T2 942015016 BAB II
13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian Bab II kajian pustaka ini akan dibahas tentang kajian teori yang mencakup : kompetensi guru SD, Kemampuan Guru SD dalam Menyusun Instrumen Penilaian Ranah Sikap, Pengembangan Kemampuan Guru melalui Pelatihan, Tindakan Sekolah dalam bentuk Pelatihan Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Guru, Pengembangan Kemampuan Guru melalui Model In House Training (IHT). Selanjutnya dipaparkan tentang Kajian Penelitian yang Relevan, Kerangka Pikir, dan Hipotesis Tindakan. 2.1. Kajian Teori
2.1.1. Kompetensi Guru SD
Sebagai pengantar, sebelum penulis memaparkan pengertian kompetensi guru, dikemukakan terlebih dahulu pengertian kompetensi secara umum. Marwansyah (2010: 36) mengemukakan kompetensi adalah perpaduan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan karakteristik pribadi lainnya yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah pekerjaan, yang bisa diukur dengan standar yang
(2)
14 telah disepakati, dan dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Robbins (2001: 276) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan. Dari pengertian yang dikemukakan Marwansyah dan Robinson, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam berbagai pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan itu antara lain sebagai guru, dokter, polisi, perawat, tentara dan lain-lain.
Berkaitan dengan kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan guru, Mulyasa (2003: 20) mengemukakan bahwa kompetensi guru: “…is a knowledge, skills, and abilities or
(3)
15
capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective,
and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi guru diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh guru yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu Mulyasa (2003: 21) mengartikan kompetensi guru sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Muhaimin (2004: 59) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika.
Depdiknas (2005: 34) merumuskan definisi kompetensi guru sebagai pengetahuan,
(4)
16 ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh seorang guru, yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Syah (2000: 35), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Robotham (1996: 25), meyakini bahwa kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawai dalam melaksanakan profesinya. Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.
Menurut Undang-Undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 ayat (1)
(5)
17 kompetensi guru meliputi: a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c) kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional. Depdiknas (2004) menyebut kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Sedangkan kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara
luas dan mendalam” (Undang-Undang No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).
Secara legal, Standar Kompetensi Pedagogik Guru SD/MI berdasarkan Permen No. 16 Tahun 2007 meliputi: 1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, 2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, 3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, 4)
(6)
18 menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, 5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, 6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, 8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, 9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan 10) melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003: 138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkan beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugas dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Asian Institut for Teacher Education
(7)
19 mencakup kemampuan dalam hal 1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, 2) mengerti dan menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, 3) mampu menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, 4) mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, 5) mampu menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, 6) mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, 7) mampu melaksanakan evaluasi belajar dan 8) mampu menumbuhkan motivasi peserta didik.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru, sebagai penjabaran dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa standar kompetensi profesional guru meliputi: 1) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, 2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, 3) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, 4) mengembangkan
(8)
20 keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif dan 5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Khusus tentang kompetensi profesional mampu menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, guru SD/MI sebagai guru kelas harus menguasai lima bidang ke-SD-an.
2.1.2. Kemampuan Guru SD dalam Menyusun Instrumen Penilaian Ranah Sikap
Kemampuan guru SD dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap adalah kemampuan dalam hal: a) memahami hakekat penilaian, b) memahami hakekat penilaian sikap, c) memilih instrumen penilaian ranah sikap, d) memahami langkah-langkah penyusunan penilaian ranah sikap model skala Likert.
Kemampuan guru tersebut selanjutnya dipraktekkkan dalam penyusunan instrumen penilaian ranah skala sikap pada topik-topik tertentu dalam pembelajaran yang menekankan pada penilaian ranah afektif.
a. Hakikat Penilaian
Istilah penilaian merupakan suatu ke-giatan guru selama rentang pembelajaran yang
(9)
21 berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi peserta didik yang memiliki karakteristik individual yang unik (Depdiknas. 2006). Dalam rangka pengambilan keputusan tersebut, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing.
Dari rumusan tentang pengertian asesmen proses dan hasil belajar tersebut di atas, nampak jelas bahwa ada empat komponen penting dalam asesmen proses dan hasil belajar, yaitu:
Pertama, pelacakan terhadap kompetensi siswa mencakup proses dan hasil belajar. Asesmen proses dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung pada setiap pertemuan dan beberapa pertemuan berikutnya (dilakukan pada awal, pertengahan atau akhir
(10)
22 pertemuan). Hasil asesmen proses memberikan gambaran tentang kompetensi siswa (sementara) pada pertemuan tersebut. Hasil pemantauan kompetensi sementara ini menjadi bahan acuan bagi guru dalam menentukan langkah pembelajaran berikutnya. Apakah RPP yang telah direncanakan dapat dilanjutkan atau dilakukan penyesuaian, perbaikan atau bahkan menyusun RPP baru. Idealnya siklus asesmen proses ini dilakukan terus menerus pada setiap pertemuan dengan mengacu indikator yang telah ditetapkan. Pada akhirnya setelah terlaksana beberapa siklus asesmen pembelajaran diperoleh gambaran pencapaian kompetensi siswa pada satu kompetensi dasar yang mencakup semua indikator. Sedangkan asesmen hasil belajar dilakukan minimal setelah satu kompetensi dasar dipelajari. Bila cakupan kompetensinya cukup luas, asesmen hasil belajar dapat dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak perlu semua indikator diasesmen. Cukup indikator-indikator esensial yang menjadi parameter pencapaian kompetensi dasarnya. Oleh karena basis asesmen proses dan hasil belajar adalah sejauh mana sebuah kompetensi telah dicapai oleh siswa, maka Mulyasa (2002:103)
(11)
23 menyamakan terminologi asesmen proses dan hasil belajar ini sebagai Penilaian Berbasis Kompetensi/PBK (Competency Based Assesment).
Kedua, kompetensi siswa sebagai tujuan pembelajaran hakikatnya adalah kesatuan utuh (holistik) pengetahuan, ketrampilan serta nilai-nilai dan sikap yang dapat ditampilkan siswa dalam berpikir dan bertindak (bandingkan dengan Mulyasa, 2002: 37). Oleh karena itu asesmen harus mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Ketiga, asesmen dilakukan selama rentang pembelajaran; maknanya bahwa asesmen merupakan satu kesatuan integral dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, bukan bagian yang terpisah dari pembelajaran.
