SURAT EDARAN DIRJEN BEA DAN CUKAI NOMOR SE-32/BC/2008

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI
Jl. Jend. A.Yani
Jakarta-13230
Kotak Pos 108 Jakarta-10002

Telepon
Faximile
Website

:
:
:

4890308 ext.196
4701733
www.beacukai.go.id

Yth. 1.
2.
3.

4.

Pejabat Eselon II Kantor Pusat DJBC;
Para Kepala Kantor Wilayah DJBC;
Para Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai;
Para Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea
dan Cukai;
5. Para Kepala Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai;
6. Para Kepala Balai Penelitian dan Identifikasi Barang
Bea dan Cukai.

SURAT EDARAN
Nomor SE-32/BC/2008
TENTANG
RUANG LINGKUP PEMBERLAKUAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 01/PM.4/2008 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI DIREKTORAT JENDERAL
BEA DAN CUKAI DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-08/BC/2008 TENTANG PEMBENTUKAN,
SUSUNAN, DAN TATA KERJA KOMISI KODE ETIK
DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI


Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah bagian dari Pegawai Negeri Sipil secara
umum dan merupakan aparat pemerintah. Dalam menciptakan/mewujudkan aparat pemerintah yang
bersih dan berwibawa perlu dilakukan upaya pembinaan yang bersifat administratif baik terhadap
pelaksaan tugas maupun kepribadian yang dilakukan secara berkesinambungan. Untuk menjamin
kepastian hukum, upaya pembinaan tersebut dituangkan secara tertulis dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembinaan
terhadap Pegawai Negeri Sipil adalah Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
Selain upaya pembinaan terhadap pegawai sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 dan Undang-undang 11 Tahun 1995 sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 mengamanatkan pembentukan Kode Etik di
lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai instansi pemerintah yang melaksanakan
undang-undang tersebut, yang pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik tersebut dilakukan oleh
Komisi Kode Etik. Departemen Keuangan yang secara vertikal merupakan instansi induk Direktorat
Jenderal Bea dan cukai telah memberikan pedoman tentang peningkatan disiplin Pegawai Negeri
Sipil dan Komisi Kode Etik di lingkungan Departemen Keuangan.
Penetapan Kode Etik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara umum merupakan bagian
dari upaya pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang secara organisatoris

merupakan bagian dari Departemen Keuangan, dalam mewujudkan aparat pemerintah yang bersih,
berwibawa, dan bertanggung jawab serta untuk meningkatkan kompetensi, transparansi, dan
integritas pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, khususnya dalam pelaksanaan
tugas yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
pelaksanaan dan atau kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, serta normanorma yang berlaku secara umum. Penetapan Kode Etik dan Komisi Kode Etik Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai didasarkan pada :
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2006;
1

2. Undang-undang 11 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun
2007;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007; dan
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.01/2007.
Dalam rangka menciptakan persamaan pemahaman dalam pelaksanaan Kode Etik Pegawai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
01/PM.4/2008 dan prosedur dalam pembentukan Komisi Kode Etik, penanganan laporan/pengaduan
atas adanya dugaan pelanggaran Kode Etik, dan tata kerja Komisi Kode Etik di lingkungan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor

P-08/BC/2008, dipandang perlu memberikan pedoman tentang pelaksanaan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 01/PM.4/2008 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2008 tentang Pembentukan, Susunan,
dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
I. RUANG LINGKUP PEMBERLAKUAN
NOMOR 01/PM.4/2008

