PERILAKU BACKCHANNEL PENUTUR INDONESIA TERHADAP AIZUCHI DALAM KOMUNIKASI VERBAL BAHASA JEPANG.

(1)

Kata Pengantar i

Ucapan Terima Kasih iii

Abstrak viii

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Lampiran xiii

BAB I Pendahuluan 1

1.1 Latar belakang Penelitian 1

1.2 Identifikasi Masalah 6

1.3 Pertanyaan Penelitian 7

1.4 Definisi Operasional 8

1.5 Tujuan Penelitian 9

1.6 Manfaat Penelitian 10

BAB II Aizuchi sebagai Backchannel 12

2.1 Percakapan 13

2.2 Backchannel 16

2.3 Aizuchi 20

2.3.1 Bentuk Aizuchi 21

2.3.2 Kemunculan Aizuchi berdasarkan

Pause-bounded Phrasal Units dan Listening Response Relevant Moment

23


(2)

Pragmatics)

2.5.2 Kegagalan Pragmatik (Pragmatic Failure) 34

2.6 Penelitian-penelitian Sebelumnya 34

BAB III Metode Penelitian 38

3.1 Responden Penelitian 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 42

3.3 Sumber Data 43

3.4 Metode Penelitian 45

3.5 Prosedur Penelitian 45

3.6 Instrumen Penelitian 47

3.7 Teknik Pengumpulan Data 50

3.8 Teknik Analisis Data 51

BAB IV Aizuchi sebagai Backchannel dalam percakapan

Bahasa Jepang pada tuturan Penutur Indonesia

53

4.1 Deskripsi Data 54

4.2 Kemunculan Aizuchi 57

4.2.1 Kemunculan Aizuchi berdasarkan Bentuknya 58

4.2.2 Kemunculan Aizuchi berdasarkan

Pause-bounded Phrasal Units dan Listening Response Relevant Moment

61

4.2.3 Kemunculan Aizuchi berdasarkan Fungsinya 66


(3)

4.4 Hambatan pada Penutur Indonesia dalam Penggunaan Aizuchi

81

4.4.1 Perbedaan Gramatika 81

4.4.2 Kurangnya Kontak Bahasa 83

4.4.3 Perbedaan Budaya 84

4.5 Kompetensi Pragmatik dalam Penggunaan

Aizuchi pada Penutur Indonesia

86

4.6 Produksi Aizuchi pada Penutur Indonesia 88

4.7 Pemahaman dan Kesadaran terhadap Budaya

Omoiyari

91

BAB V Simpulan dan Saran 98

5.1 Simpulan 98

5.2 Saran 102

Daftar Pustaka 105


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Kajian terhadap kompetensi pragmatik penutur bahasa kedua memiliki dua aspek penting, yaitu produksi dan pemahaman yang merupakan bagian dari kompetensi pragmatik pembelajar bahasa kedua. Pembelajar bahasa kedua harus memiliki kemampuan memproduksi tuturan dengan tepat secara kontekstual dalam bahasa targetnya, dan memiliki kesadaran terhadap hal-hal yang membentuk perilaku linguistik yang tepat dalam variasi interaksi sosial dalam bahasa target mereka. Hal ini menunjukkan hubungan antara budaya dan kompetensi pragmatik dalam bahasa kedua.

Produksi dan pemahaman terhadap fitur linguistik bahasa kedua dipengaruhi oleh budaya dan kemungkinan terjadi tumpang tindih antara norma pragmatik dalam budaya bahasa pertama dengan norma yang sama dalam budaya bahasa kedua. Menurut Schauer (2009), keadaan ini menyulitkan pembelajar bahasa kedua untuk menentukan makna yang diniatkan secara tepat. Kedua aspek ini memperlihatkan kesulitan yang dihadapi penutur Indonesia. Produksi tuturan

aizuchi pada penutur Indonesia dipengaruhi oleh lamanya kontak bahasa dengan

penutur Jepang dan motivasi dalam berinteraksi sosial. Latar belakang pendidikan kebahasaan juga berpengaruh terhadap hal ini. Pemahaman terhadap penggunaan

aizuchi didapatkan penutur Indonesia dari proses imitasi yang dilakukannya


(5)

Ketepatan pragmatik dalam penggunaan aizuchi diteliti dengan memperhatikan variasi leksikal, saat relevan untuk memberikan respons pendengar, dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penutur Indonesia ketika bercakap-cakap dengan penutur Jepang dalam bahasa Jepang. Ketika tidak tepat menggunakannya, penutur Indonesia menemui hambatan dalam menyampaikan respons. Solusi yang diupayakannya adalah memberikan respons dalam bahasa ibunya yaitu bahasa Indonesia. Hambatan yang dihadapi oleh penutur Indonesia dalam menggunakan aizuchi berupa perbedaan struktur kalimat dan norma budaya dalam tuturan bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia. Orang Jepang cenderung sering memberikan respons sebagai pendengar sebagai tanda empati terhadap penutur di tengah-tengah tuturan, sedangkan orang Indonesia cenderung memberikan respons yang sama hanya di akhir tuturan saja untuk menghormati dan menghargai penutur. Penutur Indonesia dalam konteks percakapan di kantor dalam penelitian ini sebagian memperlihatkan perilaku yang sama dengan penutur asli Jepang dan sebagian lagi mempertahankan identitas sosial mereka. Hal ini terlihat dari upaya mereka dalam memberikan aizuchi sebagai backchannel tidak dalam konteks bahasa Jepang (yang memberikan aizuchi di setiap unit frasa atau klausa), tetapi di akhir tuturan seperti kebiasaan yang dilakukan orang Indonesia ketika bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.

Dalam penelitian ini, bahasa Jepang menjadi objek penelitian karena di Indonesia peminat bahasa Jepang cukup tinggi. Bahasa Jepang diajarkan sebagai mata pelajaran wajib atau pilihan di tingkat sekolah menengah. Pengaruh budaya Jepang juga cukup tinggi terlihat di kalangan remaja Indonesia. Anime, cosplay,


(6)

dan manga bukan hal yang baru dan aneh bagi remaja kita. Bahasa dan budaya Jepang memberikan warna tersendiri pada budaya remaja Indonesia.

Struktur bahasa Jepang dan struktur bahasa Indonesia yang berbeda menimbulkan “language gap” dalam percakapan lintas budaya sebagai salah satu bentuk komunikasi. Hambatan dalam komunikasi dapat terjadi karena perbedaan cara dalam melakukan komunikasi lisan, baik dalam sistem bahasa Jepang maupun sistem bahasa Indonesia. Tindak tutur yang terjadi dapat berlangsung dengan baik atau mengalami hambatan karena adanya perbedaan cara interlokutor melakukan percakapan terutama ketika bertutur dalam bahasa asing. Salah satunya dalam hal merespons tuturan penutur dalam percakapan. Hambatan ini bisa diatasi dengan adanya pengetahuan sosial budaya yang dimiliki oleh interlokutor yang berbeda budayanya. Interlokutor harus memerhatikan pola-pola kemungkinan tingkah laku dalam setiap budaya yang yang memiliki keragaman berbeda dan membentuk unit-unit fungsional tersendiri (Jandt, 1998).

Unit fungsional yang terdapat dalam respons percakapan tersebut bergantung pada budaya yang mengikat tindak tutur, misalnya berupa

backchannel. Respons ini diberikan oleh mitra tutur untuk mempertahankan

keberlangsungan sebuah percakapan. Ada atau tidak adanya backchannel mempengaruhi kelancaran pola interaksi komunikasi. Tanggapan yang diberikan berupa umpan balik terhadap sebuah tuturan berperan penting dalam memuluskan jalannya percakapan. Jadi, pengetahuan pragmalinguistik memiliki peran penting dalam meningkatkan keterampilan mendengar dalam pemerolehan bahasa kedua (Maynard, 1989; Horiguchi, 1997; Iwasaki 1997).


