Pendidikan Akhlak Tasawuf

Pendidikan Akhlak Tasawuf
Menyelami Nalar Spiritual Cak Nur
© Azaki Khoirudin, 1435 H/2013 M

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Cetakan Pertama, Muharram 1435 H/November 2013 M

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Editor
Fendi Fradana
Proofreader
Fathur Rochman
Lay Out & Design Cover
S@ngArt Gallery

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
Diterbitkan oleh

Jl. Masjid Gg. Kaki Kuru No. 107
Kapas, Bojonegoro 62181
Telp. (0353) 886 221
e-mail: redaksi@nunpustaka.net
www.nunpustaka.net

––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––
xiii+159 hlm; 14x21 cm
ISBN: 978-602-17779-5-4

PENGANTAR
PEMBARUAN PEMIKIRAN KEISLAMAN:
KALAM, FIKIH, FILSAFAT,
DAN TASAWUF

––Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Islam sebagai a living culture (kebudayaan yang hidup), ia
mempunyai vitalitas, daya kreativitas, dan adabtabilitas yang
luar biasa. Dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan

berbagai kekayaan intrepretasinya, para ulama’ dan cerdik
cendekiawan Muslim pada abad-abad berikutnya mengembangkan sistem dan pola pikir yang diminati oleh masing-masing
sesuai potensi yang dimiliki dan tingkat interaksi mereka
dengan budaya lain. Sebagai sistem dan metode berpikir,

keempat kluster keilmuan agama Islam yang tersebar luas dalam
kebudayaan Islam yaitu Kalam Fikih, Filsafat, dan Tasawuf,
mempunyai ciri khas masing-masing. Untuk memahami agama
dan budaya Islam dengan baik, seseorang selain harus memahami al-Qur’an dan al-Sunnah, juga perlu mengetahui selukbeluk dan lekuk-lekuk pemikiran Kalam, Fikih, Filsafat dan
Tasawuf.
Kalam lebih menekankan pada aspek pembenaran dan
pembelaan akidah sepihak, sehingga coraknya lebih bersifat
keras, tegas, agresif, defensif, dan apologis. Fikih, lebih bersifat
mengatur sistem peribadatan kepada Tuhan, seperti shalat,
zakat, puasa, haji, yang seringkali juga merambah ke wilayah
lain yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia,
seperti pernikahan, hubungan sosial-ekonomi seperti jual beli,
wakaf, hubungan sosial-politik (fiqh al-siyasah) dan begitu
seterusnya. Filsafat lebih menekankan aspek logika dalam
pemikiran keislaman. Jika porsi pola pemikiran Teologi/Kalam

lebih berdasarkan pada nash-nash atau teks keagamaan, maka
Filsafat ialah sebaliknya. Filsafat lebih berangkat pada premispremis logis yang ada di balik teks. Jika kalam/teologi lengket
dengan teks (dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits), maka filsafat
lebih pada pencarian makna, substansi, dan esensi dari pesan
dalam teks-teks yang tersurat setelah melalui proses interpretasi.
Tasawuf lebih menekankan pada aspek esoterik atau kedalaman
spiritualitas batiniyah dari keberagamaan Islam.
Perlu dicatat bahwa tasawuf muncul sebagai reaksi atau
respon terhadap menyatupadunya pola-pikir Kalam dan Fikih
yang dianggap terlalu kering dan formalndi satu pihak dan

terhadap Filsafat yang dianggap terlalu mementingkan akalndan
menepikan qalb (hati) dan dzauq (rasa) di lain pihak.1
Dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, keempat disiplin
ilmu yang semula secara bersama-sama memperoleh inspirasi
awalnya dari al-Qur’an al-Sunnah, tidak selalu dapat menyatukan visi keilmuannya. Klaim supremasi atau keunggulan
kebenaran interpretasi yang dimiliki oleh satu disiplin ilmu di
atas yang lain seringkali terjadi. Biasa terjadi pergesekan
akademik dan rivalitas antar institusi antar keempat kluster
keilmuan tersebut.2 Yang umum pendukung terjadi adalah

bersatupadunya pola pilir kalam (Teologi) dan Fikih (secara
lebih umum disebut Syari’ah) yang kemudian membentuk
institusi-institusi keagamaan (dalam bahasa keilmuan sosiologi
agama disebut organized atau intitutionalized religions) bergesekan–
untuk tidak menyatakan berhadapan–dengan pola pikir
Tasawuf di Filsafat di lain pihak.
Kedua kluster terakhir, lebih menitikberatkan dimensi
kedalaman, psikologi, transhistorikalitas, spiritualitas kebaragamaan Islam yang tidak harus selalu terbelenggu dan terjebak
oleh keagamaan secara eksoteris-organisatoris. Yang pertama,
menghendaki pola pikir keagamaan Islam yang bersifat final,
closed system, stationary, ekslusif, sedang yang kedua open ended,
open system, on going process. Dalam sejarah kebudayaan dan
peradaban Islam, keempat kluster ilmu agama Islam tersebut
mengembangkan wilayah dan citra keilmuannya sendiri-sendiri.
Pada suatu saat, pertentangan antara keduanya sedemikian
1

Keempat kluster keilmuan pemikiran Islam tersebut, masing-masing
Kasus kontemporer adalah dialami oleh pemikir peneliti: Muslim Mesir,
Prof. Nasr Hamid. Lihat bukunya, al-Tafkir fi Zamani al-Tafkir, Cairo: Sina

li al-Nasyr, 1995
2

keras sehingga seolah-olah keempat kluster tersebut tidak
berasal dari poros dan sumber yang sama. Padahal keempatempatnya adalah bentuk penafsiran dan pengembangan
keilmuan oleh para pencetusnya yang sama-sama mengklaim
memperoleh sumber inspirasinya dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Timbul tenggelamnya keempat kluster keilmuan agama
Islam tergantung pada konteks dan cuaca pergumulan sosialpolitik yang sedang dihadapi oleh umat Islam pada suatu era
dan wilayah. Dalam situasi persaingan atau kompetisi dengan
berbagai ideologi, kelompok sosial, ekonomi, politik, budaya,
dan rivalitas antar berbagai penganut agama-agama yang lain,
peran institusi keagamaan Islam dikokohkan. Ketika persaingan
dan konpetisi tersebut sudah mencapai ambang batas konflik
sosial lantaran menguatnya emosi penyangga dan penjaga
pranata institusi sosial keagamaan Islam yang bersifat sejuk,
mengayomi, dan lebih memuat kedalaman spiritualitas.