PERATURAN

MENTERI

KEUANGAN

Seluruh dugaan atas terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai dan dapat
mengarah pada pelanggaran disiplin sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, untuk pertama kali diproses berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 01/PM.4/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
P-08/BC/2008, kecuali dugaan pelanggaran/pelanggaran atas :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian
Sementara Pegawai Negeri;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai negeri Sipil;
dan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perceraian dan Perkawinan bagi
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang
Izin Perceraian dan Perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sekretaris Direktorat Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai (pejabat yang
berwenang membentuk Komisi Kode Etik) dapat mempertimbangkan proses penyelesaian atas
dugaan pelanggaran disiplin tanpa melalui prosedur/mekanisme berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 01/PM.4/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P08/BC/2008 terlebih dahulu, tetapi dapat langsung melalui prosedur/mekanisme yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
II. PEMBENTUKAN KOMISI KODE ETIK
1. Komisi Kode Etik dibentuk setiap terjadi pelanggaran Kode Etik.
2. Direktur/Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan/Kepala Bagian Umum dapat
mengusulkan pembentukan Komisi Kode Etik dengan mengajukan surat atau nota dinas
kepada pejabat yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik.
3. Atas usulan tentang pembentukan Komisi Kode Etik dari Direktur/Kepala Kantor/Kepala
Bagian Umum, Sekretaris Direktorat Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah menetapkan
pembentukan Keanggotaan Komisi Kode Etik.
4. Sekretaris Direktorat Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah dapat menetapkan sendiri

pembentukan Keanggotaan Komisi Kode Etik (tanpa melalui usulan).
5. Susunan keanggotaan Komisi Kode Etik terdiri dari :
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, yang ditunjuk berdasarkan jabatan dan atau
pangkat tertinggi dan mampu dalam memimpin sidang.
b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota, yang ditunjuk berdasarkan kemampuan
dalam mengkoordinasikan anggota Komisi Kode Etik dan membuat notulensi dan atau
resume hasil sidang Komisi Kode Etik dan administrasi persuratan lainnya.
c. Sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota, yang ditunjuk berdasarkan penilaian atas
kompetensi dan referensi yang baik dalam menelaah dan mengkaji suatu permasalahan
dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik.

2

6. Anggota Komisi Kode Etik berasal dari :
a. 1 (satu) orang pegawai yang bertugas membidangi kepegawaian;
b. 1 (satu) orang pegawai berasal dari unit kerja yang sama dengan pegawai yang diduga
melakukan pelanggaran Kode Etik;
c. 1 (satu) orang pegawai yang bertugas membidangi kepatuhan internal apabila terdapat
pemisahan tugas dan fungsi kepegawaian dan kepatuhan internal; dan
d. Pegawai lainnya.

7. Keputusan pembentukan Komisi Kode Etik disampaikan kepada :
a. masing-masing anggota Komisi Kode Etik disertai dengan :
1) laporan hasil penelitian dan atau penyelidikan, dan atau
2) bukti-bukti;
b. Sekretaris Direktorat Jenderal.
III. PELANGGARAN KODE ETIK
1. Pelanggaran Kode Etik dapat disampaikan secara lisan dan atau tulisan dari pegawai atau
unit kerja yang melakukan pengawasan pelaksanaan tugas dan evaluasi kinerja atau orang
lain (masyarakat), disertai bukti-bukti dan atau identitas pelapor, kepada atasan pegawai
yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik atau pegawai yang bertugas pada unit kerja
yang berdasarkan tugas dan fungsinya membidangi/menangani pengaduan/laporan tentang
dugaan adanya pelanggaran Kode Etik.
2. Pelanggaran Kode Etik yang disampaikan secara lisan dituangkan dalam bentuk tulisan dan
ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan atau penerima laporan/aduan dan
laporan/pengaduan tersebut diinformasikan kepada atasan pegawai yang diduga melakukan
pelanggaran Kode Etik.
3. Atas laporan/pengaduan tersebut, atasan pegawai, berkoordinasi dengan unit kerja yang
berdasarkan tugas dan fungsinya membidangi/menangani pengaduan/laporan tentang dugaan
adanya pelanggaran Kode Etik, wajib melakukan penelitian dan atau penyelidikan.
4. Atasan pegawai yang mengetahui adanya dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik,