Keempat, pengambilan keputusan dalam asesmen didasarkan pada karakteristik siswa secara individual. Maknanya bahwa keputusan tentang tingkat pencapaian kompetensi siswa harus memperhatikan konstruk pengetahuan yang dibangun oleh masing-masing siswa secara individual, seturut dengan paradigma konstruktivisme. Oleh karena itu guru harus menggunakan berbagai data/informasi yang diperoleh dari berbagai teknik dan instrumen
(12)
24 asesmen sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa, baik teknik tes maupun non tes.
b. Hakikat Penilaian Ranah Sikap
Salah satu ranah dalam penilaian di sekolah adalah penilaian tentang sikap. Bahkan dalam Kurikulum 2013, ranah sikap semakin ditonjolkan dengan adanya kompetensi inti (KI) 1 dan 2 tentang sikap spiritual dan sikap sosial. Tuntutan adanya penilaian sikap tersebut memaksa guru untuk memahami bagaimana sikap dan penilaian sikap itu. Azwar (2011: 4) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Azwar (2011: 4) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Naniek Sulistyawardani, dkk (2012: 135) menyebutkan bahwa instrumen yang sering digunakan untuk mengukur sikap biasanya juga
(13)
25 disebut skala sikap. Dan juga menjelaskan bahwa skala sikap merupakan gambaran tentang kecenderungan perilaku atau reaksi seseorang terhadap objek atau stimulus yang datang padanya. Sikap dapat diartikan juga sebagai bentuk perasaan mendukung (favourable) dan perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada suatu objek. Naniek Sulistyawardani, dkk (2012: 137) menjelaskan tentang macam-macam skala sikap, yaitu skala numerik, skala deskriptif dan skala grafis. Skala numerik, menggunakan angka-angka untuk menunjukan gradasi-gradasi disertai penjelasan singkat pada masing-masing angka. Skala deskriptif menggunakan serangkaian frasa untuk menunjukan ciri-ciri yang dinilai. Frasa disusun dari atas ke bawah, sedangkan responden diminta membubuhkan tanda centang pada frasa yang terdekat dengan ciri-ciri yang dimaksud. Sedangkan skala grafis, menggunakan suatu garis berkesinambungan. Gradasi-gradasi ditunjukkan pada garis itu dengan menyajikan deskripsi singkat di bawah garis. Pada skala grafis, penilai cukup membubuhkan tanda cek pada titik yang tepat di atas garis horizontal yang menghubungkan dua
(14)
26 ujung ekstrim tingkah laku yang sedang dipermasalahkan.
Azwar (2011: 23) menjelaskan bahwa struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognisi berisi tentang kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Komponen afeksi merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Komponen konatif menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Maksudnya,
(15)
27 bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras, dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Karena itu, logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek.
c. Instrumen Penilaian Ranah Sikap Model Skala Likert
Skala likert pertama kali dikembangkan oleh Rensis Linkert pada tahun 1932 dalam mengukur sikap masyarakat. Skala ini menggunakan ukuran ordinal sehingga dapat membuat ranking walaupun tidak diketahui berapa kali responden yang satu lebih baik atau lebih buruk dari responden lainnya. Jawaban setiap item insttrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain: Sangat Penting (SP), Penting (P), Tidak Penting (TP), Sangat Tidak Penting (STP) atau (1) Sangat Setuju, (2) Setuju, (3) Tidak
(16)
28 Setuju, (4) Sangat Tidak Setuju. Urutan setuju atau tidak setuju dapat dibalik mulai dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju.
d. Langkah-langkah Penyusunan Instrumen Penilaian Sikap Model Skala Likert
Naniek Sulistyawardani, dkk (2012: 208) menyebutkan langkah-langkah dalam menyusun skala Likert:
1) Memilih obyek sikap yang akan diukur.
2) Membuat beberapa pernyataan tentang variabel sikap yang dimaksud.
3) Mengklarifikasikan pernyataan positif atau negatife.
4) Menentukan jumlah gradual dan frase atau angka yang dapat menjadi alternatif pilihan. 5) Menyusun pernyataan dan pilihan jawaban
menjadi sebuah penilaian. 6) Melakukan uji coba.
7) Membuang butir-butir pernyataan yang kurang baik.
8) Melaksanakan penilaian.
Objek sikap merupakan orang, benda, peristiwa, lembaga, idea, norma, nilai, budaya dan lainnya. Azwar (2011: 108) menyatakan bahwa perancangan skala sikap terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu penentuan obyek
(17)
29 sikap yang akan diukur dan definisi obyek sikap tersebut. Penentuan dan penyusunan definisi obyek sikap merupakan langkah penting karena kita mengetahui persis akan tujuan pengukuran yang dilakukan dan mempunyai gambaran yang jelas mengenai objek sikap. Suatu skala hendaknya mencakup aspek objek sikap yang luas dan relevan. Cakupan ini menyertakan semua aspek yang penting bagi objek sikap dan meninggalkan aspek-aspek yang tidak begitu berarti. Untuk mengintegrasikan batasan komponen perilaku dan komponen objek sikap, biasanya digunakan semacam tabel spesifikasi atau blue-print.
Azwar (2011: 114) juga menjelaskan beberapa kriteria untuk menulis pernyataan. Kriteria tersebut sebagai berikut: 1) Hindari menulis pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang berkaitan dengan masa lalu; 2) Hindari menulis pernyataan yang berupa fakta atau ditafsirkan sebagai fakta; 3) Hindari menulis pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran; 4) Hindari menulis pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya; 5) Hindari menulis pernyataan yang sangat besar kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir tidak seorangpun yang
(18)
30 akan menyetujuinya; 6) Pilihlah pernyataan-pernyataan yang diperkirakan akan mencangkup keseluruhan liputan skala afektif yang diinginkan; 7) Usahakan agar setiap pernyataan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas dan langsung. Jangan menuliskan pernyataan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang rumit; 8) Setiap pernyataan hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari kata-kata yang tidak diperlukan dan yang tidak akan memperjelas isi pernyataan; 9) Setiap pernyataan harus berisi hanya satu ide (gagasan) yang lengkap; 10) Pernyataan berisi unsur universal seperti “tidak pernah:, “semuanya”, “tak seorang pun”, dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya sedapat mungkin hendaklah menghindari; 11) Kata-kata seperti “hanya”, “sekedar”, “semata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pernyataan; 12) Hindari menggunakan kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden; dan 13) Hindari pernyataan yang berisi kata negatif ganda.
