PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN INVESTIGASI KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN DISKURSUS MATEMATIK BAGI UPAYA PENUMBUHAN SIKAP DEMOKRATIS MAHASISWA: Studi pada mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan.

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ………. ii

PERNYATAAN ………. iii

ABSTRAK ………. iv

KATA PENGANTAR ……… vi

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ……… vii

DAFTAR ISI ……….. ix

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ………. 16

C. Tujuan Penelitian ………. 17

D. Manfaat Penelitian ……… 17

E. Metode dan Lokasi Penelitian ……….. 18

BAB II. NILAI-NILAI DEMOKRASI DAN PEMBINAANNYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA A. Konsep dan Nilai-Nilai Demokrasi ……… 19

B. Pendidikan Demokrasi ………. 23

C. Model Pembelajaran Investigasi Kelompok ………. 37

D. Pembelajaran Matematika dan Diskursus Matematik …… 54

E. Pendidikan Umum dan Literasi Kuantitatif ……….. 77

F. Penelitian Terdahulu ……… 84

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Paradigma Penelitian ……… 87

B. Desain Penelitian ……….. 89


(2)

D. Lokasi dan Subjek Penelitian ……… 100

E. Definisi Operasional ………. 102

F. Pengumpulan Data ………. 103

G. Instrumen Penelitian ………. 106

H. Analisa Data ………. 108

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Studi Pendahuluan ……… 111

B. Hasil Pengembangan Model ……… 120

C. Implementasi Pengembangan Model ……….. 128

D. Efektivitas Model Pembelajaran yang Dikembangkan …… 150

E. Pembahasan Hasil Penelitian ………. 161

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ……….. 177

B. Implikasi dan Rekomendasi ……… 183

DAFTARA PUSTAKA ……… 185


(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini, tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis tengah melanda berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Di sisi yang lain, masyarakat yang demokratis tidak lahir begitu saja. Ia harus dilatihkan. Eforia “kebebasan” dan persamaan hak yang muncul dimana-mana harus dibarengi dengan respek dan menghargai perbedaan dengan orang lain agar dapat hidup dengan damai dan harmonis. Kemampuan untuk hidup bersama (live together) dengan orang lain dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran di sekolah misalnya melalui konstruksi yang dilakukan secara bersama dalam pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Untuk menggali informasi lebih lanjut, penelitian ini berusaha mengungkap upaya pembinaan nilai-nilai demokrasi mahasiswa melalui pembelajaran matematika, yakni melalui pendekatan diskursus matematik dalam seting investigasi kelompok. Sebagai langkah awal penelitian, pada bagian pendahuluan ini diuraikan : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta metode dan lokasi penelitian.

A. Latar Belakang

Pendidikan pada hakekatnya bertujuan untuk membentuk peserta didik agar menjadi masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik (good society) menurut Chamberlin (1992: 30) adalah masyarakat yang demokratis, dimana seluruh warga negara merasa berdaya dan merasa memiliki kemampuan


(4)

(competent), memiliki keyakinan diri dan mendapatkan kepercayaan diri (confident) dan bertanggung jawab (responsible) untuk berpartisipasi dalam ikut menentukan arah perubahan. Ini menunjukkan bahwa pembentukan suatu masyarakat yang demokratis menjadi amat penting. Jadi, tepatlah kiranya pemerintah mengamanatkannya dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan, pemerintah (the founding father) saat itu sudah menetapkan bahwa sistem pemerintahan yang dipilih adalah demokrasi, seperti yang termuat dalam UUD 1945. Walaupun hingga saat ini Indonesia masih menganut sistem pemerintahan demokrasi, praktek demokrasi yang berlangsung masih belum sesuai dengan harapan. Praktek demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan masih dalam tataran prosedural, belum sampai pada tataran substansial. Peristiwa meninggalnya ketua DPRD Sumatrera Utara pada tahun 2008, atau terjadinya rusuh pilkada yang sering terjadi di berbagai daerah merupakan salah satu indikasinya.

Sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, adat, budaya, dan agama, bangsa Indonesia rentan dengan disharmoni kehidupan antar sesama anak bangsa. Ini terbukti dengan berbagai peristiwa kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah yang mengatas namakan agama, suku, atau kelompok, seperti:


(5)

kerusuhan Sambas (1998), Ambon (1999, 2011), Poso (2001), Sampit (2001), Tanjung Priok (2010), Tarakan (2010), Cikeusik (2011).

Maraknya berbagai peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa kita telah kehilangan karakter sebagai bangsa yang beradab. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar, ramah, penuh sopan santun sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab. Apabila hal-hal tersebut terus saja terjadi di negeri ini maka dapat mengancam disintegrasi bangsa. Untuk mencegah hal tersebut, pemahaman terhadap multikultural menjadi sangat urgen dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia.

Sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini menurut Suryadi dan Budimansyah (2009: 318) adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural animosity) yang muncul dan semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Selama lebih dari 30 tahun, masyarakat Indonesia hidup dalam iklim demokrasi yang semu. Beberapa tokoh yang berbeda pendapat, apalagi dengan penguasa akan ditangkap atau dipenjarakan. Ini membuat masyarakat hidup dalam suasana tertekan. Akibatnya ketika era reformasi bergulir, masyarakat lepas kendali dalam mengekpresikan diri. Apabila muncul “perbedaan” diantara mereka, bukan saling menghargai yang muncul, melainkan dianggap musuh yang harus dihabisi.

Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang memiliki kultur atau nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai yang dimaksud menurut Djahiri (2010)


(6)

diantaranya: equality of oprtunity, freedom, dan respect each other. Sementara itu, Zamroni (2001) menyatakan bahwa nilai-nilai yang dimaksud antara lain: toleransi, kebebasan mengemukakan pendapat, menghormati perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat, terbuka dan komunikasi, menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan, percaya diri, saling menghargai, mampu mengekang diri, kebersamaan, dan keseimbangan.

Masyarakat yang demokratis tidak datang dengan sendirinya atau “taken for granted”, tetapi mesti dipelajari dan dipraktekkan secara “sustainable”. Ia membutuhkan kesiapan dan usaha nyata dari berbagai komponen masyarakat mulai dari elit politik, para birokrat, dunia usaha, kaum intelektual hingga masyarakat luas. Oleh karena itu, menurut Budimansyah (2009:313) pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi sistem pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan negara dan masyarakat yang semakin demokratis.

Pendidikan telah lama diyakini berkaitan erat dengan demokrasi. Pendidikan dipercaya dapat memajukan demokrasi. Friedman (1962: 86) menyatakan “A stable and democratic society is impossible without a minimum degree of literacy and knowledge on the part of most citizens and without widespread acceptance of some common set of values. Education can contribute to both”. Ini bermakna masyarakat demokratis dapat terjadi apabila masyarakatnya berpendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan pada suatu masyarakat maka tingkat demokratisnya juga cenderung akan tinggi. Hal ini diperkuat oleh Chong (2009) dalam survey internasional untuk melihat


(7)

hubungan antara pendidikan dan opini pro-democracy. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menghasilkan pandangan yang pro-democracy.

Melalui pendidikan seseorang dididik untuk berdisiplin, berpikir kritis, menghargai harkat dan martabat manusia, jujur, terbuka, toleran, taat pada hukum, apresiatif terhadap perbedaan pendapat, mampu mengambil keputusan terbaik untuk diri dan masyarakatnya. Jika institusi pendidikan berhasil menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada peserta didiknya, maka suatu masyarakat bisa berharap kehidupan bangsanya di masa depan akan berkembang kearah yang demokratis. Akan tetapi, jika institusi pendidikan gagal dalam menanamkan nilai-nilai demokratis, maka kehidupan masyarakat akan merosot kembali kearah masyarakat feodalistik, autokratis, dan otoriter (Bukhari, 2000:65). Hal ini terlihat dari fenomena yang muncul dikalangan pelajar dan mahasiswa akhir-akhir ini, yakni perkelahian diantara mereka yang terjadi di berbagai kota, seperti di Makasar (2010, 2011), Jakarta (2010, 2011), Kendari (2011), Pontianak (2010), Medan (2011). Kejadian ini sungguh memprihatinkan, mengingat para pelajar dan mahasiswa adalah generasi penerus harapan bangsa.

Terjadinya berbagai konflik sosial serta perkelahian antar pelajar dan mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita belum mampu untuk hidup bersama dengan damai, khususnya mampu menghargai perbedaan dengan orang lain. Ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan institusi pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah diharapkan


(8)

mampu menghasilkan peserta didik yang berkarakter baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Suparno (2000:79) menyatakan bahwa pendidikan kita masih banyak menghasilkan manusia yang ikut-ikutan emosional dalam menghadapi persoalan masyarakat, mudah berkelahi dan berperang, menjarah orang lain, dan sulit menghargai gagasan yang berbeda. Pendapat tersebut menegaskan bahwa pendidikan kita belum mampu menghasilkan peserta didik yang dapat berinteraksi sosial secara positif dengan orang lain. Hal ini diperkuat oleh temuan beberapa peneliti. Guiller, Dundell dan Ross (2008: 187-200) menemukan bahwa “one of the causes of anti-social behavior of students is the inability to positively interact socially with teachers, peers, and adults around them”. Hasil ini sejalan dengan temuan Moote Jr . et al (1999: 427-465) bahwa “the aggressive behavior of children can be caused by not knowing how to interact to others”.

Ketidakmampuan peserta didik untuk berinteraksi sosial secara positif dengan orang lain menurut temuan Farmer (2010: 364-392) “is caused by lack of social interaction opportunities in childhood and the lack of a social interaction model”. Temuan ini nampaknya hampir sama dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Gambaran pendidikan saat ini menurut Suhardjono (2000) adalah sebagai berikut: (1) proses pendidikan didominasi oleh penyampaian informasi bukan pemrosesan infomasi, (2) proses pendidikan masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghapalkan, bukan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dan upaya membangun pengetahuan, (3) proses pendidikan masih didominasi oleh guru/dosen yang otoriter.


