PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR.
PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR
(ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES
PENCIPTAAN, FUNGSI DAN MAKNA)
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana sastra
oleh
Ega Yofi D. Setiady 0907101
PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
(2)
Puisi Sawér Pangantén Di Kampung Bojongkacor (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi Dan Makna)
Oleh
Ega Yofi D. Setiady
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
© Ega Yofi D. Setiady 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Desember 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Puisi Sawér Pangantén Di Kampung Bojongkacor (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi Dan Makna)
Oleh
Ega Yofi D. Setiady 0907101
Disetujui dan disahkan Oleh
Pembimbing I,
Drs. Mememn Durachman, M.Hum. NIP 196306081988031002
Pembimbing II,
Dr. Tedi Permadi, M.Hum. NIP 197006242006041001
Diketahui oleh
Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia,
Dr. Dadang S. Anshori, M.Si. NIP 197204031999031002
(4)
PUISI SAWÉR PANGANTÉN DI KAMPUNG BOJONGKACOR: (ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES
PENCIPTAAN, FUNGSI DAN MAKNA) Ega Yofi D. Setiady
0907101 ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Puisi Sawér Pangantén di Kampung Bojongkacor: (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi dan Makna)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kian menurunnya kesadaran masyarakat pada kebudayaan Sunda yang membuat sawér pangantén mulai dilupakan, sehingga penuturnya terbatas. Padahal bahasa yang disampaikannya banyak mengandung pesan moral dalam kehidupan, dan merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai kerokhanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan makna sawér pangantén yang ada di kampung Bojongkacor.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dan pendekatan kritik sastra lisan. Sumber data dalam penelitian adalah teks puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor yang dituturkan oleh juru sawer bernama Teh Neng, pada tanggal 13 Mei 2012. Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap, yaitu perekaman data, mentranskripsikan data, menganalisis data, dan membuat laporan penelitian.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor terdiri dari 7 bait, 22 kalimat, dan 40 larik. Di dalamnya terdapat pola puisi terikat yang mengacu pada pola pupuh kinanti. Pupuh kinanti dipilih karena berwatak prihatin, harapan, dan menunggu. Prihatin, diartikan pula tawakal dalam menunggu datangnya jodoh dan menjalani hidup bersama dalam berumah tangga. Hal ini menyebabkan banyak bunyi-bunyi berat yang dihasilkan dalam proses penciptaannya, tujuannya untuk menonjolkan suasana pengharapan atas doa-doa yang dipanjatkan dan suasana ketegasan dalam nasihat-nasihat yang diberikan. Akan tetapi, irama puisi sawér dituturkan dengan nada-nada yang lembut agar tidak terkesan menggurui.
Adapun bahasa yang digunakan dalam puisi sawér lebih cenderung bersifat simbolik, yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda dalam sistem budayanya, yaitu: pandangan hidup tentang Tuhan, manusia, dan alam yang saling melengkapi satu sama lain. Serta ajang pemberian nasihat, doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan. Hal ini diperjelas dengan adanya analisis makna puisi sawér pangantén yang terbagi menjadi lima, yaitu: makna kasih sayang, makna ketakwaan kepada Tuhan, makna tanggung jawab, makna budi pekerti, dan makna harapan. Secara eksplisit, puisi sawér ini memang ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secara implisit, puisi tersebut ditujukan untuk semua orang yang hadir dalam upacara sawér pangantén.
(5)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Puji serta syukur penulis sampaikan kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Puisi Sawér Pangantén di Kampung Bojongkacor: (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi dan Makna)”. Puisi Sawér Pangantén ini diteliti karena penulis merasa banyak manfaat yang terkandung dalam puisi sawér yang juga merupakan salah satu adat istiadat orang Sunda, namun dalam kenyataan yang ada minat dan kesadaran masyarakat akan hal itu semakin berkurang, baik pada puisi sawér itu sendiri, ataupun kepedulian dan penghormatan pada juru sawérnya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam memenuhi tugas akhir perkuliahan pada program Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi ini dengan tekat yang kuat.
Meskipun begitu, dalam pembuatan skripsi ini penulis merasa memiliki banyak kekurangan, baik yang bersifat materi maupun cara penyampaian materi yang menjadi ketidak sempurnaan skripsi ini, untuk itu penulis membutuhkan saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya, khususnya dalam bidang sastra lisan.
Bandung, 23 Juli 2013
Penulis, Ega Yofi D. Setiady
(6)
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Proses yang di bangun oleh kerja keras, tekad yang yang kuat, serta doa yang tiada henti. Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1) Drs. Memen Durachman, M.Hum. selaku pembimbing I yang penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini; 2) Dr. Tedi Permadi, M.Hum. selaku pembimbing II yang penuh kelembutan
dalam memberikan arahan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini; 3) Dadang S. Anshory, S. Pd, M. Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
4) Dosen-dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mengajarkan banyak hal pada peneliti.
5) Pak Aef, Pak Joko, dan Pak Wawan, staf administrasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang banyak membantu masalah perkuliahan. 6) Mamah yang selalu menjadi penguat dalam keadaan apapun. Aa, Dede, Teh Farida, Rafa, Teh Dewi, Abiyu yang selalu memberikan semangat, dan papah yang selalu menyayangi peneliti meskipun tidak dalam sebuah kebersamaan.
7) Angga Hidayat, yang penuh kesabaran menemani, membantu, dan memberikan motivasi kepada peneliti. Terima kasih untuk pundak hangatmu dalam hari-hari lemahku.
8) Jeje, Tiar, Gio, Edi, Tiwi, Apriyanti, Eggi, Sobar, Unun, Rizwan, Ridwan, Septi, Ama, Junita, Roni, Handoko, Sri, Heni, Zenal, Wili, Eci, Icha, Dani, Hari, Hana, Ilmi, Hafidz, teman-teman seperjuangan.
9) A Heri, Deno, Ugi, Arwan, Rei, Tari, Uci, Putri, Anggi, Bewok,dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
(7)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... UCAPAN TERIMA KASIH ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR BAGAN ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1.2 Batasan Masalah ... 1.3 Masalah Penelitian ... 1.4 Tujuan Penelitian ... 1.5 Manfaat Penelitian ... 1.6 Definisi Operasional ...
BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Sawér ... 2.1.1 Sawér Pangantén ... 2.2 Struktur Teks ... 2.2.1 Sintaksis ... 2.2.2 Bunyi ... 2.2.3 Irama ... 2.2.4 Majas ... 2.2.5 Diksi ... 2.2.6 Tema ...
i ii iii iv vii ix x xi 1 6 6 7 7 8 10 13 15 16 17 18 18 19 19
(8)
2.3 Konteks Penuturan ... 2.4 Proses Penciptaan ... 2.5 Fungsi ... 2.6 Makna ...
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian ... 3.2 Data dan Sumber Data ...
3.2.1 Data Penelitian ... 3.2.2 Sumber Data Penelitian ... 3.3 Teknik Penelitian ... 3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 3.3.2 Teknik Pengolahan Data ... 3.4 Instrumen Penelitian ... 3.4.1 Pedoman Wawancara ... 3.4.2 Instrumen Pengolahan Data ... 3.5 Prosedur Penelitian ... 3.5.1 Tahap Persiapan ... 3.5.2 Tahap Pelaksanaan ... 3.5.3 Tahap Pelaporan ...
