri. Identitas jati diri itu kemudian menjadi tolak ukur penilaian kepribadian bangsa Indonesia. Kepribadian sebagai hasil buah dari nilai dan budaya khas yang dimiliki Indonesia kemudian berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang strategis demi mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia.

Salah satu budaya khas Indonesia adalah gotong royong. Konsep gotong royong yang dinilai tinggi oleh bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kehidupan rakyat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani dalam masyarakat agraris. Aktivitas gotong royong merupakan pengerahan tenaga untuk suatu proyek pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Konsep gotong-royong telah menjadi kunci budaya kontemporer Indonesia yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan segala sesuatu kebijakan yang diambil harus berdasarkan konsep gotong-royong tersebut (Bowen 1986, 545).

Menurut Aburrahman Wahid yang mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu yang paling Indonesia, yaitu diantara semua nilai yang dianut warga negaranya. Sesuatu itu berwujud pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan ikatan masa lampau (Abdurrahman 1981, 7). Konsep ini dapat


(12)

dijelaskan bahwa manusia-manusia Indonesia selalu bergerak dalam perubahan sosial menurut perkembangan zaman. Pencarian itu seakan membuat bangsa ini lupa akan jati dirinya, namun sebenarnya tanpa sadar mereka masih terikat dengan warisan sejarah masa lalu. Menurut pendapat Abdurrahman Wahid lainnya, bahwa bangsa ini selalu mencari suatu perubahan, tidak berarti bangsa tidak memiliki konsep mengenai nilai, budaya, dan identitas nasional.

Abdurrahman Wahid juga memiliki pemikiran bahwa nilai budaya yang dimiliki Indonesia adalah nilai budaya yang tidak berkesudahan. Pendapat ini jelas berbeda menurut Mochtar Buchori, yang mengatakan bahwa nilai-nilai Indonesia itu ada (Buchori dan Lubis 1981, 38). Dalam dialognya Mochtar Buchori dan Moctar Lubis (1981), ia mengatakan nilai-nilai Indonesia sedang dalam proses pembentukan, yakni yang diimplementasikan dalam keaktifan dan kesadaran yang diperlukan bangsa Indonesia agar tidak terseret ke arah yang tidak dikehendaki.

Proses pembentukan tersebut diartikan sebagai strategi menuju bentuk yang bisa dinamakan Indonesia, dan dalam proses menuju pola kebudayaan yang terintegrasi tersebut, bangsa Indonesia harus menggali kembali nilai-nilai yang benihnya ada dalam kebudayaan etnis. Karena pada faktanya menurut Mochtar Lubis, dalam dua belas tahun terakhir ini, erosi nilai-nilai etnis bangsa Indonesia semakin tampak. Erosi tersebut muncul dalam bangsa Indonesia sebagai akibat masuknya modal asing, konsumerisme, maupun industrialisasi dan terutama penerusan budaya bangsa Indonesia dirasakan telah terputus.

Ada budaya khas lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu negara dan ideologi agama yang mengakar di lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih sehingga sulit untuk dibedakan. Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan sifat pemerintahan yang demokratis, dan karena demokratisasi tersebut Abdurrahman Wahid (2001),


(13)

3   

mengatakan bahwasannya Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian Islam (ideologi agama) dengan demokrasi. Walaupun rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi para founding fathers berdasarkan keputusan bulat dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat teokrasi.

Mereka menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, tetapi hal tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Selain itu pula, pada era reformasi saat ini peluang berpartai politik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya politik (Wahid 2001, 28).

Nilai dan budaya khas Indonesia tersebut seharusnya menjadi pegangan bangsa Indonesia dalam tantangan selanjutnya yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa mendatang. Karena menurut pandapat Mochtar Lubis, jika bangsa ini tidak berhasil mengukuhkan kemanusiaan dan membangun kembali kontinuitas kebudayaan bangsa, maka bangsa ini hanya akan menjadi ‘kacung’ bangsa lain (Lubis, 1981, 42). Sehingga yang paling utama yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yakni kekuatan bangsa dalam mempertahankan kebudayaannya. Dengan begitu identitas bangsa Indonesia tidak pernah pupus dan dapat diimplementasikan dalam penentuan kebiijakan strategis yang akan diambil demi mencapai kepentingan bersama.

Gotong royong adalah merupakan salah satu sistem kegiatan yang dilakukan oleh manusia, gotong royong ini diketahui sebagai tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga dalam masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah, untuk itu seorang petani meminta dengan sopan santun


(14)

yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya. Semisalnya mempersiapkan sawah untuk masa penanaman yang baru, memperbaiki saluran air dan pematang sawah, mencangkul, membajak, menggaru dan sebagainya. (Koentjaranigrat)

Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini, sebab di negara lain tidak ada ditemukan sikap seperti ini, dikarenakan di negara luar sikap saling acuh tak acuh sangatlah dominan terhadap lingkungan di sekitarnya.

Ini merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Tidak hanya di pedesaan bisa kita jumpai sikap gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah. Karena secara budaya, memang sudah ditanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa. Ini merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, tetapi kita tetap menjadi kesatuan yang kokoh. Inilah adalah satu budaya bangsa yang menjadikan Indonesia dipuja dan dipuji oleh bangsa lain, karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama manusia.

Pada masyarakat Karo, gotong royong dalam tradisi masyarakat dikenal dengan istilah aron. Menurut Teridah Bangun, aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong menolong pada masyarakat Karo, baik dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron (saling bantu) yang diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang (Bangun T, 1986 b:149).


(15)

5   

Aktivitas aron biasanya dimulai pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 WIB- 17.00 WIB. Di dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama peserta aron dengan tujuan agar tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran (mena-tumbuk), sesuai dengan kebutuhan di dalam mengerjakan sawah maupun ladang peserta aron. Misalnya A akan menanam padi, maka anggota aron yang sebagian lagi wajib datang ke ladang si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikianlah seterusnya sampai selesai secara bergilir setiap peserta aron, Misalnya dalam membuka lahan (ngerabi) tenaga laki-laki yang lebih diutamakan perempuan cukup membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang. Mena adalah sebutan untuk awal aktivitas aron dilakukan, tumbuk adalah sebutan dari akhir aktivitas secara bergilir.

Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan meninggalkan kebudayaan gotong royong (aron), dikarenakan masyarakat lebih memilih membayar (mengupahi) orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Pada saat ini aron dikenal dengan orang/atau sebuah komunitas yang bekerja areal pertanian yang mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari si pemilik lahan.

Desa Lau Solu memiliki masyarakat mayoritas suku Karo yang memiliki mata pencaharian rata-rata adalah sebagai petani. Masyarakat Desa Lau Solu umumnya memiliki lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut masyarakat menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola pertanian mereka.


(16)

Untuk menambah tenaga dalam mengelola lahan pertanian masyarakat Desa Lau Solu mencari orang untuk dapat membantu dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain si pemilik lahan pertanian yang akan memakai tenaga aron sudah terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk tinggal sementara di Desa Lau Solu.

Dengan melihat latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis mengungkapkan secara dekriptif tentang bagaimana perubahan konsep aron yang terjadi pada masyarakat Karo khususnya dalam masyarakat Desa Lau Solu dan mengapa para pekerja aron mayoritas adalah suku Alas yang berasal dari Aceh Tenggara.

1.2. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka Spradley (1997), menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran (mind). Definisi tersebut ditulis ulang oleh Marzali dalam pengantar pada buku Metode Etnografi oleh James P. S predley. Pada bagian pengantar ini Marzali menjelaskan secara singkat apa itu etnografi sampai perkembangan metode dalam ertnografi.


(17)

7   

Spencer (dalam choesin, E.M, 2002: 1-9), menyatakan bahwa pengunaan pengetahuan diibaratkan membaca resep atau naskah atau flow chart (arus). Dalam memahami dinamika pengetahuan saat terjadi pertemuan antara yang lokal dan global, untuk itu diperlukan modal yang dapat menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya: dari mana dan bagaimana pengetahuan tersebut dipakai untuk mewujudkan tindakan, mengapa bentuk-bentuk pengetahuan tertentu bertahan terus dalam diri individu atau kelompok, sedangkan bentuk-bentuk lainnya ditinggalkan ?

Dalam penelitian ini juga melihat bagaimana pengetahuan (konsep) masyarakat Suku Karo tentang aktivitas aron. Dimana banyak terjadi dinamika yang terkait dengan perubahan konsep aron dalam rentang waktu tahun 1980 hingga pada saat ini. Frans Boas juga mengatakan “jika tujuan kita sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep mereka, bukan konsep kita” (Frans Boas 1943 dalam Spradley).

Strauss dan Quinn (dalam Choesin, E. M, 2002:1-9), juga menjelaskan bahwa sebagian besar pengetahuan yang dimiliki individu diperoleh melalui proses belajar yang bersifat informal, atau melalui pengamatan (penerimaan rangsang) sehari-hari, dan bukan dari instruksi formal. Selain mengetahui konsepsi masyarakat tentang aron, penulis juga merasa perlu memperhatikan bagaimana rangsangan-rangsangan dari luar masyarakat itu sendiri, misalnya kemajuan tegnologi dan informasi, tuntutan ekonomi, peraturan pemerintah dan lainnya. Kemudian mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam pengolahan lahan baik itu disawah maupun di ladang.

