Analisis Kelayakan Finansial Agroforestri Suren (Toona sureni Merr.) dan Kopi Arabika (Coffea arabica L.)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Hutan Lestari
Wajah dunia kehutanan di masa depan adalah wajah pengelolaan hutan
lestari yang diyakini menjadi satu-satunya sistem pengelolaan hutan yang dapat
memenuhi tiga tujuan sekaligus, yaitu tercapainya optimalisasi produksi
kehutanan, terpeliharanya kualitas lingkungan serta terjaminnya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Jaminan ini dikemukakan secara jelas karena
pengelolaan hutan lestari dibangun atas dasar ketiga kelestarian fungsi, yaitu
kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi
sosial. Ketiga kelestarian fungsi tersebut harus menjadi tujuan bagi setiap
pengelolaan hutan baik hutan produksi, hutan konservasi maupun hutan lindung.
Sehingga melalui model ini tidak ada satupun pengelolaan hutan yang tidak
mengindahkan kaidah ketiga kelestarian fungsi tersebut (Ngadiono, 2004).
Pengelolaan hutan lestari telah digambarkan sebagai kontribusi kehutanan
terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari adalah
proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih spesifik tujuan
pengelolaan yang ditentukan tujuan pengelolaannya yang berkaitan dengan alur
kontinuitas produk dan jasa hutan yang dikehendaki, tanpa banyak mengurangi
nilai yang melekat di dalamnya serta produktivitas pada masa yang akan datang
dan tanpa berdampak buruk bagi lingkungan fisik dan sosial (Mayers dkk, 2005).

Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya alam
secara tepat, adil dan berkelanjutan, berdasarkan tradisi dan adat istiadat
masyarakat dengan tetap mengacu pada peraturan Undang-Undang. Masyarakat
dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya atas pengelolaan hutan baik nilai

Universitas Sumatera Utara

ekologi berupa kelestarian hutan, terjaganya kawasan hutan menghindari bencana
alam, tanpa mengabaikan nilai ekonomi berupa terwujudnya peningkatan taraf
hidup masyarakat, serta manfaat wisata yakni berupa terbentuknya kawasan hutan
yang indah dan lestari sebagai objek wisata dan tempat belajar bersama
(Asmanah, 2010).
Dari pengalaman masa lalu, hutan dikelola untuk beragam jenis produk
yang memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat lingkungan dan ekonomi yang
tinggi dapat diupayakan dengan mengelola hutan tanaman kayu-kayuan. Manfaat
sosial dan ekonomi yang tinggi dapat diupayakan dengan mengelola hutan
tanaman HHBK. Lebih lanjut, manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang
mengakomodasi kepentingan masyarakat dapat diupayakan dengan mengelola
hutan tanaman agroforestri (Santoso, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudomo dkk, (2013) mengenai

status riset agroforestri di Indonesia, agroforestri diperlukan dalam rangka
mengembalikan fungsi hutan dan lahan kritis agar dapat bermanfaat secara
ekonomi, sosial, dan positif bagi lingkungan. Hal ini disebabkan pengelolaan
hutan lestari

hanya dapat tercapai jika dapat mengakomodir ketiga fungsi

tersebut. Peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika
komoditas agroforestri yang diusahakan mempunyai kelayakan secara finansial,
teknis, dan sesuai keinginan masyarakat. Kelayakan secara teknis dapat dicapai
dengan pengetahuan teknologi agroforestri mulai dari pemilihan jenis, teknik
silvikultur agroforestri, dan manajemen tapak tempat tumbuh, serta pengendalian
hama dan penyakit tanaman.

Universitas Sumatera Utara

Sistem Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu pemanfaatan lahan kuno yang telah
dipraktikkan selama ribuan tahun oleh para petani di seluruh dunia. Kendati
dalam beberapa tahun terakhir juga telah dikembangkan sebagai ilmu yang