BAB IV ANALISIS SAWÉR PANGANTÉN
4.1 Analisis Struktur ... 4.1.1 Formula Sintaksis ... 4.1.2 Formula Bunyi ... 4.1.3 Formula Irama ... 4.1.4 Majas ... 4.1.4.1 Hiperbola ... 4.1.4.2 Personifikasi ... 4.1.4.3 Pars Prototo ... 4.1.4.4 Metafora ...
20 21 22 23 24 25 25 26 26 26 27 28 28 28 29 29 30 30 31 33 64 82 104 104 105 106 107
(9)
4.1.5 Diksi ... 4.1.6 Tema ... 4.2 Konteks Penuturan ... 4.2.1 Konteks Situasi ... 4.2.2 Konteks Budaya ... 4.3 Proses Penciptaan ... 4.3.1 Proses Pewarisan ………. 4.3.2 Proses Penciptaan Teks Sawér Pangantén ……….. 4.4 Analisis Fungsi ... 4.5 Analisis Makna ... 4.5.1 Makna Sawér Pangantén dari Analisis Isotopi ... 4.5.2 Makna Teks Secara Harfiah ...
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN
108 110 123 123 131 141 141 143 147 152 152 158
166 171
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Teks puisi sawér pangantén... Tabel 4.2 Analisis kalimat 1 ... Tabel 4.3 Analisis kalimat 2 ... Tabel 4.4 Analisis kalimat 3 ... Tabel 4.5 Analisis kalimat 4 ... Tabel 4.6 Analisis kalimat 5 ... Tabel 4.7 Analisis kalimat 6 ... Tabel 4.8 Analisis kalimat 7 ... Tabel 4.9 Analisis kalimat 8 ... Tabel 4.10 Analisis kalimat 9 ... Tabel 4.11 Analisis kalimat 10 ... Tabel 4.12 Analisis kalimat 11 ... Tabel 4.13 Analisis kalimat 12 ... Tabel 4.14 Analisis kalimat 13 ... Tabel 4.15 Analisis kalimat 14 ... Tabel 4.16 Analisis kalimat 15 ... Tabel 4.17 Analisis kalimat 16 ... Tabel 4.18 Analisis kalimat 17 ... Tabel 4.19 Analisis kalimat 18 ... Tabel 4.20 Analisis kalimat 19 ... Tabel 4.21 Analisis kalimat 20 ... Tabel 4.22 Analisis kalimat 21 ... Tabel 4.23 Analisis kalimat 22 ... Tabel 4.24 Analisis formula bunyi ... Tabel 4.25 Analisis formula irama bait ke-1 ... Tabel 4.26 Analisis formula irama bait ke-2 ... Tabel 4.27 Analisis formula irama bait ke-3 ... Tabel 4.28 Analisis formula irama bait ke-4 ...
32 35 37 37 39 40 41 43 44 46 47 48 49 50 51 52 53 55 56 57 58 60 61 79 85 89 92 95
(11)
Tabel 4.29 Analisis formula irama bait ke-5 ... Tabel 4.30 Analisis formula irama bait ke-6 ... Tabel 4.31 Analisis formula irama bait ke-7 ... Tabel 4.32 Analisis Isotopi Kekuatan ... Tabel 4.33 Analisis Isotopi Tuhan ... Tabel 4.34 Analisis Isotopi Manusia ... Tabel 4.35 Analisis Isotopi Perasaan ... Tabel 4.36 Analisis Isotopi Nasihat ... Tabel 4.37 Analisis Isotopi Harapan ... Tabel 4.38 Analisis Isotopi Permintaan ... Tabel 4.39 Analisis Isotopi Tujuan ... Tabel 4.40 Analisis Isotopi Kegiatan ... Tabel 4.41 Analisis Isotopi Ketakterbatasan ... Tabel 4.42 Analisis Isotopi Kerahasiaan ... Tabel 4.43 Analisis Isotopi Kemisteriusan ... Tabel 4.44 Analisis Isotopi Ketaatan ... Tabel 4.45 Analisis Isotopi Kasih sayang ...
98 101 103 110 111 112 112 113 114 114 115 116 117 117 118 119 119
(12)
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1 Analisis Tema ... Bagan 4.2 Proses Pewarisan ...
122 141
(13)
DAFTAR GAMBAR
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Sumber Data 2. Data
3. Foto Acara Sawér Pangantén 4. Data Peneliti
(15)
Ega Yofi D. Setiady, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sastra yang beraneka ragam. Baik sastra lisan maupun sastra tulis, sastra klasik maupun sastra modern. Sastra klasik ini hampir terdapat di berbagai suku bangsa di Bumi Nusantara. Sastra klasik sering berkaitan dengan pola hidup masyarakat pemakainya. Bersifat mengikat dan religious, milik bersama ( folk literature ).
Salah satu hasil dari karya sastra klasik adalah sastra lisan. Sastra lisan sendiri menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Jadi, sastra lisan ini memiliki cakupan yang lebih spesifik. Sastra lisan disampaikan dari mulut ke mulut dari pendahulunya, karena dilihat dari sejarahnya, manusia lebih dulu mengenal lisan dibanding dengan tulisan itu sendiri. Sehingga tidak heran apabila sastra lisan memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu budaya.
Sastra lisan merupakan bagian dari folklor, karena dalam sastra lisan terdapat ciri-ciri folklor, yaitu: penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, bersifat tradisional, ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, bersifat anonim, biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola (Danandjaja, 2007:4). Salah satu genre folklor lisan yaitu puisi rakyat. Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Tradisi menuturkan puisi rakyat secara lisan masih sering terlihat di berbagai kegiatan tertentu di masyarakat. Artinya nilai-nilai yang ditawarkan itu masih mampu bertahan di tengah masyarakat yang bergerak menuju masyarakat modern.
(16)
Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali puisi rakyat, misalnya suku bangsa Jawa, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat ini terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu: sekar ageung, sekar tengahan, dan sekar alit. Tidak hanya bangsa Jawa, suku bangsa Sunda pun memiliki puisi rakyat salah satunya adalah sawér. Sawér Sunda merupakan bagian dari adat budaya Sunda lama yang diwariskan secara turun temurun dan sangat erat kaitannya dengan tata kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat.
Menurut pendapat Sarwoto Kartodipuro (dalam Hadish, 1986 : 2), adat kebiasaan nyawér itu sebenarnya tidak terdapat pada suku bangsa Sunda saja, tetapi juga pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, di antaranya biasa dilaksanakan oleh salah satu suku bangsa di Kalimantan Barat. Upacara nyawér dalam pernikahan itu dinamakan batabur. Demikian pula pada suku bangsa Minangkabau, terdapat pula upacara nyawér yang biasa disebut menepung tawari.
