PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASESMEN UNTUK MENGUKUR PENGUASAAN KONSEP FISIKA PADA MATA KULIAH FISIKA DASAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI DAN PENDIDIKAN KIMIA.

(1)

ppwwiplDAFTAR ISI

hal HALAMAN JUDUL ………. LEMBAR PENGESAHAN ……….. PERNYATAAN ……… KATA PENGANTAR ……….. ABSTRAK ………. DAFTAR ISI ………. DAFTAR TABEL ………. DAFTAR GAMBAR ……….... DAFTAR LAMPIRAN ………..…..

i ii iii iv vii ix xi xiii xiv BAB I. PENDAHULUAN ………...

A. Latar Belakang Masalah ………

B. Rumusan Masalah ……….

C. Tujuan ………

D. Manfaat Penelitian ……….

E. Kerangka Penelitian ………..

F. Penjelasan Istilah ………... 1 1 12 13 14 15 17 BAB II. PENGUASAAN KONSEP FISIKA BAGI MAHASISWA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI DAN

PENDIDIKAN KIMIA SERTA PENGUKURANNYA ……… A. Hakikat Fisika ………. B. Bagaimana Seharusnya Fisika Diajarkan? ……….. C. Pembelajaran Fisika Mahasiswa Pendidikan Biologi dan

Pendidikan Kimia ………... D. Hakikat Asesmen ……….... F. Penelitian-penelitian yang Relevan ………..

18 18 21 23 26 33 BAB III. METODE PENELITIAN ………

A. Desain Penelitian ………...

B. Lokasi dan Subyek Penelitian ………... 37 37 44


(2)

C. Instrumen Penelitian ………..

D. Teknik Analisa Data ………..

45 52 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..

A. Hasil Studi Pendahuluan ………... B. Hasil Pengembangan Instrumen Asesmen ……… C. Hasil Uji Coba Utama ………... D. Pembahasan Hasil Penelitian ……….

55 55 58 69 121 BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……….

A. Kesimpulan ……….

B. Implikasi Hasil Penelitian ………...

C. Rekomendasi ………...

D. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian ……….. 132 132 135 136 137 DAFTAR PUSTAKA ………..………. LAMPIRAN………..……….

141 146


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

3.1. Kaidah Penulisan Soal Pilihan Ganda ……….. 42

3.2. Kriteria Indeks Kesukaran Butir ... 47

3.3. Kriteria Indeks Diskriminasi Butir ... 48

3.4. Kriteria Reliabilitas Instrumen ………. 51

4.1. Tanggapan Mahasiswa Pendidikan Biologi terhadap Proses Pembelajaran dan Asesmen pada Mata Kuliah Fisika Dasar Salah Satu Universitas Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 56

4.2. Tanggapan Mahasiswa Pendidikan Kimia terhadap Proses Pembelajaran dan Asesmen pada Mata Kuliah Fisika Dasar Salah Satu Universitas Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta ... 57

4.3. Materi Mata Kuliah Fisika Dasar, Biologi Umum dan Kimia Dasar 60 4.4. Keterkaitan antara Materi Fisika Dasar dengan Materi Biologi Umum ………... 61

4.5. Keterkaitan antara materi Fisika Dasar dengan materi Kimia Dasar 62 4.6. Distribusi Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Pendidikan Biologi sesuai Revisi Taksonomi Bloom ... 63

4.7. Distribusi Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Pendidikan Biologi sesuai Revisi Taksonomi Bloom ... 63

4.8. Hasil Analisis Butir Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi .. 66

4.9. Hasil Analisis Butir Instrumen Asesmen “Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi .. 66

4.10. Hasil Analisis Butir Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia … 67 4.11. Hasil Analisis Butir Instrumen Asesmen “Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia .... 68

4.12. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi ... 70


(4)

Tabel Hal 4.13. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Instrumen Asesmen

“Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi ………. 71 4.14. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Instrumen Asesmen

“Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia .. 72 4.15. Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Instrumen Asesmen

Penguasaan Konsep Fisika “Kontekstual” pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia ………… 72 4.16. Hasil Uji Validitas Butir Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual”

Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi ……… 74 4.17. Hasil Uji Validitas Butir Instrumen Asesmen “Kontekstual”

Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi ……… 75 4.18. Hasil Uji Validitas Butir Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual”

Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia ... 76 4.19. Hasil Uji Validitas Butir Instrumen Asesmen “Kontekstual”

Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia ……….. 76 4.20. Reliabilitas Asesmen Penguasaan Konsep Fisika ……… 78 4.21. Rata-Rata Skor Asesmen Penguasaan Konsep Fisika ………. 80 4.22. Skor Asesmen “Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika

Mahasiswa Pendidikan Biologi sesuai Revisi Taksonomi Bloom 81 4.23. Skor Asesmen “Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika

Mahasiswa Pendidikan Biologi sesuai Revisi Taksonomi Bloom 81 4.24. Skor Asesmen “Tidak Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika

Mahasiswa Pendidikan Kimia sesuai Revisi Taksonomi Bloom 82 4.25. Skor Asesmen “Kontekstual” Penguasaan Konsep Fisika

Mahasiswa Pendidikan Kimia sesuai Revisi Taksonomi Bloom 82 4.26. Signifikansi Perbedaan Skor Penguasaan Konsep Fisika yang Diuji

Menggunakan Instrumen Asesmen “Kontekstual” dan Instrumen Asesmen “Tidak Kontekstual” ……….. 84


(5)

Tabel Hal 4.27. Signifikansi Korelasi Skor Penguasaan Konsep Fisika

yang Diuji Menggunakan Instrumen Asesmen

“Tidak Kontekstual” dan Instrumen Asesmen “Kontekstual” ……. 85 4.28. Tanggapan Mahasiswa Pendidikan Biologi terhadap

Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika (N = 315) ... 86 4.29. Tanggapan Mahasiswa Pendidikan Kimia terhadap

Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika (N = 302) ... 87 4.30. Karakteristik Jawaban Asesmen Penguasaan Konsep Fisika pada

Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi

Pendidikan Biologi ………... 90

4.31. Karakteristik Jawaban Asesmen Penguasaan Konsep Fisika pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Program Studi

Pendidikan Kimia ………. 91


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1.1. Kerangka Berpikir Penelitian ………... 16 2.1. Struktur Sains ………... 22

2.2. Tabel Taksonomi ……….. 30


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lamp Hal

1 Panduan Pengembangan Instrumen dan Tabel Taksonomi ……….. 153 2 Kisi-kisi Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Pada

Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Prodi Pendidikan

Biologi ……….. 164

3 Kisi-kisi Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Pada Mata Kuliah Fisika Dasar bagi Mahasiswa Prodi Pendidikan

Kimia ……… 168

4 Lembar Expert Judgement dan Rekapitulasi Hasil Judgement Instrumen Asesmen Penguasaan konsep Fisika ……….. 172 5 Hasil Analisis Uji Coba Terbatas Instrumen Asesmen Penguasaan

Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi dan

Pendidikan Kimia ………. 190

6 Hasil Analisis Uji Coba Utama Instrumen Asesmen Penguasaan

Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi ……….. 194 7 Hasil Analisis Uji Coba Utama Instrumen Asesmen Penguasaan

Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia ……… 241 8 Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi

Pendidikan Biologi ………... 286

9 Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia ……….

299

10 Angket Mahasiswa ………... 311

11 Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Asesmen Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi dan

Pendidikan Kimia ………. 316

12 Uji Beda dan Uji Korelasi Skor Penguasaan Konsep Fisika yang Diuji Menggunakan Instrumen Asesmen “Tidak ontekstual” dan yang Diuji Menggunakan Instrumen Asesmen “Kontekstual”


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abad 21 merupakan era globalisasi yang dicirikan oleh pergerakan pekerja dan produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang melintasi batas internasional. Globalisasi membawa perubahan budaya, politik, dan lingkungan. Globalisasi tersebut terjadi karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, mempersempit ruang dan waktu sehingga informasi di bagian dunia mana pun dengan mudah dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Aliran produk teknologi dan tenaga kerja tidak lagi bersifat lokal. Dengan demikian persaingan bersifat global. Agar keberadaan suatu bangsa, misalnya bangsa Indonesia, terjamin maka bangsa tersebut harus memiliki daya saing terhadap bangsa-bangsa lain.

Pada abad ini, peran ilmu pengetahuan (scientific knowledge) menjadi semakin dominan dalam bermasyarakat global. Masyarakat yang perikehidupannya bertumpu pada ilmu pengetahuan dikenal sebagai “masyarakat berbasis pengetahuan” (knowledge based society) yang perekonomiannya semakin menuju ke ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), yaitu melalui kegiatan industri jasa dan produksi yang berbasis pengetahuan (knowledge based industry). Dalam masyarakat berbasis pengetahuan tersebut, unggulan yang diandalkan anggotanya adalah kemampuan akal atau daya penalaran yang merupakan perpaduan antara apa yang diketahui tentang kebenaran yang berasaskan ilmu pengetahuan, informasi-informasi yang relevan dan pengalaman-pengalaman kebenaran lain yang didapatnya (Tim Kelompok Studi Pendidikan Berkualitas, 2008). Berdasarkan pendapat tersebut


(9)

dapatlah dikatakan bahwa pendidikan merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk menyiapkan masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain (Widayati, 2002).