(9)

Pendapat tersebut, diperkuat oleh Zuriah (2008) dalam penelitiannya yang menemukan penyebab pembelajaran ilmu sosial yang berlangsung monolitik, kurang demokratis, membosankan dan tidak optimal, dikarenakan beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) dengan kadar pembelajarannya rendah sehingga kebutuhan belajar siswa tidak terlayani. Guru cenderung memperlakukan siswa sebagai objek. Mereka hanya menerima apa yang diajarkan tanpa bisa mengkritisi.

Temuan serupa juga pada pelajaran matematika. Data TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2003 yang disampaikan dalam semlok pembelajaran matematika di P4TK (PPPG) Matematika Yogyakarta, 15-16 Maret 2007 bahwa penekanan pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak pada penguasaan ketrampilan dasar (basic skill), namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis, dan benalar secara matematis. Hasil video Study yang dilaporkan dalam semlok tersebut antara lain menunjukkan bahwa: ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar; waktu yang digunakan siswa untuk problem solving 32 % dari seluruh waktu di kelas; guru lebih banyak berbicara dibandingkan siswa; hampir semua guru memberikan soal rutin dan kurang menantang. Laporan ini mengindikasikan bahwa pembelajaran masih berpusat pada guru. Tingkat partisipasi / aktivitas siswa dalam pembelajaran relatif rendah.


(10)

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di perguruan tinggi, khususnya FKIP Untan. Ketika dilakukan wawancara (2 Februari 2011) dengan beberapa mahasiswa angkatan 2009/2010 prodi pendidikan matematika FKIP Untan diperoleh informasi bahwa masih cukup banyak dosen dalam mengajar menggunakan metode ekspositori (ceramah dan tanya jawab). Ini berarti bahwa mahasiswa mengikuti perkuliahan lebih banyak sebagai pendengar, dan sebagai tukang catat. Dosen masih mendominasi perkuliahan (teacher center), dan interaksi yang terjadi cenderung seperti antara atasan dengan bawahan. Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan apabila patisipasi mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran cenderung relative kecil. Selain itu, kemampuan berinteraksi satu sama lain secara positif juga kurang berkembang. Kalau ada mahasiswa yang berpendapat “aneh” akan menjadi bahan cemoohan atau tertawaan dari yang lain. Kalau ada tugas diskusi kelompok lebih cenderung dikerjakan sendiri-sendiri (berbagi tugas), bukan didikusikan bersama-sama.

Mencermati gejala-gejala yang muncul sebagaimana yang telah dipaparkan tersebut, perlu diupayakan suatu model pembelajaran yang memberi ruang kepada peserta didik agar mampu berinteraksi sosial secara positip.

Kemampuan berinteraksi sosial secara positif dapat menggambarkan kemampuan berdemokrasi peserta didik. Seseorang yang dapat berinteraksi sosial dengan baik, maka ia mampu menunjukkan perilaku seperti : mendengarkan pembicaraan orang lain, menghargai dan menghormati pendapat orang lain meskipun itu berbeda, bermusyawarah dalam mengambil keputusan,


(11)

tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, memberi kesempatan kepada orang lain untuk berpartisipasi (tidak mendominasi), dan sebagainya.

Untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi sosial secara positif diantaranya dapat dilakukan melalui pembelajaran yang didalamnya melibatkan percakapan (discourse) untuk meningkatkan pemahaman. Menurut Bornstein (2010) “civil discourse can be conceived as a respectful exchange of views, with active learning, no interruptions, no violent language, and especially, no attacks”.

Selain karena proses pembelajaran yang belum memberi kesempatan peserta didik untuk berinteraksi sosial secara positif, belum berhasilnya pengembangan sikap demokratis di sekolah bisa jadi disebabkan oleh anggapan yang keliru terhadap pelajaran yang mengembannya. Upaya pengembangan aspek-aspek nilai ini (baca: demokrasi) selama ini dipersepsi hanya merupakan kewajiban guru-guru bidang studi tertentu saja (Aunurrahman, 2010: 18). Selama ini ada asumsi bahwa urusan pembinaan nilai-nilai demokrasi adalah wilayah pendidikan IPS atau PKN saja.

Temuan David Kerr (Budimansyah, D, 2010:52) memperkuat asumsi tersebut. Melalui penelitian lintas negara ia menemukan bahwa di Indonesia dan beberapa negara kawasan Asia Tenggara hanya melakukan pembelajaran tentang demokrasi (education about democracy), belum melakukan pembelajaran hidup berdemokrasi untuk menyokong kehidupaan yang demokratis (education for democracy). Salah satu karakteristik pembelajaran yang demikian adalah bersifat exclusive, artinya program pembinaan nilai-nilai


(12)

moral warga negara hanya dibebankan kepada subjek pelajaran tertentu dalam hal ini Pendidikan Kewarganegaraan, sedang subjek pembelajaran lain bahkan program-program sekolah lainnya tidak turut memikul tanggung jawab ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semua mata pelajaran seharusnya merupakan wahana pengembangan sikap-sikap demokratis bagi peserta didik, termasuk didalamnya adalah mata pelajaran matematika. Ball (2005) mengemukakan bahwa “mathematics has special role to play in preparing people with habits, skill, and dispositions central to learning to participate in a diverse and democratic society”. Ini bermakna bahwa melalui pembelajaran matematika, peserta didik di siapkan untuk dapat berpartisipasi dalam sebuah masyarakat yang demokratis, seperti yang dikemukakan Malloy (2002: 21). Menurutnya bahwa pendidikan matematika yang diorientasikan untuk memajukan demokrasi dapat ”provide students with an avenue through which they can learn substansial mathematics and help students develop the tools to become productive and active citizens”. Untuk mencapai sasaran yang dimaksud, ”students should see themselves in the curriculum and link mathematics to their everiday live; they should see that mathematics is connected to social needs of the community; and that mathematics can expand and deepen their own democratic possibilities” (Ladson-Billings,1994; Malloy & Malloy, 1998; Tate, 1994; Woodrow, 1997).

Sikap-sikap demokratis dalam proses pembelajaran tidak akan berkembang apabila pembelajaran masih didominasi oleh pendidik (guru/dosen). Reformasi dalam pembelajaraan menghendaki pembelajaran lebih


(13)

berpusat kepada siswa dengan harapan siswa lebih aktif berpartisipasi/terlibat dalam proses pembelajaran. Dokumen-dokumen kurikulum di manca Negara (seperti: Australian Education Council, 1991, NCTM (2000) mendorong guru-guru melaksanakan pembelajaran dalam seting kelompok kecil- dan kelompok besar, dengan maksud untuk mempercepat diskursus matematik yang produktif di dalam kelas.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sumarmo, U (2000) bahwa sesuai dengan rekomendasi UNESCO, pembelajaran matematika di semua jenjang pendidikan meliputi: (1) belajar mamahmi (learning to know), (2) belajar melaksanakan (learnig to do), (3) belajar menjadi diri sendiri (learning to be), (4) belajar hidup dalam kebersamaan yang damai dan harmonis (learning to live together in peace and harmony). Melalui proses learning to know, peserta didik memahami secara bermakna: fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model, dan ide matematika, hubungan antar idea dan alas an yang mendasarinya, serta menggunakan idea untuk menjelaskan dan memprediksi proses matematika. Melalui proses learning to do, peserta didik didorong melaksanakan proses matematika (doing math) secara aktif untuk memacu peningkatan perkembangan intelektualnya. Melalui proses learning to be, mahasiswa menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses matematika yang ditunjukkan dengan sikap senang, bekerja keras, ulet, sabar, disiplin, jujur, serta mempunyai motif berprestasi yang tinggi, dan rasa percaya diri. Melalui proses learning to live together in peace and harmony, peserta didik bersosialisasi dan berkomunikasi


(14)

dalam matematika. Ini dilakukan melalui bekerja dan belajar bersama dalam kelompok kecil (cooperative leaning), menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat yang berbeda, belajar mengemukakan pendapat dan atau bersedia sharing idea dengan orang lain dalam kegiatan matematika.

Pendekatan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dalam pembelajaran diidentifikasi oleh sejumlah peneliti sebagai salah satu strategi pembelajaran yang paling efektif meningkatkan kinerja akademik siswa. Slavin (1980) melaporkan efek positif cooperative learning pada pencapaian belajar, self esteem, dan keterampilan sosial. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Arend (2008: 5) bahwa cooperative learning dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan penting: prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.

Pendapat yang lain tentang pembelajaran koperatif lebih menyoroti aspek afektif, seperti: keuntungan sosial termasuk self-esteem, lebih bersahabat, lebih terlibat dalam aktivitas kelas, dan meningkatkan sikap terhadap belajar (Lazarowitz, Baird, & Bolden, 1996; Lazarowitz, Hertz-Lazarowitz, & Baird, 1994). Sementara itu, menurut Gilles (2002) bahwa cooperative learning tidak hanya dapat mempengaruhi toleransi dan penerimaan yang luas terhadap siswa-siswa dengan kebutuhan khusus, tetapi juga dapat mendukung terciptanya hubungan yang lebih baik diantara siswa-siswa dengan ras dan etnis yang bernaeka ragam.

Salah satu bentuk pembelajaran kooperatif adalah investigasi kelompok. Model ini berangkat dari pandangan John Dewey dan Herbert Tellen (dalam


(15)

Joyce, Weil dan Calhoun, 2000: 16) yang memberikan pernyataan dengan tegas bahwa pendidikan yang demokratis seyogyanya mengajarkan proses demokrasi secara langsung. Model ini menawarkan agar dalam mengembangkan masalah, peserta didik diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama “cooperative inquiry” terhadap berbagai masalah sosial, moral maupun akademik.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Sharan & Sharan (1992, ix) mengemukakan bahwa

Group investigation is a co-operative learning strategy that integrates interaction and communication in the classroom with the process of acedemic inquiry. It enables the classroom to become a social system built on co-operation among students in small groups and co-ordination between groups in the classroom.

Dalam investigasi kelompok, menuntut setiap peserta didik berperan sesuai dengan tugas masing-masing yang didistribusi atas kesepakatan bersama di dalam kelompok kerja masing-masing. Dalam kondisi ini setiap orang harus dapat menempatkan diri secara layak, menghargai anggota-anggota yang lain, mengembangkan rasa tanggung jawab, dan menghilangkan sikap egois.