Seperti yang dijelaskan Strauss dan Quinn (dalam Choesin E. M, 2002:1-9), meskipun masuknya rangsangan-rangsangan seperti yang disebut diatas tidak serta merta menggantikan pemahaman mereka yang lama, akan tetapi hal ini bisa saja berperan untuk


(18)

menghasilkan pemahaman yang baru. Salah satu bentuk tingkah laku manusia yang universal ialah kerja sama. Menurut Soekanto (1983:66), kerja sama timbul dari adanya orientasi masing-masing individu terhadap kelompok sebagai “in groubnya” dan kelompok lain sebagai “out groubnya”.

Sejalan dengan pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat dimana kerja sama berlangsung terdapat kelompok-kelompok sosial yang bersifat khusus. Dimana para anggotanya saling berinteraksi menurut norma yang dianut. Seperti kita ketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas tinggal di pedesaan dan pada umumnya hidup dari pertanian (Koentjaraningrat, 1984:1), dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat di pedesaan tidak terlepas dari aktivitas kerja sama dengan anggota masyarakat lainnya dari kelompok tersebut. Hal ini didasari dengan adanya kebutuhan masing-masing anggota yang sama.

Aron adalah merupakan pengerahan tenaga kerja dari sekelompok orang yang

secara bersama-sama mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota kelompok tersebut. Dilihat dari segi positifnya, dalam aktivitas aron terkandung unsur saling pengertian, saling penghargaan, kesadaran akan tujuan bersama, kemauan bersama-sama dengan individu atau kelompok lain untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip timbal-balik sebagai penggerak masyarakat dalam masyarakat komunitas kecil diseluruh dunia, saling tolong menolong tampak sangat menonjol.

Menurut B.Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1997:151), dalam masyarakat penduduk kepulaan Treobiand, sistem saling tukar menukar jasa tenaga dan benda dalam berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan, maupun pertukaran harta mas kawin menjadi pengikat dan penggerak dalam masyarakat. Sistem memberi sumbangan untuk membalasnya, merupakan prinsip dalam


(19)

9   

kehidupan masyarakat kecil yang disebut principle of reciprocity atau prinsif timbal-balik. Menurut Marcell Mauss, sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh (total sistem), dimana setiap unsur kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan.

Dalam sistem tukar menukar setiap pemberian harus dikembalikan. Dapat diartikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-habisnya dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima, bersamaan dengan pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan (Mauss, 1992:xix).

Hal yang sama pada masyarakat Sugihen prinsif timbal- balik dapat diamati dalam aktivitas aron adanya saling tukar menukar tenaga yang dilakukan secara berigiliran untuk setiap peserta aron tersebut sesuai dengan kesempatan yang ditentukan. Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan selain bersifat stabil juga bersifat dinamis oleh karena itu setiap kebudayaan pasti akan mengalami perubahan atau perkembangan. Perubahan itu bisa saja berasal dari masyarakat dan perubaahan semata-mata bukanlah berarti suatu kemajuan saja namun dapat juga berarti suatu kemunduran bagi suatu masyarakat pendukung kebudayaan tersebut dimana perubahan itu menyangkut bidang-bidang kehidupan tertentu.

Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan serta persebaran penduduk (Suparlan, 1981:01). Perubahan kebudayaan adalah merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan. Perubahan kebudayaan mencakup aturan-aturan yang digunakan sebagai


(20)

pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.

Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai pengertian yang benar tanpa mengaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam masyarkat yang bersangkutan. Untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam aktivitas aron, peneliti akan menggunakan pendekatan prosesual. Winarto (1999), menyebutkan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah aspek historisnya.

Winarto(1999) mencoba mengikuti rangkaian peristiwa yang terwujud dari aktivitas-aktivitas warga sehari-hari. Untuk membantu seorang antroplog dalam meneliti, Moore (dalam Winarto 1999) menyarankan fokus kajian antropolog adalah peristiwa-peristiwa atau evans yang melibatkan aktivitas atau tindakan manusia. Rangkaian hubungan antar peristiwa-peristiwa inilah yang membentuk proses. Hal ini jugalah dilakukan oleh peneliti untuk melihat dan mengetahui bagaimana proses perubahan aron di Desa Sugihen dengan mencoba mengkaji sejarah terbentuknya aron di Sugihen melalui aktivitas-aktivitas atau event yang mereka lakukan dalam kurun waktu 1980 hingga pada tahun 2009.

Berdasarkan hasil observasi sementara, bahwa ada bentuk-bentuk yang berubah dalam aktivitas aron tersebut. Untuk mengetahui semua itu, peneliti harus bisa mengerti bahasa setempat (native speaker). Sehingga penulis dapat berkomunikasi dengan baik dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang diteliti.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh W.H Goodenoug (1997), dimana dalam aktivitas sosial kelompok-kelompok sosial juga bahasa yang digunakan masyarakat yang diteliti.


(21)

11   

Sama halnya untuk mengetahui isi pemikiran masyarakat Sugihen mengenai konsep aron. Maka untuk itu, penulis perlu berkomunikasi dengan masyarakat Lau Solu dengan memahami bahasa setempat. Melalui pengamatan yang terfokus pada rangkaian peristiwa dalam rentang waktu dengan perhatian pada hubungan yang satu terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah menguraikan tentang kehidupan aron di Desa Lau Solu. Maka ruang lingkup masalah yang akan diteliti difokuskan pada :

1. Bagaimana Pergeseran Nilai Aron pada masyarakat Desa Lau Solu ?

2. Apa motivasi masyarakat Suku Alas ( Pendatang ) sebagai aron di Desa Lau Solu ? 3. Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian A.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pergeseran makna serta mengetahui pergeseran Aron pada masyarakat Desa Lau Solu dan Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu serta Apa motivasi masyarakat Suku Gayo (Pendatang) sebagai Aron di Desa Lau Solu.


(22)

Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis. Secara akademis, manfaatnya menambah pemahaman mengenai makna Aron pada masyarakat Karo di Desa Lau Solu. Secara praktis manfaatnya adalah memberikan sumbangan pemikiran dan masukan-masukan kepada masyarakat luas dalam bagaimana sebuah realita sosial dalam perkembangan dan perubahan sebuah tradisi.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dengan tujuan menghasilkan tulisan etnografis yang bersifat deskriptif mengenai pergeseran makna aron tersebut. Creswell dalam Kuswarno, 2008:34 menjabarkan elemen – elemen inti dari penelitian etnografi yaitu:

1. Penggunaan penjelasan yang detail.

2. Gaya laporan bersifat cerita (storry telling).

3. Menggali tema – tema kultural, seperti tema – tema tentang peran dan perilaku masyarakat.

4. Menjelaskan kehidupan keseharian orang – orang (everyday life of person) bukan peristiwa khusus yang menjadi pusat perhatian.

5. Laporan keseluruhan perpaduan antara deskriptif, analitis dan interpretatif. 6. Hasil penelitian memfokuskan bukan pada apa yang menjadi agen perubahan

tetapi pada pelopor untuk berubah yang bersifat terpaksa.

Penelitian etnografi memfokuskan pada penelitian lapangan (filed works), yaitu dengan memilih lokasi penelitian tertentu sebagai tempat untuk melakukan pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Spradley (1997: 3) menyatakan bahwa etnografi merupakan kegiatan mendeskripsikan suatu kebudayaan yang


(23)

13   

bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana juga yang dikatakan Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya (1922: 25). Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berfikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat. Spradley (1997: xvi) menjelaskan ciri – ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang holistic-integratif (saling berkaitan dan menyatu), thick description (deskripsi yang mendalam dan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan native’ s point of view (sudut pandang masyarakat yang diteliti).

Prosedur penelitian kualitatif lebih bersifat sirkuler, artinya dalam hal – hal tertentu langkah atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh data yang lengkap untuk membangun teori dasar (grounded theory). Dalam konteks ini, peneliti dimungkinkan untuk beberapa kali turun kelapangan (Berutu, dkk. 2001:46). Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun data primer diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Karo serta beberapa data dari internet, jurnal sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini. Dengan metode penelitian etnografi ini saya akan memaparkan makna dan bagaimana terbentuknya aron sesuai dengan pokok permasalahan yang saya teliti. Dengan metode etnografi saya akan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang diteliti untuk mendapatkan data – data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi yaitu: Hidup Bersama Masyarakat yang


(24)

diteliti Untuk mendapatkan data secara mendalam tentang permasalahan yang akan saya kaji dalam penelitin ini maka saya akan tinggal bersama masyarakat yang akan saya teliti. Dengan begitu, saya bisa lebih mendekatkan diri terhadap masyarakat yang akan saya teliti. Dengan adanya interaksi antara saya dengan informan maka akan lebih memudahkan saya untuk memperoleh data yang saya butuhkan.

1. Wawancara Mendalam (interview guide)

Wawancara akan saya lakukan dengan para informan di tempat penelitian saya. Adapun wawancara yang akan saya lakukan adalah wawancara mendalam untuk menggali data yang lebih banyak mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Saya juga akan menggunakan pedoman wawancara (intervie guide) untuk memudahkan saya melakukan Tanya jawab dengan informan.