Tasawuf: Basis Keshalehan Sosial
Pada periode sejarah abad tengah, paska kenabian, dikenal

apa yang disebut Tasawuf. Jika Iman membahas persoalan–
persoalan yang terkait dengan Aqidah––atau Kalam dalam
bahasan teoritisnya––dan Islam lebih terkait dengan diskusi Fiqh
membahas detil ritual peribadatan (mu’amalah ma’a al-Allah dan
mu’amalah ma’a al-nas), yang lebih berdimensi eksoteris––, maka
Tasawuf lebih mendiskusikan aspek kedalaman atau dimensi
esoterik dalam keberagamaan Islam. Ketiganya menjadi satu
rangkaian yang tidak dapat terpisahkan antara yang satu dan
lainnya.

Secara etimologis, Tasawuf berarti “pembersihan”, “perjenihan”, “pemutihan kembali”, “penyulingan”. Yakni, perjernihan
kembali perilaku yang menyimpang, pemahaman dan tafsir
keagamaan yang telah mentradisi, yang telah berkaitkelindan
dan bercampuraduk dengan kepentingan sosial dan politik,
yang telah mengkristal dalam lembaga-lembaga yang terstuktur
secara birokratis. Inilah proses yang disebut takhally, yakni
mengosongkan diri dari tindakan perbuatan yang buruk-tercela.
Kemudian dikuti dengan tahally, yakni menghiasi dan mengisinya dengan sifat-sifat baik dan terpuji, dan berakhir dalam
tajally, yakni penampakannya dalam tindakan individu-individu
dan sosial yang lebih baik dan lebih santun secara sosial.

Tasawuf adalah bahasa klasifikasi atau kategorisasi keilmuan
abad tengah Islam yang sangat lekat dengan perkembangan
sejarah pemikiran Islam. Sedang Ihsan adalah terminologi era
kenabian, sebelum pengembangan dan sistematisasinya pada
abad tengah. Ibaratnya, meningggalkan Ihsan dan Tasawuf dalam
pemikiran Islam maknanya sama dengan mempunyai badan
tanpa ruh. Hubungan antara jasad dan jiwa begitu dekat,
karenanya proses takhally, tahally dan tajally adalah bagian
kehidupan agama yang perlu dilakukan oleh siapapun dalam
kehidupan keberagamaannya yang otentik.Tasawuf muncul ke
permukaaan, sebagai upaya manusia untuk mengembalikan
keberagamaan dan keimanan manusia Muslim ke pangkalnya.
Di sini muncul kembali gerakan yang ingin memurnikan agama
kembali, yang ingin mengembalikan agama ke pangkalnya lagi.

Tasawwuf: Basis Spiritualitas

Keberagamaan intersubjektif adalah corak keberagamaan
yang mampu menjembatani corak keberagamaan yang bercorak
objektif dan subjektif. Keberagamaan subjektif adalah keberagamaan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, hampirhampir melupakan atau tidak peduli (careless) terhadap orang

atau kelompok lain yang juga punya hak yang sama dalam
memaknai the sacred canopy menurut versi dan tradisinya masingmasing. Keberagamaan Islam bercorak subjektif umumnya
adalah keberagamaan Islam yang bercorak fiqhiyyah, yang
kurang mampu menenggang orang atau kelompok lain yang
berbeda. Dalam buku-buku atau kitab aqidah al-awwam umumnya mengantar corak keberagamaan yang bercorak subjektif.
Terlalu kuat untuk lingkungan intern sendiri, tetapi lemah
dalam memahami keberadaan orang atau kelompok lain,
jangankan hak-hak orang dan kelompok lain untuk berbeda.
Keberagamaan bercorak fiqhiyyah ini penting sekali untuk taraf
keberagamaan subjektif, tetapi kurang dapat membantu memahami keberagamaan yang bercorak objektif, apalagi yang
bercorak intersubjektif.
Corak keberagamaan subjektif-fiqhiyyah biasa disebut atau
dikategorikan sebagai al-‘aql al-lahuty al-siyasy (corak berpikir
keagamaan yang berlandaskan asumsi politik-ketuhanan).
Kombinasi dan sinergitas spiritualitas keberagamaan yang
bercorak subjektif (imaniyyah) dan objektif (ilmiyyah) adalah
corak keberagamaan yang ketiga, yaitu keberagamaan
intersubjektif. Keberagamaan intersubjektif masih mempertahankan eksistensi dan keberadaan masing-masing, tanpa
mengganggu-gugat keberadaan berikut hak-hak dan kewajibankewajiban sosialnya. Yang dipentingkan dalam keberagamaan
intersubjektif adalah spiritualitas tata nilai (value) yang dapat


mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era
modernitas dan lebih-lebih era postmodernitas dan global.
Pendidikan Agama seyogyanya melahirkan jenis atau corak
spiritualitas yang mau membuka diri, spiritualitas yang bersedia
untuk share atau berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas
keberagamaan lain yang hidup dalam sejarah panjang kemanusiaan di alam semesta. Spiritualitas yang tidak egosentrik, tetapi
spiritualitas yang altruistik.
Nilai-nilai utama (Virtues kindness) untuk membentuk
kepribadian didukung dengan penghayatan Tasawuf serta cara
berpikir irfany di era kontemporer, seperti: kasih sayang,
kebaikan, ketulusan, pengabdian, tolong-menolong, kedamaian,
kepedulian, orientasi hidup yang nirpamrih (altruistik),
menghindari sikap serbaingin menang sendiri, menaklukkan
dan perkasa dalam menaklukkan kelompok lain yang berbeda,
diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi terhadap kelompok
lain yang berbeda; meneguhkan dan menyemaikan nilai-nilai
kelembutan, rasa untuk berbagi, mengalah demi kebaikan,
memikirkan kepentingan bersama (public good), kesabaran,
keserba-sahajaan, kesederhanaan, keluhuran dan keutamaan

moral. Selain itu juga, menjauhi prejudice atau buruk sangka
terhadap kelompok lain, menekan sedapat-dapatnya syiar
kebencian dengan dalih apapun. Itulah nilai yang sepadan
dengan nilai seperti verstehen (memahami secara mendalam
eksistensi dan aspirasi kelompok lain), emphathy, symphaty, respect,
non-violence, altruism, benevolence, compassionate, inclusive, partnership,
dialogical. Inilah seperangkat tata nilai yang diperlukan oleh akal
pikiran baru keberagamaan manusia yang tercerahkan (al-aql aljadid al-istitla’i).

