Keterbelakangan Usaha Kecil dan peningkatan Otonomi Daerah - REVRIS
KETERBELAKANGAN USAHA KECIL
DAN PENINGKATAN OTONOMI DAERAH
Oleh: Revrisond Baswir
Kesenjangan antara usaha kecil dan usaha-usaha besar telah lama menjadi masalah serius dalam
perekonomian Indonesia. Pada tahun 1995 misalnya, sekitar 58% Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional diduga telah dikuasai hanya oleh 200 perusahaan konglomerasi besar yang berkantor pusat di
Jakarta. Sisanya, sebesar 24% dan 10%, masing-masing dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan usaha-usaha menengah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, yang tersisa bagi sekitar
40 juta unit usaha kecil hanya sekitar 8% (Damanhuri, 1995).
Walaupun demikian, fenomena keterbelakangan usaha kecil selama ini cenderung disalahpahami.
Ciri-ciri keterbelakangan usaha kecil seperti keterbatasan modal, rendahnya kualitas SDM, dan
lemahnya penguasaan teknologi, yang seharusnya diperlakukan sebagai akibat, justru dilihat sebagai
penyebab keterbelakangan usaha kecil (Baswir, 1995). Akibatnya, upaya penguatan usaha kecil sering
salah arah. Upaya penguatan usaha kecil cenderung bersifat karitatif. Sementara kendala struktural
yang menjadi penyebab keterbelakangan usaha kecil cenderung dibiarkan tanpa perubahan.
Faktor struktural apa sesungguhnya yang menjadi penyebab utama keterbelakangan usaha kecil? Apa
arti penting peningkatan otonomi daerah bagi penguatan usaha kecil? Tulisan ini bermaksud menjawab
pertanyaan tersebut. Uraian akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas
kendala-kendala struktural penyebab keterbelakangan usaha kecil di era Orde Baru. Bagian kedua
membahas arti penting peningkatan otonomi daerah, sebagaimana terungkap dalam UU No. 25/1999,
bagi penguatan usaha kecil. Bagian ketiga membahas tindakan yang perlu dilakukan untuk terus
mendorong proses penguatan usaha kecil di masa depan.
Keterbelakangan Usaha Kecil
Setidak-tidaknya terdapat lima kendala struktural yang menjadi penyebab utama keterbelakangan
usaha kecil di era Orde Baru. Pertama , diterapkannya strategi pembangunan neoliberal yang pro
pertumbuhan selama lebih dari 30 tahun. Implikasi penerapan strategi pembangunan yang sangat
mempercayai teori tetesan ke bawah (trickle down effect) itu adalah dilakukannya segala upaya untuk
memfasilitasi pengembangan usaha-usaha besar sebagai lokomotif pembangunan. Upaya-upaya itu bila
perlu dilakukan dengan mengorbankan usaha kecil. Paling jauh, usaha kecil diperlakukan semata-mata
sebagai katup pengaman penyediaan peluang kerja.
Logika utama yang mendasari strategi pembangunan neoliberal yang pro pertumbuhan adalah untuk
memperbesar kue pembangunan (PDB), pertumbuhan harus dilakukan mendahului pemerataan. Jika
tidak, sebagaimana sering dikemukakan oleh para penggagas strategi tersebut, tidak ada yang dapat
diratakan. Pemerataan yang tidak didahului dengan pertumbuhan diyakini tidak ada bedanya dengan
memeratakan kemiskinan. Implikasinya, dalam rangka penerapan strategi tersebut, usaha kecil dengan
sengaja diminta bersabar menunggu sampai kue pembangunan dipandang cukup besar untuk dibagi.
Kedua , dilakukannya sentralisasi pengelolaan keuangan negara oleh Jakarta (baca: pemerintah pusat).
Pada sisi penerimaan, jumlahnya mencapai 95% dari seluruh sumber penerimaan negara. Namun,
karena sekitar 30% sumber penerimaan dalam negeri yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah
terkonsentrasi di DKI Jakarta, praktis sumber-sumber penerimaan negara yang dikumpulkan oleh
pemda tingkat I dan II di luar Jakarta hanya tersisa sekitar 3,5%. Pada sisi belanja, jumlahnya meliputi
80% dari seluruh belanja negara yang dilakukan oleh pemerintah. Itu belum termasuk proyek-proyek
inpres yang dikendalikan secara sangat ketat oleh Jakarta (Baswir, 1999a).
Alasan sentralisasi pengelolaan keuangan negara itu adalah untuk memberi keleluasaan kepada
pemerintah menjalankan strategi pembangunan neoliberal yang dipilihnya. Kebijakan yang merupakan
penafsiran keliru dari konsep negara kesatuan tersebut memang sejalan dengan upaya pemerintah
untuk memfasilitasi pengembangan usaha-usaha besar sebagaimana dikehendaki strategi pembangunan
neoliberal. Implikasi sentralisasi pengelolaan keuangan negara itu adalah jatuhnya sebagian besar
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan ke tangan usaha besar. Sementara usaha kecil, yang
sebagian besar tersebar di luar wilayah Jakarta, sama sekali tidak memiliki peluang untuk menikmati
kucuran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan tersebut.
Ketiga , dilakukannya mobilisasi dana masyarakat secara besar-besaran oleh sektor perbankan untuk
turut memfasilitasi usaha-usaha besar yang kebanyakan berkantor pusat di Jakarta. Kebijakan
perbankan seperti Pakto 1988 misalnya, jelas bertujuan memperlancar penyedotan dana masyarakat.
Sekitar 80% tabungan masyarakat disalurkan sebagai kredit kepada usaha-usaha besar yang berkantor
pusat di Jakarta. Dengan demikian hanya tersisa sekitar 20% fasilitas pendanaan bagi seluruh pelaku
usaha yang berbasis di luar Jakarta. Jumlah dana yang sangat terbatas itulah yang turut diperebutkan
oleh usaha kecil di seluruh Indonesia.
Akibatnya, hampir sebagian besar usaha kecil di Indonesia menggantungkan fasilitas kebutuhan
dananya kepada para rentenir dengan suku buku yang cenderung mencekik leher. Oleh karena itu,
tidak aneh bila sebagian usaha kecil sebenarnya bekerja dengan struktur biaya merugi. Jangankan
memperoleh keuntungan, untuk memperoleh upah yang memenuhi standar Upah Minimum Regional
(UMR) pun tergolong sangat sulit bagi para pelaku usaha kecil. Celakanya, kenyataan itu justru dilihat
oleh lembaga-lembaga keuangan formal sebagai indikator sangat tingginya tingkat profabilitas usaha
kecil, sehingga mendorong mereka untuk memperlakukan usaha kecil sebagai objek pemerasan.