(7)

Edizal (2010) berpendapat bahwa dalam budaya Jepang, aizuchi berfungsi sebagai pelancar arus komunikasi bagi manusia Jepang. Namun, tidak begitu halnya dengan kebanyakan bangsa lainnya. Mereka yang terbiasa mendengarkan saja kalimat lengkap lawan bicara tanpa menimpalinya, menganggap aizuchi ini sebagai pengganggu yang menjengkelkan. Suatu pandangan yang lumrah muncul dari mereka yang tidak paham akan fungsi aizuchi tersebut dalam dunia komunikasi masyarakat Jepang.

Orang yang sering berkomunikasi dalam bahasa Jepang serta sering mendengarkan dan memperhatikan cara orang Jepang berbicara, secara alamiah akan terbiasa menerapkan aizuchi ketika berbicara dalam bahasa Jepang kendati tanpa begitu menyadari apa fungsi sebenarnya penerapan ungkapan-ungkapan tersebut. Memahami dengan baik makna yang terkandung dalam ungkapan ini memungkinkan kita berkomunikasi menjadi dekat seperti yang biasa diterapkan penutur asli. Perhatikan contoh penggunaan aizuchi berikut:

A : ゆうべ す

yūbe desu ne. <<Semalam>> B : い

Hai. <<Ya>>

A : 私 アパート 入っ いった

watashi ga apāto ni haitte itta toki Waktu aku masuk apartemen B :ええ

ē. <<Ya>>

A : こっ いる愛人 手

okotte iru aijin no te kara.

<<Dari tangan pacar gelapku yang lagi sewot>> B : い

Hai. <<Ya>> A :


(8)

sara ga tonde kita.

<<Piring terbang ke arahku>>

B : ああ そう す 愛人 持っ いる人 不誠実 人 す

ā, sō desu ka. Aijin o motte iru hito wa fuseijitsuna hito desu

yo.

<<Oh, begitu? Orang yang punya pacar gelap adalah orang yang tidak setia kan>>

Dalam percakapan ini terlihat ucapan pembicara ditimpali dengan beragam

aizuchi, yaitu hai dan ā, sō desu ka oleh mitra tutur. Pembicara juga dengan

sengaja memotong tuturan untuk memberikan kesempatan kepada lawan bicara dengan mengisi ruang yang disediakannya untuk memberikan respons. Jelas terlihat dia tidak berusaha merampungkan kalimatnya sekaligus menjadi:

ゆうべ 私 アパート 入っ い った こっ いる愛人 手

さ 飛 た

Yūbe watashi wa apāato ni haitte itta toki, okotte iru aijin no te kara sara ga tonde kita.

<<Semalam waktu aku masuk apartemen, piring terbang dari tangan pacar gelapku yang lagi sewot ke arahku>>

Menurut Edizal (2010), satu pandangan lain berlaku pula di sini bahwa ketika seseorang berbicara bukan di depan corong mikrofon, melainkan di depan seseorang lain yang punya perasaan dan bisa mendengar serta menanggapi ucapannya, lawan bicara mestilah diberi kesempatan dengan mempersilakannya masuk dalam aliran pembicaraan tersebut. Penutur sedikitnya menyediakan interval bagi pendengar untuk menyelipkan ekspresi-ekspresi pendek ini. Sebaliknya si pendengar juga siap dengan segudang aizuchi yang sudah lengket mapan dalam benaknya dan akan menumpahkannya sedikit demi sedikit baik berupa kata yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, harapan akan kelancaran komunikasi akan tercapai dan benturan budaya dapat dihindari.


(9)

Identikasi Masalah

Penutur asli bahasa Jepang sering menggunakan aizuchi dalam percakapan mereka sehari-hari baik formal maupun informal. Contoh aizuchi adalah hai, ē, sō

desu ne, dan naruhodo. Bagi orang asing, aizuchi menimbulkan kebingungan

dalam mempertahankan kelangsungan percakapan. Kurangnya penggunaan

aizuchi oleh penutur non-Jepang dapat membawa kesalahpahaman bahwa tuturan

yang disampaikan dalam percakapan tidak dimengerti oleh mitra tutur. Kehadiran

aizuchi dalam sebuah percakapan merupakan ciri khas percakapan dalam bahasa

Jepang ( Kita dan Ide, 2007 dalam Maynard, 1993).

Ketepatan menggunakan aizuchi ini perlu pula diatur dalam benak. Pemakaian yang tidak layak akan mengacaukan aliran komunikasi dan membingungkan lawan bicara. Seandainya ungkapan yang sama digunakan terus menerus dalam selang waktu dua tiga detik, misalnya kata hai tanpa variasi, akan menimbulkan kesan seolah-olah pendengar sudah jemu mendengarkannya dan bisa dianggap sebagai sinyal agar berhenti saja mengoceh. Oleh karena itu penggunaan aizuchi yang sama terus-menerus dalam menimpali pembicaraan seseorang perlu dielakkan (Edizal, 2010).

Aizuchi merupakan strategi kerjasama antara penutur dan mitra tutur dalam manajemen percakapan sehari-hari dalam bahasa Jepang. Dalam penelitian ini, Metode Analisis Percakapan digunakan untuk mengetahui fitur-fitur percakapan dalam perilaku penutur Indonesia ketika memberikan respons berupa

backchannel dalam bahasa Jepang. Backchannel yang diberikan penutur Indonesia


(10)

Bagi penutur Indonesia, percakapan dalam bahasa Jepang merupakan hal yang cukup sulit karena bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedua. Dalam penggunaan bahasa kedua dalam percakapan terdapat tingkat kenyamanan (level

of comfort) dalam mengenali beberapa bentuk dan struktur bahasanya (Bialystok,

2003). Penelitian ini diupayakan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku penutur Indonesia dalam menggunakan aizuchi sebagai backchannel dalam percakapan bahasa Jepang.

1.2Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, penutur Indonesia sebagai penutur non-asli menggunakan backchannel dalam percakapan bahasa Jepang sebagai respons tuturan kepada mitra tuturnya. Menurut Mey (2001), bahasa Jepang memiliki ragam aizuchi sebagai backhannel yang bentuk dan frekuensinya bervariasi mulai dari tuturan biasa seperti hai dan ē sampai ke bunyi vokal dan konsonan termasuk menggerutu dan helaan napas. Dengan demikian, penutur Indonesia memerlukan ketrampilan pragmatik dalam penggunaan aizuchi ini ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Untuk itu, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian di bawah ini untuk mendapatkan pengetahuan mengenai ketrampilan penggunaan

aizuchi ini. Pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut diajukan sebagai berikut:

1. Apakah penutur Indonesia dapat menggunakan aizuchi sebagai

backchannel dalam bahasa Jepang dengan bentuk yang tepat?

2. Apakah penutur Indonesia dapat menggunakan aizuchi sebagai


(11)

3. Apakah penutur Indonesia dapat menggunakan aizuchi sebagai

backchannel dalam bahasa Jepang dengan fungsi yang tepat?

4. Hambatan apa yang dihadapi oleh penutur Indonesia dalam menggunakan

aizuchi?

1.3Definisi Operasional

1. Percakapan adalah percakapan tatap muka yang terjadi secara spontan dan alamiah antara dua orang penutur (penutur Jepang dan penutur Indonesia) berupa obrolan biasa (casual conversation) di kantor dalam bahasa Jepang dengan topik yang beragam.

2. Penutur Jepang adalah penutur asli bahasa Jepang yang tinggal dan bekerja di Indonesia.

3. Penutur Indonesia adalah orang Indonesia yang bertutur menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa kedua dan menjadi interlokutor dalam percakapan. Penutur Indonesia bekerja sebagai karyawan di lembaga pendidikan bahasa Jepang di Bandung.