Pendidikan IPA memiliki potensi besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini akan terwujud jika pendidikan IPA mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman (Mahyuddin, 2007).

Kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih belum memuaskan. Indikator SDM mencerminkan mutu pendidikan. Hasil kajian United Nation Development Project (UNDP) tahun 2005 menyebutkan bahwa mutu SDM Indonesia menempati peringkat 110 di dunia dan di Asean pun Indonesia ketinggalan dari negara-negara tetangga kita (Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Vietnam) (Hendayana, 2007).

Dalam bidang pendidikan, secara internasional mutu pendidikan Indonesia masih rendah. Khusus dalam bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) sekolah menengah,Indonesia telah tiga kali berpartisipasi dalam the Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), yaitu tahun 1999, 2003, dan 2007, tetapi hanya mengikutsertakan siswa kelas 8 SMP/MTs. Hasil yang dicapai siswa kelas 8 di Indonesia terhadap tiga kali keikutsertaan dalam TIMSS (TIMSS-R 1999, TIMSS 2003, TIMSS 2007) dalam Matematika dan Sains berada di papan bawah dibandingkan capaian siswa setingkat di beberapa negara di Asia (Hongkong, Japan, Korea, Taiwan, Malaysia, Thailand). Untuk TIMSS tahun 2007, rata-rata skor


(10)

prestasi sains siswa Indonesia adalah 427. Dengan skor tersebut siswa Indonesia menempati peringkat 35 dari 49 negara. Rata-rata skor siswa Indonesia di bawah skor rata-rata yaitu 500, dan hanya mencapai Low International Benchmark (Gonzales, 2009). Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata siswa Indonesia hanya mampu mengenali sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik sains, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.

Studi international Program for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh negara-negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) menunjukkan bahwa rata-rata skor literasi sains siswa Indonesia usia 15 tahun pada PISA tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 berturut-turut adalah 393, 395, 393 dan 383. Rata-rata skor dari semua negara peserta adalah 500 dengan simpangan baku 100. Hasil yang dicapai siswa Indonesia dalam literasi sains tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh proporsi jawaban benar yang dicapai siswa yaitu 0,34, artinya 66% siswa Indonesia memberikan jawaban salah pada butir soal PISA. Jawaban salah menggambarkan kemampuan sains siswa Indonesia kurang (Kemdikbud, 2011).

Rendahnya prestasi belajar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), termasuk Fisika, tidak terlepas dari adanya kecenderungan pembelajaran yang bersifat hafalan dan kurang bermakna. Hal ini yang menyebabkan banyak peserta didik mengalami kesulitan mempelajari MIPA dan khususnya ketika mereka menerapkan konsep-konsep MIPA dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini terjadi karena kecenderungan guru dalam proses pembelajaran di kelas kurang dalam memberi contoh keterkaitan mata pelajaran MIPA dengan disiplin ilmu lain atau


(11)

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal mengkaitkan mata pelajaran MIPA ke kehidupan sehari-hari menjadikan pembelajaran lebih bermakna (Zamroni, 2000; Surapranata, 2004).

Menurut Sidi (Hinduan, 2007) guru sebagai ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Guru sebagai agen pembelajaran merupakan ujung tombak yang berada pada barisan terdepan dalam pendidikan formal. Sebagai agen pembelajaran guru berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (UU RI No.14 tahun 2005).

Berkaitan dengan pengajaran IPA, pada hakikatnya pelajaran IPA mencakup produk, proses dan sikap. Namun kenyataannya pengajaran IPA di Indonesia sampai saat ini cenderung menekankan pada produk IPA, dalam hal ini fakta, konsep dan teori mendapat porsi dominan, sehingga aspek proses dan sikap kurang mendapat porsi cukup (Sinaradi, 2003).

Kenyataan di atas lebih diperparah dengan sistem evaluasi dalam bentuk ulangan umum bersama (UUB) dan evaluasi akhir yang berupa Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) untuk SD dan Ujian Nasional (UN) untuk SMP dan SMA. Soal-soal ujian Fisika lebih banyak berupa soal-soal yang mengutamakan perhitungan matematis, sedikit yang mempersoalkan kemampuan siswa menyatakan definisi, menganalisis makna suatu hukum atau teori, dan tidak menuntut kemampuan menyelesaikan soal secara bersistem. Werdhiana (2009) mengungkapkan bahwa kemampuan peserta didik untuk memahami arti fisis biasanya diukur dengan soal-soal yang umumnya bersifat kuantitatif. Lebih lanjut diungkapkan bahwa soal-soal-soal-soal yang biasa digunakan dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS)


(12)

atau Ujian Nasional (UN) dari tahun 1991 hingga 2008 sebagian besar bersifat kuantitatif dan sedikit yang bersifat kualitatif. Soal-soal EBTANAS yang bersifat kualitatif paling banyak 24,44% dari 50 butir soal terdapat pada tes EBTANAS tahun 1995 dan 1998. Soal-soal UN tahun 2008 yang bersifat kualitatif hanya 7,50%. Hal ini menyebabkan peserta didik lebih banyak dan lebih sering diberi sejumlah persamaan matematis yang harus dihafal, agar mereka dapat mengerjakan soal-soal. Bahkan, tidak jarang siswa tidak memahami arti fisis dari persamaan matematis suatu hukum Fisika (Sinaradi, 2003).

Pada tahun pertama jenjang Perguruan Tinggi, mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia sebagai bagian dari calon guru MIPA mendapat Mata Kuliah Keahlian (MKK) tingkat Fakultas. Para mahasiswa calon guru MIPA dibekali dengan mata kuliah MIPA Dasar. MKK ini berfungsi untuk memberi wawasan ke-MIPA-an yang memadai pada seluruh mahasiswa FMIPA dan FPMIPA, serta membekali mereka dengan pengetahuan MIPA Dasar yang diperlukan untuk memahami dan mengembangkan bidang ilmu yang secara khusus akan didalaminya. Salah satu MKK tingkat fakultas adalah mata kuliah Fisika Dasar. Untuk perguruan tinggi yang berbeda, Fisika Dasar bisa dilaksanakan dengan bobot SKS yang berbeda (misalnya: 2 SKS, 3 SKS dan 4 SKS) dan dengan nama yang berbeda (misalnya: Fisika Umum).

Berkaitan dengan proses pembelajaran Fisika Dasar sebagai MKK tingkat Fakultas, Karim (2000) menyatakan bahwa umumnya mahasiswa Tahun Pertama Bersama (TPB) mengalami kesulitan dalam: a) memahami konsep-konsep Fisika; b) membaca grafik dan menafsirkannya; c) menginterpretasikan persamaan matematika


(13)

e) mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya. Toto (2008: 1) menyatakan bahwa hasil wawancara dan studi penjajagan yang dilakukan pada mahasiswa calon guru biologi sebuah LPTK-PTS di Jawa Barat menunjukkan mahasiswa calon guru biologi tidak memahami mengapa mereka harus menempuh mata kuliah Fisika. Pada umumnya mereka tidak tertarik pada mata kuliah Fisika, sehingga kurang berminat mempelajari dan memandangnya sebagai mata kuliah yang sulit.

Studi lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 dengan cara memberikan angket kepada mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang pernah menempuh mata kuliah Fisika Dasar pada salah satu universitas negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpulkan bahwa: mahasiswa program studi Pendidikan Biologi kurang menyenangi perkuliahan Fisika Dasar, karena: 1) kuliah Fisika Dasar identik dengan kuliah matematika, 2) contoh soal, soal ujian tengah semester dan soal ujian akhir semester lebih banyak disajikan dalam bentuk soal yang melibatkan perhitungan matematika daripada soal penguasaan konsep, 3) mahasiswa Pendidikan Biologi lebih senang bila soal disajikan dalam bentuk penguasaan konsep, 4) perkuliahan Fisika Dasar kurang dikaitkan dengan gejala atau materi yang dipelajari di biologi, 5) tugas-tugas rumah yang diberikan ke mahasiswa belum memperkaya penguasaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang dapat untuk menjelaskan gejala biologi. Disamping itu, mahasiswa program studi Pendidikan Biologi berpendapat bahwa perkuliahan Fisika Dasar yang selalu dikaitkan dengan gejala atau materi biologi dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar Fisika. Alasan mahasiswa program studi Pendidikan Kimia kurang menyenangi perkuliahan Fisika Dasar antara lain adalah: 1) kuliah Fisika Dasar identik dengan kuliah matematika, 2) contoh soal, soal ujian tengan semester dan soal


(14)

ujian akhir semester lebih banyak disajikan dalam bentuk soal yang melibatkan perhitungan matematika daripada soal penguasaan konsep, 3) mahasiswa Pendidikan

Kimia lebih senang apabila soal disajikan dalam bentuk penguasaan konsep, 4) perkuliahan Fisika Dasar kurang dikaitkan dengan gejala atau materi yang

dipelajari di kimia. Disamping itu, mahasiswa program studi Pendidikan Kimia berpendapat bahwa perkuliahan Fisika Dasar yang selalu dikaitkan dengan gejala atau materi kimia dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar fisika, dan tugas-tugas rumah yang diberikan ke mahasiswa memperkaya penguasaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang dapat menjelaskan gejala kimia.