Efek dari investigasi kelompok adalah dengan melakukan diskusi, mereka mengelaborasinya, mengubah ide-ide satu sama lain, dan dengan demikian mengingat ide-ide menjadi lebih mudah (Cohen, 1984; Sharan & Sharan, 1992). Menurut Joyce and Weil (2000:16), model investigasi kelompok merupakan cara untuk mengembangkan kebersamaan (community) diantara para peserta didik. Hasil penelitian Aunurrahman (2005) menyatakan bahwa model


(16)

investigasi kelompok yang dikembangkan mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab, kehangatan hubungan dan penghargaan terhadap orang lain.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika, NCTM (2000:60) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) standar proses yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar dapat berperan secara efektif pada abad ke-21. Salah satu standar adalah komunikasi matematika. Dikemukakan bahwa komunikasi merupakan elemen esensial dari matematika dan pendidikan matematika karena ia adalah “way of sharing ideas and clarifying understanding. Through communication, ideas become objects of reflection, efinement, discussion, and amendment. The communication process help build meaning and permanence for ideas and makes them public”. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematika, NCTM (2000:271) menyarankan agar guru mengidentifikasi dan menggunakan berbagai tugas yang: berkaitan penting dengan ide-ide matematika, dapat diperoleh dengan berbagai metode solusi, menyediakan berbagai representasi multiple, memberikan kesempatan menginterpretasi, justify, dan konjektur. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, setiap siswa diberi kesempatan untuk berkontribusi menjelaskan pemikiran matematika dan penalarannya terhadap masalah yang berkembang di dalam kelas.

Sesuai dengan penekanan pada komunikasi matematika, penelitian pendidikan terbaru menekankan pentingnya membangun komunitas diskursus matematik (mathematical discourse community) dalam pembelajaran matematika. Menurut Clark (2005:2) bahwa “ discourse communities are those


(17)

in which students feel free to express their thinking, and take responsibility for listening, paraphrasing, questioning, and interpreting one another’s ideas in whole-class and small-group discussion”. Sejumlah guru dan peneliti telah menyarankan bagaimana membentuk dan melaksanakan komunitas seperti itu (Chazan & Ball, 1999; Grouws & Cebulla, 2000; Kazemi, 1998; Silver & Smith, 1997). Cobb, Boufi, McClain, dan Whitenack (1997) menyarankan bahwa melalui komunitas diskursus “children actively construct their mathematical understandings as they participate in classroom social process”.

Penelitian selama 30 tahun terakhir telah mendukung transformasi pembelajaran matematika dalam bentuk komunitas belajar dimana siswa terlibat dalam diskursus matematika dan pembelajaran kolaboratif ( Cobb, Wood, Yackel, & McNeal, 1992; Nathan & Knuth, 2003; NCTM, 2000). Sayangnya, pembelajaran dengan karakteristik komunitas diskursus matematik masih belum menjadi ketentuan di Amerika (Ball,1991; Stigler & Hiebert, 1999), apalagi di Indonesia. Menurut laporan TIMMS 1999, survey internasional dalam pembelajaran matematika kelas 8 menyatakan bahwa rata-rata di Amerika Serikat, rasio perkataan guru dan siswa adalah 8:1, dan 71 % ucapan siswa kurang dari 5 kata (Hiebert et al, 2003). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Menurut laporan TIMMS tahun 2003 dipaorkan bahwa dalam pembelajaran matematika, ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar; guru lebih banyak berbicara dibandingkan siswa.

Dengan memperhatikan paparan yang telah dikemukakan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: ” Pengembangan


(18)

model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik bagi upaya penumbuhan sikap demokratis mahasiswa” pada mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahannya adalah masih kurang berkembangnya nilai-nilai demokrasi di kalangan peserta didik baik siswa sekolah menengah maupun mahasiswa. Permasalahan tersebut selanjutnya dirumuskan secara umum: “ model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik yang bagaimana yang dapat menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa?”. Secara khusus, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pembelajaran matematika pada prodi pendidikan matematika FKIP Untan saat ini terkait dengan sikap demokratis mahasiswa?

2. Bagaimana model pengembangan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk penumbuhan sikap demokratis mahasiswa ?

3. Bagaimana implementasi pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk penumbuhan sikap demokratis mahasiswa?

4. Bagaimanakah efektivitas pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekataan diskursus matematik ?


(19)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa prodi pendidikan matematika FKIP Untan . Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Kondisi pembelajaran matematika saat ini terkait dengan sikap demokratis mahasiswa pada prodi pendidikan matematika FKIP Untan

2. Hasil rancangan model pengembangan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa

3. Hasil implementasi model pengembangan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa

4. Efektivitas model pengembangan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pembelajaran matematika yang berbasis nilai-nilai demokrasi, baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat menghasilkan suatu strategi baru dalam pembelajaran matematika yang bernuansa demokratis. Matematika dalam pendidikan umum merupakan kajian yang masih jarang diteliti, karena itu


(20)

penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian pendidikan matematika dalam kaitan dengan nilai-nilai budaya

2. Secara praktis, penelitian ini dapat melahirkan strategi pengembangan nilai-nilai demokrasi di lembaga pendidikan yang dapat dimanfaatkan secara praktis di lapangan, baik oleh dosen, guru, perencana, maupun pengelola pendidikan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Semakin demokratis peserta didik dalam hidup bermasyarakat, maka akan semakin aman dan teentram kehidupan masyarakat dan banagsa. Sebaliknya, apabila peserta didik bertindak tidak demokratis, akan semakin kacau kehidupan masyarakat.

E. Metode dan lokasi Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menghasilkan produk model yang didasari kondisi real yang ada, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (R &D). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh melalui lembar observasi pembelajaran, angket, dan wawancara. Tahap-tahap penelitian dengan rancangan research and development dijelaskan lebih rinci pada Bab III pada penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan pada prodi pendidikan FKIP Untan Pontianak dengan alasan mahasiswa FKIP merupakan calon guru yang nantinya diharapkan dapat menularkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajannya kelak.


(21)

(22)

87 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Agar menjadi warga negara yang demokratis seperti yang diharapkan dalam UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 maka harus ada upaya pembinaan yang diberikan oleh pengajar kepada peserta didik. Untuk keperluan tersebut dirancang penelitian pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik.

Pada bab ini berturut-turut diuraikan: paradigm penelitian, metode penelitian, tahap-tahap penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, pengembangan instrumen, pengumpulan dan analisis data.

A. Paradigma Penelitian

Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Agar peserta didik mampu beperilaku demokratis, mahasiswa hendaknya memperoleh kesempatan berlatih dan mengembangkan keterampilan berdemokrasi. Untuk memenuhi keperluan tersebut dikembangkan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik meliputi rancangan RPP, bahan ajar, dan lembar kerja mahasiswa. Rancangan


(23)

RPP memuat tujuan aspek kognitif dan aspek afektif yang dilengkapi bahan ajar dan lembar kerja mahasiswa. Untuk memunculkan terjadinya diskursus matematik oleh mahasiswa, diberikan soal-soal yang kaya dan menantang sehingga mereka dapat saling bertanya, menjelaskan, mempertahankan pendapat, bahkan saling membantah. Melalui aktivitas tersebut diharapkan dapat menghormati orang lain, menghargai perbedaan pendapat, bermusyawarah dalam mengambil keputusan, aktif mengemukakan idea atau mengajukan pertanyaan, tidak mendominasi pembicaraan. Bagan dari paradigma yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini ditunjukkan pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Paradigma dalam penelitian dan pengembangan Tujuan

pendidikan

Mahasiswa berperilaku demokratis Manusia yang:

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggungjawab

Pendekatan diskursus matematik seting investigasi kelompok

RPP

Tugas-tugas yang kaya dan memicu diskusi (open ended)

Bahan ajar LKM

Respek pada orang lain, toleransi, musyawarah, berpartisipasi aktif, persamaan/tidak mendominasi Tujuan kognitif & tujuan afektif


(24)

B. Desain Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembinaan nilai-nilai demokrasi melalui diskursus matematika dalam seting pembelajaran investigasi kelompok . Dalam penelitian ini model yang akan dikembangkan berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi, meliputi: respek terhadap orang lain, toleransi, kebersamaan, keadilan, partisipasi aktif yang diimplementasikan dalam pembelajaran matematika pada mahasiswa sebagai calon guru.

Untuk dapat mengkaji berbagai variabel yang telah ditetapkan, penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development) yang dikembangkan oleh Borg & Gall. Menurut Borg & Gall (1989: 784-785) ada sepuluh langkah dalam penelitian dan pengembangan, yaitu: 1) Research and information collecting, yang dilakukan melalui kegiatan studi kepustakaan berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, observasi kelas, dan persiapan untuk merumuskan kerangka kerja penelitian. 2) Planning, yang dilakukan dengan mengidentifikasi kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, membuat rumusan tujuan yang akan dicapai, membuat desain atau langkah-langkah penelitian, dan jika diperlukan melaksanakan studi kelayakan secara terbatas. 3) Develop preliminary form of product, yaitu mengembangkan bentuk permulaan dari produk yang akan dihasilkan. Termasuk dalam langkah ini adalah persiapan komponen pendukung pembelajaran, penyiapan pedoman dan buku petunjuk, dan melakukan evaluasi terhadap kelayakan alat-alat pendukung. 4) Preliminary field testing, yaitu melakukan iji coba lapangan awal dalam skala terbatas untuk


(25)

mengetahui kualitas produk awal yang dikembangkan. Pada langkah ini pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan wawancara, observasi, atau angket. 5) Main product revision, yaitu melakukan perbaikan terhadap produk awal yang dihasilkan berdasarkan hasil uji coba awal. Perbaikan ini sangat mungkin dilakukanlebih dari satu kali, sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dalam uji coba terbatas, sehingga diperoleh draft produk (model) utama yang siap diuji coba lebih luas. 6) Main field testing, biasanya disebut uji coba utama yang melibatkan khalayak lebih luas terhadap produk awal yang telah direvisi. Pada tahap inidilakukan analisis kuantitatif terhadap data yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah model dilakukan. Selain itu juga dilakukan pengumpulan data kualitatif terhadap proses ketika model dilaksanakan. 7) Operational product revision, yaitu melakukan perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji coba luas sehingga produk yang dikembangkan sudah merupakan desain model operasional yang siap divalidasi. 8) Operational field testing, yaitu langkah uji validasi terhadap model operasional yang telah dihasilkan. Pada tahap ini dilakukan uji eksperimen terhadap model hipotetetik yang dihasilkan dengan membandingkan kelas eksperimen dan kelas kontrol sehingga diketahui efektifitas model. Pengumpiulan dan analisis data dalam langkah ini dapat dilakukan melalui wawancara, observasi, atau angket. 9) Final product revision, yaitu melakukan perbaikan akhir terhadap model yang dikembangkan guna menghasilkan produk akhir (final). 10) Desiminasi and implementation, yaitu langkah menyebar- luaskan produk/model yang


(26)

dikembangkan kepada khalayak luas, terutama dalam kancah pendidikan, seperti dalam bentuk seminar hasil penelitian, serta publikasi pada jurnal.