2. Pengamatan (observasi)

Saya juga akan melakukan observasi yang bersifat pasrtisipasi (terlibat) langsung dengan tempat dimana saya akan melakukan penelitian. Dimana saya akan mengamati perilaku setiap informan dengan cara lansung melibatkan diri dalam kegiatan tertentu yang terjadi di lokasi penelitian. Dengan begitu saya akan jauh lebih banyak mengetahui hal – hal yang tidak perlu saya tanyakan kepada informan, karena saya telah mengamati perilaku informan secara langsung.

3. Penggunaan Kamera

Pada saat melakukan pengumpulan data penelitian akan menggunakan kamera sebagai alat untuk mendokumentasikan perilaku informan maupun hal – hal yang bersifat fisik atau non fisik yang saya anggap penting untuk dijadikan dokumen dan akan mempermudah saya


(25)

15   

untuk mengingat peristiwa atau kejadian penting yang terjadi selama saya melakukan penelitian. Dokumentasi yang dihasilkan akan membantu memaparkan suatu peristiwa maupun hal – hal penting baik itu bersifat fisik atau non fisik untuk dijadikan sebagai data tambahan dalam penelitian ini.

6.Informan Penelitian

Informan penelitian terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Informan kunci adalah: Orang – orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan diteliti dan terlibat langsung dalam masalah. Seperti pemilik atau penanggung jawab lokasi. Sedangkan informan biasa adalah: Orang – orang yang dapat memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuan mereka saja (sekilas).


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Kabupaten Karo

Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Dataran Tinggi Bukit Barisan dan sebelah barat daya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia serta merupakan daerah hulu sungai. Secara geografis Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’ – 3019’ Lintang Utara dan 97055’ - 98038’ Bujur Timur.

· Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang · Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

· Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam

· Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Terdiri dari 17 kecamatan dan 262 desa. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Mardingding yakni 267,11 Km2 (12,56% dari luas kabupaten), dan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Berastagi seluas 30,5 Km2 (1,43% dari luas kabupaten).

2.2. Desa Lau solu

Desa Lau Solu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Mardinding. Jarak Desa Lau Solu ke Ibu Kota Kecamatan sejauh kurang lebih 6 Km, sedangkan jarak Desa


(27)

17 

 

Lau Solu dari Ibu Kota Kabupaten sejauh 90 Km. Adapun batas-batas wilayah Desa Lau Solu sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Lau Mulgap Kec.Mardinding Sebelah Selatan : Desa Buluh Pancur Kec.Lau Baleng Sebelah Barat : Hutan deleng cengkeh

Sebelah Timur : Desa Batu Nongkam

Untuk sampai keDesa Lau Solu dapat menggunakan roda 4 (Empat) dan Roda 2 (Dua). Angkutan yang digunakan di Desa Lau Solu adalah Angkutan umum seperti : BTN, Dalinta ras, Pinem, dll dan Kendaraan pribadi yakni roda 2 dan roda 4.

Menurut cerita sebagian warga pemukiman di daerah ini, desa ini berdiri pada Tahun 1940-an pertama kali mendirikan rumah disini adalah Suku Karo. Masyarakat yang tinggal di Desa ini pada umumnya bekerja sebagai petani. Seiring maraknya perkembangan zaman banyak orang-orang mulai membangun rumah sebagai tempat tinggal dimana yang tinggal disana bukan lagi hanya Suku Karo akan tetapi sudah bercampur dengan suku lain, yang diakibatkan oleh perkawinan antara dua suku dan adanya pendatang dari luar desa dan menetap didesa Lau Solu. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka daerah pemukiman semakin banyak.Seiring berjalannya waktu dan akibat perkembangan zaman banyak dari warga ataupun pemuda dari Desa lau solu yang merantau dan mengejar pendidikan diluar desa Lau solu sehingga kurangnya tenaga kerja pertanian didesa tersebut. Disebabkan karena kurangnya tenaga kerja dilahan pertanian penduduk desa Lau Solu maka tenaga kerja mulai diambil dari luar daerah.


(28)

2.3. Pola Pemukiman dan Tata Lahan.

Desa Lau Solu merupakan Desa yang terdapat di dataran rendah yang rata-rata mencapai 282 dpl (Di atas Permukaan Laut) yang terdapat di Kec. Mardinding, Kab.Karo. Jarak antara kantor camat di Mardinding dengan Desa Lau Solu adalah ± 6 km dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor dan satu jam dengan jalan kaki. Jarak antara Ibu kota Kabupaten Karo adalah 90 km dan dapat ditempuh dengan roda empat dan roda dua selama 3 jam.

Jika dari Ibu Kota Kabupaten yaitu Kaban Jahe, kita banyak melewati Desa dan Kecamatan yang kita lewati untuk sampai di Desa Lau Solu. Sebelum menemukan Desa Lau Solu, beberapa Desa kita lewati yaitu Desa Tanjung Gungung, Desa Bulu Pancur dan Desa rambah Tampu. Perjalanan selanjutnya akan melewati jembatan dan langsung akan menjumpai pemukiman Desa Lau Solu.

Beberapa rumah pertama yang dijumpai terlihat semipermanen, sebagian lagi permanen dengan lantai semen, dinding setengah batu, setengah papan dan dicat berwarna terang, dan beratap seng yang sudah berwarna kecoklatan. Secara umum kondisi-kondisi rumah cenderung semi permanen. Perumahan penduduk di Desa Lau Solu umumnya saling berdekatan, sehingga masing-masing rumah saling berdekatan. Pada umumnya memiliki jendela samping atau belakang. Rumah di Desa Lau Solu ini dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu: rumah permanen, semi permanen, non permanen. Tiga bagian rumah penduduk akan dijelaskan di bawah ini :

1. Rumah Permanen

Rumah permanen umumnya diDesa Lau Solu ini masih bisa dihitung, sebab yang punya dan menempati rumah permanen ini juga adalah orang-orang yang sudah lama tinggal di Desa Lau Solu dan mempunyai lahan pertanian milik sendiri serta memiliki


(29)

19 

 

ekonomi dan mempunyai penghasilan yang baik. Rumah jenis ini sudah ada yang mempunyai kamar mandi sendiri tetapi ada juga yang tidak mempunyai kamar mandi sendiri dan harus kepemandian umum. Lantai rumah sudah ada terbuat dari keramik juga ada yang dari semen tidak lagi dari tanah yang dikeringkan, sedangkan jendela sudah dari kaca nako dan jeruji besi.

2. Rumah semi permanen

Rumah semi permanen umumnya berukuran 3 x 4 meter, dan 5 x 4. Rumah ini jenisnya berbentuk setengah batu, berdindingkan papan dan berlantaikan semen dan atap rumah terbuat dari seng dan rumah sudah ada yang di cat maupun belum dicat dimana ada rumah yang sudah memiliki lantai keramik maupun menggunakan semen biasa sebagai lantai rumah mereka. Di ruangan ini semuanya terletak, baik yang tidak memiliki ruang kamar maupun yang memiliki ruang kamar yang seadanya. Rumah ini dimanfaatkan juga sebagai tempat berusaha seperti kedai kopi, rumah makan, warung dan lin-lain baik jualan nasi maupun jualan jajanan, rokok, keperluan untuk mandi dan mencuci. Ada juga yang menjadikan pekarangan rumahnya di jadikan tempat untuk meletakkan hasil pertanian yang baru dipanen maupun di jual.

3. Rumah non Permanen

Sebagian tempat tinggal di Desa Lau Solu ini adalah non pemanen. Rumah yang dimaksud disini adalah rumah yang memiliki tata ruang dan bentuknya sangat memprihatinkan sebab mereka tinggal dirumah yang tidak layak untuk dihuni karena rumahnya sudah hampir tumbang dan udara kurang masuk kedalam rumah.

Rata-rata ukuran tiap rumah non permanen ini terdiri dari 6 x 8 meter persegi dimana sebagian bangunan rumah itu terbuat dari papan yang diolah sendiri berbahan baku pohon durian dan pada umumnya memiliki lantai semen, Diruangan 8 x 6 meter ini


(30)

segalanya dimanfaatkan baik itu dari ruang tamu, ruang kamar maupun ruang keluarga juga ruang dapur. Di ruangan inilah mereka meletakkan seluruh barang yang dimilikinya baik dari barang elektronik seperti TV, VCD, Tape Recorder, hasil pertanian dan peralatan dapur mereka.

2.4. Demografi Penduduk Desa Lau Solu

Penduduk di Desa lau Solu ini sangat tidak padat sebab masih kita temui keadaan rumah dimana jarak antara rumah terlihat masih dibatasi dengan pekarangan (halaman) yang luas dengan tanaman yang masih dapat ditanam di sekitar halaman. Kondisi bangunan di Desa Lau Solu adalah rata-rata semi permananen. Tiap-tiap rumah rata-rata dihuni 5 orang dengan ukuran 6 x 8 meter.