Sebelum menuliskan pernyataan sikap, umumnya disusun terlebih dahulu tabel kisi-kisi skala sikap. Suatu tabel kisi-kisi umumnya berupa
(19)
31 tabel dua jalan, yaitu berisikan aspek objek sikap dan komponen sikap seperti tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Kisi-kisi Skala Sikap Model Likert
Aspek objek sikap
Komponen sikap Total (%) Afeksi Kognisi Konasi
Komponen 1 Komponen 2 Komponen 3 Komponen 4
Dst
Total (%) 100%
Angka-angka dalam setiap kotak atau sel menunjukan banyaknya pernyataan sikap yang perlu dibuat agar skala itu nanti setelah selesai ditulis akan mencakup keseluruhan aspek-aspek objek sikap secara proporsional sesuai dengan bobot relevansi setiap aspek dalam komponen objek sikap yang telah ditentukan. Bobot relevansi ini dapat ditentukan berdasarkan judgment perancangan sendiri atau hasil diskusi dengan pihak ahli atau mungkin dari temuan penelitian yang pernah ada. Apabila tidak ada dasar yang jelas untuk
(20)
32 membedakan bobot relevansi tersebut kita dapat menyamakan saja semua bobot untuk semua aspek. Sedangkan langkah untuk menyusun pernyataan skala sikap adalah sebagai berikut :
a. Memberikan batasan dan tujuan yang berkaitan dengan obyek sikap.
b. Menyusun kisi-kisi komponen/ indikator variabel objek sikap.
c. Merumuskan pernyataan sikap sesuai dengan kisi-kisi yang telah disusun.
d. Menandai pernyataan favorable dan unfavorable,
upayakan jumlah seimbang (Mawardi, 2013: 28). Langkah berikutnya adalah menentukan skor setiap pernyataan skala sikap. Menurut Azwar (2011: 138), penentuan skor setiap pernyataan skala sikap dilakukan dengan metode rating yang dijumlahkan. Metode rating yang dijumlahkan sering dinamakan penskalaan model Likert. Metode ini merupakan penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentu nilai skalanya. Dalam pendekatan ini tidak perlu adanya kelompok panel penilai, dikarenakan nilai skala setiap pernyataan tidak akan ditentukan oleh derajat favorabelnya masing-masing akan tetapi ditentukan oleh distribusi respon setuju atau tidak setuju dari sekelompok uji coba.
(21)
33 Untuk melakukan penskalaan dengan metode ini, sejumlah pernyataan sikap telah ditulis berdasarkan kaidah penulisan pernyataan dan didasarkan pada rancangan skala yang telah ditetapkan. Responden diminta untuk menyatakan kesetujuan atau ketidak setujuannya terhadap isi pernyataan dalam lima macam kategori jawaban, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Entahlah (E), Setuju (S) dan Sangat Setuju (SS) (Azwar (2011: 140).
Ada dua cara untuk menentukan skala menurut Azwar (2011: 141), yaitu dengan cara menentukan skala deviasi normal dan menentukan nilai skala dengan cara sederhana.
1) Menentukan Skala dengan Deviasi Normal
Azwar (2011: 141) menjelaskan tentang cara menentukan skala dengan deviasi normal. Tujuan penentuan nilai skala dengan deviasi normal adalah untuk memberi bobot tertinggi bagi kategori jawaban yang paling favorabel dan memberikan bobot rendah bagi kategori jawaban yang tidak favorabel. Jawaban favorabel adalah respon setuju terhadap pernyataan yang favorabel dan respon tidak setuju terhadap pernyataan yang tak-favorabel. Jawaban tidak
(22)
34 favorabel adalah respon tidak setuju terhadap pernyataan yang tak-favorabel.
Dari jawaban responden terhadap setiap pernyataan akan diperoleh distribusi frekuensi responden bagi setiap kategori, yang kemudian secara komulatif akan dilihat deviasinya menurut deviasi normal. Dari sinilah nilai skala dapat ditentukan. Nilai skala ini kemudian akan menjadi skor terhadap jawaban individual responden yang diukur sikapnya.
2)Menentukan Nilai Skala dengan Cara Sederhana Selain menentukan nilai skala dengan deviasi normal, menentukan nilai skala dapat juga dilakukan dengan cara sederhana. Penentuan nilai skala dengan memberikan bobot dalam satuan deviasi normal bagi setiap kategori jawaban merupakan cara yang cermat dan akan menghasilkan interval yang tepat dalam meletakkan masing-masing kategori pada suatu kontinum psikologis. Adanya fasilitas komputer sangat memudahkan prosedur analisisnya. Walaupun cara itu memerlukan waktu dan tenaga yang banyak, setiap penyusunan skala sikap hendaklah berusaha melakukannya.
Apabila skala sikap yang disusun tidak untuk digunakan sebagai instrumen pengukuran
(23)
35 yang menyangkut pengambilan keputusan yang penting sekali, seperti pada penelitian pendahuluan atau studi kelompok secara kecil-kecilan, kadang-kadang demi kepraktisan penyusunan skala sikap dapat menempuh cara sederhana untuk menentukan nilai skala pernyataan-pernyataan sikap yang ditulisnya.
Dengan cara sederhana, untuk suatu pernyataan yang bersifat favorabel jawaban STS diberi 0, jawaban TS diberi nilai 1, jawaban E diberi nilai 2, jawaban S diberi nilai 3, dan jawaban SS diberi nilai 4. Dan untuk pernyataan yang tak-favorabel, respons STS diberi nilai 4, TS diberi nilai 3, E diberi nilai 2, S diberi nilai 1 dan respon SS diberi nilai 0. Cara penentuan nilai ini diberlakukan bagi semua pernyataan sikap yang ada.