Hasil penelitian dan studi pendahuluan di atas mengindikasikan bahwa proses pembelajaran Fisika Dasar sebagai MKK tingkat Fakultas lebih berorientasi secara kuantitatif, baik untuk mahasiswa Fisika atau mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Menurut Giancoli (2001: ix), matematika dapat menjadi hambatan untuk penguasaan dalam belajar Fisika. Akibatnya mahasiswa mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskan secara kualitatif arti fisis dari persamaan matematis hukum-hukum fisika.

Kortemeyer (2007) melakukan survei terhadap mahasiswa calon dokter Universitas Maryland untuk mengungkap: 1) harapan dan keyakinan mahasiswa tentang hakikat fisika; serta 2) bagaimana kuliah diajarkan, yang meliputi unsur-unsur kuantitatif dan kualitatif. Hasil survei menunjukkan terdapat cara pandang yang berbeda antara guru fisika dan mahasiswa calon dokter di Universitas Maryland karena mereka mempunyai perbedaan harapan. Dalam hal ini guru mencari cara untuk menyampaikan suatu konsep sehingga siswa mampu menggambarkan penguasaan. Mahasiswa calon dokter sebagian besar mirip bukan ahli (awam)


(15)

mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap peran matematika dalam fisika dibandingkan dengan mahasiswa teknik rekayasa (engineering). Akibatnya, mereka termotivasi oleh kebutuhan untuk melakukan standardisasi tes dengan sebagian besar terpancang oleh permasalahan rumus numerik serta oleh kebutuhan mereka untuk memperoleh nilai baik dalam kuliah yang nampak asing dan tidak intuitif bagi mereka. Hasil survei juga merekomendasikan seringnya contoh-contoh dari topik medis dalam kuliah bagi mahasiswa calon dokter selain dari pada asesmen yang relevan yang lebih fokus penyelesaian soal-soal secara konseptual dan strategi pemecahan masalah.

Standard for Science Teacher Preparation (NSTA, 2003: 11-13) menyebutkan bahwa rekomendasi berkaitan dengan standar content yang harus dikuasai oleh guru Biologi dan guru Kimia meliputi: kompetensi inti (core competencies), kompetensi lanjut (advanced competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies). Untuk kompetensi pendukung, guru Biologi juga disiapkan untuk secara efektif menerapkan konsep matematika dan IPA (sains) lain untuk pembelajaran Biologi yang mencakup konsep dasar: Kimia (mencakup kimia umum dan biokimia dengan teknik laboratorium dasar); Fisika (mencakup cahaya, bunyi, optik, kelistrikan, energi, kemagnetan, dan termodinamika); Bumi dan antariksa (mencakup energi dan siklus siklus geokimia, iklim, samodera, cuaca, sumber daya alam, dan perubahan di bumi); dan Matematika (mencakup probabilitas dan statistik). Calon guru Kimia harus siap untuk secara efektif menerapkan konsep dari matematika dan IPA (sains) lain untuk pembelajaran Kimia yang mencakup konsep dasar: Biologi (mencakup biologi molekuler, bioenergetik, dan ekologi); Ilmu kebumian (mencakup geokimia, siklus dari bahan, dan energetik dari sistem Bumi);


(16)

Fisika (mencakup energi, evolusi bintang, sifat dan fungsi gelombang, gerak dan gaya, kelistrikan dan kemagnetan); serta Keterampilan dan konsep matematika dan statistik (mencakup statistik dan penggunaan dari persamaan diferensial dan kalkulus).

Rekomendasi di atas mengisyaratkan bahwa guru Biologi dan guru Kimia harus menguasai materi bidang studi, sekaligus mampu menerapkan konsep Matematika dan IPA (sains) lain, termasuk Fisika, untuk pembelajaran bidang studi. Fisika mempunyai peran penting untuk belajar biologi dan kimia dalam menjelaskan pengetahuan atau fenomena dan sebagai alat bantu untuk mempelajari pengetahuan atau fenomena dalam biologi dan kimia (NSTA, 2003: 11-13).

Sudarwanto dkk. (2000) mencontohkan bahwa peristiwa biologi bisa disarikan sebagai peristiwa-peristiwa kimia. Pemerolehan energi matahari melalui fotosintesis dapat diterangkan dan dipahami dengan baik jika landasan kimia dalam fotosintesis dapat dimengerti dengan baik pula. Peningkatan jumlah karbon dari CO2 menjadi senyawa karbon berantai 6 melibatkan banyak sekali senyawa kimia antara. Peristiwa kimia dalam fotosintesispun hanya dapat dipahami dengan baik jika dan hanya jika landasan Fisika cukup memadai. Berkas cahaya dalam bentuk foton memungkinkan elektron tereksitasi sehingga reaksi fotosintesis berlangsung.

Hasil penelitian dan rekomendasi NSTA menunjukkan bahwa 1) penggunaan matematika yang rumit dalam perkuliahan fisika dasar terutama bagi

mahasiswa program studi pendidikan biologi dan kimia, menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan untuk memahaminya; 2) secara kontekstual guru biologi dan kimia harus mampu menerapkan konsep-konsep fisis dalam proses pembelajaran biologi dan kimia; 3) asesmen yang relevan yang lebih fokus penyelesaian soal-soal


(17)

secara konseptual. Oleh karena itu dosen perlu memilih strategi pembelajaran yang tepat agar pembelajaran fisika dasar menjadi lebih bermakna bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

Salah satu strategi pembelajaran, termasuk di dalamnya bentuk asesmen, yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan kontekstual (contextual teaching learning, CTL). Menurut psikologi modern, pencarian terhadap makna adalah sifat wajib yang menjadi ciri utama CTL. Menurut para psikolog semua orang memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk menemukan makna dalam kehidupan mereka. Sesuatu memiliki makna jika sesuatu itu penting dan berarti bagi pribadi seseorang (Johnson, 2002).

Menurut Bruner (1973), belajar sebagai proses kognitif melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah: 1) memperoleh informasi baru, 2) transformasi informasi, dan 3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Dahar, 1996).

Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu: 1) pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya, dan 2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan (Dahar, 1996).

Sesuai dengan pandangan Bruner di atas, mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia membangun konsep-konsep fisika yang diadopsi dari perkuliahan Fisika Dasar. Selanjutnya konsep-konsep fisika tersebut diadaptasikan dalam gejala-gejala atau fenomena yang dipelajari dalam bidang studi yang menjadi pilihannya.


(18)

Dalam penelitian ini topik yang dipilih mencakup: Fluida, Temperatur, Panas dan Hukum I Termodinamika, dan Kelistrikan. Pemilihan topik ini didasarkan pada hasil analisis materi yang menunjukkan bahwa topik-topik ini berkaitan erat dengan materi ajar Biologi dan materi ajar Kimia. Topik-topik fisika yang berkaitan dengan biologi, misalnya: topik temperatur dan teori kinetik gas diperlukan untuk menjelaskan kelembaban dan kenyamanan serta difusi pada organisme hidup, kalor diperlukan untuk menjelaskan suhu tubuh, cara kerja termografi medis, serta Hukum Termodinamika diperlukan untuk menjelaskan metabolisme tubuh manusia. Topik temperatur dan teori kinetik gas, kalor, serta hukum termodinamika juga merupakan topik-topik yang dipelajari dalam kimia.

Adanya keterkaitan antara materi ajar fisika dengan materi ajar biologi dan antara materi ajar fisika dengan materi ajar kimia, maka kebermaknaan mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia sangat penting. Kebermaknaan tersebut akan meningkatkan motivasi mahasiswa untuk belajar fisika atau mata kuliah yang berkaitan dengan fisika, misalnya mata kuliah Biofisika bagi mahasiswa Pendidikan biologi atau mata kuliah Kimia Fisika bagi mahasiswa Pendidikan Kimia. Dengan demikian agar mata kuliah Fisika Dasar memiliki kebermaknaan bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, seyogianya perkuliahan (termasuk instrumen asesmen) Fisika Dasar menggunakan pendekatan kontekstual sesuai dengan disiplin ilmu yang menjadi pilihannya. Untuk itu, melalui penelitian ini dikembangkan suatu instrumen asesmen ”kontekstual” untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.


(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: “Instrumen asesmen yang bagaimana untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia?” Agar penelitian menjadi terarah maka masalah utama ini diuraikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana mengkonstruksi instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia?

2. Bagaimanakah karakteristik instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia?

3. Bagaimanakah penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual”?

4. Adakah perbedaan penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual”?


(20)

5. Adakah perbedaan penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Kimia yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual”?

6. Adakah hubungan antara penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” dengan penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia? 7. Bagaimanakah tanggapan mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan

Pendidikan Kimia terhadap instrumen asesmen penguasaan konsep fisika “kontekstual” pada mata kuliah Fisika Dasar?

8. Bagaimanakah karakteristik jawaban mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia dalam menjawab instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat instrumen asesmen yang dapat mengukur penguasaan konsep Fisika pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menghasilkan instrumen asesmen “kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang sudah diujicoba dan divalidasi.