Penduduk yang tinggal di Desa Lau Solu terdiri dari warga pribumi. Tidak ada warga negara asing atau keturunan asing yang tinggal di Desa ini. Warga pribumi yang tinggal di Desa ini adalah seluruhnya Warga Negara Indonesia pribumi. Masyarakat yang tinggal di Desa lau Solu mayoritas adalah suku Karo sebagian pendatang dari Suku Alas dan berdomisili dan menetap di Desa Lau Solu .

Mayoritas Agama masyarakat Desa Lau Solu adalah beragama kristen yakni sebesar 60,2%. Terbesar kedua adalah Islam sebesar ,38,5% dan diikuti Kristen Katolik sebesar 1,5%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama di Desa Lau Solu Kecamatan Mardinding Tahun 2012.

No Agama Jumlah (orang) %


(31)

21 

 

2 Islam 640 38,5

3 Kristen Katolik 20 1,3

4 Buddha - -

5 Hindu - -

6 Sikh - -

Jumlah 1660 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Tahun 2012

Pada umumnya, penduduk Desa Lau Solu berpendidikan tamatan SLTP. Terbanyak kedua tamatan SMA dan hanya sedikit yang mempunyai tamatan perguruan tinggi atau sarjana. Hal ini dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Tingkat Pendidikan Jiwa %

1 Belum Sekolah 259 21

2 Tidak Tamat SD 252 20,3

3 Tamat SD/ Sederajat 126 10

4 Tamat SLTP/ Sederajat 575 25

5 Tamat SLTA/ Sederajat 415 23

6 Tamat Akademi -

7 Perguruan Tinggi/ Sarjana 12 0,7

Jumlah 1660 100

Sumber: Kantor kepala desa Lau Solu Tahun 2012


(32)

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting terhadap setiap manusia, sehingga setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Jika dilihat Tabel I.5. diatas, komposisi penduduk di Desa Lau Solu berdasarkan Status pendidikan dihitung dari usia produktif masuk sekolah, mulai yang tidak pernah sekolah sampai menyelesaikan tamat SLTA sebagai berikut; tidak sekolah sebanyak 259 jiwa, sebesar 21 persen. Dan jumlah penduduk yang pernah sekolah sampai tamat SLTA adalah 415 jiwa, dan jumlah totalnya adalah sebesar 23 persen dari jumlah total penduduk. Keterbatasan ekonomi keluarga merupakan salah satu penyebab mereka tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, namun pada saat ini tingkat pendidikan di Desa Lau Solu sudah lebih maju dari tahun-tahun sebelumnya.

Kemajuan tingkat pendidikan di Desa Lau Solu dapat dilihat dari ke ikutsertaan semua anak berusia sekolah dasar yang ada di Desa Lau Solu mengikuti jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ini dapat dilihat bahwa tidak ada lagi penduduk yang tidak bersekolah, atau putus sekolah. Sedangkan untuk jumlah penduduk yang sudah tamat akademi atau Strata 1 adalah sebanyak 12 jiwa atau sebesar 0,7 persen. Semua penduduk yang sudah tamat pendidikan D3 dan S1 rata-rata sudah tidak tinggal lagi di Desa (merantau).

Jenis pekerjaan yang paling dominan penduduk Desa Lau Solu adalah mayoritas petani yakni sebesar 70%. Sedangkan jenis pekerjaan paling sedikit adalah supir sedangkan pensiunan PNS sebanyak 0,6%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.


(33)

23 

 

Tabel 2.3. Distibusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Lau Solu Tahun 2012.

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

1 Petani 1000 51

2 Wiraswasta 100 16

3 Pegawai Swasta 200 20

4 Pensiunan PNS 20 0,4

5 PNS 226 21

6 Supir 33 0,6

Jumlah 1660 100

Sumber: Laporan Kependudukan kantor kepala Desa Lau solu Tahun 2012

Dari Tabel di atas menunjukan bahwa matapencaharian sebagai petani yang paling dominan yaitu sebanyak 1000 jika dipersentasekan sebanyak 51%, Wiraswasta sebanyak 100 atau 16 %, sebagai PNS (Pegawai Negri Sipil) sebanyak 226 atau 21 %, supir sebanyak 33 jiwa atau 0,6 %, dan penduduk yang pensiunan PNS sebanyak 20 jiwa atau 0,4 %.

Selain mata pencaharian yang beraneka ragam yang didominasi petani ada juga yang berwiraswata seperti Tukang Pangkas, Tukang Jahit, Salon Kecantikan, pedagang dan lain-lain Desa Lau Solu. Dari 51 % masyakat bekerja sebagai petani rata-rata sudah memiliki tanah pertanian milik sendiri hanya sebagian kecil yang menyewa. Hasil produksi pertanian yang paling dominan adalah tanaman padi sawah dan jagung dengan rata-rata hasil pertanian padi sawah dan jagung dari Kec. Mardinding pertahun adalah 200 Ton. Untuk Desa Lau solu adalah rata-rata produksi padi sawah dan jagung pertahun adalah 24,6 Ton.


(34)

Selain padi dan jagung tanaman yang diunggulkan atau tanaman yang banyak ditanam masyarakat adalah tanaman Kakao atau yang sering disebut cokelat. Cokelat ada saat ini rata-rata dijual perkilonya Rp. 5.000,- harga tersebut cukup murah jika dibandingkan dari bulan 12 Tahun 2012 harga cokelat mencapai Rp. 15.000.

Selain dari tanaman padi dan tanaman Kakao ada juga yang menanam tanaman palawija atau tanaman muda seperti cabe, jahe, dan sayur mayur. Biasanya masyarakat Desa Lau Solu menjual langsung ke pasar atau terkadang ada juga toke atau pengumpul yang datang langsung ke Desa Lau Solu. Selain tanaman muda ada juga tanaman tua seperti sawit, cokelat, dan lain-lain. Selain berkerja di pertanian penduduk setempat mempunyai mata pencaharian sampingan yaitu memelihara ternak. Ternak yang dipelihara masyarakat adalah domba, sapi, kerbau, ayam petelur, dan Ayam kapung. Dalam Tabel 2.5 dapat kita lihat jumlah dan jenis ternak yang diternakkan Desa Lau solu.

Tabel 2.4. Jumlah dan Jenis Ternak Desa Lau Solu. No Desa Sapi Kerbau Kambing/

Domba

Ayam Petelur

Ayam Kampung

Itik

1 Lau Solu 35 - 58 290 400 180


(35)

25 

 

2.3.2. Sarana Umum di Desa Lau Solu a. Sarana Pemerintahan

Sarana dan prasarana yang ada di Desa Lau Solu adalah: Sarana Pemerintahan yang terdapat di Desa Lau Solu adalah Kantor Kepala desa dan Balai desa. Kantor kepala desa digunakan untuk melayani masyarakat yang mengurus surat-surat atau izin-izin tertentu dan lainnya. Sedangkan balai desa dipakai masyarakat Desa Lau Solu untuk berkumpul atau dipakai untuk berpesta atau acara-acara lainnya.

b. Sarana Kesehatan

Sarana Kesehatan yang ada di Desa lau Solu hanya satu yaitu Balai pengobatan atau poliklinik, sedangkan untuk membeli resep obat dari dokter masyarakat dapat membeli di Apotek yang terletak di ibu kota kecamatan Mardinding. Klinik atau Balai Pengobatan tidak memiliki fasilitas pengobatan yang lengkap. Pasien yang berobat ke klinik yang

KEPALA DESA

SEKRETARIS 

DESA 

TENAGA TEHNIS 

K.PEMERINTAHAN  K.EKONOMI  KESEJAHTERAAN 

BAGANSTRUKTURPEMERINTAHANDESALAUSOLU


(36)

tersedia hanya pasien yang menderita penyakit biasa seperti demam, batuk dan lain-lain, sehingga masyarakat yang menderita penyakit yang cukup serius maka masyarakat terpaksa harus berobat ke rumah Sakit yang memiliki peralatan yang lengkap serta tenaga medis yang lengkap. Mereka harus dibawa ke RSU Efarina etaham, yang jaraknya sekitar Sembilan puluh kilometer dari Desa. Untuk lebih jelas mengenai fasilitas kesehatan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.5. Distribusi Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah Unit

1 Rumah sakit Umum -

2 Puskesmas -

3 Puskesmas Pembantu -

4 Poliklinik 1

5 Apotek -

6 Posyandu -

7 Praktek Dokter -

Jumlah 1

Sumber: Perangkat Desa Lau Solu

Sebagian besar penduduk Desa Lau Solu berobat ke poliklinik Desa yang terdapat di pinggir jalan, di poliklinik Desa terdapat seorang dokter dan dua orang perawat. Jika warga yang sakit tidak dapat ditangani di poliklinik Kelurahan maka akan ke RSU Efarina etaham, yang jaraknya sekitar Sembilan puluh kilometer dari Desa.