1.1.3.Pengembangan Kemampuan Guru melalui Pelatihan
a. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Pelatihan Menurut Wexley dan Latham (2002: 153) menyatakan bahwa: “… training is a planned effort by an organization to facilitate the learning of job-related behavior on the part of its employees. The term of behavior is used in the broad sense to include any knowledge and
(24)
36 skill acquired by an employee through practice” (bahwa pelatihan adalah upaya terencana oleh sebuah organisasi untuk memfasilitasi karyawan dalam mempelajari perilaku yang terkait dengan pekerjaan. Istilah perilaku merujuk pada setiap pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh karyawan melalui praktik atau pengalaman langsung). Mencermati pengertian pelatihan oleh Wexley dan Latham terlihat bawa komponen-komponen pengertian tersebut mencakup: upaya terencana (berarti kegiatan tersebut dilakukan secara sistematis melibatkan sumber-sumber yang tersedia); dilakukan oleh suatu organisasi (berarti bahwa pelatihan tersebut berkaitan dengan suatu lembaga yang akan meningkatkan kinerja karyawan), bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan (berarti ada kesadaran bahwa karyawan memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan).
Sementara Ngalim Purwanto (2012: 96) menyatakan bahwa pelatihan adalah segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas pendidikan (pengawas, kepala sekolah, penilik sekolah, guru) yang bertujuan
(25)
37 untuk menambah dan mempertinggi mutu pengetahuan, kecakapan dan pengalaman guru-guru dalam menjalankan tugas kewajibannya. Batasan pengertian Ngalim Purwanto ini berisi komponen: kegiatan yang dilakukan karyawan (berarti aktivitas peningkatan kemampuan yang dilakukan oleh praktisi pendidikan) dan bertujuan untuk menambah dan mempertinggi mutu pengetahuan, kecakapan dan pengalaman guru-guru (sama seperti pandangan Wexley dan Latham, bahwa ada kesadaran bahwa para pelaku pendidikan tersebut perlu ditingkatkan).
Menurut Dearden seperti dikutip oleh Suparno (2014: 82) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkat kompetensi tertentu atau efisiensi kerja. Batasan pengertian Dearden mencakup komponen: suatu proses pembelajaran (menyangkut belajar dan mengajar dalam suatu pelatihan), bertujuan meningkatkan kemampuan tertentu atau efisiensi kerja (sama seperti pandangan Wexley dan Latham dan Ngalim Purwanto bahwa ada
(26)
38 kesadaran bahwa para pelaku pendidikan tersebut perlu ditingkatkan).
Dari ketiga pengertian tentang pelatihan dapat disimpulkan bahwa hakikat pelatihan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis oleh suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja agar lebih efektif dan efisien.
Berkaitan dengan tujuan pelatihan, Suparno (2014: 84) menjelaskan bahwa tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, mendukung perencanaan SDM, meningkatkan moral anggota, memberikan kompensasi yang tidak langsung, meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja, mencegah kadaluwarsa kemampuan dan pengetahuan personil, meningkatkan perkembangan kemampuan dan keahlian personil.
Fungsi pelatihan menurut Kydd (2004) seperti dikutip Jejen Musfah (2011: 61) menyatakan bahwa pelatihan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi peningkatan kinerja dalam pekerjaan orang yang bersangkutan pada saat
(27)
39 sekarang dan menyiapkan orang bagi peluang, tanggung jawab dan tugas di masa depan. b. Jenis-jenis Pelatihan
Menurut Sedarmayanti (2014: 167), ditinjau dari masa pelaksanaannya, pelatihan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Pre-service training (pelatihan pra-tugas) adalah pelatihan yang diberikan kepada calon karyawan yang akan mulai bekerja, atau karyawan baru yang bersifat pembekalan, agar mereka dapat melaksanakan tugas yang nantinya dibebankan kepada mereka.
2) In Service Training (pelatihan dalam tugas) adalah pelatihan dalam tugas yang dilakukan untuk karyawan yang sedang bertugas dalam organisasi dengan tujuan meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan. Termasuk di dalamnya sekolah melakukan pelatihan di tempat sendiri (In House Training).
3) Post Service Training (pelatihan
purna/pasca tugas) adalah pelatihan yang dilaksanakan organisasi untuk membantu
(28)
40 dan mempersiapkan karyawan dalam menghadapi pensiun.
Sedangkan Najib, (2015: 226) menyebutkan bahwa ada 8 jenis kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru yaitu; 1) In House Training (IHT), 2) Program magang, 3) Kemitraan Sekolah, 4) Belajar jarak jauh, 5) Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus, 6) Kursus singkatdi LPTK, 7) Pembinaan internal sekolah, 8) Pendidikan lanjut.
Berdasarkan pendapat dari Sedarmayanti dan Najib In House Training
merupakan pelatihan yang dilakukan dalam masa jabatan. Selanjutnya dari dua pandangan tentang hakikat dan jenis-jenis kegiatan pelatihan yang sudah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan bahwa In House Training (IHT) merupakan training yang sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan guru. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang In House Training, selanjutnya akan dibahas pengertian IHT, tujuan dan upaya peningkatan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap melalui In House Training.
(29)
41 c. In House Training
Menurut Sujoko (2012: 40) In House Training merupakan program pelatihan yang diselenggarakan di tempat sendiri, sebagai upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dalam menjalankan pekerjaannya dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada. Sedangkan menurut Danim (2011: 94) In House Training (IHT) merupakan program pelatihan yang dilaksanakan secara internal oleh kelompok kerja guru, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan sebagai penyelenggaraan pelatihan yang dilakukan berdasarkan pada pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karier guru tidak harus dilakukan secara eksternal, namun dapat dilakukan secara internal oleh guru. Ketentuan peserta dalam IHT minimal 4 orang dan maksimal 15 orang. Berdasarkan pengertian dari Sujoko dan Danim, nampak bahwa esensi dari IHT adalah kegiatan untuk meningkatkan kemampuan guru dengan menggunakan segala sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Dengan demikian yang dimaksud IHT dalam penelitian ini adalah pelatihan guru yang dilaksanakan
(30)
42 berdasarkan permintaan pihak sekolah, pesertanya berasal dari satu sekolah, dengan materi pelatihan yang disesuaikan oleh pihak sekolah khususnya dalam penggunaan alat peraga, dan dilaksanakan di sekolah tempat guru tersebut bekerja.
