Tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi-labi di desa Punggul kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo.

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI

MINYAK LABI-LABI DI DESA PUNGGUL KECAMATAN GEDANGAN

KABUPATEN SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh: Isyana Dewi NIM: C02213034

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Minyak Labi-labi di Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo” untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktik jual beli minyak labi-labi di Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo?, serta Bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi-labi di Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo?.

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersumber dari data primernya yakni diperoleh dari observasi dan interview dengan menggunnakan teknik analisis deskriptif, yaitu teknik analisis yang memaparkan data yang terkait dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literature dan kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah-masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulang yang bersifat khusus.

Praktik jual beli minyak labi-labi yakni objek yang diperjualbelikan adalah minyak labi-labi. Minyak labi-labi berasal dari gajih hewan labi-labi yang dipanaskan dibawah terik matahari atau dengan dipanaskan di atas wajan, sehingga cairan yang menetes/meleleh itulah yang dinamakan minyak labi-labi. Minyak ini telah dimanfaatkan banyak orang untuk dijadikan pengobatan penyakit. Jenis barang yang diperdagangkan tidak hanya minyak, tetapi juga bagian anggota tubuh hewan labi-labi atau sejenis penyu air tawar yakni cangkangnya. Minyak labi-labi ini digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dengan cara dioleskan, sakit gigi dan keputihan yang dialami wanita dengan cara dikumur-kumur dan diminum.

Praktik jual beli minyak labi-labi dalam tinjauan hukum Islam di Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo, yaitu minyak dari hewan labi-labi, yang berasal dari gajih/lemak labi-labi yang diproses menjadi minyak. Yang tidak ditemukan dalil boleh, juga tidak ditemukan dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah hukum asal. Hukum asal dalam masalah adat dan muamalah adalah halal dan boleh. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya objek dari jual beli minyak labi-labi ini merupakan jual beli yang diperbolehkan, disebabkan objek dari jual beli adalah minyak labi dengan bahan dasarnya hewan labi-labi yang tidak ditemukan dalil larangan maka ini kembali ke kaedah hukum asal yakni diperbolehkan. Saran Penulis adalah hendaknya konsumen dan penjual tahu tentang hukum jual beli barang yang belum jelas halal dan haramnya, sehingga kelak apabila terjadi perselisihan diantara masyarakat tentang hukum jual beli minyak labi-labi maka mereka sudah mempunyai dasar hukum yang kuat.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI ... 21

A. Jual beli dalam Islam ... 21

1. Pengertian Jual Beli ... 21

2. Dasar Hukum Jual Beli ... 22

3. Rukun Jual Beli ... 23

4. Syarat Jual Beli ... 24

5. Macam-macam Jual Beli yang dilarang ... 27

6. Asas –asas Jual Beli ... 29

7. Kaidah-kaidah Fiqih Muamalah... 32


(8)

BABIII PRAKTIK JUAL BELI MINYAK LABI-LABI DI DESA PUNGGUL KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN

SIDOARJO ... 55

A. Geografis dan Demografi Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo ... 55

B. Karakteristik Penjual, Pembeli, dan Objek Jual Beli ... 57

C. Praktik Jual Beli Minyak Labi-Labi Di Desa Punggul Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo ... 71

BAB IV PRAKTIK JUAL BELI MINYAK LABI-LABI DI DESA PUNGGUL KECAMATAN GEDANGAN KABUPATEN SIDOARJO DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM ... 79

A. Minyak Labi-labi... 79

B. Praktik Jual Beli Minyak Labi-labi dalam Tinjauan Hukum Islam ... 85

BAB V PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan bentuk penciptaan yang paling baik. Manusia diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya, yaitu manusia diberikan kelebihan untuk berfikir oleh Allah SWT sehingga manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Berbeda halnya dengan binatang, binatang tidak diciptakan oleh Allah SWT untuk berfikir melainkan ia diciptakan sebagai makhluk yang ditundukkan dalam artian makhluk tersebut hanya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk bertahan hidup di bumi.

Manusia tidak diciptakan begitu saja di bumi tanpa ada sebab dan akibat. Manusia diciptakan oleh Allah SWT semata-mata untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, lalu Allah SWT menurunkan petunjuk-Nya lewat Nabi dan Rasul-Nya yang terakhir sebagai penutup para Nabi dan Rasul yaitu Nabi

Muhammad Saw, berupa Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang harus diikuti

oleh manusia. Sehingga apabila manusia berpegang teguh kepada syariat-Nya, ia tidak akan menjadi seorang yang merugi dan tersesat.

Syariat yang diturunkan oleh Allah SWT mengatur segala aspek kehidupan manusia terkait aqidah, akhlak dan hubungan muamalah antara


(10)

2

manusia satu dengan manusia lainnya. Aqidah merupakan dasar keimanan seorang manusia terhadap Allah SWT yang bersifat mutlak (tauhid), sehingga memiliki konsekuensi yang kuat untuk mengimani Allah SWT lewat asma dan sifat-Nya. Akhlak merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang timbul dari dalam diri. Akhlak seorang muslim hendaknya

memenuhi kriteria akhlak yang baik menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah,

dan mencontoh akhlak seorang manusia yang dirinya terdapat sebuah panutan terbaik yaitu Nabi Muhammad Saw. Sedangkan muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya, dalam persoalan jual beli, utang piutang, kerjasama dagang perserikatan, kerjasama dalam penggarapan

tanah, dan sewa menyewa.1 Di dalam skripsi ini, penulis akan membahas

muamalah lebih banyak khususnya terkait jual beli.

Semakin berkembangnya zaman, permasalahan terkait jual beli semakin meluas mengenai sudut pandang akad, rukun sahnya, dan objek yang diperjualbelikan. Banyak sekali perkara baru yang perlu dikaji kembali agar praktik jual beli yang berlangsung tidak keluar dari koridor syariat agama Islam. Salah satunya yaitu objek yang diperjualbelikan harus memenuhi kriteria barang yang tidak diharamkan dan najis. Di dalam skripsi ini penulis akan memaparkan bagaimana jual beli yang sesuai dengan syariat agar permasalahan tersebut dapat dikembalikan ke

dasar hukum semula dan menjauhkan dari perkara subh{at.

1


(11)

3

Jual beli adalah kegiatan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk menukarkan suatu barang yang bernilai/berharga dengan barang lain atau dalam bentuk uang. Adapun pengertian jual beli yang lainnya yaitu

dalam istilah fiqih disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti,

dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.2 Sedangkan menurut

pendapat ulama Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah jual beli adalah:

.اً ل تو اً لْ ت لا ْلاب لا ْلا ةل ابم

“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan

pemilikan”3

Dasar hukum jual beli antara lain dalam surat Al-Baqarah, 2 : 275 yang berbunyi,











“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”4

Sabda Rasulullah Saw.,

أ

َ َ

َيب

ل ع : لاق ؟ بيْطأ بْس ْلا أ : ل س مَلسو ْيلع ه ىَلص

.ر ْورْبم عْيب لكو ديب لجَرلا

Dari Rifa‟ah bin Rafi‟ r.a.,“Bahwa Nabi Saw. ditanya,„Mata pencaharian

apa yang paling baik?‟ Beliau menjawab,„Pekerjaan seseorang dengan

tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur‟”. (HR. Ahmad)5

2

Ibid., 111. 3

Ibid., 112. 4

Departemen Agama RI, Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata, (Jakarta: Syaamil Qur‟an, 2007), 47.

5

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillah al-Ahkam, Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2015), 411.


(12)

4

Jual beli yang baik tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat agama Islam. Hal-hal yang bertentangan misalnya terkait syarat sahnya jual beli, salah satunya ialah barang yang diperjual belikan haruslah halal. Barang yang diperjual belikan tidak najis seperti babi, khamar, bangkai, dan darah, karena semuanya itu dalam pandangan Islam adalah najis. Hal ini dijumpai dalam sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi:

َ ا

ْ سرو ََ

ةتْي ْلاو ،رْ ْلا عْيب َرح ل

ْي ْن ْلاو

ْأاو ر

ْص

ان

ْي ف .