Dalam KBBI (2008:1275) sawér adalah meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng); menebarkan uang, beras,dsb kpd undangan oleh pengantin; sawéran adalah hasil menyawér (uang dsb). Sedangkan menurut Kamus Umum Basa Sunda yang dikeluarkan oleh Lembaga Basa dan Sastra Sunda, sawér berarti petuah untuk pengantin dalam bentuk syair, diiringi dengan tembang berisi nasihat orang tua (Hadish, 1986:11).
Sawér Pangantén merupakan pertanda kasih sayang orang tua, dan nasihat/petuah dari orang tuanya agar memelihara hubungan suami istri, hubungan anak dengan orang tua, hubungan antar keluarga dan ketakwaan kepada Tuhan (Hadish, 1986:40). Bagaimana peran seorang istri dalam rumah tangga juga diterangkan kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya. Nasihat/petuah itu disampaikan dalam bentuk pupuh, yang mempunyai patokan tertentu dalam jumlah suku kata, jumlah larik dalam satu bait, dan bunyi akhir pada setiap baitnya. Acuan pupuh terdiri atas: padalisan, yaitu jumlah baris tiap bait. Pada,
(17)
Ega Yofi D. Setiady, 2013
yaitu tiap bait dalam pupuh. Guru wilangan, yaitu jumlah larik dalam satu bait pupuh, dan jumlah suku kata dalam satu larik. Guru lagu, yaitu bunyi akhir tiap larik. Serta pedotan, yaitu pemenggalan larik sesuai dengan perhentian suara waktu melagukannya (Danasasmita, 2001:172).
Bahasa yang digunakan berupa doa yang tulus dari kedua orang tua bagi kesejahteraan kedua anaknya. Jadi nyatalah, apabila dalam nyawér itu dipergunakan kata-kata yang dianggap mempunyai kekuatan doa, mantra atau puisi yang berwujud sebagai puisi sawér, karena fungsinya sebagai alat pula dalam menyampaikan kehendak dari pelaksanaan upacara, yakni memohon perlindungan, keselamatan, kebahagiaan, ketentraman, kesejahteraan bagi yang diselamatkan dan anggota masyarakat lainnya yang menyertai upacara, serta lingkungan tempat mereka berada (Hadish,1986 : 15).
Walaupun bahasa sawér pangantén adalah bahasa orang tuanya, tetapi pelaksanaannya selalu disampaikan oleh orang tertentu yang biasa melakukan sawér. Dalam pelaksanaannya, sawér pangantén biasa diiringi waditra suling dan kecapi namun banyak juga yang melaksanakan sawér pangantén tidak diiringi dengan alat musik. Situasi yang hening menambah sakral acara sawer pangantn. Tak jarang membuat situasi menjadi haru. Isak tangis pengantin dan para tamu lain menambah keharuan. Di daerah pedalaman, tukang sawér pangantén biasanya ibu-ibu sepuh yang sudah tua. Di kota-kota besar seperti Bandung sawér pangantén lebih sering disampaikan oleh pesinden yang biasanya kemudian menjadi juru kawih pada acara hiburan dalam resepsi pernikahan. Suasana kebatinan sengaja diciptakan dengan alunan petikan kecapi dan irama suling yang mendayu yang bisa mengharu birukan situasi. Kondisi ini akan terekam kuat oleh sepasang pengantin baru, sehingga diharapkan nasihat/petuah dalam sawér akan dilaksanakan dalam kehidupan berumah tangga kelak.
Sekian banyak variasi puisi sawér yang ada di Jawa Barat, khususnya di Bandung terdapat teks puisi sawér yang berada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung yang biasa
(18)
dilantunkan oleh seorang juru sawér bernama Teh Neng. Upacara nyawér ini dilakukan setelah akad nikah sebelum acara huap lingkung, pabetot bakakak, meuleum harupat dan nincak endog dengan kelengkapan berupa beras, irisan kunyit, permen dan uang receh. Kelengkapan sawér itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu atau kuningan, lalu ditaburkan diatas payung pengantin (Hadish,1986 : 23).
Sawér pangantén ini diteliti karena penuturnya yang terbatas, tidak semua orang dapat menjadi juru sawér, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk menjadi juru sawér. Teks yang dipakainya pun tidak sembarangan, masih menggunakan bahasa Sunda buhun, bahasa sunda lama yang tidak dipakai di dalam keseharian bahkan banyak yang sudah tidak dimengerti, padahal bahasa yang disampaikannya banyak mengandung pesan moral dalam kehidupan, dan merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai kerokhanian yang salah satunya berfungsi sebagai alat pendidikan. Kesadaran masyarakat yang kian menurun membuat sawér pangantén ini mulai dilupakan, banyak yang menganggap itu sudah ketinggalan jaman dan tidak perlu dilestarikan, sehingga banyak juru sawér yang memilih untuk tidak memakainya sebagai profesi karena merasa tidak dihargai. Selain itu banyak pula yang tidak mengetahui fungsi dari puisi sawér pangantén itu sendiri, masyarakat hanya tahu bahwa fungsi dari sawér pangantén itu merupakan salah satu adat istiadat orang Sunda dan sebuah hiburan. Karena banyak ketidaktahuan itulah maka tradisi lisan di Indonesia kadang dilupakan dan dipandang sebelah mata. Begitu pula dengan masyarakat Bojongkacor yang biasa mengadakan upacara sawér pangantén, tidak ada yang mengerti benar apa maksud dari puisi sawér tersebut. Mereka senang mengikuti upacara sawér pangantén karena dalam upacara itu peserta akan berebut memungut uang atau permen yang ditaburkan oleh orang tua pengantin. Bahkan ada beberapa orang yang menaburkan semacam hadiah yang ditulis dalam secarik kertas, yang dapat ditukarkan dengan hadiah sesuai dengan yang tertulis didalam kertas tersebut.
(19)
Ega Yofi D. Setiady, 2013
Beberapa penelitian mengenai sawér sudah banyak dilakukan diantaranya Yus Rusyana yang pernah menyusun Bagbagan Puisi Sawér Sunda yang dipublikasikan oleh Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda, Bandung (1971). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Yetty Kusmiaty Hadish, dkk berjudul Puisi Sawér Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta (1986). Penelitiannya berisi tentang latar sosial budaya puisi sawer bahasa Sunda, keadaan penggubah, penutur dan karyanya, struktur puisi sawer (bentuk, jenis, isi dan bahasa), teks puisi sawer dan terjemahannya, serta teks puisi sawer tanpa terjemahan yang tidak dianalisis.
Adapula, skripsi seorang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung, Nenden Rizky Amelia meneliti tentang sawér yang berjudul Puisi Sawér Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (2010). Puisi sawer sunatan ini terdiri dari 19 bait, dan 75 larik. Terbagi kedalam tiga bagian, yaitu pembuka, isi dan penutup. Bagian isi terdiri dari 16 bait, bagian isi merupakan inti dari puisi sawér sunatan. Sedangkan bagian penutup terdiri dari 2 bait terakhir yaitu pada bait ke-18 dan ke-19. Pada bait ke-19, sawér ditutup dengan pupuh kinanti.