berkoordinasi dengan unit kerja yang berdasarkan tugas dan fungsinya
membidangi/menangani pengaduan/laporan tentang dugaan adanya pelanggaran Kode Etik,
wajib melakukan penelitian dan atau penyelidikan atas dugaan pelanggaran tersebut.
5. Penelitian dan atau penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik bertujuan
untuk memperoleh informasi/keterangan dan atau bukti-bukti atas dugaan terjadinya
pelanggaran Kode Etik. Penelitian dan atau Penyelidikan dapat dilakukan terhadap dokumen,
data, pegawai, orang lain dan lainnya. Hasil penelitian dan atau penyelidikan dituangkan
dalam laporan tertulis dan ditandatangani oleh atasan pegawai dan pegawai lainnya (yang
bertugas pada unit kerja yang berdasarkan tugas dan fungsinya membidangi/menangani
pengaduan/laporan tentang dugaan adanya pelanggaran Kode Etik) yang melakukan
penelitian dan atau penyelidikan.
6. Penelitian dan atau penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya laporan/pengaduan
dan atau diketahuinya adanya dugaan pelanggaran Kode Etik.
7. Hasil penelitian dan atau penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik
disampaikan secara hirarki kepada pejabat yang berwenang membentuk komisi Kode Etik
disertai dengan usulan tentang pembentukan Komisi Kode Etik.
8. Apabila hasil penelitian dan atau penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik
atasan
pegawai

yang
diduga
melakukan
pelanggaran
Kode
Etik
mengusulkan/menilai/menyimpulkan tidak terjadi/terbukti adanya pelanggaran Kode Etik
sehingga tidak perlu dibentuk Komisi Kode Etik, maka pejabat yang berwenang membentuk
Komisi Kode Etik dapat menilai secara sendiri untuk membentuk Komisi Kode Etik atas
dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik.
IV. TATA KERJA KOMISI KODE ETIK
1. Komisi Kode Etik melakukan pemanggilan secara tertulis kepada pegawai yang diduga
melakukan pelanggaran Kode Etik. Pemanggilan ditandatangani oleh Ketua Komisi Kode
Etik dan disampaikan secara langsung kepada pegawai yang diduga melakukan pelanggaran
Kode Etik. Apabila penyampaian surat panggilan terkendala oleh jarak, maka Komisi Kode
3

Etik dapat meminta bantuan atasan pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik
untuk menyampaikan secara langsung surat panggilan tersebut.
2. Surat panggilan bersifat rahasia dan disampaikan kepada pegawai yang diduga melakukan

pelanggaran Kode Etik paling lambat 1 (satu) hari sebelum dilakukannya pemeriksaan oleh
Komisi Kode Etik.
3. Apabila pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik tidak dapat memenuhi
panggilan pertama, maka panggilan kedua (pemeriksaan) dilakukan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak panggilan pertama.
4. Dalam hal pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik tidak dapat memenuhi
panggilan kedua karena alasan yang sah, maka jadwal pemeriksaan ditunda (penjadwalan
ulang pemeriksaan) dan pemeriksaan dilakukan tanpa dilakukan pemanggilan lagi kepada
pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik. Alasan dianggap sah apabila
disampaikan oleh atasan pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik kepada
Komisi Kode Etik. Penjadwalan ulang pemeriksaan disampaikan secara tertulis kepada
atasan pegawai sebagai tindak lanjut atas pemberitahuan tidak dapat dipenuhinya panggilan
kedua.
5. Dalam hal pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik tidak dapat memenuhi
panggilan kedua tanpa alasan dan atau tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan dapat
dilakukan tanpa kehadiran pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan atas
ketidakhadiran pegawai tersebut dicatat dalam notulensi dan atau resume pemeriksaan.
6. Atas ketidakhadiran pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dalam
pemeriksaan Komisi Kode Etik, maka Komisi Kode Etik merekomendasikan pemberian
sanksi moral atas ketidakhadiran tersebut.