ل

:

اي

سر

ْ

حش تْيأرأ ، ََ ل

ْ

ا ب ىلْطي ا َ إف ،ةتْي ْلا

فسلا

ا ب ْديو ،

ْ لجْلا

،

اَنلا ا ب حبْصتْسيو

ا : لا ف ؟

،

ارح

،

ه ل ْ سر لاق َمس

كل دْنع

:

لتاق

ْ يْلا ََ

،

حش َرح اَ ل ََ َ إ

ْ

ا م

ْ ل ج

،

ث

ْ عابَ

،

ْ لكأف

ن ثا

.

“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan menjual

khamar, bangkai, babi, dan berhala. „Lalu dikatakan orang: „Wahai

Rasulullah, bagaiamana menurutmu tentang lemak bangkai, untuk digunakan melumuri perahu, kulit, dan dijadikan bahan bakar lampu? Maka Nabi Saw bersabda, Tidak, itu adalah haram. Lalu Rasulullah Saw. melanjutkan dengan sabdanya: Allah telah memerangi umat Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan bagi mereka lemaknya, mereka rekayasa (lemak itu) lalu mereka jual dan mereka makan hasil

penjualannya.” (HR. Al-Bukhari)6

Dalam penelitian ini penulis membahas mengenai jual beli minyak labi-labi. Bahan dasar dari minyak labi-labi adalah hewan labi-labi atau sejenis Penyu air tawar. Suatu kelompok bangsa reptilia yang homogen dan sangat terkenal. Hewan ini mudah dikenali dari perisai yang membungkus tubuh yang mirip kotak; hanya tungkai; kepala dan ekornya saja yang menonjol ke luar. Penghuni air tawar pada umumnya memiliki kaki yang agak pipih, yang jari-jemarinya masih bisa dibedakan dan

6

Imam Az-Zubaidi, Ringkasan Shahih Bukhari, Arif Rahman Hakim, (Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012), 428.


(13)

5

dikenali, meskipun antara satu dengan yang lain dihubungkan dengan

selaput renang.7

Di Indonesia kita mengenal tiga kelompok binatang yang termasuk bangsa kura-kura, yaitu penyu (sea turtle), labi-labi atau bulus (freshwater turtle), dan kura-kura (turtoise). Di luar itu, kura-kura dapat dibedakan lagi antara kura-kura darat (land tortoise) dan kura-kura air tawar (freshwater tortoise).8

Labi-labi adalah penyu bercangkang lunak dan hidup di air tawar, rawa, danau, sungai, dan kolam yang suhu airnya berkisar 25-30 celcius. Jika suhu lingkungan terlalu rendah, aktivitas labi-labi akan menurun dan nafsu makannya berkurang. Labi-labi biasanya menyukai lingkungan yang tenang dan banyak dihuni oleh hewan air, seperti moluska, ikan, dan krustacea. Ia juga senang hidup pada tempat yang ditumbuhi tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok atau teratai karena dapat menjadi bahan makanannya. Perisai punggungnya tidak tertutup oleh zat tanduk, tetapi ditutupi oleh kulit yang tebal sehingga punggungnya bercangkang lunak.9 Demikianlah karakteristik hewan labi-labi yang menjadi bahan dasar minyak yang diperdagangkan di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo.

7

Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Seri fauna, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru – van Hoeve, 1988), 25.

8

Jasa Ungguh Muliawan, Buku Pintar Binatang, (Jogjakarta: Harmoni, 2011), 126. 9

Optima Pictures, 4100 Fakta Paling Top Tentang Hewan, (Jakarta: TransMedia Pustaka, 2012), 81.


(14)

6

Menurut hasil wawancara dengan penjual, di dalam tubuh hewan labi-labi, ada beberapa bagian tubuhnya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi manusia. Diantaranya yaitu daging, gajih/lemak yang ada di dalam tubuh hewan tersebut, dan cangkangnya. Di dalam skripsi ini, penulis akan membahas mengenai minyak labi-labi yang berasal dari gajih/lemak hewan tersebut. Manfaat yang dimiliki oleh minyak labi-labi yaitu diantaranya adalah, obat untuk segala macam penyakit kulit antara lain skabies atau penyakit kulit yang diakibatkan oleh virus, infeksi jamur atau biasa disebut dengan kadas, dan luka bakar; selain itu dapat mengobati sakit gigi dan keputihan yang dialami wanita dengan cara dikumur-kumur dan diminum. Cangkang dari labi-labi ini dapat dimanfaatkan sebagai obat rasa sakit datang bulan pada wanita dengan cara cangkang tersebut dihancurkan menjadi halus lalu diminum oleh

wanita yang mengalami rasa sakit.10

Minyak labi-labi berasal dari gajih hewan labi-labi yang dipanaskan dibawah terik matahari atau dengan dipanaskan di atas wajan, sehingga cairan yang menetes/meleleh itulah yang dinamakan minyak labi-labi. Labi-labi berukuran kecil bisa menghasilkan satu botol besar yang berisi 200 ml minyak labi-labi. Minyak yang diperjualbelikan bermacam-macam takarannya, satu botol besar berisi 200 ml dijual dengan harga tiga ratus ribu rupiah, sedangkan botol berisi 54 ml dijual dengan

10


(15)

7

harga lima puluh ribu rupiah, Tidak hanya minyak, bahkan cangkang dari

hewan ini dijual dengan harga mencapai satu juta lima ratus ribu rupiah.11

Dalam Islam, seorang muslim tidak akan hidup tanpa petunjuk.

Al-Qur‟an menjelaskan nilai-nilai dan norma-norma bagi semua tindakan

moral, termasuk makan dan minum. Al-Qur‟an juga menjelaskan bahwa

manusia harus makan yang halal dan menyucikan segala yang ada dimuka bumi.12 Dalam firman-Nya dalam surah Qs. Al-Baqarah, 2 : 168,

                            

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang

terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.

Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata bagimu”13

Kemudian Allah SWT mendorong manusia untuk makan dari lingkungan makanan yang baik, sebagaimana firman-Nya pada surah Al-Baqarah, 2 : 172,

                        

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah

kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja

menyembah”14

11

Ibid., 21 September 2016. 12

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Zainudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 519.

13

Departemen Agama RI, Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata, (Jakarta: Syaamil Qur‟an, 2007), 25.

14


(16)

8

Seorang muslim hendaknya memperhatikan apa saja bahan makanan yang akan menjadi konsumsi untuk sehari-hari. Tentunya, harus melihat kebaikan dan kehalalan yang dikandung pada bahan makanan

tersebut. Allah SWT Berfirman pada surah Al-An’a>m, 6 : 145,

                                                                      

“Katakanlah, „Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas

darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha

Penyayang.‟”15

Labi-labi adalah hewan yang dapat bertahan hidup di air maupun di daratan. Dalam hukum Islam labi-labi adalah salah satu hewan yang belum

dijelaskan status hukum halal/haramnya dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

Sedangkan dalam penelitian di lapangan, hewan labi-labi ini dijadikan bahan dasar pembuatan minyak labi-labi lalu dikonsumsi oleh masyarakat.

Dari pemaparan latar belakang diatas, Penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai hukum Islam terhadap hewan ini, untuk menemukan kejelasan hukum dalam praktik jual beli yang terjadi di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo. Serta tentunya agar masyarakat

15


(17)

9

memahami dan menghindari dari perkara-perkara yang subh{at atau bahkan

diharamkan.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang teridentifikasi dan memungkinkan untuk diteliti, yaitu:

1. Praktik jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan

Gedangan, kabupaten Sidoarjo

2. Pengertian hewan labi-labi

3. Hewan labi-labi dalam hukum Islam

4. Tata cara pembuatan minyak labi-labi

5. Manfaat minyak labi-labi

6. Jual beli minyak labi-labi dalam hukum Islam

Beberapa masalah yang teridentifikasi dan memungkinkan untuk diteliti, sekiranya penulis akan membatasi permasalahan-permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, yaitu:

1. Praktik jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan

Gedangan, kabupaten Sidoarjo


(18)

10

C. Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana praktik jual beli minyak labi-labi di desa Punggul,

kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo?

2. Bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi

labi di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo?

D. Kajian Pustaka

Di dalam kajian pustaka ini, penulis akan memberikan beberapa penelitian yang sejenis mengenai hewan-hewan yang dijadikan bahan konsumsi manusia, sehingga tujuan dalam kajian pustaka ini yaitu tidak adanya pengulangan pembahasan dalam penelitian. Diantaranya adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh “Farit Sinta Maulana” dengan judul

“Analisis Hukum Islam terhadap Jual Beli Tanduk Rusa untuk Bahan

Obat-obatan”. Skripsi tersebut menyatakan bahwa hukum jual beli

tanduk rusa adalah ba>t{il karena jual beli tersebut tidak terpenuhi rukun

dan syaratnya. Tanduk rusa yang diperjualbelikan ialah barang najis karena proses pengambilannya yaitu memotong tanduk dari rusa yang masih hidup. Hukum bagian tubuh yang dipotong pada saat hewan


(19)

11

tersebut masih hidup adalah sama dengan bangkai yaitu najis dan

haram dimakan serta diperjualbelikan.16

2. Skripsi yang ditulis oleh Andi Purwoko dengan judul “Analisis

Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Lutung Jawa: Studi Kasus di Desa Trigonco Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo” Skripsi ini menyatakan bawah praktik jual beli daging Lutung ialah tidak sah. Karena, praktik jual beli daging yang sudah berupa bangkai, karena tidak memenuhi ketentuan perburuan dan penyembelihan dalam Islam. Dilihat dari sisi karakteristiknya, lutung Jawa merupakan

binatang yang memiliki sifat buas (siba>’) dan buruk/ menjijikan

(kha>bith), sehingga praktik jual beli yang dijadikan makanan disini belum memenuhi ketentuan kehalalan. Selain menjadi konsumsi manusia, Praktik jual beli lutung Jawa yang dijadikan peliharaan dalam perspektif hukum Islam di Desa Trigonco Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo adalah kegiatan jual beli yang tidak memenuhi ketentuan pada aspek kepemilikan, karena objek jual beli

merupakan benda muh}tara>m (benda milik umum yang haram dimiliki)

yang sedang dilindungi oleh negara dalam bentuk perundang-undangan, yaitu undang-undang tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya No. 5 tahun 1990 dan peraturan menteri kehutanan

16

Farit Sinta Maulana, “Analisis Hukum Islam terhadap Jual-Beli Tanduk Rusa untuk Bahan Obat-obatan” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012).


(20)

12

dan perkebunan no 733/kpts-ii/1999 tentang perlindungan lutung Jawa

sebagai satwa liar.17

3. Skripsi yang ditulis oleh Arif Rohman dengan judul “Produksi Dan

Jual Beli Kopi Cacing Di Kelurahan Tumenggungan Kabupaten

Lamongan Dalam Perspektif Imam Ma>lik Dan Ibnu H{azm”. Skripsi

ini menyatakan bahwa praktik jual beli terdapat perbedaan pendapat

antara Imam Ma>lik dan Ibnu H}azm dalam menghukumi kopi cacing

tersebut. Imam Ma>lik memperbolehkan karena cacing di ibaratkan

seperti belalang yang langsung bisa di konsumsi tanpa harus melalui peroses penyembelihan dan juga menurut Malikiyah tidak ada nash

yang melarang untuk mengkonsumsinya. Jadi menurut Imam Ma>lik

jual beli kopi cacing di Kelurahan Tumenggungan Hukumnya sah.

Sedangkan, Menurut Ibnu H}azm cacing merupakan hewan yang tidak

halal, beliau berdasarkan firman Allah SWT (Q.S : Al - Maidah : 5)

yang artinya : “Diharamkan bagi kamu bangkai, darah ... kecuali

binatang yang kalian sembelih”.

Menurut Ibnu H}azm cacing adalah hewan yang tidak bisa di

sembelih, oleh karena itu tidak ada jalan untuk memakannya kecuali

dalam keadaan bangkai. Dalam hadis di jelaskan “Sesungguhnya jika

Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia

akan mengharamkan harganya.” Berpedoman dengan hadis itu, Ibnu

17Andi Purwoko, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Lutung Jawa (Studi Kasus

Di Desa Trigonco Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo)” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).


(21)

13

H}azm mnyatakan bahwa jual beli kopi cacing di Kelurahan

Tumenggungan hukumnya haram.18

4. Skripsi yang ditulis oleh Arif Rohman dengan judul “Tinjauan

Mas}lah{ah MursalahPemotongan Bagian Tubuh Kepiting Yang Masih Hidup Di Desa Banjar Kemuning Kecamatan Sedati Kabupaten

Sidoarjo”. Skripsi ini menyatakan Hasil penelitian ini menyimpulkan

bahwa proses pemotongan bagian tubuh kepiting yang masih hidup

telah memenuhi syarat serta landasan hukum mas}lah}ah mursalah.

Proses pemotongan bagian tubuh kepiting dilihat dari segi kualitas dan

kepentingan termasuk mas{lah{ah h{a>jiyah. Jika dilihat dari segi

cakupannya (jangkauannya) termasuk mas{lah{ah ghalibah. Sedangkan

jika dilihat dari keberadaannya masalah ini termasuk mas{lah{ah

mursalah, karena proses budidaya kepiting soka dilihat secara sekilas terdapat unsur penyiksaan pada hewan akan tetapi jika teliti secara mendalam prosesnya sangat banyak membuahkan manfaat dan membawa kemaslahatan bagi manusia. Di samping itu proses

budidaya ini sudah memenuhi syarat-syarat mas}lah}ah mursalah yakni

sejalan dengan kehendak syara‟, bersifat rasional dan pasti, menyangkut kepentingan orang banyak, dapat diterima oleh akal, menghilangkan kesulitan, tidak bertentangan dengan dasar ketetapan

18 Arif Rohman, “Produksi an Jual Beli Kopi Cacing Di Kelurahan Tumenggungan Kabupaten Lamongan Dalam Perspektif Imam Ma>lik Dan Ibnu H{azm”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).


(22)

14

Al-Quran, Hadis, dan ijma’ dan sesuai dengan konsep maqa>sid

asy-syari>’ah.19

Sedangkan di dalam skripsi ini penulis mengangkat permasalahan mengenai jual beli minyak labi-labi, yang dimana yang diperjualbelikan adalah minyak dari bagian tubuh hewan labi-labi atau disebut bagian gajihnya. Gajih dari hewan tersebut dipanaskan dengan digantung di bawah sinar matahari atau dipanaskan di atas wajan sehingga keluar cairan yang menetes atau meleleh, lalu dari cairan tersebut yang disebut dengan minyak labi-labi.

Permasalahan yang timbul adalah labi-labi merupakan hewan yang dapat berkembang biak di air dan di darat, dan belum ada status hukum halal/haramnya dari hewan ini. Tidak hanya itu barang yang diperjualbelikan ialah cairan atau minyak yang berasal dari tubuhnya. Sehingga dari beberapa kajian pustaka di atas, belum ada satu penelitian yang membahas terkait jual beli minyak dari Hewan yang hidup di dua alam yaitu di darat dan di air, serta hewan yang masih belum ada status hukum halal/haramnya dalam hukum Islam, perlu kiranya Penulis mengkaji status hewan labi-labi ini dari proses penyembelihan sampai pada proses pembuatan minyak hewan tersebut yang ditinjau dari hukum

Islam antara lain, Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan pendapat para Ulama Fiqih.