Tahapan di atas sesungguhnya dapat diringkas menjadi empat tahap, yang disebut dengan model 4D dari Thiagarajan et al (1974), yakni: define, design, develop, dan disseminate.

Define adalah kegiatan mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menyusun draft atau produk awal, yang dilakukan melalui studi pustaka, studi lapangan, dan need assesmen. Design adalah kegiatan merancang draft atau produk awal. Develop adalah kegiatan mengembangkan produk sehingga dihasilkan produk yang teruji, meliputi validasi pakar, uji coba terbatas, uji coba luas. Disseminate adalah kegiatan memperluas produk. Hubungan antara model 4D dari Thiagrajan dan tahap-tahap R & D dari Borg & Gall ditunjukkan pada table berikut:

Tabel 3.1 Hubungan antara Model 4D Thiagrajan dan tahap R & D Borg & Gall No Model 4D Thiagrajan R & G Borg & Gall

1 Define Pengumpulan informasi dan perencanaan 2 Design Pembuatan rancangan produk

3 Develop Validasi produk , revisi produk, uji coba terbatas, revisi produk hasil uji coba terbatas, uji coba luas, revisi produk akhir


(27)

Pada penelitian dan pengembangan ini, kegiatan yang dilakukan hanya sampai pada tahap develop, yaitu uji coba skala luas atau implementasi. Desain penelitian selengkapnya disajikan pada gambar berikut:

Define:

Design:

Validasi ahli

Develop:

Uji coba terbatas

Uji coba luas

Gambar 3.2 Desain penelitian Studi literatur Nilai-nilai demokrasi Diskursus matematik Pelaksanaan pembelajaran mtk saat ini

Analisis teori & temuan hsl penelitian: pendidikan demokrasi, pembelajaran kooperatif Pemahaman thd investigasi klp, diskursus mtk Studi lapangan Nilai-nilai demokrasi yang perlu dikembangkan Need assesment

Draft pembelajaran melalui diskursus matematik seting investigasi kelompok

Revisi masukan ahli

Revisi hsl uji coba terbatas

Revisi hsl uji coba luas RPP

Bahan ajar LKM


(28)

C. Prosedur Penelitian dan Pengembangan

1. Define (Pengumpulan Informasi dan Perencanan)

Pada tahap define pada penelitian dan pengembangan ini meliputi: a) studi kepustakaan, b) studi lapangan, dan c) analisis kebutuhanyang penjabarannya sebagai berikut:

Pertama, studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan pendukung, khususnya yang berkaitan dengan konsep demokrasi dan pendidikan demokrasi, pembelajaran kooperatif investigasi kelompok, dan diskursus matematik. Kegiatan yang dilakukan pada studi kepustakaan ini adalah sebagai berikut:

a). Menganalisis nilai demokrasi untuk menghasilkan indicator nilai-nilai demokrasi

b). Menganalisis diskursus matematik untuk menghasilkan indicator diskursus matematik

c). Menganalisis teori-teori dan temuan-temuan penemuan penelitian yang berkaitan dengan diskursus matematik, pendidikaan demokrasi dan pembelajaran matematika

Kedua, studi lapangan merupakan kegiatan penelitian survey, karena tujuan utama studi ini tidak untuk menguji hipotesis, melainkan untuk mengumpulkan informasi terhadap sejumlah variabel. Studi lapangan dalam penelitian ini mencakup angket pelaksanaan pembelajaran di kelas selama ini, observasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakuakan dosen saat ini, serta


(29)

wawancara terhadap dosen dan mahasiswa terkait dengan pelaksanaan pembelajaran saat ini.

Ketiga, analisis kebutuhan dalam penelitiaan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peluang untuk digunakan sehingga pengembangan model dapat dihasilkan.

2. Design (Perancangan Draft )

Berdasarkan deskripsi dan analisis temuan secara faktual, selanjutnya disusun langkah-langkah pengembangan sebagai berikut:

a. Merumuskan rencana pengembangan yang akan dikaji.

Penelitian dan pengembangan ini secara umum bertujuan untuk menghasilkan produk model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk membina nilai-nilai demokrasi. Karena itu kemampuan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: (1) diskursus matematik, dan (2) nilai-nilai demokrasi. Penjabarannya sebagai berikut:

Pertama, diskursus matematik meliputi kemampuan mengajukan pertanyaan (questioning), menjelaskan (explaining), menjustifikasi (justifying), dan mempertahankan (defending) terkait dengan konsep atau prosedur matematika yang dipelajari di kelas. Melalui aktivitas tersebut dapat diketahui seperti apa sikap atau perilaku demokratis mahasiswa

Kedua, nilai-nilai demokrasi merupakan cerminan sikap atau perilaku demokratis mahasiswa meliputi: mendengarkan dengan baik pembicaraan orang lain, aktif berpartisipasi dengan memberikan ide, bermusyawarah untuk


(30)

mengambil keputusan, menghargai pendapat orang lain, member kesempatan kepada teman untuk berpartisipasi.

b. Merancang rumusan awal (desain), mencakup rumusan tentang: 1) rencana pelaksanaan pembelajaran, 2) bahan ajar, dan 3) lembar kerja mahasiswa yang penjabarannya sebagai berikut:

Pertama, rencana pelaksanaan pembelajaran memuat: standar kompetensi dan kompetensi dasar, indicator, tujuan, materi ajar, metode/model pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber pelajaran , dan evaluasi. Perbedaan rencana pelakasanaan pembelajaran dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang selama ini adalah pada tujuan pembelajaran serta metode/model pembelajaran yang digunakan. Rumusan tujuan yang dimaksud adalah penamabahan tujuan efektif selain tujuan kognitif seperti yang ada selama ini. Metode/model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok.

Kedua, bahan ajar yang dirancang adalah berupa informasi terkait materi matriks dan sistem persamaan linier yang disajikan tidak rinci. Untuk lebih lengkapnya mahasiswa dapat membacanya dari buku sumber atau dari intenet.

Ketiga, lembar kerja mahasiswa berupa tugas-tugas yang kaya untuk diskusi (open ended) yang memungkinkan terjadi diskursus matematik, khususnya antara sesama mahasiswa.

c. Merancang tes hasil belajar sesuai dengan materi yang dipelajari mahasiswa, yakni pada pokok bahasan matriks dan sstem persamaam linier.


(31)

3. Develop (Pengembangan) a. Validasi dan revisi produk

Draft yang sudah dirancang selanjutnya divalidasi oleh 2 orang ahli (dosen). Dosen yang dipilih sebagai ahli masing-masing memiliki keahlian dalam bidang pendidikan matematika dan pendidikan nilai. Validasi yang dilakukan oleh ahli adalah terhadap perangkat pembelajaran dan tes hasil belajar. Berdasarkan hasil validasi tersebut, serta pertimbangan pembimbing selanjutnya dilakukan revisi untuk digunakan dalam uji coba terbatas.

Format validasi perangkat pembelajaran dan instrument penelitian yang digunakan seperti berikut ini:

a. Instrumen Penilaian prototipe Perangkat bahan ajar

Sub Komponen Butir Penilaian

1 2 3 4 5 Layak T. layak

A. Kesesuaian

materi dengan

SK dan KD

1. Kelengkapan Materi

2. Keluasan materi

3. Kedalaman materi

B. Standar Proses 4. Penalaran

5. Komunikasi

6. Pemahaman konseptual

7. Pengetahuan Prosedural

8. Mendorong untuk mencari

informasi lebih lanjut

C. Teknik

Penyajian

9. Sistimatika penyajian 10. Keruntutan Penyajian

D. Sajian

Pembelajaran

11. Investigasi, eksplorasi, atau inquiry

12. Menumbuhkan berpikir kreatif, inovatif

13. Memuat aktivitas

E. Kelengkapan

Penyajian

14. Bagian Pendahuluan 15. Bagian Isi/Inti 16. bagian Penutup Catatan validator


(32)

Keterangan:

1=sangat jelek, 2= jelek, 3= cukup baik, 4= baik, 5= sangat baik Penilaian umum penimbang terhadap perangkat bahan ajar:

S. layak Layak dg revisi K layak, revisi T. layak Sangat t. layak

Berdasarkan penilaian validator, perangkat bahan ajar yang dibuat layak digunakan dengan revisi kecil. Pada butir kelengkapan materi, pengetahuan prosedural, dan sistematika penyajian, validator 1 (Dr. M. Rif’at) memberikan nilai 4 (baik), sedangkan butir-buitr yang lain mendapat nilai 3 (cukup baik). Validator 2 (Dr. Amrazi) pada bagian ini tidak memberikan catatan (tidak diisi), dan hanya mengisi lembar validasi bahan ajar dan lembar kerja mahasiswa.

b. Lembar validasai bahan ajar

Aspek 1 2 3 4 5 Ketr

1. Bahasa

a. Kebenaran tata bahasa

b. Kesesuaian kalimat dengan tingkat perkembangan

c. Kesedehanan struktur kalimat d. Kejelasan petunjuk dan arahan

2. Isi

a. Kebenaran materi/isi

b. Bagian-bagiannya tersusun secara logis c. Kemudahan untuk dipahami

Kesimpulan: ini layak/ belum layak / tidak layak untuk digunakan

Ketr: 1=sangat tdk valid, 2=krg valid, 3= cukup valid, 4= valid, 5= sangat valid

Kedua validator memberikan nilai 4 terhadap bahan ajar dari aspek bahasa dan isi yang berarti valid dan layak untuk digunakan.