(37)

27 

 

c. Sarana Ibadah

Sarana Ibadah yang ada di Desa Lau Solu yaitu Gereja dan Mesjid. Gereja digunakan umat kristiani digunakan sebagai tempat beribah dan pemberkatan sedangkan, Mesjid yang ada digunakan buat umat muslim untuk melakukan shalat lima waktu. Sedangkan Mushola yang ada digunakan untuk melakukan pengajian

Tabel 2.6. Fasilitas Tempat Ibadah Berdasarkan Tempat Ibadah dan Jumlah Unit di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Tempat Ibadah Jumlah Unit

1 Masjid 1

2 Mushola 1

3 Gereja Kristen Protestan 4

4 Gereja Kristen Katolik -

5 Wihara -

6 Pura -

Jumlah 6

Sumber: Kantor Kepala desa Lau Solu 2012.

d. Sarana Umum

Sarana MCK (mandi, Cuci, Kakus) yang ada adalah berupa kamar mandi umum milik warga. Kamar mandi ini terdapat di pinggir Desa, dan jika ingin menggunakan fasilitas ini tidak dipungut bayaran ataupun gratis. Akan tetapi sewaktu kita menggunakan MCK maka harus bersikap menahan rasa malu karena kita bergabung dengan masyarakat yang ingin mandi.


(38)

Pada umumnya penduduk setempat telah bergama karena baggi mereka agama itu penting sebagai patokan untuk menjalankan kehidupannya. Tempat Ibadah merupakan salah satu fasilitas umum yang ada di Desa Lau Solu. Tempat Ibadah yang lebih banyak dijumpai di Desa Lau Solu adalah gereja sebagai tempat ibadah untuk yang beragama Kristen yakni ada 4 (Empat) buah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.8 di atas.

e. Sarana pendidikan

Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Lau Solu. Terdiri dari SD, SLTP, dan SMA. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.9 sebagai berikut:

Tabel 2.7. Fasilitas Pendidikan Berdasarkan Jenis Fasilitas Pendidikan dan Jumlah Unit Di Desa Lau Solu Kec.Mardinding Tahun 2012.

No Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah Unit

1 SMA -

2 SLTP 1

3 SD 1

4 TK -

Jumlah 2

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Solu 2012.

2.5. Kelembagaan di Desa Lau Solu

Kelembagaan atau organisasi yang ada di Desa Lau Solu bermacam-macam, ada yang berupa lembaga Agama, lembaga Sosial, Lembaga adat, dan Lembaga Pemerintahan. Adapun fungsi – fungsi dan tugas pada pemerintahan desa yakni :


(39)

29 

 

1.Kepala Desa

Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Akan tetapi lembaga atau perangkat – perangkat yang berada di Desa Lau Solu tidak berfungsi semestinya, dan kantor kepala Desa jarang dipakai begitu juga inventaris di dalam kantor kepala desa tersebut sudah banyak yang rusak dan tidak dapat dipakai lagi.

Tabel 2.8. Lembaga di Desa Lau Solu

No Desa/Kelurahan Formal Informal

Desa Lau Solu Pemerintahan Desa -

PKK Karang Taruna

LKM Pemuda Pancasila

STM

Remaja Mesjid

Permata Gereja

Arisan marga

Partai Politik

Kelompok Tani

Sumber: Dikelola Oleh Penulis

Lembaga Umum yang dimaksud adalah lembaga yang di dirikan berdasarkan kepentingan umum semua masyarakat Desa Lau Solu seperti :

1. Karang taruna yang dikelola oleh muda mudi Desa Lau Solu. 2. PKK.

3. Kelompok tani, kelompok tani yang ada di Desa Lau Solu.


(40)

4. Serikat tolong menolong (STM) sedikit berbeda dengan lembaga umum lainnya, dimana STM tersebut masih juga membatasi dengan perbedaan satu sama lain, hanya saja tidak seperti lembaga adat yang berdasarkan marga. Masing-masing lembaga umum diatas memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Lau Solu.

5. Permata gereja dimana dalam kelembagaan ini di urus oleh muda mudi gereja.

6. Pemuda pancasila merupakan organisasi masyarakat yang berdiri di desa Lau Solu dimana pengurusannya sebagian adalah masyarakat Lau Solu.

7. Nasdem dan Golkar merupakan mayoritas partai yang berada di Desa Lau Solu.

Kelembagaan di Desa Lau Solu sangat berpengaruh dengan kegiatan dan aktivitas masyarakat.

Gambar 1: Diagram Hubungan Antar Lembaga di Desa Lau Solu

BAB III        

   

Masyarakat

 

   

Pemerintah  PKK 

BPD

LKMD 

Pemuda 

Pancasila 

NASDEM 

Golkar 

Sekolah 

Kebaktian 

Gereja 

Permata 

Karang  Taruna 


(41)

31 

 

BAB III

ARON PADA MASYARAKAT DESA LAU SOLU 3.1. Aron

Sektor pertanian di Kabupaten Karo pada umumnya sangat berkembang pesat, terutama Jeruk, Kopi dan tanaman palawija. Daerah Kabupaten yang memiliki wilayah rata-rata 1100 dpl sampai dengan 1300 dpl, dengan daerah yang ketinggian rata-rata-rata-rata 1000 dpl bagus untuk daerah pertanian palawija dan tanaman Jeruk. Hal ini yang membuat mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Walaupun perkembangan tehnologi masyarakat semakin canggih, Desa Lau Solu masih mengenal istilah Aron. Menurut masyarakat Desa Lau Solu Aron adalah pekerja diladang orang dengan cara di bayar dan menurut bapak Kepala Desa Lau Solu:

Aron adalah suatu bentuk kerja gotong royong dalam mengerjakan suatu pekerjaan dimana gotong royong tersebut bergerak disektor pertanian dan pekerja tersebut diupah. (Ginting)

Di Lau Solu kita dapat menjumpai suatu kelompok pekerja (buruh) harian lepas yang sering disebut oleh masyarakat Karo sebagai aron. Mereka bekerja dalam proses menanam, menyiangi, dan memanen hasil-hasil pertanian dengan upah harian. Setiap hari mereka berkumpul di suatu tempat untuk menunggu para petani p e m i l i k l a h a n yang memerlukan tenaga mereka.

Pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat menuju tempat tersebut karena jarak dari tempat mereka tinggal cukup jauh walaupun sebagian dari mereka ada yang tinggal di Desa Lau Solu. Ketika mereka berangkat dari rumah, mereka ada yang tahu dan ada juga yang belum tahu pekerjaan apa yang akan mereka kerjakan pada hari tersebut


(42)

tergantung dari kepemilikan lahan yang memerlukan mereka. Salah satu hal yang perlu diketahui adalah tidak selamanya mereka mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang begitu banyak. Mereka membentuk suatu komunitas tersendiri di Desa Lau Solu.

Buruh harian lepas (aron) ini mulai beroperasi tidak diketahui secara pasti. Seorang penduduk setempat yang telah lama tinggal di daerah tersebut sejak tahun 1989 yaitu Esra Bangun mengatakan tidak mengetahui secara jelas sejak kapan aron ini ada Desa Lau Solu tersebut, sebab ketika dia dan keluarganya menetap disana buruh aron tersebut sudah ada disana. Sementara itu seorang petani jeruk Gembira Ginting yang telah sering menggunakan jasa para buruh harian lepas sejak tahun 1990-an. Begitu juga dengan informasi yang penulis peroleh dari Desa Lau Solu tidak ada data yang mengatakan sejak kapan Buruh Harian Lepas (BHL) (aron) tersebut mulai ada.

Menurut kepala Desa Lau Solu mengatakan bahwa kehadiran para buruh aron seiring dengan pesatnya perkembangan sektor pertanian di Desa Lau Solu terutama buah-buahan dan sayur-sayuran. Tidak bisa dibayangkan kalau tidak ada buruh aron maka sektor pertanian di Desa Lau Solu akan mengalami kepincangan, sehingga peran serta mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar. akan mengalami kepincangan, sehingga peran serta mereka dalam sektor pertanian Desa Lau Solu sangat besar.

Menurut data statistik kantor Kepala Desa yang terdata jumlah tenaga kerja aron di Desa Lau Solu adalah 210 Jiwa. Tenaga kerja aron ini terdiri dari tenaga kerja aron wanita 121 orang dan tenaga kerja aron pria 89 orang .rata-rata semua, jumlah aron wanita lebih besar dari aron pria. Kecamatan Desa Lau Solu tenaga kerja aron yang paling besar adalah pendatang yaitu sebesar 170 orang, dimana terdapat 1 0 4 tenaga kerja aron wanita dan aron pria 66 orang .


