T2 932012013 BAB II

II. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Kelembagaan (Institutional Theory)
Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan
bahwa kelembagaan merupakan struktur sosial yang
telah mencapai ketahanan tertinggi dan terdiri dari
budaya kognitif, normatif, dan regulatif yang sarat
dengan perubahan. Elemen-elemen ini secara bersamasama mempengaruhi kegiatan dan sumber daya untuk
memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan
sosial. Dalam upaya memberikan stabilitas ini maka
sebuah lembaga perlu memperhatikan unsur-unsur
seperti rules, norms, cultural benefit, peran dan sumber
daya material. Hal inilah yang dapat membentuk
komitmen

organisasi

dalam

memberikan

stabilitas


melalui berbagai kebijakan dan program yang ada.
Teori
antara

kelembagaan
organisasi

bagaimana
sebuah

dan

struktur

menggambarkan

dengan
mengapa
dan


hubungan

lingkungannya;
organisasi

proses

serta

tentang

menjalankan
bagaimana

konsekuensi dari proses kelembagaan yang dijalankan
tersebut (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam
Villadsen (2011) menyatakan bahwa teori ini dapat
digunakan untuk menjelaskan peran dan pengambilan
keputusan dalam organisasi bahwa struktur, proses

dan

peran

organisasi

seringkali

dipengaruhi

oleh

keyakinan dan aturan yang dianut oleh lingkungan
organisasi. Misalnya organisasi yang berorientasi pada
8

layanan

publik,


dalam

pengambilan

keputusan

sudah tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan
yang berlaku di pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan lingkungan masyarakat. Berangkat dari
hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa organisasi
sebagai pihak yang menerapkan kebijakan harus
memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan
tugasnya agar tujuan akhir dari sebuah kebijakan
dapat tercapai.
Teori ini menjadi penjelas yang kuat dan populer
bagi tindakan individu maupun organisasi yang
disebabkan oleh faktor eksogen, eksternal, sosial,
ekspektasi masyarakat, dan lingkungan (Ridha dan
Basuki,


2012).

Faktor-faktor

ini

cenderung

menunjuk pada hubungan organisasi dengan pihak
eksternal, seperti domain Negara (state), sektor
swasta (private), akademisi dan masyarakat (society).
Organisasi

pemerintah

memiliki

selaku

pihak


legitimasi

mempertanggungjawabkan

internal
untuk

penyelenggaraan

pemerintahannya kepada pihak eksternal.Dengan
demikian dalam menjalankan fungsinya, organisasi
rentan juga terhadap tekanan eksternal.
Bagi organisasi pemerintah, secara umum yang
diutamakan

adalah

legitimasi


dan

kepentingan

politik. Organisasi yang mengutamakan legitimasi
akan

memiliki

kecenderungan

untuk

berusaha
9

menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau sosial
(DiMaggio dan Powell 1983; Ashworth et al., 2009).
Penyesuaian


pada

harapan

eksternal

atau

sosial

mengakibatkan timbulnya kecenderungan organisasi
untuk memisahkan kegiatan internal mereka dan
berfokus pada sistem yang sifatnya simbolis pada pihak
eksternal (Meyer dan Rowan, 1977). Secara tidak
langsung,

kemauan

menggambarkan


organisasi

kuatnya

tersebut

komitmen

telah

organisasi

tersebut. Misalnya, jika masyarakat mengharapkan
untuk menegakkan kesetaraan gender dalam seluruh
aspek pembangunan maka idelnya organisasi harus
mewujudkan

hal

tersebut


demi

kepentingan

legitimasinya di mata masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Meyer dan Rowan
(1977) bahwa banyak posisi, kebijakan, program dan
prosedur internal organisasi dipengaruhi oleh opini
publik,

pandangan

konstituen,

pengetahuan

sah

melalui sistem pendidikan, prestise sosial, hukum, dan

pengadilan.

Inti

dari

pandangan

tersebut

adalah

perilaku dan keputusan yang diambil oleh organisasi
cenderung dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar
organisasi.

Organisasi

akan

berupaya

untuk

menyesuaikan diri dengan harapan eksternal untuk
mempertahankankan eksistensi dan legitimasinya. Hal
ini memang merupakan bentuk pengabdian organisasi
pemerintah terhadap masyarakat. Namun, organisasi
10

ini pun harus memiliki komitmen yang kuat agar
mendukung dirinya untuk pencapaian tujuan suatu
kebijakan,

seperti

kesetaraan

gender.