Keempat, merajalelanya kolusi antara para birokrat, pengusaha besar, dan para bankir. Kolusi tidak
jarang dilakukan secara terang-terangan dengan mengatasnamakan institusi negara. Hal itu misalnya
terjadi dalam pelaksanaan proyek mobnas yang melibatkan penerbitan inpres oleh mantan presiden
Soeharto, kepemilikan 100% PT Timor Putra Nasional (TPN) oleh Hutomo Mandala Putra, dan
pembiayaan proyek tersebut oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh Bank Bumi Daya
(BBD). Proyek inilah yang menyebabkan diperkarakannya Indonesia oleh masyarakat internasional
dalam forum World Trade Organisation (WTO).
Contoh lain yang tidak kalah seramnya adalah pembobolan Bapindo sebesar hampir Rp1,3 triliun oleh
Eddy Tanzil. Sebagaimana diketahui, kredit raksasa itu diperoleh Eddy Tanzil setelah ia mengantongi
katebelece yang diterbitkan oleh mantan ketua DPA Laksamana Sudomo. Belakangan, Eddy Tanzil
berhasil meloloskan diri dari penjara dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya. Kolusi antara pejabat
negara, pengusaha besar, dan para bankir inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kapitalisme
perkoncoan dan terpuruknya perekonomian Indonesia oleh terpaan badai krisis moneter. Celakanya,
praktek yang memboroskan ratusan triliun uang negara itu masih terus berlangsung hingga kini.
Kelima , dirampasnya hak-hak ekonomi usaha kecil dan rakyat kecil pada umumnya dengan
menggunakan cara-cara kekerasan. Hal ini tidak hanya dialami oleh para petani dalam berbagai kasus
pembebasan tanah, masyarakat adat dalam kasus eksplorasi sumberdaya hutan, atau oleh pedagang
pasar dalam kasus renovasi pasar yang dipaksakan tetapi juga dialami oleh para nelayan, penarik
becak, buruh, dan para pelaku ekonomi rakyat lainnya. Bahkan, bila ditelusuri lebih jauh, hak-hak
usaha kecil dan rakyat kecil yang dirampas oleh Orde Baru tidak terbatas hanya dalam bidang
ekonomi, tetapi meluas ke bidang politik.
Masyarakat desa sepanjang era Orde Baru diperlakukan sebagai massa mengambang. Oleh negara
mereka dimobilisasi melalui berbagai organisasi kemasyarakatan yang dikooptasi negara. Masyarakat
koperasi dikooptasi melalui UU Koperasi (No. 12/1967 dan No. 25/1992) serta hanya diperkenankan
membentuk Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang AD/ART-nya pun harus disahkan dengan
Inpres (Baswir, 1999b). Sedangkan buruh hanya diperkenankan memiliki Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI). Dampaknya, usaha kecil dan rakyat kecil pada umumnya tidak memiliki institusi
untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak mereka.
Peningkatan Otonomi Daerah
Berdasarkan kelima kendala struktural tersebut, dapat disaksikan betapa strategisnya arti peningkatan
otonomi daerah bagi penguatan usaha kecil. Secara teoritis peningkatan otonomi daerah (dan perbaikan
perimbangan keuangan pusat-daerah) akan memungkinkan terjadinya tiga hal berikut: Pertama ,
peningkatan peluang usaha kecil untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik
yang akan memberi peluang kepada usaha kecil untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingannya
dalam proses penentuan kebijakan publik. Dengan demikian, setidaknya, usaha kecil dapat melindungi
dirinya dari kemungkinan menjadi korban pelaksanaan kebijakan publik.
Kedua , peningkatan peluang usaha kecil untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaan berbagai
kegiatan ekonomi pemerintah. Perbaikan perimbangan keuangan pusat-daerah, terutama dalam arti
peningkatan alokasi pendapatan dan belanja negara ke daerah, dengan sendirinya akan memperluas
peluang pasar usaha kecil di setiap daerah. Ini tidak hanya berlaku bagi proyek-proyek pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi berlaku juga dalam pemenuhan kebutuhan belanja
rutinnya. Dengan meningkatnya peluang pasar usaha kecil di daerah, maka usaha kecil dapat
mengurangi ketergantungannya terhadap peluang pasar yang terdapat di Jakarta atau di kota-kota besar
propinsi lainnya.
Ketiga , peningkatan otonomi daerah yang disertai perbaikan perimbangan keuangan pusat-daerah akan
meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah. Kondisi ini selain akan meningkatkan jumlah uang yang
beredar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah juga akan membuka peluang bagi usaha
kecil untuk mendiversifikasi produk serta sasaran pasarnya. Lebih dari itu, juga akan meningkatkan
ketersediaan dana perbankan yang dapat diakses usaha kecil untuk memperkuat permodalannya.
Peluang teoritis yang ditawarkan dalam peningkatan otonomi daerah itu tentu tidak akan tercipta
begitu saja. Di satu pihak, hal itu sangat tergantung pada sejauh mana strategi pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah benar-benar berpihak pada penguatan usaha kecil. Di pihak lain, secara
lebih langsung, juga sangat bergantung pada sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah benar-benar
mengandung makna peningkatan alokasi pendapatan dan belanja negara kepada pemerintah daerah.
Sehubungan dengan itu, dua dokumen penting yang perlu dicermati lebih jauh yaitu Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004 dan UU No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (UU PKPD).
GBHN adalah dokumen resmi dasar-dasar strategi pembangunan nasional yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah. Di masa Orde Baru, GBHN jelas sekali mengamanatkan dilaksanakannya strategi
pembangunan neoliberal yang pro pertumbuhan. Hal itu antara lain tampak dengan ditempatkannya
pertumbuhan pada urutan pertama trilogi pembangunan sebelum Pelita III. Sejak Pelita III, menyusul
pecahnya peristiwa Malari pada tahun 1974, Orde Baru memang mengubah urutan trilogi
pembangunan dengan menempatkan pemerataan pada urutan pertama. Namun, tindakan itu tidak
disertai dengan perombakan strategi pembangunan secara mendasar. Pertumbuhan ekonomi,
sebagaimana terus disosialisasikan dalam proses perkuliahan di perguruan tinggi, tetap diperlakukan
sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan.