4. Aizuchi adalah backchannel berupa tuturan verbal pendek yang dituturkan

oleh pendengar/mitra tutur yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa Jepang dan berfungsi untuk melancarkan proses komunikasi. Bentuk aizuchi, momen, dan fungsi kemunculannya dalam percakapan menjadi variabel analisis dengan memperhatikan Pause-bounded Phrasal

Unit (PPU) dan Listening Relevant Response Moment (LRRM). Penelitian


(12)

5. Bentuk aizuchi adalah bentuk leksikal yang menjadi unit aizuchi.

6. PPU adalah sebuah klausa sintaktis yang dibagi ke dalam beberapa unit yang lebih kecil dan dibatasi oleh jeda.

7. LRRM adalah momen yang ada dalam keberlangsungan percakapan yang disampaikan pendengar yang melekat pada makna berdasarkan aktivitas komunikasi.

8. Fungsi aizuchi adalah fungsi yang melekat pada tuturan aizuchi yang ditentukan dengan melihat isi tuturan penutur dan niat pendengar dalam menyampaikan responsnya dengan mempertimbangkan tuturan penutur berikutnya.

1.4Tujuan Penelitian

Komunikasi interpersonal menuntut ketrampilan interlokutor dalam mengelola percakapan agar berlangsung mulus. Apalagi ketika dihadapkan pada percakapan yang menggunakan bahasa asing, interlokutor memerlukan pemahaman lebih dalam mengenai struktur bahasa dan pola penggunaan bahasa tersebut dalam kaitannya dengan budayanya. Penelitian tentang perilaku penutur Indonesia terhadap aizuchi sebagai backchannel dalam percakapan bahasa Jepang ini bertujuan:

1. untuk mendapatkan pengetahuan linguistik mengenai bentuk aizuchi dan saat yang tepat menggunakan aizuchi ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang;


(13)

2. untuk mendapatkan strategi komunikasi yang baik dan berterima dalam percakapan bahasa Jepang agar hambatan yang dialami penutur Indonesia dapat diatasi;

3. untuk memahami konsep budaya tentang penggunaan aizuchi sebagai

backchannel dalam percakapan bahasa Jepang;

Pengetahuan tentang bentuk, fungsi, dan momen yang tepat dalam penggunaan

aizuchi membantu kelancaran komunikasi ketika bertutur dalam bahasa Jepang.

Konsep budaya tentang penggunaan aizuchi ini juga akan membantu penutur Indonesia dalam mengatasi hambatan ketika menemukan kesulitan dalam memberikan respons percakapan dalam bahasa Jepang. Latar belakang budaya yang berbeda mempengaruhi produksi dan pemahaman kompetensi penutur Indonesia, namun hal ini dapat diatasi dengan proses peralihan pragmatik.

1.5 Manfaat Penelitian

Keberhasilan melakukan komunikasi lintas budaya dipengaruhi oleh kompetensi pragmatik dan pemahaman budaya yang dimiliki oleh interlokutor. Fenomena penggunaan aizuchi sebagai backchannel dalam cara merespons percakapan bahasa Jepang oleh penutur Indonesia ini diteliti secara mendalam guna mendapatkan manfaat penelitian berupa:

1. pengetahuan sosial budaya interlokutor agar dapat melancarkan komunikasi dalam percakapan bahasa Jepang;

2. pengetahuan linguistik mengenai pola penggunaan aizuchi dalam bahasa Jepang ;


(14)

3. pemahaman penggunaan aizuchi sebagai backchannel dalam budaya Jepang bagi penutur Indonesia;

4. kemudahan dalam strategi percakapan yang diupayakan oleh penutur Indonesia ketika berkomunikasi dengan penutur Jepang dalam bahasa Jepang untuk meningkatkan ketrampilan interpersonalnya.

Ketrampilan interpersonal dalam mengelola sebuah percakapan akan meningkatkan kualitas hubungan antar-interlokutor terutama dengan penutur Jepang. Bekal pengetahuan ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai bentuk komunikasi bisnis seperti negosiasi, presentasi, diskusi, dan wawancara kerja untuk meningkatkan kompetensi pragmatik penutur Indonesia dalam menggunakan bahasa Jepang.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan ketrampilan pragmatik dalam bahasa kedua, penutur Indonesia memerlukan pemahaman lebih dalam mengenai struktur bahasa dan pola penggunaan bahasa kedua dalam kaitannya dengan budaya yang melekat. Terkait dengan fokus penelitian ini, penutur Indonesia memerlukan ketrampilan menggunakan aizuchi sebagai alat backchannel dalam percakapan bahasa Jepang ketika bertutur dengan penutur Jepang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan linguistik mengenai bentuk aizuchi dan saat yang tepat untuk menggunakan aizuchi ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang serta untuk memahami konsep budaya tentang penggunaan aizuchi sebagai backchannel dalam budaya Jepang, peneliti melakukan langkah-langkah penelitian yang terkait dengan kajian analisis percakapan dan pragmatik bahasa antara (interlanguage

pragmatics).

Aizuchi yang digunakan oleh penutur Indonesia menjadi fokus dalam

penelitian ini. Penggunaan aizuchi tersebut diteliti dengan mempertimbangkan faktor kompetensi bahasa Jepang penutur Indonesia, hubungan antar responden percakapan, dan ketepatan bentuk dan fungsi aizuchi yang muncul dalam data percakapan. Faktor kompetensi bahasa Jepang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan bahasa Jepang yang dimiliki oleh penutur Indonesia dan kontak bahasa yang mereka alami dengan penutur Jepang. Hubungan antar responden memperlihatkan pilihan bahasa yang digunakan oleh penutur Indonesia dalam


(16)

menuturkan aizuchi. Ketepatan dalam hal bentuk dan fungsi digunakan sebagai pengetahuan linguistik untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk dan saat yang tepat ketika menuturkan aizuchi.

3.1 Responden Penelitian

Jumlah penutur Indonesia yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak lima orang. Penutur Indonesia ini merupakan orang Indonesia yang memiliki kompetensi bahasa Jepang tingkat menengah serta tinggal di Indonesia dan bekerja di institusi yang memiliki karyawan Jepang. Mereka berinteraksi dengan atasan mereka yang menjadi penutur Jepang dalam konteks percakapan di kantor. Selain itu, peneliti memilih tiga orang siswa pembelajar bahasa Jepang yang menjadi tamu ketika berkunjung ke lembaga pendidikan yang menjadi lokasi penelitian ini.

Dalam menentukan responden penelitian, kompetensi penutur Indonesia berada dalam tingkat kemampuan bahasa Jepang yang setara dengan kemampuan bahasa Jepang level 4 dan/atau telah memiliki kompetensi tingkat menengah (intermediate level). Hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan responden memahami tuturan penutur Jepang dalam bahasa Jepang. Responden ini dipilih menjadi subjek penelitian karena latar belakang kompetensi bahasa Jepang dan latar belakang sosial budaya mereka seperti hubungan antar responden percakapan, lama tinggal di Jepang, dan preferensi mereka untuk memberikan respons pendengar. Nama-nama penutur Indonesia tersebut diganti dengan inisial nama untuk menjaga wilayah pribadi mereka. Responden dalam penelitian ini adalah:


(17)

1. I.

Ia adalah karyawan Kyoto Minsai Language School. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari studi sebagai mahasiswa prodi bahasa Jepang di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung selama 4 semester.

2. T.

Ia adalah karyawan Kyoto Minsai Language School. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari studi sebagai mahasiswa prodi bahasa Jepang di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung selama 4 semester.

3. Y.

Ia adalah karyawan Kokusai Kotoba Gakuin. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari Sekolah bahasa Jepang selama 2 tahun di Jepang

4. Ay.

Ia adalah karyawan Kokusai Kotoba Gakuin. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari Sekolah bahasa Jepang selama 2 tahun di Jepang

5. Ak.

Ia adalah karyawan Kokusai Kotoba Gakuin. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari belajar bahasa Jepang di Hinode Nihongo Course di Bandung selama 1 tahun.

6. P.

Ia adalah siswa tamu yang berkunjung ke Hinode Nihongo Course di Bandung untuk mendapatkan informasi mengenai sekolah di Jepang. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari studi sebagai mahasiswa di


(18)

sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung pada program Studi Bahasa Jepang D3 selama 6 semester.