(43)

33 

 

3.1.1. Aron Perempuan

Sebagai seorang yang telah menikah, wanita mempunyai peran dalam keluarga inti sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai pengurus rumah tangga. Ini pada umumnya dirasakan sebagai tugas utama dari seorang wanita yang terkait dalam gambaran perkawinan. Dalam tiga peran tersebut di atas, wanita memberikan diri sepenuhnya demi kesejahteraan keluarganya. Namun dalam kehidupan modern dan era pembangunan dewasa ini, wanita dituntut dan sering juga dimotivasi untuk memberikan sumbangan lebih dari pada diatas, tidak terbatas pada pelayanan suami dan urusan rumah tangga. Banyak wanita d i D e s a L a s u S o l u tidak puas hanya pada peran diatas dan sering keadaan ekonomi keluarga menuntut wanita untuk bekerja diluar atau mencari satu kegiatan yang menambah penghasilan keluarganya

Aron di desa Lau Solu tidak selamanya menggunakan tenaga laki-laki tetapi para ibu-ibu juga terlibat dalam aron, seperti melakukan penanaman padi dan jagung. dimana mereka bekerja berkelompok untuk mengerjakan lahan pertanian. Usia aron perempuan yang bekerja di ladang pemilik lahan bersekitar 30 tahun – 40 tahun, mereka saling berkerja sama dan terlihat kompak dalam mengerjakan lahan tersebut. dalam pengolahan lahan aron perempuan digunakan saat menanam maupun memanen hasil pertanian yang dimana mereka diupah dengan Rp.40.000/hari dari jam 08.00 – 17.00. Didalam pekerjaan yang mereka kerjakan seperti menanam maupun disaat memanen lahan pertanian, mereka mulai berkerja pada pukul 08.00 hingga jam 12.00 mereka istrirahat makan siang, dalam makan siang tersebut mereka membawa bekal mereka masing-masing tanpa meminta makan kepada pemilik lahan, dan kembali bekerja pada pukul 13.00 hingga pada pukul 17.00 dan


(44)

tugas mereka pun selesai pada hari itu.

Dalam melakukan pekerjaan mereka menggunakan alat – alat yang sudah disiapkan oleh sang pemilik lahan mulai dari bibit,pupuk, cangkul dll dalam melakukan pembibitan sebaliknya dalam pemanenan mereka juga sudah disiapkan keperluan mereka oleh sang pemilik lahan mulai dari sabit mesin perontok padi.

3.1.2. Aron Laki-Laki

Pada dasarnya laki-laki adalah merupakan tulang punggung keluarga dan sebagai pemimpinan dan mempunyai sifat kepemimpinan di dalam keluarga . Dari segi fisik laki-laki jauh lebih kuat dari pada wanita, dari segi kesabaran perempuan lebih sabar dari pada laki-laki. Lelaki lebih kepada tenaga yang dimana laki-laki lebih sering melakukan tugas seperti menyemprot tanaman seperti pestisida,didalam melakukan pekerjaan ini umur tidak menjadi permasalahan asal ada keinginan dari aron laki-laki tersebut, selain peyempropatan ada juga tugas laki-laki yakni adalah mundak seperti membawa hasil pertanian dari lahan pertanian ke tempat dimana sang pemilik lahan yang meminitanya. Dalam melakukan pekerjaannya ini mereka mendapat upah satu goni Rp.15.000, dimana dalam membawa hasil panen tersebut mereka menggunakan alat transpot sepeda motor, dalam sekali langsir mereka dapat membawa 4-5 goni. Jadi upah mundak dari aron laki-laki tersebut ditentukan dari banyaknya bawaan mereka dihari itu. Akan tetapi dalam mundak tersebut hanya dikerjakan saat panen saja apabila pada hari-hari biasa mereka mendapat upah Rp50.000/hari.

Di dalam kehidupan sehari-hari apabila untuk aron panggilan maupun lahan yang mau dikerjakan tidak ada maka mereka menggantikan peran istri dirumah seperti menjaga anak-anak mereka dan melakukan tugas-tugas istri yang biasa dilakukan sedang bekerja


(45)

35 

 

sebagai aron. Akan tetapi disaat istri mereka sudah selesai bekerja sebagai aron suami dapat melakukan aktivitasnya terlepas sebagai perkerja aron seperti berkumpul dengan pekerja aron laki-laki di kedai kopi maupun di kedai lapo tuak yang ada disana, hingga ada panggilan dari sang pemilik lahan untuk menyewa jasa mereka lagi.

3.2. Terbentuknya Kelompok Aron

Pada dasarnya aron di Desa Lau Solu merupakan suatu bentuk kerja sama untuk mengerjakan lahan dalam bidang pertanian. Masyarakat desa ini membentuk satu kelompok untuk mengerjakan lahan pertaniannya secara berganti-gantian contohnya, dalam satu hari maupun dua hari kelompok ini mengerjakan satu lahan pertanian milik dari anggota kelompok tersebut, begitulah secara bergantian hingga pekerjaan lahan mereka selesai dikerjakan.

Konsep gotong –royong pada saat sekarang, makna aron pada masyarakat Desa Lau Solu telah berubah itu disebabkan karena adanya perubahan atau makna gotong-royong menurut bapak Kita Ginting :

Aku enggo 60 tahun tubuh jenda, adi nai aron labonggalar egia adi gundari perbahen enterem kalak i kuta enda anak peranana melala merantau erbahenken sekolah ku kota ntah pe erbahenken erdahin ku medan. Maka enterem kalak bas kuta enda mbuat kalak alas itamaken bas juma kalak jenda, enca erbahenken reh sitikna anak perana maka reh ndekahna maka reh nteremna ka kalak alas erdahin ku kuta enda jadi aron siupahi.’

Artinya : saya sudah 60 tahun tinggal disini , jadi kalau dulu aron tidak pernah


(46)

dibayar ataupun diupah , tetapi kalau sekarang karena banyak pemuda yang merantau untuk pendidikan kekota maupun yang bekerja dan mencari kerja disana. Maka banyak masyarakat dikampung ini mengambil orang alas diberi pekerjaan keladang mereka, setelah itu dikarenakan semakin sedikitnya pemuda maka semakin banyak masyarakat alas kerja kekampung ini menjadi aron upahan.

Dari kutipan diatas menurut Bapak Kita Ginting yang menyebabkan ialah akibat pemudanya banyak yang melakukan Urbanisasi salah satu faktor mengapa Desa Lau Solu kekurangan tenaga di Desa nya, sehinggadidatangkan aron dari luar Desa tersebut.

Dalam pembentukan kelompok aron setiap orang berhak menentukan siapa peserta aronnya sendiri. Jam kerja dimulai pada pukul 8.00 Wib – Pukul 18.00 Wib, pembagian kerja dilakukan berdasarkan jenis pekerjaan misalnya pada saat panen pekerjaan laki-laki adalah mengangkat kumpulan-kumpulan padi yang sudah selesai dipotong (raden). Pada saat ini masyarakat sudah menggunakan uang dalam membayar tenaga aron, bagi peserta aron yang tidak dapat datang pada waktu proses bekerja, maka ia membayar dengan uang kepada peserta aron tersebut sesuai dengan gaji aron satu hari, gaji aron pada saat ini adalah Rp. 4000/hari. Pada saat pekerjaan di sawah masing- masing peserta kosong, kelompok aron tersebut akan bekerja di sawah orang lain yang membutuhkan tenaga kerja. Pemilik sawah akan menanyakannya kepada ketua aron. Gaji yang akan diterima juga akan diberikan kepada ketua aron selanjutnya ketua aron yang akan membagikan kepada peserta lainnya. Makanan dan minuman sudah disediakan oleh

pemilik sawah untuk makan siang namun sayur tidak ditanggung oleh peserta aron.


(47)

37 

 

Dalam kondisi sebagai pekerja aron maka tentunya perekonomian mereka telah kita ketahui bahwa mereka memiliki perekonomian yang rendah. Walaupun ada sebagian dari mereka ada juga memiliki lahan sendiri didaerah asal mereka akan tetapi, mereka lebih suka menjadi aron dilahan orang ketimbang mengolah lahan mereka sendiri, dikarenakan kurangnya modal mereka untuk membuka lahan sehingga mereka lebih suka menjadi aron dikarenakan mereka dapat mendapat penghasilan yang pasti ketimbang menolah lahan mereka yang tidak pasti ditambah harus memiliki modal.

Dalam segi pendidikan rata-rata anak dari pekerja aron bersekolah setidaknya tamat SD, apabila mereka ada rejeki berlebih maka mereka akan melanjutkan pendidikan anak mereka kejenjang yang lebih, apabila tidak ada rejeki atau perekonomian mereka defisit maka anak mereka tidak dapat dilanjutkan pendidikannya .

Didalam kehidupan sehari-hari anak dari pekerja aron tidak seharian penuh dengan kedua orang tua mereka dikarenakan kedua orang tua mereka harus pergi bekerja pada pagi hari dan kembali pada sore hari ataupun pada malam hari. Akan tetapi disaat salah satu dari kedua orang tua mereka tidak bekerja maka bagian yang tidak bekerja itulah yang menjaga anak, hal ini keseringan ayah yang menjadi penjaga dari anak-anaknya akibat tidak adanya panggilan untuk menjadi pekerja aron. Para pekerja aron laki-laki tidak setiap hari bekerja sehingga anak sepenuhnya tanggung jawab dari ayah akan tetapi kalau ayah bekerja sebagai aron maka peran ayah digantikan oleh ibu.

Sri Rahayu merupakan perantau yang datang dari Aceh Tenggara 3 tahun lalu untuk mengadu nasib. Dia bekerja sebagai buruh harian lepas sejak 2006 alasannya bekerja sebagai buruh aron adalah karena keadaan yang memaksa, dan dia tidak mempunyai

skill untuk mencari pekerjaan lain. Sebelum menjadi buruh harian lepas ibu ini tidak

bekerja. Adapun yang mengajaknya sebagai buruh harian lepas adalah temannya


(48)

(tetangga). Bidang yang biasa dikerjakan oleh ibu Sri Rahayu adalah menyusun barang sehingga terkadang pekerjaannya dilakukan sampai larut malam. Setiap pagi ibu ini bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan untuk keluarga dan menyiapkan bekal makan siang yang akan dibawanya untuk bekerja karena makan siang biasanya tidak ditanggung oleh yang mempekerjakan mereka.