19

Ahmad Zulfikar Toga Ilmiah, “Tinjauan Mas}lah{ah Mursalah Pemotongan Bagian Tubuh Kepiting Ynang Masih Hidup Di Desa Banjar Kemuning Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016).


(23)

15

E. Tujuan Penelitian

Dalam rumusan masalah di atas, terdapat tujuan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui praktik jual beli minyak labi-labi di desa

Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo

2. Untuk mengetahui serta memahami tinjauan hukum Islam terhadap

jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam dua aspek, yaitu:

1. Segi Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terhadap pengembangan hukum Islam yang semakin meluas, khususnya dalam bidang muamalah.

2. Segi Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam memberikan informasi mengenai tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi-labi dan menyelesaikan beberapa permasalahan yang ada di dalamnya khususnya dalam bidang muamalah.


(24)

16

G. Definisi Operasional

Dari judul yang dipaparkan oleh penulis di atas, maka perlunya penulis mendefinisikan judul tersebut agar mudah dipahami secara jelas sehingga tidak terjadi kesalah pahaman didalam memahami judul ini, definisi operasional dari judul di atas ialah sebagai berikut:

Hukum Islam : Hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama

Islam.20 Ditinjau dari Hukum Islam yang terdiri dari

Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Pendapat para ulama fiqih.

Jual Beli Minyak Labi-labi

: Kegiatan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk menukarkan suatu barang atau minyak labi-labi dengan barang lain yang bernilai/berharga atau dalam bentuk uang.

H. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang

dilakukan di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini mengkaji terkait praktik jual beli minyak labi-labi yang dilakukan di desa tersebut. Berikut ini bebarapa metode yang digunakan untuk memecahkan masalah ini, antara lain:

20


(25)

17

1. Data yang dikumpulkan

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, berikut beberapa data yang dikumpulkan antara lain:

Cara jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, identitas penjual dan pembeli, jenis labi-labi yang digunakan sebagai bahan

dasar minyak, jumlah labi-labi yang digunakan untuk

menghasilkan minyak, harga dari minyak labi-labi, pendapat penjual dan pembeli mengenai manfaat minyak labi-labi sebagai konsumsi manusia, dan data mengenai dasar hukum Jual beli yang sah serta mengonsumsi minyak labi-labi menurut hukum Islam.

2. Sumber Data

Sesuai data yang dikumpulkan di atas, maka sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder, antara lain:

a. Sumber Data Primer

Yaitu data yang didapat dari hasil wawancara dan observasi terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan praktik jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, antara lain adalah:

1) Penjual minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan

Gedangan, kabupaten Sidoarjo

2) Pembeli minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan


(26)

18

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan

peraturan perundang-undangan.21

Sumber data yang digunakan untuk memperkuat sumber data primer dan diperoleh dari referensi kitab-kitab, artikel, website dan buku yang dikarang oleh ulama fiqih yang membahas tentang praktik jual beli minyak labi-labi, yaitu antara lain:

1) A. Rahman I. Doi. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah

(Syariah). Zainudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

2) Andi Purwoko, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Jual

Beli Lutung Jawa (Studi Kasus di Desa Trigonco Kecamatan

Asembagus Kabupaten Situbondo)”. Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2016.

3) Arif Rohman, “Produksi Dan Jual Beli Kopi Cacing di

Kelurahan Tumenggungan Kabupaten Lamongan Dalam

Perspektif Imam Ma>lik Dan Ibnu H{azm”. Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2013.

4) Departemen Agama RI. Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per

Kata. Jakarta: Syaamil Qur‟an, 2007.

5) Farit Sinta Maulana, “Analisis Hukum Islam terhadap Jual-Beli

Tanduk Rusa untuk Bahan Obat-obatan”. Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2012.

6) Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid. Imam Ghozali Said, A.

Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

7) Imam Az-Zubaidi. Ringkasan Shahih Bukhari. Arif Rahman

Hakim. Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012.

21


(27)

19

8) Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2007.

9) Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gajah Media

Pratama, 2000.

10)Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Nor Hasanuddin.Jilid 4. Jakarta:

Pena Pundi Aksara, 2006.

11)Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan

R&D. Bandung: ALFABETA, cv., 2011.

12)Wahbah Az-Zuhaili. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk. Jilid 5. Jakarta: Gema Insani, 2011.

13)Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar

Grafika, 2003.

3. Teknik pengumpulan data

a. Interview (Wawancara)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang ingin diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih

mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.22 Yang menjadi

obyek wawancara adalah penjual minyak labi-labi dan pembeli minyak labi-labi.

b. Dokumentasi

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALFABETA, cv., 2011), 137.


(28)

20

Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,

buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.23

4. Teknik analisis data

Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis oleh Penulis dengan metode antara lain:

Deskriptif analitis yaitu metode yang memaparkan dan menggambarkan tentang praktik jual beli minyak labi-labi di desa Punggul, kecamatan Gedangan, kabupaten Sidoarjo.

Sedangkan, pola pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola pikir deduktif yang dimana berangkat dari dalil umum lalu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari, latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode peneltian, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua merupakan bagian landasan teori yang memuat tentang

konsep Jual Beli dalam Hukum Islam Islam yang terdiri dari Al-Qur‟an,

As-Sunnah, dan Pendapat para ulama fiqih, yaitu pengertian, dasar hukum, rukun, syarat, asas-asas, dan objek jual beli.

23


(29)

21

Bab Ketiga merupakan bagian yang membahas mengenai hewan labi-labi, profil desa asal minyak tersebut diproduksi, profil produk minyak labi, status hewan labi, tata cara pembuatan minyak labi-labi, serta manfaat minyak labi-labi.

Bab Keempat merupakan bagian yang menguraikan tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi-labi.

Bab Kelima adalah bab terakhir atau penutup dari keseluruhan isi pembahasan skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.


(30)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Jual Beli dalam Islam

1. Pengertian Jual Beli

Secara etimologis, jual beli berarti pertukaran mutlak. Kata al-bai’

jual‟ dan asy-syiraa’ „beli‟ penggunaannya disamakan antara

keduanya. Dua kata tersebut masing-masing mempunyai pengertian

lafadz yang sama dan pengertian berbeda.1

Dalam syariat Islam jual beli adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya. Atau, dengan pengertian lain, memindahkan hak milik dengan hak milik lain

berdasarkan persetujuan dan perhitungan materi.2

Menurut terminologi (istilah) Wahbah Az-Zuhaili mengartikan sama halnya dengan menurut pandangan ulama Hanafiah yaitu,

tukar-menukar maal (barang/harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara

tertentu yang bermanfaat.3

Sedangkan menurut ulama dari madzhab Malikiyah, Syafi‟iyah,

dan Hanabilah, jual beli adalah:4

.اً ل تو اً لْ ت لا ْلاب لا ْلا ةل ابم

1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Nor Hasanuddin, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 120. 2

Ibid., 121. 3

Wahbah Az-Zuhaili,Terjemahan al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 344.

4


(31)

22

“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan

milik dan pemilikan”

2. Dasar Hukum Jual Beli

Terdapat sejumlah ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang jual beli,

diantaranya dalam surah Al-Baqarah, 2 : 275

       

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”5

Maksud dari ayat di atas adalah orang-orang musyrik yang menyebutkan bahwa jual beli sama dengan riba, dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah SWT yang terdapat dalam syariat-Nya. Tetapi, potongan ini bisa jadi merupakan bagian dari perkataan mereka, dan sekaligus menjadi bantahan terhadap diri mereka sendiri. Sehingga, mereka mengatakan hal tersebut padahal sebenarnya mereka mengetahui bahwasanya terdapat perbedaan antara jual beli dan riba.6

Setelah itu, dalam surah An-Nisa‟, 4 : 29 yang berbunyi:

                                     

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling

memakan harta sesamu dengan jalan yang ba>t{il (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di

antara kamu.”7

5

Departemen Agama RI, Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata, (Jakarta: Syaamil Qur‟an, 2007), 47.