Penelitian tentang sawér pangantén yang ada dalam buku Hadish yang ada di Ciamis dan sawér pangantén di Kampung Bojongkacong memiliki kesamaan, yaitu keduanya sama-sama dikembangkang dalam puisi pupuh Kinanti. Namun juga memiliki beberapa perbedaan, diantaranya: sawér pangantén di Ciamis terdiri dari 8 bait, 52 larik, dengan lagu Kidung, Jemplang Titi,dan Sinom Degung. Selain itu, jumlah larik, guru lagu dan guru wilangan terpenuhi dengan sempurna. Sedangkan sawér pangantén di Kampung Bojongkacor terdiri dari 7 bait, 40 larik dengan lagu Kidung Pangrajah. Jumlah larik, guru lagu dan guru wilangan tidak terpenuhi semua dengan sempurna. Dalam penelitian tersebut menganalisis dari segi bentuk, isi, bahasa, dan penilaian terhadap teks sawer tersebut.
(20)
1.2 Batasan Masalah
Dari sekian banyak jenis puisi sawér, peneliti hanya akan meneliti tentang puisi sawér pengantin. Masyarakat Sunda menggunakan istilah sawér pangantén untuk upacara sawér pengantin atau sawér pernikahan. Sawér pangantén yang diteliti adalah teks sawér yang ditembangkan oleh Teh Neng, di Kampung Bojongkacor, kelurahan Cibeunying, kecamatan Cimenyan, kabupaten Bandung. Tepatnya pada saat pernikahan Mae dan Ridwan, pada tanggal 13 Mei 2012.
1.3 Masalah Penelitian
Masalah yang akan disajikan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana struktur teks puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana konteks penuturan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
3. Bagaimana proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
4. Bagaimana fungsi puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
5. Bagaimana makna puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung?
(21)
Ega Yofi D. Setiady, 2013
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang dibahas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai hal-hal berikut:
1. Struktur sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
2. Konteks penuturan sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 3. Proses penciptaan puisi sawér pangantén yang ada di Kampung
Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
4. Fungsi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
5. Makna puisi sawér pangantén yang ada di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat yang berguna. Dibagi menjadi manfaat praktis dan manfaat teoritis/akademik.
1.5.1 Manfaat Praktis
Untuk hiburan, karena teks sawér pangantén dituturkan dengan cara ditembangkan dengan nada yang merdu. Dengan demikian, pendengar akan merasa terhibur oleh lantunan puisi sawér pangantén. Fungsi hiburan adalah fungsi utama pertunjukan tradisi lisan (Badrun, 2003:272). Dalam acara sawér pangantén pun ada pembagian uang dan benda lain yang menarik yang dihamburkan kehadirin sehingga merupakan suatu hiburan tersendiri terutama bagi anak kecil serta orang-orang yang senang berburu uang sawéran. Makin besar dan makin banyak uang sawéran, makin meriah acara sawér pangantén tersebut.
(22)
1.5.2 Manfaat Teoritis/ Akademik
1 Terdokumentasikannya sawér pangantén di Kampung BojongKacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 2 Hasil penelitian dapat dijadikan acuan pustaka kebudayaan di
perpustakaan Daerah Kabupaten Bandung.
3 Bahan apresiasi dasar penciptaan dan sebagai sumbangan terhadap ilmu sastra.
4 Sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal tradisi lisan.
5 Sebagai wadah kalimat tradisional yang mengandung adat-istiadat, konversi, sistem nilai dan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Teeuw dalam Taum, 2011:27 ).
1.6 Definisi operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis fungsi adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana kegunaan puisi sawér pangantén tersebut di masyarakat.
2. Analisis konteks penuturan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana konteks situasi dan konteks budaya si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut.
3. Analisis proses penciptaan adalah cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana cara si penutur dalam menuturkan puisi sawér pangantén tersebut.
4. Analisis struktur teks adalah suatu cara pengkajian untuk mengetahui bagaimana formula sintaksis teks, irama, bunyi dan diksi dalam puisi sawér pangantén.
(23)
Ega Yofi D. Setiady, 2013
5. Huap Lingkung yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama besarnya.
6. Meuleum harupat yaitu membakar harupat salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang kan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami tidak nyaman.
7. Nincak endog yaitu menginjak telur di baik papan dan elekan (batang bambu muda), kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, mengelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua. Salah satu rangkaian acara dalam sawér pangantén yang melambang pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu.
8. Nyawér adalah salah satu kebudayaan yang termasuk sastra lisan. Sastra lisan menurut Hutomo (1991:1) adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga dari suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).
9. Pabetot bakakak yaitu salah satu acara sesudah sawér pangantén yang melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan dinikmati bersama.
10. Upacara nyawér adalah satu bagian dari upacara adat Sunda; merupakan peristiwa ritus yang secara maknawi mempunyai interrelasi antara manusia dengan benda-benda dan lingkungannya. Ritus adalah upacara keagamaan yang menggunakan ucap-ucapan tertentu dan khidmat (John Kooy, M.J Koenen, dalam Hadish : 4).
(24)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskriptif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaanya. Dalam ilmu sastra, sumber data metode kualitatif adalah karya, data penelitiannya, dan sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana (Kutha Ratna dalam Amelia, 2010:30). Hasil pengumpulan data yang ada pada masa sekarang disusun dianalisis, ditafsirkan, dan dideskripsikan yang meliputi analisis struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan makna puisi sawér pangantén. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra lisan. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis sastra lisan baik sebagai teks utuh maupun yang berkaitan dengan hal lainnya, seperti proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, dan maknanya.
Langkah- langkah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: pertama, merekam puisi yang dilantunkan oleh juru sawér. Perekaman terjadi pada saat pernikahan Mei dan Ridwan, tanggal 13 Mei 2012 di Kampung Bojongkacor. Lalu merekam ulang puisi sawér pangantén dengan penutur yang sama di rumahnya, karena terdapat beberapa bagian yang tidak jelas pada perekaman saat upacara puisi sawér pangantén.
Kedua, mentranskripsikan puisi sawér pangantén dari bentuk rekaman menjadi bentuk tulisan. Setelah itu ditransliterasi ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah untuk diteliti.
Ketiga, menganalisis struktur puisi sawér pangantén. Analisis struktur ini meliputi: analisis formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas, dan isotopi.
(25)
25
Keempat, menganalisis konteks penuturan. Analisis konteks penuturan dilakukan untuk mengetahui bagaimana konteks situasi dan konteks budaya sawér pangantén. Analisis konteks situasi meliputi waktu, tujuan, peralatan, dan teknik penuturan. Sedangkan analisis konteks budaya meliputi lokasi, penutur-audiens, latar sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
Kelima, menganalisis proses penciptaan puisi sawér pangantén. Analisis ini dilakukan agar mengetahui bagaimana proses pewarisan teks dari penutur kepada calon penutur baru dan mengetahui proses penciptaan puisi sawér pangantén itu sendiri
Keenam, menganalisis fungsi dari puisi sawér pangantén. Analisis fungsi dilakukan untuk mengetahui apa saja fungsi yang ada dalam puisi sawér pangantén.