Pendidikan agama sangat penting untuk kehidupan manusia.
Kita semua sepakat dalam hal itu. Yang tidak atau belum
sepakat adalah metode dan pendekatan yang digunakan dalam
mendidik atau menyampaikan pesan-pesan dan ajaran agama.
Metode dan pendekatan yang digunakan perlu terus menerus
disempurnakan dan diperbaiki seiring dengan perkembangan
zaman dan perkembangan teknologi informasi. Bahkan
teknologi informasi juga dapat saja disalahgunakan untuk
maksud-maksud tertentu sesuai uraian di atas. Metode dan
pendekatan pendidikan yang baik dan tepat akan mengantarkan
kedamaian dan persatuan, sedang metode dan pendekatan yang

buruk dan salah akan mengentarkan pada perpecahan dan
ketidakharmonisan sosial. Menjelaskan agama dan menguraikan agama seringkali dijumpai di lapangan tidak utuh, karena
hanya memprioritaskan dan terjebak pada salah satu dari ketiga
corak keberagamaan, khususnya yang bercorak subjektif.
Pendidikan akhlak tasawuf perlu menjelaskan kepada anak
didik dan anak asuh secara utuh ketiga jenis corak beragama
umat manusia tersebut. Jika dibawa hanya ke salah satu, anak
didik pun tahu bahwa pengetahuan guru dan atau pendidik
agama sangat terbatas (untuk tidak menyebutnya kadaluwarsa).
Karena bertentangan dengan realitas historis masyarakat dan
perkembangan intelektualitas anak didik. Seperangkat nilai-nilai
fundamental dalam Islam tidak akan dan sulit berkembang jika
para guru, pendidik, da’i, ustadz, kyai, para tokoh elit agama
masih sulit membedakan antara Ushul al-din dan Ushul almadzhab. Ushul al-Din yang saya maksud bukanlah fakultas
Ushuluddin yang ada di IAIN dan UIN, tetapi adalah
seperangkat nilai-nilai fundamental-mendasar yang kondusif

untuk mengembangkan dan memuliakan peradaban manusia di
muka bumi yang semakin sempit.
Yang dikhawatirkan jangan-jangan apa yang disampaikan
kepada anak didik lebih didominasi oleh materi-meteri yang
berkaitan erat dengan Ushul al-madzhab (dasar-dasar, sejarah dan
kepentingan kelompok-kelompok dan organisasi dalam
keberagamaan Islam), tapi bukannya Ushul al-din (seperangkat
nilai-nilai fundamental keagamaan). Semoga dengan kehadiran
buku ini dapat mengantarkan dan memberikan secercah harapan untuk memperbaiki keadaan menyongsong kemanusian ke
depan yang jauh lebih kompleks.
Akhirnya, sepantasnya kita semua menyambut dengan
gembira kehadiran buku “Pendidikan Akhlak Tasawuf” ini.
Selamat kepada penulis buku ini, semoga terus aktif menulis
untuk merintis peradaban, dan memberikan nilai terhadap
khasanah keilmuan dan pemikiran keislaman pada masa yang
akan datang.

DAFTAR ISI

PENGANTAR:
Prof. Dr. M. Amin Abdullah ..........................................
DAFTAR ISI .................................................................
Bagian Pertama:
MUKADIMAH .............................................................
A. Mengapa Buku ini Ditulis? ...................................................
B. Membingkai Teori .................................................................
C. Buku-Buku Tentang Cak Nur: Kajian yang Belum
Membahas Pendidikan Akhlak Tasawuf ............................
1. Sufyanto.............................................................................
2. Nur Khalik Ridwan .........................................................
3. Sukidi .................................................................................
4. Anas Urbaningrum ..........................................................
5. Budhy Munawwar Rachman ..........................................
6. Sudirman Tebba ...............................................................
D. Metodologi Penelitian ...........................................................
1. Jenis Penelitian .................................................................

i
xi
1
1
7
11
11
12
14
14
15
15
16
16

2. Pendekatan .......................................................................
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................
4. Analisis Data ....................................................................
E. Sistematika Penulisan ...........................................................

17
18
19
20

Bagian Kedua:
PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF ........................
A. Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf ................................
B. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf ..................................
C. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf ...................................
1. Madrasah Ibtidaiyah .......................................................
2. Madrasah Tsanawiyah ....................................................
3. Madrasah Aliyah ..............................................................
D. Metode Pembelajaran Pendidikan Akhlak Tasawuf ........
1. Metode Hikmah ..............................................................
2. Metode Keteladanan.......................................................
3. Metode Kisah ..................................................................
4. Metode Janji dan Ancaman ...........................................
5. Metode Pembiasaan ........................................................
E. Subyek Pendidikan Akhlak Tasawuf..................................
1. Murid ................................................................................
2. Guru ..................................................................................
F. Evaluasi Pendidikan Akhlak Tasawuf ...............................
1. Domain Ilmu ...................................................................
2. Domain Amal ..................................................................
3. Domain Akhlak ...............................................................
4. Domain Iman ..................................................................

23
24
31
36
38
39
39
40
42
42
43
44
44
45
45
46
47
48
49
49
49

Bagian Ketiga:
TITIK BERANJAK: Melacak Basis Sosial dan
Nalar Sufistik Cak Nur .................................................
A. Keluarga Religius: Basis Sosial Individu Cak Nur ...........
B. Komitmen Moral Sebagai Guru Bangsa: Perjalanan dan
Pergumulan Cak Nur ...........................................................
C. Guru Bangsa: Basis Komunitas Cak Nur .........................
D. Pemikiran dan Karya-karyanya ...........................................

53
53
55
60
67

Bagian Keempat:
PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF MENURUT
CAK NUR .....................................................................
A. Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur
B. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur..
C. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur...
1. Madrasah Ibtidaiyah ........................................................
2. Madrasah Tsanawiyah .....................................................
3. Madrasah Aliyah...............................................................
D. Metode Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur.
1. Hikmah Ibadah ................................................................
2. Kewibawaan dan Keteladanan .......................................
E. Dimensi Akhlak Tasawuf .....................................................