menjanjikan untuk membantu petani meningkatkan produktivitas, profitabilitas,
dan keberlanjutan produksi di lahan mereka. Upaya guna mendefinisikan
agroforestri dimulai pada pertengahan 1970-an dan berkembang pesat sebagai
penelitian yang dimulai dari keragaman dan ruang lingkup praktik agroforestri
(MacDicken dan Napoleon, 1990).
Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang lestari yang
meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, dengan cara memadukan produksi
hasil dari tanaman pangan (termasuk hasil panen pohon-pohonan) dan tanaman
kehutanan dan atau hewan-hewan secara bersama-sama atau berurutan pada unit
bidang lahan yang sama, dan mangaplikasikan praktek-praktek manajemen yang
sesuai dengan pola-pola kebudayaan penduduk setempat. Agroforestri telah
meningkat secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam hal
potensi untuk mengoptimalkan penggunaan lahan di negara-negara berkembang di
daerah tropis. Tujuan utama adalah produksi pangan dan konservasi dan
rehabilitasi sumber daya tanah yang diperlukan untuk produksi pangan di masa
depan (King dan Chandler, 1978).
Menurut Suprayogo dkk, (2003) berbagai komponen dalam sistem
agroforestri adalah sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


a. Komponen tanaman. Pada prinsipnya semua tanaman itu sama, tanaman dapat
tumbuh dan memiliki batang, daun, akar dan sebagainya, tetapi mereka
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
b. Komponen tanah. Semua tanah sama, tersusun atas air, mineral, bahan organik
dan udara, namun jumlah, komposisi dan letaknya di dalam profil tanah
berbeda-beda.
c. Cara pengelolaan. Semua sistem pertanian mempunyai tujuan yang sama yaitu
memperoleh produksi tanaman yang optimum, namun cara pengelolaannya
bermacam-macam. Perbedaan pengelolaan itu meliputi perbedaan teknik
penyediaan lahan, sifat tanaman yang ditanam, posisi atau pengaturannya di
dalam petak, pemupukan, pemangkasan dan kalender tanamnya.
Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian
monokultur, dan keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan
antara model agroforestri dengan model sistem lain. Menurut Suprayogo dkk,
(2003) beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah sebagai
berikut.
1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri,
yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim.
2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan

cahaya, penyerapan air dan unsur hara.
3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman.
4. Perbedaan perkembangan tanah. Perubahan tanah berbeda berdasarkan sistem
tipe agroforestri: (a) sistem rotasi, (b) kepadatan spasial dari sistem campuran,
dan (c) spasial terbuka dari sistem campuran dan sistem zone spasial.

Universitas Sumatera Utara

5. Banyak macam keluaran (output).
Agroforestri sebagai sebuah teknik penanaman campuran memiliki ruang
lingkup beragam. Klasifikasi ini ditunjukkan dari kombinasi beberapa unsur
penyusun. Sebuah sistem baru terbentuk dari perbedaan elemen-elemen penyusun
(subsistem). Agoforestri adalah pola tanam dinamis bukan statis. Artinya setiap
kombinasi elemen berbeda melahirkan sistem yang berbeda pula. Perbedaan
sistem ini menambah khasanah kekayaan sistem agroforestri. Ruang lingkup
agroforestri semakin luas dan masyarakat memiliki alternatif aplikasi salah satu
sistem sesuai karakteristik kawasan, minat serta tujuan pemanfaatan lahan. Pada
kawasan tertentu, sangat mungkin dijumpai beraneka ragam pola pemanfaatan
lahan. Menurut Mahendra (2009) terdapat beberapa bentuk agroforestri antara lain
sebagai berikut.

1. Agrisilviculture, yaitu pola penggunaan lahan yang terdiri atas kombinasi
tanaman pertanian (pangan) dengan tanaman kehutanan dalam ruang dan
waktu yang sama.
2. Sylvopastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan yang menghasilkan kayu
sekaligus berfungsi sebagai padang pengembalaan. Ternak-ternak milik bisa
leluasa mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) pada lahan tersebut.
3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan yang memiliki tiga fungsi
pokok sekaligus, antara lain sebagai penghasil kayu, penyediaan tanaman
pangan, dan juga padang pengembalaan untuk memelihara ternak. Ketiga
fungsi tersebut bisa maksimal bila lahan yang dikelola memiliki luasan yang
cukup. Bila terlalu sempit maka akan menjadi kompetisi negatif antara
komponen penyusun.

Universitas Sumatera Utara

4. Sylvofishery, yaitu sistem pengelolaan lahan yang dirancang untuk
menghasilkan kayu sekaligus berfungsi sebagai tambak ikan.
5. Apiculture, yaitu sistem pengelolaan hutan yang memfungsikan pohon-pohon
ditanam sebagai sumber pakan lebah madu. Selain memproduksi kayu, juga
menghasilkan madu yang memiliki nilai jual tinggi dan berkhasiat obat.