(21)

2. Meneliti penguasaan konsep fisika mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual”.

3. Meneliti tanggapan mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia terhadap instrumen asesmen “kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan instrumen asesmen “kontekstual” untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang sudah divalidasi. Adapun manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua hal, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya informasi prinsip-prinsip mengembangkan instrumen asesmen “kontekstual” yang dapat mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia beserta karakteristiknya. Manfaat praktis hasil penelitian ini bagi mahasiswa adalah terlatihnya kemampuan mahasiswa untuk meningkatkan penguasaan konsep fisis dan penerapannya sesuai dengan bidang studi pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Bagi dosen, manfaat praktis hasil penelitian ini adalah diperolehnya pengalaman dalam merancang dan melaksanakan instrumen asesmen yang kontekstual untuk penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.


(22)

Bagi lembaga dan penentu kebijakan hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh instrumen asesmen yang standar pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

E. Kerangka Penelitian

Kerangka berpikir penelitian ini didasarkan pada: 1) penggunaan matematika yang rumit dalam perkuliahan fisika dasar terutama bagi mahasiswa program studi pendidikan biologi dan kimia, menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan untuk memahaminya, 2) secara kontekstual guru biologi dan kimia harus mampu menerapkan konsep-konsep fisis dalam proses pembelajaran biologi dan kimia, 3) asesmen yang relevan yang lebih fokus penyelesaian soal-soal secara konseptual. Oleh karena itu dosen perlu memilih strategi pembelajaran (termasuk instrumen asesmen) yang tepat agar pembelajaran fisika dasar menjadi lebih bermakna bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

Untuk itu perlu dikembangkan asesmen untuk mengukur penguasaan konsep fisika yang kontekstual pada mata kuliah fisika dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Secara bagan kerangka berpikir penelitian disajikan pada Gambar 1.1.


(23)

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian

F. Penjelasan Istilah

Untuk lebih fokusnya penelitian ini, maka perlu dibuat penjelasan istilah sebagai berikut:

1. Instrumen asesmen “kontekstual”

Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika merupakan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika yang disesuaikan dengan materi bidang studi yang menjadi pilihan mahasiswa. Untuk mahasiswa program studi Pendidikan

Pengembangan instrumen asesmen untuk mengukur pemahaman konsep fisika yang kontekstual pada mata kuliah fisika dasar bagi mahasiswa program studi

Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

Perlu dikembangkan instrumen asesmen untuk mengukur pemahaman konsep fisika yang kontekstual sesuai bidang studi pada mata kuliah Fisika Dasar Perlu pembelajaran fisika dasar yang kontekstual sesuai bidang studi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia

(Calon guru Biologi dan Kimia)

Bidang studi IPA lain

(termasuk Fisika) kompetensi

inti dan lanjut

kompetensi pendukung harus memiliki


(24)

Biologi instrumen asesmen disesuaikan dengan materi biologi, dan untuk mahasiswa program studi Pendidikan Kimia instrumen asesmen disesuaikan dengan materi kimia.

2. Instrumen asesmen “tidak kontekstual”

Instrumen asesmen “tidak kontekstual” penguasaan konsep fisika merupakan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika sebagaimana yang diberikan pada mahasiswa program studi Pendidikan Fisika.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian dan pengembangan pendidikan

(Educational Research and Development). Penelitian pengembangan atau

Research and Development (R&D) merupakan proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang sudah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan. Produk tersebut tidak selalu berupa perangkat keras seperti buku, modul, alat bantu pembelajaran di kelas atau laboratorium, tetapi dapat juga berupa perangkat lunak seperti program komputer untuk pengolahan data, pembelajaran di kelas, laboratorium, atau perpustakaan, atau model-model pendidikan, pembelajaran, pelatihan, bimbingan, evaluasi, manajemen, dan lain-lain (Sukmadinata, 2007).

Menurut Gall dan Borg (2003), penelitian dan pengembangan pendidikan menggunakan pendekatan sistem Dick & Carey. Langkah-langkah tersebut dimodifikasi oleh Sukmadinata (2007) menjadi tiga langkah berdasarkan pengalamannya melakukan penelitian dan pengembangan, yaitu (1) Studi pendahuluan yang meliputi studi literatur, studi lapangan, dan penyusunan draft awal produk; (2) Uji coba terbatas dan uji coba yang lebih luas; dan (3) Uji produk melalui eksperimen dan sosialisasi produk.

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang mengacu pada model 4-D (Four-D models), yaitu: Define, Design, Develop dan Disseminate

(Thiagarajan et al, 1974). Masing-masing tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.


(26)

1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan dalam proses pembelajaran. Penetapan kebutuhan-kebutuhan pembelajaran perlu memperhatikan mengenai kesesuaian kebutuhan pembelajaran dengan kurikulum yang berlaku dan silabi yang digunakan. Tahap pendefinisian, studi yang dilakukan sesuai dengan fokus kajian yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Studi literatur

Studi literatur dilakukan dengan menganalisis silabus mata kuliah Fisika Umum atau Fisika Dasar, Biologi Umum, dan Kimia Dasar. Tujuan analisis ini untuk menentukan kesesuaian atau keterkaitan antara bahan ajar fisika dengan bahan ajar biologi dan bahan ajar kimia.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilaksanakan dengan cara memberikan angket kepada mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang pernah menempuh mata kuliah Fisika Dasar pada salah satu universitas negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan pemberian angket adalah untuk memperoleh informasi proses pembelajaran dan instrumen asesmen pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

c. Deskripsi temuan

Deskripsi temuan dilakukan untuk mendeskripsikan hasil-hasil yang diperoleh pada saat studi lapangan, menganalisis hasil temuan khususnya yang berkaitan dengan instrumen yang digunakan untuk mengases penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.


(27)

2. Tahap Perancangan (Design)

Tujuan tahap ini adalah untuk merancang suatu instrumen asesmen yang mampu mengases penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Instrumen asesmen dirancang sesuai dengan latar belakang program studi mahasiswa, sehingga dihasilkan drafI dari instrumen asesmen.

Rancangan instrumen asesmen meliputi pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang dipilih, tipe soal yang dipilih untuk mengembangkan instrumen asesmen, tabel spesifikasi instrumen asesmen. Rancangan instrumen asesmen dibuat dalam dua versi, yaitu versi ”kontekstual” dan versi ”tidak kontekstual” untuk masing-masing program studi.

Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika merupakan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika yang disesuaikan dengan materi biologi atau kimia, sedangkan instrumen asesmen “tidak kontekstual” penguasaan konsep fisika merupakan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika sebagaimana yang diberikan pada mahasiswa program Pendidikan Fisika. Panduan pengembangan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 1. Kisi-kisi instrumen asesmen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

3. Tahap Pengembangan (Develop)

Asesmen merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan untuk mengetahui perkembangan dan tingkat pencapaian hasil belajar mahasiswa. Untuk melakukan asesmen diperlukan data yang diperoleh melalui hasil pengukuran. Dalam proses pengukuran sangat diperlukan instrumen tes yang baik, karena baik-buruknya mutu tes akan menentukan mutu data yang dihasilkan. Mutu data ini akan menentukan rumusan hasil asesmen, dan selanjutnya akan


(28)

menentukan mutu berbagai keputusan dan kebijakan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan hasil penilaian itu (Depdiknas, 2007). Untuk memperoleh instrumen asesmen yang baik, penyusunan dan pengembangan instrumen dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut (Crocker & Algina, 1986: 66).

a. Identifikasi tujuan utama penggunaan skor tes.

b. Identifikasi dimensi yang mewakili perilaku dalam perangkat tes yang dikonstruksi.

c. Menyiapkan spesifikasi tes, yang berisi jumlah dan penyebarannya butir tes untuk masing-masing dimensi.

d. Menyusun draf awal butir-butir tes.

e. Melakukan penelaahan oleh ahli (expert judgement) terhadap butir tes dan melakukan revisi bila diperlukan.

f. Melaksanaakan uji coba pendahuluan terhadap butir tes dengan responden yang terbatas.

g. Melakukan analisis butir, uji validitas dan reliabilitas, dan melakukan revisi seperlunya.

h. Melakukan uji coba kembali di lapangan dengan responden yang representatif dalam jumlah besar dan melakukan analisis terhadap persyaratan butir tes yang baik.

i. Menentukan atau memilih butir tes, jika perlu mengurangi butir yang tidak sesuai dengan kriteria pada penyusunan awal, sehingga diperoleh perangkat tes yang memenuhi ketentuan.

j. Mengembangkan petunjuk secara administrasi tentang pelaksanaan tes, cara penskoran, dan interpretasi skor.

Dalam penelitian ini instrumen asesmen dikembangkan dalam bentuk tes pilihan ganda. Tes objektif jenis pilihan ganda merupakan jenis tes objektif yang


(29)

paling banyak digunakan. Konstruksi tes pilihan ganda terdiri atas dua bagian, yaitu pokok soal (stem) dan alternatif jawaban (option). Satu di antara alternatif jawaban tersebut adalah jawaban yang benar atau yang paling benar (kunci jawaban), sedangkan alternatif jawaban yang lain berfungsi sebagai pengecoh (distractor).