Jika

organisasi tidak memiliki komitmen yang kuat maka
secara perlahan harapan-harapan eksternal tersebut
dapat

menjadi

karena

seperti

sepanjang

menyesuaikan
eksternal.

tekanan

waktu

tekanan

eksternal.

dijadikan

sebagai

(mengganggu)

organisasi

organisasi

praktiknya

Tekanan

bagi

dengan

harus
harapan

seperti inilah yang disebut
Tekanan

eksternal

variabel

hubungan

yang

dapat

memoderasi

antara

komitmen

organisasi dengan kinerja penyusunan ARG.
Isomorfisme Kelembagaan (Institutional
Isomorphism)
Hawley (1968) dalam DiMaggio dan Powell (1983)
menyatakan

bahwa

isomorfisme

(isomorphism)

adalah proses yang mendorong satu unit dalam
suatu populasi untuk menyerupai unit yang lain
dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama.
Dorongan ini dapat bersifat memaksa atau menekan
organisasi

(coercive).Penelitian

terbaru

telah

menunjukkan bagaimana organisasi publik menjadi
subjek

tekanan

institusional

yang

mendalam

sehingga menyebabkan pada umumnya organisasi
publik menjadi lebih mirip (Ashworth et al., 2009).
Tekanan institusional ini dapat dicerminkan melalui
11

banyaknya

peraturan

perundang-undangan

dan

kebijakan pemerintah. Banyaknya peraturan ini dapat
mengganggu komitmen organisasi dalam penerapan
suatu

praktik

yang

baru.

Apalagi

dalam

kondisi

ketidakpastian, organisasi banyak yang memilih untuk
meniru (mimetic) praktek organisasi lain bukan karena
memahami esensi penerapan praktik tersebut. Tekanan
institusional inilahyang membawa organisasi publik
pada sebuah kesamaan praktik atau isomorfisme.
Dengan kata lain, kemiripan praktik yang terjadi di
pemerintahan dapat disebabkan oleh adanya peraturan
dari pemerintah pusat.
Coercive

isomorphism

adalah

respon

terhadap

tekanan dari organisasi lain di mana organisasi kita
bergantung serta tekanan untuk memenuhi harapan
masyarakat. Respon ini dapat berarti bahwa proses
penerapan

peraturan

atau

penyesuaian

menuju

kesamaan terjadi dengan suatu paksaan. Perasaan
terpaksa ini juga datang dari pengaruh politik dan
masalah legitimasi. Mimetic isomorphism terjadi jika
organisasi

bercita-cita

untuk

meniru

proses,

strukturdan praktek organisasi lain. Ini merupakan
respon

terhadap

organisasi

berada

meningkatkan

situasi
di

kinerja,

ketidakpastian
bawah
tetapi

di

tekanan
tidak

mana
untuk

mengetahui

bagaimana cara untuk mencapai tujuan ini. Normative
isomorphism diasosiasikan dengan profesionalisasi dan
12

menangkap

tekanan

normatif

yang

muncul

di

bidang tertentu. Jadi kemiripan terjadi atas dasar
tekanan

yang

dikaitkan

dengan

profesionalisme(DiMaggio dan Powell, 1983).
Penyusunan Anggaran Responsif Gender
Pengertian Gender
Gender

adalah

diasosiasikan

dengan

segala
jenis

sesuatu
kelamin

yang

seseorang,

termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan
atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian
atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron and
Byrne, 1979 dalam Kestari, 2011). Hal serupa
dikatakan oleh Kessler dan McKenna (1978) dalam
Kestari (2011), bahwa gender adalah sesuatu yang
dilihat

sebagai

“psychological,

social,

and

culturalaspects of maleness and femaleness”. Gender
tidak

dibawa

sejak

lahir

melainkan

dipelajari

melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat
berubah.

Proses

sosialisasi

yang

membentuk

persepsi diri dan aspirasi semacam ini dinamakan
sosialisasi gender (gendersocialization).
Pengertian Anggaran Responsif Gender
Secara umum, anggaran Pemerintah Daerah di
Indonesia

belum

Anggaran

tersebut

memiliki
lebih

perspektif

gender.

merupakan

alokasi

keuangan yang bersifat aggregate sehingga faktor
13

manusia secara sosial dan budaya yang berbeda,
disamakan

tanpa

terpikirkan.