Ketujuh, menganalisis makna dari puisi sawér pangantén. Analisis makna dilakukan untuk mengetahui apa makna yang terkadung dalam puisi sawér pangantén.
3.2 Data dan Sumber Data Penelitian 3.2.1 Data Penelitian
Objek penelitian dalam skripsi ini adalah puisi sawér pangantén yang terdapat di Kampung Bojongkacor, Kabupaten Bandung. Sawér pangantén ini terdiri dari 40 larik, dituturkan pada saat upacara sawér pangantén berlangsung dengan cara ditembangkan atau dilagukan.
Puisi sawér pangantén ini diperoleh langsung ketika juru sawér sedang menuturkan sawér ini disalah satu rumah di Kampung Bojongkacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung pada tanggal 13 Mei 2012. Juru sawernya bernama Teh Neng. Selanjutnya, peneliti merekam ulang puisi sawér pangantén ini dirumah juru sawér, diluar pertunjukan atau upacara sawér. Karena terdapat beberapa bagian puisi sawér yang kurang jelas.
(26)
26
Sumber data penelitian ini diperoleh dari seorang juru sawér bernama Teh Neng. Teh Neng adalah juru sawér yang bertempat tinggal di Kampung Sekemirung, Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung. Beliau kini berusia 49 tahun. Menjadi juru sawér adalah sebagian pekerjaan Teh Neng, karena selain menjadi juru sawér beliaupun adalah seorang perias profesional.
3.3 Teknik Penelitian
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut :
1. Wawancara dengan penutur yang biasa menutuurkan sawér pada acara pernikahan agar mendapatkan penjelasan tentang sawér pangantén beserta ruang lingkupnya. Wawancara ini peneliti lakukan dengan Teh Neng.
2. Rekaman acara sawér pangantén yang dilakukan oleh penutur pada saat upacara pernikahan yang terjadi di Kampung BojongKacor, Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung pada tanggal 13 mei 2012, dan merekam ulang diluar pertunjukan upacara sawér pangantén.
3.3.2Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang akan dilakukan pada penelitian ini, yang pertama adalah analisis struktur. Selanjutnya analisis proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan analisis makna. Namun sebelum teknik pengolahan data itu dilakukan, teks puisi sawér pangantén yang telah direkam ditranskripsikan terlebih dahulu, lalu ditransliterasikan kedalam bahasa Indonesia agar mempermudah proses analisis.
Pertama, teks dianalisis strukturnya berdasarkan pada formula sintaksis, bunyi, irama, majas dan isotopi. Analisis formula sintaksis ini meliputi unsur fungsi, kategori, dan peran kalimat. Analisis bunyi meliputi asonansi, dan aliterasi. Analisis irama meliputi panjang dan pendek nada yang dihasilkan teks. Analisis majas
(27)
27
berdasarkan isotopi-isotopi yang muncul didalam teks. Isotopi-isotopi itu dikelompokan berdasarkan persamaan motif dan akan muncul sebuah tema yang terkandung di dalam teks puisi sawér pangantén.
Kedua, menganalisis proses penciptaan dengan cara membandingkan teks yang dituturkan penutur pada saat upacara sawér pangantén dengan teks yang dimiliki penutur. Karena penutur tidak selalu membaca teksnya pada saat sawér dituturkan.
Ketiga, menganalisis konteks penuturan. Konteks penuturan dilihat berdasarkan kontes situasi dan konteks budaya. Analisis konteks situasi meliputi waktu, tujuan, peralatan, dan teknik penuturan. Sedangkan analisis konteks budaya meliputi lokasi, penutur-audiens, latar sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
Keempat, menganalisis fungsi. Fungsi ini dianalisis berdasarkan fungsi-fungsi yang terdapat dalam teks serta konteks puisi sawér pangantén.
Kelima, menganalisis makna apa saja yang terkandung dalam teks sawér
pangantén.
3.4 Instrumen Penelitian 3.4.1 Pedoman Wawancara
Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada juru sawér: 1. Mengapa upacara sawér pangantén dilaksanakan?
2. Bagaimana proses penciptaan sawér pangantén? 3. Bagaimana cara menuturkan sawér pangantén? 4. Kapan sawér pangantén dituturkan?
5. Apa saja yang harus dipersiapkan dalam upacara sawér pangantén? 6. Apa saja kegunaan barang-barang yang dipakai dalam sawér pangantén? 7. Adakah perbedaan sawér pangantén yang dilaksanakan sekarang dengan
jaman dahulu?
(28)
28
Instrumen penelitian teks dalam penelitian ini adalah format tabel yang berisi data. Kemudian dideskripsikan bagaimana cara penutur menuturkan puisi sawér pangantén.
Analisis teks transkripsi ;
Teks asli Teks terjemahan
Analisis teks formula sintaksis yang meliputi fungsi,kategori dan peran ; Analisis
Sintaksis
Fungsi Kategori Peran
Analisis teks formula sintaksis formula bunyi ;
No Bunyi Vokal Bunyi Konsonan
Analisis teks formula sintaksis formula irama ;
(29)
29
3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Tahap Persiapan
Pertama, peneliti mencari objek penelitian. Setelah objek penelitian dipilih, peneliti mencari informasi mengenai objek yang akan diteliti. Setelah itu peneliti melakukan kajian pustaka untuk mengetahui pisau analisis yang paling sesuai untuk menganalisis objek penelitian.
3.5.2 Tahap Pelaksanaan
Setelah objek penelitian dan pisau analisis ditentukan, peneliti mencari informasi tentang sawér pangantén. Kapan dan di mana upacara sawér dilaksanakan, dengan cara mewawancarai juru sawér yang merupakan sumber data dalam penelitian ini. Setelah mengetahui tempat dan waktunya, peneliti merekam puisi sawér pangantén ketika juru sawér menuturkannya dengan alami didepan audiens. Setelah itu, peneliti merekam ulang puisi sawér pangantén dirumah juru sawér diluar upacara sawér pangantén. Karena dari hasil rekaman yang pertama terdapat beberapa suara yang tidak jelas. Selain itu, penelitipun mewawancarai penutur dengan beberapa pertanyaan seputar sawér pangantén.
Setelah peneliti mendapatkan data puisi sawér pangantén, peneliti mentranskripsikan ke dalam tulisan dan menransliterasikannya kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Setelah itu, peneliti menganalisis puisi sawér pangantén dari segi struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan makna. Lalu, menarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.
3.5.3 Tahap Pelaporan
Setelah analisis pada objek penelitian selesai dan menarik kesimpulan, peneliti melaporkan hasil analisis tersebut ke dalam bentuk skripsi. Isi dari skripsi tersebut meliputi pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan makna, serta simpulan.