75
75
86
92
92
93
94
96
97
102
102

Bagian Kelima:
PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF CAK NUR
DAN PENDIDIDIKAN ISLAM .................................. 111
A. Analisis Hakikat Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut
Cak Nur .................................................................................. 111
B. Relevansi Pendidikan Akhlak Tasawuf Menurut Cak Nur
dengan Teori dan Praksis Pendidikan Islam ..................... 119
1. Relevansi Tujuan .............................................................. 119
2. Relevansi Materi ............................................................... 125
3. Relevansi Metode ............................................................. 131
4. Relevansi Evaluasi ........................................................... 138
Bagian Keenam:
KHATIMAH ................................................................. 147
Kesimpulan .................................................................................. 147
Saran-saran ................................................................................... 149
SUMBER PUSTAKA .................................................... 151
PROFIL PENULIS ...................................................... 156

Bagian Pertama

MUKADIMAH

Perlu penjelasan terlebih dahulu kenapa karya ini
ditulis untuk publik Indonesia, khususnya kehadiran dalam
khasanah pemikiran pendidikan Islam. Baiklah, kita awali
perbincangan masalah kondisi kekinian tentang kehidupan
dunia kemanusiaan, kemudian dilanjutkan kepada perbincangan tentang kondisi moralitas bangsa dan kualitas pendidikan di tanah air Indonesia.
Buku ini ditulis, berawal dari kehidupan modern saat
ini yang tampil dalam dua wajah yang antagonistik. Di satu
pihak, modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan
yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahu-

an dan teknologi, maupun kemakmuran fisik. Sementara di
sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang
buram berupa manusia modern berwujud kesengsaraan
ruhaniah. Gejala ini muncul sebagai akibat dari modernisasi
yang didominasi oleh nalar instrumental.3
Manusia modern menghadapi pengrusakan lingkungan, kelaparan, disparasi kemakmuran, ledakan penduduk,
diskriminasi rasial, ketimpangan pembangunan teknologi
dan pengetahuan, polarisasi dunia, krisis ekonomi, dominasi
kekuasaan negara kuat, ancaman perang nuklir, dan
sebagainya. Masalah ini adalah pengaruh dari paham gerakan
aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa, yang
disebut dengan nalar modern.4 Di balik kemajuannya, dunia
modern menyimpan potensi yang dapat menghancurkan
martabat manusia, sehingga manusia kehilangan masa
depannya, merasa kesunyian, dan kehampaan spiritual di
tengah laju kehidupan modern.5
Di sisi lain, masalah pendidikan yang fundamental
adalah pendidikan saat ini sedang mengalami materialisasi
tujuan. Akibatnya, keberhasilan pendidikan hanya berorientasi kuantitatif lulusan dan orientasi lapangan kerja. Misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, pengacara,
pejabat tinggi, atau anggota dewan. Setelah diketahui
penghasilan para alumninya, maka pendidikan dikatakan
berhasil. Sangat jarang bahkan tidak ada yang mengatakan
3

Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 138
4 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009, h. 63
5 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011,
h. 298

jumlah alumni yang bermoral, berakhlak mulia atau berbudi
luhur.6
Salah satu krisis terbesar di dunia saat ini adalah krisis
akhlak, yakni minimnya pemimpin yang dapat menjadi idola
(teladan). Krisis ini jauh lebih dahsyat daripada krisis energi,
kesehatan, pangan, transportasi, dan air. Semakin hari pelayanan kesehatan, semakin sulit terjangkau, manajemen
transportasi semakin amburadul, pendidikan semakin
kehilangan nurani welas asih yang berorientasi kepada
akhlak yang mulia, sungai dan air tanah semakin tercemar,
dan sampah menumpuk di mana-mana. Inilah di antara
berbagai permasalahan yang dialami oleh dunia Muslim,
termasuk Indonesia.7
Khusus masalah korupsi, kebocoran anggaran dan
pelaksanaan pembangunan ternyata lebih parah dari masa
Orde Baru. Jika dahulu korupsi terkonsentrasi di pemerintah
pusat, kini menjadi tersebar merata di semua lapisan
birokrasi pemerintahan. Yang lebih memprihatinkan ialah
korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak keadilan yang
sejatinya bertugas memberantas korupsi seperti kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Bahkan, di sekolah yang seharusnya menjadi tempat persemaian calon-calon pemimpin masa
depan umat dan bangsa saja terjadi korupsi.8
Pada era globalisasi ini, batas-batas budaya sulit
dikenali, sudah semestinya pembentukan akhlak mulia harus
diprioritaskan dalam tujuan penyelenggaraan pendidikan.
Oleh karena itu, tugas dunia pendidikan semakin berat
6

Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, h. 66
Muhammad Syafi’i Antonio. Muhammad Saw: The Super Leader Super
Manager. Jakarta: Tazkia Publishing, 2009, h. 46
8 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, h. 47
7

untuk ikut membentuk bukan saja insan yang siap
berkompetisi, tetapi juga mempunyai akhlak mulia dalam
segala tindakannya sebagai salah satu modal sosial dalam
kehidupan. Terbentukknya insan berakhlak mulia, menuntut
proses pendidikan yang dijalankan mampu mengantarkan
manusia menjadi pribadi yang utuh.9 Peran pendidikan
tersebut menunjukkan, bahwa masalah akhlak adalah tidak
dapat ditinggalkan, bahkan menjadi tujuan utama
pendidikan.10
Jika pendidikan adalah sarana yang efektif untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, maka pendidikan harus mampu membentuk pribadi seseorang yang berfungsi sebagai
driving force bagi terbentuknya akhlak yang mulia.11 Dalam hal
ini, pemerintah telah berupaya melakukan perubahan
paradigma yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan
nasional tahun 2009, dimana Mendiknas menginginkan
pendidikan karakter bangsa menjadi fokus dalam pendidikan
nasional. Hal ini ditegaskan dalam RPJN tahun 2005-2015,
memiliki visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,
dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.12
Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal baru bagi
masyarakat Indonesia. Sejak UU tentang pendidikan nasional tahun 1946 hingga UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003,
9