(33)

c. Lembar validasai Lembar Kerja mahasiswa

Aspek 1 2 3 4 5 Ketr

1. Bahasa

a. Kebenaran tata bahasa

b. Kesesuaian kalimat dg tingkat perkembangan

c. Kesedehanan struktur kalimat d. Kejelasan petunjuk dan arahan 2. Isi/materi pertanyaan

a. Kebenaran konsep yang termuat pada masalah(pertanyaan)

b. Kalimat pertanyaan tidak bermakna ganda

Kesimpulan: ini layak/ belum layak / tidak layak untuk digunakan Ketr: 1= sangat t. valid, 2= krg valid, 3= cukup valid, 4= valid, 5= sangat valid

Demikian juga halnya untuk lembar validasi lembar kerja mahasiswa dari aspek bahasa dan isi, kedua validator memberikan nilai 4, yang berarti valid dan layak untuk digunakan.

Terhadap instrumen yang lain seperti soal tes, dan rubrik penskoran, kedua validator menyatakan layak digunakan dengan memberikan komentar dan sedikit catatan dalam hal penulisan. Demikian juga terhadap perangkat pembelajaran (RPP), validator memberikan komentar dan saran tertulis misalnya dalam hal penulisan agar lebih lengkap.

Selain meminta masukan dari validator, perangkat pembelajaran dan instrument penelitian juga dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.


(34)

b. Uji coba terbatas dan revisi produk

Uji coba terbatas dilaksanakan pada mahasiswa regular A prodi pendidikan matematika FKIP Untan angkatan 2009/2010 yang berjumlah 34 orang mahasiswa. Detail kegiatan yang dilakukan pada uji coba terbatas dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan uji coba terbatas

2) Peneliti melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disiapkan

3) 3 (tiga) orang observer (mahasiswa tingkat akhir) mengamati pelaksanaan pembelajaran, serta nilai-nilai demokratis yang muncul selama pembelajaran Berdasarkan hasil observasi tersebut, peneliti melakukan refleksi dan melakukan revisi terhadap perangkat pembelajaran untuk digunakan pada uji coba luas.

c. Uji coba luas dan revisi produk

Uji coba luas dilaksanakan pada mahasiswa regular B prodi pendidikan matematika FKIP Untan angakatan 2009/2010 yang berjumlah 42 orang mahasiswa. Detail kegiatan yang dilakuka pada uji coba luas dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan uji coba luas 2) Peneliti memberikan tes awal kepada mahasiswa

3) Peneliti melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disiapkan


(35)

4) 3 (tiga) orang observer mengamati pelaksanaan pembelajaran, nilai-nilai demokrasi dan diskursus matematik yang muncul selama proses pembelajaran

5) Peneliti memberikan tes akhir

6) Peneliti memberikan angket untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran yang diikuti.

Ada dua tujuan utama langkah ini, yaitu: 1) untuk mengetahui apakah desain model telah diterapkan dengan benar oleh dosen, 2) untuk mengetahui seberapa efektifkah penerapan model terhadap pencapaian tujuan penelitian. Karena itu, penelitian pada tahap ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap tujuan pertama, sedangkan pendekatan kuantitatif untuk mengungkap tujuan kedua dengan rancangan penelitian pra-eksperimen bentuk One-Group Pretest-Posttest Design (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001:35-36).

Berdasarkan hasil ujicoba luas dilakukan perbaikan/penyempurnaan, sehingga diperoleh model hipotetik yang siap dilakukan uji validasi.

D. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dan pengembangan ini mangambil lokasi pada FKIP Untan Pontianak dengan subjek penelitian adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika jurusan PMIPA tahun ajaran 2010/2011. Dipilihnya mahasiswa FKIP sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan bahwa mereka adalah calon guru yang seyogyanya memiliki sikap demokratis sehingga diharapkan


(36)

dapat menularkan pada anak didiknya ketika mengajar kelak. Dipilihnya prodi pendidikan matematika karena peneliti adalah dosen pada prodi tersebut, artinya antara peneliti dan mahasiswa sudah terjalin komunikasi sehingga pelaksanaan penelitian tidak mengalami hambatan yang berarti. Dengan demikian, lokasi dan subjek penelitian ditetapkan secara purposive.

Subjek yang dipilih adalah mahasiswa prodi pendidikan matematika angkatan 2009 reguler A sejumlah 34 orang mahasiswa, dan regular B sejumlah 42 mahasiswa yang mengambil mata kuliah Aljabar Linier Elmenter. Dipilihnya mata kuliah ini karena materi ajar yang terdapat di dalamnya merupakan pendalaman/pengembangan materi yang telah didapatnya ketika di bangku SMA sehingga mereka tidak merasa asing lagi dan diharapkan diskusi yang dilakukan dalam model pembelajaran yang akan diterapkan berjalan dengan lancar. Materi ajar yang dimaksud adalah matriks, sistem persamaaan linier, dan vektor.

Uji coba terbatas dilakukan pada kelas regular A, sedangkan uji coba luas dilakukan pada kelas regular B. Penentuan kelas uji coba terbatas, uji coba luas, serta uji validasi model dilakukan secara purposive. Kelas regular A dijadikan sebagai tempat uji terbatas dengan pertimbangan jumlah mahasiswanya lebih sedikit dibandingkan kelas regular B yang dijadikan tempat uji luas.


(37)

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam pemahaman dan interpretasi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, perlu ditetapkan definisi operasional beberapa istilah berikut ini:

1. Pengembangan model pembelajaran

Pengembangan model pembelajaran yang dimaksud adalah proses secara bertahap untuk mengembangkan perangkat pembelajaran ( RPP, bahan ajar, dan lembar kerja mahasiswa)

2. Investigasi kelompok

Yang dimaksud dengan investigasi kelompok dalam penelitian ini adalah bentuk pembelajaran kooperatif 5-6 orang, yang anggota masing-masing kelompok ditentukan atas dasar mempertimbangkan kedekatan persahabatan dengan atau tahap-tahap: pemilihan topik, perencanaan kooperatif, penerapan, analisis dan sintesis, presentasi produk akhir, evaluasi.

3. Diskursus matematika

Yang dimaksud diskursus matematika dalam penelitian ini adalah petukaran gagasan (ide) atau pendapat (opini) antara dua orang atau lebih tentang objek-objek matematika. Kegiatan itu meliputi: pengajuan pertanyaan untuk mengklarifikasi ide-ide matematika (questioning), menjelaskan konsep/cara kerja prosedur matematika (explaining), memberikan penjelasan mengapa suatu ide matematika itu valid (justifying), mempertahankan pendapat tentang ide-ide matematika yang telah dinyatakan (defending), mempertanyakan kevalidan konsep/prosedur matematika (challenging).


(38)

4. Sikap demokatis

Sikap demokratis merupakan kecenderungan individu untuk merespon situasi-situasi sosial berdasarkan nilai-nilai demokrasi, meliputi: respek terhadap orang lain, toleransi/menghargai perbedaan dengan orang lain, aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, bekerjasama, bermusyawarah, berbagi kesempatan dengan orang lain (persamaan).

F. Pengumpulan data

Untuk menjawab masalah-masalah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya diperlukan sejumlah data. Data-data tersebut dikumpulkan sejak tahap studi pendahuluan, serta tahap pengembangan.

Jadwal pengumpulan data diperlihatkan pada tabel berikut: Tabel 3.3 Pelaksanaan pengumpulaan data

Tahap penelitian Kegiatan Tanggal pelaksanaan Studi pendahuluan Studi lapangan:

1. Penyebaran angket 2. Observasi pembelajaran 3. Wawancara mahasiswa 4. Wawancara dosen

16 Pebruari 2011 21,23 Pebruari 2011 22 Pebruari 2011 21, 23 Pebruari Tahap

pengembangan

Uji coba terbatas: - Pertemuan ke-1 - Pertemuan ke-2 Uji coba luas:

- Pre test

- Pertemuan ke-1 - Pertemuan ke-2 - Pertemuan ke-3 - Pertemuan ke-4 - Post test, angket - Wawancara mahasiswa

8 Maret 2011 11 Maret 2011 15 Maret 2011 15 Maret 2011 16 Maret 2011 19 Maret 2011 22 Maret 2011 23 Maret 2011 29 Maret 2011


(39)

Pada saat studi pendahuluan, digunakan teknik angket, observasi, dan wawancara. Angket digunakan untuk mengungkap analisis kebutuhan untuk pengembangan model. Pemberian angket dilaksanakan pada mahasiswa prodi pendidikan matematika angkatan 2009 dan angkatan 2010. Oservasi digunakan untuk melihat pelaksanaan pembelajaran yang selama ini dilaksanakan. Observasi dilaksanakan terhadap 2 orang dosen sebagai sampel. Wawancara digunakan untuk menggali informasi dari dosen dan mahasiswa untuk melengkapi data serta untuk cross cek data- data yang diperoleh. Wawancara dilakukan pada 4 orang mahasiswa angkatan 2009 (2 orang mahasiswa regular A dan 2 orang mahasiswa regular B), 2 orang mahasiswa angkatan 2010. Wawancara terhadap dosen dilaksanakan setelah kuliah berlangsung (Kalkulus Diferensial dan Analisis Real).