Pokok soal dapat dibuat dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk pernyataan tidak selesai atau dalam bentuk kalimat tanya. Jumlah alternatif jawaban yang dibuat biasanya empat atau lima. Semakin banyak alternatif jawaban yang dibuat, maka probabilitas mahasiswa untuk menebak jawaban semakin kecil. Tata tulis tes pilihan ganda diatur sebagai berikut.

a. Jika pokok soal (stem) ditulis dengan kalimat tidak selesai, maka awal kalimat ditulis dengan huruf besar dan awal option ditulis dengan huruf kecil (kecuali untuk nama diri atau nama tempat). Karena pokok soal ditulis dengan kalimat tidak selesai, maka pada akhir kalimat disertai dengan empat buah titik. Tiga buah titik yang pertama adalah titik-titik untuk pokok soal yang ditulis dengan kalimat tidak selesai dan satu titik yang terakhir merupakan titik akhir alternatif jawaban. Dengan demikian akhir setiap alternatif jawaban tidak perlu diberi tanda titik.

b. Jika pokok kalimat ditulis dengan kalimat tanya, maka awal kalimat ditulis dengan huruf kapital dan akhir kalimat diberi tanda tanya. Setiap awal option dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.

Dalam menulis soal pilihan ganda harus diperhatikan kaidah-kaidah penulisan soal dilihat dari segi materi, konstruksi dan bahasa. Persyaratan penulisan soal pilihan ganda disajikan pada Tabel 3.1.


(30)

Tabel 3.1. Kaidah Penulisan Soal Pilihan Ganda

Aspek Prinsip

Materi 1. Soal harus sesuai dengan indikator.

2. Soal harus menyebar pada hampir keseluruhan materi. Konstruksi 1. Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas.

2. Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja.

3. Pokok soal tidak memberi petunjuk ke arah jawan benar. 4. Pokok soal tidak mengandung penafsiran yang bersifat ganda. 5. Panjang pernyataan pilihan jawaban harus relatif sama.

6. Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi.

7. Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar atau paling benar.

8. Pilihan jawaban tidak mengandung pernyataan, “Semua pilihan jawaban di atas salah” atau “semua pilihan jawaban di atas benar”.

9. Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka tersebut, atau kronologisnya.

10. Gambar, grafik, tabel, diagram, dan sejenisnya yang terdapat pada soal harus jelas dan berfungsi.

11. Butir soal tidak bergantung pada pada jawaban soal sebelumnya.

Bahasa 1. Setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia

2. Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat, jika soal akan digunakan untuk daerah lain atau nasional.

3. Setiap soal harus menggunakan bahasa yang komunikatif. 4. Pilihan jawaban tidak mengulang kata atau frase yang bukan

merupakan satu kesatuan pengertian. 5. Tidak bias kultural

6. Mempunyai tingkat keterbacaan tinggi.

Penelaahan (judgement) terhadap instrumen asesmen versi ”kontekstual” dan versi ”tidak kontekstual” untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang dikembangkan berdasarkan design (draft I) dilakukan oleh kelompok pakar (expert). Pertimbangan profesional oleh kelompok expert untuk menentukan


(31)

validasi isi butir soal baik dari segi materi, konstruksi soal maupun kejelasan bahasa instrumen asesmen penguasaan konsep yang disusun, agar butir soal yang diujikan merupakan sampel yang representatif dari penguasaan konsep fisika yang harus dikuasai.

Kelompok expert harus dipilih orang yang berkompeten di bidang sains dan/atau asesmen dengan latar belakang pendidikan S3 (doktor). Jumlah expert

harus ganjil untuk memudahkan mengambil keputusan ketika menganalisis hasil penilaian dari expert. Judgement dilaksanakan oleh tiga orang pakar pendidikan biologi (dua orang dosen tetap Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan seorang dosen tetap Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta), tiga orang pakar Pendidikan Kimia (dua orang dosen tetap Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan satu orang dosen tetap Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta), dan tiga orang pakar pendidikan fisika (satu orang dosen tetap Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, satu orang dosen tetap Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Tadulako, dan seorang dosen tetap Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta). Lembar expert judgement instrumen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 4. Saran-saran dari expert tersebut digunakan untuk merevisi naskah, sehingga dihasilkan naskah yang memenuhi kriteria validitas isi (content validity). Naskah asesmen yang dikembangkan merupakan

draft II yang diujicoba secara terbatas.

Uji coba terbatas terhadap model asesmen ini dilaksanakan pada satu kelas dari salah satu kelas pada Program Studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, FMIPA, salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Berdasarkan hasil uji coba terbatas dilakukan uji validitas dan revisi terhadap draft asesmen II sehingga


(32)

menghasilkan prototipe asesmen yang dikembangkan (draf III). Analisis uji coba terbatas instrumen asesmen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 5. 4. Tahap Diseminasi (Disseminate)

Tahap ini merupakan tahap diseminasi instrumen asesmen untuk mengu-kur penguasaan konsep fisika “tidak kontekstual” dan “kontekstual” pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Diseminasi dilaksanakan dengan melakukan uji coba utamake kelas sesungguhnya, yaitu kelas-kelas program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

Uji coba utama ini dimaksudkan untuk menghasilkan produk akhir berupa seperangkat instrumen asesmen penguasaan konsep fisika pada mata kuliah fisika dasar bagi mahasiswa pendidikan biologi dan pendidikan kimia yang valid dan reliable. Analisis uji coba utama instrumen asesmen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Secara visual langkah-langkah peneli-tian dan pengembangan disajikan pada Gambar 3.1.

B. Lokasi dan Subyek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia yang sedang menempuh mata kuliah Fisika Dasar atau Fisika Umum pada tahun akademik 2010/2011. Uji coba utama melibatkan 315 mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan 302 mahasiswa program studi Pendidikan Kimia dari lima Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Bandung, Yogyakarta, Solo dan Palembang sebagai subyek penelitian. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan untuk dapat mengatasi kendala biaya, tenaga, dan waktu dari dan ke lokasi penelitian, dalam hal ini peneliti terlibat langsung dalam pengambilan data, kecuali untuk LPTK di


(33)

Palembang. Untuk pengambilan data pada LPTK di Palembang dilaksanakan oleh orang yang dapat dipercaya karena sebelumnya sudah mendapat pengarahan dari peneliti.

C. Instrumen Penelitian

Penelitian ini untuk mengembangkan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Untuk mendapatkan instrumen asesmen valid dan reliabel, maka harus dilakukan uji validitas dan reliabilitas butir instrumen yang dikembangkan. Butir instrumen yang memenuhi kriteria validitas dan relibilitas digunakan sebagai instrumen asesmen penguasaan konsep fisika. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tanggapan mahasiswa terhadap instrumen yang dikembangkan.

1. Instrumen Asesmen Penguasaan Konsep Fisika

Instrumen ini dikembangkan untuk mengases penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Ada dua versi asesmen penguasaan konsep fisika yang dikembangkan, yaitu: versi ”kontekstual” dan versi ”tidak kontekstual”. Instrumen asesmen penguasaan konsep berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban sebanyak 20 butir soal untuk masing-masing versi. Instrumen asesmen penguasaan konsep fisika disajikan pada Lampiran 8 dan Lampiran 9.

Untuk menyatakan kualitas soal dilakukan analisis butir soal yang meliputi indeks kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas. Butir soal yang tidak memenuhi kriteria soal yang baik (kualitasnya rendah) maka soal tersebut direvisi.


(34)

Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan Instrumen Penelitian D E F IN E D E V E L O P M E N T D IS S E M IN A T E DESIGN T A H A P S T U D I P E N D A H U L U A N T A H A P P E N G E M B A N G A N T A H A P E V A L U A S I

Expert Judgement oleh: 3 dosen Pendidikan Biologi, 3 dosen Pendidikan

Kimia, 3 Dosen Pendidikan Fisika (Uji validitas isi)

Revisi I

(Evaluasi dan

Draft II asesmen untuk mengukur pemahaman konsep (tes valid isinya)

Uji Coba Terbatas Analisis:

•Indeks kesukaran •Daya pembeda •Validitas butir soal •Reliabilitas naskah soal •Kualitas pengecoh

Revisi II Studi Literatur

Studi lapangan tentang asesmen mata kuliah fisika dasar untuk mahasiswa prodi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia

Deskripsi dan analisis temuan asesmen faktual di lapangan untuk mahasiswa prodi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia

Draft I (Rancangan awal)

asesmen untuk mengukur pemahaman konsep

Uji Coba Utama

Revisi III

Draft III asesmen untuk mengukur pemahaman konsep

Analisis: •Indeks kesukaran •Daya pembeda •Validitas butir soal •Reliabilitas naskah soal •Kualitas pengecoh


(35)

a. Indeks Kesukaran Butir Soal

Uji indeks kesukaran dilakukan untuk mengetahui apakah butir soal tergolong sukar, sedang atau mudah. Indeks kesukaran butir didefinisikan sebagai persentase dari siswa yang menjawab benar. Indeks kesukaran (p) suatu butir tes ditentukan dengan rumus (Mehrens & Lehmann, 1984: 191):

% 100 × =

T R p Keterangan:

R = jumlah siswa yang menjawab benar butir tes T = jumlah seluruh siswa peserta tes

Kriteria untuk menentukan indeks kesukaran butir disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Kriteria Indeks Kesukaran Butir