Hal

ini

kemudian

menghasilkan kebijakan yang bias sehingga dampak
yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat
setara bagi perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu,
pembangunan
untuk

belum

sungguh-sungguh

meningkatkan

ditujukan

kesejahteraan

dan

memperhatikan kesenjangan gender (Mundayat, 2006
dalam Kestari, 2011).
ARG

merupakan

sistem

penganggaran

yang

mengakomodasikan keadilan bagi perempuan dan lakilaki dalam memperoleh akses dan manfaat yang setara,
serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan
mengontrol sumber daya (PPRG Bappeda Kota Salatiga,
2013).

Menurut

Budlender

et

al

(2006),

ARG

merupakan alat untuk memfasilitasi suatu usaha
berdampak gender dalam anggaran pemerintah. ARG
menambahkan item E ke-4 yaitu equity ke dalam tiga E
penganggaran: efficiency, effectivenes dan economy.
ARG tidak menambah beban kerja pemerintah namun
memperkuat

apa

yang

dilakukan

pemerintah

(Budlender, 2011 dalam Kestari 2011).
Definisi

konsep

dikembangkan

oleh

ARG
PATTIRO

di

atas

(Pusat

kemudian
Telaah

dan

Informasi Regional) sehingga sesuai dengan konteks di
Indonesia, di mana kemiskinan ada di mana-mana
(Sundari, 2008 dalam Kestari, 2011). ARG adalah
14

anggaran

yang

berpihak

memprioritaskan

kepada

pembangunan

masyarakat,

manusia]

dan

meresponi kebutuhan yang berbeda antara laki-laki
dan

perempuan.

Implementasi

ARG

dapat

meresponi kebutuhan berdasarkan lokasi geografis
(desa-kota), kemampuan yang berbeda

(normal-

penyandang cacat), dan kelompok umur (anak,
remaja, lansia). Berdasarkan konsep ARG ini, maka
definisi ARG yang digunakan dalam penelitian ini
adalah anggaran yang berpihak kepada seluruh
kelompok masyarakat, yang memberi keadilan bagi
perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses,
manfaat, partispasi dan kontrol terhadap sumber
daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan
peluang

dalam

memilih

dan

menikmati

hasil

pembangunan.
Kinerja Penyusunan Anggaran Responsif Gender
Prawirosentono
kinerja

adalah

(1999)

hasil

menyatakan

kerja

yang

bahwa

dicapai

oleh

seseorang atau sekelompok orang di dalam satu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab

masing-masing

organisasi.Kinerja
yang

berkaitan

untuk

mencakup
yaitu

input,

mencapai
beberapa

tujuan
variabel

perilaku-perilaku

(proses), output dan outcome(dampak).
Menurut Budlender (2006), proses penyusunan
anggaran

responsif

gender

(ARG)

merupakan
15

serangkaian

aktivitas

penentuan

kebijakan

untuk

pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah,
yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok
sosial

yang

berbeda

secara

merata.

Sedangkan

Rostanty (2007) menyebutnya sebagai strategi untuk
mengurangi kesenjangan gender dalam pembangunan
dengan menggunakan perspektif gender dalam proses
pengalokasian anggaran. Kedua definisi ini memiliki
arti bahwa proses penyusunan ARG idealnya harus
menjamin perempuan dan laki-laki dalam memperoleh
akses (acces), kontrol (control), manfaat dan partisipasi
secara merata dalam pengambilan keputusan dan
menikmati hasil pembangunan.
Berdasarkan

definisi

di

atas,

maka

peneliti

menyimpulkan bahwa kinerja penyusunan anggaran
responsif

gender

merupakan

tingkat

capaian

pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah
yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok
sosial yang berbeda secara merata. UNIFEM (United
Nation Development Fund for Women) menyebutkan
bahwa ARG memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. ARG bukan anggaran terpisah bagi laki-laki atau
perempuan;
2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam
semua aspek penganggaran;
3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi
stakeholder perempuan;
16