Pasca kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, terjadi perubahan mendasar dalam format dan
substansi GBHN. Dari segi format, GBHN 1999 - 2004 cenderung lebih ringkas dan tidak lagi secara
khusus berbicara mengenai trilogi pembangunan. Dari segi substansi, khususnya mengenai
pembangunan ekonomi, GBHN 1999 - 2004 dengan tegas mengamanatkan penyelenggaraan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Pertanyaannya adalah, di
tengah ketergantungan Indonesia terhadap program penyesuaian struktural yang digariskan oleh IMF,
sejauh manakah pemerintahan Gus Dur beserta segenap anggota kabinetnya memiliki kesungguhan
untuk memenuhi amanat tersebut?
Sebagaimana diketahui, program penyesuaian struktural yang diusulkan IMF justru cenderung
menggiring pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia ke penerapan sistem ekonomi pasar liberal.
IMF mendorong pemerintah menyerahkan harga semua komoditi kepada mekanisme pasar dan
menswastakan sebagian besar BUMN. Desakan masyarakat agar pemerintah tidak tunduk begitu saja
terhadap agenda-agenda IMF tampaknya masih sulit dipenuhi. Selain pengaruh ekonom-ekonom
neoliberal dalam pemerintahan Gus Dur masih cukup dominan, ketergantungan proses pemulihan
ekonomi Indonesia terhadap utang luar negeri tampaknya cenderung memaksa pemerintah
memperlakukan GBHN hanya sebagai macan kertas. Dengan demikian, sistem perekonomian
Indonesia di masa depan cenderung mengarah ke sistem ekonomi pasar liberal, bukan ke sistem
ekonomi kerakyatan.
Kendala serius penguatan usaha kecil juga akan muncul dari resistensi Jakarta untuk
mendesentralisasikan pengelolaan keuangan negara kepada daerah. Walaupun pasca kejatuhan
Soeharto pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan otonomi daerah yang
dibuktikan dengan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, tetapi resistensi Jakarta untuk
mendesentralisasikan pengelolaan keuangan negara kepada daerah masih terlalu kuat. Hal itu tidak
hanya tampak pada alotnya proses penyusunan UU No. 25/1999 dalam era pemerintahan Habibie,
tetapi juga dari kesepakatan terakhir antara DPR dan pemerintah mengenai kandungan UU tersebut.
Dalam proses penyusunan UU No. 25/1999, terdapat dua versi draft RUU yang disiapkan oleh dua
intansi berbeda dengan substansi yang berbeda pula. Draft pertama disusun oleh Departemen Dalam
Negeri. Dalam draft RUU yang terdiri dari 21 pasal tersebut, terdapat sejumlah pasal yang secara
eksplisit mengatur pengalokasian sumber-sumber penerimaan negara ke daerah. Yang terpenting di
antaranya adalah pasal 3, 4 dan 7. Dalam pasal 3 dikemukakan mengenai sumber-sumber penerimaan
negara yang akan menjadi dasar perimbangan pusat daerah yaitu: dana perimbangan, bagi hasil pajak
dan bukan pajak, pajak tambahan, fasilitas pajak, dan pinjaman daerah. Menurut pasal 4, jumlah dana
perimbangan yang akan dialokasikan ke daerah meliputi 55% - 75% dari realisasi Penerimaan Dalam
Negeri dalam APBN. Sedangkan menurut pasal 7, 20% penerimaan pajak dan bukan pajak dari sektor
perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan laut, dan industri besar, akan disalurkan langsung ke
kas daerah penghasil (Depdagri, 1998).
Draft kedua disusun oleh Departemen Keuangan. Dalam draft ini pos bagi hasil pajak dan bukan pajak
sebagai sumber pendapatan asli daerah dihapuskan dan pemerintah hanya mengakui tiga hal yang
menjadi sumber dana perimbangan pusat daerah yaitu: (a) bagian daerah dari PBB, Bea Perolehan atas
Tanah dan Bangunan, dan dari sumberdaya alam; (b) dana alokasi umum; dan (c) dana alokasi khusus.
Draft kedua ini sama sekali tidak berbicara mengenai angka, karena masalah tersebut akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kesepakatan terakhir antara DPR dan pemerintah ketika itu memang berhasil menetapkan tujuh pos
penerimaan pusat yang akan dijadikan dasar penentuan volume subsidi daerah yaitu: Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) 90%, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 80%, sumberdaya
hutan, pertambangan umum dan perikanan masing-masing 80%, pertambangan minyak bumi dan gas
alam masing-masing 15% dan 30% (setelah dikurangi pajak), dana alokasi umum 25% dari
penerimaan dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam APBN, dan dana alokasi khusus seperti dana
reboisasi 40%.
Dikarenakan ketentuan-ketentuan tersebut hanya berbicara mengenai metode penentuan alokasi subsidi
ke daerah, maka implikasinya terhadap peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dapat diabaikan
karena hanya akan meningkatkan volume belanja daerah dari 20% menjadi 25%. Artinya, volume
penerimaan negara yang akan dipungut Jakarta masih akan mencapai 95%. Pada sisi belanja, sekitar
75% belanja negara masih akan dilakukan secara langsung oleh Jakarta. Dengan masih
tersentralisasinya pengumpulan penerimaan negara di tangan Jakarta, UU No. 25/1999 sesungguhnya
lebih tepat disebut sebagai UU Subsidi Daerah, bukan UU PKPD (Baswir, 1999c). Dengan demikian,
secara struktural, penguatan usaha kecil masih akan tetap menghadapi kendala.
Strategi Pembangunan Kerakyatan
Bertolak dari uraian tersebut, dapat disaksikan betapa perubahan ekonomi-politik yang terjadi
belakangan, khususnya pembaharuan GBHN dan penerbitan UU No. 25/1999, secara struktural belum
sepenuhnya menyediakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan usaha kecil. Oleh karena itu,
dorongan untuk melakukan perombakan struktural agar dapat mempercepat proses penguatan usaha
kecil tidak dapat dielakkan lagi. Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah orientasi
pembangunan ekonomi nasional dari neoliberal menjadi kerakyatan.