(30)
BAB 5 PENUTUP
1.1Simpulan
Sawér pangantén merupakan kebudayaan masyarakat Sunda yang masih dijaga kelestariannya, salah satunya oleh masyarakat Kampung Bojongkacor. Dari hasil analisis teks puisi sawér pangantén di Kampung Bojongkacor, diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
Pertama, teks puisi sawér pangantén terdiri dari 7 bait, 22 kalimat dan 40 larik. Dari hasil analisis formula sintaksis, teks puisi sawér pangantén ini terdiri dari beberapa jenis kalimat. Fungsi yang menonjol secara keseluruhan adalah fungsi predikat, sedangkan fungsi subjek dilesapkan, artinya penutur ingin memberikan efek penekanan pada fungsi predikat. Dalam Bahasa Sunda penekanan kata dalam kalimat selalu terletak di awal kalimat, sehingga untuk menekankan suatu frasa atau klausa yang menduduki fungsi predikat pada teks, fungsi predikat tersebut diletakkan di awal kalimat dan fungsi subjek dilesapkan. Kategori yang paling menonjol adalah kategori verba, artinya penutur lebih mengedepankan kata-kata yang mengacu pada kata kerja dari pada kategori yang lainnya karena dalam teks puisi sawér pangantén ini penutur ingin menonjolkan apa saja perbuatan yang harus dikerjakan oleh kedua mempelai. Sedangkan peran yang menonjol adalah perbuatan, artinya penutur ingin memberikan penekanan pada kalimat-kalimat perintah atau nasihat yang harus diperbuat oleh pengantin ataupun hadirin yang datang pada upacara sawér pangantén. Dengan adanya pola di atas, mempermudah penutur dalam proses penciptaan dan proses pewarisan teks sawérnya. Selain pola sintaksis, banyak juga bait yang memakai pola-pola puisi terikat dan puisi bebas. Dari ketujuh bait yang ada, tiga di antaranya memakai pola puisi bebas, sedangkan empat bait lainnya memakai pola
(31)
167
pupuh kinanti. Pupuh kinanti dipakai dalam teks puisi sawér pangantén ini karena watak pupuh ini adalah: prihatin (sedih), harapan, dan menunggu. Prihatin, diartikan pula tawakal. Tawakal dalam menunggu datangnya jodoh dan menjalani hidup bersama dalam berumah tangga.
Formula bunyi yang terdapat dalam teks puisi sawér pangantén, lebih banyak menghasilkan bunyi-bunyi berat dari pada bunyi-bunyi ringan, hal ini dilakukan penutur untuk menghasilkan efek suasana yang khidmat dan serius. Karena dalam teks puisi sawér pangantén, penutur ingin lebih menonjolkan suasana pengharapan atas doa-doa yang dipanjatkannya dan suasana ketegasan dalam nasihat-nasihat yang diberikannya. Sedangkan, pada formula irama, teks puisi sawér dituturkan dengan sangat merdu sehingga menciptakan suasana lembut penuh kasih sayang, meskipun ada pula beberapa nada yang diberi penekanan untuk mempertegas maknanya. Nada-nada yang lembut tersebut menimbulkan rasa kasih sayang penutur kepada pengantin, karena nasihat-nasihat tersebut disampaikan atas dasar kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru saja dinikahkan. Irama merdupun disesuaikan dengan konteks penuturan yang ketika itu penuh dengan kebahagiaan atas terlaksananya acara pernikahan tersebut.
Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat jenis majas, yaitu majas hiperbola, personifikasi, pars prototo, dan metafora. Keempat jenis majas ini, tidak memiliki intensitas yang tinggi, dikarenakan teks puisi sawér pangantén sebagian besar berisi tentang nasihat dan harapan sehingga kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang jelas maknanya dan mudah dipahami. Akan tetapi, dalam proses penciptaan dan pewarisannya adanya majas ini akan mempermudah penutur yang berfungsi sebagai penyingkat kata untuk membantu penutur menjelaskan secara singkat, namun dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan dengan cakupan yang luas melalui sedikit teks, oleh sebab adanya aturan-aturan puisi terikat.
(32)
168
Bahasa yang digunakan teks puisi sawér pangantén yaitu bahasa Sunda buhun, bahasa Sunda lama yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra Sunda, terutama sawér banyak menggunakan bahasa lugas dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai adalah halus dan sedang, serta berbentuk pupuh dan puisi bebas sehingga menggunakan kata-kata pilihan. Bahasa yang dipakai dalam teks puisi sawér pangantén merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup atau filosofi masyarakat Sunda dalam sistem budayanya. Meskipun tidak semua bahasa yang digunakan bersifat simbolik, namun secara umum bahasa-bahasa ini mengandung makna simbolik yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda secara umum.
Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat belas isotopi yang membentuk motif-motif yang nantinya akan membentuk tema teks puisi sawér pangantén. Isotopi kekuatan, isotopi Tuhan, isotopi harapan, isotopi manusia, isotopi ketakterbatasan, dan isotopi kemisteriusan membentuk motif permohonan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan perlindungan dan mengabulkan harapan-harapan yang dipanjatkan. Isotopi nasihat, isotopi tujuan, isotopi kegiatan, dan isotopi ketaatan membentuk motif nasihat penutur kepada pengantin untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Isotopi perasaan, isotopi permintaan, isotopi kerahasiaan, dan isotopi kasih sayang membentuk motif ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru berumah tangga. Dari analisis pembentukan motif-motif tersebut, diperoleh tema: teks puisi sawér pangantén merupakan sebuah puisi yang berupa permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai dan memberi nasihat-nasihat dalam menjalani rumah tangga.
Kedua, konteks penuturan teks puisi sawér pangantén dilaksanakan setelah prosesi akad nikah selesai kira-kira jam 10.00 WIB. Dituturkan sekitar 10 menit dengan teks puisi sawér berjumlah 7 bait dan 40 larik. Tujuan dari acara sawér pangantén ini bukan hanya sebagai salah satu hiburan dari acara pernikahan
(33)
169
masyarakat Sunda yang terus dijaga agar tidak hilang dan terus berkembang. Karena di dalamnya terdapat filosofi atau pandangan hidup masyarakat Sunda dalam sistem budayanya dan ajang pemberian nasihat-nasihat serta doa-doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan kebaikan dan kebahagiaan untuk semua yang hadir dalam acara tersebut. Peralatan yang digunakan dalam acara sawér pangantén, yaitu: uang, permen, beras, bunga rampai, dan irisan kunyit. Benda-benda itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu, atau kuningan, lalu ditaburkan di atas payung pengantin.
Puisi sawér pangantén dituturkan oleh seorang juru sawér yang bernama Teh Neng. Teknik penuturan yang dipakai dalam sawer ini berupa monolog. Hal ini dikarenakan penutur takut apabila terjadi dialog maka akan mengganggu kekhidmatan acara sawér pangantén tersebut, sehingga nasihat-nasihat yang disampaikan tidak dapat dicermati dengan baik. Setelah teks sawér pangantén selesai dituturkan, kedua orang tua pengantin melemparkan barang-barang yang sudah disiapkan dalam bokor. Setelah acara nyawér selesai lalu dilanjutkan dengan acara meleum harupat, nincak endog, membasuh kaki, dan meupeuskeun kendi. Audiens yang hadir cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua.
Selain konteks situasi, konteks penuturanpun menganalisis konteks budaya masyarakat penggunanya yang mencerminkan tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universals, dari ketujuh unsur kebudayaan itu dapat disimpulkan bahwa Kampung Bojongkacor merupakan daerah yang kebanyakan masyarakatnya sudah modern. Banyak hal-hal tradisional yang sudah digantikan perannya oleh hal-hal yang lebih modern, meskipun tidak semua hal yang berbau tradisional telah ditinggalkan masyarakat penggunanya.