7. Komisi Kode Etik mengambil keputusan setelah melakukan pemeriksaan dan memberi
kesempatan membela diri kepada pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik.
Apabila atas panggilan kedua pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik tidak
dapat memenuhi panggilan tanpa alasan atau tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan dapat
dilakukan tanpa kehadiran pegawai dan atas dugaan pelanggaran Kode Etik tersebut Komisi
Kode Etik merekomendasikan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
8. Pemeriksaan Komisi Kode Etik dilakukan di tempat/ruang tertutup dan hanya dihadiri oleh
pegawai dan atau pegawai lainnya yang berkepentingan/berkaitan dengan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan anggota Komisi Kode Etik.
9. Sekretaris Komisi Kode Etik mencatat jalannya pemeriksaan Komisi Kode Etik dan
membuat notulensi dan atau resume pemeriksaan. Notulensi pemeriksaan ditandatangani
oleh sekretaris Komisi Kode Etik dan resume pemeriksaan ditandatangani oleh seluruh
anggota Komisi Kode Etik.
10. Pembelaan yang dilakukan oleh pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik
dapat berupa pernyataan lisan dan atau tertulis dan dapat disertai dengan bukti-bukti.
11. Apabila atas keterangan dan atau pembelaan pegawai yang diduga melakukan pelanggaran
Kode Etik diketahui/diperoleh keterangan tentang dugaan keterlibatan pegawai lain, maka
Komisi Kode Etik dapat memanggil pegawai lain tersebut untuk diminta keterangan dan atau
dilakukan konfrontasi atas keterangan yang diberikan dengan pegawai yang diduga
melakukan pelanggaran Kode Etik.
12. Atas dugaan keterlibatan pegawai lain dalam pelanggaran Kode Etik tersebut, Komisi Kode
Etik melakukan pemeriksaan kepada pegawai lain tersebut dengan mekamisme sesuai
dengan nomor 1 s.d. nomor 7.
13. Keputusan Komisi Kode Etik dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Komisi Kode
Etik dan dilampiri notulensi dan atau resume hasil pemeriksaan dan atau bukti-bukti terkait
dengan pelanggaran Kode Etik.
14. Apabila dalam 1 (satu) hari pemeriksaan atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik tidak
dapat diselesaikan, maka pemeriksaan dilanjutkan pada hari berikutnya.
15. Pejabat yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik wajib memberikan peringatan
berupa teguran lisan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil kepada anggota Komisi Kode Etik apabila belum dan atau
tidak melaksanakan dan atau menghasilkan keputusan dalam jangka waktu 15 (lima belas)
hari.

4

16. Pejabat yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik membentuk Komisi Kode Etik baru
dalam hal Komisi Kode Etik yang lama belum atau tidak dapat melaksanakan dan atau
menghasilkan keputusan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari.
17. Atas keadaan sebagaimana nomor 16, Pejabat yang berwenang membentuk Komisi Kode
Etik (Sekretaris Direktorat Jenderal dan Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor
Pelayanan Utama) dapat meminta/memerintahkan Direktur/Kepala Kantor/Kepala Bagian
Umum untuk mengusulkan pembentukan Komisi Kode Etik yang baru. Pembentukan
Komisi Kode Etik yang baru dilakukan sesuai dengan romawi II.
18. Apabila pejabat yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik tidak atau belum
memberikan teguran tertulis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, maka Direktur Jenderal dapat menyampaikan
permasalahan tersebut kepada Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan untuk
ditindaklanjuti.
19. Keputusan Komisi Kode Etik disampaikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal pemeriksaan kepada :
a. Pejabat yang berwenang memberikan sanksi moral apabila rekomendasi Komisi Kode
Etik berupa sanksi moral, atau
b. Atasan pegawai untuk disampaikan secara hirarki kepada pejabat yang berwenang
menghukum untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut apabila rekomendasi Komisi
Kode Etik berupa hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
20. Apabila Komisi Kode Etik merekomendasikan hukuman sanksi moral, maka sanksi moral
diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan
Komisi Kode Etik.
21. Keputusan Komisi Kode Etik bersifat final dan tidak dapat diajukan keberatan.
Guna mewujudkan konsistensi pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
01/PM.4/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2008, agar surat
edaran ini dipahami secara sungguh-sungguh dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 08 September 2008
Direktur Jenderal,
Ttd,Anwar Suprijadi
NIP 120050332

Tembusan :
1. Menteri Keuangan;
u.p. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan.

5