Acuan utama strategi pembangunan kerakyatan adalah peningkatan partisipasi produktif masyarakat
pada semua tahap pembangunan. Proses ini mensyaratkan peningkatan penguasaan masyarakat
terhadap modal, baik modal material (material capital), modal kemanusiaan (human capital), mapun
modal kelembagaan (institisional capital). Semakin tinggi tingkat penguasaan masyarakat terhadap
modal, semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengawasi pembangunan.
Strategi pembangunan kerakyatan ini sama sekali tidak mengabaikan efisiensi dan tidak bersifat anti
pasar. Efisiensi dalam strategi pembangunan kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka
pendek dan berdimensi keuangan, tetapi dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan
aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, serta kesinambungan pembangunan.
Artinya, selain bersifat demokratis, politik pembangunan kerakyatan juga sangat mementingkan
wawasan lingkungan. Strategi pembangunan kerakyatan memang tidak didasarkan pada pemerataan,
pertumbuhan, dan stabilitas, tetapi pada prinsip keadilan, partisipasi, dan kesinambungan
pembangunan.
Sejumlah agenda konkrit yang perlu dilakukan dalam rangka pelaksanaan strategi pembangunan
kerakyatan adalah (Baswir, opcit., 1999a): Pertama , terus mendorong desentralisasi pengelolaan
keuangan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan baik dengan terus
menyempurnakan kebijakan fiskal (UU PKPD, UU Perpajakan, serta UU Pajak dan Retribusi Daerah)
maupun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah sebagai pemilik saham perusahaan-perusahaan
eksplorasi sumber daya alam di daerah. Dengan demikian, warga masyarakat yang diwakili oleh
pemerintah daerah secara otomatis turut menikmati bagian keuntungan perusahaan sesuai porsi
kepemilikannya. Selain itu, melalui peranan DPRD, masyarakat daerah akan memiliki peluang untuk
secara langsung mengawasi sepak terjang perusahaan-perusahaan tersebut.
Kedua , redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap dan masyarakat adat.
Penguasaan lahan pertanian secara berlebihan oleh segelintir petani berdasi sebagaimana terjadi selama
ini harus segera diakhiri. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA) 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan
pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil penertiban dan
pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan
negara lainnya, harus didistribusikan kembali kepada para petani penggarap dan masyarakat adat yang
memang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengolah lahan pertanian.
Ketiga , terus mendorong pendirian serikat buruh dan yayasan dana pensiun di setiap perusahaan swasta
besar. Setiap perusahaan swasta kemudian harus membuka diri seluas-luasnya untuk mengikutsertakan
yayasan-yayasan dana pensiun tersebut sebagai pemilik saham perusahaan. Bila perlu, dibuat
ketentuan bahwa kepemilikan saham yayasan sekurang-kurangnya 10 persen. Dengan cara itu, para
pekerja di perusahaan swasta besar secara otomatis akan turut memiliki saham perusahaan tempat
mereka bekerja. Dengan demikian, para karyawan yang notabene adalah bagian dari rakyat Indonesia
akan turut menikmati bagian keuntungan dan mengawasi kegiatan perusahaan sesuai kepentingan para
karyawan serta rakyat Indonesia pada umumnya.
Keempat, pendirian koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang kegiatan. Koperasi-koperasi sejati
ini tentu tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang keanggotaannya
bersifat terbatas dan tertutup. Koperasi-koperasi sejati adalah perusahaan yang modalnya dimiliki
secara bersama-sama oleh seluruh pelanggan dan pekerjanya. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah
perusahaan yang tidak mengenal diskriminasi suku, agama, ras, dan atau golongan dalam penentuan
kriteria keanggotaannya. Sehubungan dengan itu, UU Koperasi harus segera diperbaharui dan
penetapan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus segera diakhiri.
Kelima , terus mendorong penciptaan pemerintahan yang bersih dan transparan di Indonesia.
Penyetaraan dan pembagian fungsi yang jelas antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus
segera dilaksanakan. Sedangkan keberadaan anggota TNI/Polri di DPR harus segera dihapuskan.
Sejalan dengan itu, tumpang tindih pelaksanaan pengawasan fungsional juga harus segera diakhiri
kemudian diserahkan langsung sebagai kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan sebagai satu
kesatuan akuntansi yang otonom. Untuk itu, pembubaran Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan penggabungannya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) layak
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, Didin (1995), "Konglomerasi, Kesenjangan, dan Persaingan Global," dalam
Harian Media Indonesia . Tanggal 26 Oktober. Jakarta.
Baswir, Revrisond (1995), "Industri Kecil dan Konglomerasi di Indonesia; Prospek Kemitraan," dalam
Prisma No. 10. Jakarta: LP3ES.
_________________ (1999a), Menuju Politik Pembangunan Kerakyatan, dalam Jurnal Bisnis &
Ekonomi Politik Vol. 3. Nomor 2, April. Jakarta:Indef.
_________________ (1999b), “Agenda Reformasi Koperasi” dalam Suara Pembaharuan. Tanggal 10
Juli. Jakarta.
_________________ (1999c), Penjarahan Daerah dan UU No. 25/1999, makalah tidak dipublikasikan,
disajikan dalam Seminar Nasional Menyongsong Otonomi Daerah yang diselenggarakan oleh INSIST
bekerjasama dengan IRRI-Pact. Tanggal 22 Desember 1999. Yogyakarta.
_________________ (1998), Draft Rancangan Undang Undang Tentang Perimbangan Keuangan
Pusat Daerah. Jakarta: Depdagri.
_________________ (1960), UU No. 20/1960 tentang Pokok-pokok Agraria
_________________ (1992), UU No. 25/1992 tentang Pokok-pokok Perkoperasian
_________________ (1999), Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara
_________________ (1999), UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah
Penulis adalah dosen FE UGM, Yogyakarta lulus tahun 1983. Memperoleh MBA dalam bidang
General Business dari Universitas Western Michigan, AS, 1991. Mengikuti Local Government
Financial Management Trainning di Institute for Local Government Studies, Universitas Birmingham,
Inggris, 1994. Selain mengajar di UGM, saat ini juga menjadi direktur pada Institute of Development
and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta, dan anggota Steering Committee Indonesian NGO
Forum on Indonesian Development (INFID) Jakarta.