Pada tahap pengembangan dilakukan uji coba terbatas dan uji coba luas. Uji coba terbatas dilakukan pada mahasiswa regular A yang berjumlah 34 mahasiswa, sedangkan uji coba luas dilakukan pada mahasiswa regular B yang berjumlah 42 mahasiswa. Pada uji coba terbatas, teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi. Teknik observasi digunakan untuk melihat keterterapan model, artinya apakah desain model dapat diterapkan secara benar, dan mengetahui kendala-kendala yang dihadapi. Sebagai observer adalah mahasiswa semester atas yang sudah akan menyelesaikan studi pada prodi pendidikan matematika. Teknik dokumentasi digunakan untuk merekam aktivitas mahasiswa untuk melengkapi hasil observasi. Pada uji coba luas, selain observasi, dan teknik dokumentasi, pengumpulan data juga dilakukan dengan


(40)

memberikan angket, wawancara, dan tes. Observasi digunakan untuk mengetahui keterterapan model juga untuk mengetahui secara langsung perilaku demokratis mahasiswa. Teknik dokumentasi untuk merekam semua aktivitas mahasiswa sehingga data aktivitas mahasiswa terkait dengan nilai-nilai demokrasi yang dipeloh menjadi lebih akurat. Angket diberikan untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap pelaksanaan atau penerapan model, sedangkan wawancara digunakan untuk apa saja hambatan-hambatan yang dialami selama penerapan model. Tes diberikan untuk mengetahui seberapa efektifkah hasil penerapan desain model terhadap pencapaian tujuan penelitian.

Ringkasan hubungan antara tahap penelitian, sub masalah, teknik pengumpulan data, serta instrumen yang digunakan disajikan pada tabel berikut:

Tabel 3.4 Hubungan teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian Tahap

Penelitian

Sub masalah penelitian

Teknik

pengumpulan data

Instrument penelitian Studi Pen-

dahuluan

Kondisi pelaksanaan model pembelajaran yg digunakan saat ini

Wawancara, angket, observasi

Pedoman wawancara, lembar observasi, lembar angket

Tahap Pengemba ngan

Desain model Validasi oleh ahli RPP, bahan ajar, LKM Uji terbatas

Observasi, dokumentasi

Lembar observasi

Uji luas Observasi, wawancara, dokumentasi, tes

Lembar observasi, pedoman wawancara, tes awal-tes akhir


(41)

G. Instrumen penelitian

Instumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah: angket, lembar observasi, perangkat pembelajaran (RPP, bahan ajar, lembar kerja mahasiswa), dan tes hasil belajar 1. Angket

Angket yang diberikan berupa seperangkat pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk memperoleh informasi secara tertulis. Dalam penelitian ini ada 2 (dua) jenis angket yang digunakan, yaitu pada saat studi pendahuluan, serta saat uji coba luas. Secara spesifik kedua jenis instrumen tersebut memiliki perbedaan dalam tujuan yang ingin dicapai. Pada studi pendahuluan, daftar pertanyaan yang digunakan bertujuan untuk mengetahui kebutuhan (need assessment) bagi peluang pengembangan model serta nilai-nilai demokrasi apa saja yang diperlukan. Pada saat uji coba luas, angket diberikan untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap pembelajaran yang dilaksanakan

2. Wawancara

Wawancara yang diberikan berupa seperangkat pertanyaan untuk memperoleh informasi secara lisan dengan harapan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan pada saat studi pendahuluan, dan saat uji coba luas. Pada studi pendahuluan, wawancara digunakan untuk mengetahui kondisi pembelajaran serta kinerja dosen dalam melaksanakan pembelajaran. Pada saat uji coba luas, wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses diskursus matematik pada kelompoknya ketika model diterapkan.


(42)

3. Lembar Observasi

Lembar observasi yang diberikan dalam bentuk daftar centang (check list). Ada dua lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu lembar observasi pelaksanaan pembelajaran, serta lembar observasi aktivitas mahasiswa terkait dengan nilai-nilai demokrasi selama proses pembelajaran. Lembar observasi pelaksanaan pembelajaran digunakan pada saat studi pendahuluan, pada saat uji coba terbatas, dan pada saat uji coba luas. Lembar observasi aktivitas mahasiswa terkait dengan nilai-nilai demokrasi digunakan pada saat uji coba luas.

4. Perangkat pembelajaran

Perangkat pembelajaran merupakan kelengkapan-kelengkapan yang diperlukan dan dikembangkan untuk melaksanakan pembelajaran. Perangkat yang dimaksud adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar, Lembar Kerja Mahasiswa pada pokok bahasan matriks, dan sistem persamaan linier pada mata kuliah Aljabar Linier Elementer.

5. Tes hasil belajar

Tes hasil belajar merupakan instrument untuk mengetahui seberapa besar pencapaian mahasiswa terhadap materi yang diberikan pada saat penerapan model. Tes hasil belajar diberikan pada saat uji coba luas. Bentuk tes hasil belajar yang digunakan berupa tes uraian yang dilengkapi dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran dalam bentuk rubrik. Tes hasil belajar yang dikembangkan berupa tes tertulis bentuk uraian dilengkapi dengan kunci


(43)

jawaban dan pedoman rubrik penskoran. Rentangan skor setiap soal antara 0 – 3. Karena soal yang diberikan berjumlah 4 (empat) soal, maka skor maksimum yang mungkin dicapai mahasiswa adalah 12.

H. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan menurut tahap-tahap penelitian, yaitu tahap pendahuluan, dan tahap pengembangan model

Pada tahap studi pendahuluan, temuan atau fakta-fakta tentang pelaksanaan model pembelajaran yang saat ini digunakan dideskripsikan secara kualitatif. Hasil angket tentang model pembelajaran yang diselenggarakan saat ini serta angket tentang nilai-nilai demokrasi yang perlu dalam proses pembelajaran dipaparkan secara kuantitatif kemudian diinterpretasi berdasarkan data yang diperoleh. Dengan pendekatan ini maka analisis yang digunakan dalam tahap ini adalah deskriptif kualitatif.

Pada tahap pengembangan digunakan beberapa pendekatan analisis. Data pelaksanaan dan hasil pengembangan desain model, dideskripsikan dalam bentuk sajian data kemudian dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil observasi baik terhadap nilai-nilai demokrasi, maupun diskursus matematik dilihat dari frekwensi kemunculannya selama proses pembelajaran berlangsung. Data observasi yang diperoleh tersebut selanjutnya dikelompokkan sebagai berikut:


(44)

Frekwensi kemunculan Kategori Bobot 0-3

4-7 8-11 12-15

16

Sangat tidak baik Tidak baik Kurang baik

Baik Sangat baik

1 2 3 4 5

Analisis terhadap tes hasil belajar dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan prosentase pencapaian ketuntasan terhadap hasil tes formatif, serta dengan uji statistik (uji t) terhadap hasil belajar sebelum dan sesudah penerapan. Sedangkan terhadap hasil tes formatif menggunakan criteria ketuntasan. Apabila mahasiswa memperoleh skor ≥ 7 maka dikategorikan tuntas.


(45)

177 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bagian ini akan diungkap simpulan hasil penelitian yang terdiri dari kesimpulan umum dan kesimpulan khusus. Simpulan umum terkait dengan pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk membina nilai-nilai demokrasi peserta didik, sedangkan simpulan khusus terkait dengan kondisi pelaksanaan pembelajaran matematika saat ini dan peluang pengembangan model, model pengembangan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik untuk membina nilai-nilai demokrasi, efektivitas model yang dikembangkan, serta keunggulan dan keterbatasan dari model yang dikembangkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, selanjutnya dikemukakan dalil, implikasi dan rekomendasi hasil penelitian.

A. Kesimpulan

Untuk menjadi warga negara yang demokratis tidak terjadi dengan sendirinya. Ia perlu dilakukan pembinaan sejak di TK hingga perguruan tinggi melalui proses pembelajaran di kelas oleh guru/dosen. Salah satu cara yang dapat digunakan oleh dosen untuk membina nilai-nilai demokrasi adalah melalui pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok.


(46)

Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang mengintegrasikan interaksi dan komunikasi di dalam kelas dengan proses inkuiri. Aktivitas siswa diwujudkan melalui saling bertukar pikiran melalui komunikasi yang bebas penuh keterbukaan dan kebersamaan mulai dari merencanakan dan melaksanakan investigasi hingga merencanakan dan melaksanakan presentasi. Kondisi ini akan memberikan dorongan yang besar bagi peserta didik untuk belajar menghargai pemikiran-pemikiran dan kemampuan orang lain. Hal ini memungkinkan kelas menjadi sebuah sistem sosial yang membangun kerjasama diantara peserta didik dalam kelompok kecil dan koordinasi diantara kelompok-kelompok di dalam kelas.

Untuk mendukung peserta didik melakukan aktivitas investigasi kelompok dalam pembelajaran matematika dilakukan dengan memberikan tugas-tugas yang kaya untuk memajukan diskusi misalnya soal open ended atau soal yang menantang. Melalui tugas yang demikian, semua anggota kelompok dapat ikut terlibat sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk melakukan aktivitas diskursus matematik. Dalam kelompok kecil, peserta didik dapat saling bertanya untuk mengklarifikasi pemahaman konsep/prosedur matematik (questioning), menjelaskan konsep/prosedur matematik atau menggambarkan bagaimana itu dilakukan (explaining), memberikan penjelasan terhadap pemikirannya tentang konsep/prosedur matematika mengapa pendekatannya itu valid (justifying), mempertahankan pendapat yang telah dikemukakan


(47)

sebelumnya tentang konsep/prosedur matematik (defending), dan mempertanyakan kevalidan konsep/prosedur matematika (challenging).

