Ringkasan Karya Tulis Ilmiah Nasional Hi
Ringkasan Karya Tulis Ilmiah Nasional
Historisitas Pancasila: Review terhadap Sila I Pancasila sebagai
Bentuk Toleransi Nasionasli-Religius dalam Menjaga NKRI
Oleh: In’amul Hasan*
Pancasila dalam sejarah perumusannya mengalami beberapa tahapan. Tahapantahapan tersebut tidak berjalan secara mulus. Ditemukan pertentangan oleh berbagai
kalangan terhadap perumusannya. Misalnya antara nasionalis-religius dengan sekuler,
antara muslim dengan non-muslim. Pada masa perumusan Pancasila oleh BPUPKI
terjadi perselisihan pendapat. Namun, hal itu dapat diselesaikan dengan mulus.
Selanjutnya, hasil kesepakatan rumusan Pancasila oleh Panitia 9 tidak diterima oleh
beberapa kalangan, terutama oleh nasionalis Indonesia bagian Timur karena
ditemukannya kata-kata yang sensitif, seolah-olah NKRI milik sebagian besar rakyat
(Islam) Indonesia saja. Tentu saja hal itu tidak dibiarkan begitu saja oleh para perumus
dasar negara, supaya tidak terjadi perpecahan karena Indonesia pada waktu itu baru
berumur satu hari. Adapun sikap toleransi nasionalis-religius dalam merespon masukan
yang diberikan oleh kalangan nasionalis Indonesia bagian Timur sangat pantas
diteladani dalam merawat kebhinnekaan. Dari “Ketuhanan dengan berkewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah sesuatu yang ‘berubah’ menurut suatu kelompok, namun tidak
menurut kelompok lain. Kaum nasionaslis Timur pada akhirnya menerima perubahan
tersebut karena tidak ditemukan kata-kata yang ‘sensitif’ lagi. Nasionalis-religius
dengan kata mufakat dan rasa toleransi mengubah bunyi Sila I dan tidak mengubah
maknanya, karena prinsip‘monotheisme’ (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditemukan pada
ajaran Islam saja. Nasionalis-religius meyakini bahwa kaum muslimin memang harus
menjalankan Islam sebagaimana mestinya. Dengan hal itu, sila I “Ketuhanan Yang
Maha Esa” adalah Allah swt. yang wajib disembah dan dijalankan syariatnya oleh orang
Islam. Hal itu dapat juga dilihat dan dikuatkan pada alinea ketiga Pembukaan UUD
1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Jika nasionalis-religius pada waktu
itu mengikuti suara terbanyak, otomatis kata-kata ‘Islam’ pasti ada dalam bunyi Sila I
tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan karena nasionalis religius lebih mengedepankan
toleransi tanpa meninggalkan ideologi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan inilah yang
diharapkan sangat kepada nasionalis-religius zaman sekarang demi merawat
kebhinnekaan yang telah dirintis oleh nasionalis-religius dahulu.
*Biodata Penulis
Nama
: In’amul Hasan
NIM
: 16551001
Asal
: Bukittinggi-Sumatera Barat
Prodi
: Ilmu Hadis
Fakultas
: Ushuluddin
Instansi
: UIN Sunan Kalijaga
Historisitas Pancasila: Review terhadap Sila I Pancasila sebagai
Bentuk Toleransi Nasionasli-Religius dalam Menjaga NKRI
Oleh: In’amul Hasan*
Pancasila dalam sejarah perumusannya mengalami beberapa tahapan. Tahapantahapan tersebut tidak berjalan secara mulus. Ditemukan pertentangan oleh berbagai
kalangan terhadap perumusannya. Misalnya antara nasionalis-religius dengan sekuler,
antara muslim dengan non-muslim. Pada masa perumusan Pancasila oleh BPUPKI
terjadi perselisihan pendapat. Namun, hal itu dapat diselesaikan dengan mulus.
Selanjutnya, hasil kesepakatan rumusan Pancasila oleh Panitia 9 tidak diterima oleh
beberapa kalangan, terutama oleh nasionalis Indonesia bagian Timur karena
ditemukannya kata-kata yang sensitif, seolah-olah NKRI milik sebagian besar rakyat
(Islam) Indonesia saja. Tentu saja hal itu tidak dibiarkan begitu saja oleh para perumus
dasar negara, supaya tidak terjadi perpecahan karena Indonesia pada waktu itu baru
berumur satu hari. Adapun sikap toleransi nasionalis-religius dalam merespon masukan
yang diberikan oleh kalangan nasionalis Indonesia bagian Timur sangat pantas
diteladani dalam merawat kebhinnekaan. Dari “Ketuhanan dengan berkewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah sesuatu yang ‘berubah’ menurut suatu kelompok, namun tidak
menurut kelompok lain. Kaum nasionaslis Timur pada akhirnya menerima perubahan
tersebut karena tidak ditemukan kata-kata yang ‘sensitif’ lagi. Nasionalis-religius
dengan kata mufakat dan rasa toleransi mengubah bunyi Sila I dan tidak mengubah
maknanya, karena prinsip‘monotheisme’ (Ketuhanan Yang Maha Esa) ditemukan pada
ajaran Islam saja. Nasionalis-religius meyakini bahwa kaum muslimin memang harus
menjalankan Islam sebagaimana mestinya. Dengan hal itu, sila I “Ketuhanan Yang
Maha Esa” adalah Allah swt. yang wajib disembah dan dijalankan syariatnya oleh orang
Islam. Hal itu dapat juga dilihat dan dikuatkan pada alinea ketiga Pembukaan UUD
1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Jika nasionalis-religius pada waktu
itu mengikuti suara terbanyak, otomatis kata-kata ‘Islam’ pasti ada dalam bunyi Sila I
tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan karena nasionalis religius lebih mengedepankan
toleransi tanpa meninggalkan ideologi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan inilah yang
diharapkan sangat kepada nasionalis-religius zaman sekarang demi merawat
kebhinnekaan yang telah dirintis oleh nasionalis-religius dahulu.
*Biodata Penulis
Nama
: In’amul Hasan
NIM
: 16551001
Asal
: Bukittinggi-Sumatera Barat
Prodi
: Ilmu Hadis
Fakultas
: Ushuluddin
Instansi
: UIN Sunan Kalijaga