Setelah bersiap-siap dengan pakaian yang mengenakan lengan panjangdan celana panjang yang lusuh maka ibu ini berangkat ke tempat berkumpulnya para aron yaitu di simpang Laudah sekitar jam 07.00 Wib. Disana sudah menunggu para buruh aron yang lain untuk menanti pekerjaan. Mereka sangat berharap ada yang memakai jasa mereka sehingga mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ibu ini dan para buruh aron yang lainnya menunggu sampai jam sepuluh, tetapi biasanya apabila sudah jam sembilan tidak ada yang memakai jasa mereka maka satu per satu orang bepergian meninggalkan lokasi berkumpul buruh aron, yang menunggu sampai jam sepuluh biasanya para ibu-ibu mereka saling bercerita satu sama lain mengenai keseharian mereka. Setelah itu sekitar jam sebelas ibu ayu pulang ke rumahnya.

Sistem pekerjaan dan penerimaan upah yang dilakukan adalah sistem upah harian dengan upah sebesar Rp 40.000 per harinya dengan rata-rata kerja dalam seminggu adalah 3 hari. Jika masa panen maka pekerjaan akan banyak dan biasa saja dalam seminggu itu dia bekerja setiap hari tetapi sebaliknya jika pekerjaan sepi. Tidak saat masa panen dan banyak terjadi kegagalan panen maka secara otomatis pekerjaan juga akan sepi bahkan terkadang dalam seminggu satu hari pun tidak bekerja. Rata-rata jam kerja ibu Ayu ini adalah 8 jam tetapi terkadang mau juga sampai 13 jam karena menyusun barang membutuhkan waktu yang sangat lama dan bekerja sampai larut malam.


(49)

39 

 

Ibu Ayu ini tinggal di sebuah rumah sewaan yang dulunya adalah sebuah bengkel. Kondisi bangunan rumah yang ditempati bersama keluarganya terbuat dari papan dengan lantai papan dan beratapkan seng. Luas rumah yang mereka tempati hanya seluas 4m x 4m yang dihuni oleh 3 orang.

Suami ibu Ayu bernama Rudi sohlin umurnya sekitar 37 tahun dan bekerja sebagai aron juga. 2 orang anaknya tidak kesampaian sekolahnya sedangkan yang ketiga masih sekolah. Anak sulungnya bernama Yenni usianya 17 tahun hanya tamat SMP, setelah itu dia tidak melanjutkan sekolahnya lagi karena kekurangan biaya. Anak nomor dua bernama Herman berusia 15 tahun dan hanya menamatkan hingga sampai jenjang SD, putus sekolah karena tidak ada biaya juga. Anak yang nomor tiga bernama Agus dan duduk di kelas 2 SMP Negeri 1 Lau Solu. Pendidikan Ibu Ayu ini tidak tamat SD karena kurang biaya dan keinginan untuk bersekolah di kampung mereka memang masih sangat rendah, akibatnya untuk mencari pekerjaan di sektor formal tidak memungkinkan untuknya. Pekerjaan yang di adalah andalkan kekuatan fisik yang merupakan pilihan terakhir baginya karena dia tidak mempunyai keterampilan dan kemampuan di bidang lain. Pendapatan yang diperolehnya sebagai buruh harian lepas ini sangat kurang tetapi dia tidak mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan keluarga dan hanya mengharapkan penghasilan dari suaminya yang bekerja sebagai pekerja aron.

Ibu Ayu ini merasa apa yang diperolehnya untuk saat ini sudah lebih dari cukup, Selain sebagai Aron Ibu ayu juga mempunyai kewajiban sebagai ibu rumah tangga dimana dia harus mengurus anak dan suaminya setiap hari sebelum dia berangkat bekerja sebagai aron.

Jenis pekerjaan di ladang yang Ibu Ayu lakukan terbilang cukup beragam,


(50)

sebagaimana beragamnya jenis tanaman di ladang. Untuk menyebut beberapa, katakanlah jenis pekerjaan itu seperti mengutip (memanen) jeruk, mengangkat (itu istilah setempat, artinya sama dengan memanen) kol, panen jagung, kentang dan komoditi lainnya, kadang membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar tanaman, menanam benih atau bibit tanaman, atau bahkan sekedar mengangkat tanah/pupuk kandang dari sekitar ladang ke batang jeruk. Ibu Ayu ini mengaku bisa hidup di Tanah Karo dengan bergantung sebagai ‘aron’, dan biarpun dalam kesehariannya mereka harus hidup pas-pasan tapi mereka masih bisa menabung sisa upah setiap harinya sedikit demi sedikit.

Menurut Ibu Ayu, mereka sangat terbantu karena sebagian bahan untuk memasak seperti sayur-sayuran dan juga buah, sering mereka petik dari ladang tempat mereka bekerja itu. Memang, biasanya di pinggiran ladang ataupun di sela-sela tanaman utama, petani Lau Solu juga bertanam berbagai jenis sayur seperti daun ubi, papaya, jipang, labu, daun prei dan terong dalam jumlah seadanya. Pemilik ladang tentu saja tidak keberatan sayur-sayuran itu diambil para pekerja asalkan dalam jumlah yang pantas untuk sekedar dipergunakan, bukan untuk dijual. Maka jangan heran saat melihat para ‘aron’ ( Ibu Ayu) pulang sehabis bekerja di ladang, keranjang mereka telah berisi sayur-sayuran lengkap dengan buah segar seperti jeruk, pisang, jambu dan ‘terong berastagi’ (atau terong belanda).

3.3. Aron Pendatang

Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan meninggalkan kebudayaan gotong royong (arron), dikarenakan masyarakat lebih memilih membayar (mengupahi) orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Karena pada saat ini aron dikenal dengan orang/atau sebuah komunitas yang bekerja di areal pertanian yang mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari sipemilik lahan.


(51)

41 

 

Pada dasarnya jika pada suatu kelompok pendatang datang kesuatu daerah dimana daerah tersebut memiliki kelompok mayoritas maka mereka tentu memiliki tujuan dan motivasi di daerah tersebut. Sama halnya dalam aron pendatang ini, mereka mempunyai tujuan dimana mereka menawarkan tenaga mereka kepada penduduk lokal dengan tujuan mendapatkan imbalan dari jasa mereka, dimana mereka akan dipanggil sewaktu panen saja, akan tetapi ada sebagian dari mereka yang memutuskan untuk tinggal di Desa Lau Solu sebagai Aron dimana mereka bekerja tidak hanya sewaktu panen saja akan tetapi juga sebagai sewaktu menanam. Mereka mengambil keputusan untuk menetap dikarenakan selalu adanya panggilan buat mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Masyarakat Desa Lau Solu mayoritas memiliki lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut. Masyarakat menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola pertanian mereka.

Dibandingkan dengan daerah asal mereka pendapatan dari pekerjaan sebagai Aron sangatlah berharga dimana mereka tidak mendapatkannya di daerah asal mereka. Kedatangan mereka sendiri tidak terlepas dari adanya panggilan-panggilan dari si pemilik lahan itu sendiri sehingga mereka dapat bekerja. Untuk menambah tenaga kerja dalam mengelola lahan pertanian mereka, masyarakat Desa Lau Solu mencari orang untuk dapat membantu pendatang yang mencari kerja ini mereka menyebutnya dengan aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain disediakan tempat tinggalnya


(52)

oleh sipemilik lahan ataupun orang yang memakai tenaga mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk tinggal sementara di Desa Lau Solu.

3.5. Aron Lokal

Pada dasarnya dibentuknya aron tersebut adalah untuk memudahkan penyelesaian pekerjaan- pekerjaan di sawah maupun di ladang. Pekerjaan yang tadinya begitu berat maka akan terasa lebih ringan.

Pada saat bekerja terasa suasana ramai dan gembira sehingga perasaan letih pun berkurang. Dalam pelaksanaan aron terdapat beberapa aturan dan cara-cara serta peranan yang saling berkaitan satu sama lain, yang ditempuh ataupun yang dilaksanakan oleh setiap pesertanya, yakni seseorang yang membutuhkan tenaga tambahan dalam mengisi kekurangan tenaga di lingkungan keluarganya. Setiap peserta wajib mengembalikan jasa

(gegeh) yang pernah diterimanya, dan setiap peserta berhak menerima jasa peserta lain

pada waktu kegiatan yang sama. Misalnya hari ini bekerja di sawah si A, maka si B harus wajib datang untuk mengerjakan pekerjaan si A. Sebalikknya, ketika tiba giliran si B maka si A wajib datang mengerjakan sawah si B. Adanya kerja sama ini bertujuan adanya timbal balik diantara satu sama lain, yang saling membutuhkan.