4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan
pemerintah dilakukan dengan responsif gender;
5. Meningkatkan

efektivitas

penggunaan

sumber-

sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan
pengembangan sumber daya manusia;
6. Menekankan

pada

re-prioritas

daripada

meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah;
7. Melakukan

re-orientasi

dari

program-program

dalam sektor-sektor dari pada menambah angka
pada sektor-sektor khusus.
Suatu anggaran bisa dikatakan responsif gender
jika memenuhi kriteria umum anggaran responsif
gender. Kriteria ini disusun berdasarkan targettarget

dalam

MDGs

(Millenium

Development

Goals)dan CEDAW (Convention on the Elimination
ofAll Forms of Discrimination Against Women) yang
dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam program dan
kegiatan daerah yang sesuai dengan kebutuhan
daerah tersebut. Kriteria umum ARG mencakup
(Sundari et al, 2008 dalam Kestari, 2011):
1. Memprioritaskan pembangunan manusia;
2. Memprioritaskan

upaya

untuk

mengurangi

kesenjangan gender;
3. Memprioritaskan

upaya

penyediaan

pelayanan

publik yang berkualitas bagi masyarakat;
4. Memprioritaskan upaya peningkatan daya beli
masyarakat.
17

Secara umum, tujuan penyusunan ARG adalah
memastikan

apakah

perempuan

dan

laki-laki

diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh akses,
kontrol, partisipasi dan memperoleh manfaat (AKPM)
yang sama dalam pembangunan. Akses yaitu peluang
atau

kesempatan

dalam

memperoleh

atau

menggunakan sumber daya tertentu. Kontrol yaitu
penguasaan,

wewenang

atau

kekuatan

untuk

mengambil keputusan. Partisipasi yaitu keikutsertaan
seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau
pengambilan

keputusan.

Manfaat

yaitu

kegunaan

sumber daya yang dapat dinikmati secara optimal.
Pengintegrasian

perspektif

gender

menjadikan

perencanaan lebih tepat sasaran dan efektif, karena
didahului oleh analisis determinan sosial dan perspektif
gender.Sebuah anggaran dikatakan responsif gender
jika proses penyusunan melibatkan langkah-langkah
sebagai berikut:
Teknik atau cara mengintegrasikan gender dalam
proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan
langkah sebagai berikut (Rinusu, 2006:59):
a. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi laki-laki
dan

perempuan

dan

menyusun

prioritas

kebutuhannya.
b. Menetapkan program dan proyek sesuai hasil
pemetaan kebutuhan yang telah diidentifikasi
dan disepakati bersama dengan masyarakat.
18

c. Menetapkan

perkiraan

anggaran

untuk

membiayai program dan proyek.
d. Mengukur keberhasilan pelaksanaan program
dan proyek, apakah mempunyai manfaat dan
dampak

terhadap

perubahan

masyarakat

sebelum dan sesudah proyek diberlakukan.

Selain itu, teknik pengintegrasian gender dalam
proses

penyusunan

anggaran

dapat

dilakukan

dengan langkah seperti berikut:
a. Melakukan analisis gender untuk mengetahui peran
dan relasi gender yaitu perempuan dan laki-laki
yang mempengaruhi status dan kebutuhan mereka;
b. Melakukan perencanaan kebijakan, program, dan
kontrol terhadap upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang setara antara perempuan dan
laki-laki sehingga perempuan dan laki-laki sesuai
dengan status dan kebutuhan mereka;
c. Menyusun

anggaran

berdasarkan

hasil

analisis

gender untuk mencapai target indikator kinerja

19

program

dan

kegiatan

yang

adil

terhadap

perempuan dan laki-laki;
d. Menjadi

alat

monitoring

dan

evaluasi

untuk

mengetahui keberhasilan pelaksanaan program dan
kegiatan, khususnya dalam menurunkan kesenjangan
status antara perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian, dengan pemahaman yang benar
mengenai

pengarusutamaan

gender

maka

proses

penyusunan ARG pun dapat terlaksana dengan benar
dan pada akhirnya menghasilkan kinerja yang baik.
Capaian dari penyusunan ARG dapat berupa dokumen
anggaran yang telah mengakomodasi kebutuhan gender
yang berbeda. Berhasil atau tidaknya sebuah proses
penyusunan ARG dapat terlihat pada kinerja yang
dihasilkan.