6. Sericulture, yaitu sistem pengelolaan lahan yang menjadikan pohon-pohon
untuk memelihara ulat sutera. Sehingga murbei yang menjadi makanan pokok
ulat sutera harus ada dalam jumlah besar pada lahan tersebut.
7. Multipurpose forest tree production, yaitu sistem pengelolaan lahan yang
mengambil berbagai macam manfaat dari pohon baik dari kayunya, buahnya,
maupun daunnya. Sistem ini merupakan pengoptimalan fungsi dari pohon
yang ditanam. Sistem ini merupakan kombinasi antara pohon penghasil kayu,
penghasil buah maupun yang diambil daunnya untuk hijauan makanan ternak
(HMT).
Menurut Andayani (2005) agroforestri merupakan salah satu bentuk pola
tanam ganda yang dalam diversifikasi jenis bisa terdiri dari kombinasi jenis
tanaman yang termasuk dalam kategori tanaman semusim dan tanaman tahunan.
Oleh karena itu, agroforestri sebagai salah satu sistem usaha tani diduga bisa
memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Agroforestri sebagai suatu
model usahatani memiliki peran yang semakin signifikan, terutama bagi sebagian
besar petani yang memiliki luas lahan garapan relatif terbatas (sempit). Oleh
karena itu, dengan menerapkan pola dimaksud akan memberikan kemungkinan
bagi pemilik untuk meningkatkan intesitas panen yang pada akhirnya mampu
memberikan tambahan output baik berupa hasil fisik maupun nilai finansial.


Universitas Sumatera Utara

Sistem agroforestri yang diatur dengan baik dapat meningkatkan
kesuburan lahan yang akan berdampak pada peningkatan kualitas tanaman.
Apabila dirancang serta dibimbing dengan baik, agroforestri dengan sistem
tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk meningkatkan
produksi pangan nasional melalui penanaman komoditas tertentu yang bernilai
ekonomi tinggi (Ashari dan Henny, 2011).
Nusa Tenggara kaya akan model wanatani (agroforestri) tetapi umumnya
adalah berbasis pertanian, peternakan dan perkebunan rakyat. Masyarakat petani
yang berada di dataran tinggi Manggarai (Flores Barat) melakukan modifikasi
pengembangan kopi dengan menggunakan Albizia chinensis sebagai tanaman
pelindung kopi. Masyarakat melakukan inisiatif memadukan kedua tanaman ini
dalam pola agroforestri. Selain Albizia, di Ngada dan Manggarai masyarakat
menggunakan tanaman dadap (Erythrina urophylla), gamal (Gliricidia sepium),
lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai pelindung kopi (Adolf dkk, 2003).
Pemanfaatan lahan pola agroforestri di kawasan hutan dapat dijumpai
seperti di kawasan KHDTK Borisallo. Pemanfaatan lahan pola agroforestri di
KHDTK Borisallo secara finansial berdasarkan NPV, BCR, dan IRR layak
dikembangkan dengan menggunakan proporsi tanaman kopi 70% dan kakao 30%

(Wakka dan Nur, 2010).
Dengan sistem agroforestri petani akan lebih intens dalam mengelola
lahannya. Sebab petani tidak hanya merawat tanaman berkayu yang daurnya
cukup lama, namun juga merawat tanaman semusim yang waktu panennya
pendek. Sehingga disamping hasil dari tanaman berkayu, petani juga bisa
memperoleh hasil dari tanaman semusim setiap musimnya (Hardjanto, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Deskripsi Tanaman Kopi Arabika Varietas Sigarar Utang
Menurut Rahardjo (2013) kopi merupakan komoditas rakyat yang sudah
cukup lama dibudidayakan dan mampu manjadi sumber nafkah bagi lebih dari
satu setengah jiwa petani kopi Indonesia. Kopi arabika (Coffea arabica) berasal
dari Afrika, yaitu dari daerah pegunungan di Etiopia. Namun demikian, kopi baru
dikenal oleh mayarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar
daerah asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan Jazirah Arab. Melalui para
saudagar arab, minuman tersebut menyebar ke daratan lainnya. Genus Coffea
mencakup hampir 70 spesies, tetapi hanya ada dua spesies yang ditanam dalam
skala luas di seluruh dunia, yaitu kopi arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta
(Coffea canephora var. robusta). Sementara itu, sekitar 2% dari total produksi