DAN PENINGKATAN OTONOMI DAERAH
Oleh: Revrisond Baswir
Kesenjangan antara usaha kecil dan usaha-usaha besar telah lama menjadi masalah serius dalam
perekonomian Indonesia. Pada tahun 1995 misalnya, sekitar 58% Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional diduga telah dikuasai hanya oleh 200 perusahaan konglomerasi besar yang berkantor pusat di
Jakarta. Sisanya, sebesar 24% dan 10%, masing-masing dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan usaha-usaha menengah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, yang tersisa bagi sekitar
40 juta unit usaha kecil hanya sekitar 8% (Damanhuri, 1995).
Walaupun demikian, fenomena keterbelakangan usaha kecil selama ini cenderung disalahpahami.
Ciri-ciri keterbelakangan usaha kecil seperti keterbatasan modal, rendahnya kualitas SDM, dan
lemahnya penguasaan teknologi, yang seharusnya diperlakukan sebagai akibat, justru dilihat sebagai
penyebab keterbelakangan usaha kecil (Baswir, 1995). Akibatnya, upaya penguatan usaha kecil sering
salah arah. Upaya penguatan usaha kecil cenderung bersifat karitatif. Sementara kendala struktural
yang menjadi penyebab keterbelakangan usaha kecil cenderung dibiarkan tanpa perubahan.
Faktor struktural apa sesungguhnya yang menjadi penyebab utama keterbelakangan usaha kecil? Apa
arti penting peningkatan otonomi daerah bagi penguatan usaha kecil? Tulisan ini bermaksud menjawab
pertanyaan tersebut. Uraian akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas
kendala-kendala struktural penyebab keterbelakangan usaha kecil di era Orde Baru. Bagian kedua
membahas arti penting peningkatan otonomi daerah, sebagaimana terungkap dalam UU No. 25/1999,
bagi penguatan usaha kecil. Bagian ketiga membahas tindakan yang perlu dilakukan untuk terus
mendorong proses penguatan usaha kecil di masa depan.
Keterbelakangan Usaha Kecil
Setidak-tidaknya terdapat lima kendala struktural yang menjadi penyebab utama keterbelakangan
usaha kecil di era Orde Baru. Pertama , diterapkannya strategi pembangunan neoliberal yang pro
pertumbuhan selama lebih dari 30 tahun. Implikasi penerapan strategi pembangunan yang sangat
mempercayai teori tetesan ke bawah (trickle down effect) itu adalah dilakukannya segala upaya untuk
memfasilitasi pengembangan usaha-usaha besar sebagai lokomotif pembangunan. Upaya-upaya itu bila
perlu dilakukan dengan mengorbankan usaha kecil. Paling jauh, usaha kecil diperlakukan semata-mata
sebagai katup pengaman penyediaan peluang kerja.
Logika utama yang mendasari strategi pembangunan neoliberal yang pro pertumbuhan adalah untuk
memperbesar kue pembangunan (PDB), pertumbuhan harus dilakukan mendahului pemerataan. Jika
tidak, sebagaimana sering dikemukakan oleh para penggagas strategi tersebut, tidak ada yang dapat
diratakan. Pemerataan yang tidak didahului dengan pertumbuhan diyakini tidak ada bedanya dengan
memeratakan kemiskinan. Implikasinya, dalam rangka penerapan strategi tersebut, usaha kecil dengan
sengaja diminta bersabar menunggu sampai kue pembangunan dipandang cukup besar untuk dibagi.
Kedua , dilakukannya sentralisasi pengelolaan keuangan negara oleh Jakarta (baca: pemerintah pusat).
Pada sisi penerimaan, jumlahnya mencapai 95% dari seluruh sumber penerimaan negara. Namun,
karena sekitar 30% sumber penerimaan dalam negeri yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah
terkonsentrasi di DKI Jakarta, praktis sumber-sumber penerimaan negara yang dikumpulkan oleh
pemda tingkat I dan II di luar Jakarta hanya tersisa sekitar 3,5%. Pada sisi belanja, jumlahnya meliputi
80% dari seluruh belanja negara yang dilakukan oleh pemerintah. Itu belum termasuk proyek-proyek
inpres yang dikendalikan secara sangat ketat oleh Jakarta (Baswir, 1999a).
Alasan sentralisasi pengelolaan keuangan negara itu adalah untuk memberi keleluasaan kepada
pemerintah menjalankan strategi pembangunan neoliberal yang dipilihnya. Kebijakan yang merupakan
penafsiran keliru dari konsep negara kesatuan tersebut memang sejalan dengan upaya pemerintah
untuk memfasilitasi pengembangan usaha-usaha besar sebagaimana dikehendaki strategi pembangunan
neoliberal. Implikasi sentralisasi pengelolaan keuangan negara itu adalah jatuhnya sebagian besar
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan ke tangan usaha besar. Sementara usaha kecil, yang
sebagian besar tersebar di luar wilayah Jakarta, sama sekali tidak memiliki peluang untuk menikmati
kucuran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan tersebut.
Ketiga , dilakukannya mobilisasi dana masyarakat secara besar-besaran oleh sektor perbankan untuk
turut memfasilitasi usaha-usaha besar yang kebanyakan berkantor pusat di Jakarta. Kebijakan
perbankan seperti Pakto 1988 misalnya, jelas bertujuan memperlancar penyedotan dana masyarakat.
Sekitar 80% tabungan masyarakat disalurkan sebagai kredit kepada usaha-usaha besar yang berkantor
pusat di Jakarta. Dengan demikian hanya tersisa sekitar 20% fasilitas pendanaan bagi seluruh pelaku
usaha yang berbasis di luar Jakarta. Jumlah dana yang sangat terbatas itulah yang turut diperebutkan
oleh usaha kecil di seluruh Indonesia.
Akibatnya, hampir sebagian besar usaha kecil di Indonesia menggantungkan fasilitas kebutuhan
dananya kepada para rentenir dengan suku buku yang cenderung mencekik leher. Oleh karena itu,
tidak aneh bila sebagian usaha kecil sebenarnya bekerja dengan struktur biaya merugi. Jangankan
memperoleh keuntungan, untuk memperoleh upah yang memenuhi standar Upah Minimum Regional
(UMR) pun tergolong sangat sulit bagi para pelaku usaha kecil. Celakanya, kenyataan itu justru dilihat
oleh lembaga-lembaga keuangan formal sebagai indikator sangat tingginya tingkat profabilitas usaha
kecil, sehingga mendorong mereka untuk memperlakukan usaha kecil sebagai objek pemerasan.