Secara khusus, upaya pengembangan model pembinaan nilai-nilai demokrasi adalah sebagai berikut:

Pertama, pelaksanaan pembelajaran matematika relative belum memberi ruang bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari bentuk pembelajaran yang digunakan yang cenderung masih konvensional serta pola interaksi antara dosen dan mahasiswa yang cenderung top down. Hal ini berdampak pada tanggung jawab belajar atau inisiatif belajar mereka yang relatif rendah. Sebagian besar mahasiswa masih menginginkan dosen yang menjelaskan dahulu, bukan mahasiswa yang menemukan sendiri. Karena itu pemahaman atau persepsi mahasiswa terhadap model pembelajaran kooperatif, khususnya tipe investigasi kelompok relatif kurang. Cukup banyak mahasiswa yang belum begitu jelas atau keliru memahami model investigasi kelompok. Diskursus matematik dipahami sebagai diskusi atau tanya jawab biasa seperti yang terjadi selama ini. Nilai-nilai demokrasi yang dipandang perlu adalah dengan urutan sebagai berikut: aktif berpartisipasi dengan memberikan ide/pendapat atau mengajukan pertanyaan; kebebasan dalam mengemukakan pendapat/ ide atau mengajukan pertanyaan; kesempatan yang sama untuk berpartisipasi atau mencapai sukses; memberikan pendapat dengan santun dan tertib; menghargai perbedaan pendapat; tidak memaksakan kehendak; berpikir kritis; musyawarah; menyimak pembicaraan orang lain; kesetaraan antara


(48)

mahasiswa dengan mahasiswa dan antara mahasiswa dengan dosen: menerima hasil keputusan yang disepakati; kebebasan dalam menentukan kelompok atau materi perkuliahan.

Kedua, pengembangan model pembinaan nilai-nilai demokrasi dalam seting pembelajaran matematika ditekankan pada 3 (tiga) aspek, yaitu: perancangan RPP berbasis karakter, perancangan bahan ajar, dan perancangan lembar kerja mahasiswa (LKM).

Perancangan RPP, ditekankan pada RPP berbasis karakter, dimana dalam rumusan indikator/tujuan pembelajaran mencantumkan aspek afektif (nilai-nilai demokrasi), selain aspek kognitif seperti yang ada selama ini. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam proses pembelajaran digunakan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok.

Perancangan bahan ajar, disesuaikan dengan model pembelajaran yang digunakan agar memberi peluang mahasiswa untuk melakukan investigasi secara berkelompok. Untuk itu, bahan ajar yang dirancang disajikan secara tidak utuh atau tidak lengkap, dengan maksud agar mahasiswa mencari dan mempelajari sendiri, baik dari buku-buku sumber yang ada maupun dari internet.

Rancangan lembar kerja (LKM) yang dibuat dimaksudkan agar mahasiswa dapat memahami materi ajar melalui investigasi yang dilakukan dalam kelompok masing-masing. Agar terjadi diskursus matematik sehingga diperoleh pemahaman oleh mahasiswa, tugas-tugas yang diberikan dalam


(49)

lembar kerja adalah tugas yang “kaya” sehingga memberi peluang kepada semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing, misalnya pertanyaan open ended, atau pertanyaan-pertanyaan yang menantang sehingga memicu diskusi. Melalui tugas-tugas yang demikian, mereka dapat saling mempertanyakan, mempertahan pendapat, setuju atau tidak setuju dengan pendapat yang lain dalam suasana demokratis.

Ketiga, implementasi pengembangan model pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik secara umum dapat terlaksana dengan lancar, baik proses pembelajaran maupun diskursus matematik. Berdasarkan hasil uji coba terbatas, dilakukan beberapa perubahan dalam pelaksanaan pembelajaran pada uji coba luas. RPP yang semula dirancang 2 (dua) RPP yang masing-masing memuat 2 (dua) bahan ajar berikut lembar kerjanya, dipecah menjadi 4 (empat) RPP yang masing-masing memuat 1(satu) buah bahan ajar dan lembar kerjanya. Hal ini dilakukan karena kegiatan investigasi ternyata cukup memakan waktu sehingga akan lebih efektif apabila dalam 1(satu) RPP hanya memuat 1(satu) bahan ajar berikut lembar kerjanya. Diskursus matematik yang terjadi selama pelaksanaan uji coba secara umum dapat dilaksanakan oleh mahasiswa. Hal ini dapat dipahami karena kegiatan bertanya (questioning), menjelaskan (explaining), dan aspek-aspek diskursus matematik yang lain sudah biasa dilakukan (natural) secara informal. Sayangnya hal tersebut jarang dilakukan secara formal dalam pembelajaran guru/dosen.


(50)

Keempat, selama pembelajaran berlangsung para mahasiswa memperlihatkan perilaku demokratis. Nilai-nilai demokrasi yang diperlihatkan adalah: mendengarkan dengan baik pembicaraan teman, berpartisipasi dengan memberikan ide atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, bermusyawarah dalam mengambil keputusan, menghargai pendapat teman, memberi kesempatan kepada teman untuk berpartisipasi (tidak mendominasi). Dilihat dari pencapaian hasil belajar, diperoleh perbedaan skor yang cukup besar antara sebelum dan sesudah perlakuan pada saat uji coba luas. Hal ini diperkuat oleh hasil tes formatif yang menunjukkan kecenderungan peningkatan pencapaian ketuntasan. Dilihat dari respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran yang diberikan selama penelitian menunjukkan bahwa penggunaan diskursus matematik dalam proses pembelajaran dalam seting investigasi kelompok secara umum ditanggapi sangat positif oleh peserta didik. Hal ini terlihat dari angket yang diberikan sebagian besar mahasiswa menyatakan menarik/sangat menarik. Melalui angket juga terungkap bahwa model pembelajaran yang digunakan membuat mereka lebih mudah memahami materi pelajaran, dapat saling bertukar pendapat, dapat saling membantu/berbagi ilmu.

Berdasakan simpulan yang telah dipaparkan, diperoleh preposisi sebagai berikut:

Jika pembelajaran matematika dilakasanakan dengan menggunakan model investigasi kelompok dengan pendekatan diskusus matematik, maka:


(51)

(i) sikap demokrasi peserta didik akan tumbuh (meningkat), (ii) Hasil belajar matematika peserta didik akan meningkat, dan

(iii)Kemampuan komunikasi dan bekerjasama peserta didik akan meningkat

B. Implikasi dan Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan penelitian bahwa penerapan diskursus matematik dalam seting pembelajaran investigasi kelompok dapat menumbuhkan sikap demokratis mahasiswa dan meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah:

1. Pembelajaran matematika yang melibatkan diskursus matematik, baik dalam seting kelompok maupun klasikal hendaknya menjadi salah satu alternative pilihan pengajar (guru/dosen) dalam melaksanakan pembelajaran matematika. Hal ini akan banyak memberi dampak posisitf, ranah ranah kognitif maupun ranah afektif.

2. Untuk menerapkan pembelajaran investigasi kelompok dengan pendekatan diskursus matematik, pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam lembar kerja mempertimbangkan kemampuan peserta didik. Bagi kelas dengan rata-rata kemamapuan mahasiswa tergolong baik atau sedang, LKM dapat dibuat dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut berpikir tingkat tinggi, sedangkan kelas dengan rata-rata kemampuan mahasiswa tergolong rendah, sebaiknya petanyaan-pertanyaan dalam LKM tidak memuat pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi


(52)

3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan uji validasi pada sampel yang lebih luas untuk mengetahui efektifitas penerapan diskursus matematik, baik terhadap kemampuan matematika, maupun kemampuan-kemampuan lainnya.


(53)

185

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M (1999). Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana

Al-Fandi, H (2011). Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Almond, G.A dan Vebra, S (1965). The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Boston: Little, Brown & Co

APNIEVE (2000) Belajar Untuk Hidup Bersama Dalam Damai dan Harmoni, Pendidikan Nilai untuk Perdamaian, Hak-hak Asasi Manusia, Demookrasi dan Pembangunan Berkelanjutan untuk kawasan Asia Fasifik. Buku Sumber UNESCO-APNIEVE Untuk Pendidikan Guru dan Jenjang Pendidikan Tinggi. Kantor Prinsipal UNESCOnuntuk Kawasan Asia Pasifik, Bangkok & Univesitas Pendidikan Indonesia

Apriliaswati, R (2011). Promoting Peer Interactions To Support Positive Civil Discourse. Disertasi, Bandung: UPI

Arend, R.I (2008). Laening To Teach. New York: Mc Graw-Hill Companies Inc Artz, A.F, & Newman, C.M (1990). Cooperative Learning. Mathematic Teacher,

83, p.448-449

Aunurrahman (2010). “Membangun Kultur Keluarga dan Sekolah untuk Memperkokoh Pendidikan Karakter”. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Kependidikan pada FKIP Untan tgl 10 Agustus 2010 --- (2007). Model Investigasi Kelompok untuk Meningkatkan

Kemampuan Profesional Calon Guru dalam Proses Pembelajaran Nilai-Nilai Moral Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Disertasi, Bandung: UPI

Azra, A (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas

Ball, D (1991). What’s all this talk about discourse? Aritmatic teacher, 39 (3), 44 - 49

Ball, D L (2005). The Role of Mathematic in Learning to Paticipate in a Diverse Democracy. Mathematics Teaching and Learning to Teach Project: University of Michigan. http://www.-personal.umich.edu/-dball/


(1)

Farmer, T.W et.al (2010). Peer Relation of Bullies, Bully-Victims, and Victims: The Two Social Worlds of Bullying in Second-Grade Classrooms. The Elementary School Journal 110:3, 364-392

Frankel, J R. (1977). How to Teach About Values: An Analitical Approach. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Freire, P (2000). Pendidikan Pembebasan. Jakarta: LP3ES

Friedman, M (1962). Capitalism and Freedom. Chicago, United States: University of Chicago Press

Foley, A.J., An Investigation on Effects of mathematical Discourse on the Achievement level of Girls Across Third, Fourth, and Fifth Grades. Thesis, New Britain: Department of Mathematics Central Connecticut State University

Guiller, J, Durndell, and Ross, A (2008). Peer Interaction and Critical Thinking: Face-to-face or online discussion?. Journal of Learning and Instruction Volume 18, Issue 2, April 2008, 187-200

Grouws, D.A, & Cebulla, K.J (2000). Improving student achievement in mathematics: Recommendations for the classroom (Report no.SE 064318. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environtmental Education

Hiebert, J. et al (2003). Teaching mathematics in seven countries: Results from the TIMMS 1999 Video Study (NCES Publication No. 2003-013). Washington, DC: U.S. Departemen of Education, National Center for Education Statistics

Hudiono, B (2005). Peran pembelajaran Diskursus Multirepresentasi terhadap Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Refresentasi pada siswa SLTP. Disertasi , Bandung: UPI

Hufferd-Ackles, Fuson, K.C, Sherin, M.G (2004). Describing levels and componens of a math-talk learning community, Journal for Research in Mathematics Education, 35 (2), 81-116

Iloyd, GM (2008). Teaching Mathematics with a New Curriculum: Change to Classroom Organization and Interaction. Mathematical Thinking and Learning, Taylor & Francis Group, 10: 163-195

Johnson, D.W, & Johnson, R (1978). Comperative, Competitive, and Individualistic Learning. Journal of Research and Development in Education, 12. p. 8-15


(2)

---(1991). Cooperative Learning lesson Structures. Edna, MN: Interaction Book Company

--- , and M.B. Stanne (2000). Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis. http://www.clcrc.com/page/cl-methods.html.