Sudarwan Danim. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006, h. 65
10 Cak Nur, Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia, 2004, h. 149
11 Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011, h. 339
12 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, Bandung:
Alfabeta, 2012, h. iv

pendidikan karakter telah ada. Pendidikan karakter masih
digabung dengan mata pelajaran agama dan diserahkan
kepada guru agama. Kini pendidikan karakter terintegrasi ke
dalam seluruh mata pelajaran dengan metode internalisasi
nilai-nilai karakter.13 Eksistensi pendidikan agama menjadi
dipertanyakan, terutama dalam upaya pembangunan akhlak
mulia.
Pendidikan karakter dikembangkan dalam tiga tahap,
yaitu kognitif (knowing) yang membentuk pengetahuan moral,
psikomotor (acting) yang membentuk perbuatan moral, dan
afektif yang membentuk kebiasaan (habit) kemudian menjadi
karakter.14 Di sini, perlu ada penambahan domain pendidikan Islam, yakni aspek spiritual (kedalaman keimanan),15
sehingga akhlak tidak sekedar hasil dari proses pembiasaan,
tetapi muncul dari kedalaman spiritual (kesadaran ketuhanan) yang berada dalam hati. Oleh sebab itu, ajaran akhlak
tasawuf perlu disuntikkan pendidikan Islam. Pendidikan
akhlak tasawuf harus dijadikan salah satu alternatif untuk
mengatasi problematika krisis spiritualitas yang mengancam
moralitas.
Jika dilihat dari tujuan, akhlak tasawuf sangat memiliki
kesamaan visi dengan sistem pendidikan nasional yang
mencita-citakan terbentuknya insan kamil atau muslim paripurna. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 bab II pasal 3, menegaskan: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
13

Ibid, h. iii
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, h. vi
15 Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam, h. 92
14

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembang-nya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang semokratis serta
bertanggung jawab.”16
Berpijak pada latar belakang di atas, kajian tentang
pendidikan dan akhlak tasawuf, akan dispesifikasikan pada
pemikiran salah satu tokoh intelektual Indonesia, yaitu Cak
Nur. Meskipun secara faktual, Cak Nur belum merumuskan
suatu karya komperehensif mengenai pendidikan akhlak
tasawuf, namun secara tidak langsung dari karya-karyanya
berbicara tentang akhlak, tasawuf, dan pendidikan. Ia tidak
hanya dikenal sebagai intelektual yang menonjol, tetapi juga
pribadi yang memiliki komitmen moral (religiusitas) yang
mendalam. Ia menawarkan pendidikan akhlak dan tasawuf
di sekolah sebagai solusi dari berbagai permasalahan akhlak
atau moralitas pada kehidupan modern dan krisis moral
bangsa yang menurut penulis sangat relevan terhada kondisi
kekinian bangsa terutama pendidikan.
Cak Nur memandang bahwa lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya masih didominasi oleh lahiriyah fikih
dan kalam, yakni segi-segi eksoteris. Karena dominasi fikih,
seorang anak didik lebih paham, misalnya syarat dan rukun
bagi sah-tidaknya shalat, tanpa dengan mantap mengetahui
apa sesungguhnya makna shalat itu bagi pembentukan pribadi, lahir dan batin. Dan karena dominasi kalam, anak didik
lebih mampu membuktikan bahwa Tuhan ada, tanpa memi-

16

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 Tahun 2003, Solo:
CV Kharisma, 2005, h. 5-6

liki keinsafan yang cukup mendalam tentang apa makna
kehadiran Tuhan dalam kehidupan.17
Sebagai “guru bangsa”, Cak Nur tidak hanya wawasannya yang luas dan keterbukaannya dengan semua kelompok agama dan politik, tetapi juga karena komitmen moralnya. Komitmen moralnya tampak pada pemikirannya dalam
berbagai bidang, seperti sosial keagamaan, budaya, dan
politik.18 Bagi Cak Nur, iman dan aqidah menuntuk sikap
rendah hati, selalu terbuka bagi semua informasi kebenaran,
tetapi sekaligus juga dinamis untuk mengejar kebenaran itu
dari sumbernya, yaitu Sang Kebanaran (Al-Haq) itu sendiri.
Cak Nur adalah tipe pemikir yang independen, yang tidak
memiliki obsesi untuk memperoleh masa lewat pencitraan,
kecuali setia pada tradisi ilmiah. Cak Nur merupakan
seorang dari sedikit intelektual, bukan hanya di kalangan
Islam, tetapi juga intelektual modern Indonesia yang sering
berbicara moral bahkan tasawuf. Oleh karena itu, sangat
urgen membahas “Pendidikan Akhlak Tasawuf: Menyelami
Nalar Spiritual Cak Nur”.

Sebagai langkah antisipasi agar tidak menimbulkan
banyak penafsiran terhadap judul dalam buku ini, dan untuk
lebih memfokuskan pembahasan dalam penulisan buku ini.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
17

Cak Nur, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, h.141
Sudirman Terba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang
Guru Bangsa, Jakarta: KPP, h. 194
18

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.19
Setelah menegaskan tentang pengertian pendidikan,
selanjutnya adalah pengertian akhlak tasawuf. Sebelum
membahas pengertian akhlak tasawuf, maka harus diawali
dari pembahasan tentang akhlak. Akhlak berasal dari bahasa
Arab, yaitu mashdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan,
dengan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti
al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (watak dasar), al-‘adah (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).
Namun, kata akhlak dari akhlaqa kurang sesuai, sebab
mashdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq, sehingga
kata akhlaq merupakan ism jamid atau ism ghoiru mustaq. Kata
akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun.20
Selanjutnya, tasawuf adalah mashdar (kata jadian) dari
fi’il tashawwafu-yatashawwafu (kata kerja tambahan dua huruf)
menjadi tashawwufan. Sebenarnya berasal dari shafa-yashufushaufan (mashdar), yang memiliki arti menjadi berbulu yang
banyak. Dengan arti sebenarnya ialah menjadi sufi, yang ciri
khas pakaiannya terbuat dari bulu domba (wol).21 Akan
tetapi, secara bahasa, asal usul kata tasawuf diperselisihkan
oleh para ahli: Pertama, shuf yang berarti wol kasar karena
orang sufi selalu memakai pakaian wol sebagai lambing
kesederhanaan. Kedua, shafa, yang berarti bersih, karena
hatinya bersih di hadapan Tuhan. Ketiga, Ahl As-Suffah, yaitu
19