Indeks Kesukaran Butir Kategori 0% - 25% Sukar

26% - 75% Sedang

76% - 100% Mudah

(Zainul, 1997: 160)

b. Indeks Diskriminasi (Daya Pembeda) Butir Soal

Daya pembeda suatu butir menyatakan kemampuan butir tes untuk membedakan kelompok siswa yang berkemampuan tinggi dengan kelompok siswa yang berkemampuan rendah (Susetyo, 2011: 161). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi (D). Menurut Crocker & Algina (1986: 314), indeks diskriminasi merupakan selisih antara proporsi siswa kelompok atas (berkemampuan tinggi) yang menjawab benar butir tes dengan proporsi siswa kelompok bawah (berkemampuan rendah) yang menjawab benar butir tes. Dengan demikian indeks diskriminasi butir tes dihitung menggunakan rumus:


(36)

= −

Keterangan:

D = indeks daya pembeda

pu = proporsi siswa kelompok atas yang menjawab benar butir tes pl = proporsi siswa kelompok bawah yang menjawab benar butir tes Kriteria untuk menentukan indeks diskriminasi butir disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Kriteria Indeks Diskriminasi Butir Indeks

Diskriminasi Kriteria

D ≥ 0,40 Butir soal berfungsi dengan baik 0,30 ≤ D ≤ 0,39 Sedikit atau tidak perlu ada revisi

0,20 ≤ D ≤ 0,29 Butir soal sedikit membedakan (marginal) dan perlu revisi D ≤ 0,19 Soal sebaiknya dibuang atau direvisi secara utuh

(Crocker & Algina, 1986: 315)

c. Validitas Butir Soal

Validitas merupakan ukuran yang menyatakan kesahihan suatu instrumen sehingga mampu mengukur apa yang hendak diukur. Ada tiga pendekatan validasi tes, yakni validasi isi (content validation), validasi yang berhubungan dengan kriteria (criterion-related validation) dan validasi konstruk (construct validation) (Crocker & Algina, 1986). Tujuan studi validasi isi adalah untuk menguji apakah butir soal-butir soal cukup mewakili domain kinerja atau konstruk tertentu. Domain kinerja sering didefinisikan sebagai sebuah daftar tujuan pembelajaran (Crocker & Algina, 1986). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila tes tersebut mencakup domain isi yang diuji. Domain isi dari instrumen asesmen yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah fluida, temperatur, panas dan hukum pertama termodinamika, serta kelistrikan. Untuk mengetahui validitas isi suatu instrumen asesmen yang akan digunakan dalam pembelajaran dilakukan validasi oleh dosen yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang yang akan diases.


(37)

Validasi konstruk berkaitan dengan membuat inferensi dari skor tes dengan kinerja yang dapat dikelompokkan di bawah label konstruk psikologi. Konstruk psikologi didefinisikan sebagai produk imajinasi ilmiah yang diinformasikan, ide yang dikembangkan yang dapat dikategorikan dan deskripsi beberapa perilaku yang dapat diobservasi secara langsung (Crocker & Algina, 1986). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruk apabila tes tersebut menguji konstruk yang seharusnya diuji.

Tujuan studi validasi yang berhubungan dengan kriteria adalah untuk membuat kesimpulan berdasarkan hubungan antara skor tes dengan kinerja kritera (Crocker & Algina, 1986). Prosedur validasi yang berhubungan dengan kriteria menunjukkan keefektifan sebuah tes memprediksikan perilaku setiap individu dalam situasi tertentu (Anastasi, 1982). Terdapat dua macam validitas yang berhubungan dengan kriteria yakni validitas prediktif (predictive validity) dan validitas konkuren (concurent validity).

Validitas prediktif merujuk kepada kemampuan tes memprediksi ukuran kriteria yang akan dibuat pada masa yang akan datang. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediktif jika mampu meramalkan keadaan yang akan datang. Sebagai contoh jika tes SNMPTN memiliki validitas prediktif maka hasil tes ini dapat meramalkan keberhasilan mahasiswa di perguruan tinggi. Jika yang dijadikan kriteria Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa, maka skor tes SNMPTN akan berkorelasi secara signifikan dengan IPK mahasiswa.

Validitas konkuren merujuk pada hubungan antara skor tes dan ukuran kriteria yang dibuat pada waktu tes diberikan. Validitas konkuren relevan dengan tes yang digunakan untuk mendiagnosis status yang ada daripada memprediksi keberhasilan pada masa yang akan datang (Anastasi, 1982). Sebagai contoh, jika navigator pesawat terbang mengambil pencil and paper test terhadap pengetahuan


(38)

navigasi dan dengan segera sesudah itu diobservasi dan dinilai terhadap kinerjanya dalam penerbangan aktual, maka sebuah korelasi positif akan menjadi buti validitas konkuren dari pencil and paper test tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, uji validitas instrumen yang digunakan adalah uji validitas isi (content validity) dan uji validitas konkuren (concurent validity). Untuk mengetahui validitas isi suatu instrumen asesmen yang akan digunakan dalam pembelajaran dilakukan validasi oleh dosen yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang yang akan diases. Untuk mengetahui validitas yang dihubungkan dengan kriteria khususnya validitas konkuren digunakan uji statistik yakni korelasi point biserial. Hal ini dilakukan karena data skor soal (prediktor) merupakan data yang dikotomi, sedangkan data skor total tes (kriterium) merupakan data yang kontinum atau non dikotomi. Menurut Kaplan & Saccuzzo (2005: 79-80), jenis koefisien korelasi yang digunakan menemukan hubungan antara variabel dikotomi dan variabel kontinu adalah korelasi point biserial. Untuk menghitung korelasi point biserial digunakan rumus:

=

Keterangan:

rpbis = koefisien korelasi point biserial,

= rerata skor dari subyek yang menjawab benar untuk butir soal yang akan dicari validitasnya,

= rerata skor total,

st = simpangan baku skor total,

p = proporsi siswa yang menjawab benar pada butir soal yang dimaksud, q = proporsi siswa yang menjawab salah pada butir soal yang dimaksud. Butir soal dikatakan valid jika skor setiap butir soal berkorelasi positif dengan skor totalnya dan hasil hitung rpbis (point biserial correlation) lebih besar dari rtabel pada taraf signifikansi 5% (rpbis > rt(1-≥)). Pada taraf signifikansi 5%, rt(1-≥) =


(39)

rt(1-5%) = rt(95%) dapat dilihat pada daftar Pearson Product Moment Correlation

Coefficient dengan derajat kebebasan df = N-2 (Guilford & Fruchter, 1978). N menyatakan jumlah sampel (peserta tes).

d. Reliabilitas

Uji reliabilitas tes bertujuan untuk menguji tingkat keajegan soal yang digunakan. Untuk menghitung reliabilitas tes yang mempunyai skor dikotomi digunakan rumus KR-20 yang dikembangkan oleh Kuder dan Richardson (Kaplan & Saccuzzo, 2005: 111) sebagai berikut.

=

Keterangan:

r11 = koefisien reliabilitas naskah tes n = banyaknya butir soal

pi = proporsi banyak subyek yang menjawab benar butir soal ke-i qi = proporsi banyak subyek yang menjawab salah butir soal ke-i st2 = varians skor total.

Untuk reliabilitas, Ornstein (1990) memberikan kriteria untuk menginterpretasi derajat reliabilitas sebuah instrumen sebagai berikut.

Tabel 3.4. Kriteria Reliabilitas Instrumen Koefisien Reliabilitas Penafsiran 0,80 ≤ r derajat reliabilitas tinggi 0,40 ≤ r < 0,80 derajat reliabilitas sedang r < 0,40 derajat reliabilitas rendah (Ratumanan & Laurens, 2003: 39)


(40)

2. Angket Tanggapan Mahasiswa

Angket digunakan untuk menjaring pendapat mahasiswa tentang penggunaan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Angket tanggapan mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia tentang penggunaan instrumen asesmen penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar disajikan pada Lampiran 10.

D. Teknik Analisis Data 1. Jenis data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : penguasaan konsep fisis yang diukur menggunakan instrumen asesmen versi “kontekstual”, penguasaan konsep fisis yang diukur menggunakan instrumen asesmen versi “tidak kontekstual”, dan tanggapan mahasiswa terhadap instrumen asesmen penguasaan konsep. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara kuantitatif untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang muncul pada saat penelitian sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik.

2. Pengolahan Data

Untuk menyatakan karakteristik instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika dan instrumen asesmen “tidak kontekstual” penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia dilakukan analisis butir soal yang meliputi: daya pembeda, indeks kesukaran, validitas dari masing-masing butir instrumen asesmen, serta reliabilitas instrumen asesmen. Analisis butir soal dapat dilakukan dengan bantuan Program ANATES dan Program ITEMAN. Untuk mengetahui program aplikasi yang memberikan hasil yang lebih baik, maka


(41)

analisis butir soal dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan Program ANATES dan Program ITEMAN.