Aliran

terakhir

dari

proses

pengarusutamaan gender dalam anggaran pemda ini
adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara
merata dan berkurangnya kesenjangan gender.
Komitmen Organisasi
Komitmen Organisasi didefinisikan sebagai kuatnya
keinginan untuk tetap sebagai anggota organisasi,
bekerja
menerima

keras
nilai

sesuai
dan

sasaran
tujuan

organisasi,

organisasi

serta

(Luthans,

2005).Dengan kata lain, sikap yang merefleksikan
loyalitas

karyawan

berkelanjutan

di

pada
mana

organisasi
anggota

dan

proses

organisasi
20

mengekspresikan perhatian dan keberhasilannya
terhadap organisasi. Komitmen organisasi biasanya
tumbuh disebabkan oleh individu dalam organisasi
yang

memiliki

organisasi.

ikatan

Ikatan

emosional

emosional

terhadap

tersebut

meliputi

dukungan moral dan penerimaan nilai yang ada
untuk mengabdi pada organisasi.
Setiap organisasi perlu memiliki komitmen yang
tinggi dalam penyelenggaraan tugasnya sehingga
tidak mudah dipengaruhi oleh nilai lingkungan yang
bertentangan.
diasosiasikan
Normative
organisasi

Komitmen
dengan

organisasi

normative

dapat

isomorphism.

isomorphismmenggambarkan
secara

profesional

bahwa

mengerti

tentang

norma, peraturan atau regulasi yang ada (DiMaggio
and Powell, 1983). Sehingga walaupun norma dan
regulasi tersebut bersifat menekan namum anggota
organisasi

tetap

pengabdiannya
merupakan

mematuhinya
kepada

bentuk

sebagai

organisasi.

komitmen

bentuk
Hal

individu

ini

dalam

organisasi tersebut.
Organisasi

berada

dalam

lingkungan

yang

majemuk dan dinamis sehingga terkadang dapat
terpengaruholeh norma serta aturan yang telah
lama berlaku di lingkungan tersebut. Untuk itu,
dibutuhkan komitmen yang tinggi agar organisasi
dapat tetap berpraktik sesuai norma dan regulasi,
21

dengan

tujuan

mengabdi

bagi

organisasi.Bagi

organisasi publik, norma tersebut dapat berasal dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan
masyarakat. Aturan-aturan ini bersifat dinamis, dapat
berubah seiring meningkatnya kebutuhan organisasi.
Namun

terkadang

perubahan

tersebut

juga

mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Dacin et al (2002) bahwa
perubahan

dalam

institusi

atau

organisasi

dapat

berdampak pada masalah komitmen dan integritas
organisasi tersebut. Paine (1994) menyatakan bahwa
strategi integritas merupakan sesuatu yang lebih luas,
lebih dalam dan lebih menuntut daripada inisiatif
kepatuhan atas hukum. Kepatuhan atas hukum dan
peraturan akan terwujud bila diikuti oleh komitmen
organisasi yang tinggi.
Institusionalisasi

merupakan

proses

penetapan

suatu karakter yang ditentukan dengan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi organisasi (Selznick,
1992

dalam

Dacin,

2002).

Kesetaraan

gender

merupakan salah satu nilai (Inpres No 9 tahun 2000)
yang

harus

dipegang

oleh

organisasi

dalam

penyusunan ARG untuk menunjang pembangunan
yang berkeadilan gender. Oleh sebab itu, ARG perlu
diterapkan dalam sebuah organisasi publik. Penerapan
ARG

membutuhkan

komitmen

yang

tinggi

dari

organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan
22

mendorong

organisasi

mencapai

tujuan

untuk

organisasi

berusaha
(Porter

keras

et.

al.,

1974).Pemda sebagai pelaku dalam penyusunan
anggaran perlu memiliki komitmen yang kuat untuk
mendukung

penyusunan

ARG

(Diop-Tine,2002).

Sawer (2002) dalam Rubin dan Bartle (2005)
menyatakan bahwa kurangnya komitmenorganisasi
menjadi

alasanutama

tidak

optimalnya

kinerja

penyusunan ARG.
Hasil penelitian sebelumnya yang ditemukan
oleh Karim (2006) dalam Nordiana (2009) bahwa
komitmen

organisasi

berpengaruh

signifikan

terhadap kinerja penyusunan ARG. Komitmen ini
terwujudkan

melalui

tersedianya

data

terpilah

gender, adanya kepekaan gender dari perencana
dan pembuat keputusan, kesadaran dari pengambil
kebijakan.
Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat
diduga bahwa kinerja penyusunan ARG sangat
bergantung pada besarnya komitmen organisasi.
Semakin

tinggi

kinerjapenyusunan

komitmen
ARG

organisasi

semakin

baik,

maka
artinya

semakin menghasilkan anggaran yang responsif
gender; menjawab kebutuhan gender secara merata.
Untuk itu, dirumuskan hipotesis pertama sebagai
berikut:

23

H1: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap
kinerja penyusunan anggaran responsif gender.
Tekanan Eksternal
Tekanan eksternal adalah suatu daya dari luar
organisasi yang membatasi ruang gerak organisasi
sehingga

dapat

menimbulkan

menurunkan

kejenuhan

dan

tingkat

kemampuan,

rasa

tertekan

bagi

organisasi dalam melaksanakan tugas (Frumkin and
Galaskiewicz,

2004).