Ketiga, proses penciptaan teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua aspek, yaitu analisis proses pewarisan dan proses penciptaan teks puisi sawér itu sendiri. Proses pewarisan sawér pangantén yang dituturkan oleh Teh Neng ini adalah
(34)
170
proses pewarisan secara vertikal, yakni pewarisan langsung dari ibu penutur kepada penutur. Pewarisan sawér ini tidak terjadi kepada sembarang orang. Setiap pencipta akan menentukan siapa saja orang yang boleh menjadi muridnya, tentu saja salah satu syaratnya adalah sudah cukup umur dan mempunyai hubungan dekat dengan pencipta.
Proses penciptaan sawér yang dilakukan Teh Neng dilakukan secara campuran, yaitu terstruktur dan spontan. Dikatakan terstruktur karena teks sawér tersebut diciptakan melalui penghafalan teks dan latihan, sedangkan dikatakan spontan karena pada beberapa kesempatan, penutur menambahkan beberapa larik pada sawérnya dengan spontan. Dalam proses penciptaan sawér pangantén ini terdapat fomula atau formulaik dan pola-pola yang dipakai untuk memudahkan penutur dalam menciptakan atau mengingat setiap kata dari sawér tersebut.
Keempat, fungsi teks puisi sawér pangantén ini ada lima, yaitu sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, sebagai alat pengesahan pranata sosial, sebagai alat pendidikan, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya, dan sebagai hiburan. Dalam teks puisi sawér pangantén, secara jelas disebutkan bahwa teks tersebut ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secara implisit, tujuan pencipta menciptakan teks tersebut yaitu untuk semua orang yang mendengarkan, yang hadir dalam acara tersebut tentu saja beragam, para ibu-ibu (istri), bapak-bapak (suami), dan remaja. Jadi, secara tidak langsungnya tembang tersebut ditujukan untuk masyarakat luas.
Kelima, makna teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua, yaitu makna dari analisis isotopi dan makna secara harfiah. Dilihat dari analisis isotopi, makna yang didapatkan teks puisi sawér pangantén adalah sebuah permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai agar selalu bahagia dan diberikan yang terbaik dalam menjalani rumah tangganya.
(35)
171
Sedangkan dilihat dari makna secara harfiah, teks puisi sawér pangantén mempunyai lima makna, yaitu: makna kasih sayang, makna ketakwaan kepada Tuhan, makna tanggung jawab, makna budi pekerti, dan makna harapan. Sawér pangantén ini sebagai alat penampung ekspresi perasaan dari penciptanya, ide-ide atau pemikiran terasa hidup, ini terjadi karena ekspresi melalui kata-kata puitik dan nada-nada yang dimainkan membuat sawér begitu merdu dan enak didengar.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian, sawér pangantén Kampung Bojongkacor Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, terdapat beberapa hal yang menarik untuk penelitian lanjutan. Sawér pangantén merupakan tradisi masyarakat sunda yang tersebar di berbagai daerah di tatar sunda, kemungkinan adanya varian dengan kultur masyarakat tertentu menjadi hal yang menarik untuk diteliti, mengingat bahwa tradisi sawér mulai ditinggalkan seiring dengan masuknya budaya modern. Oleh sebab itu peneliti menyarankan adanya penelitian lanjutan yang membandingkan teks sawér pangantén Kampung Bojongkacor dengan daerah lain . hal tersebut diharap dapat memahami lebih luas dan sebagai bentuk pelestarian dengan mendokumentasikan tradisi sawér pangantén.
(36)
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, N. R. 2010. ‘Puisi Sawer Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (Analisis
Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan dan Fungsi)’. (skripsi) Badrun, A. 2003. ‘Patu Mbojo: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan,
dan Fungsi’. (disertasi)
Chaer, A. 1994. Pengantar Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Damaianti, V. S. dan Nunung Setiaresmi. 2005. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.
Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grapiti.
Danasasmita, M. 2001. Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama. Bandung: STSI PRESS Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hadish, Y. K, dkk. 1986. Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Herdiana, E. 1980. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Bandung: PT.
Swarnadwipa.
Hutomo, S. H. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Jawa Timur: Himpunan Kesusastraan Indonesia.
Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
---. 1981. Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Kusnadi, G. 2012. ‘Mantra Singlar: Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi’. (skripsi)
Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung.
(37)
173
Ega Yofi D. Setiady, 2013
Pradopo, R. D. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Prasetya, J. T. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rakem. 2008. ‘Mantra Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Leuweunggede (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi)’.
(skripsi)
Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. Rosidi, A, dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta:
Pustaka Jaya.
---. 2011. Sawer jeung Pupujuian. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama. Saepudin, A. 2010. Makna Filosofis Tembang Sawer dalam Upacara Perkawinan
Adat Sunda. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (skripsi) (06-07-2013) Taum, Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera.
Teuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
(1)
Bahasa yang digunakan teks puisi sawér pangantén yaitu bahasa Sunda
buhun, bahasa Sunda lama yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
karya sastra Sunda, terutama sawér banyak menggunakan bahasa lugas dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai adalah halus dan sedang, serta berbentuk pupuh dan puisi bebas sehingga menggunakan kata-kata pilihan. Bahasa yang dipakai dalam teks puisi sawér pangantén merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup atau filosofi masyarakat Sunda dalam sistem budayanya. Meskipun tidak semua bahasa yang digunakan bersifat simbolik, namun secara umum bahasa-bahasa ini mengandung makna simbolik yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat Sunda secara umum.
Dalam teks puisi sawér pangantén ini terdapat empat belas isotopi yang membentuk motif-motif yang nantinya akan membentuk tema teks puisi sawér
pangantén. Isotopi kekuatan, isotopi Tuhan, isotopi harapan, isotopi manusia, isotopi
ketakterbatasan, dan isotopi kemisteriusan membentuk motif permohonan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan perlindungan dan mengabulkan harapan-harapan yang dipanjatkan. Isotopi nasihat, isotopi tujuan, isotopi kegiatan, dan isotopi ketaatan membentuk motif nasihat penutur kepada pengantin untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Isotopi perasaan, isotopi permintaan, isotopi kerahasiaan, dan isotopi kasih sayang membentuk motif ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya yang baru berumah tangga. Dari analisis pembentukan motif-motif tersebut, diperoleh tema: teks puisi sawér pangantén merupakan sebuah puisi yang berupa permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai dan memberi nasihat-nasihat dalam menjalani rumah tangga.