Keempat, merajalelanya kolusi antara para birokrat, pengusaha besar, dan para bankir. Kolusi tidak
jarang dilakukan secara terang-terangan dengan mengatasnamakan institusi negara. Hal itu misalnya
terjadi dalam pelaksanaan proyek mobnas yang melibatkan penerbitan inpres oleh mantan presiden
Soeharto, kepemilikan 100% PT Timor Putra Nasional (TPN) oleh Hutomo Mandala Putra, dan
pembiayaan proyek tersebut oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh Bank Bumi Daya
(BBD). Proyek inilah yang menyebabkan diperkarakannya Indonesia oleh masyarakat internasional
dalam forum World Trade Organisation (WTO).
Contoh lain yang tidak kalah seramnya adalah pembobolan Bapindo sebesar hampir Rp1,3 triliun oleh
Eddy Tanzil. Sebagaimana diketahui, kredit raksasa itu diperoleh Eddy Tanzil setelah ia mengantongi
katebelece yang diterbitkan oleh mantan ketua DPA Laksamana Sudomo. Belakangan, Eddy Tanzil
berhasil meloloskan diri dari penjara dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya. Kolusi antara pejabat
negara, pengusaha besar, dan para bankir inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kapitalisme
perkoncoan dan terpuruknya perekonomian Indonesia oleh terpaan badai krisis moneter. Celakanya,
praktek yang memboroskan ratusan triliun uang negara itu masih terus berlangsung hingga kini.
Kelima , dirampasnya hak-hak ekonomi usaha kecil dan rakyat kecil pada umumnya dengan
menggunakan cara-cara kekerasan. Hal ini tidak hanya dialami oleh para petani dalam berbagai kasus
pembebasan tanah, masyarakat adat dalam kasus eksplorasi sumberdaya hutan, atau oleh pedagang
pasar dalam kasus renovasi pasar yang dipaksakan tetapi juga dialami oleh para nelayan, penarik
becak, buruh, dan para pelaku ekonomi rakyat lainnya. Bahkan, bila ditelusuri lebih jauh, hak-hak
usaha kecil dan rakyat kecil yang dirampas oleh Orde Baru tidak terbatas hanya dalam bidang
ekonomi, tetapi meluas ke bidang politik.
Masyarakat desa sepanjang era Orde Baru diperlakukan sebagai massa mengambang. Oleh negara
mereka dimobilisasi melalui berbagai organisasi kemasyarakatan yang dikooptasi negara. Masyarakat
koperasi dikooptasi melalui UU Koperasi (No. 12/1967 dan No. 25/1992) serta hanya diperkenankan
membentuk Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang AD/ART-nya pun harus disahkan dengan
Inpres (Baswir, 1999b). Sedangkan buruh hanya diperkenankan memiliki Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI). Dampaknya, usaha kecil dan rakyat kecil pada umumnya tidak memiliki institusi
untuk memperjuangkan perlindungan hak-hak mereka.
Peningkatan Otonomi Daerah
Berdasarkan kelima kendala struktural tersebut, dapat disaksikan betapa strategisnya arti peningkatan
otonomi daerah bagi penguatan usaha kecil. Secara teoritis peningkatan otonomi daerah (dan perbaikan
perimbangan keuangan pusat-daerah) akan memungkinkan terjadinya tiga hal berikut: Pertama ,
peningkatan peluang usaha kecil untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik
yang akan memberi peluang kepada usaha kecil untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingannya
dalam proses penentuan kebijakan publik. Dengan demikian, setidaknya, usaha kecil dapat melindungi
dirinya dari kemungkinan menjadi korban pelaksanaan kebijakan publik.
Kedua , peningkatan peluang usaha kecil untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaan berbagai
kegiatan ekonomi pemerintah. Perbaikan perimbangan keuangan pusat-daerah, terutama dalam arti
peningkatan alokasi pendapatan dan belanja negara ke daerah, dengan sendirinya akan memperluas
peluang pasar usaha kecil di setiap daerah. Ini tidak hanya berlaku bagi proyek-proyek pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi berlaku juga dalam pemenuhan kebutuhan belanja
rutinnya. Dengan meningkatnya peluang pasar usaha kecil di daerah, maka usaha kecil dapat
mengurangi ketergantungannya terhadap peluang pasar yang terdapat di Jakarta atau di kota-kota besar
propinsi lainnya.
Ketiga , peningkatan otonomi daerah yang disertai perbaikan perimbangan keuangan pusat-daerah akan
meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah. Kondisi ini selain akan meningkatkan jumlah uang yang
beredar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah juga akan membuka peluang bagi usaha
kecil untuk mendiversifikasi produk serta sasaran pasarnya. Lebih dari itu, juga akan meningkatkan
ketersediaan dana perbankan yang dapat diakses usaha kecil untuk memperkuat permodalannya.
Peluang teoritis yang ditawarkan dalam peningkatan otonomi daerah itu tentu tidak akan tercipta
begitu saja. Di satu pihak, hal itu sangat tergantung pada sejauh mana strategi pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah benar-benar berpihak pada penguatan usaha kecil. Di pihak lain, secara
lebih langsung, juga sangat bergantung pada sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah benar-benar
mengandung makna peningkatan alokasi pendapatan dan belanja negara kepada pemerintah daerah.
Sehubungan dengan itu, dua dokumen penting yang perlu dicermati lebih jauh yaitu Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 - 2004 dan UU No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (UU PKPD).
GBHN adalah dokumen resmi dasar-dasar strategi pembangunan nasional yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah. Di masa Orde Baru, GBHN jelas sekali mengamanatkan dilaksanakannya strategi
pembangunan neoliberal yang pro pertumbuhan. Hal itu antara lain tampak dengan ditempatkannya
pertumbuhan pada urutan pertama trilogi pembangunan sebelum Pelita III. Sejak Pelita III, menyusul
pecahnya peristiwa Malari pada tahun 1974, Orde Baru memang mengubah urutan trilogi
pembangunan dengan menempatkan pemerataan pada urutan pertama. Namun, tindakan itu tidak
disertai dengan perombakan strategi pembangunan secara mendasar. Pertumbuhan ekonomi,
sebagaimana terus disosialisasikan dalam proses perkuliahan di perguruan tinggi, tetap diperlakukan
sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan.