Menurut

Olivier

Nay

(2011)

tekanan eksternal dapat dirasakan melalui banyaknya
peraturan legal, budaya birokrasi organisasi, adanya
klaim/tuntutan

langsung

pemangku

kepentingan

(mitrakebijakan,

organisasimasyarakat,

masyarakat,

pihak

Tekanan

swasta).

eksternal

memaksakan

organisasi untuk melakukan suatu tindakan demi
memenuhi
bahwa

harapan

organisasi

cenderung

eksternal.Halini
yang

menerima

menunjukkan

mengutamakan

tekanan

dari

legitimasi

lingkungannya

sehingga tekanan eksternal ini yang memastikan cara
organisasi berpraktik (DiMaggio dan Powell, 1983).
Coercive isomorphism terjadi karena tekanan dari
pihak ekternal, seperti organisasi lain dan masyarakat.
Hal inimerupakan hasil dari tekanan formal dan
informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi
lain di mana organisasi bergantung dalam menjalankan
fungsinya. Coercive isomorphism juga dapat berasal dari
pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi
24

(DiMaggio dan Powell, 1983). Kekuatan koersif ini
terkait

dengan

tekanan

yang

diberikan

oleh

peraturan pemerintah atau lembaga lain untuk
mengadopsi suatu struktur atau sistem (Ashworth
et al., 2009). Adanya peraturan ini ditujukan untuk
mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik.
Di sisi lain, peraturan ini pun dapat menyebabkan
adanya

kecenderungan

organisasi

untuk

memperoleh legitimasi (legitimate coercive) (scott,
2004), sehingga hanya menekankan aspek-aspek
positif

agar organisasi terlihat baik oleh pihak

eksternal.

Perubahan

organisasi

yang

didasari

kekuatan koersif dapat menyebabkan organisasi
lebih mempertimbangkan pengaruh politik daripada
teknis (Ashworth et al., 2009).
Tekanan yang diberikan melalui peraturan dan
kebijakan menjadi sebuah saranabagi pemerintah
kota

dalam

penyelenggaraan

tugasnya.

Namun

terkadang semakin banyak tekanan yang diberikan
dapat berakibat pada kejenuhan pemerintah kota
dalam penerapan suatu praktik. Tekanan melalui
peraturan yang lebih dipengaruhi oleh legitimasi
akan mengakibatkan praktik-praktik yang terjadi
dalam organisasi hanya bersifat formalitas yang
ditujukan untuk memperoleh legitimasi, dan tidak
didukung oleh kesadaran yang kuat.

25

Berkaitan dengan penyusunan ARG, berhasil atau
tidaknya proses penyusunan ARG ini bergantung pada
seberapa banyak tekanan yang datang dari pihak-pihak
eksternal. Hasil penelitian Frumkin and Galaskiewicz
(2004) menemukan bahwa tekanan yang semakin kuat
dapat

menyebabkan

mengganggu

organisasi

komitmen

merasa

organisasi

jenuh,

sehingga

tidak

berusaha keras bekerja dalam hal ini untuk menyusun
ARG. Dengan kata lain, tekanan eksternal yang tinggi
dapat

mengganggu

komitmen

organisasi

untuk

mencapai kinerja penyusunan ARG. Demikian pula
halnya, dengan rendahnya tekanan eksternal, diduga
dapat

mendukung

komitmen

organisasi

untuk

mencapai kinerja penyusunan yang baik.
Berdasarkan

teori

dan

uraian

di

atas,

dapat

dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut:
H2: Tekanan eksternal memoderasi hubungan komitmen
organisasi

dengan

kinerja

penyusunan

anggaran

responsif gender.
Komitmen organisasi yang tinggi dapat mendukung
pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula
jika tekanan eksternal yang dirasakan rendah, dan
sebaliknya

tidak

mendukung

pencapaian

kinerja

penyusunan ARG jika tekanan eksternalnya tinggi.
Ketidakpastian Lingkungan
Ketidakpastian Lingkungan didefinisikan sebagai
rasa ketidakmampuan individu untuk memprediksi
26

sesuatu

yang

akurat

terjadi

(Darlis,

di

lingkungannya

2002).