dunia dari dua spesies kopi lainnya, yaitu kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi
ekselsa (Coffea excelsa) yang ditanam dalam skala terbatas, terutama di Afrika
Barat dan Asia. Ahli-ahli tumbuhan (botanis), Linnaeus, menamakan tanaman
kopi arabika dengan nama ilmiah Coffea arabica karena mengira kopi berasal dari
Arab. Berikut sistem taksonomi kopi.
Kingdom

:

Plantae (Tumbuhan)

Divisi

:

Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas

:


Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil)

Ordo

:

Rubiales

Famili

:

Rubiaceae (Suku kopi-kopian)

Genus

:

Coffea

Spesies

:

Coffea arabica L.

Universitas Sumatera Utara

Kopi arabika adalah jenis tanaman dataran tinggi antar 1.250-1.850 m dari
permukaan laut, dengan suhu sekitar 17-21ºC. Tanaman ini banyak terdapat di
Ethiopia pada garis lintang belahan utara 6-9º sampai daerah subtropis 24º pada
garis lintang belahan selatan, misalnya Panama sebelah Utara dan Brasilia. Di
Indonesia kopi arabika ini bisa produktif dan tahan terhadap Hemilia vastatrix,
bila ditanam pada ketinggian 1.000–1.750 m dari permukaan laut, dengan suhu
sekitar 16-20ºC (AAK, 1988).
Menteri pertanian menimbang bahwa dalam rangka usaha meningkatkan
produksi dan mutu kopi, varietas Sigarar utang mempunyai peranan penting. Kopi
varietas atau klon Sigarar utang mempunyai keunggulan dibanding dengan
varietas lainnya dalam hal cita rasa dan produktivitas biji kopi. Berdasarkan hal
tersebut diatas, dipandang perlu untuk melepas kopi varietas Sigarar utang sebagai
varietas unggul. Kopi Arabika varietas Sigarar utang ditemukan antara
pertanaman kopi yang ditanam Opung Sopan Boru Siregar di Desa Batu Gajah,
Paranginan, Lintong, Humbang Hasundutan (1.400 m dpl) pada tahun 1988.
Berdasarkan karakter morfologi pada keturunan segregasinya, diduga merupakan
keturunan persilangan alami antara varietas typical BLP dengan Catimor yang ada
disekitar pertanaman tersebut (Keputusan Menteri Pertanian, 2005).
Tanaman kopi Sigarar utang mempunyai perawakan semi katai, ruas
cabang pendek, tajuk rimbun menutup seluruh permukaan pohon sehingga batang
pokok tidak tampak dari luar. Sifat percabangan sekunder sangat aktif bahkan
cabang primer di atas permukaan tanah membentuk kipas berjuntai menyentuh
tanah. Daun tua berwarna hijau tua, daun muda berwarna coklat kemerahan.
Apabila ditanam tanpa naungan tepi daun bergelombang dan helaian daun

Universitas Sumatera Utara

mengatup ke atas, jika dilihat sepintas bentuk daun panjang meruncing dan tepi
daun bergelombang. Buah muda berwarna hijau sedangkan buah masak berwarna
merah cerah, bentuk buah bulat memanjang berukuran besar dan 100 buah masak
(merah) rata–rata 196 gr. Potensi produksi berkisar antara 800–2.300 kg biji/ha
(Situmorang, 2013).
Tanaman kopi yang terawat dengan baik dapat mulai berproduksi pada
umur 2,5-3 tahun tergantung dari lingkungan dan jenisnya. Tanaman kopi robusta
dapat berproduksi mulai dari umur 2,5 tahun, sedangkan tanaman kopi arabika
pada umur 2,5-3 tahun. Jumlah kopi yang dipetik pada panen pertama relatif
masih sedikit dan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya umur
tanaman sampai mencapai puncaknya pada umur 7-9 tahun. Pada umur puncak
tersebut produksi kopi dapat mencapi 9-15 kuintal kopi beras/ha/tahun untuk kopi
arabika. Namun demikian, bila tanaman kopi dipelihara secara intensif dapat
mencapai hasil 20 kuintal kopi beras/ha/tahun. Siklus produksi dari tanaman kopi
dapat berlangsung hingga tanaman kopi berumur 21 tahun (Direktorat Kredit,
BPR dan UMKM, 2015).
Bagi petani, kopi mempunyai arti ekonomi yang cukup penting. Sejak
puluhan tahun yang lalu kopi telah menjadi sumber nafkah bagi banyak petani.
Tanpa pemeliharaan yang berarti pun, tanaman kopi sudah bisa memberikan hasil
yang cukup lumayan untuk menambah penghasilan. Apalagi bila pemeliharaan
dan pengolahannya cukup baik, pasti usaha ini mendatangkan keuntungan yang
berlipat ganda. Selain sebagai komoditi ekspor, kopi juga merupakan komoditi
yang dikomsumsi di dalam negeri. Menurut survei yang dilakukan oleh