6„Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh,

Tafsir Ibnu Katsir, M. „Abdul Ghoffar E. M., Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2008), 696.

7


(32)

23

Maksud dari ayat di atas adalah Allah SWT melarang

hamba-hamba-Nya yang beriman

memakan harta sebagian

mereka terhadap sebagian lainnya dengan ba>t{il, yaitu dengan berbagai

macam usaha yang tidak syar‟i seperti riba, judi, dan berbagai hal serupa yang penuh tipu daya. Serta Allah SWT melarang hamba-Nya menjalankan sebab-sebab yang diharamkan dalam mencari harta, akan tetapi dengan perniagaan yang disyari‟atkan, yang terjadi dengan

saling meridhai antara penjual dan pembeli.8

Sabda Rasulullah Saw.,

أ

َ َ

َيب

ْيلع ه ىَلص

ل ع : لاق ؟ بيْطأ بْس ْلا أ : ل س مَلسو

.ر ْورْبم عْيب لكو ديب لجَرلا

Dari Rifa‟ah bin Rafi‟ r.a.,“Bahwa Nabi Saw. ditanya,„Mata pencaharian apa yang paling baik?‟ Beliau menjawab,„Pekerjaan

seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur‟”.

(HR. Ahmad)9

3. Rukun Jual Beli

Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda pendapat, berikut ini adalah uraiannya.

Menurut Madzhab Hanafi, rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun, unsur kerelaan berhubungan dengan hati sering tidak kelihatan, maka

8„Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh,

Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2..., 357-358. 9

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillah al-Ahkam, Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2015), 411.


(33)

24

diperlukan indikator (qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut

dari kedua belah pihak. Indikator tersebut bisa dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi

(penyerahan barang, dan penerimaan dalam bentuk uang).10

Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama selain Hanafi ada

tiga; pelaku transaksi (penjual/pembeli), objek transaksi

(barang/harga), pernyataan (ijab dan kabul). Penjelasannya antara lain:

a. Pelaku Transaksi (penjual/pembeli)

Adalah individu atau kelompok yang melakukan kegiatan menjual dan membeli barang yang diakadkan.

b. Objek Transaksi (Barang/harga)

Objek Transaksi adalah barang yang akan diperjual belikan serta harga yang ditetapkan pada barang yang diakadkan tersebut.

c. Shighat (Bentuk Pernyataan) ijab dan kabul.

Pernyataan transaksi adalah bentuknya yang dilakukan lewat ijab dan kabul meskipun transaksi itu melibatkan komitmen kedua belah pihak, ataupun hanya dengan ijab saja jika komitmen itu dari

satu pihak.11

4. Syarat Jual Beli

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas adalah sebagai berikut:

10 Sohari Sahrani dan Abdullah Ru‟fah,

Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 67.

11


(34)

25

a. Syarat orang yang berakad

Syarat pelaku akad hendaknya mumayyiz, memiliki kemampuan

mengatur hartanya, karena jual beli orang gila, anak kecil, dan

orang mabuk tidak sah.12

b. Syarat yang terkait dengan ijab dan kabul

Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa unsur-unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan kabul yang dilangsungkan. Menurut mereka, ijab dan kabul perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad nikah. Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak, seperti wasiat, hibah dan waqaf, tidak perlu kabul, karena akad seperti ini cukup dengan ijab saja. Bahkan, menurut Ibn Taimiyah, ulama fiqih Hanbali, dan ulama lainnya, ijab pun tidak diperlukan dalam

masalah wakaf.13

c. Syarat Barang yang Diperjualbelikan

1.) Barang yang diperjualbelikan harus yang halal14

Tidak memperjualbelikan barang-barang haram dan najis

seperti daging babi, khamar, anjing, dan bangkai. Pada surah

Al-A‟raf , 7 : 157 menjelaskan,

12

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4..., 122. 13

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah..., 116. 14

Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 382.


(35)

26                                                                          

“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi

(tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada

pada mereka.”15

2.) Barang yang diperjualbelikan adalah yang bernilai. Maksud

harta, menurut Hanafi, adalah segala yang disukai oleh tabiat manusia dan dapat disimpan sampai waktu yang dibutuhkan. Dengan kata lain, semua yang bisa dimiliki dan dimanfaatkan

manusia seperti biasa.16

3.) Barang dan/atau uang yang dijadikan objek transaksi itu harus

telah berada benar-benar menjadi milik atau dalam

kekuasaannya (milik sendiri).17 Dari Amr bin Syu‟aib , dari

ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah Saw bersabda:

15

Departemen Agama RI, Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata..., 170. 16

Wahbah Az-Zuhaili,Terjemahan al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid 5..., 37. 17


(36)

27

، ْ ْ ي ْمل ام حْبر او ،عْيب ْيف اط ْرش او ، عْيبو فلس لحي ا

. دْنع سْيل ام عْيب او

“Tidak halal hutang dan jual beli, dua syarat dalam satu transaksi jual beli, keuntungan barang yang belum ditanggung,

dan jual beli barang yang tidak kamu miliki” (HR. Hakim)18

4.) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual

menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, di sebuah toko, karena tidak mungkin memajang barang dagangan semuanya, maka sebagiannya diletakkan pedagang di gudang atau masih di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dengan penjual. Barang di gudang dan

dalam proses pabrik ini dihukumkan sebagai barang yang ada.19

5.) Barang yang diperjualbelikan dalam keadaan tidak cacat, tidak

mengandung unsur gharar (ketidak jelasan), tipuan, mudharat,

serta yang menyebabkan barang tersebut merugikan salah satu pihak penjual/pembeli).

5. Macam-macam Jual Beli yang dilarang

Jual beli yang dilarang ada dua: Pertama, jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya sah tapi dilarang, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli. Dan

18

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillah al-Ahkam..., 420. 19


(37)

28

yang akan diuraikan oleh Penulis disini adalah macam-macam jual beli

yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal).20 Adapun bentuk jual

beli yang termasuk dalam kategori kegiatan jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya adalah sebagai berikut:

a. Barang yang zatnya najis, haram atau tidak boleh diperjualbelikan.

Barang yang najis atau haram untuk dimakan, haram juga untuk

diperniagakan, seperti babi, berhala, bangkai, khamar (minuman

yang memabukkan).21

b. Jual beli yang belum jelas, sesuatu yang bersifat spekulasi atau

samar-samar, hal ini adalah haram untuk diperjualbelikan, karena bisa merugikan salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Yang dimaksud dengan samar-samar disini adalah tidak jelas baik harganya, barangnya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun

ketidakjelasan yang lainnya.22

c. Jual beli yang menimbulkan mudarat, ialah segala sesuatu yang

dapat menimbulkan kekejelekan dan kemaksiatan, bahkan kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli patung, salib, dan buku-buku bacaan porno. Memperjualbelikan barang-barang ini dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat.