Luthans

secara
(2005)

mendefinisikannya sebagai situasi seseorang yang
terkendala untuk memprediksi situasi di sekitar
sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu dalam
menghadapinya. Duncan (1972) dalam Darlis (2002)
mendefinisikannya sebagai keterbatasan individu
dalam menilai probabilitas gagal atau berhasil
keputusan

yang

disebabkan

karena

kesulitan

memprediksi kemungkinan di masa depan. Seperti
yang dikemukakan Fisher (1996) dalam Darlis
(2002) bahwa pada kondisi ketidakpastian tinggi,
maka individu sulit memprediksi kegagalan dan
keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya.
Ketidakpastian

lingkungan

dapat

dikaitkan

dengan isomorfisme mimetik. Isomorfisme mimetik
adalah

kecenderungan

organisasi

untuk

memodelkan dirinya pada praktik organisasi lain
(DiMaggio dan Powell, 1983) yang muncul sebagai
tanggapan

terhadap

suatu

ketidakpastian

lingkungan (Mizruchi dan Fein, 1999). Isomorfisme
mimetik dapat ditunjukkan dengan cara meniru
praktik terbaik di lapangan (benchmarking) dan
pelaku
(leading

dalam

organisasi

players)

(Tuttle

yang
and

berpengalaman
Dillard,

2007).

Ketidakpastian ini dapat disebabkan oleh hal di
dalam

maupun

di

luar

organisasi,

seperti
27

perubahan peraturan atau kebijakan yang cepat dalam
satu rentang waktu tertentu serta adanya perbedaan
peraturan. Ketidakpastian mengakibatkan organisasi
mengubah proses dan struktrurnya. Hasil penelitian
Govindarajan (1984) menemukan bahwa perubahan
proses dan struktur yang seringkali terjadi dapat
mengganggu komitmen organisasi dalam melaksanan
tugasnya. Dengan demikian ketidakpastian lingkungan
ini turut mempengaruhi komitmen organisasi dalam
mencapai kinerja penyusunan ARG.
Perubahan proses dan struktur organisasi sebagai
respon terhadap ketidakpastian lingkungan tidaklah
mudah.

Ketidaksiapan

organisasi

terhadap

suatu

perubahan peraturan dapat mengakibatkan rendahnya
pemahaman organisasi terhadap peraturan yang baru.
Dalam situasi yang tidak pasti ini, pemimpin organisasi
akan memutuskan bahwa respon terbaik yang dapat
dilakukan adalah dengan meniru organisasi yang
mereka anggap berhasil (Mizruchi dan Fein, 1999).
Implementasi

ARG

telah

menjadi

perhatian

pemerintah sejak awal era reformasi pada tahun 2000,
dengan adanya UU terkait pengarusutamaan gender.
Telah ada banyak peraturan yang dibuat pemerintah
untuk menyukseskan jalannya amanat ARG ini, namun
fakta menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan
gender di masyarakat (Nordiana, 2009; Kestari, 2011;
Sopanah,

2012).

Ketidakpastian

yang

terjadi

di
28

lingkungan

pemerintahan

melalui

perubahan

peraturan dan tumpang tindihnya peraturan dapat
membuat

organisasi

merasa

jenuh

sehingga

berdampak pada upaya atau komitmen organisasi
dalam menerapkan peraturan-peraturan tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik atau
tidaknya

kinerja

penyusunan

ARG

dapat

bergantung pada kepastian lingkungan organisasi
tersebut.
Berdasarkan teori dan uraian di atas maka
dapat dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut:
H3: Ketidakpastian lingkungan memoderasi hubungan
komitmen

organisasi

dengam

kinerja

penyusunan

anggaran responsif gender.
Ketidakpastian
mengganggu

lingkungan
komitmen

yang

tinggi

dapat

organisasi

dalam

proses

penyusunan ARG. Komitmen organisasi yang tinggi
mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang
tinggi pula apabila tingkat ketidakpastian lingkungan
rendah. Sebaliknya komitmen organisasi yang rendah
tidak

dapat

penyusunan

mendukung
ARG

yang

pencapaian
tinggi

apabila

kinerja
tingkat

ketidakpastian lingkungan tinggi.

29