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 Tahun 2003 Pasal
1 Ayat 1, h. 5
20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 1-2
21 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 201-202

orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke
Madinah. Karena kehilangan harta benda, mereka tinggal di
masjid Nabi dan tidur di atas batu Pelana (As-Suffah) sebagai
bantal. Keempat, sophos (Yunani) yang berarti hikmah. Kelima,
shaf artinya barisan shalat, karena kaum sufi dimuliakan dan
mendapat pahala dari Allah. Keenam, tasawuf berkaitan
dengan as-shifah karena sufi mementingkan sifat-sifat terpuji.
Ketujuh, shaufanah, yaitu buah-buahan kecil berbulu yang
banyak tumbuh di padang pasir Arab, yang menyimbolkan
kesederhanaan.22
Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah integrasi antara
kata “akhlak” dengan kata “tasawuf”. Akhlak adalah perilaku dan tasawuf adalah terbersihkan, kesederhanaan, kedekatan dengan Tuhan, sehingga secara etemologi, akhlak
tasawuf berarti tingkah laku yang bersih karena bersumber
dari hati nurani. Akhlak tasawuf dapat terrealisasi melalui
pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan
dalam tindakan sosial.23 Definisi akhlak tasawuf yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbuatan manusia yang
disertai dengan kesadaran kehadiran dan kedekatan kepada
Allah, manusia mengalami kondisi serta keintiman ruhani
sebagai pangkal tolak bagi lahirnya akhlak atau budi pekerti
yang luhur.
Pada pembahasan pendidikan akhlak tasawuf, dalam
buku ini difokuskan pada salah satu tokoh, yaitu Cak Nur.
Pemikiran Cak Nur dalam bidang keilmuan sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh di antara dua kutub dunia, Barat dan
22 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h. 1214
23 Ibid. h. 116-117

Islam. Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Ibnu
Taimiyyah, sedang tokoh Barat seperti Robert N. Bellah,
Marshall G.S Hodgson, Ernest Gellner, dan Erich Fromm.
Selain itu, di Indonesia ia juga dipengaruhi oleh Hamka.
Buah pemikirannya adalah hasil sintesa atau jalan tengah
dari berbagai peradaban. Ia dijuluki oleh para ilmuwan lain
sebagai tipologi ilmuwan substantifistik dalam kelompok
neo-modernis. Kemudian, pemikiran keagamaan “NeoSufisme”24 pada dasarnya merupakan titik tolak hermeneutika neo-modernisme-nya. Karakter neo-sufisme maupun neo-modernisme ialah berpusat terutama pada AlQuran.
Selanjutnya, penulis berpijak pada latar belakang dan
fakus kajian yang dibingkai dalam buku ini dan istilah di
atas, maka rumusan masalah yang dijadikan sandaran dalam
pembahasan buku ini ini adalah: Pertama, Bagaimana konsep
pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur?. Kedua,
Adakah relevansi pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak
Nur dengan teori dan praksis pendidikan Islam? Sehingga,
secara otomatis tujuan yang hendak dicapai oleh pembahasan buku ini adalah: Pertama, mendeskripsikan konsep
pendidikan akhlak tasawuf menurut Cak Nur. Kedua,
menemukan relevansi pendidikan akhlak tasawuf menurut
Cak Nur dengan teori dan praksis pendidikan Islam.
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan buku ini
adalah: Pertama, secara teoritis, dapat semakin memperkaya
khazanah pemikiran pendidikan Islam pada umumnya di
bidang akhlak. Selain itu, dapat menjadi stimulus bagi
24

Budhy Munawar-Rachman, Membaca Cak Nur:Islam dan Pluralisme
Agama, Jakarta: Democracy Project, 2011, h. 51

penelitian pendidikan Islam selanjutnya, sehingga proses
pengkajian secara mendalam akan terus berlangsung dan
memperoleh hasil yang maksimal. Kedua, secara praktis,
dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum, sehingga
mampu menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan
Islam pada umumnya dan pendidikan akhlak tasawuf pada
khususnya. Kemudian mampu menjadi bahan rujukan untuk
memperoleh pengetahuan akhlak tasawuf dan sebagai
tawaran pemikiran alternative untuk direkomendasikan
menjadi kurikulum untuk pengembangan pendidikan Islam.

Untuk menunjukkan bahwa masalah yang dibahas
dalam buku ini benar-benar relavan, menarik, dan memang
belum dikaji oleh para penulis lainnya, maka di sini akan
disebutkan beberapa buku-buku yang telah mengkaji
gagasan-gagasan Cak Nur:
1. Sufyanto
Buku yang ditulis Sufyanto tentang Cak Nur
berjudul, “Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis
Masyarakat Madani Nurcholish Madjid”.25 Sufyanto
memfokuskan pembahasannya tentang masyarakat
madani. Kelemahan buku ini adalah tidak mengaitkan
gagasan masyarakat madani dengan pertarungan wacana

25

Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani
Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

dan kekuasaan, sehingga mampu menjelaskan dimana
posisi Cak Nur dalam pertarungan wacana tersebut.
Sufyanto menilai bahwa perspektif masyarakat madani di
Indonesia adalah dirumuskan secara sederhana, yaitu
membangun masyarakat yang adil, terbuka dan
demokratis, dengan landasan Tuhan. Ditambah lagi
dengan nilai sosial yang luhur, seperti toleransi, dan juga
pluralisme adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai
keadaban. Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud
ikatan keadaban (bond of civility). Bagi Sufyanto,
kemajemukan bukanlah sekedar melihat kenyataan
bahwa di dunia ini telah hadir berbagai macam
keberbedaan agama, suku, golongan bahasa, pendidikan,
berbeda tingkat ekonomi, karakter dan lain-lain, tetapi
kemajemukan juga harus disikapi dengan interaksi,
dinamika, dialog, dan komunikasi. Kemajemukan
masyarakat ataupun kemajemukan agama pada hakikatnya tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan
menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat
majemuk, tapi yang lebih mendasar harus disertai dengan
sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai
nilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada
manusia.
2. Nur Khalik Ridhwan
Dalam buku yang berjudul, “Pluralisme Borjuis:
Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur”,26 Nur Khalik
Ridhwan membaca pemikiran Cak Nur secara lebih kritis
26

Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Kritik atas Nalar Oluralisme Cak
Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2002

tentang keberpihakan pluralisme Cak Nur terhadap kaum
yang mapan. Cak Nur juga diposisikan sebagai kelas yang
mapan atau kaum borjuis. Gagasan Cak Nur dibedah
dengan perangkat “Arkeologi Wacana”, dan gagasan Cak
Nur dibaca persepktif “matinya sang pengarang”, kemudian Cak Nur dilihat sebagai seorang pengarang, yang
buku-bukunya dikritik. Dalam buku ini gagasan pluralisme Cak Nur bebas ditafsirkan oleh penulis.
Nur Khalik berkesimpulan bahwa Cak Nur berasal
dari lingkaran Islam borjuis. Munculnya tipologi Islam
borjuis ini dideteksi Nur Khalik sebagai kelas mengengah
atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan,
ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung
mengusung simbol-simbol Islam formal. Nur Khalik
bahkan beranggapan bahwa pluralisme Cak Nur bertumpu pada gagasan Islam universal, tetapi berputar di orbit
komunal, sehingga masih perspektif agama sendiri.
Pluralisme Cak Nur, di mata Nur Khalik, tidak
memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh,
petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh,
gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan
lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama
keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban
hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda
bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui
berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan
Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai
pluralisme borjuis.

3. Sukidi
Ada satu buku kumpulan tulisan, ditulis oleh
Sukidi dengan judul, “Teologi Inklusif Cak Nur”.27 Dalam
buku ini, Sukidi melakukan penyarahan atau pengayaan
terhadap gagasan-gagsan inklusif dan pluralis Cak Nur.
Sukidi dalam buku ini belum melakukan upaya kritik
terhadap gagasan-gagasan Cak Nur, namun ia berusaha
lebih malampaui dengan menjadi juru bicara inklusivisme
Cak Nur dengan memberikan berbagai polesan. Meski di
judul bukunya terpampang nama Sukidi sebagai penulis,
tulisan-tulisan orang lain juga dihadirkan sebagai
tanggapan atas tulisan-tulisan Sukidi. Sukidi sebagai
penulis muda yang kreatif dan kritis menyajikan gagasan
pluralisme Cak Nur secara menukik. Secara implisit,
Sukidi mengimbau agar kaum Muslim juga meyakini
bahwa di luar lslam juga ada kebenaran dan jalan
keselamatan.
4. Anas Urbaningrum
Satu lagi, buku Anas Urbaningrum yang berjudul
“Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid”.28 Buku ini
mengupas topik serius dalam kajian pemikiran politik
Islam, yakni relasi Islam dan demokrasi. Bahwa Islam
cocok dan mempunyai kapasitas topang terhadap demokrasi. Prinsip-prinsip dasar Islam, bukan saja tidak
bermusuhan dengan demokrasi, malahan mampu memberikan substansiasi moral secara lebih maknawi. Dalam
27

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001
Anas Urbaningrum, Islamo-demokrasi: Pemikiran Cak Nur, Jakarta:
Penerbit Republika, 2004,

28

pemikiran demokrasi ala Nurcholish Madjid yang secara
khusus dibedah. Buku ini memberikan gambaran yang
jelas tentang posisi pemikirannya di dalam peta-bumi
teori-teori demokrasi modern. Bukan saja itu. Buku ini
juga menegas-kukuhkan kontribusi Islam untuk memberikan kerangka keyakinan, ruh, dan nafas bagi demokrasi. Itulah Islamo-demokrasi. Demokrasi yang tidak
berwajah sekuler, tetapi diberi warna Islam.
5. Budhy Munawwar Rachman
Ada lagi buku yang ditulis Budhy Munawwar
Rachman dengan judul, “Membaca Nurcholish Madjid: Islam
dan Pluralisme”,29 mendeskripsikan dan memaparkan
pemikiran Cak Nur tentang gagasan Islam dan
pluralismenya. Islam dalam buku ini sebagai bentuk
substantif yang bermakna, penyerahan, kesadaran dan
keinsyafan terhadap Tuhan sebagai dasar pemikirannya
tentang pluralism. Dalam buku ini juga sedikit menyinggung masalah tasawuf, tetapi belum menampilkan secara
utuh, karena fokusnya pada pembacaan pluralisme Cak
Nur.
6. Sudirman Tebba
Buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba ini
berjudul “Orientasi Sufistik Cak Nur”,30 menjelaskan iman,
ibadah, amal shaleh, dan akhlak mulia yakni pemikiran
sufistik Cak Nur sebagai sunstansi ajaran Islam dan ruh
29

Budhy Munawar-Rachman, Membaca Cak Nur:Islam dan Pluralisme
Agama, Jakarta: Democracy Project, 2011.
30
Sudirman Terba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang
Guru Bangsa, Jakarta: KPP, 2004,

peradaban Islam. Sufisme atau tasawuf mengajarkan
pendekatan kepada Tuhan yang diwujudkan dengan iman
dan ibadah. Tasawuf juga mengajarkan agar hubungan
baik dengan sesama manusia dan makhluk pada
umumnya yang dilaksanakan dengan amal shaleh dan
berakhlak mulia. Sehingga, perlu rasanya ada buku yang
menyajikan pemikiran sufistik Cak Nur dan relevansinya
dengan pendidikan Islam.
Selain buku-buku yang telah disebutkan di atas, tentu
masih ada tulisan-tulisan lain yang membahas pemikiran Cak
Nur. Sejauh ini menurut penulis belum ada tulisan yang
membahas akhlak dan tasawufnya Cak Nur, bahkan
pendidikan. Ini yang menjadi menarik, di sisi lain Cak Nur
adalah pemikir neo-modernis, tetapi memiliki pemikiran
tentang akhlak, bahkan tasawuf. Pendidikan Akhlak Tasawuf
barangkali menjadi bentuk dari pemikiran neo-modernisnya. Sehingga penulis merasa perlu menggali pemikirannya
dalam dunia pendidikan pada umumnya dan pendidikan
Islam pada khususnya.