20

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 75-76. 21

Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), 80. 22


(38)

29

d. Jual beli yang dilarang karena menganiaya, suatu jual beli yang

menimbulkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung) kepada

induknya,23 memburu binatang dengan jalan yang tidak dibenarkan,

memisahkan binatang yang masih bayi dari induknya dan sebagainya.

e. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan

pihak-pihak terkait.24

6. Asas-asas Jual Beli

Dalam muamalah, harus dilandasi beberapa asas, karena tanpa asas ini, suatu tindakan tidak dinamakan sebagai muamalah, Asas

muamalah terdiri dari:25

a. Asas ‘adalah

Asas „adalah (keadilan) atau pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, tetapi harus didistribusikan secara merata di antara masyarakat, baik kaya maupun miskin, dengan dasar tujuan ini maka dibuatlah hukum zakat, shodaqoh, infaq.

b. Asas Mu’awanah

23

Ibid., 83-84. 24

Ibid., 85. 25

http://faturjpr.blogspot.co.id/2016/10/asas-asas-muamalah-dalam-islam.html. Diakses pada tanggal 01-08-17


(39)

30

Asas mu‟awanah mewajibkan seluruh muslim untuk tolong

menolong dan membuat kemitraan dengan melakukan muamalah, yang dimaksud dengan kemitraan adalah suatu startegi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

c. Asas Musyarakah

Asas musyarakah menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan bagi keseluruhan masyarakat, oleh karena itu ada harta yang dalam muamalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki perorangan.

d. Asas Manfaah (tabadulul manafi’)

Asas manfaah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat, asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta‟awun (tolong menolong/gotong royong) atau mu‟awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar

individu atau pihak –pihak dalam masyarakat dalam rangka saling

memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka


(40)

31

Asas manfaah adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa segala yang dilangit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah SWT, dengan demikian manusia bukanlah pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya.

e. Asas Antarodhin

Asas antaradhin atau suka sama suka menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing, Kerelaan disini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yag dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat lainnya.

f. Asas Adamul Gharar

Asas adamul gharar berarti bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi.

g. Kebebasan Membuat Akad

Kebebasan berakad/kontrak merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam


(41)

32

undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil.

h. Asas Al Musawah

Asas ini memiliki makna kesetaraan atau kesamaan, artinya bahwa setiap pihak pelaku muamalah berkedudukan sama.

i. Asas Ash shiddiq

Dalam Islam manusia diperintahkan untuk menjunjung kejujuran dan kebenaran, jika dalam bermuamalah kejujuran dan kebenaran tidak dikedepankan, maka akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian. Perjanjan yang didalamnya terdapat unsur kebohongan menjadi batal atau tidak sah.

7. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah26

a.

ىلع لْيل َل دي ْ أ َاا ةحابإا ةلما لا يف لْصأا

ا ْيرْحت

“Hukum asal semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.

26

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), 128-137.


(42)

33

b.

ام تجْيت و ْي دقا ت لا ي ر دْ لا يف لْصأا

دق ا َتااب ام تلإ

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak

yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.” Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah

ْي دقا ت لا ا ر ْ

لا يف لْصأا

“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”

c.

رْيغ كْلم يف ف َرصتي ْ أ دحأ ر جي ا

لب

ْ إ

“Tiada seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik

orang lain tanpa izin si pemilik harta.”

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang yang


(43)

34

diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.

d.

لبْ ي ا لط ابلا

اجإا

“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

e. .

ةلاك لاك ة حللا اجإا

ة باَسلا

“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan

perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.”

Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka


(44)

35

tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.

f.

ا تْجي ا ا َ لاو رْجأا

“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk menggganti kerugian

tidak berjalan bersamaan.”

Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran. Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

g.

ارجلا

ا َ لاب

“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di keluarkan baik

manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas


(45)

36

penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli

h.

ْرغلا

مْنغلاب

“Resiko itu menyertai Manfaat.”

Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.

i.

يفا

م لطب ئْيَشلا لطب ا إ

نْ

“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam

tanggunggannya.”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.


(46)

37

j.

ىلع دْ لاك ايْعأا ىلع دْ لا

ا فانم

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad

terhadap manfaat benda tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

k.

لف ا وا لا

لا م دْيبْأت حصيام لك

تْيق ْ ت َحصي

“Setiap akad Mu‟awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka

tidak sah diberlakukan sementara”

Akad mu‟awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua

pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.


(47)

38

“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang

memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya

batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan

memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.

m.

َاإ ثعربَتلا متيا

ْب لاب

“Tidak sempurna akad tabarru‟ kecuali dengan penyerahan

barang.”

Akad tabarru‟ adalah akad yang dilakukan demi untuk

kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.

n.

ا َ لا يفاني يع ْرَشلا ا جلا

“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara‟ tidak dapat dijadikan

objek tuntutan ganti rugi.”

Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.


(48)

39

o.

تباث قحب َاإ دحأ دي ْ م ءْيش ْنيا

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali

atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”

p.

تْلبق ْ ي ْ أ ئاج ل بق لك

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah

diterima.”

Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.

q.

ئاج

ف ا تْ م ْ م ْوأ دْ لا ةحلْصم ْ م اك ط ْرش لك

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad

tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”

Contohnya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.

r.

ا َحص ب ْ َرلا َحصام لك

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”

s.

نْ ر اج ْيب اجام


(49)

40

Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.

t.

ابر ف ًة فْنم َرج ْرق لك

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah

sama dengan riba.”

Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:

ارح ف اً ْف َرج ْرق لك

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor adalah

haram.”

B. Hukum Islam tentang Makanan

Makanan yang dikonsumsi manusia sudah di atur dalam syariat agama Islam dengan baik. Dari perkara yang dihalalkan sampai pada perkara-perkara yang diharamkan. Penulis akan memaparkan makanan-makanan dalam pandangan Islam.

Mengetahui makanan yang halal dan haram merupakan kewajiban yang sangat ditekankan. Pengetahuan tersebut dapat dipahami jelas setelah dipaparkan lebih dulu mana yang yang termasuk jenis hewan dan bukan jenis hewan. Sebab, makanan yang dikonsumsi ada dua jenis; hewan dan

non hewan.27

27


(50)

41

Ada dua kategori hewan yaitu, hewan darat dan hewan air. Hewan darat juga terbagi dua macam yaitu suci dan najis. Hewan yang najis tidak halal dikonsumsi seperti anjing dan babi.

1. Ada beberapa hal tentang makanan yang dihalalkan dalam syariat

antara lain yaitu:

a. Ayam

يبَنلا تْيأر : لاق ، ىس ْ م ْيبأ ْ ع

مَلسو ْيلع ه ىَلص

. اجاج لكْأي

“Diriwayatkan dari Abu Musa r.a., ia berkata, „Aku melihat Nabi

Saw. memakan daging ayam.‟” (HR. Bukhari)28

b. Biawak

Biawak adalah sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, atau dalam bahasa lain disebut sebagai bayawak (sunda), meyawak atau nyambik (Jawa), berekai

(Madura), dan monitor lizard atau goanna (Inggris).29 Di dalam

hukum Islam Daging Biawak diperbolehkan untuk dikonsumsi, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

ْ م ا اك : لق مَلسو ْيلع ه َلص يبَنلا ع ر ع ْبا سْيدح

مَلسو ْيلع ه َلص يبَنلا احْصأ

ْ م ْ لكْأي ا ْ ب ف دْ س ْم ْيف

مْحل

َلص يبَنلا او ْ أ ْ ب ْ م أرْما م ْت انف

مَلسو ْيلع ه

َ ا

ه ل ْ سر لا ف ا ْ سْمأف ب مْحل

َلص

ْيلع ه

َلسو

وأ ا ْ لك : م

ب ْأبا : لاق ْوأ ل لح َ إف ا ْ ْطا

.ىما ط ْ م سْيل َن لو

Ibnu Umar r.a. berkata: “Ada beberapa orang sahabat Nabi Saw.

diantara mereka ada Sa‟ad. Mereka sedang berkumpul dan makan

daging, tiba-tiba salah satu isteri Nabi Saw. berseru: „Itu daging

28

Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, Pipih Imran Nutsani, Fitri Nurhayati, (Solo: Insan Kamil, 2012), 863.