Pasca kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, terjadi perubahan mendasar dalam format dan
substansi GBHN. Dari segi format, GBHN 1999 - 2004 cenderung lebih ringkas dan tidak lagi secara
khusus berbicara mengenai trilogi pembangunan. Dari segi substansi, khususnya mengenai
pembangunan ekonomi, GBHN 1999 - 2004 dengan tegas mengamanatkan penyelenggaraan sistem
ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Pertanyaannya adalah, di
tengah ketergantungan Indonesia terhadap program penyesuaian struktural yang digariskan oleh IMF,
sejauh manakah pemerintahan Gus Dur beserta segenap anggota kabinetnya memiliki kesungguhan
untuk memenuhi amanat tersebut?
Sebagaimana diketahui, program penyesuaian struktural yang diusulkan IMF justru cenderung
menggiring pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia ke penerapan sistem ekonomi pasar liberal.
IMF mendorong pemerintah menyerahkan harga semua komoditi kepada mekanisme pasar dan
menswastakan sebagian besar BUMN. Desakan masyarakat agar pemerintah tidak tunduk begitu saja
terhadap agenda-agenda IMF tampaknya masih sulit dipenuhi. Selain pengaruh ekonom-ekonom
neoliberal dalam pemerintahan Gus Dur masih cukup dominan, ketergantungan proses pemulihan
ekonomi Indonesia terhadap utang luar negeri tampaknya cenderung memaksa pemerintah
memperlakukan GBHN hanya sebagai macan kertas. Dengan demikian, sistem perekonomian
Indonesia di masa depan cenderung mengarah ke sistem ekonomi pasar liberal, bukan ke sistem
ekonomi kerakyatan.
Kendala serius penguatan usaha kecil juga akan muncul dari resistensi Jakarta untuk
mendesentralisasikan pengelolaan keuangan negara kepada daerah. Walaupun pasca kejatuhan
Soeharto pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan otonomi daerah yang
dibuktikan dengan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, tetapi resistensi Jakarta untuk
mendesentralisasikan pengelolaan keuangan negara kepada daerah masih terlalu kuat. Hal itu tidak
hanya tampak pada alotnya proses penyusunan UU No. 25/1999 dalam era pemerintahan Habibie,
tetapi juga dari kesepakatan terakhir antara DPR dan pemerintah mengenai kandungan UU tersebut.
Dalam proses penyusunan UU No. 25/1999, terdapat dua versi draft RUU yang disiapkan oleh dua
intansi berbeda dengan substansi yang berbeda pula. Draft pertama disusun oleh Departemen Dalam
Negeri. Dalam draft RUU yang terdiri dari 21 pasal tersebut, terdapat sejumlah pasal yang secara
eksplisit mengatur pengalokasian sumber-sumber penerimaan negara ke daerah. Yang terpenting di
antaranya adalah pasal 3, 4 dan 7. Dalam pasal 3 dikemukakan mengenai sumber-sumber penerimaan
negara yang akan menjadi dasar perimbangan pusat daerah yaitu: dana perimbangan, bagi hasil pajak
dan bukan pajak, pajak tambahan, fasilitas pajak, dan pinjaman daerah. Menurut pasal 4, jumlah dana
perimbangan yang akan dialokasikan ke daerah meliputi 55% - 75% dari realisasi Penerimaan Dalam
Negeri dalam APBN. Sedangkan menurut pasal 7, 20% penerimaan pajak dan bukan pajak dari sektor
perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan laut, dan industri besar, akan disalurkan langsung ke
kas daerah penghasil (Depdagri, 1998).
Draft kedua disusun oleh Departemen Keuangan. Dalam draft ini pos bagi hasil pajak dan bukan pajak
sebagai sumber pendapatan asli daerah dihapuskan dan pemerintah hanya mengakui tiga hal yang
menjadi sumber dana perimbangan pusat daerah yaitu: (a) bagian daerah dari PBB, Bea Perolehan atas
Tanah dan Bangunan, dan dari sumberdaya alam; (b) dana alokasi umum; dan (c) dana alokasi khusus.
Draft kedua ini sama sekali tidak berbicara mengenai angka, karena masalah tersebut akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kesepakatan terakhir antara DPR dan pemerintah ketika itu memang berhasil menetapkan tujuh pos
penerimaan pusat yang akan dijadikan dasar penentuan volume subsidi daerah yaitu: Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) 90%, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 80%, sumberdaya
hutan, pertambangan umum dan perikanan masing-masing 80%, pertambangan minyak bumi dan gas
alam masing-masing 15% dan 30% (setelah dikurangi pajak), dana alokasi umum 25% dari
penerimaan dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam APBN, dan dana alokasi khusus seperti dana
reboisasi 40%.
Dikarenakan ketentuan-ketentuan tersebut hanya berbicara mengenai metode penentuan alokasi subsidi
ke daerah, maka implikasinya terhadap peningkatan Pendapatan Asli daerah (PAD) dapat diabaikan
karena hanya akan meningkatkan volume belanja daerah dari 20% menjadi 25%. Artinya, volume
penerimaan negara yang akan dipungut Jakarta masih akan mencapai 95%. Pada sisi belanja, sekitar
75% belanja negara masih akan dilakukan secara langsung oleh Jakarta. Dengan masih
tersentralisasinya pengumpulan penerimaan negara di tangan Jakarta, UU No. 25/1999 sesungguhnya
lebih tepat disebut sebagai UU Subsidi Daerah, bukan UU PKPD (Baswir, 1999c). Dengan demikian,
secara struktural, penguatan usaha kecil masih akan tetap menghadapi kendala.
Strategi Pembangunan Kerakyatan
Bertolak dari uraian tersebut, dapat disaksikan betapa perubahan ekonomi-politik yang terjadi
belakangan, khususnya pembaharuan GBHN dan penerbitan UU No. 25/1999, secara struktural belum
sepenuhnya menyediakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan usaha kecil. Oleh karena itu,
dorongan untuk melakukan perombakan struktural agar dapat mempercepat proses penguatan usaha
kecil tidak dapat dielakkan lagi. Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah orientasi
pembangunan ekonomi nasional dari neoliberal menjadi kerakyatan.