7. S.

Ia adalah siswa tamu yang berkunjung ke Hinode Nihongo Course di Bandung untuk mendapatkan informasi mengenai sekolah di Jepang. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari studi sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung pada program Studi Bahasa Jepang D3 selama 6 semester.

8. R.

Ia adalah siswa tamu yang berkunjung ke Hinode Nihongo Course di Bandung untuk mendapatkan informasi mengenai sekolah di Jepang. Kemampuan bahasa Jepang diperoleh dari belajar bahasa Jepang di Hinode Nihongo Course di Bandung selama 1 tahun

Mitra tutur dalam percakapan bahasa Jepang ini adalah dua orang pengajar bahasa Jepang, yaitu Mr. M dari Kyoto Minsai Language School dan Mrs. W dari Kokusai Kotoba Gakuin. Penutur Jepang ini dipilih karena mereka dianggap mengerti tujuan penelitian dan hal-ihwal yang berkaitan dengan penelitian ini dan dapat diajak menjadi responden penelitian. Pada umumnya orang Jepang menjaga jarak terhadap orang asing yang baru dikenal sehingga sulit untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Para pengajar ini terbiasa berinteraksi dengan orang asing sehingga peneliti mudah melakukan komunikasi demi kepentingan penelitian ini.


(19)

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, peneliti meminta penutur Jepang untuk bertutur dalam bahasa Jepang dengan menggunakan kalimat-kalimat panjang dan/atau beberapa kalimat dalam satu kali tuturan dalam bahasa Jepang sehingga mitra tutur Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menggunakan

aizuchi. Namun situasi percakapan tetap alami dan situasi tetap dijaga

sebagaimana keadaan sehari-hari di kantor tersebut. Data penutur Jepang sebagai berikut:

1. M, seorang guru bahasa Jepang di Kyoto Minsai Japanese Language School, Jl. Cihampelas, Bandung

2. W, seorang guru bahasa Jepang di Kokusai Kotoba Gakuin, Jl. Dipati Ukur, Bandung.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian mengenai penggunaan aizuchi sebagai

backchannel oleh penutur Indonesia ini di lembaga pendidikan bahasa Jepang

yang ada di Bandung dengan pertimbangan bahwa lembaga tersebut lebih terbuka daripada institusi resmi seperti pabrik, perusahaan atau kantor perwakilan lainnya dalam hal pemberian informasi mengenai kegiatan perusahaan. Adapun lembaga pendidikan yang menjadi lokasi penelitian adalah institusi pendidikan bahasa Jepang di Bandung, yaitu:

1. Kyoto Minsai Language School, Jl Cihampelas, Bandung 2. Kokusai Kotoba Gakuin , Jl. Dipati Ukur 42, Bandung


(20)

Waktu yang disediakan oleh lembaga pendidikan tersebut untuk melakukan penelitian ini adalah pada saat jam kerja resmi mereka dari bulan Maret sampai bulan Mei 2012. Data diambil pada saat para penutur Jepang tersebut sedang bertugas di kantor lembaga tersebut untuk mengerjakan pekerjaan administrasi dan pekerjaan-pekerjaan kantor lainnya. Situasi ini memberikan gambaran alamiah dan otentik daripada situasi dalam proses pembelajaran di kelas sehingga kemunculan aizuchi bersifat spontan dan kontekstual.

3.3 Sumber Data

Rekaman data berjumlah 15 kelompok percakapan dengan jumlah tuturan 409 tuturan. Tuturan yang muncul terdiri dari beberapa elemen yang ada dalam struktur percakapan seperti pasangan ajasensi dan backchannel. Pasangan tuturan yang mengandung aizuchi sebagai backchannel diambil untuk dianalisis berdasarkan Pause-Phrasal bounded Units dan Listening Response Relevant

Moment untuk mendapatkan ketepatan bentuk aizuchi dan ketepatan saat

menuturkannya.

Kelimabelas kelompok percakapan yang menjadi sumber data penelitian ini dipilah berdasarkan topik percakapan yang ditandai dengan kesenyapan panjang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan alur percakapan yang utuh dalam membicarakan sebuah topik untuk mendapatkan makna konteksnya. Durasi percakapan antara sepuluh detik sampai kira-kira lima menit bergantung kepada panjang pendeknya topik yang dibicarakan.


(21)

Pengelompokan data dilakukan berdasarkan kemunculan aizuchi dalam percakapan. Data percakapan memperlihatkan banyaknya kalimat-kalimat dalam bahasa Jepang yang memungkinkan adanya kesempatan bagi penutur Indonesia untuk menggunakan aizuchi. Respons yang diberikan penutur Indonesia sebagai pendengar dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Dalam penelitian ini, respons bahasa Jepang yang menjadi data utama untuk dianalisis.

Aizuchi yang diteliti diidentifikasi berdasarkan bentuk yang disampaikan

oleh Tomisaka dan diselaraskan dengan materi pelajaran kaiwa (percakapan) yang ada dalam buku teks Minna no Nihongo I dan II yang menjadi acuan bahan ajar bahasa Jepang di beberapa perguruan tinggi dan lembaga kursus bahasa Jepang di Indonesia. Hal lain yang harus diidentifikasi adalah fungsi aizuchi dengan acuan fungsi yang dikemukakan oleh Maynard. Penutur Jepang menyampaikan penanda berupa jeda, frasa kata benda dan partikel-partikel seperti yo dan ne sebagai salah satu tempat penggunaan aizuchi. Data ini diperlukan untuk mengetahui kompetensi bahasa penutur Indonesia ketika bertutur menggunakan aizuchi dalam bahasa Jepang dalam konteks percakapan sehari-hari di kantor.

Jenis percakapan bervariasi mulai dari percakapan informal sehari-hari sampai wawancara di televisi atau wawancara ketika melamar pekerjaan. Masing-masing percakapan tersebut memiliki aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh responden percakapan agar tujuan percakapan tercapai. Cara menyampaikan elemen-elemen yang ada dalam struktur percakapan yang dilakukan oleh interlokutor bergantung pada konteks percakapan tersebut.


(22)

3.4 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk mendapatkan gambaran mengenai kemampuan penutur Indonesia dalam hal penguasaan aizuchi sebagai backchannel. Peneliti ingin mendapatkan gambaran umum mengenai kompetensi bahasa Jepang penutur Indonesia dalam konteks percakapan sehari-hari setelah mereka memperoleh pengetahuan mengenai bahasa Jepang selama beberapa waktu.

Analisis percakapan digunakan sebagai metode penelitian untuk mendapatkan gambaran mengenai kemunculan backchannel dalam tuturan penutur Indonesia ketika mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Metode ini mempertimbangkan semua aspek yang ada dalam sebuah percakapan seperti kesempatan bicara, pasangan ajasensi, dan fitur-fitur lainnya yang berkenaan dengan arus lalulintas percakapan. Aspek-aspek tersebut diteliti untuk mengetahui alur percakapan dan kelancaran atau hambatan yang dialami oleh responden percakapan.

3.5 Prosedur Penelitian

Untuk mengetahui kompetensi pragmatik bahasa Jepang pada penutur Indonesia dalam hal penggunaan aizuchi, data yang sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah tuturan alamiah dan spontan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data otentik yang diambil dari percakapan sehari-hari antara penutur Indonesia dengan penutur Jepang dalam bahasa Jepang di kantor. Data tersebut diambil dengan cara merekam percakapan yang terjadi di lokasi


(23)

penelitian selama beberapa waktu (kira-kira 30 menit sampai 1 jam). Kemudian data dipilah berdasarkan topik pembicaraan.

Penutur Jepang diminta untuk menyampaikan tuturannya dalam kalimat yang panjang dalam satu tuturan dengan harapan akan memberi kesempatan kepada penutur Indonesia sebagai pendengar untuk menggunakan aizuchi. Penutur Jepang menyampaikan tuturannya dalam satu kali kesempatan bicara kepada satu orang penutur Indonesia. Penutur Indonesia diharapkan menyampaikan responsnya dalam bahasa Jepang secara alami. Mereka tidak diminta secara lugas untuk menyampaikan responsnya dalam bahasa Jepang, namun diberikan preferensi untuk memberikan respons dalam fitur bahasa yang mereka pilih. Upaya ini dimaksudkan untuk mendapatkan respons alami karena

aizuchi merupakan tanda yang diberikan pendengar sekait dengan budaya omoiyari.