29


(51)

42

dhab (biawak).‟ Maka mereka langsung berhenti makan. Maka

Nabi Saw. bersabda: „Makanlah karena itu halal.‟ Atau: „Tidak

apa memakannya, tetapi ini bukan makananku.‟” (HR. Bukhari)30

Hadis diatas menyatakan bahwa, daging biawak tidak haram. Daging biawak merupakan daging yang dihalalkan, tetapi bukan termasuk makanan yang dikonsumi oleh Nabi Saw.

c. Belalang

Rasulullah Saw. Bersabda:

يبَنلا عم ا ْو غ : لاق ، ىف ْوأ ْىبأ ْبا ع

مَلسو ْيلع ه َلص

. ارجْلا م لكْأ اَنك ،اًتس ْوأ او غ عْبس

“Diriwayatkan dari Ibnu Abu Aufa r.a., ia berkata, Kami

berperang bersama Nabi Saw. sebanyak tujuh atau enam

peperangan. Kami pun pernah memakan belalang bersamanya.‟”

(HR. Bukhari)31

d. Kelinci

Rasulullah Saw. Bersabda:

ا ْ سف ارْ َ لا رَ ب اًب ْرأ انْجفْنتْساف ا ْررم لاق كل ام ْب س ا ْ ع

ا حب ف ةحْلط ابأ ا ب تْيتأف ا كرْ أ ىَتح تْي سف لاق ا ْ بغلف ْيلع

ه ل ْ سر ىلإ ا ْي فو ا كر ب ث بف

تْيتأف مَلسو ْيلع ه َلص

ف مَلسو ْيلع ه َلص ه ل ْ سر ا ب

. لب

“Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, „Ketika Kami sedang di

Maruzhahran, kami melihat seekor kelinci berlari sambil melompat-lompat, lalu mereka berupaya untuk menangkapnya, akan tetapi mereka gagal, Anas berkata: lalu saya berusaha mengejar kelinci tersebut, lalu Abu Thalhah menyembelihnya, kemudian Abu Thalhah memberikan pangkal paha kelinci itu kepada Rasulullah Saw. lalu saya membawakannya kepada beliau

dan beliau menerimanya‟” (HR. Bukhari dan Muslim)32

30

Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Lu’Lul Wal Marjann Fiima Hafaqa ‘Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Muslim, Abu Firly Bassam Taqiy, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2013), 557.

31

Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim..., 862. 32


(52)

43

e. Kuda

ْب رباج ْ ع

ه ل ْ سر َ أ ه دْبع

َلص

ْيلع ه

َلسو

ْ ي ى م

ربْيخ

.لْي ْلا ْ حل يف أو ةَيلْ أْا ر حْلا ْ حل ْ ع

“Dari Jabir bin Abdullah r.a., bahwasanya Rasulullah Saw. pada saat perang Khaibar melarang kaum muslimin makan daging keledai jinak, dan mengizinkan memakan daging kuda.” (HR.

Bukhari)33

f. Bangkai Laut

ان ب : لاق ، ه دْبع ْب رب اج ثْيدح

ه ل ْ سر

ْيلع ه َلص

مَلسو

ْ بأ ا رْيمأ ،بكار ةئا ثلث

رْيع دص ْر ، َرجْلا ْب دْيبع

ىَتح دْيدش ْ ج انب اصأف ،رْ ش فْص لح اَسلاب انْ قأف ، ًشْيرق

ًةَبا رْحبْلا انل ى ْلأف ب ْلا شْيج شْيجْلا كل ي سف ، ب ْلا انْلكأ

بْن ْلا ا ل لا ي

، ك و ْ م اَن َ او ،رْ ش فْص ْنم انْلكأف ،ر

ىَتح

د ف ، بصنف علْ أ ْ م اً ل دْيبع ْ بأ خأف انماسْجأ انْيلإ ْتباث

. تْحت َر ف ا ًر بو ًلجر خأو ، م لجر ل ْطأ ىلإ

“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, „Rasulullah Saw. mengutus kami sebanyak tiga ratus orang penunggang kuda.

Komandan kami adalah Abu „Ubaidah bin Al-Jarrah. Kami

(bertugas) mengintai rombongan dagang Quraisy. Lalu kami menginap khabath (daun yang dilembutkan dengan cara dipukul dengan tongkat). Karenanya, pasukan tersebut dinamakan pasukan khabath. Kemudian tiba-tiba laut menghayutkan kepada kami seekor binatang yang disebut ikan paus. Maka kami memakan ikan itu selama setengah bulan, dan kami meminyaki rambut dari lemaknya, sampai tubuh kami kembali kepada orang yang paling tinggi bersamanya dan mengambil seseorang dan

seekor unta untuk lewat dibawahnya” (HR. Bukhari)34

2. Berikut adalah beberapa hal tentang makanan yang menurut sebagian

ulama dikategorikan sebagai makanan yang diharamkan. Antara lain sebagai berikut:

33

Ibid., 692. 34

Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Lu’Lul Wal Marjann Fiima Hafaqa ‘Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Muslim..., 460-461.


(53)

44

a. Bangkai

Binatang-binatang yang mati tanpa disembelih, seperti binatang yang mati dicekik, dipukul, jatuh, diterkam binatang buas, daging babi, dan yang disembelih selain dengan nama Allah SWT, seperti atau nama berhala, dan lain-lain. Para ulamafikih sepakat, bahwa bangkai hewan darat adalah haram, yang berpedoman pada firman Allah SWT pada Qs. Al-Maidah, 5 : 3, yang berbunyi:                                                                                                    

“Diharamkan atasmu bangkai, darah, bangkai, daging babi, binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah, yang mati dicekik, mati dipukul, mati jatuh, mati ditanduk, mati yang telah dimakan binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan

dilarang memakan binatang yang disembelih atas nama berhala”35

Hewan yang suka memakan kotoran, Imam Syafi‟i berpandangan haram atas hewan yang suka makan kotoran,

sedangkan Imam Malik, memakruhkannya.36

35

Departemen Agama RI, Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata..., 26 36


(54)

45

Daging binatang yang mati tidak karena proses penyembelihan yang disyariatkan juga termasuk dalam kategori bangkai, karena bangkai adalah haram hukumnya jika

memakannya, terkecuali daging ikan dan belalang.37

Sedangkan makanan yang halal dicampur najis, menurut ulama-ulama fikih terdapat dua perbedaan pendapat, yaitu pendapat pertama mengharamkannya semata-mata karena terjadi percampuran, meskipun makanan tersebut tidak mengalami

perubahan warna, bau ataupun rasa dari najis yang

mencampurinya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Sedangkan pendapat yang kedua, yaitu memegang terjadinya

perubahan (pada zat makanan). Pendapat dari Imam Malik.38

b. Himar/Keledai jinak (piaraan)39

Keterangan:

دْبع ْب رباج ثْيدح

ه ل ْ سر ى : لق ا ْنع ه ي ر ه

ىف صَخرو ر لْا ْ حل ْ ع ربْيخ ْ ي مَلسو ْيلع ه ىَلص

.لْي ْلا

“Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Ketika perang Khaibar, Rasulullah Saw. melarang makan daging himar peliharaan, dan

mengizinkan makan daging kuda.” (HR. Bukhari dan Muslim)40

c. Binatang-binatang yang disuruh membunuhnya,41 yaitu:

1) Tikus

37

Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer..., 266.

38

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Imam Ghozali Said, A. Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), 327.

39Ibnu Mas‟ud,

et al, Fiqih Madzhab Syafi’i..., 439. 40

Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Lu’Lul Wal Marjann..., 556. 41


(55)

46

2) Kalajengking

3) Burung Elang

4) Anjing Penggigit

5) Bengkarung/Kadal (semacam binatang berbisa, yang

berkaki empat, yang bentuknya seperti cicak, agak besar sedikit).