Acuan utama strategi pembangunan kerakyatan adalah peningkatan partisipasi produktif masyarakat
pada semua tahap pembangunan. Proses ini mensyaratkan peningkatan penguasaan masyarakat
terhadap modal, baik modal material (material capital), modal kemanusiaan (human capital), mapun
modal kelembagaan (institisional capital). Semakin tinggi tingkat penguasaan masyarakat terhadap
modal, semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengawasi pembangunan.
Strategi pembangunan kerakyatan ini sama sekali tidak mengabaikan efisiensi dan tidak bersifat anti
pasar. Efisiensi dalam strategi pembangunan kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka
pendek dan berdimensi keuangan, tetapi dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan
aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, serta kesinambungan pembangunan.
Artinya, selain bersifat demokratis, politik pembangunan kerakyatan juga sangat mementingkan
wawasan lingkungan. Strategi pembangunan kerakyatan memang tidak didasarkan pada pemerataan,
pertumbuhan, dan stabilitas, tetapi pada prinsip keadilan, partisipasi, dan kesinambungan
pembangunan.
Sejumlah agenda konkrit yang perlu dilakukan dalam rangka pelaksanaan strategi pembangunan
kerakyatan adalah (Baswir, opcit., 1999a): Pertama , terus mendorong desentralisasi pengelolaan
keuangan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan baik dengan terus
menyempurnakan kebijakan fiskal (UU PKPD, UU Perpajakan, serta UU Pajak dan Retribusi Daerah)
maupun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah sebagai pemilik saham perusahaan-perusahaan
eksplorasi sumber daya alam di daerah. Dengan demikian, warga masyarakat yang diwakili oleh
pemerintah daerah secara otomatis turut menikmati bagian keuntungan perusahaan sesuai porsi
kepemilikannya. Selain itu, melalui peranan DPRD, masyarakat daerah akan memiliki peluang untuk
secara langsung mengawasi sepak terjang perusahaan-perusahaan tersebut.
Kedua , redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap dan masyarakat adat.
Penguasaan lahan pertanian secara berlebihan oleh segelintir petani berdasi sebagaimana terjadi selama
ini harus segera diakhiri. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA) 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan
pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil penertiban dan
pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan
negara lainnya, harus didistribusikan kembali kepada para petani penggarap dan masyarakat adat yang
memang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengolah lahan pertanian.
Ketiga , terus mendorong pendirian serikat buruh dan yayasan dana pensiun di setiap perusahaan swasta
besar. Setiap perusahaan swasta kemudian harus membuka diri seluas-luasnya untuk mengikutsertakan
yayasan-yayasan dana pensiun tersebut sebagai pemilik saham perusahaan. Bila perlu, dibuat
ketentuan bahwa kepemilikan saham yayasan sekurang-kurangnya 10 persen. Dengan cara itu, para
pekerja di perusahaan swasta besar secara otomatis akan turut memiliki saham perusahaan tempat
mereka bekerja. Dengan demikian, para karyawan yang notabene adalah bagian dari rakyat Indonesia
akan turut menikmati bagian keuntungan dan mengawasi kegiatan perusahaan sesuai kepentingan para
karyawan serta rakyat Indonesia pada umumnya.
Keempat, pendirian koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang kegiatan. Koperasi-koperasi sejati
ini tentu tidak sama dengan koperasi 'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang keanggotaannya
bersifat terbatas dan tertutup. Koperasi-koperasi sejati adalah perusahaan yang modalnya dimiliki
secara bersama-sama oleh seluruh pelanggan dan pekerjanya. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah
perusahaan yang tidak mengenal diskriminasi suku, agama, ras, dan atau golongan dalam penentuan
kriteria keanggotaannya. Sehubungan dengan itu, UU Koperasi harus segera diperbaharui dan
penetapan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus segera diakhiri.
Kelima , terus mendorong penciptaan pemerintahan yang bersih dan transparan di Indonesia.
Penyetaraan dan pembagian fungsi yang jelas antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus
segera dilaksanakan. Sedangkan keberadaan anggota TNI/Polri di DPR harus segera dihapuskan.
Sejalan dengan itu, tumpang tindih pelaksanaan pengawasan fungsional juga harus segera diakhiri
kemudian diserahkan langsung sebagai kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan sebagai satu
kesatuan akuntansi yang otonom. Untuk itu, pembubaran Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan penggabungannya dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) layak
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, Didin (1995), "Konglomerasi, Kesenjangan, dan Persaingan Global," dalam
Harian Media Indonesia . Tanggal 26 Oktober. Jakarta.
Baswir, Revrisond (1995), "Industri Kecil dan Konglomerasi di Indonesia; Prospek Kemitraan," dalam
Prisma No. 10. Jakarta: LP3ES.
_________________ (1999a), Menuju Politik Pembangunan Kerakyatan, dalam Jurnal Bisnis &
Ekonomi Politik Vol. 3. Nomor 2, April. Jakarta:Indef.
_________________ (1999b), “Agenda Reformasi Koperasi” dalam Suara Pembaharuan. Tanggal 10
Juli. Jakarta.
_________________ (1999c), Penjarahan Daerah dan UU No. 25/1999, makalah tidak dipublikasikan,
disajikan dalam Seminar Nasional Menyongsong Otonomi Daerah yang diselenggarakan oleh INSIST
bekerjasama dengan IRRI-Pact. Tanggal 22 Desember 1999. Yogyakarta.
_________________ (1998), Draft Rancangan Undang Undang Tentang Perimbangan Keuangan
Pusat Daerah. Jakarta: Depdagri.
_________________ (1960), UU No. 20/1960 tentang Pokok-pokok Agraria
_________________ (1992), UU No. 25/1992 tentang Pokok-pokok Perkoperasian
_________________ (1999), Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara
_________________ (1999), UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah
Penulis adalah dosen FE UGM, Yogyakarta lulus tahun 1983. Memperoleh MBA dalam bidang
General Business dari Universitas Western Michigan, AS, 1991. Mengikuti Local Government
Financial Management Trainning di Institute for Local Government Studies, Universitas Birmingham,
Inggris, 1994. Selain mengajar di UGM, saat ini juga menjadi direktur pada Institute of Development
and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta, dan anggota Steering Committee Indonesian NGO
Forum on Indonesian Development (INFID) Jakarta.