Tujuan IHT menurut Lulu Kamaludin (2011: 2) dan Meldona (2009: 234) yaitu: a) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM); b) memperbaiki kinerja, c) menciptakan interaksi antara peserta; d) mempererat rasa kekeluargaan dan kebersamaan; serta e) meningkatkan motivasi dan budaya belajar yang berkesinambungan. Dari sisi keuntungan Lulu Kamaludin (2011: 2) menyebutkan: a) Hasilnya lebih maksimal, b) Materinya lebih spesifik, c) Biaya lebih murah.
Sedangkan berkaitan dengan langkah-langkah IHT, Marwansyah (2012: 170), menjelaskan bahwa IHT dilakukan melalui tiga fase, yaitu fase perencanaan, fase proses penyelenggaraan dan fase evaluasi.
(1) Fase Perencanaan
Perencanaan mempunyai fungsi untuk menentukan tujuan atau kerangka tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
(31)
43 tertentu (Syukur, 2011: 9). Hal-hal yang perlu dilakukan pada fase ini adalah: menentukan sasaran pelatihan; menentukan tujuan pelatihan; menentukan pokok bahasan/ materi pelatihan; menentukan pendekatan dan metodologi pelatihan; menentukan peserta pelatihan dan fasilitator (trainer); menentukan waktu dan tempat pelatihan; menentukan semua bahan yang diperlukan dalam pelatihan; menentukan model evaluasi pelatihan; menentukan sumber dana pembiayaan yang dibutuhkan.
(2) Fase Proses Penyelenggaraan
Proses penyelenggaraan pelatihan pada dasarnya merupakan implementasi dari perencanaan. Fase ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan pelatihan. Pada tahap persiapan, proses pelatihan diantaranya meliputi: mempersiapkan kelengkapan bahan pelatihan (undangan pemberitahuan, materi, jadwal, media, daftar hadir, instrumen evaluasi) dan kesiapan sarana prasarana (tempat, fasilitas, konsumsi, peserta maupun
(32)
44 (3) Fase Evaluasi Pelatihan
Fase evaluasi adalah fase penilaian terhadap kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan. Fase ini bukan untuk menilai prestasi hasil belajar peserta pelatihan melainkan penilaian yang dilakukan selama pelaksanaan kegiatan dan sesudah kegiatan pelatihan (Nawawi, 2008:228). Fase evaluasi tersebut merupakan fase terakhir dari seluruh pelaksanaan pelatihan, pada fase ini dimaksudkan untuk menilai kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan dan dilakukan selama dan sesudah pelatihan.
Hasil dari evaluasi tersebut kemudian akan menjadi umpan balik, untuk melakukan prediksi atau perkiraan kebutuhan pelatihan selanjutnya. Melalui beberapa tahapan di atas, maka diharapkan pelaksanaan IHT dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
2.1.4 Tindakan Sekolah dalam bentuk Pelatihan Sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan Guru Permasalahan tentang kesenjangan
kemampuan guru dalam melaksanakan penilaian dapat dipecahkan melalui kegiatan pelatihan. Jika
(33)
45 suatu rancangan pelatihan ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi kepala sekolah, maka dapat dipadukan dengan kegiatan supervisi melalui kegiatan penelitian Tindakan Sekolah sebagai salah satu ragam Penelitian Tindakan.
Menurut Sugiyono (2013: 697) Penelitian Tindakan adalah merupakan cara ilmiah yang sistematis dan bersifat siklus digunakan untuk mengkaji situasi sosial, memahami permasalahannya, dan selanjutnya menemukan pengetahuan yang berupa tindakan untuk memperbaiki situasi sosial tersebut. Sedangkan menurut Mills, 2011 seperti dikutip oleh Craig A. Mertler (2011: 5) Penelitian tindakan didefinisikan sebagai penelitian sistematis apa saja yang dilaksanakan oleh para guru, penyelenggara pendidikan, guru konseling/ penasehat pendidikan, atau yang lainnya yang menaruh minat dan berkepentingan dalam proses atau lingkungan belajar mengajar (PBM) dengan tujuan mengumpulkan informasi seputar cara kerja sekolah, cara mengajar guru dan cara belajar siswa mereka. Dari dua definisi ini terlihat bahwa komponen penting dari pengertian penelitian tindakan adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan
(34)
46 untuk memperbaiki kondisi sosial yang kurang baik.
Selanjutnya jika pengertian tersebut dikaitkan dengan organisasi sekolah, maka penelitian tindakan tersebut menjadi penelitian tindakan sekolah. Menurut Suyadi (2012: 13) Penelitian Tindakan Sekolah merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja sistem pendidikan, dan mengembangkan manajemen sekolah agar menjadi produktif, efektif dan efisien.
a.Model-Model Penelitian Tindakan
Menurut Muhammad Yaumi & Muljono Damopolli (2014: 19) ada beberapa model penelitian tindakan yaitu: 1) model Kurt Lewin; 2) model Kemmis dan Mc Taggart; 3) model John Elliott; 4) model Schmuck; 5) model Stringer.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan model penelitian tindakan model Stringer. Model Stringer memiliki kerangka dasar yang kuat, yang ditandai dengan tiga kata, Look (melihat atau memandang), Think
(berpikir), dan Act (bertindak) yang memberi dasar pada setiap orang untuk melakukan penyelidikan secara langsung dengan melakukan secara detail hal-hal sebagai
(35)
47 berikut: 1) Melihat, yaitu mengumpulkan informasi yang relevan (pengumpulan data), menggambarkan situasi (mendefinisikan dan mendeskripsikan); Memikirkan: Mengeksplorasi dan menganalisis: apa yang sedang terjadi (menganalisis), menginterpretasi dan menjelaskan atau berteori; dan bertindak, yaitu merencanakan (melaporkan), mengimplemen-tasikan dan mengevaluasi.
b.Tujuan Penelitian Tindakan
Tujuan utama Penelitian Tindakan Sekolah menurut Daryanto (2014: 228) adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam sekolah-sekolah yang berada dalam binaan pengawas sekolah. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Secara lebih rinci, tujuan Penelitian Tindakan Sekolah antara lain: 1) meningkatkan mutu isi, masukan, proses dan hasil pendidikan, manajemen dan pembelajaran, termasuk mutu guru, kepala sekolah, khususnya yang berkaitan dengan tugas profesional kepengawasan, di sekolah-sekolah yang menjadi
(36)
48 binaannya; 2) meningkatkan kemampuan dan sikap profesional sebagai pengawas sekolah; 3) menumbuh kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan.