Keanggotaan dalam satu kelompok aron berjumlah diantara 6-12 orang (aron si

sepuluh dua). Setiap anggota mempunyai dan memiliki kesempatan yang sama dalam

meyelesaikan pekerjaan masing-masing. Pada umumnya yang menjadi anggota peserta aron adalah orang tua baik itu laki-laki (perbapan), dan perempuan (pernanden) dan ada juga muda-mudi (singuda-nguda-anak perana) yang sudah mampu untuk bekerja. Hak dan kewajiban dari setiap anggota aron adalah sama yaitu peserta kelompok harus bekerja bersama-sama di lahan baik itu di ladang maupun di sawah setiap anggota


(53)

43 

 

kelompok, dan berhak untuk menerima kembali tenaga yang telah diberikan sebelumnya kepada anggota kelompoknya.

Dahulu panen dilakukan sekali dalam setahun, padi yang ditanam tidak dijual tetapi dijadikan beras untuk makan kalaupun ada yang untuk dijual untuk itupun membeli kebutuhan sehari-hari seperti garam, dan minyak tanah. Untuk mendapatkan keperluan dan untuk menjual hasil ladang mereka, warga harus pergi ke pasar atau disebut dengan tiga. Nama pasar tersebut adalah tiga Lau baleng yang berada di sebelah timur Desa Lau Solu dan yang kedua adalah tiga mardinding yang berada di sebelah barat Desa Lau Solu. Untuk mencapai pasar tersebut warga harus berjalan kaki dan menjunjung barang yang mereka bawa.

Saat mengerjakan pekerjaan di ladang mereka melakukannya dengan cara siurup-urupen yaitu dengan saling membantu antara satu keluarga dengan keluarga yang lain setiap ada pekerjann di ladang. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam pengolahan ladang adalah dimulai dari menebang pohon (ngerabi), pohon-pohon akan ditebang sesuai dengan luas lahan yang akan dijadikan untuk tempat bercocok tanam. Pohon-pohon yang sudah ditebang akan dikumpulkan dan akan dibawa pulang untuk dijadikan kayu bakar. Alat yang diperlukan untuk menebang pohon tersebut adalah kapak dan parang. Pekerjaan ngerabi dikerjakan oleh laki-laki baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah yaitu pemuda (anak perana) yang dianggap sudah mampu untuk bekerja. Sedangkan para kaum perempuan baik itu ibu-ibu maupun anak gadis

(singuda-nguda) membantu mengangkat ranting-ranting kayu yang sudah dipotong, serta

menyediakan makanan dan minuman. Setelah pohon-pohon sudah selesai ditebang maka proses selanjutnya adalah membabat (ngerentes). Rumput-rumput yang berada di lahan tersebut akan dibabat supaya lebih mudah untuk membersihkan lahan. Setelah


(54)

rumput-rumput tersebut selesai dibabat maka akan dikumpulkan kemudian dibakar. Setelah rumput- rumput selesai dibakar, lahan dibiarkan selama beberapa hari sampai hujan turun, dengan tujuan supaya dalam proses pengolahan tanah lebih mudah mengerjakannya. Proses selanjutnya adalah penanaman (nuan), pada proses ini tanah akan dilubangi dengan menggunakan kayu (lebeng), kemudian bibit padi dimasukkan ke dalam lubang sebanyak tiga biji kemudian ditutup dengan tanah.

Setelah proses penanaman selesai, proses selanjutnya adalah perawatan yaitu membersihkan rumput-rumput yang berada di sekitar tanaman padi (merumput), alat yang diperlukan adalah cukup dengan tangan saja. Pekerjaan merumput dikerjakan oleh kaum perempuan baik itu ibu-ibu (pernanden) maupun anak gadis (singuda-nguda). Proses selanjutnya adalah panen (rani), padi yang sudah tua akan dipotong dengan menggunakan ketam yaitu terbuat dari bambu yang dibuat berbentuk pisau yang tajam. Setelah proses memotong selesai maka potongan-potongan padi tersebut akan dikumpulkan kemudian akan dibersihkan (ngerik) yaitu memisahkan buah dari batangnya dengan cara menginjak-injak batang padi tersebut dengan kaki. Setelah selesai selanjutnya akan dibersihkan (ngangin) kemudian dijemur sampai kering supaya tidak berbau, setelah itu dibawa kerumah dengan menjunjung. Setelah itu padi tersebut di simpan di

lumbung yaitu tempat penyimpanan padi. Pekerjaan memotong padi dikerjakan secara

bersama-sama baik itu laki-laki maupun perempuan.

Dalam pengolahan lahan di ladang dikerjakan secara bersama-sama diantara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau disebut dengan siurup-urupen. Setiap keluarga yang membutuhkan bantuan tenaga untuk mengerjakan ladangnya, cukup dengan meminta bantuan kepada kerabatnya dengan sedang hati mereka akan membantu. Pada saat itu, jam kerja tidak ditentukan oleh pemilik ladang, jika hari sudah sore pekerjaan akan


(55)

45 

 

ditinggalkan dan dilanjutkan besok. Pembagian pekerjaan dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan.

3.6. TAHAP – TAHAP KEGIATAN ARON DALAM MENGELOLA SAWAH 3.6.1 Penyemaian Bibit

Sebelum proses menanam (neldek) dilakukan, sebelumnya telah dilakukan penyemaian bibit padi di suatu sawah tertentu yang disebut dengan ingan penemen. Tempat penyemaian ini dilakukan di sawah, benih yang disemai, terlebih dahulu direndam dalam air selama tiga hari biasanya direndam di kolam ikan dan di sungai. Kemudian dikeringkan dengan panas matahari selama satu hari dan ditutup dengan daun pisang supaya tidak dimakan burung. Setelah itu akan ditaburkan ketempat penyemaian dan dibiarkan selama 35 hari.

Gbr. 1.1 ibu sulastri menanam bibit padi

Jenis bibit yang disemai adalah jenis bibit padi lokal dan jenis bibit padi unggul,


(56)

adapun jenis bibit padi yang lokal adalah padi cantik manis (page cantek manis) sedangkan jenis bibit padi yang unggul adalah padi “cheserang” dan padi Malaysia. Bibit padi dapat diperoleh dari pemerintah dan ada juga dari tetangga. Biasanya bibit yang diperoleh dari pemerintah adalah jenis bibit unggul, sedangkan bibit yang diperoleh dari tetangga atau warga desa adalah jenis bibit padi lokal. Warga akan membeli kepada tetangganya dan ada juga yang meminjam dan dikembalikan pada saat panen tiba.

Ketika berumur dua minggu, bibit padi tersebut diberi pupuk urea sebagai perangsang penghijauan daun sekaligus untuk menghindari serangan dari semut dan belalang. Setelah itu rumput-rumput yang ada sekitar pematang sawah dibersihkan dan siput-siput (cih gara) yang terdapat di sawah tersebut dibuang supaya bibit padi yang sudah tumbuh tidak dimakan. Pekerjaan menyemai bibit dikerjaan oleh kaum perempuan.


(1)

LAMPIRAN

(http:// id.wikipedia.org/wiki gotong royong), diakses tanggal 10 februari 2009

Tabel III Sarana dan Prasarana

NO Jenis Sarana Jumlah

1 Sekolah Dasar 1

2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 1

3 Puskesmas Pembantu 1

4 Bidan Desa 3

5 Gereja 2

6 Mesjid 1

7 Lost (Balai Desa) 1

8 Pemandian Umum/Tapin 1

9 Kamar Mandi Umum 2

10 Pabrik Padi 3

11 Wartel 1


(2)

Tabel IV

Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Agama

NO Agama Jumlah

(orang)

Persentase (%)

1 Kristen Protestan 387 47,5%

2 Kristen Khatolik 238 29,2%

3 Islam 190 23,1%

Sumber: Kantor Kepala Desa Sugihen Tahun 2008

Tabel V

Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Usia NO Usia (Tahun) Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

1 0-5 91 11,2 %

2 6-12 97 11,9 %

3 13-19 85 10,4 %

4 20-25 73 8,9 %

5 26-40 146 17,9 %

6 41-60 186 22,8 %

7 61-75 120 14,7 %

8 76- Usia Lanjut 17 2,1 %

Sumber: Kantor Kepala Desa Sugihen Tahun 2008

Tabel VI

Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan NO Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tidak Tamat SD 100 12,7 %


(3)

3 Tamat SLB 1 0,1 %

4 Tamat SLTP 140 17,8 %

5 Tamat SLTA 260 33,1 %

6 Tamat Sarjana 55 7 %

Sumber: Kantor Kepala Desa Sugihen Tahun 2008

Tabel VII

Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian NO Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Petani 428 90,9 %

2 Pegawai Pemerintah

17 4,1 %

3 Tukang Bangunan

2 0,4 %

4 Wiraswasta 20 4,2 %

5 Guru Bantu (Honor)

4 0,8 %

Sumber: Kantor Kepala Desa Sugihen Tahun 2008


(4)

Gambar 18 : Gambar 19 :

Jalan Menuju Perjuman Taneh Mate Selesai makan siang dengan aron

Gambar 20:

Pemilik ladang kerangen tambak Gambar 21 : Aliran air yang menuju sawah kerangan tambak


(5)

Gambar 22 : Padi ketika berbulir Gambar 23 : Padi selesai dibersihkan


(6)

Gambar 28: Memotong padi (nabi)