Joyce, B & Weil (1990). Models of teaching. Englewood Clift, N.J: Prentice-Hall Kadarusmadi (1996). Upaya Orangtua dalam Menata Situasi Pendidikan di dalam Keluarga: Studi tentang Nilai-Nilai yang Mendasari dan Mengarahkan Upaya Orangtua yang Diserap Anak dalam Situasi Pendidikan di Keluarga Masyarakat Banda Aceh. Disertasi. Bandung: PPS IKIP Bandung

Kazemi, E. (1998). Discourse that promotes conceptual understanding. Teaching Children Mathematics, 4(7), 410 - 414

Knuth, E & Perssini, D (2001). Unpacking the nature of discourse in Mathematics Classroom. Mathematics Teaching in the Middle School, 6(5), 320-325

Lemin, M., Potts, H dan Welsfod, P (ed). (1994). Values Strategies Educational Research Ltd

Macfud MD, M (1999). Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gema Media

Mahfud, C (2009). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Malloy (2002). “Democratic Access to Mathematics Through Democratis

Education”. In L.D English (Ed). Handbook of Instructional Research in mathematics Education p.17-25. Mahwah, NJ: Lawrenca Erlbaum Associates

Mc Millan, J, H., Schumacher, S (2001). Research In Education: A Conceptual Introduction. Fifth edition. New York: Addison Willey Longman, Inc. Moote Jr et.al (1999). Social Skills Training With Youth in School Settings: A

Review. Sage Journal Online Vol.9 No.4 427-465

Nathan, M.J, & Knuth, E (2003). A Study of Whole Classroom mathematical Discourse and Teacher Change. Cognition and Instruction, 21(2). P. 175-207

NCTM (2000). Principle and Standars for School Mathematic. Virginia: NCTM Nurhadi, dkk (2004) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.


(3)

Pasti, Y. P (2005). “Menuju Pendidikan Demokratis-Humanistik”, Kompas, 23 Juli 2005

Peressini, D & Knuth, E (1998). Why are you talking when you could be listening? The role of discourse and reflection in the professional development of a secondary mathematics teacher. Teaching and Teacher Education, 14 (1), 107-125

--- (2001). Unpacking the nature of discourse in mathematic classroom: Mathematics Teaching in the Midle School, 6 (5). p. 320-325

Polluci, B., Hall, O.A dan Axinn, N.W (1977). Family Decision Making an Ecosystem Approach. Canada: John Wiley & Sons, Inc

Rais, M. A (1998). “Masalah-masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia” dalam Junal Milenium: Agama dan Tamaddun, no.1 Th.1, Januari-April 1998 Rasyidin, Al. (2005). Model Pendekatan Inkuiri dalam Pengembangan

Nilai-Nilai Demokrasi Pendidikan Islam: Studi Kualitatif tentang Pembelajaran Ilmu Pendidikan Islam pada Mahasiswa PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara. Desertasi Doktor, Bandung: PPS UPI

Redhana, I, W (2009). Pengembangan Program Pembelajaran Berbasis Terbimbing untuk Meningkatkan Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa pada mata Pelajaran Kimia SMA. Disertasi Doktor, Bandung: PPS UPI

Reys, R E, et.all (1989). Helping Children Learn Mathematic. New Jersey: Prentice Hall Inc

Sanaky, H (2003). Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safira Insania Press

Sharan, S (1980). Cooperative Learning in Team: Recent Methods and Effects on achievement, attitudes, and ethnic relation. Revieu of Educational Research. 50.p 241-271

--- (1984). Handbook of Cooperative learning methods. New York: Praeger

Sharan, Y, & Sharan, S (1989). Group Investigation Expand Cooperative Learning. Educational Leadership, 47 (4). P. 17-21

--- (1992). Expanding Coopeative Learning through Group Investigation. New York: Teachers College Press

Shaver, J. P, dan Strong, W (1982). Facing Value Decision: Rationale-building for Teachers, New York and London: Teachers College Collumbia University.


(4)

Slavin, R (1994). Educational Pshicology: Teory into Practice. Prantice Hall: Englewood

Slavin, R. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice, 2nd. Boston, MA: Allyn and Bacon Publisher

--- (1997). Educational Psychology Theory, Research, and Practice. Fifth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher

Silver, E.A, & Smith, M.S (1996). Building Discourse Communities in Mathematics Classroom: A Worthwhile but Challenging Journey. In P.C Elliot (Ed). Communication in Mathematics K-12 and beyond. Reston VA: National Council of Teacher of Mathematics

--- (1997). Implementing reform in the mathematic classroom: Creating mathematical discourse communities. In Reform in math and science education: Issues for teacher. Columbus, OH: Eisenhower National Clearinghouse

Soelaeman, M.I (1992). Peranan Pendidikan Keluarga dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional. Mimbar Pendidikan, No.2/XI: 45-48

Stein, M.K, Smiths, M.S, Henningsen, M.A, & Silver, E.A (2000). Implementing standards-based mathematics instruction. New York: Teacher College Press

Stiger,J.W, & Hiebert,J (1999). The teaching gap. New York: Free Press

Stronge, J.H (2002). Qualities of effectife teachers. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development

Suhardjono,.(2000) Haruskah Demokrasi Belajar Menggunakan Konstrukstivistik, Malang: IPTP

Sukmadinata, N.S (2005). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sumaatmadja, N (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: ALFABETA

Sumarmo, U (2000). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disjikan pada seminar Nasional FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.

Suparno, P (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan , Yogyakarta: Kanisius


(5)

--- (2000). Kurikulum SMU yang Menunjang Pendidikan Demokratis: Dalam Sindhunata(ed).2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Abad XXI . Yogyakarta:Kanisius

--- (2004). Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Gramedia Suryadi, A., Budimansyah, D (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan

Nasional: Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara Press

Tim Penyusun (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Taba, H, et.al., (1971). A Teacher’s Handbook to Elementary Social Studies.

Sydney: Addison- Wesley Publishing Company

Tate,W.F (1996). Mathematizing and the Democracy: The Need for an Education that is Multicultural and Social reconstructionist. In: C.A. Grant, M.L Comes (ed), Making Schooling Multicultural: campus and Classroom. Englewood Cliffs, NJ. Prentice Hall, p. 185-201

Thiagrajan, S., Semmel, D.S, & Semmel, M.L (1974). Instructional, development for Training Teacher of Exceeptional Children. Minnesota: Indiana University

Treffer, A (1987). Three Dimension. A Model of Goal and Theory Description in Mathematic Instruction- The Wiskobas Project. Dordecht: Reidel Publishing Company

Whitenack, J & Yackel, E (2002). Making mathematical arguments in the primary grades : The importance of explaining and justifying ideas. Teaching Children Mathematics, 8(9), 524-527

Winecoff, H.L (1988). “Values and Education: Conception and Models” dalam Manan, A (1995). Pendidikan Nilai: Konsep dan Model. Malang: FIP IKIP Wodrow, D (1997). Democratic Education: Does it Exist-Especially for

mathematic Education?-in For the Learning of Mathematic. 17(3), p.11-16 Yackel, E & Cobb, P (1996). Sociomathematical norm, argumentation, and

autonomy in mathematics : Journal for Research in Mathematics Education, 27, 458-477

Yamin, Martinis (2007). Profesionalsasi Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press

Zamroni (2001). Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf Publishing


(6)

--- (2011). Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Gavin Kelam Utama

Zuriah, N dkk (2008). Analisis Model Teorotik Inovasi Pembelajaran Berbasis Demokratisasi di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Hasil Penelitian, Ditbinlitabmas Dikti dan Lemlit UMM


Dokumen yang terkait

Pengembangan Karakter dalam Pembelajaran Matematika: Model di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS

0 4 10

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA: Studi Kasus Pengembangan Model di Prodi Pendidikan Matematika Pontianak.

0 0 61

IMPLEMENTASI MODEL PENGEMBANGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF BAGI UPAYA PENUMBUHAN SIKAP WARGA NEGARA YANG DEMOKRATIS : Studi Deskriptif Analitik dalam Pembelajaran PKn di SMAN 1 Pontianak.

0 1 131

Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Karater di Sekolah Dasar.

0 0 1

PENGEMBANGAN MODEL REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BAGI MAHASISWA PRODI PGSD FKIP UNS KAMPUS KEBUMEN | Wahyudi | Paedagogia 7523 15898 2 PB

0 0 10

ANALISIS PENGGUNAAN DANA BEASISWA BERPRESTASI PADA MAHASISWA PENDIDIKAN EKONOMI FKIP UNTAN

0 0 9

PEMBELAJARAN MENULIS TEKS EKSPOSISI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE INVESTIGASI KELOMPOK DI SMP

0 0 17

KEMAMPUAN MATEMATIKA DAN GAYA BERPIKIR MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FKIP UNCP)

0 1 17

Desain Model Pembelajaran “Garuda” di Prodi S1 Pendidikan Matematika (suatu implementasi pembelajaran SKA dalam mendukung pelaksanaan KBK Prodi S1 Pendidikan Matematika FKIP Universitas Pekalongan) Oleh: Muhammad Ilyas Yusuf Pendidikan Matematika FKIP Uni

0 0 11

Model Pembelajaran Sejarah Indonesia Baru Berbasis Nilai Asthabrata dengan Pendekatan Dekonstruksi untuk Meningkatkan Sikap Kepemimpinan Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta - UNS Institutional Repository

0 1 20