1. Jenis Penelitian
Berdasarkan tempat penelitian, maka penelitian ini
termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi di ruang perpustakaan, melalui buku-buku,
majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah, dan lain-

lain.31 Dalam hal ini, dilakukan pembacaan buku-buku
karya Cak Nur (sebagai data primer), kemudian bukubuku dan jurnal yang ditulis mengenai berbagai
pemikiran Cak Nur (sebagai data sekunder). Penelitian
ini termasuk jenis penelitian bibliografi, karena penelitan
ini dilakukan untuk mencari, menganalisis, membuat
interpretasi, serta generalisasi dari fakta-fakta hasil
pemikiran, ide-ide yang telah ditulis oleh pemikir dan
ahli, yang dalam penelitian ini berupa konsep pendidikan
akhlak tasawuf menurut seorang tokoh, yaitu Cak Nur.

2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan historis-filosofis. Pendekatan historis
yaitu dengan menyelidiki latar belakang eksternal dan
internal tokoh. Latar belakang eksternal meliputi kondisi
sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Sedangkan,
latar belakang internal meliputi riwayat hidup tokoh,
pendidikan, pengaruh yang diterima, relasi pemikir
dengan pemikir lain yang sezaman dan semua pengalaman yang membentuk visi atau pandangannya.32
Sedangkan, pendekatan filosofis adalah menganalisis sejauh mungkin pemikiran yang diungkap sampai
kepada landasan yang mendasari pemikiran. Dalam hal
ini adalah pendidikan akhlak tasawuf Cak Nur.33

31 Mardalis, Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi
Aksara, 2006, h. 28
32 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 105
33 Ibid, h. 15

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti dan lain sebagainya.34 Fungsinya adalah supaya
penelitian ini tetap memiliki standar keilmiahan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Kemudian, pengumpulan data
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Pertama, sumber data
primer, yaitu buku-buku karya Cak Nur diantaranya yang
berjudul: Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997;
Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:
Paramadina, 1992; Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997; Dialog Keterbukaan:
Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, 1998. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun
Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina,
1995; Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina,
1995.
Kedua, sumber data sekunder, penulis mengambil
dari buku-buku karya: AF Ahmad Gaus, Api Islam Cak
Nur Jalan Hidup Seorang Visioner, Jakarta: Kompas, 2010;
Anas. Urbaningrum, Islamo-demokrasi: Pemikiran Cak Nur,
Jakarta: Penerbit Republika, 2004; Budhy MunawarRachman, Membaca Cak Nur: Islam dan Pluralisme Agama,
Jakarta: Democracy Project, 2011; Nur Khalik. Ridwan,
34

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta 2006, h. 199

Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
Yogyakarta: Galang Press, 2002; Sudirman Terba,
Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru
Bangsa, Jakarta: Kasanah Populer Paramadina (KPP),
2004. Kedua, 1994; Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Kritik
Hermeneutik Masyarakat Madani Cak Nur, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2001.

4. Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah dan
mempelajari seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber, yaitu dari dokumen-dokumen atau buku-buku
terkait dengan tema penelitian. Langkah berikutnya
adalah mereduksi data yang dilakukan dengan menggunakan abstraksi yang konsisten.35 Setelah itu baru
analisis data menggunakan metode-metode sebagai
berikut:
Pertama, interpretasi, yaitu memahami pemikiran
tokoh yang diteliti untuk menangkap maksud dari tokoh,
kemudian diketengahkan dengan pendapat tokoh lain
tentang tema yang sama sebagai sebuah perbandingan.
Interpretasi dalam penelitian ini, berjalan di atas pengamatan data yang dipilih dan dipilah bagian-bagian pokok
yang menyangkut pandangan tokoh atas tema yang
dikemukakan.36

35

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 74
Anton Bakker dan Ahcmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 42

36

Kedua, koherensi intern, agar dapat memberikan
interpretasi dari pemikiran tokoh tersebut, konsepkonsep dan aspek-aspek pemikirannya dilihat menurut
keselarasan satu sama lain. Keselarasan ini disandarkan
oleh beberapa pendapat tokoh lain, terhadap tema dan
pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh.37
Ketiga, deskripsi, yaitu dengan mengurai secara
teratur seluruh konsep tokoh.38 Pengolahan data secara
deskriptif dalam penelitian ini mengarah kepada penjabaran tekstual dan kontekstual dari pandangan awal yang
terbangun dari pemikiran tokoh. Analisis tekstual berpijak kepada tulisan-tulisan karya tokoh. Sementara
kontekstualisasi berjalan seiring dengan dinamika
reflektif kolaboratif atar perjalanan realitas kehidupan
tokoh.39

Rangkaian pembahasan ini disusun dengan menggunakan uraian yang sistematis, diharapkan dapat mempermudah proses pengkajian dan pemahaman oleh pembaca.
Adapun sistematika pembahasan ini terbagi dalam beberapa
bagian, yang merupakan uraian singkat tentang isi yang
mencakup semua pembahasan, yaitu:
Bagian pertama, yaitu pendahuluan, yang terdiri atas:
alasan mengapa buku ini ditulis, membingkai teori yang
37

Ibid, h. 45
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat., 2002, h. 100
39 Bakker dan Charis, Metodologi Penelitian Filsafat, h. 54
38

menjadi fokus masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bagian kedua akan dipaparkan tentang bagaimana
konsep pendidikan akhlak tasawuf, yang terdiri dari: hakikat
pendidikan akhlak tasawuf, tujuan pendidikan akhlak tasawuf, materi pendidikan akhlak tasawuf, metode pendidikan
akhlak tasawuf, subyek pendidikan akhlak tasawuf, dan
evaluasi pendidikan akhlak tasawuf.
Bagian ketiga, akan membahas mengenai titik beranjak Cak Nur dalam rangka melacak basis nalar sufistik Cak
Nur yang terdiri dari: basis indivisual, perjalanan dan
pergumulan Cak Nur serta basis komunitas.
Bagian keempat, akan dijelaskan konsep pendidikan
akhlak tasawuf menurut Cak Nur, ko, berbicara mulai dari
hakikat, tujuan, materi, metode, pendidikan akhlak tasawuf
dan dimensi akhlak tasawuf Cak Nur.
Bagian kelima, berbicara tentang pendidikan akhlak
tasawuf Cak Nur dan pendidikan Islam, penulis berusaha
menganalisis konsep pendidikan akhlak tasawuf menurut
Cak Nur, dan mencari relevansinya dengan teori dan praksis
pendidikan Islam.
Bagian Keenam, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi yang membutuhkan.

Bagian Kedua

PENDIDIKAN AKHLAK
TASAWUF

Pemba