2.1.5 Pengembangan Kemampuan Guru melalui In House Training (IHT)
Dalam rangka mengembangkan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap melalui IHT terdapat beberapa fase yang harus dilakukan meliputi fase perencanaan, fase penyelenggaraan, fase evaluasi pelatihan.
Pada fase perencanaan dilakukan kegiatan menyusun proposal kegiatan IHT yang berisi: a) judul kegiatan, b) tujuan kegiatan, c) materi IHT, d) waktu dan tempat IHT, e) trainer, f) biaya, g) jadwal kegiatan, serta organisasi kepanitiaan. Khusus tentang materi IHT, mencakup: a) analisis KD, b) Pengantar umum tentang penilaian, c) hakikat penilaian ranah afektif, d) instrumen penilaian sikap bentuk skala Likert, e) langkah-langkah penyusunan skala Likert menyusun obyek sikap, f) Uji coba skala Likert,
(37)
49 g) menentukan skor, h) menghitung tingkat reabilitas dan validitas instrumen sikap. Komponen-komponen perencanaan materi IHT
ini dituangkan dalam silabus IHT dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pelatihan).
Pada fase penyelenggaraan dilakukan kegiatan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Manajer pelatihan (dalam hal ini peneliti) memastikan bahwa trainer dan peserta pelatihan telah siap mengikuti IHT. Sebelum dilakukan sesi pelatihan terlebih dahulu diberikan pretest. Pada proses pelatihan dilakukan juga observasi (menggunakan panduan observasi) untuk memantau aktivitas
trainer dan peserta pelatihan.
Pada fase evaluasi dilakukan kegiatan posttest untuk mengetahui sejauhmana materi pelatihan dikuasai oleh peserta pelatihan, atau sejauhmana kemampuan guru dalam menyusun instrumen skala sikap dapat ditingkatkan. Kegiatan evaluasi ini ditutup dengan memberikan evaluasi program IHT secara keseluruhan mencakup kemanfaatan materi pelatihan, kompetensi trainer, kepuasan peserta terhadap akomodasi pelatihan dan lain-lain.
(38)
50 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan
1) Ester Alake-Tuenter (2006) melakukan penelitian tentang kompetensi guru sekolah dasar di Belanda. Tujuan pertama penelitian ini adalah untuk melihat profil kompetensi profesional, yang diperlukan untuk mengajar di sekolah dasar di Belanda. Hasilnya adalah bahwa profil kompetensi guru sekolah dasar di Belanda menunjukkan kesenjangan bila dibandingkan dengan American National Science Education Standards (NSES). Kesenjangan terdapat dalam standar yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik guru. Ditemukan juga bahwa lemahnya penguasaan kompetensi tertentu berhubungan dengan lemahnya penguasaan kompetensi yang lain. Evaluasi akhir terhadap model instrumen evaluasi guru menunjukkan bahwa kompetensi guru sekolah dasar di Belanda mencapai 80 %.
Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan yang dilakukan penulis tentang kemampuan guru sekolah dasar. Meskipun penelitian penulis hanya sebatas pada kemampuan spesifik penyusunan instrumen penilaian ranah afektif.
(39)
51 2) Camelia dan Umi Chotimah (2012) melakukan penelitian tentang : Kemampuan Guru dalam Membuat Instrumen Penilaian Domain Afektif pada Mata pelajaran PKn di SMP Negeri se-Kabupaten Ogan Ilir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam membuat instrumen penilaian domein afektif pada mata pelajaran PKn di SMP Negeri se-Kabupaten Ogan Ilir cukup baik, maka penilaian domein afektif pada mata pelajaran PKn di sekolah untuk mengukur sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral siswa harus terus dilakukan oleh guru.
Temuan penelitian ini mendukung penelitian yang akan dilakukan oleh penulis tentang IHT untuk meningkatkan kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap. Namun yang membedakan adalah bahwa penelitian yang akan dilaksanakan nantinya merupakan Penelitian Tindakan Kelas.
3) Wahyudi (2010) melakukan penelitian tentang standar kompetensi profesional guru, menemukan bahwa keberhasilan guru dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran tidak terlepas dari kompetensi dimilikinya.
(40)
52 Betapapun tinggi semangat dan motivasi yang dipunyai oleh guru, kinerja guru tidak dapat maksimal jika tidak diimbangi dengan penguasaan kompetensi profesional yang dipersyaratkan, kompetensi profesional mencakup sub kompetensi sebagai berikut: Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi, menguasai konsep konsep keilmuan dalam kehidupan sehari hari dan menguasai langkah langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan atau materi bidang studi. Hasil penelitian Wahyudi membuktikan bahwa keberhasilan guru dalam mengajar tidak terlepas dengan kompetensi yang dimiliki.
Temuan penelitian ini menjadi dasar penelitian tindakan yang dilakukan penulis khususnya tentang kompetensi profesional yang dimiliki oleh guru.
4) Darmansyah (2014) menulis tentang Tehnik penilaian sikap spiritual dan sosial dalam pendidikan karakter menemukan bahwa pemahaman guru tentang konsep dan implementasi penilaian spiritual dan sikap sosial masih rendah. Rendahnya kompetensi guru dalam mengevaluasi sikap spiritual dan
(41)
53 sosial telah berdampak negatif terhadap prsetasi belajar siswa pada kompetensi inti karena hal tersebut merupakan fokus utama dalam kurikulum berbasis karakter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 model evaluasi yang dapat diterapkan guru dalam mengevaluasi sikap spiritual dan social siswa seperti: (1) Evaluasi mandiri; (2) Observasi guru; (3) Peer assessment; dan (4) Jurnal harian.