Analisis butir soal khususnya uji validitas butir pada Program ANATES dihitung dengan menggunakan persamaan korelasi product moment Pearson. Korelasi ini mengukur derajat hubungan linear antara dua variabel yang mempunyai skor bersifat kontinu. Meskipun demikian persamaan korelasi product moment Pearson dapat juga digunakan untuk variabel dengan skor dikotomi. Sedangkan uji validitas butir pada Program ITEMAN dihitung menggunakan persamaan korelasi point biserial. Persamaan ini mengukur derajat hubungan linear antara dua variabel yang mempunyai skor dikotomi (Crocker & Algina, 1986).

Untuk menyatakan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar dilakukan dengan menghitung skor rata-rata yang diperoleh mahasiswa dalam mengerjakan instrumen asesmen tersebut.

Untuk menyatakan apakah ada perbedaan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar digunakan uji-t untuk data yang homogen dan mempunyai distribusi normal, sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal digunakan uji Two Related Samples Tests. Uji Two Related Samples Tests hanya dapat mengukur data berskala ordinal dan tidak mempersyaratkan data (Priyatno, 2009). Untuk analisis data secara kuantitatif dengan menggunakan uji statistik


(42)

diawali dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Untuk uji normalitas digunakan uji Kolmogorof-Smirnof, sedangkan untuk uji homogenitas digunakan analisis varians satu jalur atau One Way ANOVA. Uji normalitas dan homogenitas data penelitian disajikan pada Lampiran 11.

Untuk menyatakan apakah ada korelasi penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar digunakan uji korelasi Product Moment untuk data yang homogen dan mempunyai distribusi normal, sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal digunakan uji Kendall’s tau-b dan Spearman. Uji ini tidak mensyaratkan distribusi data normal dan bisa untuk data tipe ordinal (Priyatno, 2009). Uji beda dan uji korelasi penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar disajikan pada Lampiran 12. Untuk keperluan uji statistik dilakukan dengan bantuan software Program SPSS versi 17.


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Pengembangan instrumen asesmen “kontekstual” dan instrumen asesmen “tidak kontekstual” penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia memberi pengalaman kepada calon guru Biologi dan guru Kimia untuk mengaitkan ilmu fisika dengan ilmu biologi dan ilmu fisika dengan ilmu kimia sehingga mahasiswa memperoleh kebermaknaan dalam menempuh mata kuliah Fisika Dasar. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan telah dihasilkan seperangkat instrumen asesmen untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia.

Selanjutnya, mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, konstruksi asesmen penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia terdiri dari dua versi, yaitu : versi “kontekstual” dan versi “tidak kontekstual” yang masing-masing terdiri 20 butir. Semua butir asesmen yang dikembangkan memenuhi karakteristik sebagai butir asesmen yang baik, ditinjau dari daya pembeda, indeks kesukaran, validitas, reliabilitas, dan efektifitas butir pengecoh.

Kedua, penguasaan konsep fisis pada mata kuliah Fisika Dasar untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi dan Program Studi Pendidikan Kimia adalah rendah baik yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” maupun yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual”. Untuk mahasiswa Pendidikan Biologi, rata-rata skor penguasaan


(44)

konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” sebesar 10,84 dari skor total 20, sedangkan rata-rata skor penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” sebesar 10,93 dari skor total 20. Untuk mahasiswa Pendidikan Kimia, rata-rata skor penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” sebesar 10,92 dari skor total 20, sedangkan rata-rata skor penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” sebesar 10,61 dari skor total 20.

Ketiga, tidak ada perbedaan antara penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar.

Keempat, terdapat korelasi antara penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diuji menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia pada mata kuliah Fisika Dasar. Koefisien korelasi antara penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” sebesar 0,149 bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan sebesar 0,504 bagi mahasiswa Pendidikan Kimia.

Kelima, mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap versi asesmen yang dikembangkan. Mahasiswa Pendidikan Biologi cenderung memberikan respon positif terhadap instrumen asesmen pemahaman konsep fisika khususnya instrumen asesmen “kontekstual”


(45)

meskipun mereka menyatakan bahwa soal-soal fisika yang bersifat hitungan lebih memudahkan untuk memperoleh kepastian atau keyakinan jawaban yang tepat daripada soal-soal yang bersifat penguasaan konsep. Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika membantu mahasiswa dalam menjelaskan fenomena atau pengetahuan yang dipelajari dalam biologi sehingga perlu diberikan dalam setiap perkuliahan Fisika Dasar (Fisika Umum). Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika mengubah persepsi mahasiswa dari fisika yang merupakan mata kuliah yang tidak berkaitan dengan biologi ke fisika sebagai mata kuliah yang diperlukan untuk menjelaskan pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam biologi sehingga memotivasi mahasiswa untuk belajar fisika. Mahasiswa tidak setuju bahwa untuk meningkatkan penguasaan terhadap pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam biologi tidak perlu belajar fisika meskipun mereka bingung dalam menggunakan persamaan matematis untuk menjelaskan pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam biologi.

Mahasiswa Pendidikan Kimia memberikan respon yang positif terhadap instrumen asesmen atau soal-soal fisika yang bersifat hitungan karena lebih memudahkan untuk memperoleh kepastian atau keyakinan jawaban yang tepat daripada soal-soal yang bersifat pemahaman konsep. Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika membantu mahasiswa dalam menjelaskan fenomena atau pengetahuan yang dipelajari dalam kimia sehingga perlu diberikan dalam setiap perkuliahan Fisika Dasar (Fisika Umum). Instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika mengubah persepsi mahasiswa dari fisika yang merupakan mata kuliah yang tidak berkaitan dengan kimia ke fisika sebagai mata kuliah yang diperlukan untuk menjelaskan pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam kimia sehingga memotivasi mahasiswa untuk belajar fisika.


(46)

Mahasiswa tidak setuju bahwa untuk meningkatkan penguasaan pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam kimia tidak perlu belajar fisika meskipun mereka kesulitan dalam menggunakan persamaan matematis untuk menjelaskan pengetahuan atau fenomena yang dipelajari dalam kimia.

Keenam, pernyataan-pernyataan fisika lebih efektif bila dinyataan dalam bahasa matematika. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam menentukan jawaban dipengaruhi oleh kemampuan menginterpretasikan persamaan matematika secara kualitatif ke konsep-konsep fisika.

B. Implikasi Hasil Penelitian

Dari kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan di atas ada beberapa implikasi hasil penelitian yang dapat dikemukakan. Pertama, quiz, ujian tengah semester maupun ujian akhir semester pada mata kuliah Fisika Dasar (Fisika Umum) bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia lebih banyak bersifat hitungan. Untuk dapat lulus ujian mahasiswa berusaha menghafal rumus dan mencoba mengerjakan berbagai soal fisika. Cara belajar ini mengakibatkan mahasiswa tidak memahami konsep. Rata-rata skor penguasaan konsep fisis yang rendah, tidak adanya perbedaan skor penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” serta korelasi antara skor penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “kontekstual” dan penguasaan konsep fisika yang diukur menggunakan instrumen asesmen “tidak kontekstual” yang rendah khususnya untuk mahasiswa Pendidikan Biologi dapat diartikan mahasiswa mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep fisis serta menerapkan untuk menjelaskan di dalam disiplin ilmu yang menjadi pilihannya. Hal ini memberi implikasi perlunya untuk selalu


(47)

menekankan konsep fisis atau interpretasi fisis dari persamaan matematika dalam setiap pembelajaran Fisika Dasar serta untuk selalu member contoh gejala-gejala biologi atau gejala-gejala kimia yang bisa dijelaskan menggunakan konsep fisika tersebut. Jika mahasiswa dibiasakan untuk mengaitkan konsep fisika dengan gejala biologi atau gejala-gejala kimia, maka mahasiswa akan mendapatkan kebermaknaan dalam belajar Fisika Dasar dan mampu menjelaskan gejala-gejala biologi atau gejala-gejala kimia dengan menggunakan konsep fisika yang sesuai dengan benar.

Kedua, agar pembelajaran Fisika Dasar memiliki kebermaknaan bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, strategi pembelajaran yang sesuai adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching Learning, CTL). Hal ini memberi implikasi bahwa asesmen yang digunakan juga harus kontekstual sesuai latar belakang bidang ilmu yang menjadi pilihan mahasiswa. Dengan demikian pengampu mata kuliah Fisika Dasar mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia harus mengetahui prinsip-prinsip pengembangan instrumen asesmen “kontekstual” untuk penguasaan konsep fisika.

C. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, diajukan rekomendasi yang bermanfaat dalam upaya memperbaiki instrumen asesmen penguasaan konsep fisika dan meningkatkan kebermaknaan mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Pertama, dalam pembelajaran Fisika Dasar (Fisika Umum) bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, materi pembelajaran yang berupa konsep-konsep fisika serta asesmen yang digunakan hendaknya disampaikan


(48)

secara kontekstual sesuai dengan bidang keilmuannya sehingga mahasiswa benar-benar merasakan kebermaknaan dalam belajar fisika.