Universitas Sumatera Utara

Departemen Pertanian, rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi kopi
sebanyak 0,5kg/orang/tahun (Danarti dan Sri, 1997).
Kopi termasuk komoditas perkebunan yang banyak diperdagangkan di
dunia international. Rata-rata persentase peningkatan konsumsi kopi di Benua
Asia sebesar 5%-8% setiap tahun. Sementara itu, di Benua Amerika dan Eropa
naik hingga 8% per tahun. Pada tahun 2003, permintaan kopi dalam negeri
mencapai lebih dari 140.000 ton. Harga perdagangan kopi lokal Indonesia ratarata meningkat sebesar 15%-30%. Bahkan, untuk jenis kopi arabika, harga jualnya
pada tahun 2006-2007 meningkat hingga 60%. Pada pertengahan tahun 2010,
harga jual kopi berfluktasi sangat tinggi. Di dunia, fluktasi harga kopi untuk grade
1-3 (kualitas tinggi) sangat tergantung dari bursa perdagangan di London (Inggris)
dan New York (Amerika Serikat) (Panggabean, 2011).
Pohon Penaung Tanaman Kopi
Tanaman kopi memerlukan tanaman pelindung untuk mengurangi
intensitas matahari yang sampai di kanopi daun, karena tanaman ini tidak dapat
tumbuh dengan baik apabila diusahakan pada areal yang terbuka. Berbagai jenis
tanaman pelindung telah banyak dikenal oleh pekebun kopi, diantaranya adalah
tanaman gamal, lantoro, dadap, suren dan lain sebagainya. Respon pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kopi terhadap tanaman pelindung ini sangat nyata.
Pada pertanaman kopi yang diusahakan di tempat terbuka tanpa menggunakan
tanaman pelindung pertumbuhannya akan sangat lambat, warna daunnya
kekuningan, tanaman cenderung tumbuh kerdil yang ditandai dengan semakin
pendeknya panjang antar cabang produktif, pembungaan lebih lambat,
produksinya juga akan lebih rendah karena cabang produksinya lebih pendek jika

Universitas Sumatera Utara

dibanding dengan tanaman kopi yang menggunakan tanaman pelindung.
Sebaliknya, apabila tanaman pelindungnya terlalu rimbun tanaman kopi akan
mengalami pertumbuhan yang kurang baik yang ditandai dengan daun berwarna
hijau gelap, melebar dan lebih tipis dengan jumlah daunnya juga berkurang
(Pranowo, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Evizal dkk, (2012) mengenai peran
pohon pelindung terhadap produktivitas kopi, jenis pohon pelindung yang
digunakan untuk tanaman kopi berpengaruh terhadap produktivitas kopi. Tanaman
kopi tanpa pohon pelindung memiliki nilai kembalian hara yang negatif yang
menunjukkan jumlah unsur hara yang dikuras dalam buah yang dipanen. Pohon
pelindung menentukan produktivitas buah kopi berkaitan dengan peran pohon
pelindung sebagai penghasil serasah guguran tajuk dan siklus unsur hara dalam
penaungan tanaman kopi.
Buah kopi yang sudah masak pada umumnya akan bewarna kuning
kemerahan sampai merah tua. Untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi, buah
kopi harus dipetik setelah betul-betul matang, kopi memerlukan waktu dari
kuncup bunga 8 hingga 11 bulan untuk robusta dan 6 sampai 8 bulan untuk
arabika. Musim panen ini biasanya terjadi mulai bulan Mei atau Juni dan berakhir
pada bulan Agustus atau September (Ridwansyah, 2003).
Dalam usaha agroforestri di daerah Chiapas, Mexico, para petani yang
menggunakan sistem agroforestri lebih memilih jenis pohon yang mengacu pada
kesesuaian naungan yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman kopi dan mendorong pematangan buah kopi tepat pada waktunya. Petani
mengelola biodiversitas pohon berdasarkan karakteristik manfaat fungsional yang