Temuan penelitian Darmansyah menemukan bahwa pemahaman guru tentang konsep dan implementasi penilaian spiritual dan sikap sosial masih rendah. Hal ini senada dengan hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan di SD Laboratorium Kristen Satya Wacana menunjukkan pemahaman guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap masih rendah.
5) Fidyawati (2013) melakukan penelitian tentang Efektifitas In House Training Dalam Peningkatan Kompetensi Guru di SMA Laboratorium Percontohan UPI Bandung. menemukan bahwa
In House Training (IHT) mempunyai peranan yang sangat penting bagi guru PKn dalam
(42)
54 meningkatkan kompetensinya melalui pelatihan-pelatihan.
Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan yang dilakukan penulis khususnya tentang Efektifitas In House Training
dalam meningkatkan kemampuan guru.
6) Heldy Eriston (2011) melakukan penelitian tindakan sekolah tentang Meningkatkan Kemampuan Guru dalam Membuat
Powerpoint melalui In House Training di SMK Teknik Industri Purwakarta. Hasilnya menyimpulkan In House Training bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan guru membuat powerpoint untuk media pembelajaran. Tindakan yang telah mencapai hasil 86% melampaui indikator yang telah ditetapkan yaitu 75% menunjukan bahwa IHT
dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan guru membuat powerpoint untuk media pembelajaran.
Temuan Penelitian Tindakan Sekolah yang dilakukan oleh Heldy Eriston tentang meningkatkan kemampuan guru dalam membuat Powerpoint melalui In House Training
sangat mendukung penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang IHT untuk meningkatkan
(43)
55 kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap.
7) Naill Hegarty (2014) menulis tentang keefektifan program pelatihan dalam hal tujuan pembelajaran, sebagai sebuah media untuk meningkatkan karir individu, dan sebagai suatu bentuk dari pendidikan yang diakui. Hasil temuan menunjukkan program pelatihan sangat penting, karena melalui perbaikan program pelatihan tujuan organisasi maupun individu dapat tercapai.
Penelitian ini membuktikan bahwa program pelatihan sangat penting. Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan yang penulis lakukan khususnya tentang keefektifan program pelatihan.
8) Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) meneliti tentang Pengaruh In Service Training terhadap kapasitas kerja dan kinerja guru sain di tingkat menengah. Hasil penelitian menunjukkan In Service Training memiliki dampak capaian yang tinggi dan positif pada kompetensi profesional, serta membuat pelaksanaan kurikulum lebih efektif. Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan
(44)
56 yang dilakukan penulis khususnya tentang Efektifitas In Service Training dalam meningkatkan kemampuan guru.
Penelitian tentang kompetensi guru telah banyak dilakukan seperti telah dikemukakan pada
review setiap jurnal, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ester Alake-Tuenter (2006), Wahyudi (2010), Camelia dan Umi Chotimah (2012) dan Darmansyah (2014). Penelitian tentang pelatihan IHT juga telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fidyawati (2013), Heldy Eriston (2011), Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) dan Nail Hegarty (2014). Namun penelitian-penelitian dengan variabel pelatihan IHT untuk meningkatkan kompetensi guru dalam jurnal yang telah direview
oleh penulis lebih dominan sebagai penelitian korelasional dan eksperimental saja. Kalaupun ada penelitian pelatihan IHT itupun model konseptual yang hakikatnya berbeda dengan model prosedural yang akan digunakan dalam penerapan pelatihan
IHT untuk meningkatkan kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam menyusun instrumen penilaian skala sikap. Demikian juga belum dilakukan penelitian yang secara spesifik IHT untuk meningkatkan
(45)
57 kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian skala sikap.
2.3. Kerangka Pikir
Pengembangan kemampuan guru SD merupakan bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan. Pengembangan kemampuan guru SD diyakini lebih efektif dilakukan bersamaan dengan kegiatan menjalankan profesi keguruannya sehari-hari, melalui model In House Training. Mengacu pendapat Noe (2010: 351) diklat merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu lembaga pendidikan untuk mempermudah pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Tujuan diklat bagi guru SD secara garis besar ada 2 (dua) yaitu untuk menutup “gap” antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja guru dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan. Guru SD merupakan profesi yang cukup berat beban mengajarnya (24 jam/minggu), maka model belajar yang memungkinkan guru mengembangkan kemampuannya adalah model
(46)
58
IHT. Studi pendahuluan dengan teknik analisis kebutuhan pelatihan (AKP) menemukan adanya defisit kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana. dalam hal penyusunan instrumen penilaian kawasan sikap belum memadai. Oleh karena diklat dengan model IHT merupakan sarana yang diyakini mampu meningkatkan kemampuan guru disela-sela menjalankan tugas profesinya, maka langkah-langkah belajar yang dipilih adalah langkah-langkah diklat IHT secara umum. Pelatihan dilengkapi dengan panduan umum pelatihan, panduan untuk fasilitator, panduan untuk guru sebagai peserta pelatihan, paket materi pelatihan lengkap (silabus, lesson plan pelatihan, bahan ajar pelatihan dan instrumen evaluasi dalam bentuk tes dan evaluasi diri). Melalui diklat model IHT, guru mengasah kemampuannya secara aktif dengan mengeksplorasi materi pelatihan secara konsisten, persisten dan mengarah pada tujuan yang ingin dicapai dan kemudian mengelaborasi dengan mengerjakan tugas-tugas mandiri maupun kelompok, akan meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap tersebut. Secara skematik, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dicermati melalui gambar 1.