Kedua, untuk dapat mengetahui kemampuan mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, dalam penguasaan konsep fisika dan menerapkannya untuk menjelaskan gejala-gejala atau materi-materi yang dipe-lajari dalam biologi atau kimia, mahasiswa perlu diberikan instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika sesuai dengan bidang keilmuan maha-siswa. Dengan mengetahui kesulitan mahasiswa dalam penguasaan konsep fisika untuk menjelaskan gejala-gejala yang dipelajari dalam biologi atau kimia, pengampu mata kuliah Fisika Dasar dapat merencanakan pembelajaran yang lebih tepat dan efektif untuk mengatasi kesulitan yang dialami mahasiswa. Pembe-lajaran secara kontekstual akan memberi kebermaknaan mata kuliah Fisika Dasar. Ketiga, penelitian ini dilakukan pada populasi terbatas dan jangka yang waktu terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sejenis dengan variasi populasi yang lebih luas dan untuk konsep fisika yang lainnya (misalnya: mekanika, optik).

D. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menekankan pada pengembangkan instrumen asesmen “kontekstual” untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia, dan sebagai pembanding juga dikembangkan instrumen asesmen “tidak kontekstual” untuk mengukur penguasaan konsep fisika pada mata kuliah Fisika Dasar bagi mahasiswa Pendidikan Biologi dan Pendidikan Kimia. Latar belakang masalah dan studi pustaka menunjukkan bahwa belum ditemukan penelitian pengembangan instrumen asesmen “kontekstual” penguasaan konsep fisika pada


(1)

Keterbatasan lain, analisis butir dalam penelitian ini menggunakan teori klasik yang parameter-parameternya bergantung pada sampel, sehingga jika diujikan pada sampel yang berbeda karakteristiknya tidak akan memberikan hasil yang sama. Dengan kata lain asesmen yang dikembangkan ini hanya berlaku pada sampel yang serupa dengan sampel penelitian.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alonso & Finn. (2000). Dasar-dasar Fisika Universitas (alih bahasa: Lea Prasetyo dan Kusnul Hadi). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anastasi, A. (1982). Psychological Testing Fifth Edition. New York: Macmillan Publishing.

Anderson, L.W. & Krathwolh, D.R. (Eds). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. A Bridged Edition. MA: Addison-Wesley.

Belen, S. (2000). Mensinergikan Ebtanas, Kurikulum dan Buku Pelajaran. Dalam Sindhunata. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.

Collete, A.T. & Chiappetta, E.L. (1994). Science Instruction in Middle and

Secondary Schools. New York: Mac Millan Publishing Company.

Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to Classical and Modern Test Theory, New York: CBS College Publishing.

Cromer, A.H. (1994). Fisika untuk Ilmu-ilmu Hayati (Penerjemah: Sumartono P). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dahar, R.W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Depdikbud. (1981). Materi Dasar Pendidikan, Program Akta Mengajar V. Buku IA. Filsafat Ilmu. Jakarta: Dirjendikti.

Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian: Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti.

Depdiknas. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Fokus Media.

Djaali & Muljono, P. (2008). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Druxes, H. et al. (1986). Kompedium Didaktik Fisika. Bandung: CV Remaja Karya.

Engelhardt, P.V. & Beichner, R.J. (2004). Student’s Understanding of Direct Current Resistive Electrical Circuits. American Journal Physics. 72 (1). 98-114.


(3)

Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. (2006). How to Design and Evaluate Research in Education. San Fransisco: McGrawHill.

Giancoli, D.C. (2001). Fisika. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gonzales, P. (2009). Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourthand Eight-Grade Students in an International Context. Washington: National Center For Education Statistics. [Online]. Tersedia: http://nces.ed.gov/pubs2009/2009001.pdf. [25 Nopember 2011]. Grondlund, N.E. (1983). Assessment of Student Achievement. Boston: Allyn &

Bacon.

Guilford, J.P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education. Singapore: McGraw-Hill.

Hendayana, S. et al. (2007). Lesson Study. Bandung: FPMIPA UPI-JICA.

Hestenes et al. (1992). Force Concept Inventory. The Physics Teacher. 30. 141-158.

Hinduan, A., dkk. (2007). Pendidikan Fisika. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung : Pedagogiana Press (Halaman 753-776). Jacobs, L.C. & Chase, C.I. (1992). Developing and Using Tests Effectively. San

Fransisco: Jossey-Bass Inc., Publisher.

Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Jumadi. (2002). Pengembangan Model Evaluasi Terpadu dalam Penilaian Hasil Belajar IPA. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Jupri, A. (2007). ”Menafsirkan” Konsep-konsep Fisika, Bagaimana?. 7 halaman.

Tersedia: http://mathematics. Wordpress.com. [19 November 2011].

Kaplan & Saccuzzo. (2005). Psychological Testing. USA: Thomson Wadsworth. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Analisis Trend

KemampuanSiswa Indonesia Hasil PISA 2000-2009. Jakarta: Pupendik

Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kortemeyer, G. (2007). The Challenge of Teaching Introdutory Physics to Premedical Student. The Physics Teacher. 45. 552-557.


(4)

Kim, E. & Park, S.J. (2002). “Students Do Not Overcome Conceptual Difficulties After Solving 1000 Traditional Problem”. American Journal Physics. 70, (7), 759-765.

Mahyuddin. (2007). Pembelajaran Asam Basa dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa SMA. Thesis. PPs UPI. Bandung : tidak diterbitkan.

Mardapi, J. (2000). Evaluasi Penyelenggaraan Ebtanas. Jurnal Kependidikan. XXX (2) 53-66.

Mehrens & Lehmann. (1984). Measurement and Evaluation in Education and

Psychology.New York: New York: CBS College Publishing.

Mualem, R. & Eylon, B. (2007). “Physics with a Smile” – Explaining Phenomena with a Qualitative Problem solving Strategy. The Physics Teacher. 45. 158-163.

Mundilarto, (2001). Pola Pendekatan Siswa Dalam Memecahkan Soal Fisika. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Muslimin, I. & Nur, M. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Press.

NRC, (1996). National Science Education Standards. Washington, DC: National Academy Press.

NSTA. (2003). Standards for Science Teacher Preparation. New York: NSTA. Nurhadi. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.

Malang: Universitas Negeri Malang.

Ploetzner, R. & Beller, S. (2000). Teaching and Supporting the Use of Qualitatif and Quantitative Concept in Classical Mechanics. In L Gleitmann & A.K. Joshi. Proceedings of the Twenty-Second Annual Conference of the Cognitive Science Society (pp: 853-858). Mahwah. NJ: Lawrence Erlbaum. Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: UPI dan PT. Rosda

Karya.

Priyatno, D. (2009). 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.

Ratumanan, T.G. & Laurens, T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press.


(5)

Reif, F. (1995). Millikan Lecture 1994. Understanding and Teaching Important Scientific Thought Processes. American Journal Physics. 63 (1). 17-32. Robert, A.L. et al. (2008). Different in two evaluations of answers to conceptual

physics question: a preliminary analysis. CAL-Laborate. 1-11.

Rutherford, J.F. & Ahlgren, A. (1990). Science for All American. New York: Oxford University Press.

Sinaradi, F. (2003). Menguji Kualitas Barang: Suatu Alternatif Model Pengajaran Sains. Dalam Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius. Singh, C. & Rosengrant, D. (2003). Multiple-Choice Test of Energy and

Momentum Concept. American Journal Physics. 71 (6). 607-617.

Sudarwanto, M. et al. (2000). Hakikat Pembelajaran MIPA di Perguruan Tinggi : Biologi. Jakarta: PAU-PPUT Dirjendikti Depdiknas.

Sukmadinata, N.S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Surapranata, S. (2004). Peningkatan Pendidikan MIPA dalam Master Plan Pendidikan Indonesia. Dalam Booklet Seminar Nasional Penelitian,

Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY. (Hal : 1-9).

______. (2006). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes.

Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

Susetyo. (2011). Menyusun Tes Hasil Belajar. Bandung: CV Cakra.

Suyudi, A. (2003). Dasar-dasar Sains. Malang: Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UM-JICA

Thiagarajan. et al. (1974). Instruction Development for Training Teacher of Exceptional Children. Indiana : Idiana University.

Toto. (2008). Pengembangan Bahan Ajar Fisika Dasar Berorientasi Ilmu Hayati bagi Mahasiswa Calon Guru Biologi. Proposal Disertasi pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Walsh. et al. (2007). Phenomenography study of student’s problem solving approaches in physics. Physical Review Special Topics. 3. 020108. 1-12. Werdhiana, I.K. (2009). Pemahaman Asesmen Untuk Mengukur Pemahaman

Konsep Fisika Siswa SMA. Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak


(6)

Widayati, S, dkk. (2002). Reformasi Pendidikan Dasar. Jakarta: Grasindo.

Wildaiman. (2005, 31 Januari). Pro-Kontra UAN, Sekolah, Bimbel dan Mutu

Pendidikan. Pikiran Rakyat [Online]. 5 halaman. Tersedia: http://www.pikiran_rakyat.com. [3 Maret 2010].

Wospakrik, H.J. dan Hendrajaya, L. (1993). Dasar-dasar Matematika untuk Fisika. Jakarta : Ditjen Dikti Depdikbud RI Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.

Yeo, S. & Zadnik, M. (2001). Introductory Termal Concept Evaluation: Assessing Students’ Understanding. The Physics Teacher. 39. 496-504.

Zainul, A. (1997). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Dirjen Dikti, Depdikbud.

Zainul, A. (2008). Asesmen Sumatif dan Formatif. Makalah. PPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.