SINERGI PELAKU DAKWAH KULTURAL

SINERGI PELAKU DAKWAH KULTURAL
Jabrohim*)
Selama ini salah satu sumber ‘kemacetan dan kemandegan’ dakwah kultural dalam
persyarikatan Muhammadiyah adalah tiadanya sinergi antarpelaku dakwah kultural. Para
pelaku dakwah kultural cenderung bergerak sendiri-sendiri. Para fungsionaris persyarikatan
bergerak sendiri. Para guru bergerak sendiri. Para seniman dan budaywan bergerak sendiri.
Yang memilih LSM Budaya sebagai wahana, juga bergerak sendiri.
Semua merasa telah sangat berperan, merasa telah berbuat dan bekerja keras, tetapi
hasilnya tidak optimal. Lalu kemudian sama-sama merasa capek, letih kemudian tidak
terdengar lagi kegiatannya. Padahal kalau diingat, sebuah gerak budaya adalah gerak yang
bersifat dialektis. Harus selalu tumbuh alternatif-alternatif kegiatan, harus pula selalu
memperbarui wawasan kulturalnya.
Selain itu perlu juga diingat bahwa dakwah kultural merupakan gerakan dakwah
jangka panjang, yang durasi atau rentang waktunya tidak hanya sehari dua hari, sebulan dua
bulan, tetapi menjangkau sepuluh duapuluh tahun, bahkan lebih dari itu. Ini jelas sangat sulit
dan meletihkan kalau dilakukan sendiri-sendiri.
Dengan demikian langkah-langkah yang bersifat sinergis senantiasa diperlukan.
Lantas siapa saja pelaku dakwah kultural yang harus merintis langkah sinergis ini?
Dalam konteks Muhammadiyah, pelaku pertama dari dakwah kultural adalah justru para
guru. Jumlah guru (termasuk dosen) dalam tubuh persyarikatan sangat banyak, ratusan ribu.
Setiap hari mereka melaksanakan tugas-tugas budaya, yaitu mentransfer ilmu, ketrampilan

dan mentransfer nilai-nilai. Juga membentuk watak, pandangan hidup, motivasi dan cita-cita
murid-muridnya. Tidak ada pelaku dakwah kultural yang jumlah dan kemuliaannya melebihi
para guru.
Para guru memiliki peran pokok edukasi, peran utama motivasi dan peran pendukung
memobilisasi murid, dalam keseluruhan gerak dakwah kultural. Masalahnya, apakah semua
guru dan dosen Muhammadiyah sudah memahami dan memiliki wawasan dakwah kultural?
Belum.
Pelaku dakwah kultural kedua adalah para seniman dan sastrawan. Mereka selama ini
bergerak dan beroperasi dalam sebagaian besar wilayah budaya. Mereka selalu
bereksperimen dalam mengolah karya, menampilkan, dan mengajak manusia menuju pada
keluhuran nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan lewat karyanya. Mereka juga
menghasilkan teks-teks alternatif yang sangat kaya nuansa dan makna.
Para seniman, satrawan dan budayawan ini memiliki peran pokok di tataran kreasi,
peran utama dalam melakukan publikasi dan peran pendukungnya terletak pada
kemampuannya memobilisasi seniman, sastrawan dan budayawan sendiri.
Bersama para budayawan dan aktivis serta penggiat budaya, lewat LSM maka para
seniman dan sastrawan pun sesungguhnya telah melakukan dakwah kultural habis-habisan.
Tetapi karena mereka bergerak secara eksklusif maka hasil dan dampak aktivitas mereka juga
kurang optimal. Wawasan dakwah kultural mereka pun masih perlu ditambah.
Kemudian, pelaku dakwah kultural ketiga adalah para fungsionaris persyarikatan.

Termasuk pengurus hariannya. Fungsonaris persyarikatan ini memiliki peran pokok
mengorganisasi, peran utama melakukan presentasi dan peran pendukung adalah melakukan
fasilitasi dan memberikan dukungan dana
Meski dakwah kultural telah dijadikan keputusan persyarikatan di tingkat
nasional.tetapi di tngkat wilayah, daerah, cabang, ranting dan jamaah belum semuanya paham
dan belum semuanya melaksanakan keputusan ini. Kalau pun sudah melaksanakan dakwah
kultural, itu masih terbatas dalam tafsir sempit mereka sendiri, sehingga meski dilakukan

dengan penuh semangat dan berulang-ulang hasilnya belum juga optimal. Masih belum
mampu mempengaruhi arah perubahan masyarakat.
Nah, melihat kondisi obyektif yang demikian penulis kira sangat perlu dilakukan
upaya-upaya yang bersifat sinergis. Ketiga pelaku dakwah kultural perlu ketemu, berembug
bareng, memperjelas posisi dan peran masing-masing lalu bersama-sama merumuskan
agenda-agenda aksi bersama, dalam kerangka sebuah strategi budaya yang tepat. Para guru
dan dosen bertemu dengan para seniman, sastrawan budayawan bersama para fungsionaris
persyarkatan.
Dalam kaitan inilah Dialog Nasional Pelaksanaan Dakwah Kultural yang 11 sampai
13 September di Universitas Ahmad Dahlan penulsi pandang sangat penting. Sebab dialog itu
dimaksudkan untuk mempertemukan para pelaku dakwah kultural sehngga mampu merintis
langkah-langkah yang bersifat sinergis. Apalagi para pemandu dialog, atau narasumber yang

dihadirkan adalah mereka yang betul-betul ahli dan berpengalaman di bidangnya masingmasing.
Kapan lagi semua ini dimulai kalau tidak dimulai dari sekarang?
*) Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004