Data dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan kosakata dalam bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia juga disertakan untuk memudahkan memahami topik percakapan. Penerjemahan merupakan proses penerjemahan konteks dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kamus standar Jepang-Indonesia yang ditulis oleh Goro Taniguchi. Glosari disertakan sebagai lampiran dalam tesis ini untuk memudahkan memahami isi percakapan yang ada dalam data penelitian.

Rekaman data kemudian ditranskripsikan ke dalam huruf hiragana dan huruf latin. Huruf hiragana melambangkan kalimat dalam bahasa Jepang, sedangkan huruf latin melambangkan kalimat dalam bahasa Indonesia. Cara baca


(24)

huruf hiragana juga disertakan dengan menggunakan huruf latin berdasarkan ejaan Hepburn. Huruf hiragana memudahkan penutur Jepang untuk memeriksa kembali transkripsi percakapan. Transkripsi percakapan menggunakan pedoman yang disampaikan oleh Levinson (1983). Pemilihan ini dianggap tepat karena kode transkripsi mudah dipahami dan lengkap untuk menyatakan/menggambarkan tuturan yang ada dalam data.

Selama pembuatan transkripsi, nama responden diganti dengan inisial untuk menjamin objektivitas peneliti dalam menganalisis data. Setelah ditranskripsi, data akan diperiksa kembali oleh responden untuk menjamin bahwa transkripsi memang benar merefleksikan apa yang dimaksud oleh responden dan kalau memungkinkan ada masukan baru dari responden agar data lebih valid. Data yang sudah ditranskripsi dikelompokkan berdasarkan topik pembicaraan sesuai dengan rumusan masalah. Lalu data diinterpretasi berdasarkan teori yang telah dikemukakan di bab dua.

3.6 Instrumen Penelitian

Ketepatan penggunaan aizuchi sesuai dengan budaya omoiyari dalam masyarakat Jepang didapatkan melalui wawancara dengan dua orang Jepang, yaitu Mrs. W dan K.. Untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam lagi, peneliti melakukan wawancara mengenai aizuchi dan budaya omoiyari dengan narasumber W, seorang penutur asli Jepang dan pengajar bahasa Jepang di Bandung. Informasi yang didapatkan berupa pola penggunaan aizuchi, konteks penuturan aizuchi, pemerolehan kompetensi pragmatik dalam hal aizuchi pada


(25)

orang Jepang, dan harapan orang Jepang terhadap penutur Indonesia dalam hal penggunaan aizuchi. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan angket berupa open-ended question.

Selain dengan W, peneliti melakukan wawancara dengan seorang pelaku bisnis yang sudah bekerja selama puluhan tahun di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta dan Bandung, yaitu ADP. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan ADP selama melakukan kontak bisnis dengan orang Jepang didapati beberapa hal yang tidak mudah ketika melakukan percakapan dengan orang Jepang. Pada umumnya mereka memiliki etos kerja yang tinggi dan merasa sebagai “pemilik” atau “tuan

rumah” dalam perusahaan tempat ADP bekerja. Jadi, ketika diminta bantuan

untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan pekerjaan, mereka enggan untuk memberikan bantuan sehingga sulit untuk mendapatkan data berupa rekaman percakapan. Demikian pula halnya ketika peneliti meminta bantuan untuk mengisi angket, ADP menyatakan bahwa pada umumnya orang Jepang alergi dengan angket.

Data mengenai harapan penutur Jepang terhadap penggunaan aizuchi oleh penutur Indonesia juga didapatkan dari angket yang dilakukan terhadap penutur Jepang. Sebagian besar orang Jepang merasa segan untuk mengisi angket terutama mereka yang bergerak di bidang bisnis. Angket berisi data mengenai nama, usia, pekerjaan, lama tinggal di Indonesia. Instrumen-instrumen ini diperlukan untuk mengetahui penggunaan aizuchi dalam percakapan sehari-hari orang Jepang, pendapat orang Jepang tentang kemampuan penggunaan aizuchi dalam percakapan bahasa Jepang yang digunakan oleh penutur Indonesia, dan pendapat


(26)

orang Jepang tentang ada/tidaknya aizuchi sekait dengan hal kelancaran percakapan. Sebagai informasi tambahan, peneliti meminta responden untuk menceritakan pengalaman mereka ketika bercakap-cakap dengan penutur Indonesia dalam bahasa Jepang.

Data mengenai kesulitan penutur Indonesia menggunakan aizuchi diperoleh dari angket terhadap responden dan penutur Indonesia lainnya. Data berupa nama, pekerjaan, lama belajar bahasa Jepang, tempat belajar bahasa Jepang menjadi sumber data bagi pengetahuan latar belakang responden. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui upaya-upaya dilakukan orang Indonesia ketika menemui kesulitan dalam percakapan bahasa Jepang dengan penutur Jepang dan identifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang dengan penutur Jepang. Data yang diperoleh dari angket digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan responden dan harapan orang Jepang dalam kompetensi bahasa Jepang penutur Indonesia.

Untuk mengetahui harapan dan pengalaman penutur Jepang dan penutur Indonesia dalam penggunaan aizuchi ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang, peneliti menyebarkan angket kepada beberapa responden yang bekerja di beberapa perusahaan Jepang, pengajar bahasa Jepang, dan siswa pembelajar bahasa Jepang baik yang tinggal di Indonesia maupun yang tinggal di Jepang. Angket yang diterima berasal dari responden dengan data pribadi sebagai berikut:

1. NK adalah orang Jepang yang merupakan seorang karyawan di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta dan tinggal selama 1 tahun di Jakarta;


(27)

2. TE adalah orang Jepang yang merupakan seorang ibu rumahtangga yang sudah tinggal di Bandung selama 14 tahun;

3. WA adalah orang Jepang yang berprofesi sebagai pengajar bahasa Jepang di sebuah lembaga kursus di Bandung dan sudah tinggal di Bandung selama 7 tahun;

4. FP adalah orang Indonesia yang memiliki profesi sebagai staf pengajar bahasa Jepang di Program Studi Bahasa Jepang S1 di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta;

5. S adalah orang Indonesia yang sekarang tinggal di Jepang dan sudah 1 tahun belajar bahasa Jepang di Shizuoka, Jepang dan bekerja paruh waktu sebagai kasir di sebuah supermarket di Shizuoka.

3.7 Teknik Pengumpulan Data

Data percakapan diperoleh dengan cara merekam percakapan antara penutur Jepang dan penutur Indonesia. Rekaman dilakukan di kantor pada saat para penutur tersebut sedang bekerja melakukan tugas rutin mereka. Alat perekam dipasang dalam jangka waktu yang tidak ditentukan untuk merekam percakapan alamiah dan spontan (tidak direkayasa/tidak elicit). Cara pengumpulan data yang disarankan oleh Maynard (1993), yaitu

1. merekam percakapan;

2. mentranskripsikan percakapan; 3. mengumpulkan data;


(28)

5. bersama-sama penutur, mendengarkan kembali rekaman dan mengonfirmasikan pikiran dan perasaannya;

3.8 Teknik Analisis Data

Setelah pengelompokan data, data dianalisis menggunakan analisis percakapan dengan melihat Pause Phrasal-bounded Unit dan Listening Response

Relevant Moment. Data dikategorisasikan berdasarkan kemunculan aizuchi

dengan mengidentifikasi unsur morfologis dan unsur suprasegmental seperti intonasi.