Universitas Sumatera Utara

dianggap petani berhubungan dengan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi
produksi kopi, yaitu dimana mencakup naungan yang tepat untuk pohon kopi,
kesuburan tanah, dan tempat yang baik untuk penyerbukan serta agen biokontrol
bagi tanaman kopi. Petani meningkatkan jasa ekosistem dengan cara
meningkatkan jenis pohon yang dinilai memiliki karakteristik sesuai dengan
ekosistem untuk tanaman kopi, dan dengan mengurangi pohon, berarti dapat
merugikan tanaman kopi (Barrios dkk, 2015).
Menurut Bote dan Paul (2011) pohon peneduh melindungi tanaman kopi
dari tekanan lingkungan yang merugikan seperti suhu tanah yang tinggi dan
kelembapan yang relatif rendah. Naungan, juga memicu perbedaaan perilaku
fisiologis tanaman kopi, seperti perbaikan fotosintesis dan peningkatan indeks
luas daun sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada tanaman kopi
yang terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhnya naungan tanaman kopi, juga
membuat meningkatnya produksi kopi dan biji kopi lebih berat dengan rasa kopi
yang lebih baik dibandingkan dengan tanamn kopi yang ditanam dibawah sinar
matahari langsung. Selain itu, pohon naungan berfungsi sebagai alternatif sumber
pendapatan bagi para petani kopi. Naungan pepohonan akan memungkinkan
sumber pendapatan lain dari tanaman naungan seperti buah-buahan, kayu bakar
dan kayu untuk diproduksi, dapat diterima secara social, memiliki nilai ekonomi
lebih, dan lingkungan yang berkelanjutan. Maka dari itu, dianjurkan menanam
kopi di bawah tanaman naungan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap petani di Brazil mengenai
tumpangsari oleh Caporal dkk, (2013) antara pohon dengan tanaman kopi
menunjukkan kegunaan langsung untuk memperoleh produk tambahan dan

Universitas Sumatera Utara

pendapatan tambahan. Secara tidak langsung sistem agroforestri menyediakan jasa
lingkungan dalam agroekosistem. Pada situasi kopi mengalami penurunan harga
budidaya gabungan dalam agroforestri dapat menjamin pendapatan lebih baik. Di
daerah Espirito Santo, Brazil, agroforestri memberi kesempatan memperkenalkan
komponen tanaman kehutanan, rempah-rempah atau buah yang dapat mendukung
jasa lingkungan, menghasilkan kayu berkualitas untuk pertukangan.
Perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir ini memiliki
pengaruh yang kurang baik terhadap produktivitas tanaman kopi. Berdasarkan
hasil penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap tanaman kopi di
Uganda yang dilakukan oleh Jassogne dkk, (2013) menyatakan bahwa perubahan
iklim akan mempengarui fisiologi tanaman. Perubahan iklim akan berdampak
pada tahap pembungaan dan tahap pembentukan kopi arabika.
Deskripsi Tanaman Suren
Berikut adalah taksonomi dari tanaman suren.
Kingdom

:

Plantae (Tumbuhan)

Divisi

:

Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas

:

Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil)

Ordo

:

Sapindales

Famili

:

Meliaceae

Genus

:

Toona

Spesies

:

Toona sureni Merr.