Keterangan:

ْيلع ه ىَلص ه ل ْ سررمأ : ْتلاقا ْنع ه ي ر ةشئ اع ْ ع

رْ ْلاو ر فْلا : ارحْلاو لحْلا ف س ا ف سْ خ لْت ب مَلسو

ارغْلاو

.ر ْ ْلا بْل ْلاو اَيدحْلاو

“Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah Saw., menyuruh membunuh lima macam binatang yang merusak, di musim halal (biasa) dan di musim haram ihram, yaitu: tikus, kalajengking,

gagak, elang, dan anjing penggigit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keterangan lain:

لْت برمأ مَلسو ْيلع ه َلص َيبَنلا َ أ ْنع ه ي ردْ س ْ ع

.اً سْي ف اَ سو ْ ْلا

“Dari Sa‟ad r.a., bahwa Nabi Saw. telah menyuruh membunuh bengkarung/kadal dan dinamakannya binatang itu binatang kecil perusak (fuwaisiq)” (HR. Bukhari dan Muslim)

d. Binatang yang dilarang membunuhnya, yaitu semut, lebah

(tawon), burung teguk-teguk, dan burung suradi (burung yang

suka memburu burung kecil-kecil)42

اَبع ْبا ع

ه ىَلص ه ل ْ سر ى : لاقا ْنع هاي ر

,د ْد ْلاو ,ةلْحَنلاو : ةلْ َنلا : اوَدلا م عب ْرأ لْتق ْ ع مَلسو ْيلع

. رصلا و

42


(1)

89

pernyataan (ijab/kabul) telah terpenuhi karena adanya kesepakatan dan kerelaan antara penjual dan pembeli dalam pernyataan Ijab/kabul.

Dipandang dari segi objeknya yakni barang yang diperjualbelikan harus yang halal, bernilai, benar-benar menjadi milik atau dalam kekuasaannya (milik penjual), barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tidak cacat, tidak mengandung unsur gharar (ketidak jelasan), tipuan, mudharat, serta yang menyebabkan barang tersebut merugikan salah satu pihak penjual/pembeli).

Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya objek dari jual beli minyak labi-labi ini merupakan jual beli yang diperbolehkan, disebabkan objek dari jual beli adalah minyak labi dengan bahan dasarnya hewan labi-labi yang tidak ditemukan dalil larangan maka ini kembali ke kaedah hukum asal yakni diperbolehkan.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah dipaparkan pembahasan dari bab pertama sampai bab keempat terkait tinjauan hukum Islam terhadap jual beli minyak labi-labi di desa Punggul kecamatan Gedangan kabupaten Sidoarjo, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Proses jual beli dalam transaksi ini seperti yang dilakukan pada pedagang-pedagang pada umumnya. Ada penjual, pembeli, dan pertukaran uang dan barang didalamnya sesuai kesepakatan yang dilakukan. Subjek penjual yaitu Bapak Misono, subjek pembeli yaitu Bapak Agus, objek/barangnya yaitu minyak labi-labi yang juga disertakan harga sesuai dengan takarannya, dan terdapat kesepakatan dalam pernyataan Ijab/kabul. Praktik dilaksanakan di tempat biasanya penjual berjualan yakni di depan perumahan Puri Surya Jaya. Barang diperdagangkan dengan wujud sebuah botol dengan takaran 50 ml dan 200 ml. Pada saat Pembeli tertarik dengan minyak labi-labi, Pembeli berhenti dan melihat-lihat barang yang diperdagangkan oleh Penjual. Terjadilah tawar menawar hingga Pembeli melakukan akad jual beli. 2. Praktik jual beli minyak labi yang berasal dari gajih/lemak

labi-labi yang diproses menjadi minyak. Yang tidak ditemukan dalil boleh, juga tidak ditemukan dalil larangan, maka ini kembali ke kaedah


(3)

91

hukum asal. Hukum asal dalam ranah adat dan muamalah adalah halal dan boleh.

Merujuk pada kaidah,

ءايْشأْا ىف لْصأْا

ةحابإْا

لْا ىلع لْيلَدلا َلدي ىَتح

مْيرْحَت

.

“Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan.”1

Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya jual beli minyak labi-labi ini merupakan jual beli yang diperbolehkan, disebabkan objek dari jual beli adalah minyak labi dengan bahan dasarnya hewan labi-labi yang tidak terdapat dalil larangan maka ini kembali ke kaedah hukum asal yakni diperbolehkan.

B. SARAN

Dari kesimpulan yang dipaparkan oleh Penulis, maka saran Penulis adalah hendaknya konsumen dan penjual tahu tentang hukum jual beli barang yang belum jelas halal dan haramnya, sehingga kelak apabila terjadi perselisihan diantara masyarakat tentang hukum jual beli minyak labi-labi maka mereka sudah mempunyai dasar hukum yang kuat.

1

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), 128-137.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ahmad. Bulughul Maram Min Adillah al-Ahkam. Izzudin Karimi. Jakarta: Darul Haq, 2015.

Alkaf, Abdullah Zaki. Beda Pendapat Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi, 2012.

Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Dzaqiyuddin. Mukhtashar Shahih Muslim. Pipih Imran Nutsani, Fitri Nurhayati. Solo: Insan Kamil, 2012.

Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Amri, Khairul. Khairuman. Labi-labi Komoditas Perikanan Multimanfaat.

Jakarta: AgroMedia Pustaka, 2002.

Az-Zubaidi, Imam. Ringkasan Shahih Bukhari. Arif Rahman Hakim. Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012.

Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassa. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz. Jilid 1. Jakarta: Almahira, 2010.

Az-Zuhaili, Wahbah. Terjemahan al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jilid 5. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Departemen Agama RI. Syaamil Qur’an Terjemah Tafsir Per Kata. Jakarta: Syaamil Qur‟an, 2007.

Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2006.

Fu‟ad Abdul Baqi, Muhammad. Al-Lu’Lul Wal Marjann Fiima Hafaqa

‘Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Muslim. Abu Firly Bassam Taqiy. Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2013.

Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel. Petunjuk Penulisan Skripsi. Surabaya: Fakultas Syariah, 2014.


(5)

93

Ensiklopedi Indonesia, Redaksi. Ensiklopedi Indonesia Seri fauna. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru – van Hoeve, 1988.

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gajah Media Pratama, 2000. Ibnu Muhammad Alu Syaikh, „Abdullah. Tafsir Ibnu Katsir. M. „Abdul

Ghoffar E. M.. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2008. Ibnu Mas‟ud, Zainal Abidin S., Maman Abd. Djaliel. Fiqih Madzhab

Syafi’i (Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Isa Asyur, Ahmad. Fiqih Islam Praktis Bab: Muamalah. Solo: Pustaka mantiq, 1995.

Mardani. Fiqih Ekonomi Syari’ah: Fiqih Muamalah. Jakarta: Kencana, 2013.

Optima Pictures. 4100 Fakta Paling Top Tentang Hewan. Jakarta: TransMedia Pustaka, 2012.

Purwoko, Andi “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Lutung Jawa (Studi Kasus Di Desa Trigonco Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo)”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016.

Rahman I. Doi, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Zainudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Rohman, Arif “Produksi Dan Jual Beli Kopi Cacing Di Kelurahan Tumenggungan Kabupaten Lamongan Dalam Perspektif Imam

Ma>lik Dan Ibnu H{azm”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Imam Ghozali Said, A. Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

Sahrani, Sohari dan Abdullah Ru‟fah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT


(6)

94

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA, cv., 2011.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Nor Hasanuddin.Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Sinta Maulana, Farit “Analisis Hukum Islam terhadap Jual-Beli Tanduk Rusa untuk Bahan Obat-obatan”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012.

Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: P.T. Berkat Mulia Insani, 2000.

Ungguh Muliawan, Jasa. Buku Pintar Binatang. Jogjakarta: Harmoni, 2011.

Warson Munawwir, Ahmad. Muhammad Fairuz, Al-Munawwir Edisi Indonesia-Arab, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2007.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Biawak. Diakses pada tanggal, 08 April 17. http://gedangan.sidoarjokab.go.id/Diakses tanggal, 18 Maret 2017

https://rumaysho.com/3022-meninggalkan-perkara-syubhat.html, Diakses pada tanggal, 30 Juli 17

http://faturjpr.blogspot.co.id/2016/10/asas-asas-muamalah-dalam-islam.html. Diakses pada tanggal 01 Agustus 17