Selanjutnya, analisis data untuk melihat kemunculan aizuchi dalam tuturan penutur Indonesia dilakukan dengan langkah-langkah, yaitu:

1. identifikasi data tuturan yang ada dalam percakapan berupa tuturan penutur Jepang dan tuturan penutur Indonesia;

2. memilah tuturan penutur Indonesia berdasarkan elemen-elemen dalam struktur percakapan seperti pasangan ajasensi dan backchannel;

3. identifikasi kemunculan aizuchi dalam tuturan penutur Indonesia; 4. bagian yang merupakan aizuchi ditandai dengan tanda panah; 5. menentukan fungsi aizuchi dalam tuturan penutur Indonesia; 6. menghitung jumlah aizuchi;

7. menentukan bentuk aizuchi yang tepat (kemunculan dalam bahasa Jepang atau bahasa Indonesia);

8. menentukan tepat tidaknya penggunaan aizuchi dalam tuturan penutur Indonesia.


(29)

Untuk mengetahui kesempatan yang diberikan oleh penutur Jepang agar penutur Indonesia mempunyai waktu untuk menggunakan aizuchi, dilakukan langkah-langkah berikut:

1. identifikasi kalimat-kalimat panjang dalam tuturan penutur Jepang;

2. identifikasi jeda dan frasa nomina dan/atau partikel-partikel seperti yo atau

ne;

3. menentukan tepat tidaknya penggunaan aizuchi.

Dalam hal ketidakmunculan aizuchi, peneliti meminta bantuan penutur Jepang untuk memberikan informasi mengenai aizuchi yang tepat yang digunakan dalam tuturan penutur Jepang.


(30)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil analisis pada bab IV diperoleh temuan-temuan berupa pola

backchannel, yaitu aizuchi yang digunakan penutur Indonesia dalam percakapan

bahasa Jepang. Bentuk, saat yang tepat, dan fungsi aizuchi merupakan fokus penelitian tentang ketepatan pragmatik penggunaan aizuchi oleh penutur Indonesia ketika bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Aizuchi merupakan respons mitra tutur terhadap penutur yang bermakna adanya rasa menghargai penutur dan memahami isi tuturan. Sesuai dengan pause-bounded phrasal unit (PPU) dan listening response relevant moment (LRRM) yang menjadi unit penanda aizuchi, penutur Indonesia diharapkan mampu menggunakan aizuchi sebagaimana halnya penutur asli Jepang. Unit-unit yang menjadi PPU dan LRRM pada bahasa Jepang harus dikenali dengan baik oleh penutur Indonesia untuk memproduksi ketepatan pragmatik dalam menyampaikan aizuchi.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendapatkan pengetahuan linguistik mengenai bentuk aizuchi dan saat relevan menggunakan aizuchi, untuk mendapatkan strategi komunikasi yang baik dan berterima dalam percakapan bahasa Jepang, dan untuk memahami konsep budaya tentang penggunaan aizuchi sebagai


(31)

pragmatik yang dimiliki oleh penutur Indonesia dengan lingkup kajian pragmatik bahasa antara. Cara ini dilakukan untuk memperoleh manfaat berupa pengetahuan tentang bentuk, fungsi, dan momen yang tepat dalam penggunaan aizuchi dapat menjadi strategi komunikasi ketika bertutur dalam bahasa Jepang dan konsep budaya tentang penggunaan aizuchi. Kedua hal tersebut membantu penutur Indonesia dalam mengatasi hambatan ketika menemukan kesulitan dalam memberikan respons sebagai pendengar dalam percakapan bahasa Jepang.

Dari data yang diperoleh, secara umum, bentuk aizuchi yang paling sering digunakan adalah nasalisasi un, sebanyak dua puluh dua tuturan. Bentuk un yang memiliki panjang bunyi yang bervariasi dan mungkin muncul berulang kali tanpa jeda dalam sebuah percakapan ditemukan dalam frekuensi yang cukup banyak dalam bunyi un dengan panjang nasalisasi pendek berarti “ya”, sedangkan bunyi

uun dengan panjang nasalisasi sedikit lebih panjang berarti “tidak” hanya ditemukan dalam satu tuturan. Bentuk hai muncul dalam sembilan belas tuturan. Dari 68 tuturan yang berbentuk aizuchi dalam penelitian ini, bentuk-bentuk seperti sō desu ne ditemukan dalam lima tuturan dengan variasinya berupa sō da ne dan sō ne. Variasi leksikal lainnya seperti aa, sō ditemukan dalam enam tuturan. Bentuk sō desu ka, sō nan desu ka, sō iu wake desu ka, naruhodo, hontō desu ka yang merupakan frasa yang dituturkan dengan intonasi tidak ditemukan

dalam tuturan penutur Indonesia. Selebihnya, tuturan berupa aizuchi dengan bentuk leksikal ē ditemukan dalam enam tuturan. Frekuensi rata-rata kemunculan


(32)

Kemunculan aizuchi ini lebih sedikit dari frekuensi penggunaan oleh penutur asli Jepang.

Saat yang tepat untuk menyampaikan aizuchi ditandai kesenyapan yang ada pada tuturan penutur Jepang. Kesenyapan ini mudah dikenali oleh orang Jepang, namun menjadi hambatan bagi penutur Indonesia ketika menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa asing. Adapun fungsi aizuchi yang muncul dalam tuturan penutur Indonesia sebagian besar mengacu pada fungsi pemahaman isi sebesar 32,36% dari jumlah keseluruhan tuturan aizuchi dalam penelitian ini. Fungsi aizuchi sebagai penerus percakapan muncul sebanyak 13,23%. Fungsi

aizuchi sebagai dukungan dan empati terhadap penutur sebanyak 13,23%. Fungsi aizuchi sebagai kesepakatan muncul sebanyak 14,70%. Fungsi aizuchi sebagai

respons emosi kuat muncul sebanyak 5,89%. Fungsi aizuchi sebagai sarana untuk meminta informasi, menambah informasi, dan memberikan koreksi muncul sebanyak 5,89%.

Latar belakang penutur Indonesia mempengaruhi produksi ujaran dalam bahasa Jepang terutama aizuchi. Profesi mereka sebagai karyawan dan mahasiswa menentukan tingkat kompetensi pragmatik yang dimiliki. Karyawan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan penutur asli dibandingkan dengan mahasiswa. Pengetahuan linguistik tentang gramatika bahasa Jepang menunjang kemampuan menyampaikan respons sebagai pendengar dan berkontribusi dalam menjaga hubungan antarinterlokutor. Interaksi intensif dengan penutur Jepang


(33)

bentuk dan saat yang tepat. Ketepatan pragmatik penggunaan aizuchi diperoleh melalui proses meniru perilaku orang Jepang. Ketidaktepatan penyampaian aizuchi dalam penelitian ini disebabkan tidak adanya pengetahuan linguistik tentang aizuchi. Dengan demikian, penutur asli Jepang menjadi model yang tepat dalam proses pembelajaran bahasa Jepang.

Perbedaan norma budaya menjadi hal yang paling berpengaruh dalam hal ini. Orang Indonesia terbiasa memberikan respons terhadap tuturan di akhir kalimat, dan bukan pada setiap klausa sebagaimana halnya penutur Jepang. Namun, penggunaan

aizuchi dalam masyarakat Jepang bergantung pada konteks percakapan. Norma

budaya dalam hal respons pendengar, yaitu omoiyari merupakan bagian dari budaya masyarakat Jepang. Sikap menghargai orang lain tercermin dalam budaya ini. Rasa emosi yang kuat, empati, meminta informasi tambahan dengan cara yang baik, dan memberi perhatian pada lawan bicara menjadi hal yang esensial dalam komunikasi dengan orang Jepang. Pada tataran akademik, penutur Jepang memberikan toleransi pada penutur Indonesia dalam hal kegagalan menyampaikan aizuchi. Namun, dalam komunikasi bisnis, penyampaian aizuchi dalam percakapan bahasa Jepang dengan penutur Jepang merupakan suatu keharusan. Ketiadaan backchannel berpotensi pada terputusnya komunikasi. Niat dan tujuan percakapan tidak akan mencapai proses selanjutnya, yaitu keberlangsungan hubungan baik dengan penutur Jepang.

Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, ditemukan bahwa penutur Indonesia belum memiliki kompetensi yang cukup sebagaimana penutur asli Jepang


(34)

yang sedikit, frekuensi kemunculan yang rendah, dan saat yang tidak tepat yang muncul pada tuturan penutur Indonesia menimbulkan kebingungan pada penutur Jepang. Mereka kesulitan mengenali apakah penutur Indonesia sebagai lawan bicara mengikuti percakapan yang sedang dilakukan atau mengerti tuturan yang mereka sampaikan. Mereka tidak akan menunggu atau memberi kesempatan kepada penutur Indonesia untuk melakukan perbaikan (repair)

Bentuk, momen, dan fungsi aizuchi tidak tepat karena penutur Indonesia keliru mengenali pola gramatika bahasa Jepang. Struktur sintaksis, unit-unit sintaksis, dan kosakata yang berbeda menjadi batasan bagi mereka untuk mengenali penanda-penanda tempat aizuchi disisipkan. Kurangnya interaksi intensif dengan penutur asli menyebabkan kurangnya akrabnya penutur Indonesia dengan kebiasaan menggunakan aizuchi. Penutur asli atau penutur non-asli berpengaruh ketika menjadi guru pengajar bahasa Jepang. Dalam hal penggunaan aizuchi, siswa lebih mudah meniru jika guru adalah penutur asli.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat diambil simpulan bahwa penggunaan aizuchi sebagai backchannel merupakan hal yang bersifat kontekstual.

Backchannel terikat norma sosial dan norma budaya. Dengan demikian, pengetahuan

tentang norma sosial dan norma budaya diperlukan penutur non-asli agar dapat berinteraksi dengan baik ketika melakukan komunikasi lintas budaya. Latar belakang individual terutama kompetensi bahasa ibu berpengaruh terhadap produksi dan pemahaman bahasa Jepang pada penutur Indonesia.


(35)

5. 2 Saran

Penelitian tentang backchannel dalam bahasa asing lainnya banyak dilakukan oleh para ahli linguistik di berbagai negara. Namun, peneliti menemukan kesulitan dalam mencari referensi mengenai backchannel dalam bahasa Indonesia. Walaupun usia bahasa Indonesia masih muda, upaya-upaya penelitian kebahasaan terutama dalam hal backchannel yang berkaitan dengan pola perilaku yang menjadi bagian budaya masyarakat Indonesia sebaiknya lebih sering dilakukan dan dipublikasikan.

Pengetahuan mengenai budaya Indonesia dan budaya lainnya khususnya dalam hal memberikan respons sebagai pendengar bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi bahasa asing. Kompetensi ini dapat diajarkan kepada siswa-siswa penutur Indonesia di kelas pembelajaran bahasa Jepang. Hal ini sejalan dengan pendapat Aziz (2012) mengenai pengembangan kompetensi komunikatif dilakukan dalam dua situasi pembelajaran. Pertama, saat pembelajar secara sadar mempelajari dan memperhatikan sebuah sistem bahasa dan kemudian mempraktekkannya. Kedua, saat berinteraksi dengan lingkungan tempat belajar melakukan komunikasi dengan orang lain. Dengan cara seperti ini, penutur Indonesia mendapatkan pengalaman berupa

active listening dan engaging talk.

Perbedaan budaya yang ada pada penutur dan mitra tutur dalam sebuah percakapan sebaiknya disikapi dengan positif dengan menggunakan pola-pola adaptasi dan akulturasi yang diterima oleh kedua belah pihak. Imitasi penuh yang dilakukan terhadap satu budaya tertentu membawa pengaruh positif dalam


(36)

dipertahankan. Penutur Indonesia tetap membawa jati dirinya sebagai orang Indonesia dan bagian dari budaya Indonesia yang sangat kaya. Ketika melakukan komunikasi lintas budaya, ciri khas budaya Indonesia tetap dipertahankan dengan menghormati perbedaan budaya yang ada pada pelaku komunikasi. Pengenalan budaya asing dalam pembelajaran bahasa kedua merupakan hal yang penting, namun semangat mempertahankan dan mengangkat budaya Indonesia harus menjadi prioritas utama dalam pembelajaran bahasa asing di Indonesia.

Rajin membangun jejaring untuk mendapatkan akses informasi seluas-luasnya dalam hal menemukan masalah penelitian, menghubungi responden, dan mencari rujukan tenaga ahli berpengaruh dalam keberhasilan sebuah proses penelitian. Akses informasi diperlukan terutama dalam hal pengumpulan data dan rujukan tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam penelitian. Apalagi jika sebuah penelitian memerlukan rujukan berupa sumber data yang banyak untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat.

Kesan pertama merupakan hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi ketika penelitian melibatkan penutur asing terutama dengan orang Jepang. Mampu bercakap-cakap dalam bahasa Jepang menjadi sebuah modal dalam penelitian. Intensitas pertemuan informal yang cukup tinggi dengan orang Jepang untuk mendapatkan data yang lebih baik dan memilih instrumen yang tepat digunakan dengan mengenali budayanya. Namun di atas itu semua, meneliti adalah sebuah seni. Maka berkaryalah dan nikmatilah!


(37)

Alwasilah, A. Chaedar.2009. Pokoknya Kualitatif; Dasar-dasar Merancang dan

Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Association for Japanese-Language Teaching. 1989. Japanese for Busy People. Japan: Kodansha International.

Association for Overseas Technical Scholarship. 2000. Shin Nihongo no Chūkyū.

Japan: 3A Corporation.

Basrowi, dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media.

Bialystok, Ellen. 2003. Bilingualism in Development: Language, Literacy, and

Cognition. Cambridge University Press.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chandra, T. 2009. Nihongo no Joshi: Partikel Bahasa Jepang. Jakarta: Evergreen Japanese Course.

Clark, H. Herbert.1997. Using Language. Cambridge University Press.

Cohen, Andrew D. Strategies in Learning and Using A Second Language.1998. London: Pearson Education Limited.

Coupland, Nikolas et al. 1991. Miscommunication and Problematic Talk. USA: Sage Publications.

Darjat. 2009. Ungkapan Akhir Kalimat pada Bahasa Jepang: Bunmatsu Hyougen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(38)

Edizal. 2010. Tutur Kata Manusia Jepang. Nihonjin no Mono no Iikata. Padang: Kayupasak.

Gass, Susan M & Joyce Neu. 1996. Speech Act Across Cultures: Challenges to

Communication in A Second Language. Berlin: Mouyton de Gruyter.

Grosjean, François. 2008. Studying Bilinguals. Oxford University Press. Grundy, Peter. 2008. Doing Pragmatics. Hodder Education.

Hashiuchi, Takeshi. 1999. Disukousu. Wadan no Orikasu Sekai. Tokyo: Kuroshio Shuppan.

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.Jakarta: Gaung Persada. Jandt, Fred E. 1998. Intercultural communication. London : Sage publications. Jaworski, Adam and Nikolas Coupland. 2006. The Discourse Reader. Second

edition. London and New York: Routledge.

Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies’

Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi. Konsepsi, Pedoman, dan Contoh

Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran.

Lebra, Takie Sugiyama. 1976. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu: The University Press of Hawaii.

Lerner, Gene H. 2004. Conversation Analysis: Studies from The First Generation. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Levinson, Stephen C.1983. Pragmatics. Cambridge University Press. Matras, Yaron. 2009. Language Contact. Cambridge University Press.


(39)

through Structure and Interactional Management. New Jersey: Ablex

Publishing Corporation.

Maynard, Kei Senko.1993. Kaiwa Bunseki. Tokyo: Kuroshio Shuppan.

Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan dan

Khayalan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2010. Komunikasi Antarbudaya:

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang yang Berbeda Budaya.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Blackwell Publishers. Romaine, Suzzane. 1995. Bilingualism. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Samovar. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.

Schauer, Gila A. 2009. Interlanguage Pragmatic Development: The Study Abroad

Context. London-New York: Continuum Publishing Group.