Tanaman suren atau surian ini tumbuh pada daerah bertebing dengan
ketinggian 600 m dpl hingga 2.700 m dpl dengan temperature 22ºC. Kayu suren
bermanfaat sebagai kayu perkakas, papan, peti, kotak cerutu, kayu bangunan,

Universitas Sumatera Utara

plywood, rangka pintu dan jendela, kayu perkapalan, seni ukir dan pahat, potlot,
moulding. Kayu suren juga digunakan untuk lemari, mebel, interior ruangan,
panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik, kotak cerutu, finir, peti kemas, dan
konstruksi (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jratun, 2010).
Tinggi pohon suren dapat mencapai 34 m dengan pajang batang bebas
cabang 10-25 m, diameter dapat mencapai 85 cm, tinggi dan lebar banir masingmasing 0,9 m dan 0,6 m. Berat jenis kayu suren adalah sebesar 0,39. Kulit luar
kayu suren berwarna kelabu atau merah, tidak beralur, mengelupas kecil-kecil.
Kayu suren berbau harum seperti cedar, tetapi bau tersebut lambat laun
menghilang (Martawijaya dkk, 2005).
Penyebaran kayu suren berada di Nepal, India, Myanmar, Thailand,
Malaysia, dan bagian barat Papua Nugini. Di Indonesia, lokasi budidayanya
terdapat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Suren dikenal juga dengan nama surian
(Pulau Sumatera), surian wangi (Malaysia), danupra (Filipina), yetama
(Myanmar), dan surian (Thailand). Suren sebenarnya sangat cocok dibudidayakan
di Indonesia. Selain kondisi iklim yang cocok, kualitas kayu yang dihasilkan dari
Indonesia juga cukup baik. Bagian tanaman yang dimanfaatkan yaitu berupa
batang tanaman kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, furniture,
veneer, dan panel kayu. Selain batang, kulit dan akarnya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat diare dan bahan baku minyak aromatik. Sementara itu,
ekstrak daun suren dipakai sebagai antibiotik dan insektisida alami. Pohon suren
dapat dipanen pada umur 8 hingga 10 tahun dengan diameter lebih dari 30 cm
(Mulyana dan Ceng, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Djam’an (2014) pohon suren ini memiliki karakter khusus seperti
harum yang khas apabila bagian daun atau buah diremas dan pada saat batang
dilukai atau ditebang. Ada ciri lain yang dapat membedakan secara sekilas, yaitu
sebagai berikut.
1. Batang
Bentuk batang lurus dengan bebas cabang mencapai 25 m dan tinggi pohon
dapat mencapai 40 sampai 60 m. Kulit batang kasar dan pecah-pecah seperti
kulit buaya berwarna coklat. Batang berbanir mencapai 2 m.
2. Daun
Daun suren berbentuk oval dengan panjang 10-15 cm, duduk menyirip tunggal
dengan 8-30 pasang daun pada pohon berdiameter 1-2 m.
3. Bunga
Kedudukan bunga adalah terminal dimana keluar dari ujung batang pohon.
Susunan bunga membentuk malai sampai 1 meter. Musim bunga 2 kali dalam
setahun yaitu bulan Februari-Maret dan September-Oktober.
4. Buah
Musim buah 2 kali dalam setahun yaitu bulan Desember-Februari dan bulan
April-September, dihasilkan dalam bentuk rangkaian (malai) seperti rangkaian
bunganya dengan jumlah lebih dari 100 buah pada setiap malai. Buah
berbentuk oval, terbagi menjadi 5 ruang secara vertikal, setiap ruang berisi 6-9
benih. Buah masak ditandai dengan warna kulit buah berubah dari hijau
menjadi coklat tua kusam dan kasar, apabila pecah akan terlihat seperti
bintang. Warna benih cokelat, panjang benih 3-6 mm dan lebarnya

Universitas Sumatera Utara

2-4 mm dan pipih, bersayap pada satu sisi sehingga benihnya akan terbang
terbawa angin. Dalam 1 kg terdapat 64.000 benih.
5. Kayu
Gubal kayu suren berwarna kemerahan dan memiliki tekstur kayu yang kasar.
Kayu suren termasuk kelas awet sehingga termasuk ke dalam kelas kayu
ringan.
Saat ini terjadi defisit pasokan kayu nasional karena target tahun 2004
sebesar 63 juta m3, tidak sesuai dengan target tebangan nasional yang hanya
5,74 m3. Ketimpangan pasokan bahan baku kayu (log) tersebut berdampak buruk
terhadap industri kehutanan. Upaya percepatan pembangunan hutan tanaman
sangat diharapkan karena menjadi tumpuan sumber bahan baku bagi industri
sektor kehutanan menggantikan hutan alam. Upaya besar di atas sangat
membutuhkan dukungan nyata dari aspek pengembangan jenis yang potensial,
adaptif dan produktif serta memiliki spektrum pemanfaatan kayu yang luas. Salah
satu jenis yang prospektif sebagai jenis pilihan untuk dikembangkan pada hutan
tanaman adalah jenis suren. Keberhasilan program pemuliaan tanaman suren
berdampak luas terhadap pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan
tanaman suren dan akan menjadi stimulator aktifnya operasional unit usaha sektor
kehutanan dimasa depan (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan, 2013).
Menurut Aminah dan Ismatul (2007) nilai ekonomi pengusahaan
perhutanan tanaman suren secara tumpang sari dengan padi gogo dan palawija di
Kecamatan Cibugel Kabupaten Sumedang, rata-rata setiap petani memiliki 388
pohon suren. Selama daur, pendapatan dari kayu suren setiap desa dapat