(47)
59 Kerangka pikir seperti tersebut dalam gambar 1 menggambarkan alur logis pemecahan dalam penelitian tindakan ini.
Defisit kemampuan guru dalam melakukan:
a) Penilaian yang mencakup tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor) sebesar 69 % b) Penilaian non tes
jenis skala sikap untuk mengukur sikap siswa sebesar 69% c) Pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan penilaian sikap sebesar 77%; d) Pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan instrumen penilaian skala sikap model Likert sebesar 85% Pelatihan model in house training Langkah-langkah pelatihan in house traing Perencanaan Proses penyeleng-garaan Evaluasi pelatihan Kemam-puan menyu-sun ins-trumen penilai-an rpenilai-anah sikap mening-kat
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan Guru membuat instrumen penilaian ranah sikap dalam pembela-jaran
(48)
60 2.4. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian tindakan sekolah ini adalah:
1) Langkah-langkah pelatihan model In
house Training (IHT) yang dapat
meningkatkan kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana Salatiga dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 2) Kemampuan guru SD Laboratorium
Kristen Satya Wacana Salatiga dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap dapat ditingkatkan melalui pelatihan model In house Training (IHT).
(1)
55
kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap.
7) Naill Hegarty (2014) menulis tentang keefektifan
program pelatihan dalam hal tujuan
pembelajaran, sebagai sebuah media untuk meningkatkan karir individu, dan sebagai suatu bentuk dari pendidikan yang diakui. Hasil
temuan menunjukkan program pelatihan
sangat penting, karena melalui perbaikan program pelatihan tujuan organisasi maupun individu dapat tercapai.
Penelitian ini membuktikan bahwa program pelatihan sangat penting. Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan yang penulis
lakukan khususnya tentang keefektifan
program pelatihan.
8) Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) meneliti tentang Pengaruh In Service Training terhadap kapasitas kerja dan kinerja guru sain di tingkat menengah. Hasil penelitian menunjukkan In Service Training memiliki dampak capaian yang tinggi dan positif pada
kompetensi profesional, serta membuat
pelaksanaan kurikulum lebih efektif. Temuan penelitian ini mendukung penelitian tindakan
(2)
56
yang dilakukan penulis khususnya tentang
Efektifitas In Service Training dalam
meningkatkan kemampuan guru.
Penelitian tentang kompetensi guru telah banyak dilakukan seperti telah dikemukakan pada
review setiap jurnal, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ester Alake-Tuenter (2006), Wahyudi (2010), Camelia dan Umi Chotimah (2012) dan Darmansyah (2014). Penelitian tentang pelatihan IHT juga telah banyak dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fidyawati (2013), Heldy Eriston (2011), Shakoor, A., Ghumman, M.S., Mahmood, T. (2013) dan Nail Hegarty (2014). Namun penelitian-penelitian dengan
variabel pelatihan IHT untuk meningkatkan
kompetensi guru dalam jurnal yang telah direview
oleh penulis lebih dominan sebagai penelitian korelasional dan eksperimental saja. Kalaupun ada penelitian pelatihan IHT itupun model konseptual yang hakikatnya berbeda dengan model prosedural yang akan digunakan dalam penerapan pelatihan
IHT untuk meningkatkan kemampuan guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dalam
menyusun instrumen penilaian skala sikap. Demikian juga belum dilakukan penelitian yang
(3)
57
kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian skala sikap.
2.3. Kerangka Pikir
Pengembangan kemampuan guru SD
merupakan bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan. Pengembangan kemampuan guru SD diyakini lebih efektif dilakukan bersamaan dengan kegiatan menjalankan profesi keguruannya sehari-hari, melalui model In House Training. Mengacu pendapat Noe (2010: 351) diklat merupakan upaya yang direncanakan oleh suatu
lembaga pendidikan untuk mempermudah
pembelajaran tentang kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Tujuan diklat bagi guru SD secara garis besar ada 2
(dua) yaitu untuk menutup “gap” antara kecakapan
atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan; (2) program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan efektivitas kerja guru dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang telah ditetapkan. Guru SD merupakan profesi yang cukup berat beban mengajarnya (24 jam/minggu), maka model belajar yang memungkinkan guru mengembangkan kemampuannya adalah model
(4)
58 IHT. Studi pendahuluan dengan teknik analisis kebutuhan pelatihan (AKP) menemukan adanya defisit kemampuan guru SD Laboratorium Kristen Satya Wacana. dalam hal penyusunan instrumen penilaian kawasan sikap belum memadai. Oleh karena diklat dengan model IHT merupakan sarana yang diyakini mampu meningkatkan kemampuan guru disela-sela menjalankan tugas profesinya, maka langkah-langkah belajar yang dipilih adalah langkah-langkah diklat IHT secara umum. Pelatihan dilengkapi dengan panduan umum pelatihan, panduan untuk fasilitator, panduan untuk guru sebagai peserta pelatihan, paket materi pelatihan lengkap (silabus, lesson plan pelatihan, bahan ajar pelatihan dan instrumen evaluasi dalam bentuk tes dan evaluasi diri). Melalui diklat model IHT, guru mengasah kemampuannya secara aktif dengan mengeksplorasi materi pelatihan secara konsisten, persisten dan mengarah pada tujuan yang ingin dicapai dan kemudian mengelaborasi dengan
mengerjakan tugas-tugas mandiri maupun
kelompok, akan meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian ranah sikap tersebut. Secara skematik, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dicermati melalui gambar 1.
(5)
59
Kerangka pikir seperti tersebut dalam gambar 1 menggambarkan alur logis pemecahan dalam penelitian tindakan ini.
Defisit kemampuan guru dalam melakukan:
a) Penilaian yang mencakup tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor) sebesar 69 % b) Penilaian non tes
jenis skala sikap untuk mengukur sikap siswa sebesar 69% c) Pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan penilaian sikap sebesar 77%; d) Pemahaman yang
cukup untuk mengembangkan instrumen penilaian skala sikap model Likert sebesar 85% Pelatihan model in house training Langkah-langkah pelatihan in house traing Perencanaan Proses penyeleng-garaan Evaluasi pelatihan Kemam-puan menyu-sun ins-trumen penilai-an rpenilai-anah sikap mening-kat
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan Guru membuat instrumen penilaian ranah sikap dalam pembela-jaran
(6)
60 2.4. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian tindakan sekolah ini adalah:
1) Langkah-langkah pelatihan model In house Training (IHT) yang dapat
meningkatkan kemampuan guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana
Salatiga dalam menyusun instrumen
penilaian ranah sikap adalah
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2) Kemampuan guru SD Laboratorium
Kristen Satya Wacana Salatiga dalam menyusun instrumen penilaian ranah
sikap dapat ditingkatkan melalui