Society for Teaching Japanese as a Foreign Language. 1982. Encyclopedia of

Japanese Language Teaching. Taishukan Publishing Company.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suranto, Aw. 2011. Komunikasi Interpersonal.Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumarsono. 2010. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.


(40)

Rakyat.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an introduction to pragmatics.

London-New York: Longman Group Ltd.

Thornburry, Scott and Diana Slade. 2007. Conversation: From Description to

Pedagogy. Cambridge University Press.

Tomisaka, Yoko. 1997. Nameraka Nihongo Kaiwa: Successful Communication in

Japanese. Tokyo: ALC Press.

Tyler, Andrea E et al. 2005. Language in Use. Washington : Georgetown University Press.

Walters, Joel. 2005. Bilingualism: The Sociopragmatic-Psycholinguistic Interface. USA:Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wei, Li. 2000. The Bilingualism Reader. London and New York: Routledge. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://www.uri.edu/iaics/content/2000v10n2/07%20Shigeo%20Uematsu.pdf

diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://ineducation.ca/article/educators-perceptions-uses-constraints-and-successful-practices-backchannelling diunduh pada tanggal 28 Oktober

2011.

http://www.sal.tohoku.ac.jp/nik/aizuchi/index_2.html diunduh pada tanggal 28


(41)

Oktober 2011.

http://www.jrc.sophia.ac.jp/courses/pdf/20100805_03.pdf diunduh pada tanggal

28 Oktober 2011.

http://www.koidekinen.com/pdf/2004_nakai_e.pdf diunduh pada tanggal 28

Oktober 2011.

http://frommidwesttometropolis.blogspot.com/2011/01/culture-corner-aizuchi.html diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

www.aare.edu.au/05pap/le05661.pdf diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.ci.nii.ac.jp diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.jalt-publications.org diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.cs.ntep.edu diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.


(1)

dipertahankan. Penutur Indonesia tetap membawa jati dirinya sebagai orang Indonesia dan bagian dari budaya Indonesia yang sangat kaya. Ketika melakukan komunikasi lintas budaya, ciri khas budaya Indonesia tetap dipertahankan dengan menghormati perbedaan budaya yang ada pada pelaku komunikasi. Pengenalan budaya asing dalam pembelajaran bahasa kedua merupakan hal yang penting, namun semangat mempertahankan dan mengangkat budaya Indonesia harus menjadi prioritas utama dalam pembelajaran bahasa asing di Indonesia.

Rajin membangun jejaring untuk mendapatkan akses informasi seluas-luasnya dalam hal menemukan masalah penelitian, menghubungi responden, dan mencari rujukan tenaga ahli berpengaruh dalam keberhasilan sebuah proses penelitian. Akses informasi diperlukan terutama dalam hal pengumpulan data dan rujukan tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam penelitian. Apalagi jika sebuah penelitian memerlukan rujukan berupa sumber data yang banyak untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat.

Kesan pertama merupakan hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi ketika penelitian melibatkan penutur asing terutama dengan orang Jepang. Mampu bercakap-cakap dalam bahasa Jepang menjadi sebuah modal dalam penelitian. Intensitas pertemuan informal yang cukup tinggi dengan orang Jepang untuk mendapatkan data yang lebih baik dan memilih instrumen yang tepat digunakan dengan mengenali budayanya. Namun di atas itu semua, meneliti adalah sebuah seni. Maka berkaryalah dan nikmatilah!


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar.2009. Pokoknya Kualitatif; Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Association for Japanese-Language Teaching. 1989. Japanese for Busy People. Japan: Kodansha International.

Association for Overseas Technical Scholarship. 2000. Shin Nihongo no Chūkyū. Japan: 3A Corporation.

Basrowi, dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media.

Bialystok, Ellen. 2003. Bilingualism in Development: Language, Literacy, and Cognition. Cambridge University Press.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chandra, T. 2009. Nihongo no Joshi: Partikel Bahasa Jepang. Jakarta: Evergreen Japanese Course.

Clark, H. Herbert.1997. Using Language. Cambridge University Press.

Cohen, Andrew D. Strategies in Learning and Using A Second Language.1998. London: Pearson Education Limited.

Coupland, Nikolas et al. 1991. Miscommunication and Problematic Talk. USA: Sage Publications.


(3)

Dornyei, Zoltan. 2011. Research Methods in Applied Linguistics. Oxford.

Edizal. 2010. Tutur Kata Manusia Jepang. Nihonjin no Mono no Iikata. Padang: Kayupasak.

Gass, Susan M & Joyce Neu. 1996. Speech Act Across Cultures: Challenges to Communication in A Second Language. Berlin: Mouyton de Gruyter. Grosjean, François. 2008. Studying Bilinguals. Oxford University Press. Grundy, Peter. 2008. Doing Pragmatics. Hodder Education.

Hashiuchi, Takeshi. 1999. Disukousu. Wadan no Orikasu Sekai. Tokyo: Kuroshio Shuppan.

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.Jakarta: Gaung Persada. Jandt, Fred E. 1998. Intercultural communication. London : Sage publications. Jaworski, Adam and Nikolas Coupland. 2006. The Discourse Reader. Second

edition. London and New York: Routledge.

Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi. Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran.

Lebra, Takie Sugiyama. 1976. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu: The University Press of Hawaii.

Lerner, Gene H. 2004. Conversation Analysis: Studies from The First Generation. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Levinson, Stephen C.1983. Pragmatics. Cambridge University Press. Matras, Yaron. 2009. Language Contact. Cambridge University Press.


(4)

Maynard, Senko Kumiya. 1989. Japanese Conversation: Self-contekstualization through Structure and Interactional Management. New Jersey: Ablex Publishing Corporation.

Maynard, Kei Senko.1993. Kaiwa Bunseki. Tokyo: Kuroshio Shuppan.

Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan dan Khayalan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2010. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang yang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Blackwell Publishers. Romaine, Suzzane. 1995. Bilingualism. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Samovar. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.

Schauer, Gila A. 2009. Interlanguage Pragmatic Development: The Study Abroad Context. London-New York: Continuum Publishing Group.

Society for Teaching Japanese as a Foreign Language. 1982. Encyclopedia of Japanese Language Teaching. Taishukan Publishing Company.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suranto, Aw. 2011. Komunikasi Interpersonal.Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumarsono. 2010. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Syamsuddin, A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.


(5)

Taniguchi, Goro. 2000. Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an introduction to pragmatics.

London-New York: Longman Group Ltd.

Thornburry, Scott and Diana Slade. 2007. Conversation: From Description to Pedagogy. Cambridge University Press.

Tomisaka, Yoko. 1997. Nameraka Nihongo Kaiwa: Successful Communication in Japanese. Tokyo: ALC Press.

Tyler, Andrea E et al. 2005. Language in Use. Washington : Georgetown University Press.

Walters, Joel. 2005. Bilingualism: The Sociopragmatic-Psycholinguistic Interface. USA:Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wei, Li. 2000. The Bilingualism Reader. London and New York: Routledge. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://www.uri.edu/iaics/content/2000v10n2/07%20Shigeo%20Uematsu.pdf

diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://ineducation.ca/article/educators-perceptions-uses-constraints-and-successful-practices-backchannelling diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://www.sal.tohoku.ac.jp/nik/aizuchi/index_2.html diunduh pada tanggal 28


(6)

http://japanese.about.com/library/weekly/aa091197.htm diunduh pada tanggal 28

Oktober 2011.

http://www.jrc.sophia.ac.jp/courses/pdf/20100805_03.pdf diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

http://www.koidekinen.com/pdf/2004_nakai_e.pdf diunduh pada tanggal 28

Oktober 2011.

http://frommidwesttometropolis.blogspot.com/2011/01/culture-corner-aizuchi.html diunduh pada tanggal 28 Oktober 2011.

www.aare.edu.au/05pap/le05661.pdf diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.ci.nii.ac.jp diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.jalt-publications.org diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.

www.cs.ntep.edu diunduh pada tanggal 22 Juni 2012.