Universitas Sumatera Utara

menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 81.782.094,59/orang/10 tahun dan dari
hasil penjualan benih suren rata-rata setiap desa mempunyai pendapatan sebesar
Rp. 2.354.046,01/tahun, dan pendapatan petani yang dari usaha tani adalah
sebesar Rp 725.059,03/bulan/Ha. Selain itu, tanaman suren tidak mengggangu
tanaman pertanian di bawahnya. Akar tunggang yang dimilikinya tidak
menggangu tanaman di sampingnya dan daunnya tidak terlalu rimbun sehingga
tidak mengganggu tanaman di bawahnya.
Analisis Finansial
Penerapan ekonomika pertanian dalam usahatani adalah untuk memilih
jenis usahatani yang paling menguntungkan di suatu daerah dengan cara
mengalokasikan sumberdaya seperti faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja,
dan modal) secara efektif, efesien, dan kontinu. Keuntungan yang diperoleh
tersebut merupakan salah satu pendapatan petani (outcome). Usaha tani adalah
ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor
produksi (tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida)
dengan efektif, efesien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi
sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Diah, 2008).
Sistem agroforestri menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka
waktu pemanenannya berbeda, di mana paling sedikit satu jenis produknya
membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat
sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan, maka analisis yang
paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial
(Suharjito dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Analisis finansial disusun dengan menghitung biaya yang terdiri dari biaya
tetap (fixed cost), biaya tidak tetap (variable cost) dan biaya rutin (operational
cost). Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani
baik apakah petani melakukan proses produksi maupun tidak. Dengan kata lain
biaya tetap tidak berubah menurut level output yang dihasilkan. Sebagai contoh,
biaya tetap yang pada umumnya harus dianggarkan oleh petani adalah biaya untuk
membangun gudang, membeli peralatan mesin pertanian dan sebagainya. Biaya
variabel (variable cost, VC) adalah biaya produksi yang berubah sesuai dengan
level output yang diproduksi oleh petani. Sebagai contoh, selama satu musim
tanam, biaya variabel yang digunakan untuk memproduksi tanaman jagung adalah
biaya yang dialokasikan untuk membeli input variabel seperti pupuk, benih, dan
obat-obatan (Debertin dan Tatiek, 2013).
Menurut Suharjito dkk, (2003) analisis finansial ditelaah melalui
perhitungan dan kriteria investasi yang meliputi berikut ini.
a. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV), yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai
keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan
memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Suatu usaha
termasuk usaha agroforestri akan dikatakan menguntungkan dan sebagai
implikasinya akan diadopsi oleh masyarakat atau dapat berkembang, apabila
memiliki nilai NPV yang positif.

Universitas Sumatera Utara

b. Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan
pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan
nilai waktu dari uang atau time value of money).
c. Internal Rate of Returns (IRR)
Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum
yang dapat dibayar oleh suatu proyek atau usaha atau dengan kata lain
merupakan

kemampuan

memperoleh

pendapatan

dari

uang

yang

diinvestasikan. Usaha agroforestri akan dikatakan layak apabila nilai IRR
lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut.
Analisis kelayakan finansial pengelolaan tingkat usahatani secara teori
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa dimensi waktu yaitu jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang. Klasifikasi tersebut antara lain
dimaksudkan untuk mengetahui besarnya tingkat kelayakan finansial usahatani
yang dilakukan dan kemungkinan pengembangannya apabila ada perubahan
teknologi usaha yang akan dilakukan (Andayani, 2008).

Universitas Sumatera Utara