Kedua, konteks penuturan teks puisi sawér pangantén dilaksanakan setelah
prosesi akad nikah selesai kira-kira jam 10.00 WIB. Dituturkan sekitar 10 menit dengan teks puisi sawér berjumlah 7 bait dan 40 larik. Tujuan dari acara sawér
pangantén ini bukan hanya sebagai salah satu hiburan dari acara pernikahan
(2)
169
masyarakat Sunda yang terus dijaga agar tidak hilang dan terus berkembang. Karena di dalamnya terdapat filosofi atau pandangan hidup masyarakat Sunda dalam sistem budayanya dan ajang pemberian nasihat-nasihat serta doa-doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan agar senantiasa memberikan kebaikan dan kebahagiaan untuk semua yang hadir dalam acara tersebut. Peralatan yang digunakan dalam acara
sawér pangantén, yaitu: uang, permen, beras, bunga rampai, dan irisan kunyit.
Benda-benda itu ditempatkan dalam bokor yang terbuat dari perak, perunggu, atau kuningan, lalu ditaburkan di atas payung pengantin.
Puisi sawér pangantén dituturkan oleh seorang juru sawér yang bernama Teh Neng. Teknik penuturan yang dipakai dalam sawer ini berupa monolog. Hal ini dikarenakan penutur takut apabila terjadi dialog maka akan mengganggu kekhidmatan acara sawér pangantén tersebut, sehingga nasihat-nasihat yang disampaikan tidak dapat dicermati dengan baik. Setelah teks sawér pangantén selesai dituturkan, kedua orang tua pengantin melemparkan barang-barang yang sudah disiapkan dalam bokor. Setelah acara nyawér selesai lalu dilanjutkan dengan acara
meleum harupat, nincak endog, membasuh kaki, dan meupeuskeun kendi. Audiens
yang hadir cukup beragam, mulai dari anak-anak sampai orang tua.
Selain konteks situasi, konteks penuturanpun menganalisis konteks budaya masyarakat penggunanya yang mencerminkan tujuh unsur kebudayaan sebagai
cultural universals, dari ketujuh unsur kebudayaan itu dapat disimpulkan bahwa
Kampung Bojongkacor merupakan daerah yang kebanyakan masyarakatnya sudah modern. Banyak hal-hal tradisional yang sudah digantikan perannya oleh hal-hal yang lebih modern, meskipun tidak semua hal yang berbau tradisional telah ditinggalkan masyarakat penggunanya.
Ketiga, proses penciptaan teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua
aspek, yaitu analisis proses pewarisan dan proses penciptaan teks puisi sawér itu sendiri. Proses pewarisan sawér pangantén yang dituturkan oleh Teh Neng ini adalah
(3)
proses pewarisan secara vertikal, yakni pewarisan langsung dari ibu penutur kepada penutur. Pewarisan sawér ini tidak terjadi kepada sembarang orang. Setiap pencipta akan menentukan siapa saja orang yang boleh menjadi muridnya, tentu saja salah satu syaratnya adalah sudah cukup umur dan mempunyai hubungan dekat dengan pencipta.
Proses penciptaan sawér yang dilakukan Teh Neng dilakukan secara campuran, yaitu terstruktur dan spontan. Dikatakan terstruktur karena teks sawér tersebut diciptakan melalui penghafalan teks dan latihan, sedangkan dikatakan spontan karena pada beberapa kesempatan, penutur menambahkan beberapa larik pada sawérnya dengan spontan. Dalam proses penciptaan sawér pangantén ini terdapat fomula atau formulaik dan pola-pola yang dipakai untuk memudahkan penutur dalam menciptakan atau mengingat setiap kata dari sawér tersebut.
Keempat, fungsi teks puisi sawér pangantén ini ada lima, yaitu sebagai sistem
proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, sebagai alat pengesahan pranata sosial, sebagai alat pendidikan, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya, dan sebagai hiburan. Dalam teks puisi sawér pangantén, secara jelas disebutkan bahwa teks tersebut ditujukan bagi kedua pengantin. Akan tetapi, secara implisit, tujuan pencipta menciptakan teks tersebut yaitu untuk semua orang yang mendengarkan, yang hadir dalam acara tersebut tentu saja beragam, para ibu-ibu (istri), bapak-bapak (suami), dan remaja. Jadi, secara tidak langsungnya tembang tersebut ditujukan untuk masyarakat luas.
Kelima, makna teks puisi sawér pangantén dibagi menjadi dua, yaitu makna
dari analisis isotopi dan makna secara harfiah. Dilihat dari analisis isotopi, makna yang didapatkan teks puisi sawér pangantén adalah sebuah permohonan kepada Tuhan agar senantiasa mengabulkan harapan-harapan untuk kedua mempelai agar selalu bahagia dan diberikan yang terbaik dalam menjalani rumah tangganya.
(4)
171
Sedangkan dilihat dari makna secara harfiah, teks puisi sawér pangantén mempunyai lima makna, yaitu: makna kasih sayang, makna ketakwaan kepada Tuhan, makna tanggung jawab, makna budi pekerti, dan makna harapan. Sawér pangantén ini sebagai alat penampung ekspresi perasaan dari penciptanya, ide-ide atau pemikiran terasa hidup, ini terjadi karena ekspresi melalui kata-kata puitik dan nada-nada yang dimainkan membuat sawér begitu merdu dan enak didengar.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian, sawér pangantén Kampung Bojongkacor Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, terdapat beberapa hal yang menarik untuk penelitian lanjutan. Sawér pangantén merupakan tradisi masyarakat sunda yang tersebar di berbagai daerah di tatar sunda, kemungkinan adanya varian dengan kultur masyarakat tertentu menjadi hal yang menarik untuk diteliti, mengingat bahwa tradisi sawér mulai ditinggalkan seiring dengan masuknya budaya modern. Oleh sebab itu peneliti menyarankan adanya penelitian lanjutan yang membandingkan teks sawér pangantén Kampung Bojongkacor dengan daerah lain . hal tersebut diharap dapat memahami lebih luas dan sebagai bentuk pelestarian dengan mendokumentasikan tradisi sawér pangantén.
(5)
Amelia, N. R. 2010. ‘Puisi Sawer Sunatan di Desa Cangkorah-Batujajar (Analisis
Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan dan Fungsi)’. (skripsi)
Badrun, A. 2003. ‘Patu Mbojo: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan,
dan Fungsi’. (disertasi)
Chaer, A. 1994. Pengantar Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Damaianti, V. S. dan Nunung Setiaresmi. 2005. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.
Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grapiti.
Danasasmita, M. 2001. Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama. Bandung: STSI PRESS Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hadish, Y. K, dkk. 1986. Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Herdiana, E. 1980. Upacara Perkawinan Adat Sunda. Bandung: PT.
Swarnadwipa.
Hutomo, S. H. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Jawa Timur: Himpunan Kesusastraan Indonesia.
Koentjaraningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
---. 1981. Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Kusnadi, G. 2012. ‘Mantra Singlar: Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses
Penciptaan dan Fungsi’. (skripsi)
Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate Bandung.
(6)
173
Pradopo, R. D. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Prasetya, J. T. 1998. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rakem. 2008. ‘Mantra Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Leuweunggede (Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi)’.
(skripsi)
Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono. Rosidi, A, dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta:
Pustaka Jaya.
---. 2011. Sawer jeung Pupujuian. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama. Saepudin, A. 2010. Makna Filosofis Tembang Sawer dalam Upacara Perkawinan
Adat Sunda. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (skripsi) (06-07-2013)
Taum, Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera.
Teuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.